WARTAZOA Vol. 17 No. 3 Th. 2007
PERAN ITIK SEBAGAI PENGHASIL TELUR DAN DAGING NASIONAL PIUS P. KETAREN Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 (Makalah diterima 24 Mei 2007 – Revisi 6 September 2007) ABSTRAK Itik berperan sebagai penghasil telur, daging dan bulu. Telur merupakan hasil utama ternak itik sebagai pangan bergizi untuk masyarakat Indonesia. Itik menyumbangkan telur lebih dari 180.000 ton atau setara dengan 16% produksi telur nasional pada tahun 2005. Sebagai penghasil daging, itik baru menyumbangkan 38.700 ton atau setara dengan 3% dari produksi daging unggas nasional atau sekitar 2% dari produksi daging nasional. Disamping telur dan daging, itik juga berperan sebagai penghasil bulu yang nilai ekspornya pada tahun 2005 tercatat sebanyak 294.800 dolar AS yang setara dengan 269,4 ton bulu itik. Ketiga produk di atas dihasilkan oleh 35 juta ekor itik yang sebagian besar dipelihara secara tradisional dengan mutu bibit yang tidak diseleksi, penyediaan pakan yang tidak teratur dan digembalakan dari satu tempat ke tempat lain. Tingkat produksi telur itik gembala umumnya masih rendah yaitu antara 100 – 150 butir per tahun dibandingkan dengan itik yang dipelihara secara intensif yang mampu mencapai 253 butir per tahun. Dikenal berbagai rumpun itik di Indonesia dengan tingkat keragaman produktivitas yang tinggi. Berbagai teknologi produksi itik telah banyak dipublikasikan yang sebagian telah diadopsi oleh peternak dan sebagian lainnya potensial digunakan oleh peternak untuk meningkatkan produktivitas itik. Peningkatan peran itik sebagai penghasil telur dan daging dapat diupayakan melalui introduksi teknologi bibit yang lebih baik, perbaikan mutu dan jumlah pakan serta perbaikan sistem pemeliharaan. Teknologi tersebut sudah tersedia baik untuk itik petelur maupun untuk itik pedaging. Kata kunci: Itik, peran, telur, daging, teknologi ABSTRACT THE ROLE OF DUCK AS THE NATIONAL PRODUCER OF EGG AND MEAT Ducks produce egg, meat and feather. Egg is the main product of ducks for Indonesian communities. Duck farming produced eggs approximately 180,000 ton or equal to 16% of national egg production in 2005. Ducks also contributed 38,700 tons of meat or 3% of national poultry meat production or equal to 2% of national meat production. Besides egg and meat, duck farming also produced 269.4 tons of feather valued at US $ 294,800. All of those duck commodities were produced by 35 million of hearded ducks. Hearded ducks productivity were approximately 100 – 150 eggs/hen/year which were considered to be much lower than confined ducks productivity which were recorded at average of 253 eggs/hen/year. There are known several local Indonesian ducks which showing highly variable egg productivities. Various technologies are potential to be implemented by duck farmers to improve their duck-egg production. The improvement can be achieved by implementing breeding and nutrition technologies such as replacing the old hens with selected local duck breeds, feeding appropriate diets and implementing good management practices in their farms. Key words: Duck, role, egg, meat, technology
PENDAHULUAN Menteri Pertanian menyatakan bahwa lebih dari 41 juta angkatan kerja (= 39% total angkatan kerja pada tahun 2005) bekerja dan hidup dari pertanian yang dikenal sebagai petani. Para petani Indonesia umumnya menggunakan teknologi rendah dengan tingkat produksi pertanian yang juga rendah. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya peningkatan teknologi petani melalui penggalakan kegiatan alih teknologi untuk memperjuangkan kepentingan petani dan pertanian di Indonesia (APRIANTONO, 2006). Kontribusi keterlibatan 41 juta angkatan kerja pertanian tersebut pada tahun
2005 terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) sebanyak 15,40% (DITJENNAK, 2005). PDB peternakan pada tahun yang sama tercatat sebanyak 2,13% dari PDB nasional atau ekuivalen dengan 13,86% PDB pertanian. Walaupun sumbangan peternakan terhadap PDB pertanian cukup besar, akan tetapi peternakan kurang bergaung khususnya di Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, sudah sepatutnya lembaga legislatif sesuai fungsinya memberikan bantuan hukum yang kuat baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan daerah (FAISAL, 2006). Dukungan ini penting artinya karena kontribusi peternakan dalam bentuk telur, daging dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi
117
PIUS P. KETAREN: Peran Itik sebagai Penghasil Telur dan Daging Nasional
masyarakat sangat signifikan. RIADY (2006) menyatakan bahwa pembangunan peternakan memiliki nilai yang sangat strategis dalam mendukung ketahanan pangan dan upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Sumbangan peternakan pada tahun 2005 terhadap kebutuhan pangan sebanyak lebih dari 2.000.000 ton daging, lebih dari 1.000.000 ton telur dan 342.000 ton susu. Kontribusi ternak itik sebanyak 38.700 ton daging, 180.300 ton telur serta 269,4 ton bulu (DITJENNAK, 2005). Dilihat dari kontribusinya terhadap pangan maka dikenal beberapa komoditi pangan yang berasal dari ternak itik seperti telur segar, telur asin dan daging itik. Komoditi pangan asal itik tersebut diperdagangkan dari pasar tradisional sampai ke pasar modern seperti super market. Makalah ini menjelaskan peran itik sebagai penghasil telur dan daging serta bulu pada saat ini dan upaya untuk meningkatkan perannya melalui pendekatan teknologi yang tersedia di masa mendatang. PERAN ITIK SEBAGAI PENGHASIL TELUR Populasi itik selama tahun 2001 – 2005 relatif stabil (Gambar 1). Populasi itik sedikit meningkat pada tahun 2002 yaitu sebanyak 45.000.000 ekor, kemudian tiga tahun berikutnya sampai tahun 2005 relatif stabil sekitar 30.000.000 – 35.000.000 ekor (DITJENNAK, 2005). Seluruh itik di Indonesia dipelihara sedikitnya oleh 285.000 rumah tangga petani atau sama dengan 6,34% rumah tangga petani atau 35,49% rumah tangga peternak unggas pada tahun 1993 (Tabel 1). Jumlah peternak itik tersebut menurun sejak tahun 1973 dari total 1.633.651 menjadi 285.000 pada tahun 1993. Data statistik tentang jumlah peternak setelah tahun 1993 tidak dilaporkan dan diduga menurun dengan beralih fungsinya sebagian sawah sebagai tempat penggembalaan itik menjadi perumahan dan lahan nonpertanian lainnya.
Tabel 1. Jumlah rumah tangga petani dan peternak di Jawa pada Tahun 1993 Uraian
Rumah tangga
Rumah tangga petani
4.494.857
% 100
Rumah tangga peternak unggas
803.000
17,86
Rumah tangga peternak itik
285.000
6,34
Sumber: DITJENNAK (2004)
Jika dilihat dari besarnya jumlah rumah tangga yang terlibat dalam usaha ternak itik tersebut maka seyogyanya pemerintah memberi perhatian yang lebih terhadap pengembangan usaha ternak itik. Peningkatan produktivitas itik melalui campur tangan pemerintah akan meningkatkan taraf hidup keluarga tani setidaknya sebagian dari 285.000 rumah tangga petani tersebut atau ekuivalen dengan kesejahteraan jutaan penduduk, baik yang langsung terlibat dalam kegiatan budidaya itik maupun yang terlibat secara tidak langsung dalam agribisnis itik, misalnya penyediaan input berupa bibit, pakan, kandang, dan lain lain atau dalam kegiatan pemasaran hasil produk ternak itik berupa telur, bibit dan daging itik. Sumbangan itik terhadap kebutuhan telur Sebanyak 16% dari kebutuhan telur di Indonesia pada tahun 2005 dipenuhi oleh telur itik atau sama dengan produksi telur ayam buras pada tahun yang sama (Gambar 2).
Ayam buras
Itik 16%ITIK
16% A. BURAS 16%
16%
50
A. RAS
45
Ayam 68% ras 68%
40 35 Juta ekor
30
Gambar 2. Produksi telur nasional pada tahun 2005
25 20 15 10 5 0 2001
2002
2003
2004
2005
T a h un
Gambar 1. Dinamika populasi itik periode 2001 – 2005
118
Sebagian besar kebutuhan telur masih berasal dari telur ayam ras. Hal ini mudah dipahami karena ayam ras petelur telah diusahakan secara intensif dalam skala besar. Sebaliknya, ternak itik dan ayam buras sebagian besar masih dipelihara secara tradisional dan dalam skala rumah tangga. Begitu pula ketersediaan sarana prasarana seperti bibit ayam ras yang bermutu jauh lebih terjamin dibandingkan dengan prasarana ternak
WARTAZOA Vol. 17 No. 3 Th. 2007
itik dan ayam buras. Oleh karena itu, produktivitas maupun total produksi ayam ras jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ternak itik atau ayam buras. Peningkatan produktivitas itik petelur di Indonesia dapat dilakukan melalui perbaikan bibit yang lebih produktif, penyediaan pakan yang lebih sesuai dengan kebutuhan gizi, serta peningkatan manajemen pemeliharaan itik, terutama perubahan sistem pemeliharaan dari sistem tradisional/gembala menjadi sistem terkurung. Populasi itik yang pada tahun 2005 sebanyak 34.000.000 ekor dengan populasi itik terbesar terdapat di 7 propinsi yaitu: (1) Jawa Barat, (2) Jawa Tengah, (3) Kalimantan Selatan, (4) Jawa Timur, (5) Sulawesi Selatan, (6) Nanggroe Aceh Darussalam, dan (7) Sumatera Utara (Tabel 2).
Kandungan gizi telur itik
Tabel 2. Populasi dan penghasil telur itik terbanyak pada tahun 2005
Tabel 3. Perbandingan kandungan gizi berbagai unggas
Produksi telur
Propinsi
Populasi (ekor)
ton
% Indonesia
Jawa Barat
5.201.124
31.906
17,70
Jawa Tengah
5.633.890
20.908
11,60
Kalimantan Selatan
2.998.703
20.077
11,14
Jawa Timur
2.412.513
16.936
9,39
Sulawesi Selatan
2.905.620
15.905
8,82
NAD
2.976.092
13.928
7,73
Sumatera Utara
2.291.472
10.958
6,08
Total
24.419.414
130.618
72,46
% dari Indonesia
71,82
Sumber: DITJENNAK (2005)
Sebanyak 72,46% telur itik pada tahun 2005 atau setara dengan 130.618 ton dihasilkan oleh ternak itik di 7 propinsi tersebut. Dari data Tabel 2 tersebut juga terlihat bahwa lebih dari 38,7% produksi telur itik nasional dihasilkan di pulau Jawa. Konsentrasi populasi ternak itik tersebut mungkin juga berkaitan dengan ketersediaan pakan dari padi sawah jika digembalakan atau berupa dedak padi, menir dan sisa ikan, jika itik dipelihara di dalam kandang secara terkurung. Tabel 2 tersebut juga memberi petunjuk bahwa pembinaan peternak itik di ketujuh propinsi tersebut akan menghasilkan pengaruh yang signifikan terhadap ketersediaan pangan asal itik berupa telur dan daging. Perkembangan populasi itik lebih ditentukan oleh permintaan pasar terhadap telur maupun daging. Dengan demikian, pasar telur dan daging itik di ketujuh propinsi di atas relatif lebih baik dibandingkan dengan propinsi lain. Ini dapat disebabkan oleh perbedaan kepadatan penduduk serta budidaya setempat yang sudah/belum terbiasa mengkonsumsi telur dan daging itik.
Telur itik mengandung semua gizi yang dibutuhkan manusia bahkan kandungan proteinnya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan telur ayam (CHEN, 1996), yaitu masing-masing 12,81 dan 12,14% akan tetapi lebih rendah dibandingkan dengan kandungan protein telur puyuh dan angsa yaitu masingmasing 13,35% dan 13,87% (Tabel 3). Kandungan lemak dalam telur itik (13,77%) lebih tinggi dibandingkan dengan telur ayam, puyuh dan angsa yaitu masing-masing 11,15; 11,09 dan 13,27% sehingga bila diasinkan, bagian kuning telur itik tampak lebih berminyak dibandingkan dengan kuning telur ayam.
Gizi
Itik
Ayam
Puyuh
Angsa
Air (%)
70,85
74,57
74,35
70,43
Protein (%)
12,81
12,14
13,35
13,87
Lemak (%)
13,77
11,15
11,09
13,27
Abu (%)
1,14
0,94
1,10
1,08
*dikutip dari USDA oleh CHEN (1996)
Produktivitas itik gembala Produktivitas itik petelur yang digembalakan hanya sekitar 26,9 – 41,3% setara dengan 98 – 151 butir/ekor/tahun, sementara tingkat produksi telur itik terkurung dapat mencapai 55,6% (203 butir/ekor/tahun) dan bahkan KETAREN dan PRASETYO (2000) melaporkan bahwa produksi telur itik silangan Mojosari-Alabio (MA) selama setahun mencapai 69,4% (253 butir/ekor/tahun). Rendahnya produksi telur itik gembala tersebut sebagian disebabkan oleh pakan yang tidak memadai. Produksi telur itik gembala tersebut dapat ditingkatkan dari 38,3% menjadi 48,9% dengan memberi pakan tambahan (SETIOKO et al., 1992; SETIOKO et al., 1994). Bobot telur meningkat dari rata-rata 66,9 menjadi 71,1 gram dengan pemberian pakan tambahan 24 gram tepung kepala udang pada itik gembala selama musim kering atau dengan memberi pakan tambahan tepung ikan dan vitamin-mineral premiks. Tingkat produktivitas itik petelur terkurung lebih tinggi dari produktivitas itik gembala karena mutu pakan yang diberikan lebih baik. Produksi telur itik silang Mojosari dan Alabio yang dikenal dengan itik MA mencapai 69,4% atau 253 butir selama 365 hari dengan mutu pakan yang baik. Itik tersebut menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan pakan yang diukur dengan Feed Conversion Ratio (FCR) 4,10 dengan rataan bobot telur 69,7 g/butir (KETAREN dan
119
PIUS P. KETAREN: Peran Itik sebagai Penghasil Telur dan Daging Nasional
PRASETYO, 2000). Efisiensi penggunaan pakan itik petelur selama empat bulan produksi pertama dapat diperbaiki dari 5,67 (KETAREN dan PRASETYO, 2000) menjadi 2,88 dengan memberi pakan bentuk pelet pada tingkat konsumsi pakan sebanyak 154 g/ekor/hari (KETAREN dan PRASETYO, 2002). Perbaikan efisiensi pakan pelet tersebut kemungkinan lebih diakibatkan oleh penurunan jumlah pakan yang tercecer, terlihat dari jumlah konsumsi pakan sebanyak 154 g/ekor/hari yang lebih rendah dari yang dilaporkan oleh peneliti lain yaitu sekitar 170 g/ekor/hari. Pakan tercecer dalam bentuk pelet dapat dimakan kembali oleh itik yang dipelihara di kandang litter. Efisiensi penggunaan pakan itik petelur yang biasa diukur dengan FCR masih sangat tinggi yaitu berkisar antara 3,2 – 5,0 dibandingkan dengan ayam ras petelur yang hanya 2,4 – 2,6 selama setahun produksi (HYLINE INTERNATIONAL, 1986). Begitu pula, FCR itik pedaging/itik jantan yang digemukkan juga masih sangat tinggi yaitu 3,2 – 5,0 jika dibandingkan dengan FCR ayam ras pedaging yang hanya 2,1 – 2,2 pada umur yang sama 8 minggu (INDIAN RIVER INTERNATIONAL, 1988). Ini mengindikasikan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi telur maupun daging itik jauh lebih mahal dibandingkan dengan biaya produksi untuk telur maupun daging ayam ras, karena itik membutuhkan jumlah pakan yang jauh lebih banyak untuk memproduksi daging yang sama jumlahnya. Buruknya efisiensi penggunaan pakan pada itik petelur maupun pedaging diakibatkan oleh berbagai faktor termasuk (1) faktor genetik/bibit, (2) banyaknya pakan tercecer, dan (3) kandungan gizi pakan yang tidak sesuai kebutuhan.
Dengan kata lain, itik Tegal yang dipelihara dalam satu kelompok memiliki kemampuan berproduksi yang sangat bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi melebihi tingkat produksi ayam ras. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya seleksi bibit itik yang terbaik dari satu kelompok untuk memperoleh kelompok yang berproduksi tinggi. Berpedoman dari data pada Tabel 4, maka jika kita menginginkan itik berproduksi lebih dari 241 butir/tahun maka jumlah itik yang potensial hanya sebanyak 4 + 29% = 33%, dari populasi itik Tegal. Produktivitas itik lokal lainnya juga bervariasi, baik di dalam maupun antar bangsa itik (KETAREN et al., 2005).
Keragaman produksi telur itik Tegal selama 365 hari
Teknologi pemuliaan ternak itik
Hasil penelitian tentang keragaman produktivitas itik Tegal selama 365 hari yang dipelihara di Balai Penelitian Ternak menunjukkan bahwa tingkat produksi telur itik Tegal bervariasi dari < 100 butir sampai dengan > 301 butir (Tabel 4). Tabel 4. Variasi tingkat produksi telur itik Tegal selama 365 hari Kisaran produksi telur (butir)
%
> 301
4
241 – 300
29
201 – 240
32
141 – 200
21
101 – 140
6
< 100
8
Sumber: CHAVES dan LASMINI (1978)
120
Rantai pemasaran telur itik Beberapa penelitian juga telah dilakukan terhadap pemasaran produk itik di berbagai lokasi. Hasil penelitian tentang rantai pemasaran telur itik di Indramayu dan Tasikmalaya, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 3. Sebanyak 79,7% telur itik dari peternak dijual langsung kepada pedagang pengumpul di desa (42,9%) dan pedagang keliling (36,8%). Pemasaran telur melalui kelompok ternak, langsung ke pedagang besar di kota dan konsumen lokal masih relatif sedikit. Dari hasil penelitian ini juga diperoleh informasi bahwa harga telur yang diperoleh peternak hanya sebanyak 76,6% dari harga yang dibayar oleh konsumen akhir di Jakarta. TEKNOLOGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS ITIK PETELUR
Peningkatan produksi telur itik melalui kawin silang Penelitian difokuskan pada keragaan produktivitas itik Mojosari dan Alabio karena diperoleh data bahwa kawin silang antara kedua bangsa itik tersebut menghasilkan produktivitas itik yang lebih tinggi seperti terlihat pada Tabel 5. Kawin silang antara itik Mojosari dan Alabio menghasilkan 2 macam galur itik yaitu; (1) AM hasil persilangan Alabio jantan dengan Mojosari betina, dan (2) MA hasil persilangan Mojosari jantan dan Alabio betina. Dilihat dari data produksi telur 3 bulan pertama, produksi telur itik persilangan MA paling tinggi (74,22 butir) dibandingkan dengan itik AM yang hanya menghasilkan 61,47 butir, serta dari tetuanya yaitu 66,14 dan 66,76 butir masing-masing itik Alabio dan Mojosari. Atas dasar inilah dilakukan seleksi itik Mojosari untuk pejantan dan itik Alabio untuk betina yang kemudian disilangkan dan menghasilkan itik MA petelur dengan produksi dan konsistensi yang tinggi.
WARTAZOA Vol. 17 No. 3 Th. 2007
Peternak
Pedagang keliling (36,8%)
Tengkulak
Kel. ternak (18,60%)
Pengolah telur asin
Pedagang pengumpul
Pedagang besar di kota propinsi/Jakarta (2,5%)
Pengumpul di desa (42,9%)
Pasar perkotaan
Gambar 3. Rantai pemasaran telur itik di Indramayu dan Tasikmalaya Sumber: NUGRAHA et al. (1995) Tabel 5. Umur pertama bertelur, bobot telur pertama, bobot pertama bertelur dan produksi telur 3 bulan pertama itik Alabio, Mojosari dan persilangan Parameter Umur pertama bertelur (minggu)
Genotipa Alabio (A)
Mojosari (M)
bc
c
24,27
24,53
b
a
MxA
ab
21,87a
ab
56,66b
23,07
Bobot telur pertama (g)
56,39
Bobot pertama bertelur (g)
1906d
1616 a
1741b
1803c
a
a
a
74,22b
Produksi telur 3 bulan pertama (butir)
66,14
53,69
AxM
66,76
56,07
61,47
Huruf yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P < 0,05) Sumber: PRASETYO dan SUSANTI (1997)
Produktivitas itik MA (F2) selama 12 bulan Produktivitas itik petelur MA telah dievaluasi selama 48 minggu di Balai Penelitian Ternak pada tahun 2000 dan hasilnya tertera pada Tabel 6. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa rataan produksi itik MA sebanyak 69,4% atau setara dengan 253 butir/365 hari. Tingkat produksi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas itik petelur yang ada termasuk itik Mojosari dan Alabio. Tingkat produksi telur itik MA diatas 80% dapat bertahan selama 6 bulan mulai dari produksi bulan ke-4 sampai
dengan bulan ke-9. Begitu pula rataan bobot telur yang dihasilkan adalah 69,70 g/butir dengan tingkat efisiensi produksi yang dinyatakan dalam nilai FCR = 4,10. FCR telur yang masih tinggi diduga diakibatkan oleh banyaknya pakan yang tercecer karena pakan yang diberikan dalam bentuk tepung. Dari data tersebut terlihat bahwa efisiensi pakan yang paling tinggi diperoleh dari data produksi telur bulan ke-6 karena tingkat produksi telur pada umur tersebut mencapai puncaknya yaitu 84,30%. Mortalitas itik petelur MA selama 12 bulan produksi sebanyak 7,30%.
121
PIUS P. KETAREN: Peran Itik sebagai Penghasil Telur dan Daging Nasional
Tabel 6. Produktivitas itik MA selama 12 bulan produksi Bulan produksi
% Produksi
Bobot telur (g)
FCR
1
20,20
58,50
11,89
2
57,90
63,80
4,35
3
72,80
65,50
3,23
4
80,50
67,60
3,21
5
82,20
70,80
3,04
6
84,30
71,10
2,95
7
80,80
72,40
3,00
8
81,60
71,80
2,99
9
80,30
70,00
3,11
10
71,60
73,80
3,37
11
67,30
75,30
3,54
12
53,00
76,00
4,45
Rataan
69,40
69,70
4,10
selama 1 minggu meningkat sesuai dengan peningkatan frekuensi penampungan dari 1 – 3 kali per minggu. Sebaliknya, konsentrasi sperma tidak dipengaruhi oleh frekuensi penampungan. Dari data tersebut dianjurkan untuk menampung semen itik pejantan 2 – 3 kali per minggu. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan telur tetas terhadap daya tetas Hasil penelitian (SETIOKO, 1998) menunjukkan bahwa telur tetas dapat disimpan pada temperatur 15 – 25°C selama 7 hari tanpa berpengaruh terhadap daya tetas. Akan tetapi, jika telur disimpan pada suhu 30°C maka telur hanya dapat disimpan selam 3 hari. Penyimpanan telur selama 7 hari pada temperatur 30°C akan menurunkan daya tetas dari 77,1% menjadi 36,3%.
Sumber: KETAREN dan PRASETYO (2000)
Teknologi pakan
Teknologi inseminasi buatan
Pemberian pakan terbatas terhadap efisiensi penggunaan pakan
Frekuensi inseminasi itik untuk produksi itik MA Itik petelur hasil persilangan Mojosari jantan dengan Alabio betina diperoleh melalui teknologi inseminasi buatan. Semen itik pejantan Mojosari dikoleksi dan diinseminasikan ke itik betina Alabio 2 x/minggu dengan menggunakan metode urut (WIDODO, komunikasi pribadi). Sperma diencerkan dengan Na fisiologis dengan perbandingan 1 : 2 (v/v). Dengan pengenceran tersebut, maka jumlah betina yang dapat di IB dengan sperma satu ekor pejantan sebanyak 9 ekor. Keragaan reproduksi itik Alabio diperoleh dengan tingkat fertilitas > dari 85% dan daya tetas > 70% (WIDODO, komunikasi pribadi). Dengan demikian untuk menghasilkan 1 ekor betina itik MA dibutuhkan sebanyak 3,36 butir telur tetas yaitu dari hasil perkalian: 1/( 0,85 x 0,70/2) = 3,36 butir. Program seleksi maupun reproduksi selanjutnya perlu memperhatikan tingkat fertilitas dan daya tetas telur itik MA agar efisiensi produksi itik MA dapat ditingkatkan. Frekuensi penampungan semen itik Untuk menentukan frekuensi penampungan semen itik yang ideal maka dilakukan penelitian tentang pengaruh frekuensi penampungan terhadap kualitas dan kuantitas semen itik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume semen yang dikoleksi tidak dipengaruhi oleh tingkat frekuensi penampungan semen yaitu berkisar dari 0,29 – 0,34 ml (SETIOKO et al., 2002). Oleh karena itu, total volume semen yang dikoleksi
122
Itik MA mampu berproduksi tinggi sampai 253 butir/ekor/tahun akan tetapi efisiensi penggunaan pakannya masih buruk yaitu dengan FCR 4,10. FCR ini masih jauh dari FCR ayam petelur yang umumnya berkisar antara 2,5. Upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan melalui pemberian pakan terbatas tidak dianjurkan. Hasil penelitian pemberian pakan terbatas dari 70 dan 85% dari ad lib. nyata menurunkan produksi telur dan bobot telur (Tabel 7). Akan tetapi efisiensi penggunaan pakan 85% dan ad lib tidak berbeda nyata yaitu masing-masing berkisar antara 3,68 – 4,13 (3,91) dan 2,88 – 3,55 (3,22). Penelitian ini mengindikasikan bahwa efisiensi penggunaan pakan itik MA yang terbaik adalah dengan pemberian pakan ad lib. dengan rataan nilai FCR 3,22. Pemberian pakan 85% ad lib. cenderung meningkatkan FCR dari 3,22 menjadi 3,91 atau dengan kata lain menurunkan efisiensi penggunaan pakan. Pemberian sumber dan level protein terhadap produksi telur Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa itik gembala umumnya memperoleh sumber protein hewani berupa siput, serangga, katak dan kerang. Oleh karena itu, telah dilakukan penelitian tentang pengaruh sumber protein yaitu bungkil kedelai (nabati) atau tepung ikan (hewani) dan level protein pakan: 15,0, 17,5 dan 20,0% terhadap produksi telur itik MA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa level protein dan sumber protein tidak berpengaruh nyata terhadap umur bertelur pertama dan bobot telur pertama. Ini berarti
WARTAZOA Vol. 17 No. 3 Th. 2007
Tabel 7. Performan itik MA fase pertama umur 22 – 42 minggu dan fase kedua umur 48 – 66 minggu yang diberi ransum terbatas Konsumsi pakan (g/ekor/hari)
Jenis pakan 70%
Produksi telur (%)
Bobot telur (g/butir)
Fase 1
Fase 2
Fase 1
Fase 2
Fase 1
Fase 2
a
a
a
a
a
a
107,55
b
111,31
46,66
b
b
44,57
b
60,17
a
67,29
a
FCR Fase 1
Fase 2
a
6,47a
b
6,38
85%
130,56
134,84
64,99
57,09
61,07
69,61
3,68
4,13b
Ad lib.
154,56c
159,10c
83,31c
68,42c
67,22b
74,63b
2,88b
3,55b
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05) Sumber: KETAREN dan PRASETYO (2002)
bahwa sumber protein sama baiknya antara bungkil kedelai dan tepung ikan; level protein 15% sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi selama pertumbuhan sampai bertelur pertama dengan ketentuan bahwa pakan tersebut mengandung asam amino metionin dan lisin yang cukup (PRASETYO et al., 2004). Kebutuhan gizi itik petelur
2005) atau setara dengan 3% dari produksi daging nasional (Gambar 4). Data ini menunjukkan bahwa peran itik dalam menghasilkan daging masih sangat rendah dibandingkan dengan ternak ayam. Rendahnya konsumsi daging itik tersebut diduga karena beberapa penyebab yaitu: daging itik terkesan alot, amis dan masyarakat belum terbiasa menggunakan daging itik dalam menu sehari-hari.
Kebutuhan gizi itik petelur pada berbagai umur dapat dilihat pada Tabel 8. Pada Tabel 8 terlihat bahwa kebutuhan protein untuk starter, grower dan layer masih dalam kisaran angka yang lebar. Untuk starter, grower dan layer kandungan protein dalam pakan masing-masing berkisar antara 17 – 20%, 15 – 18% dan 17 – 19%. Kandungan energi pakan cenderung menurun sesuai pertambahan umur itik, sebaliknya kandungan kalsium cenderung naik.
Itik 3%
Ayam buras 24%
Ayam petelur 4%
Ayam pedaging 69%
PERAN ITIK SEBAGAI PENGHASIL DAGING Sumbangan itik terhadap kebutuhan daging Lebih dari 38.000 ton daging itik dikonsumsi masyarakat Indonesia pada tahun 2005 (DITJENNAK,
Gambar 4. Sumbangan unggas terhadap kebutuhan daging Sumber: DITJENNAK (2005)
Tabel 8. Kebutuhan gizi itik petelur pada berbagai umur Gizi
Starter (0 – 8 minggu)
Grower (9 – 20 minggu)
Layer (> 20 minggu)
17 – 20
15 – 18
17 – 19
Energi (kkal EM/kg)
3.100
2.700
2.700
Metionin (%)
0,37
0,29
0,37
Lisin (%)
1,05
0,74
1,05
0,6 – 1,0
0,6 – 1,0
2,90 – 3,25
0,6
0,6
0,6
Protein kasar (%)
Ca (%) P tersedia (%) Sumber: SINURAT (2000)
123
PIUS P. KETAREN: Peran Itik sebagai Penghasil Telur dan Daging Nasional
Rantai pemasaran daging itik di Tangerang dan Bekasi
Sumber daging itik Ternak itik yang dapat dijadikan sebagai sumber daging adalah: (1) itik jantan yang digemukkan, (2) itik afkir, (3) itik Serati hasil persilangan dengan itik baik dari persilangan dua arah maupun tiga arah, dan (4) itik Pekin. Sebagian besar daging itik yang dikonsumsi berasal dari hasil penggemukan itik jantan dan itik afkir. Peran itik Serati dan itik Pekin sebagai penghasil daging itik relatif masih rendah dibandingkan dengan itik jantan dan itik afkir.
Itik dapat dipasarkan di pasar Tangerang dan Bekasi dengan rantai pemasaran seperti tertera pada Gambar 5. Ternak hidup seperti itik muda, itik dara, itik afkir, itik pedaging dijual oleh peternak ke pedagang keliling (bakul) atau pedagang yang lebih besar. Ternak hidup tersebut kemudian dijual oleh para pedagang ke berbagai pedagang perantara sebelum akhirnya sampai ke konsumen akhir. Rantai pemasaran ternak itik cukup
Rumah tangga
Pedagang kecil Pedagang Pedagang besar Peternak 1. Tangerang 2. Bandung 3. Banjar 4. Cilacap 5. Pamanukan 6. Karawang 7. Indramayu 8. Cirebon
Pasar
Bakul
Bandar (pascapanen)
PKL Rumah makan
PKL itik goreng
PKL karkas itik
Konsumen akhir
Gambar 5. Pasar itik dan pedaging Bakul: pedagang keliling di desa PKL: pedagang kaki lima
124
WARTAZOA Vol. 17 No. 3 Th. 2007
panjang sehingga harga yang diterima para peternak akan jauh berkurang.
Teknologi pakan Pemberian pakan mengandung polar tinggi
TEKNOLOGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS ITIK PEDAGING Peran itik sebagai penghasil daging masih rendah dan dapat ditingkatkan melalui penelitian dan introduksi teknologi. Daging itik di Indonesia berasal dari empat sumber yaitu: (1) itik jantan muda, (2) itik betina afkir, (3) itik Serati, dan (4) itik Pekin. Balai Penelitian Ternak menghasilkan teknologi pembibitan itik petelur MA yang sekaligus juga dapat digunakan sebagai penghasil day-old duck (DOD) jantan yang mampu mencapai bobot badan 1,3 kg pada umur 8 minggu. Teknologi pembibitan Upaya pembibitan itik Serati sebagai sumber bibit itik pedaging di Indoneisa, telah dimulai beberapa tahun yang lalu dengan menyilangkan entok jantan dengan itik betina yang dikenal sebagai itik Serati. Secara alamiah itik Serati tersebut dikenal sebagai tongki hasil perkawinan antara itik jantan dengan entok betina. Perkawinan semacam ini kurang efisien menghasilkan bibit itik Serati karena entok betina yang dipakai tidak mampu menghasilkan telur yang tinggi yang akibatnya juga tidak mampu menghasilkan DOD itik Serati yang tinggi. Oleh karena itu, para peneliti di lembaga penelitian termasuk di universitas melakukan penyilangan entok jantan dengan itik betina yang mampu menghasilkan DOD lebih banyak dibandingkan dengan jika menggunakan entok betina. Berkenaan dengan itu, juga dikembangkan penelitian tentang inseminasi buatan termasuk evaluasi terhadap kuantitas dan kualitas sperma entok. Teknologi inseminasi buatan Itik betina dapat diinseminasi 2 x/minggu dengan metode vagina buatan untuk memproduksi itik Serati/pedaging. Dengan teknik IB seperti ini maka 1 jantan entok dapat membuahi 5 – 10 itik betina. Tingkat fertilitas dan daya tetas telur masing-masing diatas 70 dan 50% (SUGENG, komunikasi pribadi). Angka ini masih terus ditingkatkan melalui penelitian baik terhadap pejantan entok maupun itik betina. Volume, konsentrasi sperma, dan persentase sperma hidup dan normal tidak dipengaruhi oleh frekuensi penampungan semen. Ini berarti bahwa penampungan semen 3 kali/minggu akan meningkatkan efisiensi produksi itik Serati (SETIOKO et al., 2002).
Efisiensi penggunaan pakan telah dievaluasi dengan memberi pakan mengandung polar yang tinggi sampai dengan 50% (Tabel 9). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa rataan konversi pakan itik Serati adalah 3,47 dengan pertambahan bobot badan 1759 g/ekor pada umur 8 minggu. Tingkat penggunaan polar dalam pakan dapat mencapai 50% tanpa berpengaruh nyata terhadap produktivitas itik Serati. Ini memberi indikasi bahwa polar dapat digunakan sebanyak 50% dalam pakan itik Serati. Walaupun demikian, tingkat penggunaan polar dalam pakan itik Serati harus mempertimbangkan harga polar dibandingkan dengan bahan pakan lain terutama dedak. Harga dedak cenderung lebih murah dibandingkan dengan harga polar akan tetapi kandungan energinya lebih rendah dari polar. Tabel 9. Pengaruh pemberian berbagai level polar terhadap pertumbuhan itik Serati selama 8 minggu Level polar (%) 30 40 50 Rataan
Konsumsi pakan (g)
Pertambahan bobot badan (g)
Feed Conversion Ratio (FCR)
6059 6190 6085 6111
1776 1833 1668 1759
3,42 3,39 3,66 3,47
Sumber: KETAREN (2006a)
Pemberian pakan mengandung dedak tinggi Itik Serati tumbuh dengan baik dalam pemberian pakan yang mengandung dedak tinggi (72,5%). Penampilan itik Serati tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel tersebut menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan pakan itik pedaging (FCR) berkisar dari 4,17 – 4,58 dengan PBB 1265 – 1409 g/ekor/hari dengan penggunaan dedak tinggi. Begitu pula, FCR itik Serati yang diberi pakan bentuk pelet lebih baik dibandingkan dengan pakan dalam bentuk tepung. Tabel 10. Performan itik Serati berumur 9 minggu yang diberi pakan mengandung dedak tinggi Bentuk ransum
Konsumsi ransum (g)
PBB (g)
FCR
Mortalitas (%)
Tepung Pelet
5779a 5878a
1265a 1409b
4,58a 4,17ab
0 0
*Superskrip yang berbeda pada kolom menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)
yang
sama
Sumber: KETAREN (2006b)
125
PIUS P. KETAREN: Peran Itik sebagai Penghasil Telur dan Daging Nasional
Pertumbuhan itik dan entok pejantan sebagai sumber daging Petumbuhan itik dan entok jantan telah dievaluasi dan hasilnya menunjukkan bahwa entok jantan tumbuh jauh lebih cepat (1974 g) dibandingkan dengan itik jantan (1468 g) pada umur yang sama begitu pula efisiensi penggunaan pakan entok jantan (FCR 2,51) lebih baik dibandingkan dengan itik pejantan (FCR 4,03) (KETAREN et al., 2004). Ini memberi indikasi bahwa efisiensi penggunaan pakan itik pejantan masih perlu diperbaiki melalui pendekatan nutrisi dan manajemen pemberian pakan, misalnya dengan penetapan kebutuhan gizi itik pejantan, bentuk pakan dan manajemen pemberian pakan seperti frekuensi dan bentuk tempat pakan. Kebutuhan gizi itik pedaging Perhatian terhadap pengembangan itik Serati di Indonesia relatif masih sangat baru. Oleh karena itu, masih banyak aspek teknologi yang perlu diteliti khususnya untuk kondisi Indonesia termasuk informasi tentang kebutuhan gizi. Oleh karena itu, kebutuhan gizi untuk itik Serati pada masa starter dan grower rekomendasi CHEN (1996) untuk sementara dapat dipergunakan (Tabel 11). Dalam Tabel 11 tersebut dapat dilihat bahwa kebutuhan protein dan energi pada masa starter relatif sedikit lebih rendah dibandingkan dengan rekomendasi untuk itik petelur. Ini berarti harga pakan itik Serati dapat sedikit lebih murah dibandingkan dengan itik petelur. Kebutuhan gizi untuk itik Pekin (itik pedaging) menggunakan rekomendasi NRC (1994) seperti tertera pada Tabel 12. Tabel tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan protein itik Pekin sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan itik Serati. Kebutuhan protein untuk starter dan grower masing-masing 22 dan 16%. Hal ini berkaitan dengan kecepatan tumbuh itik Pekin juga lebih baik dibandingkan dengan itik Serati. Rekomendasi ini selanjutnya akan disempurnakan setelah diperoleh data hasil penelitian dari dalam negeri. Tabel 11. Kebutuhan gizi itik Serati dari umur 0 – 10 minggu Gizi Protein kasar (%) Energi (kkal EM/kg) Metionin + sistin (%) Lisin (%) Ca (%) P tersedia (%) Sumber: CHEN (1996)
126
Starter (0 – 3 minggu) 18,70 2.900 0,69 1,10 0,72 0,42
Grower (4 – 10 minggu) 15,40 2.900 0,57 0,90 0,72 0,36
Tabel 12. Kebutuhan gizi itik Pekin pada berbagai umur Starter (0 – 2 minggu)
Grower (2 – 7 minggu)
Bibit
Protein kasar (%)
22,00
16,00
15,00
Energi (kkal EM/kg)
2.900
3.000
2.900
Metionin (%)
0,40
0,30
0,27
Lisin (%)
0,90
0,65
0,60
Ca (%)
0,65
0,60
2,75
P tersedia (%)
0,40
0,30
-
Gizi
Sumber: NRC (1994)
PERAN ITIK SEBAGAI PENGHASIL BULU Peran itik sebagai penghasil bulu belum banyak diteliti di Indonesia. Akan tetapi statistik peternakan mencatat bahwa nilai ekspor bulu itik (bebek) pada tahun 2004 = US $ 294.800 (= 0,08% ) atau setara dengan 269.400 kg. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil review di atas dapat disimpulkan bahwa ternak itik berperan sangat signifikan dalam memenuhi 16% kebutuhan telur nasional. Itik menyumbangkan telur lebih dari 180.000 ton pada tahun 2005. Disamping telur, ternak itik juga menyumbangkan 38.700 ton atau setara dengan 3% dari produksi daging unggas nasional atau sekitar 2% dari produksi daging nasional. Disamping telur dan daging, itik juga berperan sebagai penghasil bulu yang nilai ekspornya pada tahun 2005 tercatat sebanyak 294.800 dolar Amerika Serikat yang setara dengan 269,4 ton bulu itik. Ketiga produk di atas dihasilkan oleh 35 juta ekor itik yang sebagian besar dipelihara secara tradisional dengan mutu bibit yang tidak diseleksi, penyediaan pakan yang tidak teratur dan digembalakan dari satu tempat ke tempat lain. Tingkat produksi telur itik gembala umumnya masih rendah yaitu antara 100 – 150 butir per tahun. Berbagai teknologi produksi itik telah banyak dipublikasikan dan potensial digunakan oleh peternak untuk meningkatkan produktivitas itik tersebut. Peningkatan penghasil telur dan daging itik dapat dilakukan melalui perbaikan teknologi seperti: (1) teknologi bibit dalam menghasilkan bibit yang lebih unggul seperti itik MA, (2) teknologi reproduksi untuk menghasilkan bibit yang baik dan relatif terjangkau masyarakat, (3) teknologi pakan untuk menyediakan pakan yang cukup mutu maupun jumlah dan efisien, serta (4) perbaikan sistem pemeliharaan yang lebih sesuai.
WARTAZOA Vol. 17 No. 3 Th. 2007
DAFTAR PUSTAKA APRIYANTONO, A. 2006. Pembangunan Pertanian Indonesia. Departemen Pertanian RI, Jakarta.
di
CHAVEZ, E.R. dan A. LASMINI. 1978. Perbandingan Performan Itik-Itik Petelur Pribumi Indonesia. Laporan Pusat No. 6. Centre for Animal Research and Development, Bogor, Indonesia. CHEN, T.F. 1996. Nutrition and feedstuffs of ducks. In: The Training Course for Duck Production and Management. Taiwan Livestock Research Institute, Monograph No. 46. Committee of International Technical Cooperation, Taipei. DITJENNAK. 2004. Statistik Peternakan 2004, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. 200 hlm. DITJENNAK. 2005. Statistik Peternakan 2005. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. 229 hlm. FAISAL, Y. 2006. Peranan lembaga legislatif dalam menunjang program kecukupan daging sapi 2010. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 5 – 6 September 2007. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 11 – 15. HY-LINE INTERNATIONAL. 1986. Hy-Line Variety Brown, Commercial Management Guide. A publication of Hy-line international, West Des Moines, Iowa, USA. INDIAN RIVER INTERNATIONAL. 1988. Broiler Management Guide. A publication of Indian River International, Nacogdoches, Texas, USA. KETAREN, P.P. 2006a. Optimalisasi pemanfaatan wheat bran untuk produksi daging unggas melalui suplementasi enzim xilanase dan β–glukanase: Itik pedaging. Pros. Seminar Nasional Bioteknologi. Cibinong, 15 – 16 Nopember 2006. Puslit Bioteknologi, LIPI, Cibinong. hlm. 325 – 331. KETAREN, P.P. 2006b. Pengaruh suplementasi enzim ke dalam pakan mengandung dedak tinggi terhadap performan itik pedaging. Pros. Seminar Nasional Bioteknologi. Cibinong, 15 – 16 Nopember 2006. Puslit Bioteknologi, LIPI, Cibinong. hlm. 134 – 139. KETAREN, P.P. dan L.H. PRASETYO. 2000. Produktivitas itik silang MA di Ciawi dan Cirebon. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua – Bogor, 18 – 19 September 2000. Puslit Peternakan, Bogor. hlm. 198 – 205. KETAREN, P.P. dan L.H. PRASETYO. 2002. Pengaruh pemberian pakan terbatas terhadap produktivitas itik silang Mojosari X Alabio (MA): 2. Masa bertelur fase kedua umur 44 – 67 minggu. JITV 7(2): 76 – 83. KETAREN, P.P., L.H. PRASETYO dan A.R. SETIOKO. 2004. Pengaruh Status Nutrisi terhadap Pertumbuhan dan Reproduksi Itik dan Entok Pejantan. Kumpulan HasilHasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 2004, Buku II: Ternak Non Ruminansia. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
KETAREN, P.P., L.H. PRASETYO, A.R. SETIOKO dan B. WIBOWO. 2005. Ketersediaan teknologi mendukung pengembangan pasar produk itik. Makalah dipresentasikan pada acara Lokakarya Pasar Itik. Ciawi, 28 Juli 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. NATIONAL RESEARCH COUNCIL. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. National Academy Press, Washington, D.C. NUGRAHA, I., Y.C. RAHARJO, S. WIRIANATA, A. SUMARTINI, L.H. PRASETYO, A.P. SINURAT, S. WENING, H., P. HARDJOSWORO, HERNOMOADI, B. WIBOWO, T. SUSANTI, KOESMAYADHIE, T.P., Y. SUKMAYASA, SANTOSO, L. NAFISAH, D. SARTIKA dan R. SALIM. 1995. Studi potensi pengembangan usaha ternak itik di Jawa Barat. Dinas Peternakan Jawa Barat dan Balai Penelitian Ternak. PRASETYO, L.H. dan T. SUSANTI. 1997. Persilangan timbal balik antara itik Tegal dan Mojosari: I. Awal pertumbuhan dan awal bertelur. JITV 2(3): 152 – 156. PRASETYO, L.H., P.P. KETAREN, A.R SETIOKO, E. JUARINI, SUMANTO, T. SUSANTI, B. WIBOWO, D. ANDRINITA, S. SOPIANA, E. GUSTIANI dan P. SETIADI. 2004. Pembibitan Itik Lokal sebagai Komponen Pengembangan Agribisnis Itik. Buku II: Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN TA 2004. Ternak Non Ruminansia. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. RIADY, M. 2006. Kebijakan program swasembada daging 2010. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 5 – 6 September 2007. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 3 – 15. SETIOKO, A.R., P. SITUMORANG, D.A. KUSUMANINGRUM, T. SUGIARTI, E. TRIWULANNINGSIH dan R.G. SIANTURI. 2002. Pengaruh frekuensi penampungan sperma itik dan entog terhadap kualitas sperma sebelum dan sesudah dibekukan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 30 September – 1 Oktober 2002. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 309 – 312. SETIOKO, A.R. 1990. Pola pengembangan peternakan itik di Indonesia. Pros. Temu Tugas Sub Sektor Peternakan No.5: Pengembangan usaha ternak itik di Jawa Tengah. Ungaran, 9 Januari 1990. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. hlm. 17 – 24. SETIOKO, A.R. 1998. Penetasan telur itik di Indonesia. Wartazoa 7(2): 40 – 46. SETIOKO, A.R., A.P. SINURAT, P. SETIADI A. LASMINI, P. KETAREN dan A. TANUWIDJAJA. 1992. Pengaruh perbaikan nutrisi terhadap produktivitas itik gembala pada masa boro. Pros. Agroindustri Peternakan di Pedesaan. Ciawi – Bogor, 10 – 11 Agustus 1992. Balai Penelitian Ternak, Ciawi – Bogor. hlm. 428 – 439. SETIOKO, A.R., A.P. SINURAT, P. SETIADI dan A. LASMINI. 1994. Pemberian pakan tambahan untuk pemeliharaan itik gembala di Subang-Jawa Barat. Ilmu dan Peternakan. 8(1): 27 – 33. SINURAT, A.P. 2000. Penyusunan ransum ayam buras dan itik. Pelatihan Proyek Pengembangan Agribisnis Peternakan. Jakarta, 20 Juni 2000. Dinas Peternakan DKI Jakarta.
127