PENYELENGGARAAN SENI PERTUNJUKAN TEATER SEBAGAI EKSPRESI HAK SENI DAN BUDAYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA MENURUT UNDANG UNDANG DASAR 1945
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : Joko Febriyanto NIM : E 0003211
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PENYELENGGARAAN SENI PERTUNJUKAN TEATER SEBAGAI EKSPRESI HAK SENI DAN BUDAYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA MENURUT UNDANG UNDANG DASAR 1945
Disusun oleh: JOKO FEBRIYANTO NIM: E. 0003211
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing Skripsi
MARIA MADALINA,S.H., M.Hum NIP. 131 597 041
Co. Pembimbing
ISHARYANTO,S.H., M.Hum NIP.132 306 584
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) PEYELENGGARAAN SENI PERTUNJUKAN TEATER SEBAGAI EKSPRESI HAK SENI DAN BUDAYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA MENURUT UNDANG UNDANG DASAR 1945
Disusun oleh: JOKO FEBRIYANTO NIM: E. 0003211
Telah diterima dan disahkan oleh TimPenguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada: Hari Tanggal
:………………………. :………………………. TIM PENGUJI
1. Maria Madalina, S.H., M.Hum :…………………………….. Ketua
2. Isharyanto, S.H., M. Hum
:……………………………...
Sekretaris
3. Sunny`Ummul`Firdaus,S.H.,M.H:…………………………… Anggota
MENGETAHUI Dekan,
Mohamad Jamin,S.H.,M.Hum. NIP 131 570 154
MOTTO
“Ketahuilah, senjata tiada menyinggung hidup; Api tiada membakar, tiada air membasahi Tiada angus oleh angina yang panas. Tiada tertembusi, Tiada terserang, tidak terpijak dan merdeka Kekal abadi, dimana-mana, tetap tegak, Tiada tampak, terucapkan tiada, Tiada terangkum oleh kata, pikiran, senantiasa pribadi tetap Begitulah disebut jiwa” (Bagawad Gita)
PERSEMBAHAN Sepenggal karya kecil nan sederhana ini kupersembahkan untuk : 1. Allah
SWT
Tuhan semesta alam
2. Nabi Muhammad Saw, seorang Rasul yang
menjadi
panutan
dan
suritauladan bagi umat manusia. 3. Bapak dan simak yang tercinta 4. Adikku
Uswatun
Khasanah
yang
molek. 5. Seseorang pendampingku
yang suatu
akan saat
menjadi nanti,
yang selalu kutunggu dan kunanti,
seorang Rembulan yang jelita dan
.
mengerti akan diriku
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam atas segala Penciptaan-Nya, Keagungan dan Kebesaran-Nya. Shalawat serta salam bagi sang teladan Nabi Muhammad SAW. Atas rahmat dan pertolongan-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) dengan judul “PENYELENGGARAAN
SENI
PERTUNJUKAN
TEATER
SEBAGAI
EKSPRESI HAK SENI DAN BUDAYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA MENURUT UNDANG UNDANG DASAR 1945 ”. Dalam menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) dan sepanjang perjalanan hidup Penulis tidak lepas dari bimbingan dan bantuan yang sangat berarti dari banyak pihak. Untuk itu, perkenankanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 2. Ibu Maria Madalina, S.H., M.Hum, dan Bapak Isharyanto, S.H., Mum. selaku dosen Pembimbing Penulisan Hukum yang telah memberikan bantuan, masukan, dan motivasi kepada penulis dalam menyusun skripsi ini 3. Bapak Hernawan Hadi, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik yang selalu memberikan nasehat dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 4. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah banyak memberikan ilmu dan membantu penulis selama masa perkuliahan hingga dinyatakan mendapat gelar Sarjana Hukum.
5. Segenap Pimpinan dan Staf Taman Budaya Jawa Tengah, yang telah memberikan tempat bagi penulis untuk mengadakan penelitian dan mengapresiasikan karya. 6. Bapak Maryadi dan Simak Komariyah terima kasih atas segala kesabaran, cinta dan do’a yang senantiasa menyertai setiap perjuangan dan langkah penulis dalam mengarungi dunia yang kejam ini. Dan sungguh tidak semua mahasiswa bisa mengarungi perkuliahan sampai semester 10. 7. Keluarga besar laboratorium seni Teater Delik, yang sudah menyadarkan penulis akan arti ”proses”. Dan percayalah bahwa sekarang aku telah berubah. Tidak lupa terimakasih kepada: Ompiq, Coro, Kandam, Manyul( ”aku selalu merindukanmu”), Cahyo Gorndong, Heni ”Limbuk”, Dimas”Genjik”,Nanat, Vivi, Nova. Junior-junior Surip, Pengky, Tabiez, Dodik, Laila, Zingkong, Prima ,Aci, Bete, Denox, Kucluk, Irma, Paijo, Tembong, Dina, Ermel, Umar, Pongge, Makrus, Murti, Manuk, Nanang, Budi, Opalah, Novita, Bambang, Pambudi,Sinta, Gori dan junior angkatan 2007.”Berbahagialah sekarang tidak ada lagi yang membuat jengkel kalian”. Maafkan bila tidak tertulis semua karena ini bukan buku absen. 8. Keluarga Besar Kelik Budiyono A.Ptnh. M.M, atas segala bantuan dan nasehat yang tiada terlupa. ”Maafkanlah keponakanmu yang ganteng ini” 9. Mas-masku, mas Joto, mas joko, mas Pur, mas Wi terimakasih atas bantuanya ketika aku dalam keadaan ”nista”. 10. Korps ”security” FH UNS, Kang Jekek ”Cethol”, Kang Do, Kang Ranto, Kang Giyatman, Kang Rachmadi, Kang Harno, Mas Tarto, Pak Mar, Kang Slamet. Terimakasih untuk obrolan pelepas malamnya, selama penulis merasakan kebosanan di kampus. 11. Parkiran Crew: Didit ” enos”, Kakek, Billy, Panji, Asmin dan crew parkiran lain yang telah lulus, yang telah memberi warna tersendiri bagi penulis. 12. Keluarga besar kost Islah, Iwok, AfiF, Mamad, BaYu, FaJar. Lan kagem keluarga bapak kos (sekeluarga). Keluarga besar Kost InterMezooo, trimakasih atas tumpangan singkatnya.
13. Keluarga besar Eva Rosdiana Fans Club, yang telah menjadi buah pemikiran dan inspirasi bagi penulis. Keluarga besar IKAMMAS ( Ikatan Mahasiswa Magelang di Surakarta). 14. Keluarga besar Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta terutama angkatan 2003 yang telah lulus maupun belum, yang telah banyak memberi inspirasi, dan untuk angkatan 2004, 2005, 2006, 2007 kalian telah membuatku tampak tua. Terakhir, untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga Penulisan Hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis dan siapa saja yang membacanya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Surakarta, Februari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...………………………………………………………...
i
HALAMAN PERSETUJUAN...………………………………………………
ii
HALAMAN PENGESAHAN…..…………………………………………….
iii
HALAMAN MOTTO..………………………………………………………..
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN..……………………………………………..
v
KATA PENGANTAR..……………………………………………………….
vi
DAFTAR ISI..………………………………………………………………… viii DAFTAR GAMBAR..………………………………………………………...
x
DAFTAR TABEL.……………………………………………………………
xi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….
xii
ABSTRAK.…………………………………………………………………... xiii BAB I.
PENDAHULUAN.……………………………………………….
1
A. Latar Belakang Masalah.………………………………………
1
B. Perumusan Masalah.…………………………………………...
5
C. Tujuan Penelitian.……………………………………………...
5
D. Manfaat Penelitian.…………………………………………….
6
E. Metode Penelitian.…………………………………………….
7
F. Sistematika Penelitian.………………………………………… 12 BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA.…………………………………………
13
A. Kerangka Teoritis.…………………………………………….. 13 1. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia…………….. 13 a. Pengertian Hak Asasi Manusia..……………………….13 b. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia...................15 c. Sejarah Perkembangan Dan Pemikiran Hak Hak
Asasi Manusia Di Indonesia...........................................18 d. Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Aamandemen UUD 1945…………………….……..…………………20 e. Bentuk- Bentuk Hak Asasi Manusia……………………23 2. Tinjauan Umum Tentang Seni a. Pengertian Tentang Seni………………………………..24 b. Tentang Seni Teater…………………………………….25 B.Kerangka Pemikiran.........…………………………………………26 BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.……………………29 A. Penyelenngaraan Seni Pertunjukan Teater Merupakan Ekspresi Hak Seni Dan Budaya Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia Menurut UUD 1945……….……………………34 B. Kendala-Kendala Hukum Yang Muncul Untuk Penyelenggaraan Seni Pertunjukan Teater Sebagai Ekspresi Hak Seni Dan Budaya Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia Menurut UUD1945…………………………………………...……………61
BABIV. PENUTUP……………………………………………………………..63 A. Kesimpulan…………………………………….…………………63 B. Saran………………………………………….…………………..64 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Kerangka Pemikiran…………………….……………………
26
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia sejatinya merupakan entitas yang terdiri dari unsur materiil (jasad) dan immateriil (ruh / jiwa, rasa dan akal pikiran). Meskipun seni budaya merupakan hasil akhir dari pertautan serasi antara unsur materiil dan immateriil, namun hampir setiap orang bersepakat bahwa seni budaya adalah makanan jiwa seperti halnya nasi, lauk-pauk, sayur mayur dan buahbuahan bagi jasad Kita. Aktifitas seni dan budaya, khususnya pertunjukan seni teater sejatinya merupakan kegiatan yang selalu melekat dalam kehidupan manusia. Tingkat kemajuan suatu bangsa salah satunya diukur dari tingkat budayanya, baik budaya masa lampau maupun budaya kontemporer. Dalam ranah seni budaya khususnya teater, dapat diidentifikasi banyak hal yang saling terkait di dalamnya, diantaranya hak untuk bebas dari rasa takut atas hasil seni budaya (pertujukan teater) yang dihasilkan, hak untuk mengembangkan diri melalui seni dan budaya, dan hak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani. Hak setiap orang untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari seni budaya dijamin dalam Konstitusi Republik Indonesia yaitu Pasal 28 C Ayat 1 yang berbunyi ”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga ditegaskan bahwa ”setiap orang berhak untuk
mengembangkan dan memperoleh manfaat dari seni dan budaya demi kesejah teraan pribadi, bangsa dan umat manusia”. Dalam perturan lain yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Konvensi Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Right juga mengatur hal –hal mengenai perlindungan kebudayaan. Pasal 15 1.”Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang: (a) Untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya; (b) Untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya; (c) Untuk memperoleh manfaat dari perlindungan atas kepentingan moral dan material yang timbul dari karya ilmiah, sastra atau seni yang telah diciptakannya.” 2. ”Langkah-langkah yang harus diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwujudan sepenuhnya dari hak ini, harus meliputi pula langkah-langkah yang diperlukan guna melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan” 3.”Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan yang mtlak diperlukan untuk penelitian ilmiah dan kegiatan yang kreatif.” 4. “Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui manfaat yang akan diperoleh dari pemajuan dan pengembangan hubungan dan kerjasama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan.” Sebagian orang atau lebih difokuskan pada seniman biasanya menggunakan
pertunjukan
seni
teater,
untuk
berkomunikasi
dan
menyampaikan pendapat, baik itu berupa masukan, kritikan maupun rasa tidak setuju terhadap sesuatu. Sebenarnya pertunjukan seni teater merupakan salah satu hak asasi manusia. Hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut, dalam Pasal 28 C dikatakan secara tegas bahwa ”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Hal ini dapat diartikan bahwa pertunjukan seni teater pada sejatinya merupakan bagian dari kebudayaan, yang sudah barang tentu selayaknya dijamin dan dilindungi penyelenggaraannya.
Pertunjukan penyelenggaraannya
seni
teater
harus
karena termaktub
dijamin dalam
dan
perturan
dilindungi per-Undang-
Undangan, antara lain: UUD 1945 Pasal 28 C Ayat (1), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 13 dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Konvensi Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Right Pasal 15 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3),dan Ayat (4). Walaupun dalam ketiga peraturan perundangan tersebut tidak disebutkan secara tegas kata pertunjukan seni teater, tetapi bahwa seni pertunjukan teater merupakan bagian dari seni dan budaya. Seni dan budaya sendiri dapat dibagi menjadi beberapa unsur yaitu: sni rupa, seni musik, seni tari dan seni teater. Berdasarkan alasan diatas sudah selayaknya para pekerja teater tidak perlu takut dan risau dalam menampilkan karyanya. Tidak perlu takut, karena pertunjukan seni teater merupakan sesuatu hak yang dijamin oleh Konstitusi. Realitas menunjukkan bahwa selama ini pertunjukan seni teater lebih dipandang sebagai kegiatan karikatif sekelompok orang yang hendak mengekspresikan atau merefleksikan sisi kehidupan menusia semata. Masih sedikit orang yang paham bahwa sesungguhnya seni pertunjukan teater merupakan hak asasi yang dilindungi dalam berbagai instrumen Hak Asasi Manusia, baik di tingkat internasional maupun tingkat nasional. Sayangnya, kekeliruan memandang seni pertunjukan teater tersebut tidak hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat saja, tetapi juga oleh kalangan peguasa negara, yakni pemerintah. Tetapi karena kurangnya kesadaran dari para pengambil keputusan tentang betapa pentingnya membangun bangsa yang pluralis agar tetap bersatu melalui pendekatan budaya. Banyak gagasan dari para pendahulu yang telah dilontarkan untuk memajukan seni pertujukan teater dan membangun bangsa melalui kebudayaan. Tetapi realisasi dari berbagai
gagasan itu belum mendapatkan dukungan yang konkret. Proyek-proyek di bidang
kebudayaan
cenderung
dinilai
“tidak
mendesak”,
“proyek
pemborosan”, “kurang memiliki nilai strategis dan ekonomis”, bahkan ada yang mengibaratkan “Republik ini tidak akan runtuh”, jika proyek kebudayaan ditunda Akibat dari kekeliruan cara pandang Pemerintah dan masyarakat tehadap seni pertunjukan teater tersebut, sejarah mencatat bahwa dalam perjalanan Republik Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945 pernah terjadi berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya hak atas seni dan budaya seperti pelarangan pertunjukan Teater Koma Jakarta, Teater Gandrik Yogyakarta, penerbitan karya-karya sastra Pramoedya Ananta Toer, pelarangan pertunjukan kesenian barongsai, pemenjaraan seniman teater yang dianggap terlalu keras mengkritik Pemerintah dalam karya seninya, dan tentu saja pencekalan dan pelarangan berbagai pentas teater yang dianggap terlalu mengkritik pemerintah. Seni pertunjukan teater dalam pertumbuhannya sering mengalami benturan-benturan yang mengakibatkan adanya represi atau penghilangan eksistensi dengan pelbagai penyebab. Peristiwa penting yang menjadi ingatan kolektif bangsa Indonesia antara lain penangkapan para demonstran yang menggunakan seni teater dalam menyampaikan kritik-kritiknya. Benturan yang terjadi sering menggunakan dalih ideologi-estetika. Benturan-benturan yang lain juga masih terjadi dengan dalih yang berbeda-beda. Keberadaan seni pertunjukan teater yang dihidupi suatu kelompok atau individu terkadang dipermasalahkan karena perbedaan atau pertentangan cara pandang. Represi terjadi karena penolakan atau vonis bahwa eksitensi suatu seni pertunjukan teater dianggap tidak memenuhi kriteria estetika dan implikasinya terhadap persoalan etika, agama, hukum, tradisi, pandangan politik, dan lain- lain.
Berdasarkan uraian datas maka penulis tertarik untuk meneliti dan menyusun skripsi dengan judul sebagai berikut:”PENYELENGGARAAN SENI PERTUNJUKAN TEATER SEBAGAI EKSPRESI HAK SENI DAN BUDAYA
DITINJAU DARI
PERPEKTIF HAK
ASASI
MANUSIA MENURUT UNDANG UNDANG DASAR 1945”. B. Perumusan Masalah Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang dikaji oleh penulis, serta mempermudah pembahasan masalah agar lebih terarah dan mendalam sesuai dengan sasaran yang tepat, maka perlu adanya perumusan masalah yang tersusun secara baik dan sistematis. Selain itu perumusan masalah diharapkan dapat memberikan arah pembahasan yang jelas, sehingga terbentuk hubungan dengan masalah yang dibahas. Bertolak dari deskripsi latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut : 1. Apakah penyelenggaraan seni pertunjukan teater merupakan ekspresi hak seni dan budaya ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia menurut UUD 1945 ? 2. Kendala-kendala hukum apakah yang muncul untuk penyelenggaraan seni pertunjukan teater sebagai ekspresi hak seni dan budaya ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia menurut UUD 1945 ? C. Tujuan Penelitian Penelitian merupakan suatu bagian pokok dari ilmu pengetahuan, yang bertujuan untuk lebih mengetahui dan lebih mendalami segala segi kehidupan. Penelitian merupakan suatu sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis (Soerjono Soekanto, 1986 : 3)
Maka berdasarkan latar belakang masalah serta permasalahan yang ada di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan : 1. Tujuan Obyektif a) Untuk mengetahui apakah penyelenggaraan seni pertunjukan teater merupakan ekspresi hak seni dan budaya ditinjau dari perspektif HAM menurut UUD 1945 . b) Untuk mengetahui kendala-kendala hukum yang muncul dalam penyelenggaraan seni pertunjukan teater sebagai ekspresi hak seni dan budaya ditinjau dari perpektif HAM menurut UUD 1945 . 2. Tujuan Subyektif a) Untuk menambah pengetahuan penulis dalam bidang hukum khususnya hukum Hak Asasi Manusia. b) Untuk menambah wawasan pengetahuan serta pemahaman penulis terhadap penerapan teori-teori yang telah diterima selama menempuh kuliah guna mengatasi masalah hukum yang terjadi dalam masyarakat. c) Untuk lebih mendalami dan menghayati tentang penyelenggaraan seni pertunjukan teater sejatinya merupakan Hak Asasi Manusia, yang sepatutnya dilindungi. d) Sebagai
bahan
patokan
dan
ancangan
penulis
dalam
mengembangkan kreatifitas di bidang seni pertunjukan teater. e) Untuk
memenuhi
persyaratan
yang
diwajibkan
bagi
setiap
mahasiswa dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Penulis berharap skripsi ini sedikit banyak bermanfaat, baik bagi penulis pada khususnya maupun bagi pembaca pada umumnya. Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan untuk mengembangkan Ilmu Hukum, khususnya di bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia. b) Dapat bermanfaat dalam mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya, di samping itu sebagai pedoman penelitian yang lain sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti. 2. Manfaat Praktis a) Dapat memberikan sumbangan pemikiran ataupun bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan Hukum Hak Asasi Manusia, khususnya tentang Hak Atas Seni Dan Budaya khususnya tentang penyelenggaraan seni pertunjukan teater yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. b) Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan bahan informasi bagi masyarakat atau para praktisi hukum tentang penegakan Hak Asasi Manusia khususnya Hak Atas Seni dan Budaya. E. Metodologi Penelitian Metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirnya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu maksud. Adapun pengertian penelitian adalah suatu kegiatan yang terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran dari suatu gejala / hipotesa yang ada. (Bambang Sunggono, 1991: 21) Dengan demikian pengertian metode penelitian adalah cara yang teratur dan sistematik secara runtut dan baik dengan menggunakan metode
ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran maupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa. 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilaksanakan penulis
termasuk dalam jenis
penelitian hukum normatif .Adapun Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1985 : 15). Jenis penelitian yang peneliti gunakan dalam Penulisan Hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Selain itu penelitian bersifat evaluatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk menilai program-program yang dijalankan (soerjono Soekanto, 1985 : 10) Penelitian hukum normatif ini menurut Soerjono Soekanto merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup: 1. Penelitian terhadap asas-asas hukum 2. Penelitian terhadap sistematika hukum (penebalan oleh Penulis) 3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal 4. Perbandingan hukum 5. Sejarah hukum (Soerjono Soekanto 2001:13-14) 2. Pendekatan Penelitian Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti atuaran-aturan yang mengatur Hak Asasi Manusia. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep HAM. 2. Jenis Data Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder, data primer didapatkan dari pengalaman penulis selama berkecimpung di dunia teater dan sejumlah interview dari beberapa seniman teater. Data sekunder penulis temukan dari informasi hasil menelaah dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literature, koran, jurnal, maupun arsip-arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas. Menurut Seorjono Seokanto, dalam bukunya Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, data sekunder dibidang hukum ditinjau dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari; 1) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 2) Peraturan Dasar (a) Batang Tubuh UUD 1945 (b) Ketetapan MPR 3) Peraturan Perundang-Undangan (a) Undang-undang dan peraturan yang setaraf (b) Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf (c) Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf (d) Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf (e) Peraturan-paraturan Daerah 4) Bahan hukum yang tidak terkodifikasi, seperti hukum adat 5) Yurisprudensi
6) Traktat 7) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti, KUHP. Dalam Penulisan ini sebagai bahan hukum primer adalah : UUD 1945 amandemen 1 sampai 4, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Uundang No. 11 Tahun 2005 tentang Konvensi Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Right . Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: 1) Hasil karya ilmiah para sarjana 2) Hasi-hasil penelitian b. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder, misalnya bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya. (Soerjono Soekanto 2001:13) 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini
adalah
menggunakan
teknik
studi
pustaka
untuk
mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan. 4. Teknik analisis data Analisis data, menurut patton (1980:268), adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Bogdan dan Taylor (1975:79) mendefinisikan anlisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu. Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil
penelitian
menjadi
suatu
laporan.
Analisis
data
adalah
proses
pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data
(Lexy J. Moleong,
2002:103). Teknik analisis data adalah suatu uraian tentang cara-cara analisis, yaitu dengan kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan pengeditan terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis yang sifatnya kualitatif. Penganalisasian data merupakan tahap yang paling penting dalam penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahanbahan hukum tertulis (Soerjono Soekanto, 1986:251). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengolahan data yang pada hakekatnya untuk mengadakan sistemisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sehingga kegiatan yang dilakukan berupa pengumpulan data, kemudian data direduksi sehingga diperoleh data khusus yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk kemudian dikaji dengan menggunakan norma secara materiel atau mengambil isi data disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan akhirnya
diambil
kesimpulan/verifikasi
sehingga
akan
diperoleh
kebenaran obyektif. Sesuai dengan jenis data yang deskriptif maka yang digunakan teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan.
Dari penjelasan di atas, maka penulis menganalisis data serta teoriteori yang telah ada untuk kemudian dihubungkan dengan ketentuanketentuan yang berlaku yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Right (Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya) F. Sistematika Penelitian Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dari penulisan hukum yang disusun, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum yang diperinci bab demi bab sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Metode Penelitian F. Sistematika Penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Berisi tentang : A. Kerangka Teoritis ·
Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia
·
Tinjauan Umum tentang Seni
B. Kerangka Pemikiran BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN – LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia a. Pengertian Hak Asasi Manusia Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan pengertian “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia” (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM). Secara harfiah yang dimaksud dengan Hak-hak Asasi Manusia adalah hak pokok atau hak dasar. Jadi hak asasi itu merupakan hak yang bersifat
fundamental,
sehingga
keberadaannya
merupakan
suatu
keharusan, tidak dapat diganggu gugat, bahkan harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan dari segala macam ancaman. Bahwa Hak asasi manusia adalah hak kodrati manusia, begitu manusia dilahirkan, langsung hak asasi manusia itu pada dirinya sebagai manusia, dalam hal ini hak asasi manusia berdiri diluar undang-undang yang ada (Suara Merdeka 21 Desember 1992: sebagaimana dikutip dalam ST. Harum Pudjiarto 1999:13) Wolhof, dalam kaitannya dengan hal tersebut diatas juga menyatakan sebagai berikut ”bahwa hak asasi manusia adalah sejumlah hak yang berakar dalam tabiat kodrati dalam setiap oknum pribadi manusia, justru karena kemanusiaannya yang tak dapat dicabut oleh siapapun
juga,
karena
jika
dicabut
hilanglah
kemanusiaannya
itu”(Wolhof, 1960: 13 sebagaimana dikutip dalam ST. Pudjiarto 1999:19).
Anton Baker memberi batasan hak asasi manusia sebagai berikut : ”berarti hak itu ditemukan dalam hakekat manusia, demi kemanusiaannya semua orang satu persatu memilikinya, tidak dapat dicabut oleh siapapun, bahkan tidak dapat dilepaskan oleh individu itu sendiri, karena hak itu bukan sekedar hak milik saja, tetapi lebih luas dari itu manusia memiliki kesadaran (berkehendak bebas berkesadaran moral)”. Manusia makhluk ciptaan Tuhan merupakan makhluk ciptaan yang tertinggi diantara makhluk ciptaan lainnya, yang didalam hidupnya manusia dikaruniai Tuhan berupa hak hidup yang merupakan hak asasi yang paling pokok yang dibawa sejak lahir di dunia sebagai anugerah Tuhan (Jurnal Filsafat Seri 2, Mei 1990). Mencermati batasan yang dikemukakan Baker tersebut di atas, maka ada sedikit perbedaan dengan batasan-batasan terdahulu, yakni Baker menekankan bahwa Hak Asasi Manusia bukan sekedar hak milik saja. Karena memang hak asasi manusia mau tidak mau harus disertai dengan tanggung jawab sebagai suatu kesadaran moral. Individu itu sendiri (penyandang hak) tidak dapat melepaskan begitu saja terhadap haknya. Seperti misalnya melepaskan hidupnya/mengakhiri hidupnya, hal itu merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia khususnya manusia itu sendiri. Suatu hal yang teramat penting dalam kaitan ini ialah bahwa bunuh diri merupakan suatu tindakan yang yang bertentangan dengan Allah sebagai pencipta, dalam arti meniadakan ke ILAHIAN ALLAH (ST.Harum Pudjiarto 1999:26). Dari berbagai pendapat tersebut di atas dapat ditarik suatu garis besar bahwa hak asasi manusia itu ada justru karena kemanusiaannya manusia itu, hal ini disebabkan karena manusia memiliki harkat dan martabat yang tidak pernah akan ada pada makhluk lain, sehingga hanya pada manusialah hak asasi itu ada padanya. Manusia diciptakan Allah dan secitra dengan-Nya, maka hak asasi dalam diri manusia itu haruslah dihormati, dilindungi serta dijunjung tinggi oleh setiap manusia lainnya.
Hak asasi manusia tidak boleh dicabut oleh siapapun, sebab pencabutan hak asasi manusia berarti hilangnya sifat kemanusian yang ada pada diri manusia. Ini berarti harkat martabat manusia sebagai ciri khas kemanusiaan manusia tidak lagi dihormati dan diakui. Hak asasi manusia merupakan sesuatu hak yang diawali, bukan sesuatu pemberian dari masyarakat atau negara, hak itu adalah hak hidup dengan segala kebebasaanya untuk menyatakan cipta, karsa dan rasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (ST. Harum Pudjiarto 1999:35). Berlandaskan dari uraian diatas, maka Hak-hak Asasi Manusia meliputi keseluruhan penjabaran dari hak hidup itu, atau segala sesuatu usaha untuk kelangsungan hidup manusia. Hak- hak itu antara lain: Hak untuk memperoleh perumahan yang layak; Hak untuk memperoleh kesehatan; Hak untuk memperoleh lingkungan yang sehat; Hak untuk memperoleh pekerjaan; Hak untuk memilih pasangan hidupnya; Hak untuk
memeluk
suatu
agama/kepercayaan;
Hak
untuk
untuk
berbicara/mengemukakan pendapat; Hak untuk memperoleh pendidikan dan kebudayaan; Hak untuk berserikat dan berkumpul; dan masih banyak hak-hak asasi lainnya. b. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen. Sejak saat itu sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja
terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah berketetapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya. Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Montesqueu. Pada saat itu di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu. Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan
tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya. Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941 adalh sebagai berikut: "The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical agression against any neighbor-anywhere in the world" (Encyclopedia Americana, hal. 654).
Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal
dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut harus diakui dan diratifikasi oleh Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa- Bangsa di dalam peraturan perundang-undangan negara masingmasing.
c. Sejarah Perkembangan Dan Pemikiran Hak Hak Asasi Manusia Di Indonesia Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika pada saat itu dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik ke luar (antar negaranegara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya. Pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat, dengan demikian setiap pelanggaran atau
penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan. Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apapun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua. Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterapkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan atau pangkal tolak munculnya pemikiran hak asasi manusia di Indonesia kita bisa melakukan pengkajian sejarah lahirnya negara Indonesia. Pada masa penjajahan, sejarah menunjukkan bahwa negara Indonesia pernah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, kemudian dijajah oleh Jepang selama 3,5 tahun. Penjajahan tersebut bukan hanya orang-orangnya saja, melainkan seluruh
aspek kehidupan ( IPOLEKSOSBUD HANKAM ) bangsa Indonesia dijajah. Realitas saat itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tidak sempat berfikir tentang hak asasi manusia. Praktis hak asasi manusia Indonesia yidak dihormati dan tidak dihargai sebagai manusia yang bermartabat. Kemiskinan, kebodohan, penderitaan, mewarnai Bangsa Indonesia saat itu, apa yang ada dalam benak pemikir bansa Indonesia hanyalah bagaimana melawan penjajah, penindasan, perkosaan yang merusak dan tidak menghargai martabat manusia Indonesia. Setelah mengakhiri masa penjajahan, bangsa Indonesia masuk pada masa kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Suatu hal yang istimewa dan luar biasa terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan disahkannya UUD 1945. Di dalam pembukaaa (Preambule) alinea pertama dan ke empat menunjukkkan dengan jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 penuh dengan muatan hak asasi manusia. Pernyataan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, mengandung pula arti atau makna kemerdekaan terhadap setiap manusia sebagai individu anggota masyarakat. Dengan perkataan lain pada alinea pertama ini merupakan pernyataan hak asasi manusia sekaligus hak asasi masyarakat. Mencermati alinea pertama dan keempat Pembukaan UUD 1945 pada khususnya dan keseluruhan alinea Pembukaan UUD 1945 pada umumnya dan kita bandingkan dengan Universal Declaration of Human Rights 1948 (UDHR 1948), dari sudut pandang sejarah pemikran hak asasi manusia, maka kita bangsa Indonesia telah lebih dahulu menyatakan pada dunia tentang kemerdekaan sebagai pernyataan hak asasi manusia. Dengan perkataan lain Pembukaan UUU 1945 merupakan piagam atau pernyataan hak asasi manusia di Indonesia.
d.
Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Amandemen UUD 1945 Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, praktis secara yuridis UUD 1945 belum untuk mengalami perubahan. Dalam pratek ketatanegaraan sejatinya sudah mengalami perubahan berulang kali. Perubahan yang tejadi sebenarnya hanyalah bermakana penafsiran, artinya pelaksanaan UUD 1945 yang dalam kurun waktu demokarasi terpimpin dan demikrasi Pancasila (Orde Baru) harus diletakkan secara murni dan konsekuen ternyata hanya sebatas retorika politik dari pemegang kekuasaan di masing-masing era tersebut. Praktek ketatanegaraan justru jauh dari nilai-nilai demokrasi dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia sebagaimana digariskan UUD 1945 1945. Langgam kekuasaan justru bersifat sentralistik, otoriter, dan hegemonis. Ini semua akibat prinsip executive heavy yang dikembangkan oleh UUD 1945 itu sendiri. Kekuasaan Pesiden sebagai mandataris MPR telah merambah ke kuasaan lain yang pada akhirnya mengakibatkan pelaksanaan konsep kedaulatan rakyat menjadi semu (B Hestu Cipto Handoyo 2004:278). Gerakan reformasi yang digulirkan mahasiswa sejak permulaan tahun 1998 ternyata telah mengubah peta kekuasaan dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Terkait dengan hal ini, kesakralan UUD 1945 yang pernah dicanangkan oleh rezim kekuasaan di Indonesia, mulai diganggu gugat. Pendek kata perubahan suatu konstitusi di dalam suatu negara merupakan sebuah keniscayaan. Dengan kondisi yang demikian inilah, maka terjadi paradigma baru dalam wacana politik dan ketatanegaraan Indonesia, yakni dengan lebih membuka diri untuk mengembangkan
prinsip-prinsip
demokrasi
penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia.
pemerintahan
dan
Terkait
dengan
kesadaran
seperti
ini,
Ketetapan
MPR
NO.XVII/MPR/1998 di dalam konsideran Menimbang meyatakan, “Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut manghormati hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa- Bangsa serta
berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia”. Dengan adanya ketetapan MPR inilah, maka mulai tahun 1998 Pemerintah Indonesia dan berbagai komponen Supra struktur politik lainnya mulai melakukan
berbagai
langkah
untuk
merumuskan
dan
mengimplementasikan hak-hak asasi manusia sebagaimana tertuang di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Di dalam pasal 1 Ketetapan
MPR
No.XVII/MPR/1998
secara tegas
menyatakan
:
“Menugaskan kepada lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur
Pemerintah,
untuk
menghormati,
menegakkan
dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai hak-hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat”. Lebih lanjut di dalam Pasal 2 juga dinyatakan: “Menugaskan
kepada
Presiden
Republik
Indonesia
dan
Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”. Di dalam Amandemen IV UUD 1945, pengaturan mengenai hak asasi manusia tercantum di dalam Bab X, Bab XA dan Bab XI. Lebih lanjut, secara khusus pengaturan mengenai Hak-Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang seni dan budaya adalah Pasal 28 C ayat (1) adalah sebagai berikut: ”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Disamping UUD 1945 Pasal 28 C ayat (1) Pengaturan Hak Asasi Manusia tentang seni dan budaya di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain yaitu : TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia khusunya Pasal 13. Undangundang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Right (Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya) Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4). e. Bentuk Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia dapat digolongkan atau dibagi dalam beberapa hak, antara lain: 1) Hak Sipil dan Politik, terdiri dari: a) Hak hidup. b) Larangan perbudakan. c) Larangan penganiayaan. d) Larangan penangkapan, penahanan, atau pengasingan yang sewenang-wenang. e) Hak atas pemeriksaan pengadilan yang jujur. f) Hak atas kebebasan bergerak. g) Hak atas harta benda. h) Hak atas berpikir, menyuarakan hati nurani, dan beragama. i) Hak atas kebebasan mengemukakan pendapat dan mencurahkan pemikiran. j) Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat. k) Hak untuk turut serta dalam pemerintahan. l) Hak suaka/kebangsaan. m) Hak mendapat perlindungan dari masyarakat atas keluarga. n) Hak memperoleh kewarganegaraan.
o) Larangan propaganda dan kebencian perang. 2) Hak sosial, Ekonomi dan Budaya, terdiri dari: a) Hak atas pekerjaan dan upah yang layak. b) Hak atas taraf hidup yang layak, termasuk untuk mendapatkan makanan, pakaian, perumahan, dan kesehatan. c) Hak atas pendidikan yang baik. d) Hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, ambil bagian dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan hak atas perlindungan kepentingan moral dan material yang timbul dari hasil karya cipta seseorang dalam bidang ilmu, sastra, dan seni. 2.
Tinjauan Umum Tentang Seni a. Pengertian Tentang Seni Seni sebuah kata dengan banyak makna yang didefisinikan berbeda oleh setiap orang, sehingga kata seni tersebut seakan-akan tidak memiliki makna secara harafiah (kata per kata) bahkan cenderung diartikan secara panca indera yaitu dilihat, didengar, dirasa. Tentu saja hal tersebut lebih mengarah pada suatu kesan yang indah, cantik, unik, menarik dan ornamental (berhias). Seni adalah suatu sifat atau kesan yang apabila diupayakan melalui suatu dapat menjadi karya seni atau pada umunya disebut kesenian. Ada juga sebagian orang yang begitu tertariknya dan mendalami seni atau yang biasa disebut seniman, berusaha mendefinisikan tentang apa yang disebut dengan seni tersebut. Ada berbagai seniman yang mendefisinikan seni sebagai berikut: 1). Seni adalah luapan jiwa seseorang yang ingin disampaikan dan dituangkan suatu media berupa dwimatra, trimatra, suara, gerak, ataupun yang lainnya.
2). Seni merupakan kretifitas seseorang untuk mewujudkan sesuatu yang mempunyai nilai kegunaan dan estetika bagi diri sendiri dan orang lain. 3) Seni adalah keindahan atau sesuatu yang indah. Tentu saja masih banyak definisi-definisi lain tentang tentang seni yang dikemukakan oleh para pemerhati seni, yang pada intinya merujuk pada sebuah pengertian yang sama. Suatu muara pengertian yang merujuk pada keindahan. b. Tentang Seni Teater Seni teater merupakan cabang seni yang didalamnya menggali kemampuan kita dalam seni berperan. Kemampuan kita dalam membawakan sifat, karakter dan laku sebuah tokoh dalam sebuah cerita atau sandiwara.Teater sebagai seni peran di dalamnya terdapat beberapa unsur pokok dan unsur pendukung. Unsur-unsur pokok dalam seni peranatau teater antara lain: 1). Naskah, yaitu teks tertulis yang merupakan bahan dasar yang didalamnya berisi cerita yang biasanya berisi dialog, monolog, teks lagu soundtrack dari cerita tersebut dan hal-hal lain yang diperlukan. Naskah merupakan “benda mati” yang dapat diolah dan diadakan perubahan seperlunya oleh sutradara yang akan membawakannya tanpa menghilangkan maksud da esensi dari naskah tersebut. Naskah atau cerita yang akan dibawakan disederhanakan menjadi dua jenis aliran, yaitu: a). Realis, yaitu cerita dibawakan sesuai dengan kehidupan nyata, dengan bahasa sehari-hari, kostum dan latar pementasan juga disesuaikan mendekati kenyataan. b). Abstrak, yaitu crita dibawakan cenderung bergeser atau bahkan bertentangan dengan kenyataan, dengan bahasa yang cenderung konotatif dan tidak biasa digunakan
sehari-hari, kostum dan latar pementasan cenderung merupakan symbol-simbol dengan artian tertentu. 2.) Sutradara, yaitu seseorang yang berperan sebagai pengarah laku dalam membawakan sebuah cerita, sehingga cerita yang dibawakan dapat berjalan teratur. 3.) Pemeran, yaitu orang-orang yang membawakan laku tokoh-tokoh dalam naskah. Disamping unsur-unsur pokok diatas, masih diperlukan unsurunssur pendukung, antara lain: 1.) Setting dan lighting, yaitu latar pementasan yang menggunakan unsur artistik sesuai dengan cerita yang akan dibawakan. Setting dan lighting ini berfungsi sebagai ilustrasi suasana maupun pencahayaan dalam pementasan. 2.) Musik, yaitu komposisi-komposisi nada atau musik yang berfungsi membentuk suasana dalam setiap bagian-bagian pementasan. 3.)
Make up (tata rias), yaitu pembentuk karakter para tokoh pada wajah dan tubuh pemeran pada pementasan dengan media rias wajah (kosmetik).
B. Kerangka Pemikiran Pasal 28 C ayat (1)UUD 1945 Amandemen IV mengatur tentang hak mendapatkan pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 13 juga mengatur tentang hak setiap orang untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari seni dan budaya demi kesejahteraan pribadi, bangsa dan umat manusia. Selain itu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
International Covenant On Economic, Social And Cultural Right juga mengatur hal yang sama.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Berbicara masalah Hak Asasi Manusia dan pertunjukan seni teater sebenarnya merupakan hal yang kurang diperhatikan sejauh ini. Hak asasi manusia merupakan kebutuhan individu, oleh karena itu masyarakat memerlukan aturan hukum untuk melindungi dan menjamin hak-hak individu tersebut. Hak asasi Manusia sebenarnya adalah merupakan hak yang bersifat fundamental, sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan, tidak dapat diganggu gugat, bahkan harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan dari segala macam ancaman. Hak asasi manusia adalah hak kodrati manusia, begitu manusia dilahirkan, langsung hak asasi manusia itu pada dirinya sebagai manusia, dalam hal ini hak asasi manusia berdiri diluar undang-undang yang ada (Suara Merdeka 21 Desember 1992: sebagaimana dikutip dalam ST. Harum Pudjiarto 1999:13). Dalam pengertian lain dapat pula dikatakan bahwa hak asasi manusia adalah sejumlah hak yang berakar dalam tabiat kodrati dalam setiap oknum pribadi manusia, justru karena kemanusiaannya yang tak dapat dicabut oleh siapapun juga, karena jika dicabut hilanglah kemanusiaannya itu”(Wolhof. 1960: 13 sebagaimana dikutip dalam ST. Pudjiarto 1999:19). John Locke dan JJ Rousseau menyatakan bahwa “ pada awalnya manusia bersifat bebas secara alamiah, dia memiliki potensi dan hak-hak yang bersifat dasar, yang telah dibawanya dalam eksistensinya sebagai manusia, kemudian karena dalam kenyataannya bahwa kehidupan secara alamiah terjadi perbenturan kepentingan, maka manusia memerlukan perlindungan bersama yang dibentuk oleh anggota masyarakat itu sendiri,yang dikenal dengan kontrak sosial”. Dengan demikian muncul negara yang diharapkan dapat menjamin Hak-hak Asasi Manusia.
Berkaitan dengan hal tesebut diatas, Pdt Broto Sumedi, S.Th menyatakan:”Sebagai langkah pertama di dalam pemikiran tentang hakhak asasi manusia, kita menangkap martabat manusia sebagai pusat hak asasi manusia. Dengan kata lain untuk berfikir tentang hak asasi manusia, kita bertolak dari martabat manusia sebagai pusatnya. Begitu memang, sebab kerena martabatnya sebagai manusialah maka manusia memiliki hak-hak yang kita sebut asasi”( Sumedi, 1983:31). Hakikat manusia adalah monopluralis, yaitu memiliki unsur-unsur hakikat kemanusiaan (jamak) yang merupakan satu kesatuan. Manusia pada hakikatnya memiliki kodrat sebagai makhluk pribadi, berdiri sendiri, sehingga bersifat otonom, oleh karena itu ia memiliki hak asasi serta kebebasan tanpa ada pengecualian. Disamping itu manusia juga sebagai makhuk Tuhan, ini berarti manusia memiliki hak untuk brdoa, menyembah Tuhannya. Notonagoro menyatakan: “Sebagai makhluk yang wajar manusia memiliki susunan kodrat yaitu terdiri atas jiwa dan raga, jiwa terdiri dari akal, rasa dan karsa”. Manusia sebagai makhluk yang wajar senantiasa ingin mencapai harkat dan martabatnya untuk mewujudkan kesejahteraan melalui pengembangan akal manusia lewat pendidikan. Sehingga memperoleh pendidikan dan pengajaran merupakan hak asasi untuk mengembangkan intelektualitas, kreatifitas dan daya nalarnya. Melalui akal, rasa dan karsa manusia igin mewujudkan budaya dirinya, oleh karena itu manusia berhak untuk mencipta, menikmati kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Uraian diatas menunjukkan adanya suatu dasar penjabaran Hakhak Asasi Manusia yang dilandaskan pada sifat kemanusiaan manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, setiap negara mempunyai pandangan hidupnya sendiri-sendiri. Dengan sendirinya hak yang melekat pada diri manusia itu desesuaikan dengan kondisi dan situasi setiap negara,
walaupun tidak menutup kemungkinan ada hak-hak yang sama bagi setiap manusia di negara-negara manapun. Dalam bab terdahulu telah saya kemukakan berbagai macam hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap manusia. Berbagai macam hak-hak asasi tersebut antara lain: 3) Hak Sipil dan Politik, terdiri dari: p) Hak hidup. q) Larangan perbudakan. r) Larangan penganiayaan. s) Larangan penangkapan, penahanan, atau pengasingan yang sewenang-wenang. t) Hak atas pemeriksaan pengadilan yang jujur. u) Hak atas kebebasan bergerak. v) Hak atas harta benda. w) Hak atas berpikir, menyuarakan hati nurani, dan beragama. x) Hak
atas
kebebasan
mengemukakan
pendapat
dan
mencurahkan pemikiran. y) Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat. z) Hak untuk turut serta dalam pemerintahan. aa) Hak suaka/kebangsaan. ä) Hak mendapat perlindungan dari masyarakat atas keluarga. cc) Hak memperoleh kewarganegaraan. aa) Larangan propaganda dan kebencian perang.
4) Hak sosial, Ekonomi dan Budaya, terdiri dari: e) Hak atas pekerjaan dan upah yang layak. f) Hak atas taraf hidup yang layak, termasuk untuk mendapatkan makanan, pakaian, perumahan, dan kesehatan.
g) Hak atas pendidikan yang baik. h) Hak
untuk
turut
serta
dalam
kehidupan
kebudayaan
masyarakat, ambil bagian dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan hak atas perlindungan kepentingan moral dan material yang timbul dari hasil karya cipta seseorang dalam bidang ilmu, sastra, dan seni. Apabila dirinci secara lebih jauh maka Hak Asasi Manusia di bidang kebudayaan (cultural right) meliputi ( Harum Pudjiarto 1999:54): a) Setiap orang berhak mengembangkan/ merekayasa ilmu dan teknologi secara bebas dan bertanggung jawab. b) Setiap penciptaan ilmu, teknologi dan seni berhak atas pengakuan dan perlindungan oleh pemerintah atau badn-badan lainya yang berwenang. c) Setiap pencipta ilmu, teknologi dan seni berhak atas hak cipta dan atau hak paten atas hasil karyanya. d) Setiap pemegang hak cipta berhak menyebarluaskan ciptaannya melalui media apapun. e) Karya ilmu, teknologidan seni berfunsi sosial tanpa merugikan pihak pencipta. f) Setiap orang berhak menggunakan karya ilmu, teknologi dan seni dalam batas-batas kewajaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. g) Kebebasan memajukan/ mengembangkan ilmu, teknologi, dan seni diakui dan dilindungi oleh negara. Sejauh ini hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, ambil bagian dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan hak atas perlindungan kepentingan moral dan material yang timbul dari hasil karya cipta seseorang dalam bidang ilmu, sastra, dan seni khususnya seni teater kurang mendapat perhatian. Sampai sekarang yang menjadi pokok bahasan
permasalahan HAM hanya menyangkut masalah-masalah hak sipil dan politik, seakan-akan mengeyampingkan HAM-HAM yang lain. 1.
Kilas Balik Pertunjukan Teater Masa Lalu. Pada masa lalu ada ungkapan pahit "politik sebagai panglima," yang telah menggiring hampir setiap insan di republik ini menjadi "ketakutan”, karena hampir setiap waktu mendapatkan teror akibat ketidaksepahaman dalam masalah ideology politik, terutama dengan arus besar yang terjadi di masyarakat. Kita masih ingat dengan berbagai pentas teater "ngak-ngik-ngok," yang kemudian dengan serta-merta dianggap telah mengikis dan merusak moral bangsa karena "tidak sesuai" dengan kepribadian warisan nenek moyang. Sementara itu kita juga memahami adanya nilai-nilai pluralitas kala itu namun pada saat yang sama pemahaman itu disamarkan hanya pada tataran sloganistis dalam ungkapan bhineka tunggal ika. Dalam perkembangannya, "perbedaan paham" tumbuh menjadi konflik serta menodai pertemanan yang sudah dibangun bertahun-tahun karena masih adanya sikap toleransi tinggi yang nyaris sudah mengakar pada diri setiap insan. Kembali pada kasus pementasan teater "ngak-ngik-ngok" di atas yang direpresentasikan oleh kelompok Arswendo Atmowiloto, telah membawa mereka untuk mendekam dalam penjara, sehingga saat itu kebebasan ekspresi berkesenian memang terasa sangatlah mahal. Realita ini memang tak hanya melanda republik ini pada masa lalu, namun juga mendera anak-anak bangsa di berbagai negara yang dikuasai oleh pemerintah yang kemudian dikenal sangat otoriter. Bahkan Anthony Shay dalam bukunya yang berjudul Choreographic Politics menyatakan adanya realita faktual bahwa pada sebuah era tertentu, untuk menyebut kata raqs 'tari' pada masa pemerintahan Khomeini di Iran atau Taliban di Afganistan, orang akan menemui banyak masalah (2002: 2) Ini juga terjadi pada pertengahan dekade 1960-an pasca pemberontakan G30 S
PKI, di mana orang tak berani menyebutkan kata genjer-genjer yang diasosiasikan dengan tarian sosial yang dilakukan oleh para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), yaitu sebuah organisasi massa di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memang kemudian dilarang. Penulisan hukum ini akan,mencoba menggali berbagai kekuatan ekspresi seni teater yang pada gilirannya "disepakati" sebagai sebuah bagian dari Hak Asasi Manusia yang pada prinsipnya merupakan produk yang tidak hanya merepresentasikan identitas individu, namun lebih jauh lagi bisa berbicara banyak dalam representasi identitas kelompok, yang bukan tidak mungkin bisa pula berkembang lebih jauh lagi, dalam lingkup negara bangsa yang sudah mengalami deteritorialisasi.
Pemerintahan otoriter di masa lalu, di mana banyak terjadi rekayasa penyeragaman pola perilaku yang justru bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang bersifat sangat spesifik. Lalu apakah sekarang ini, di era reformasi yang serba bebas ini, situasi memang sudah menjadi ideal bagi seniman teater untuk mengungkapkan
kebebasan berekspresinya
maupun persentuhan pengalaman dirinya dengan fenomena kehidupannya di masyarakat? Agaknya hal ini tidak sepenuhnya menjanjikan benar. Dimensi ekonomi yang membuat kita tak lagi bisa berjalan tegak akibat beban hutang yang tak tertanggungkan lagi, ternyata juga berpengaruh pada apresiasi seni dari masingmasing individu anak bangsa ini. Sesuatu yang bersifat permukaan, namun unik, akan mengundang perhatian dan simpati dari banyak orang yang merindukan dirinya lepas dari ketertekanan hidup. B.
Pembahasan
1. Penyelenggaraan seni pertunjukan teater merupakan ekspresi hak seni dan budaya ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia menurut UUD 1945 .
Budaya merupakan suatu ungkapan yang bermakna ganda. Disatu sisi bisa diartikan sebagai perilaku manusia dalam menanggapi suatu fenomena kehidupan masyarakatan. Sedangkan di sisi lain dapat diartikan sebagai hasil cipta, karsa, dan karya manusia guna mengekspresikan dirinya dalam ikatan kehidupan masyarakat,berbangsa maupun bernegara. Kedua arti tersebut pada hakikatnya tetap bermuara pada keberadaan manusia itu sendiri sebagai makluk individu dan makhluk sosial. Dalam wacana seni kebudayaan, sering muncul stereotype yang mencoba melakukan dikotomi antara kebudayaan barat dan kebudayaan timur. Barat dianggap memiliki budaya yang bersifat individualistic sedangkan Timur lebih menekankan budaya komunalitas dan kebersamaan dalam ikatan kehidupan masyarakat. Budaya Timur menganggap bahwa harkat dan martabat manusia akan semakin “bernilai” jikalau ada keselarasan, keharmonisan, dan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan kelompok. Wacana kebudayaan semacam ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap implementasi Hak Asasi Manusia secara kontekstual. Artinya penerapan hak asasi manusia memiliki korelasi positif dengan kontekstualitas budaya dari suatu masyarakat Negara. a) Hak Seni Dan Budaya Dalam Undang Undang Dasar 1945 Dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Hak Asasi Manusia diatur dalam Bab X, Bab XA, Bab XI. Khusus mengenai hak seni berbudaya secara inplisit diatur dalam Pasal 28C Ayat (1) yang berbunyi: ”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Pasal tersebut tentu saja mempunyai makna yang sangat luas bagi seluruh warga negara Indonesia. Memang didalam Pasal tersebut tidak disebutkan secara tegas tentang hak seni teater. Mengingat seni teater
merupakan bagian dari seni budaya, dan dapat dikatakan pula bahwa seni budaya juga termasuk salah satu Hak Asasi Manusia. Dengan adanya Pasal 28C Ayat (1) tersebut tentu saja ini memilki ekses tanggung jawab besar bagi Negara untuk menjamin dan memenuhi hak-hak tersebut. Sesuai dengan arah bahasan, maka yang akan coba penulis kupas adalah mengenai sebatas hak seni dan budaya yang dikhususkan pada kesenian teater. Kebudayaan menunjuk kepada sederetan sistem pengetahuan yang dimiliki bersama, perangai-perangai, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, peraturan-peraturan, dan simbol-simbol yang berkaitan dengan tujuan seluruh anggota masyarakat yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Dipandang dari wujudnya, menurut Koentjaraningrat “kebudayaan memiliki, ide, bentuk dan prilaku. Sedangkan dikaji dari segi unsur, kebudayaan memiliki 7 (tujuh) unsur pokok yaitu sistim kepercayaan, bahasa, sistim ekonomi, sistim sosial, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni”. Secara sederhana bahwa kebudayaan adalah nilainilai dan gagasan vital yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Seni adalah ekspresi dari jiwa manusia yang diwujudkan dalam karya seni. Pernyataan ini mengisyaratkan terjadinya kreativitas dalam hal olah imaji dan olah rupa, gerak, suara, cahaya, bau, dan sebagainya. Penciptaan seni terjadi oleh adanya proses cipta, karsa dan rasa. Penciptaan di bidang seni mengandung pengertian yang terpadu antara kreativitas, penemuan dan inovasi yang sangat dipengaruhi oleh rasa. Namun demikian, logika dan daya nalar mengimbangi rasa dari waktu ke waktu dalam kadar yang cukup tinggi. Rasa muncul karena dorongan kehendak naluri yang disebut karsa. Karsa dapat bersifat individu atau kolektif, tergantung dari lingkungan serta budaya masyarakat.
Sebagai penampilan ekspresif dari penciptanya, seni mempunyai hubungan yang erat dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain. Isi dan bentuk seni tak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam 7 (tujuh) unsur pokok kebudayaan di atas. Tema-tema seni berakar pada nilai-nilai agama, organisasi sosial, sistim teknologi, sistim pengetahuan, bahasa, dan sistim ekonomi. Secara umum seni dapat digolongkan ke dalam 4 (empat) kelompok yaitu seni pertunjukan (tari, karawitan, pedalangan, musik, pencak silat, dan teater); seni rupa (lukis, patung, kriya, desain, instalasi dan arsitektur); seni sastra (puisi dan prosa); dan seni sinematografi (film, video dan animasi). Sekiranya sudah jelas, bahwa seni teater merupakan bagian dari budaya, dan tentu saja seni dan budaya merupakan salah satu Hak Asasi Manusia yang dilindungi oleh Konstitusi. Pasal 28C Ayat (1) apabila ditelaah dari pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum maka mencakup: a) Subyek Hukum Pada prinsipnya, setiap orang (N: natuurpersoon) merupakan subjek hukum, dan pada prinsipnya setiap subjek hukum menyandang hak dan sekaligus kewajiban(Hans Kelsen 1982:176). Hanya saja perilaku manusia yang dapat mengakibatkan dipenuhinya suatu hak atau dilanggarnya suatu kewajiban. Kapasitas untuk menyandang hak dan kewajiban memberi kepada subjek hukum suatu kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum (E: legal capacity; N: bevogdheid). Namun dalam kenyataan, tidak semua subyek hukum memenuhi kelayakan untuk melakukan perbuatan hukum. Subyek hukum merupakan pihak-pihak yang menjadi pendukung hak dan kewajiban, di dalam hubungan teratur atau masyarakat hukum. Sifat subyek hukum itu ada yang( Purnadi Purbacaraka 1984:71) a) Mandiri oleh karena mempunyai kemampuan penuh untuk berperilaku atau bersikap tindak.
b) Terlindung oleh karena dianggap tidak mampu untuk berperilaku atau bersikap tindak. c) Berkemampuan penuh, namun sikap tindaknya dibatasi. Dapat dikatakan bahwa subjek hukum terdiri dari: (1) Pribadi (natuurpersoon), yang dimaksud disini adalah: (a) orang yang sudah dewasa. (b) Tidak berda dibawah pengapuan. (c) Tidak menunngu hukuman mati. (2) Badan Hukum (3) Negara (Pemerintah), dalam hal ini adalah pemerintah yang sah, yaitu pemerintahan yang mewakili suatu Negara apbila dia merupakan hasil dari proses konstitusional yang diakui secara internasional. Menilik dari unsur-unsur subyek hukum diatas, maka yang menjadi subyek hukum sesuai Pasal 28C Ayat (1) Konstitusi kita adalah: (a) Pribadi, yaitu dalam hal ini antara lain: seniman-seniman teater/pekerja teater dapat juga menyangkut sampai penikmat dan pemerhati teater. (b) Badan Hukum, yaitu dalam hal ini menyangkut sanggarsanggar atau perkumpulan teater. (c) Pemerintah atau Negara. b) Hak dan Kewajiban Hak merupakan peranan yang fakultatif oleh karena sifatnya, yakni boleh tidak dilaksanakan, peranan tersebut seringkali disebut kewenangan. Kewajiban atau tugas merupakan suatu peranan yang bersifat imperative, oleh karena harus dilaksanakan( Purnadi Purba Caraka 2003:71). Hak dan kewajiban tersebut senantiasa dalam hubungan yang berhadapan dan berdampingan. Hak dan kewajiban dapat dibedakan antara hak dan kewajiban relative atau searah dengan hak dan kewajiban absolut atau
jamak arah. Dalam bidang tata hukum, antara hak dan kewajiban seringkali tidak jelas perbedaannya. Oleh karena itu, maka dalam hubungan hierarkis lebih tepat dipergunakan pengertian kekuasaan ketaatan di dalam hubungan antara penguasa dengan warga Negara atau warga masyarakat. Didalam hukum keluarga hierarki tersebut juga dikenal, sehingga ada pengertian kekeuasaan orang tua. Pengertian kekuasaan tersebut juga dapat dipergunakan sebagai unsur dari suatu kerangka konsepsional, apabila timbul keraguan mengenai batas antara hak dan kewajiban. Dalam Pengertian Pasal 28C Ayat(1) Undang Undang Dasar 1945, maka apabila dihubungkan dengan hak dan kewajiban seperti uraian diatas. Dapat ditarik suatu benang merah antara hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan hak seni budaya atau spesifik lagi seni teater, maka terdiri dari: (1) Kewajiban Pemerintah/Negara (a) Menjamin dan memenuhi pelaksanaan hak-hak seni dan budaya tanpa pengurangan suatu apapun. (b) Membuat suatu regulasi atau peraturan yang jelas tentang penyelenggaraan seni teater dengan bersendi atas prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. (c) Memajukan bidang kesenian teater. Karena kewajiban selalu dibarengi dengan hak. Adapula hak-hak yang bisa diperoleh Pemerintah, yaitu Pemerintah dapat memungut atas hasil penyelenggaraan seni pertunjukan teater sebagai hasil nilai budaya masyarakat. Dapat juga dapat memupuk persatuan dan kasatuan dengan aktifitas berteater. Selanjutnya beranjak ke hak dan kewajiban tentang subyek hukum lainnya dalam seni teater yaitu seniman teater atau pekerja teater. Dapat
penulis ilustrasikan bahwasanya para seniman teater juga memiliki hak dan kewajiban, yang antara lain: (1) Kewajiban Seniman Teater/Pekerja Teater. (a) Menyajikan hasil karya seni yang sesuai dengan nilai-nilai dan tatanan luhur budaya Indonesia. (b) Dengan adanya kebebasan berekspresi maka hendaknya juga dibarengi dengan kewajiban berekspresi, maksudnya adalah jangan sampai penggunanan
kebebasan
tersebut
melampaui
batas-batas kewajaran dan susila. (2) Hak daripada seniman teater/pekerja teater. (a) Mendapatkan pemenuhan dan perlindungan akan hasil karya teaternya. (b) Bisa mengakses atau mempergunakan saranasarana dan prasarana yang berkaitan dengan kesenian, untuk mengembangkan karyanya. c) Peristiwa Hukum Menurut Purnadi Purbacaraka, maka terdapat tiga kelompok peristiwa hukum, yakni: (1) Keadaan yang mungkin bersegi: (a) alamiah, misalnya siang hari atau malam hari. (b) kewajiban, normal atau abnormal (c) sosial, misalnya keadaan darurat atau keadaan perang (2) Kejadian, misalnya kelahiran atau kematian seseorang (3) Perilaku atau sikap tindak melanggar hukum yang dibedakan antara: (a) perilaku atau sikap tindak melanggar hukum:
(b) Perilaku atau sikap tindak melanggar hukum yang mungkin sepihak, jamak pihak atau serempak. (c) Perilaku atau sikap tindak melanggar hukum yaitu: (i) Perilaku sikap tindak melampaui batas
kekuasaan
dalam
bidang
hukum Tata Negara (excess de pouvoir). (ii)
Perilaku
atau
menyalahgunakan
sikap
tindak
kekeuasaan
di
bidang hukum Administrasi Negara (detournement de pouvoir) (iii) Perilaku atau sikap tindak yang merupakan penyelewengan perdata ( onrechtmatige daad) (iv) Peristiwa pidana yang sebenarnya merupakan penyelewengan di bidang Tata Negara, Administrasi Negara, maupun Perdata, namun yang ada ancaman Pidananya (strafbaarfeit). (d) Perilaku atau sikap tindak lain, misalnya, jual
beli
dalam
hukum
adat
atau
“
zaakwarneming” dalam BW. Ketiga kelompok peristiwa hukum tersebut dapat dipengaruhi oleh tanggung jawab (liability) dan fasilitas atau sarana. Dari uraian mengenai peristiwa hukum tersebut, apabila di hubungkan dengan Pasal 28C Ayat (1) UUD 1945, maka akan diperoleh penjelasan sebagai berikut.
Untuk poin a), yaitu keadaan yang bersegi kiranya sudah jelas bahwa pementasan seni teater mengandung unsur-unsur tersebut. Pementasan teater diantaranya mengandung unsur: alamiah, kewajiban, dan social. Mengenai unsur kejadian, pementasan teater pasti mengandung unsur ini, yaitu tempat dan waktu pementasan tersebut dilaksanakan. Dalam bahasan mengenai penulisan hukum ini, mungkin yang paling bersinggungan langsung dengan peraturan atau undang-undang adalah poin (b) ,(iv), yaitu mengenai Peristiwa pidana yang sebenarnya merupakan penyelewengan di bidang Tata Negara, Administrasi Negara, maupun Perdata, namun yang ada ancaman Pidananya (strafbaarfeit). Hal ini karena kadangkala ada seniman teater yang menyalahgunakan dan salah
menginterpretasikan
kebebeasan
berekspresi,
misalnya
saja
menggelar karya yang tidak senonoh mungkin atau tidak sesuai budaya ketimuran, maka terhadap seniman tersebut dapat dikenai ancaman pidana. Hal ini perlu karena bagaimanapun juga suatu karya seni harus ada pertanggungjawaban karya. d) Hubungan Hukum Hubungan
hukum
merupakan
hubungan-hubungan
yang
mempunyai akibat hukum. Biasanya diadakan pembedaan antara hubungan yang sederajat dan tidak sederajat dengan hubungan timbal balik dan hubungan timpang. Klasifikasi hubungan hukum dikenal dalam: (1) Pembedaan
hubungan
“nebeneinander”/sederajat
dan
hubungan “nacheinander”/beda derajat. (2) Pembedaan hubungan timbal-balik dan hubungan timpang (biasanya disebut sepihak). Hubungan yang sederajat misalnya hubungan antara suami dengan istri dalam bidang hukum keluarga, khususnya hukum perkawinan. Dalam hukum Negara contoh hubungan yang seerajat adalah hubungan hukum
antara provinsi-provinsi yang terdapat di Indonesia. Hubungan hukum yang tidak sederajat dapat ditemukan pada hubungan antara penguasa dengan warga Negara. Dalam hukum keluarga dapat dijumpai hubungan hukum yang tidak sederajat antara orang tua dengan anak-anaknya. Suatu hubungan timbal balik disebut demikian, oleh karena pihakpihak yang mengadakan hubungan hukum masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Dalam hubungan hukum yang timpang, maka suatu pihak hanya mempunyai hak, sedangkan pihak lain hanya mempunyai kewajiban semata-mata.
Apabila
kedua
macam
pembedaan
tersebut
diatas
dihubungkan, maka akan diperoleh sistematik visual, sebagai berikut: Hubungan timbal balik Hubungan sederajat
Hubungan balik
Hubungan timpang
timbal Hubungan timpang yang tidak sederajat yang
sederajat timbal Hubungan timpang yang sederajat balik yang tidak Hubungan Hubungan tidak sederajat
sederajat (Purnadi Purbacaraka 2003:73)
Pasal 28C Ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 tentu saja mengandung muatan-muatan hubungan hukum diantara piahak-pihak. Berdasarkan pandangan penulis maka Pasal 28C Ayat(1) konstitusi kita terdapat berbagai jenis hubungan hukum yaitu: (a) Hubungan hukum yang sederajat, dalam permasalahan sesuai bahasan, dapat ditarik contoh yaitu: hubungan antar seniman untuk mengadakan pentas teater bersama atau dalam tingkatan yang lebih besar hubungan antara kesua kelompok teater untuk mengadakan suatu kolaborasi
pementasan. Dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. (b) Hubungan hukum yang tidak sederajat, dalam hal ini dapat diberi contoh yaitu: Hubungan antara pekerja teater dan pemerintah. e) Obyek Hukum Obyek hukum pada dasarnya merupakan suatu kepentingan yang menjadi obyek hubungan-hubungan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum. Kepentinagn-kepentingan tersebut adalah: (1) Kepentingan yang bersifat material atau berwujud. Dalam Bahasa Indonesia kepentingan ini disebut benda atau barang, yang tidak sama dengan pengertian “zaak” dan “goed”. “Zaak” dipergunakan secara luas sekali, sedangkan “goed” mungkin bersifat immaterial. (2) Kepentingan yang bersifat immaterial, misalnya obyek hak cipta yang tidak harus disamakan dengan hasil ciptaannya yang mungkin berwujud (materiil) seperti patung. Dalam hokum adat gelar juga dimasukkan kedalam golongan obyek immaterial. Unsur obyek hukum di dalam Pasal 28C Ayat (1) dapat penulis jelaskan sebagai mana berikut. Dalam Pasal 28C Ayat(1) Konstistusi mempunyai obyek hukum yang bersifat immaterial. Pasal ini sebenarnya menyangkut pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Kita telah banyak ketahui bahwa hak hak asasi manusia itu bersifat abstrak/ nonimmateriil.
b. Hak Seni Dan Budaya Dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pada hakikatnya Undang-Undang No.39 Tahun 1999 merupakan Undang-Undang yang dibentuk dengan cara mempersatukan pemahaman sifat universalitas dan sifat kontekstualitas dari Hak Asasi Manusia. Sifat universalitas dari hak asasi manusia mengandung dimensi individualistik, sedangkan sifat kontekstualitasnya mengandung dimensi budaya yang berlaku di suatu komunitas masyarakat. Kolaborasi kedua sifat tersebut, nampak jelas di dalam Pasal 6 Undang-Undang No.39 Tahun 1999, yang menyatakan: (1)
(2)
“Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adapt harus diperhatikan dan dilindungi oleh hokum, masyarakat, dan Pemerintah”. “Identitas budaya masrakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan pekembangan jaman”.
Pasal tersebut dianggap merupakan langkah kolaborasi sifat universalitas dan kontekstualitas Hak Asasi Manusia, karena pada hakikatnya Undang-Undang No.39 Tahun 1999 disamping mengadopsi secara penuh Deklarasi Sedunia Tentang Hak Asasi Manusia, juga masih memberikan ruang bagi komunitas-komunitas masyarakat adapt dan budaya Indonesia untuk mengembangkan sendiri pemahaman mengenai hak dan kewajiban para anggota komunitasnya masing-masing. Bahkan dalam Undang-Undang tersebut memberikan perlindungan terhadap eksistensinya. Berdasarkan Pasal 28I Ayat (5) Amandemen UUD 1945, pelaksanaan penegakan Hak Asasi Manusia akan diatur dengan peraturan perundang-undangan. Berpijak dari ketentuan inilah, maka dikeluarkan Uundang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 1 angka 1 dari Undang-Undang tersebut antara lain menyatakan:
“ Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demikehormatan serta perlindungan dan martabat manusia”, Lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 menyebutkan: ”Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undangundang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”. Berdasarkan kedua ketentuan Pasal tersebut di atas, maka dapat diambil satu garis besar pengertian bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang ada dalam diri seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk social. Oleh sebab itulah pelanggaran atas hak asasi manusia dapat dikategorikan merupakan “pelanggaran hukum yang sifatnya struktural”. Artinya pelanggaran hukum itiu bukan merupakan pelanggaran hokum biasa, sebagaimana diatur dalam hokum pidana pada umumnyamelainkan suatu pelanggaran yang sifatnyamengurangi eksistensi keberadaan manusia yang memiliki harkat dan martabat. Hak Asasi Manusia dalam bidang seni budaya juga diatur dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yaitu Pasal 13, yang menyatakan:” Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia”. Apbila ditelaah lebih sesuai dengan pengertian-pengrtian dasar sistim hukum, maka Pasal ini juga mengandung berbagai makna dan pengertian, yaitu dapat dikaji dari:
(1) Subyek Hukum Seperti yang sudah diuraikan pada pambahasan di atas bahwasanya pada prinsipnya, setiap orang (N: natuurpersoon) merupakan subjek hukum, dan pada prinsipnya setiap subjek hukum menyandang hak dan sekaligus kewajiban(Hans Kelsen 1982:176). Subyek hukum merupaka pihak-pihak yang menjadi pendukung hak dan kewajiban, di dalam hubungan teratur atau masyarakat hukum. Sifat subyek hukum itu ada yang( Purnadi Purbacaraka 1984:71) Menilik dari unsur-unsur subyek hukum diatas, maka yang menjadi subyek hukum sesuai Pasal 13 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 adalah: (a) Pribadi, yaitu dalam hal ini antara lain: seniman-seniman teater/pekerja teater dapat juga menyangkut sampai penikmat dan pemerhati teater. (b) Badan Hukum, yaitu dalam hal ini menyangkut sanggar-sanggar atau perkumpulan teater. (c) Pemerintah atau Negara. (2) Hak dan Kewajiban Hak merupakan peranan yang fakultatif oleh karena sifatnya, yakni boleh tidak dilaksanakan, peranan tersebut seringkali disebut kewenangan. Kewajiban atau tugas merupakan suatu peranan yang bersifat imperative, oleh karena harus dilaksanakan( Purnadi Purba Caraka 2003:71). Dalam hubungannya dengan Pasal 13 Undang-Undang No.39 Tahun 1999, maka apabila dihubungkan dengan hak dan kewajiban seperti uraian diatas. Dapat ditarik suatu benang merah antara hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan hak seni budaya atau spesifik lagi seni teater, maka terdiri dari: (a) Kewajiban Pemerintah/Negara
(1) Menjamin dan memenuhi pelaksanaan hak-hak seni dan budaya tanpa pengurangan suatu apapun. (2) Membuat suatu regulasi atau peraturan yang jelas tentang penyelenggaraan seni teater dengan bersendi atas prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. (3) Memajukan bidang kesenian teater. (4)
Pemerintah
wajib
menghormati,
dan
melindungi,
bertanggung
jawab
menegakkan,
dan
memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang
ini,
peraturan
perundang-
undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. (5) Melakukan langkah-langkah implementasi yang efektif dalam bidang hokum untuk menjamin pelaksanaan hak seni budaya. Karena kewajiban selalu dibarengi dengan hak. Adapula hak-hak yang bisa diperoleh Pemerintah, yaitu Pemerintah dapat memungut atas hasil penyelenggaraan seni pertunjukan teater sebagai hasil nilai budaya masyarakat. Dapat juga dapat memupuk persatuan dan kasatuan dengan aktifitas berteater. Selanjutnya beranjak ke hak dan kewajiban tentang subyek hukum lainnya dalam seni teater yaitu seniman teater atau pekerja teater. Dapat penulis ilustrasikan bahwasanya para seniman teater juga memiliki hak dan kewajiban, yang antara lain: a) Kewajiban Seniman Teater/Pekerja Teater. (1) Menyajikan hasil karya seni yang sesuai dengan nilai-nilai dan tatanan luhur budaya Indonesia.
(2) Dengan adanya kebebasan berekspresi maka hendaknya juga dibarengi dengan kewajiban berekspresi, maksudnya adalah jangan sampai penggunanan
kebebasan
tersebut
melampaui
batas-batas kewajaran dan susila. b) Hak daripada seniman teater/pekerja teater. (1) Mendapatkan pemenuhan dan perlindungan akan hasil karya teaternya. (2) Bisa mengakses atau mempergunakan saranasarana dan prasarana yang berkaitan dengan kesenian, untuk mengembangkan karyanya. (3) Peristiwa Hukum Peristiwa hukum dapat dipengaruhi oleh tanggung jawab (liability) dan fasilitas atau sarana. Dari uraian mengenai peristiwa hukum tersebut, apabila di hubungkan dengan Pasal 13 Undang-Undang No.39 Tahun 1999, maka akan diperoleh penjelasan sebagai berikut. Untuk poin a), yaitu keadaan yang bersegi kiranya sudah jelas bahwa pementasan seni teater mengandung unsur-unsur tersebut. Pementasan teater diantaranya mengandung unsur: alamiah, kewajiban, dan social. Mengenai unsure kejadian, pementasan teater pasti mengandung unsur ini, yaitu tempat dan waktu pementasan tersebut dilaksanakan. Dalam bahasan mengenai penulisan hukum ini, mungkin yang paling bersinggungan langsung dengan peraturan atau undang-undang adalah poin (b) ,(iv), yaitu mengenai Peristiwa pidana yang sebenarnya merupakan penyelewengan di bidang Tata Negara, Administrasi Negara, maupun Perdata, namun yang ada ancaman Pidananya (strafbaarfeit). Hal ini karena kadangkala ada seniman teater yang menyalahgunakan dan
salah
menginterpretasikan
kebebeasan
berekspresi,
misalnya
saja
menggelar karya yang tidak senonoh mungkin atau tidak sesuai budaya ketimuran, maka terhadap seniman tersebut dapat dikenai ancaman pidana. Hal ini perlu karena bagaimanapun juga suatu karya seni harus ada pertanggungjawaban karya. (4) Hubungan Hukum Hubungan
hukum
merupakan
hubungan-hubungan
yang
mempunyai akibat hukum. Biasanya diadakan pembedaan antara hubungan yang sederajat dan tidak sederajat dengan hubungan timbal balik dan hubungan timpang. Klasifikasi hubungan hukum dikenal dalam: a) Pembedaan
hubungan
“nebeneinander”/sederajat
dan
hubungan “nacheinander”/beda derajat. b) Pembedaan hubungan timbal-balik dan hubungan timpang (biasanya disebut sepihak). Hubungan yang sederajat misalnya hubungan antara suami dengan istri dalam bidang hukum keluarga, khususnya hukum perkawinan. Dalam hukum Negara contoh hubungan yang seerajat adalah hubungan hukum antara provinsi-provinsiyang terdapat di Indonesia. Hubungan hukum yang tidak sederajat dapat ditemukan pada hubungan antara penguasa dengan warga Negara. Suatu hubungan timbal balik disebut demikian, oleh karena pihak-pihak
yang
mengadakan
hubungan
hukum
masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban. Dalam hubungan hukum yang timpang, maka suatu pihak hanya mempunyai hak, sedangkan pihak lain hanya mempunyai kewajiban semata-mata. Pasal 13 Undang Undang No.39 Tahun 1999 tentu saja mengandung muatan-muatan hubungan hukum diantara piahak-pihak. Berdasarkan pandangan penulis maka Pasal 13 Undang-Undang Hak Asasi Manusia terdapat berbagai jenis hubungan hukum yaitu:
a) Hubungan hukum yang sederajat, dalam permasalahan sesuai bahasan, dapat ditarik contoh yaitu: hubungan antar seniman untuk mengadakan pentas teater bersama atau dalam tingkatan yang lebih besar hubungan antara kesua kelompok teater untuk mengadakan suatu kolaborasi pementasan. Dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. b) Hubungan hukum yang tidak sederajat, dalam hal ini dapat diberi contoh yaitu: Hubungan antara pekerja teater dan pemerintah. (5) Obyek Hukum Obyek hukum pada dasarnya merupakan suatu kepentingan yang menjadi obyek hubungan-hubungan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum. Kepentinagn-kepentingan tersebut adalah: a) Kepentingan yang bersifat material atau berwujud. Dalam Bahasa Indonesia kepentingan ini disebut benda atau barang, yang tidak sama dengan pengertian “zaak” dan “goed”. “Zaak” dipergunakan secara luas sekali, sedangkan “goed” mungkin bersifat immaterial. b).Kepentingan yang bersifat immaterial, misalnya obyek hak cipta yang tidak harus disamakan dengan hasil ciptaannya yang mungkin berwujud (materiil) seperti patung. Dalam hokum adat gelar juga dimasukkan kedalam golongan obyek immaterial. Unsur obyek hukum di dalam Pasal 13 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 dapat penulis jelaskan sebagai mana berikut. Dalam Pasal 13 Undang-undang ini yang menyatakan: “Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia”. Sesuai dengan bunyi Pasal tesebut maka penulis menginterpretasikan, bahwa Pasal tersebut mempunyai obyek hukum yang bersifat materiil dan immaterial. Unsur materiil disini dapat penulis dari kata”…mengembangkan dan memperoleh manfaat…”. Mengembangkan dan memperoleh manfaat bisa juga berkaitan unsur-unsur materiil, mungkin dapat dicontohkan dengan; pengembangan atau eksplorasi suatu karya pertunjukan seni teater, memperoleh penghasilan atau keuntungan financial atas pementasan teater.
Pasal ini juga mengandung unsur obyek hukum yang bersifat
immaterial. Hal ini juga dapat diketahui bahwa “mamperoleh manfaat” tidak hanya berhubungan dengan unsure materiil tapi juga bias berwujud unsure immaterial, hal ini dapat dicontohkan; seorang seniman teater mendapat rasa simpati dan aplaus yang tinngi atas hasil karyanya. Pasal ini mengatur menyangkut pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Kita telah banyak ketahui bahwa hak hak asasi manusia itu bersifat abstrak/ non-immateriil. c. Hak Seni Dan Budaya Dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pegesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) Sebagai bagian dari masyarakat dunia dalam Perserikatan BangsaBangsa (PBB), Indonesia dengan pengalaman sejarah dan konsep HAMnya mendukung dan bertanggung jawab atas isi kandungan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948 (Universal Declaration of Human Rights) serta berbagai instrumen internasional lainnya yang terkait dengan hak asasi manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lahir dari pengalaman pahit bangsa-bangsa selama Perang Dunia II. Bangsa Indonesia menyadari, mengakui, dan menjamin hak asasi manusia dalam proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan
menjadikan hak dan kewajiban asasi manusia mengejawantah dalam kehidupan
pribadi,
keluarga,
masyarakat,
dan
bangsa.
Dengan
diratifikasinya hak-hak ekonomi, social, dan budaya tentu saja mengandung makna simbolik dan menjadi dasar bagi penjaminan dan pelaksanaan hak-hak tersebut. Sebenarnya peratifikasian kovenan hak sipil dan politik serta kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut protokol-protokol sudah diagendakan jauh-jauh hari dalam Rencana Aksi Nasional HAM sejak 1998 walaupun tampaknya tidak berjalan dengan baik. Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM, Indonesia perlu mengesahkan instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM, khususnya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) Pokok-pokok Isi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM
di bidang ekonomi, sosial dan budaya dari DUHAM dalam ketentuanketentuan yang mengikat secara hukum. Pembukaan Kovenan ini mengingatkan negara-negara akan kewajibannya menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati
kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politiknya. Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2005 Pasal 15, mengatur lebih spesifik tentang seni dan budaya itu sendiri. Pasal 15 UndangUndang no.11 Tahun 2005 menyatakan: 1.”Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang: (a)Untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya; (b)Untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya; (c)Untuk memperoleh manfaat dari perlindungan atas kepentingan moral dan material yang timbul dari karya ilmiah, sastra atau seni yang telah diciptakannya.” 2. ”Langkah-langkah yang harus diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwujudan sepenuhnya dari hak ini, harus meliputi pula langkah-langkah yang diperlukan guna melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan ,ilmu pengetahuan dan kebudayaan” 3.”Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan yang mtlak diperlukan untuk penelitian ilmiah dan kegiatan yang kreatif.” 4. “Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui manfaat yang akan diperoleh dari pemajuan dan pengembangan hubungan dan kerjasama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan.” Dari ketentuan Pasal tersebut maka apabila dianalisis dari sudut pandang pengertian-pengertian dasar sistem hukum maka akan dipaparkan sebagai berikut: (1) Subyek Hukum Menilik dari pemaparan unsur-unsur subyek hukum diatas, maka yang menjadi subyek hukum sesuai Pasal 15 Undang-Undang No.11 Tahun 2005 adalah:
(1) Pribadi, yaitu dalam hal ini antara lain: seniman-seniman teater/pekerja teater dapat juga menyangkut sampai penikmat dan pemerhati teater. (2) Badan Hukum, yaitu dalam hal ini menyangkut sanggarsanggar atau perkumpulan teater. (3) Pemerintah atau Negara, dan masyarakat Internasional (PBB). (2) Hak dan Kewajiban Hak merupakan peranan yang fakultatif oleh karena sifatnya, yakni boleh tidak dilaksanakan, peranan tersebut seringkali disebut kewenangan. Kewajiban atau tugas merupakan suatu peranan yang bersifat imperative, oleh karena harus dilaksanakan( Purnadi Purba Caraka 2003:71). Hak dan kewajiban tersebut senantiasadalam hubungan yang berhadapan dan berdampingan. Hak dan kewajiban dapat dibedakan antara hak dan kewajiban relative atau searah dengan hak dan kewajibanabsolut atau jamak arah. Dalam Pengertian Pasal 15 Undang-Undang No.11 Tahun 2005, maka apabila dihubungkan dengan hak dan kewajiban seperti uraian diatas. Dapat ditarik suatu benang merah antara hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan hak seni budaya atau spesifik lagi seni teater, maka terdiri dari: a) Kewajiban Pemerintah/Negara (1) Menjamin dan memenuhi pelaksanaan hak-hak seni dan budaya tanpa pengurangan suatu apapun dan
menetapkan
Langkah
bagi
atau
mengambil
tercapainya
secara
langkahbertahap
perwujudan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dan memastikan pelaksanaan hak-hak tersebut tanpa pembedaan apa pun.
(2) Membuat suatu regulasi atau peraturan yang jelas tentang penyelenggaraan seni teater dengan bersendi atas prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. (3) Memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politiknya. (4)
Pemerintah
wajib
menghormati,
dan
melindungi,
bertanggung menegakkan,
jawab dan
memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang
ini,
peraturan
perundang-
undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. (5) Melakukan langkah-langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum untuk menjamin pelaksanaan hak seni budaya. Karena kewajiban selalu dibarengi dengan hak. Adapula hak-hak yang bisa diperoleh Pemerintah, yaitu Pemerintah dapat memungut atas hasil penyelenggaraan seni pertunjukan teater sebagai hasil nilai budaya masyarakat. Dapat juga dapat memupuk persatuan dan kasatuan dengan aktifitas berteater.
Selanjutnya beranjak ke hak dan kewajiban tentang subyek hukum lainnya dalam seni teater yaitu seniman teater atau pekerja teater. Dapat penulis ilustrasikan bahwasanya para seniman teater juga memiliki hak dan kewajiban, yang antara lain: b) Kewajiban Seniman Teater/Pekerja Teater. (1) Menyajikan hasil karya seni yang sesuai dengan nilai-nilai dan tatanan luhur budaya Indonesia. (2) Dengan adanya kebebasan berekspresi maka hendaknya juga dibarengi dengan kewajiban berekspresi, maksudnya adalah jangan sampai penggunanan
kebebasan
tersebut
melampaui
batas-batas kewajaran dan susila. b) Hak daripada seniman teater/pekerja teater. (1) Mendapatkan pemenuhan dan perlindungan akan hasil karya teaternya. (2) Bisa mengakses atau mempergunakan saranasarana dan prasarana yang berkaitan dengan kesenian, untuk mengembangkan karyanya. (3) Peristiwa Hukum Ketiga kelompok peristiwa hukum tersebut dapat dipengaruhi oleh tanggung jawab (liability) dan fasilitas atau sarana. Dari uraian mengenai peristiwa hukum tersebut, apabila di hubungkan dengan Pasal 15 UndangUndang No. 11 Tahun 2005, maka akan diperoleh penjelasan sebagai berikut. Untuk poin a), yaitu keadaan yang bersegi kiranya sudah jelas bahwa pementasan seni teater mengandung unsur-unsur tersebut. Pementasan teater diantaranya mengandung unsur: alamiah, kewajiban,
dan social. Mengenai unsur kejadian, pementasan teater pasti mengandung unsur ini, yaitu tempat dan waktu pementasan tersebut dilaksanakan. Dalam bahasan mengenai penulisan hukum ini, mungkin yang paling bersinggungan langsung dengan peraturan atau undang-undang adalah poin (b) ,(iv), yaitu mengenai Peristiwa pidana yang sebenarnya merupakan penyelewengan di bidang Tata Negara, Administrasi Negara, maupun Perdata, namun yang ada ancaman Pidananya (strafbaarfeit). Hal ini karena kadangkala ada seniman teater yang menyalahgunakan dan salah
menginterpretasikan
kebebeasan
berekspresi,
misalnya
saja
menggelar karya yang tidak senonoh, mungkin atau tidak sesuai budaya ketimuran, maka terhadap seniman tersebut dapat dikenai ancaman pidana. Hal ini perlu karena bagaimanapun juga suatu karya seni harus ada pertanggungjawaban karya. (4). Hubungan Hukum Hubungan
hukum
merupakan
hubungan-hubungan
yang
mempunyai akibat hukum. Pasal 15 Undang Undang No.11 Tahun 2005 tentu saja mengandung muatan-muatan hubungan hukum diantara piahakpihak. Berdasarkan pandangan penulis maka Pasal 15 Undang-Undang No.11 Tahun 2005 terdapat berbagai jenis hubungan hukum yaitu: a) Hubungan
hukum
yang
sederajat,
dalam
permasalahan sesuai bahasan, dapat ditarik contoh yaitu: hubungan antar seniman untuk mengadakan pentas teater bersama atau dalam tingkatan yang lebih besar hubungan antara kesua kelompok teater
untuk
mengadakan
suatu
kolaborasi
pementasan.Contoh lain dalam tataran Negara adalah kerjasama diantara Negara-negara peserta kovenan.
Dimana
masing-masing
pihak
mempunyai hak dan kewajiban masing-masing.
b) Hubungan hukum yang tidak sederajat, dalam hal ini dapat diberi contoh yaitu: Hubungan antara pekerja teater dan pemerintah ataupun juga hubungan antara Negara dengan Perserikatan Bangsa Bangsa. (5). Obyek Hukum Obyek hukum pada dasarnya merupakan suatu kepentingan yang menjadi obyek hubungan-hubungan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum. Kepentingan-kepentingan tersebut adalah: c) Kepentingan yang bersifat material atau berwujud. Dalam Bahasa Indonesia kepentingan ini disebut benda atau barang, yang tidak sama dengan pengertian “zaak” dan “goed”. “Zaak” dipergunakan secara luas sekali, sedangkan “goed” mungkin bersifat immaterial. d) Kepentingan yang bersifat immaterial, misalnya obyek hak cipta yang tidak harus disamakan dengan hasil ciptaannya yang mungkin berwujud (materiil) seperti patung. Dalam hukum adat gelar juga dimasukkan kedalam golongan obyek immaterial. Unsur obyek hukum di dalam Pasal 15 Undang-Undang No.11 Tahun 2005 dapat penulis jelaskan sebagai mana berikut. Dalam Pasal 15 Undang-undang ini yang menyatakan: 1.”Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang: (a)Untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya; (b)Untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya; (c)Untuk memperoleh manfaat dari perlindungan atas kepentingan moral dan material yang timbul dari karya ilmiah, sastra atau seni yang telah diciptakannya.”
2. ”Langkah-langkah yang harus diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwujudan sepenuhnya dari hak ini, harus meliputi pula langkahlangkah yang diperlukan guna melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan ,ilmu pengetahuan dan kebudayaan” 3.”Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan yang mtlak diperlukan untuk penelitian ilmiah dan kegiatan yang kreatif.” 4. “Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui manfaat yang akan diperoleh dari pemajuan dan pengembangan hubungan dan kerjasama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan” Sesuai
dengan
bunyi
Pasal
tesebut
maka
penulis
menginterpretasikan, bahwa Pasal tersebut mempunyai obyek hukum yang bersifat materiil dan immaterial. Unsur materiil disini dapat penulis temukan dalam Pasal 15 Ayat (1) huruf (c) yang menyatakan: Untuk memperoleh manfaat dari perlindungan atas kepentingan moral dan material yang timbul dari karya ilmiah, sastra atau seni yang telah diciptakannya, bahwa dengan sangat jelas dan gamblang dalam ketentuan tersebut disebutkan kata-kata ”material”, dan hal ini menurut penulis merujuk kepada kebendaan. Tetapi di sisi lain ketesntuan tersebut juga mengandung objek immaterial. Kata ”moral” di sini berkaitan dengan halhal yang kasat mata (abstrak) atau tidak berwujud. 2.
Kendala-kendala hukum yang muncul untuk penyelenggaraan seni pertunjukan teater sebagai ekspresi hak seni dan budaya ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia menurut UUD 1945 ?
a.) Tidak ada aturan hukum yang secara spesifik mengatur pertunjukan teater.
Ketiadaaan peraturan yang secara tegas dan spesifik di bidang pementasan teater telah mengakibatkan kekacauan hukum dalam bidang ini. Setiap pihak yang terkait dalam dunia perteateran ini seakan-akan berjalan sendiri-sendiri dan mencari pembenaran sendiri akan jalan pikirnya. Sehingga , tanpa adanya aturan yang baku tersebut sering terjadi pementasan-pementasan teater yang jauh dari etika moral dan nilai budaya bangsa Indonesia. Hal ini dapat diakibatkan karena para seniman teater merasa bebas dalam mengekspresikan karyanya tanpa adanya batasanbatasan yang jelas. Dapat juga terjadi karena tidak ada kontrol yang baku dan nyata dalam dunia pertunjukan seni teater ini. Bahkan kalau disinggung lebih luas lagi, peraturan mengenai dunia pertunjukan (konser musik, pentas kesenian) pada umumnya bahkan tidak ada, padahal dunia ini bersangkut paut langsung dengan publik. b.)Adanya
peraturan
perundang-undang
yang
memiliki
potensi
menghambat terpenuhinya kebebasan berekspresi. Jika sebuah negara gemar memproduksi undang-undang yang membatasi hak warga negara untuk berekspresi, berarti negara itu tidak memiliki apresiasi tinggi terhadap hak asasi manusia. Contoh pada masa lalu adalah dengan dikeluarkannya Undang-undang Antisubversi, yang salah satu muatannya membatasi kemerdekaan berpendapat. Atau bahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan batu pertama dari seluruh sistem legal, dibuat pada tahun 1918, pada saat kolonial Belanda berkuasa. Di dalamnya berisi banyak pasal yang tidak jelas dan terbelakang, yang berbeda dengan banyak kategori hak-hak, yang tercantum baik dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik maupun Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya. Ketentuan tentang hukuman mati, khususnya bersifat kejam, seperti yang diatur dalam pasal 10, 104, 111, 124 ayat 3 dan 30. KUHP juga membatasi hak-hak kebebasan berekspresi yang menyatakan bahwa orang dapat dipidana karena "menghina" presiden (pasal 134 dan 137) atau megekspresikan "menyebarkan kebencian"
melawan pemerintah (pasal 154), bahkan jika diajukan perbedaan pendapat politik dengan cara-cara damai. Kebebasan berekspresi selanjutnya merupakan dibatasi oleh ketentuan pidana berupa pencemaran nama baik, seperti diatur dalam pasal 310. Walaupun KUHP berulangkali kali menerapkan cara-cara represif dalam isu-isu tertentu. 3.) Adanya bentuk undang-undang dan peraturan-peraturan yang simpang siur dan tidak jelas tahap pelaksanaannya. Hal ini dapat penulis kategorikan sebagai kendala hukum dalam pementasa seni teater. Dengan adanya bentuk peraturan perundangundangan yang simpang siur dan tidak jelas, maka hal tersebut menjadikan kebingungan
diantara
pihak-pihak
yang
terkait
di
dalamnya.
Kesimpangsiuran itu akan mengakibatkan orang-orang untuk terbiasa untuk melakukan “by-pass” di segala tahapan kegiatan. Kebiasaan “potong kompas” itu pada tahap selanjutnya akan mendorong orang untuk melakukan spekulasi hukum dengan berpegang pada adagium:” jika tidak jelas hukumnya, maka bolehlah kaidahnya”. Spekulasi hukum yang makin luas akan menghantarkan masyarakat kepada tahap yang berikutnya, yaitu keadaan tanpa kepastian hukum(Budiono Kusumohamidjojo 2004:226).
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Dari uraian pembahasan dan analisis yang telah disampaikan oleh Penulis pada Bab sebelumya, maka Penulis menyimpulkan 3. Penyelenggaraan seni pertunjukan teater merupakan ekspresi hak seni dan budaya ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia menurut UUD 1945. Bahwa ekspresi seni teater yang pada gilirannya "disepakati" sebagai sebuah bagian dari Hak Asasi Manusia yang pada prinsipnya merupakan produk yang tidak hanya merepresentasikan identitas individu, namun lebih jauh lagi bisa berbicara banyak dalam representasi identitas kelompok, yang bukan tidak mungkin bisa pula berkembang lebih jauh lagi, dalam lingkup negara bangsa. Sebenarnya ekspresi seni teater secara tersirat dilindungi dan diatur dalam: a. Bahwa Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28C Ayat(1) mengakui dan melindungi seni dan budaya, dengan kata lain termasuk juga seni pertunjukan teater, yang merupakan bagian dari hak berekspresi. b. Bahwa Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 13 juga menjamin pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia dalam bidang seni budaya. c. Bahwa Undang-Undang No.11 Tahun 2005 Tentang Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Pasal 15 juga melindungi adanya pelaksanaan hak seni dan budaya.
4. Kendala-kendala hukum yang muncul untuk penyelenggaraan
seni
pertunjukan teater sebagai ekspresi hak seni dan budaya ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia menurut UUD 1945: a. Adanya bentuk undang-undang dan peraturan-peraturan yang simpang siur dan tidak jelas tahap pelaksanaannya. b. Adanya peraturan perundang-undang yang memiliki potensi menghambat terpenuhinya kebebasan berekspresi. c. Tidak ada aturan hukum yang secara spesifik mengatur pertunjukan teater. B. Saran Berdasarkan uraian dan kesimpulan yang dapat diambil dalam penulisan ini, Penulis mencoba memberikan beberapa saran sebagai berikut : 1.
Segera
dilakukan
dilembagakannya
langkah-langkah
peraturan
untuk
mendorong
perundang-undangan
tentang
pertunjukan taeater, namun peraturan tersebut harus tetap memperhatikan pluralisme budaya dan kebebasan berekspresi. 2. Perlu dilakukan inventarisasi, evaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai Peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM.
Dalam
konteks ini, maka agenda ini sejalan dan dapat disatukan dengan agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi berbagai peraturan internasional tentang HAM. yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, social dan budaya berikut protocol operasionalnya. 3.
Segera
dilakukan
penyempurnaan
Produk-produk
hukum,
perundang-undangan tentang HAM. Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yang secara eksplisit sudah memberi dasar bagi perlindunan dan jaminan atau HAM. Termasuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi/kovenan internasional tentang HAM.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Abdullah Yazid. 2007. Demokarasi Dan Hak Asasi Manusia. Averroes Press: Malang. Agus Safari, dkk. 2001. Teater Dalam Demokrasi, Demokrasi Dalam Teater. Balai Pustaka: Jakarta Bagir Manan.2006. Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia: PT Alumni. Budiono Kusumohamidjojo.2004. Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil). Jakarta: PT Grasindo Frans Ceunfin. 2006. Hak-Hak Asasi Manusia Aneka Suara Dan Pandangan. Yogyakarta : Ledalero. Harum Pudjianto. 1999. HAM (Kajian Filosofis Implementasinya Dalam Hukum Pidana di Indonesia): Universitas Atmajaya Yogyakarta. Hestu Cipto Handoyo.2003.Hukum Tata Negara Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia:Universitas Atma Jaya Yogyakarta. I Ketut Artadi. 2000. Hukum Dalam Perspektif Kebudayaan. Pustaka Bali Post : Denpasar. Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Jakarta. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. PT. Rineka Cipta : Jakarta . Lexy J. Moloeng. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Karya. ____________. 2000. Metodologi Penelitian Hukum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya .1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya L.J.Van Apeldoorn.1990.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta: Pradnya Paramita
Muladi.2005. Hak Asasi Manusia Hakekat Konsepdan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press : Jakarta. _____, Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat) Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ____________. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. :Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ____________, 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.Jakarta : RajaGrafindo Persada. Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty : Yogyakarta. W.S Rendra. 1985. Tentang Bermain Teater. Pustaka Jaya:Jakarta. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Right (Peraturan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya) Ketetapan MPR NO.XVII/MPR/1998 tentang pelaksanaan Hak Asasi Manusia Internet : http://www.panyasan.de/publication/texts/ September 2007).
boulanger2002.pdf
(Dikutip
http://www.hukumonline.com/berita/html.(dikutip 17 Desember 2007)
http: //www.depkumham.go.id/home/html.(dikutip 17 September 2007)
16
Makalah: Rafiq. 2005. Teater Dalam Pandangan Hak Asasi Manusia . Diklat Teater. Surakarta. Paulus Koencoro.2004. Kesenian antara Tanggung Jawab Moral dan Kebebasan Berekspresi. Pedepokan Lereng Merapi. Magelang Bacaan Pendukung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.