PENINGKATAN PRODUKTIVITAS BAHAN OLAH KARET PADA PERKEBUNAN KARET RAKYAT DENGAN PENDEKATAN PRODUKTIVITAS HIJAU
ADHITIYA DWI RAHMANTO
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peningkatan Produktivitas Bahan Olah Karet pada Perkebunan Karet Rakyat dengan Pendekatan Produktivitas Hijau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Adhitiya Dwi Rahmanto NIM F34090100
ABSTRAK ADHITIYA DWI RAHMANTO. Peningkatan Produktivitas Bahan Olah Karet pada Perkebunan Karet Rakyat dengan Pendekatan Produktivitas Hijau. Dibimbing oleh MARIMIN dan MUHAMMAD ARIF DARMAWAN. Rendahnya produktivitas dan kualitas dari bahan olah karet serta kurangnya memperhatikan lingkungan merupakan kendala utama dalam pengembangan industri karet. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rumusan peningkatan produktivitas bahan olah karet dengan pendekatan produktivitas hijau yang ramah lingkungan. Penentuan strategi peningkatan produktivitas dihasilkan dari 3 tahap analisis. Yang pertama, analisis kelembagaan di dalam perkebunan karet rakyat dilakukan dengan menggunakan metode Interpretative Structural Modelling (ISM) untuk mengidentifikasi hubungan kontekstual antar subelemen dimana petani merupakan elemen terpenting. Yang kedua, analisis proses produksi dilakukan dengan memetakan setiap aliran proses menggunakan Green Value Stream Mapping (GVSM) dan dilakukan perhitungan Green Productivity Index (GPI) kondisi awal. Kemudian yang ketiga, analisis kualitas dilakukan dengan menggunakan metode Quality Function Deployment (QFD) dan dihasilkan kegiatan penanganan bahan baku dan pembekuan lateks perlu diperhatikan dalam menghasilkan bahan olah karet berkualitas. Setelah dilakukan analisis mendalam untuk mendapatkan rumusan peningkatan produktivitas barulah dilakukan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Dari keseluruhan analisis dihasilkan skenario terbaik dengan nilai GPI sebesar 1,875. Nilai tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan GPI kondisi awal sebesar 1,138. Kata Kunci : AHP, Bokar, GPI, ISM, QFD
ABSTRACT ADHITIYA DWI RAHMANTO. Productivity Improvement of Pre-processed Rubber at Rubber Smallholder Plantation with Green Productivity Approach. Supervised by MARIMIN and MUHAMMAD ARIF DARMAWAN. Low productivity and quality of pre-processed rubber and lack of environmental consideration is the main obstacle in the development of the rubber industry. The main objective of this research was to obtain productivity improvement formulation of pre-processed rubber with green productivity approach. Research applied 3 stages of analysis. First, institutional analysis in the smallholder plantations using ISM to identify the contextual relationships between subelemen where farmers are the most important element. Second, production process analysis by mapping each stream process using GVSM and the initial GPI calculation. Third, pre-processed rubber quality analysis using QFD, and produced raw materials handling activities and freezing latex, need to be considered in producing a quality pre-processed rubber. After further analysis to obtain productivity improvement formulation, AHP then applied to weigh the improvement alternative. Based on the overall analysis, the best scenario obtained a GPI value of 1.875. It is better compared to the initial GPI of 1.138. Keyword : AHP, GPI, ISM, Pre-processed Rubber, QFD
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS BAHAN OLAH KARET PADA PERKEBUNAN KARET RAKYAT DENGAN PENDEKATAN PRODUKTIVITAS HIJAU
ADHITIYA DWI RAHMANTO Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Peningkatan Produktivitas Bahan Olah Karet pada Perkebunan Karet Rakyat dengan Pendekatan Produktivitas Hijau Nama : Adhitiya Dwi Rahmanto NIM : F34090100
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. Pembimbing I
M. Arif Darmawan, S.TP. MT Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah produktivitas hijau, dengan judul Peningkatan Produktivitas Bahan Olah Karet pada Perkebunan Karet Rakyat dengan Pendekatan Produktivitas Hijau. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. dan Bapak M. Arif Darmawan, S.TP, MT selaku Pembimbing Akademik atas perhatian dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi serta Bapak Andes Ismayana, S.TP, MT yang telah banyak memberikan saran dalam skripsi ini. 2. Bapak Sutiarto selaku Kepala Bidang Perkebunan Banyumas, Bapak Lasim selaku Ketua Gapoktan karet Manggar Sari di Desa Kemawi Kec. Somagede Kab. Banyumas atas bimbingannya selama penelitian. 3. Ayahanda Sudarno, S.Pd, ibunda Ely Faridah, S.Pd.SD, kakak Malikus Dhanu Setyanto, S.Pi, dan adik kecil Nadela Hanu Azzahra atas doa dan dukungan tanpa henti kepada penulis. 4. Irchami Putriningtas atas doa dan motivasi yang selalu mengiringi langkah saya. 5. Teman-teman TIN 46 atas doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013 Adhitiya Dwi Rahmanto
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
3
Produktivitas
3
Produktivitas Hijau (Green Productivity)
4
Green Productivity Index (GPI)
4
Green Value Stream Mapping (GVSM)
5
Interpretative Structural Modelling (ISM)
5
Quality Function Deployment (QFD)
6
Analytical Hierarchy Process (AHP)
7
METODE
8
Kerangka Pemikiran
8
Pengukuran Produktivitas Hijau
9
Peningkatan Produktivitas
11
Pendekatan Sistem
11
Penetapan Responden
11
Tata Laksana Penelitian
11
HASIL DAN PEMBAHASAN
12
Analisis Kondisi Awal
12
Analisis Kelembagaan
13
Analisis Kegiatan Proses
16
Pengukuran Produktivitas
18
Analisis Kualitas
21
Analisis Peningkatan Produktivitas
23
Peningkatan Produktivitas Hijau
24
Evaluasi Skenario Perbaikan
28
Implikasi Manajerial
31
SIMPULAN DAN SARAN
33
Simpulan
33
Saran
33
DAFTAR PUSTAKA
34
LAMPIRAN
36
RIWAYAT HIDUP
68
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tujuh Sumber Pembangkit Limbah (Wills 2009) Matriks RM Subelemen dalam Elemen Tujuan dari Program dalam Peningkatan Produktivitas Bokar Hasil Analisis Tujuh Sumber Limbah Hijau (seven green wastes) Perhitungan Biaya Kebutuhan dalam Proses Bobot Atribut Kualitas Bokar Hierarki Perhitungan Bobot Level 5 (Alternatif) Penentuan Strategi Skenario Rancangan Alternatif Strategi Peningkatan Produktivitas Perbandingan Indeks Keempat Rancangan Perbaikan.
10 14 19 21 22 24 29 31
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Diagram Alir Kerangka Berpikir Tahap Pengukuran Produktivitas Hijau Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Tujuan dari Program Diagram Model Struktural dari Elemen Tujuan dari Program Bagan Kegiatan pada Perkebunan Karet Rakyat di Desa Kemawi Alat Penggiling (handmangle) Polos Alat Penggiling (handmangle) Bermotif Rumah Kualitas Bokar Perkebunan Karet Rakyat Desa Kemawi Rancangan Upaya Peningkatan Produktivitas Diagram Perbandingan Indeks Keempat Rancangan Perbaikan Urutan Langkah Peningkatan Produktivitas Bokar Ilustrasi Pengurangan Dampak Lingkungan dalam Kegiatan Peningkatan Produktivitas Bokar
8 9 14 15 16 18 18 22 28 31 32 32
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Perhitungan Variabel Dampak Lingkungan Analisis Kelembagaan Delapan Elemen Dosis Pemupukan Diagram Proses Pengolahan Karet Slab Giling / Tipis Standar Mutu Bokar Berdasarkan SNI 06-2047-2002 Peta Aliran Material (GVSM current state) Perhitungan Biaya Kebutuhan Proses Produksi Karet Slab Tampilan Hasil Perhitungan AHP Bobot Kriteria Kualitas Bokar Struktur Hierarki Penentuan Strategi Peningkatan Produktivitas Bokar dengan Pendekatan Produktivitas Hijau Tampilan Pengisian Model AHP Penentuan Strategi Peningkatan Produktivitas Keseluruhan Perhitungan Skenario Peta Aliran Material (GVSM future state) Program Perangkat Lunak
36 38 50 51 52 53 54 55 56 57 58 64 65
PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia (2012), luas areal perkebunan karet di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 3.456.128 ha yang terdiri dari 2.931.844 ha perkebunan rakyat, 257.005 ha perkebunan besar negara, dan 267.278 ha perkebunan besar swasta. Luas areal tersebut menghasilkan produksi karet sebesar 2.990.184 ton. Produktivitas terbesar sebesar 1.867 kg/ha dimiliki oleh perkebunan besar swasta, namun produktivitas perkebunan rakyat masih rendah yaitu 989 kg/ha. Sebagian besar produsen karet yang merupakan pengusaha kecil rata-rata memiliki lahan yang tergolong kecil dan masih menggunakan cara berkebun secara tradisional. Hal ini menyebabkan rendahnya produktivitas kebun yang diolah oleh pengusaha kecil dan berdampak pada profitabilitas rantai nilai perkebunan secara keseluruhan. Oleh karena itu perlu adanya peningkatan produktivitas untuk dapat membantu perekonomian negara di bidang perkebunan. Peningkatan produktivitas tersebut bukan hanya dilakukan pada perkebunan besar negara maupun perkebunan besar swasta, namun peningkatan produktivitas tersebut harus dilakukan pada perkebunan rakyat yang menyumbang luas areal perkebunan dan produksi yang besar. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 menjelaskan bahwa komoditas karet termasuk dalam komoditas utama negara dan potensi sumber alam Indonesia. Pada Peraturan Presiden No. 26 tahun 2012 tentang Cetak Biru Sistem Logistik Nasional (Sislognas), kedepannya Sislognas akan memperkuat program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sislognas dan MP3EI diharapkan saling memberikan sinergi positif bagi pembangunan ekonomi dan daya saing bangsa. Antara MP3EI dengan Sislognas memiliki keterikatan yang sangat erat. MP3EI mengidentifikasi potensi kekuatan ekonomi dan komoditi andalan nasional, sementara Sislognas sangat berkepentingan dalam menjamin pergerakan komoditi tersebut dapat berjalan dengan lancar dan efesien (Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian 2011). Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membantu daya saing karet alam adalah melalui peningkatan produksi karet per satuan luas, penurunan biaya produksi, peningkatan mutu dan penyajian, pengembangan kegunaan, serta langkah-langkah promosi dan strategi pemasaran yang tepat. Keseluruhan hal ini dapat dilakukan melalui penerapan konsep produktivitas hijau dalam kegiatan produksi karet alam, terutama pada kegiatan budidaya dan penanganan serta pengolahan proses pascapanen karet alam. Peningkatan produktivitas industri karet alam dapat dilakukan melalui pendekatan produktivitas hijau. Selain dapat meningkatkan produktivitas juga dapat meningkatkan nilai jual produk karet alam tersebut dikarenakan dalam proses produksinya memperhatikan dimensi lingkungan. Dengan lebih memperhatikan aspek lingkungan maka produk yang dihasilkan akan bersifat lebih ramah lingkungan dan menurunkan limbah yang dihasilkan.
2 Sejalan dengan pemikiran produktivitas hijau, Peraturan Menteri Pertanian No. 38 tahun 2008 tentang Pedoman Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet (Bokar) dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 53 tahun 2009 tentang Pengawasan Mutu Bahan Olah Komoditi Ekspor Standard Indonesian Rubber yang diperdagangkan, menguatkan akan pentingnya pengolahan karet alam yang ramah lingkungan. Dengan demikian dapat meningkatkan kualitas mutu bokar yang dihasilkan sehingga dapat bersaing dalam dunia perdagangan. Dengan meningkatnya isu akan besarnya dampak lingkungan yang dihasilkan pada proses kegiatan industri, diperlukan suatu bentuk pendekataan yang memperhatikan aspek lingkungan dalam pelaksanaan proses kegiatan industri yang dilakukan. Pendekatan yang dilakukan harus turut memperhitungkan hubungan antara kegiatan ekonomi dan aspek dampak lingkungan yang terjadi melalui proses kegiatan eksploitasi, produksi, dan konsumsi berbagai jenis sumber daya alam yang berdampak pada dihasilkannya limbah (Saputra 2012 : Marimin et al. 2013). Produktivitas hijau merupakan suatu pendekatan yang dapat membantu perusahaan atau instansi untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menurunkan dampak lingkungan. Implementasi produktivitas hijau akan memungkinkan terjadinya eco-efficiency yang pada akhirnya mengarah pada sustainable development. Putra (2012) mengembangkan konsep produktivitas hijau pada budidaya karet di perkebunan karet swasta. Wiguna (2012) juga mengembangkan konsep produktivitas hijau pada produksi karet alam di perusahaan swasta. Pada kasus perkebunan karet rakyat ini yang memproduksi bahan olah karet secara tradisional, dalam peningkatan produktivitas bokar dikembangkan konsep produktivitas hijau dengan memadukan metode ISM (Interpretative Structural Modelling), GVSM (Green Value Stream Mapping), QFD (Quality Function Deployment), serta AHP (Analytical Hierarchy Process). Perumusan Masalah Perkebunan karet rakyat memproduksi karet lebih rendah dibandingkan dengan perkebunan negara maupun perkebunan swasta. Begitu juga produktivitas yang dihasilkan oleh perkebunan karet rakyat rendah. Perlu ditingkatkannya produktivitas dengan memaksimalkan sumber daya dan input yang dimiliki untuk meningkatkan output yang akan dihasilkan. Untuk mengatasi permasalah tersebut selain peningkatan produktivitas dengan pendekatan produktivitas hijau, diperlukan peningkatan kualitas karet alam yang dihasilkan agar dapat mendongkrak perekonomian petani karet rakyat itu sendiri. Dari segi harga bokar di lapangan, permainan harga dilakukan oleh pedagang pengumpul sehingga petani pun mengalami penerimaan harga yang sedikit. Karena panjangnya rantai tata niaga bokar mengindikasi permainan harga di setiap level/lembaga masyarakat terkait. Untuk itu perlu adanya efisiensi dan efektivitas di dalam suatu sistem kelembagaan pada perkebunan karet rakyat itu sendiri. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan strategi peningkatan produktivitas bokar pada perkebunan karet rakyat dengan pendekatan produktivitas hijau yang ramah lingkungan.
3
1. 2. 3. 4.
Tujuan antara penelitian ini adalah : Menerangkan pola kelembagaan untuk memberikan arahan mengenai elemen yang menjadi prioritas dalam peningkatan produktivitas. Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi produktivitas serta kualitas yang dihasilkan. Mengukur dan mengevaluasi tingkat produktivitas hijau bokar. Memperoleh strategi terbaik yang akan digunakan dalam meningkatkan produktivitas bokar. Manfaat Penelitian
Output yang dihasilkan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi petani maupun instansi terkait di perkebunan karet rakyat dalam memberikan solusi peningkatan produktivitas agar dapat menghasilkan bokar yang bernilai dan berkualitas dengan pendekatan yang ramah lingkungan. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup kegiatan dari mulai penanganan pasca panen sampai distribusi ke industri hulu dari bokar, yang terdiri atas : analisis kelembagaan, analisis tingkat produktivitas bokar, analisis mutu bokar yang dihasilkan, penerapan produktivitas hijau sebagai solusi peningkatan produktivitas bokar, serta nalisis dan penentuan strategi peningkatan produktivitas bokar.
TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Produktivitas merupakan perbandingan antara efektivitas pelaksanaan tugas dengan efisiensi penggunaan sumber-sumber daya. Efektivitas diartikan sebagai suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target yang dapat tercapai baik secara kuantitas maupun waktu Sedangkan efisiensi merupakan suatu ukuran dalam membandingkan penggunaan masukan input yang direncanakan dengan penggunaan masukan yang sebenarnya dilakukan. Semakin besar nilai persentase pencapaian target, maka semakin tinggi tingkat efektivitasnya. Menurut Al-Darrab di dalam Gandhi et.al. (2006) produktivitas dapat ditingkatkan dengan lebih banyak melakukan perbaikan sumber daya secara efektif dan efisien untuk menghasilkan output yang diinginkan. Hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, diantaranya adalah penerapan teknologi produksi maju untuk meningkatkan output dan mengurangi input melalui kegiatan minimasi limbah. Sumanth di dalam Gaspersz (2000) memperkenalkan suatu konsep formal yang disebut sebagai siklus produktivitas untuk dipergunakan dalam peningkatan produktivitas terus-menerus. Ada empat tahap daur yang saling berkaitan dan berkesinambungan, yaitu : 3. Perencanaan Produktivitas 1. Pengukuran Produktivitas 2. Evaluasi Produktivitas 4. Perbaikan Produktivitas
4 Dalam peningkatan produktivitas perlu diketahui unsur-unsur yang terkait yaitu : kualitas, efektivitas dan efisiensi (Sumanth di dalam Gaspersz 2000). Naik turunnya tingkat produktivitas disebabkan oleh faktor pada pihak manajemen, karena pihak manajemen merupakan faktor yang paling berpengaruh, terutama dalam proses perencanaan dan penjadwalan, pengaturan beban kerja, kejelasan instruksi kerja dan evaluasi, serta dalam menumbuhkan motivasi kerja dan loyalitas pekerja terhadap institusi. Produktivitas Hijau (Green Productivity) Produktivitas hijau didefinisikan sebagai suatu strategi dalam peningkatan produktivitas dan pencapaian aspek lingkungan untuk keseluruhan yang berlandaskan pada pengembangan sosial ekonomi. Faktor-faktor dari aplikasi produktivitas terdiri atas alat pada manajemen lingkungan, teknik, dan teknologi untuk mengurangi dampak yang mempengaruhi lingkungan yang diakibatkan dari aktivitas perusahaan atau organisasi. Tujuan dari produktivitas hijau adalah untuk menghasilkan capaian lingkungan yang menggunakan sumber daya dan energi material yang lebih sedikit, sehingga akan berdampak pada minimasi pemborosan. Dengan kata lain maka akan lebih efektif dan efisien dalam proses kerja yang dilakukan (Putra 2012). Tiga kunci utama dalam pelaksanaan produktivitas hijau adalah strategi, produktivitas, dan pencapaian lingkungan. Secara fungsional produktivitas hijau bertujuan untuk : memastikan tingkat keuntungan bagi organisasi atau perusahaan (tingkat profitabilitas), meningkatkan mutu hidup dan mengurangi dampak lingkungan (APO 2006). Penerapaan konsep produktivitas hijau diartikan sebagai tindakan menerapkan suatu konsep penggunaan sumber daya yang lebih sedikit dan lebih efisien dalam pemanfaatan semua sumber daya yang terlibat, serta memastikan bahwa semua output memiliki tujuan penggunaan. Konsep produktivitas hijau merupakan konsep yang mencakup suatu hierarki perbaikan peluang bisnis agar dapat memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pasar. Perubahan harapan pasar di masa sekarang mengharuskan adanya proses pengelolaan lingkungan yang baik sebagai bentuk permintaan harapan pelanggan, selain dari harapan akan kualitas, pasokan, pengiriman, teknologi, kesehatan dan keselamatan, serta biaya (APO 2006). Green Productivity Index (GPI) Pendekatan kuantitatif dan sistematis perlindungan lingkungan diperlukan untuk mengidentifikasi masalah serta menyoroti penerapan keunggulan program lingkungan, teknologi, strategi, dan pendekatan yang dilakukan. Green Productivity Index (GPI) atau indeks produktivitas hijau digunakan untuk mengisi kesenjangan panjang yang ada dalam evaluasi kinerja lingkungan dan juga menawarkan langkah kecil ke arah pendekatan yang lebih kuat dan kuantitatif untuk pengambilan keputusan lingkungan. Green Productivity Index (GPI) didefinisikan sebagai rasio sistem produktivitas terhadap dampak lingkungannya, persamaan GPI dituliskan sebagai (Hur et.al. 2004) : GPI = Productivity/Environmental Impact
5 Produktivitas didefinisikan sebagai rasio perbandingan antara harga jual produk (SP) terhadap biaya produksi (PC) : SP / PC GPI = EI Dimana, “SP” merupakan harga jual sebuah produk, “PC” merupakan biaya produksi sebuah produk, dan “EI” merupakan dampak lingungan sebuah produk selama proses produksi pabrik. Green Value Stream Mapping (GVSM) Pada penelitian Putra (2012), Bangkit (2012) dan Darmawan et al. (2012) digunakan metode GVSM dalam memetakan aliran proses yang terjadi. Metode pemetaan baru yang merupakan pengembangan dari peta aliran nilai (VSM) dikenal di dalam konsep pendekatan yang memperhatikan aspek lingkungan. Metode pemetaan ini dikembangkan oleh Wills (2009), yang dikenal dengan metode pemetaan aliran material hijau atau green value stream mapping (GVSM) sebagai prinsip green intentions. Pada konsep peta aliran material (VSM) dikenal tujuh sumber pembangkit limbah terdiri dari inventori, perpindahan, kerusakan produk, transportasi, produksi berlebih, selisih berlebih proses, dan waktu menunggu. Berbeda halnya pada GVSM dikenal tujuh sumber pembangkit limbah hijau yang terdiri dari pemakaian energi, air, material, sampah, transportasi, emisi, dan biodiversitas. Sama halnya dengan konsep VSM, pemetaan GVSM juga memiliki dua jenis pemetaan, yaitu pemetaan saat ini (current state) dan pemetaan masa mendatang (future state). Secara khusus, diusulkan metodologi sistematis GVSM menganggap semua kegiatan dalam value stream atau operasi bisnis dan menentukan apakah, dari perspektif lingkungan (dibandingkan dengan pelanggan dalam konteks lean VSM), masing-masing kegiatan, proses, operasi, atau hal yang positif, baik, atau berharga. Jika tidak, itu dianggap boros dan harus diubah atau dihilangkan. Tujuannya adalah untuk memindahkan organisasi terhadap keberlanjutan dengan berfokus pada pengurangan "limbah hijau" yang berdampak lingkungan (Wills 2009). Interpretative Structural Modelling (ISM) Interpretative Structural Modelling (ISM) atau teknik permodelan interpretasi struktural menurut Eriyatno (1998) adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Metode ini dapat digunakan untuk membantu suatu kelompok, dalam mengidentifikasi hubungan kontekstual antar subelemen dari setiap elemen yang membentuk suatu sistem berdasarkan gagasan/ide atau struktur penentu dalam sebuah masalah yang komplek (Saxena et al. 1992). Eriyatno (1998) menyatakan bahwa metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi subelemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Program yang ditelaah penjenjangan
6 strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen dimana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah subelemen. Menurut Saxena (1992) program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu : sektor masyarakat yang terpengaruh, kebutuhan dari program, kendala utama, perubahan yang dimungkinkan, tujuan dari program, tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Metode ISM yang dikembangkan oleh Saxena (1992) diarahkan untuk memperoleh struktur hierarki subelemen di dalam elemen-elemen sistem berdasarkan hubungan kontekstual dalam bentuk hubungan V, A, X, O yang kemudian dikenal dengan istilah ISM VAXO. Hubungan kontekstual antara subelemen di dalam ISM VAXO menunjukkan hubungan yang bersifat langsung dan tidak menunjukkan hubungan antara subelemen yang bersifat tidak langsung. Simbol VAXO antar subelemen pada matriks SSIM akan tergantung dari sifat hubungan antara elemen tersebut yaitu : V adalah eij = 1 dan eji = 0 A adalah eij = 0 dan eji = 1 X adalah eij = 1 dan eji = 1 O adalah eij = 0 dan eji = 0 Dengan simbol angka 1 menunjukkan adanya hubungan kontekstual dan simbol 0 menunjukkan tidak terdapat hubungan kontekstual antar subelemen. Hasil penilaian tersebut tersusun dalam Structural Self Interaction Matrix (SSIM). SSIM selanjutnya ditransformasi menjadi RM (Reachability Matrix) yang merupakan matriks bilangan biner. Metode klasifikasi subelemen yang distrukturisasi berdasarkan tingkat driver power dan dependence serta menentukan elemen kunci dari sistem yang dikaji (Saxena 1992). Klasifikasi subelemen dibagi menjadi empat struktur, yaitu : 1. Sektor 1 : weak driver – weak dependent variables (autonomous) yang berisi peubah yang umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin mempunyai hubungan yang kecil walaupun dapat saja hubungan tersebut kuat; 2. Sektor 2 : weak driver – strongly dependent variables (dependent) yang berisi peubah tidak bebas; 3. Sektor 3 : strong driver – strongly dependent variables (linkage) yang berisi peubah yang harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah yang tidak stabil dan setiap tindakan pada peubah ini dapat memberikan dampak terhadap peubah lainnya dan umpan balik pengaruhnya dapat memperbesar dampak; 4. Sektor 4 : strong driver – weak dependent variables (independent) yang berisi bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Quality Function Deployment (QFD) Menurut Subagyo (2000) QFD adalah suatu cara untuk meningkatkan kualitas barang atau jasa dengan memahami kebutuhan konsumen, lalu menghubungkannya dengan ketentuan teknis untuk menghasilkan barang atau jasa di tiap tahap pembuatan barang atau jasa yang dihasilkan. QFD mencakup juga monitor dan pengendalian yang tepat dari proses operasional menuju sasaran.
7 QFD merupakan suatu alat untuk mendesain dan mengembangkan produk baru yang mampu mengintegrasikan kualitas ke dalam desain, memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen (customer needs and wants) yang diterjemahkan ke dalam technical responses. Pada proses desain dan pengembangan produk, QFD digunakan pada tahap evaluasi konsep-konsep produk (Green dan Bonollo 2002). Keinginan dan kebutuhan konsumen tersebut dijabarkan dalam fase-fase desain dan manufakturing. Proses QFD terdiri dari satu atau lebih matriks-matriks kualitas. Matriks pertama dinamai House of Quality (HOQ). Matriks HOQ tersebut terdiri dari beberapa matriks-matriks yang digabungkan yang masing-masing matriks berisi informasi yang saling berhubungan antara satu matriks dengan matriks lainnya (Cohen 1995). Semua matriks pada HOQ menggambarkan pemahaman tim pengembang produk atau proses mengenai aspek semua proses perencanaan produk, jasa, atau proses baru. Adapun fase-fase dalam QFD adalah : Fase 0 : Perencanaan QFD Fase 1 : Menggali Voice of Customer Fase 2 : Membangun House of Quality Analytical Hierarchy Process (AHP) Pada tahun 1970-an Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton School of Business mengembangkan Analytical Hierarchy Process AHP untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli dalam memilih alternatif yang paling disukai (Marimin dan Maghfiroh 2010). Suatu persoalan akan diselesaikan dengan menggunakan AHP dalam suatu kerangka pemikiran yang terorganisir, sehingga dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya. Saaty (1991) menyatakan bahwa terdapat tiga prinsip di dalam metode AHP. Prinsip pertama ialah penyusunan hierarki, yaitu menguraikan permasalahan yang kompleks menjadi elemen pokoknya, lalu prinsip kedua ialah penentuan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut kepentingannya, serta prinsip ketiga ialah konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan dan diperingkatkan secara logis. Menurut Fewidarto (1996), AHP dapat diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur maupun yang memerlukan suatu pendapat. Penggunaan pendapat dalam memecahkan masalah dilakukan dengan membandingkan elemen-elemen secara berpasangan (pairwise comparison). Penilaian dilakukan dengan cara memberikan bobot dan membandingkan antara satu elemen dengan elemen lain berdasarkan skala komparasi yang telah ditetapkan. Tahap berikutnya adalah melakukan sintesis terhadap hasil penilaian yang dilakukan untuk menentukan elemen mana yang memiliki prioritas tertinggi dan terendah.
8
METODE Kerangka Pemikiran Bokar merupakan getah karet yang disadap dalam bentuk gumpalan lateks sebagai hasil proses alami maupun hasil proses sederhana yang menggunakan bahan penggumpal. Tingkat produktivitas bokar bergantung pada integrasi dan keterkaitan antara seluruh kegiatan yang terjadi pada perkebunan karet rakyat sampai rantai pasokan ke industri hulu. Kegiatan di perkebunan dari mulai budidaya, panen, pasca panen sampai distribusi bokar ke industri hulu pada kenyataannya masih terjadi ketidakefisiensian dan ketidakefektifan. Hal tersebut yang menyebabkan petani karet mengalami kerugian baik materil maupun moril. Pengelolaan kebun yang seadanya dan karena keterbatasan petani dalam mengolah perkebunan karet ini yang menjadi faktor penghambat dalam peningkatan produktivitas. Keterampilan petani dan kurangnya kesadaran menerapkan pasca panen yang baik dan sering mengesampingkan dampak terhadap lingkungan juga mengakibatkan mutu bokar yang dihasilkan rendah. Belum lagi kelembagaan yang belum terbangun dengan baik menyebabkan lemahnya petani karet Indonesia. Tata niaga yang panjang dan banyaknya pedagang pengumpul karet dapat mengakibatkan harga jual yang diterima petani rendah. Semua ini merupakan faktor penghambat dalam suatu sistem peningkatan produktivitas bokar. Kerangka pemikiran diilustrasikan pada Gambar 1. Mulai Analisis Kondisi Awal
GVSM
Analisis Kelembagaan
ISM
Analisis Proses
GPI
Analisis Kualitas
QFD
Analisis Peningkatan Produktivitas
AHP
Peningkatan Produktivitas dengan Pendekatan Produktivitas Hijau
GPI
Selesai
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Berpikir Untuk mengurai masalah tersebut, dalam penelitian di lakukan terlebih dahulu analisis kondisi awal, kemudian dilanjutkan analisis kelembagaan. Dalam menganalisis kelembagaan dilakukan dengan metode ISM untuk mendapatkan
9 rancangan sistem secara efektif dalam pengambilan keputusan yang lebih baik nantinya. Setelah menganalisis kelembagaan selanjutnya dilakukan analisis proses dan kebutuhan bokar. Pada tahap analisis ini dilakukan identifikasi kegiatan yang memiliki pengaruh terhadap capaian tingkat produktivitas bokar dengan menggunakan GVSM. Melalui pemetaan ini, maka didapatkan data sumber material yang berpotensi sebagai sumber pembangkit limbah, yang kemudian dijadikan dasar pengukuran produktivitas, setelah diperolehnya nilai indikator lingkungan dan indikator ekonomi. Setelah produktivitas diukur, selanjutnya dilakukan analisis kebutuhan konsumen akan bokar yang sesuai dengan standar baku mutu yang ditetapkan. Pada analisis ini diidentifikasi kualitas dari bokar yang dihasilkan petani kemudian menghubungkannya dengan ketentuan teknis untuk menghasilkan bokar tersebut dalam tiap tahap proses menghasilkan bokar. Semua identifikasi kualitas bokar ini dilakukan dengan metode QFD. Kesemua tahapan tersebut nantinya akan digunakan untuk pengambilan keputusan untuk meningkatkan produktivitas bokar. Peningkatan produktivitas melalui pendekatan produktivitas hijau dilakukan dengan meminimalisir atau mengeliminasi penggunaan sumberdaya yang memiliki dampak dan pengaruh terhadap lingkungan. Penentuan strategi peningkatan produktivitas yang tepat diperoleh melalui metode AHP yang selanjutnya diukur kembali GPI dari skenario strategi terbaik. Pengukuran Produktivitas Hijau Sejalan dengan pemahaman Wiguna (2012), pengukuran tingkat produktivitas dilakukan setelah didapatkan data tujuh sumber pembangkit limbah dari hasil identifikasi melalui GVSM. Tahapan pengukuran produktivitas ini mengacu pada tahapan yang dikembangkan oleh Gandi et al. (2006). Skema tahapan pengukuran produktivitas pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 2. Hasil Analisa Tujuh Sumber Pembangkit Limbah (GVSM)
Dampak Lingkungan Indikator Ekonomi
Perhitungan Tingkat Produktivitas
Perhitungan Indeks Produktivitas Hijau (GPI)
Gambar 2. Tahap Pengukuran Produktivitas Hijau Pemetaan aliran proses ini ditujukan untuk mengidentifikasi timbulnya waste pada kegiatan produksi yang berimplikasi pada penurunan produktivitas industri. Pada GVSM diidentifikasi tujuh sumber pembangkit limbah yang terdiri dari pemakaian energi, air, material, sampah, transportasi, emisi, dan biodiversitas. Tujuh sumber pembangkit limbah tersebut dijelaskan pada Tabel 1. 1. Dampak Lingkungan Nilai dampak lingkungan bergantung pada hasil perkalian antara penjumlahan persamaan bobot indikator GP dengan besarnya jumlah limbah yang dihasilkan dari proses kegiatan untuk setiap jenis indikator. Semakin besar nilai dampak lingkungan, menunjukkan semakin besarnya dampak lingkungan yang dihasilkan dari proses kegiatan yang dilakukan.
10 Tabel 1. Tujuh Sumber Pembangkit Limbah (Wills 2009) Limbah Energi Air Material Sampah Transportasi Emisi Biodiversitas
Definisi dari Limbah Biaya untuk mengkonsumsi lebih banyak energi dari yang dibutuhkan dari sumber yang berdampak negatif lingkungan Biaya untuk menggunakan air lebih dari yang dibutuhkan Penggunaan bahan-bahan yang dirancang menjadi produk yang berakhir di TPA daripada digunakan kembali Biaya untuk membayar sesuatu yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan jika Anda membuangnya Biaya karena perjalanan yang menghasilkan dampak negatif pada lingkungan dari pembakaran bahan bakar fosil Biaya yang terkait dengan pembuangan polutan di lokasi Biaya yang terkait dengan kerusakan langsung flora, fauna, dan organisme yang dihasilkan dari pembangunan infrastruktur
Dampak lingkungan ditentukan berdasarkan penjumlahan bobot indikator produktivitas hijau. Bobot dan indikator produktivitas hijau ditentukan berdasarkan hasil analisis para pakar dunia yang terangkum dalam Environmental Sustainability Index atau ESI (Yale Center for Environmental Law and Policy Report 2005). Pembuatan ESI didasarkan oleh penentuan lima jenis komponen penilaian kualitas lingkungan, yang mencakup 21 indikator kelestarian lingkungan dan 76 variabel yang mendasari penilaian bobot masing-masing indikator. Metode perhitungan dampak lingkungan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian Putra (2012) dan Wiguna (2012) dengan topik yang sama yaitu produktivitas hijau. Perhitungan lengkap variabel dampak lingkungan tersaji pada Lampiran 1. Dari hasil perhitungan variabel dampak lingkungan diperoleh persamaan : Dampak lingkungan = 0,375 GWG + 0,25 WC + 0,125 SWG + 0,25 LC Keempat indikator GPI menggambarkan jumlah limbah yang dihasilkan dari suatu proses kegiatan. Pembangkit limbah gas (GWG) digunakan untuk memperhitungkan jumlah limbah gas. Limbah gas erat kaitannya dengan jumlah emisi yang dihasilkan dari proses pembuatan dan pendistribusian bokar. Konsumsi air (WC) digunakan untuk memperhitungkan jumlah konsumsi air dari suatu proses kegiatan. Pembangkit limbah padat (SWG) digunakan untuk mengperhitungkan limbah padat yang dihasilkan dari suatu proses. Pencemaran lahan (LC) ditujukan untuk memperhitungkan dampak lingkungan pada areal lahan perkebunan yang ditimbulkan oleh proses budidaya. Pencemaran lahan dinilai dapat mengurangi kandungan hara dan tingkat kesuburan tanah, sehingga penting untuk diperhitungkan. 2. Indikator Ekonomi Indikator ekonomi merupakan perbandingan antara harga jual produk dengan biaya produksi yang diperlukan untuk menghasilkan produk dalam satu jenis satuan yang sama. Pada penelitian ini, harga jual produk yang dimaksud adalah harga jual per kg bokar yang dihasilkan. Sedangkan biaya produksi yang dimaksud adalah
11 biaya produksi yang diperlukan untuk menghasilkan 1 kg bokar. Basis perhitungan yang digunakan dalam penentuan nilai indikator ekonomi ini adalah biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 ton bokar. 3. Indeks Produktivitas Hijau (GPI) Indeks produktivitas hijau (GPI) didefinisikan sebagai rasio perbandingan sistem produktivitas (indikator ekonomi) terhadap dampak lingkungan. Persamaan GPI dituliskan sebagai berikut: Indikator Ekonomi Indeks Produktivitas Hijau (GPI) = Dampak Lingkungan Peningkatan Produktivitas Peningkatan produktivitas dilakukan setelah pengukuran produktivitas awal dilakukan. Pada tahap ini dilakukan penentuan strategi peningkatan produktivitas yang diperoleh melalui metode AHP. Selanjutnya penerapan strategi peningkatan ini dilakukan melalui implementasi beberapa alternatif skenario strategi untuk mendapatkan strategi terbaik. Alternatif strategi terpilih dengan indeks GPI (future state) tertinggi selanjutnya diterapkan dalam future GVSM. Pendekatan Sistem Untuk mencapai tujuan penelitian, peningkatan produktivitas bokar pada perkebunan karet rakyat, digunakan pendekatan sistem dengan melakukan identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem tersebut dimulai dengan mencari semua faktor yang terdapat dalam sistem untuk mendapatkan solusi yang terbaik bagi penyelesaian masalah, kemudian membuat suatu model kelembagaan, model kualitas bokar dan AHP untuk membantu memilih alternatif yang paling memungkinkan. Penetapan Responden Untuk mendukung tercapainya tujuan penelitian dengan pendekatan sistem maka diperlukan masukan sebagai data dari pakar karet. Responden sebagai pakar ditentukan berdasarkan keahliannya pada bidang karet alam secara umum dan bahan olah karet rakyat secara khususnya dan juga di bidang lingkungan. Pakar tersebut baik dari kalangan akademisi, birokrasi, maupun praktisi. Adapun pakar yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak tiga orang, yang terdiri atas pakar karet dari Dinas Perkebunan Kabupaten Banyumas, Ketua Kelompok Tani Karet di Desa Kemawi Kec. Somagede Kab. Banyumas dan seorang dosen IPB di bidang karet alam. Karena dalam penerapan metoda AHP terdapat tahap uji konsistensi pendapat pakar (uji CR), maka tingkat kepakaran responden dapat dipertanggung-jawabkan. Tata Laksana Penelitian 1. Pengumpulan Data Pengumpulan data meliputi data kuantitatif dan kualitatif dalam bentuk data primer maupun data sekunder. Untuk mendapatkan data kualitatif dilakukan
12 melalui teknik wawancara mendalam. Pengamatan langsung dan dokumentasi kegiatan juga dilakukan untuk mendukung hasil wawancara. Data kuantitatif yang digunakan berupa data primer dan data sekunder, di mana data primer didapatkan langsung dari lapangan sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil wawancara petani dan pihak perkebunan karet rakyat maupun dinas terkait dan studi pustaka terkait (artikel, jurnal ilmiah, buku acuan dan internet). 2. Pengolahan Data Analisis pengukuran dan perhitungan tingkat produktivitas beserta indikatorindikator yang berpengaruh terhadapnya dianalisis dengan menggunakan Microsoft Excel 2013. Selan itu aplikasi Microsoft Excel 2013 juga digunakan untuk mengolah beragam fungsi aritmatika dasar. Pengolahan data hasil wawancara pakar dengan metode AHP diolah dengan menggunakan aplikasi Expert Choice 11. 3. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret 2013 di perkebunan karet rakyat di Kec. Somagede Kab. Banyumas. Kegiatan diskusi dan wawancara pakar dilakukan di kantor GAPKINDO (Gabungan Perusahaan Karet Indonesia), di PT. Riset Perkebunan Nusantara dan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, serta di kantor Dinas Perkebunan Kab. Banyumas.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kondisi Awal Perkebunan karet rakyat di Desa Kemawi berpotensi dalam pengembangan industri hulu karet. Namun pada lapangan masing banyak ditemukan berbagai kendala yang dihadapi oleh petani karet. Kendala tersebut terdapat pada proses budidaya dan manajemen perkebunannya. Dari permasalah tersebut, dilakukan analisis-analisis untuk dapat meningkatkan produktivitas bokar dengan pendekatan produktivitas hijau yang lebih ramah lingkungan. Kondisi tanah yang berbukitbukit di desa Kemawi menyebabkan pola penanaman karet perlu diperhatikan. Sistem penanaman karet secara tumpang sari di desa Kemawi dilakukan untuk dapat menghasilkan tambahan biaya karena dalam rentang 1 sampai 5 tahun tanaman karet belum dapat berproduksi. Kendala utama yang dihadapi adalah kenerja dan pengetahuan petani tentang karet yang perlu ditingkatkan. Petani tersebut menjadi pelaku utama di dalam perkebunan karet rakyat. Di lapangan masih banyak ditemukan teknik penyadapan yang kurang efisien, misalnya petani melakukan penyadapan di pagi hari namun pengambilan dan pengumpulan lateksnya dilakukan di keesokan harinya. Selain itu ada juga petani yang sengaja atau tidak sengaja memasukan kulit hasil tatalan ke dalam mangkok lateks. Hal-hal seperti ini yang dapat menyebabkan kualitas dari karet rendah. Kelompok tani karet yang terbentuk belum dapat dimaksimalkan secara penuh. Masih banyak petani yang menjual hasil karetnya secara individu ke pedagang pengumpul. Harga karet yang dijual ke pedagang pengepul juga masih dengan sistem taksir harga. Dari pedagang pengumpul tersebut biasanya juga dijual
13 ke pedagang lain yang lebih besar. Tata niaga yang panjang ini menyebabkan harga ditingkat petani rendah. Diharapkan petani dapat mengembangkan kelompokkelompok tani sebagai tempat bertukar ilmu karet serta sebagai wadah dalam pengembangan usaha karet. Kendala modal dalam pengembangan perkebunan karet juga yang sering dihadapi petani. Dalam rangka pengembangan perkebuanan karet rakyat di Kabupaten Banyumas, Dinas Perkebunan Kabupaten Banyumas juga memberikan bantuan sarana prasarana. Namun bantuan sarana dan prasarana dari dinas perkebunan berupa bangunan pengolahan karet, alat pengenggilingan (handmangle), serta peralatan penyadapan juga belum digunakan secara maksimal. Kondisi perkebunan karet rakyat jauh berbeda dengan perkebunan karet negara maupun swasta. Produktivitas yang rendah pada perkebunan karet rakyat disebabkan karena perawatan tanaman yang seadanya menyebabkan produktivitas tanaman ikut menurun. Teknik-teknik budidaya karet yang diterapkan pada perkebunan karet rakyat juga masih sebatas dari pengetahuan petani. Padahal potensi luas perkebunan rakyat jauh lebih besar dibandingkan dengan perkebunan negara maupun swasta. Analisis Kelembagaan Analisis kelembagaan menfokuskan mengkaji bentuk keterkaitan antar elemen dan subelemen dalam pengembangan agroindustri maupun dalam peningkatan produktivitas bokar dalam penelitian ini. Dari hasil diskusi dan wawancara dengan para pakar diperoleh 8 elemen yang dikaji dalam peningkatan produktivitas, yaitu sektor masyarakat yang terpengaruh, kebutuhan dari program, kendala utama, perubahan yang dimungkinkan, tujuan dari program, tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, lembaga yang terlibat, serta aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan. Dari masing-masing elemen tersebut dikaji dan diuraikan menjadi subelemen-subelemen yang selanjutnya dilakukan penilaian hubungan kontekstual antar subelemen dari setiap elemen. Berdasarkan survey lapangan dan wawancara dengan pihak terkait diperoleh untuk elemen tujuan dari program menghasilkan 9 subelemen yaitu : 1. Meningkatkan produktivitas dan produksi tanaman karet (T1) 2. Meningkatkan produktivitas dan produksi produk (bokar) prospektif (T2) 3. Meningkatkan kualitas mutu bokar yang dihasilkan (T3) 4. Meningkatkan kemampuan bersaing produk agroindustri karet rakyat di dalam negeri (T4) 5. Memperkokoh struktur ekonomi daerah dengan keterkaitan yang kuat dan saling mendukung antar sektor (T5) 6. Meningkatkan nilai tambah dengan adanya pengembangan industri hilir (T6) 7. Meningkatkan dan menghemat devisa negara (T7) 8. Meningkatkan kualitas SDM sektor agribisnis dan agroindustri (T8) 9. Meningkatkan penggunaan teknologi sederhana yang ramah lingkungan (T9). Hasil analisis menggunakan model ISM menghasilkan Tabel Reachability Matrix dan interpretasinya seperti terlihat pada Tabel 2.
14 Tabel 2. Matriks RM Subelemen dalam Elemen Tujuan dari Program dalam Peningkatan Produktivitas Bokar T1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 6
T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 D L
T2 1 1 1 0 0 0 0 1 1 5 5
T3 1 1 1 0 0 0 0 1 1 5 5
T4 1 1 1 1 0 1 0 1 1 7 3
T5 1 1 1 1 1 1 0 1 1 8 2
T6 1 1 1 0 0 1 0 1 1 6 4
T7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 1
T8 1 1 1 0 0 0 0 1 1 5 5
T9 1 1 1 0 0 0 0 1 1 5 5
DP 9 8 8 3 2 4 1 8 8
R 1 2 2 4 5 3 6 2 2
Dengan memperhitungkan Driver Power (DP) dan Dependence (D) dari setiap subelemen, maka matriks DP-P dapat disusun dengan menempatkan setiap ordinat (x,y) masing-masing sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3 dimana kesembilan subelemen tersebar ke dalam kategori 4 sektor. Dari Gambar 3 terlihat subelemen meningkatkan produktivitas dan produksi produk (bokar) prospektif (T2), meningkatkan kualitas mutu bokar yang dihasilkan (T3), meningkatkan kualitas SDM sektor agribisnis dan agroindustri (T8), dan meningkatkan penggunaan teknologi sederhana yang ramah lingkungan (T9) termasuk dalam sektor III (linkage). Yang termasuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, karena hubungan antar subelemen bersifat tidak stabil. Setiap tindakan subelemen tersebut akan memberikan pengaruh terhadap berhasilnya program dan memperbaiki pengaruhnya bisa memperbesar keberhasilan peningkatan produktivitas bokar dan pengembangan usahanya. 9
T1
T3
8 T2 7
Driver Power
Sektor IV
0
T8 T9
Sektor III
6 5 1
2
3
4 4
5
6 T6
7
3
Sektor I
2 1
8
9
T4
Sektor II
T5 T7
0
Dependence
Gambar 3. Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Tujuan dari Program Analisis lebih lanjut pada sektor IV (independent), menyatakan bahwa subelemen meningkatkan produktivitas dan produksi tanaman karet (T1) termasuk peubah bebas. Dalam hal ini berarti kekuatan penggerak (driver power) yang besar terhadap keberhasilan program, tetapi sedikit ketergantungan program. Adapun subelemen meningkatkan kemampuan bersaing produk agroindustri karet rakyat di
15 dalam negeri (T4), memperkokoh struktur ekonomi daerah dengan keterkaitan yang kuat dan saling mendukung antar sektor (T5), meningkatkan nilai tambah dengan adanya pengembangan industri hilir (T6), serta subelemen meningkatkan dan menghemat devisa negara (T7) termasuk sektor II kategori peubah tidak bebas (dependent). Sektor II diartikan sebagai akibat dari tindakan subelemen lainnya. Pada Gambar 4 tingkat (level-L) dari setiap subelemen ditentukan melalui pemisahan tingkat pada RM. Penetapan tingkat dari setiap subelemen dapat ditentukan dari ranking masing-masing subelemen. Hasil dari studi kasus didapatkan enam tingkat hierarki dimana subelemen meningkatkan dan menghemat devisa negara (T7) menempati tingkat pertama. Elemen kunci (key element) adalah subelemen dengan peringkat (R) satu, dalam kasus ini adalah subelemen meningkatkan produktivitas dan produksi tanaman karet (T1). Elemen kunci berada pada level yang merupakan dasar bagi subelemen lain. T7 T5 T4 T6
T2
T3
T8
T9
T1
Gambar 4. Diagram Model Struktural dari Elemen Tujuan dari Program Penjelasan ketujuh elemen dalam analisis kelembagaan lainnya mempunyai prinsip yang sama dengan penjelasan elemen tujuan di atas. Yang perlu ditekankan adalah subelemen yang berada pada sektor III (linkage) karena bersifat tidak stabil yang artinya tindakan subelemen tersebut akan memberikan pengaruh terhadap keberhasilan program. Selain itu perlu ditekankan juga adalah elemen kunci dari setiap elemen yang dikaji. Pada elemen sektor masyarakat yang terpengaruh elemen kuncinya adalah petani. Pada elemen kebutuhan dari program, subelemen sarana dan prasarana produksi menjadi elemen kunci. Elemen kendala utama yang menjadi elemen kunci adalah rendahnya produktivitas tanaman. Tumbuh dan berkembangnya sentra komoditas karet sebagai pemasok bahan baku industri adalah elemen kunci dari elemen perubahan yang dimungkinkan. Subelemen meningkatnya produktivitas komoditas karet merupakan kunci elemen dari elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan. Kelompok tani merupakan elemen kunci dari elemen lembaga yang terlibat dan pada elemen aktivitas yang dibutuhkan, yang menjadi elemen kuncinya adalah subelemen adanya peningkatan produktivitas dan efisiensi, meningkatnya keterampilan petanidan, meningkatnya kualitas mutu bokar. Analisis kelembagaan secara lengkap tersaji pada Lampiran 2.
16 Analisis Kegiatan Proses Perkebunan Karet Rakyat Desa Kemawi Kec. Somagede Penanaman
Perawatan TBM
Perawatan TM
Pemanenan
Pengolahan Karet Alam
Gambar 5. Bagan Kegiatan pada Perkebunan Karet Rakyat di Desa Kemawi Pada Gambar 5 terlihat kegiatan yang berlangsung di perkebunan karet rakyat Desa Kemawi. Dimana kegitan tersebut meliputi penanaman, perawatan TBM, perawatan TM, pemanenan, dan pengolahan karet alam. Kegiatan tersebut diuraikan dengan jelas sebagai berikut : Penanaman 1. Sistem Penamanan Karet Pada perkebunan karet rakyat di desa Kemawi sistem penanaman karet terbilang kurang teratur, hal ini disebabkan karena kontur tanah yang berbukit (tidak datar) sehingga pola penanaman karet tersebut mengikuti kontur tanah. Tanah yang memiliki kemiringan di atas 10° hendaknya di buat teras. Lebar teras minimal 1,5 m. Jarak antara teras yang satu dengan yang lain 7 m untuk jarak tanam (7 x 3) m. Pada kemiringan yang sama dibuat satu teras. Pembuatan teras dilakukan dengan cara menggali tanah landai ke dalam. Tanah galian ini diuruk dibagian bawahnya hingga terbentuk teras. Pembuatan teras dimaksudkan agar tanah tidak mudah tererosi. 2. Pelaksanaan Penanaman Sebelum penanaman, lubang tanam harus sudah siap. Lubang tanam dibuat dengan jarak antarlubang (7 x 3) m. Jika tanah yang disiapkan dibentuk teras kontur yang jarak antar terasnya 7 m, maka ajir dipancang pada barisan dengan jarak 3 meter. Lubang tanam untuk bibit dalam kantong plastik adalah (60 x 60 x 60) cm. Selanjutnya diberikan pupuk dasar yaitu SP 36 dengan dosis 125 gram/pohon atau sekitar 62,5 kg/ha. 3. Kebutuhan Bibit Kebun yang dimiliki petani desa Kemawi tidak dalam satu wilayah, melainkan terpisah-pisah. Namun, setiap kebun rata-rata memiliki luas 0,5 ha. Dari 0,5 ha tersebut dengan jarak tanam (7 x 3) m jumlah pohon yang ditanam sebanyak 250 pohon termasuk pohon sulaman. Perawatan TBM Tanaman karet berumur satu sampai lima tahun digolongkan ke dalam tanaman belum menghasilkan. Perawatan tanaman belum menghasilkan meliputi kegiatan penyulaman, penyiangan, pemupukan, seleksi dan penjarangan. Kegiatan penyulaman dilakukan untuk mengganti bibit karet yang mati di lahan. Penyiangan memiliki tujuan untuk membebaskan tanaman dari gangguan gulma yang berada di lahan tanam. Penyiangan dilakukan dengan cara manual biasanya dilakukan dengan bantuan parang atau cangkul. Penyiangan dilakukan 2-3 kali setahun. Pemupukan bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan tanaman. Pemberian pupuk dilakukan pada saat pergantian musim, antara musim penghujan ke musim kemarau. Jenis
17 pupuk yang diberikan adalah urea, TSP, KCL, MOP, dan Kies. Sedangkan seleksi dilakukan untuk menghentikan penyebaran penyakit pada tanaman bermasalah. Perawatan TM Tanaman karet berumur lima sampai tiga puluh tahun digolongkan ke dalam tanaman menghasilkan. Kegiatan perawatan tanaman menghasilkan tidak terlalu berbeda dengan perwawatan TBM, yaitu terdiri atas kegiatan penyiangan, pemupukan, dan peremajaan. Peremajaan pada tanaman meghasilkan dilakukan pada tanaman karet tua yang dinilai sudah tidak menguntungkan secara ekonomis karena telah mengalami penurunan produksi lateks. Selain pupuk, pada kegiatan pembibitan dan perawatan tanaman karet juga diperlukan pestisida dan obat tanaman untuk menunjang pertumbuhan tanaman karet. Untuk menghemat biaya, maka jumlah pohon sangat diperlukan untuk penentuan banyaknya pupuk yang digunakan. Pohon-pohon yang baik untuk disadap saja yang dipupuk dan dosis pemupukannya dihitung perpohon. Pemberian pupuk jangan dilakukan pada musim penghujan karena pupuk akan cepat tercuci oleh air hujan. Pemberian pupuk dilakukan pada saat pergantian musim, antara musim penghujan ke musim kemarau. Dosis pemupukan untuk tanaman belum menghasilkan dan sudah menghasilkan tersaji pada Lampiran 3. Pemanenan Kegiatan pemanenan sama halnya kegiatan penyadapan merupakan kegiatan pokok dari pengusahaan tanaman karet. Tujuaanya adalah membuka pembuluh lateks pada kulit pohon agar lateks cepat keluar. Untuk memperoleh hasil sadap yang baik, penyadapan harus mengikuti aturan tertentu agar diperoleh produksi yang tinggi, menguntungkan, serta berkesinambungan dengan tetap memperhatikan factor kesehatan tanaman. Tanaman karet yang siap sadap adalah tanaman yang memiliki umur tanaman di atas lima tahun dengan masa produksi 25-35 tahun. Petani karet desa Kemawi umumnya menyadap karet dua hari sekali. Biasanya dilakukan pada pagi hari antara pukul 05.00-06.00 pagi. Sedangkan pengumpulan lateksnya dilakukan antara pukul 08.00-10.00. Namun pada kenyataan di lapangan, masih ada petani yang mengumpulkan lateks di esok harinya setelah disadap. Hal inilah yang mengurangi kualitas lateks yang dihasilkan karena lateks hasil sadapan sudah menggumpal dan diindikasi terdapat kotoran yang menyebabkan lateks kotor. Peralatan sadap menentukan keberhasilan penyadapan. Semakin baik alat yang digunakan, semakin baik pula hasilnya. Peralatan yang biasanya digunakan untuk penyadapan karet meliputi pisau sadap, mangkuk sadap, talang lateks, cincin mangkuk dan juga tali. Pengolahan Karet Alam Pengolahan karet menentukan nilai tambah yang akan diperoleh. Hasil sadapan yang baik, apabila tidak diolah dengan optimal akan mendapatkan harga yang rendah. Oleh karena itu pengolahan karet harus diperhatikan dengan baik, sehingga diperoleh hasil olahan karet yang bermutu dan berharga jual tinggi. Peralatan yang digunakan dalam pengolahan bokar meliputi alat penggiling, bejana koagulasi, dan ruang pengeringan dan pengasapan. Alat penggiling digunakan dalam pengolahan karet jenis sit/slab. Alat ini terdapat dua jenis yaitu
18 penggiling halus dan penggiling bermotif penampakannya masing masing pada Gambar 6 dan Gambar 7. Penggiling halus digunakan untuk menentukan tebal dari karet sit/slab yang dibuat, setelah tebal didapatkan barulah digiling menggunakan penggiling bermotif agar dihasilkan karet sit yang bermotif.
Gambar 6. Alat Penggiling (handmangle) Polos
Gambar 7. Alat Penggiling (handmangle) Bermotif
Petani karet di perkebunan karet rakyat desa Kemawi pada umumnya memproduksi bokar berupa cup lump. Namun ada pula petani yang memproduksi karet slab tipis/giling. Alasan petani banyak menjual lateks dalam bentuk cup lump karena petani ingin cepat menghasilkan uang dengan menjual cup lump yang tidak membutuhkan pengolahan yang lebih lanjut. Berbeda dengan karet slab yang membutuhakan pengolahan yang lanjut namun dari segi harga karet slab lebih tinggi dibandingkan dengan cup lump. Slab tipis dibuat dari lateks atau campuran lateks dengan lump mangkok yang dibekukan dengan asam semut di dalam bak pembeku yang berukuran 60 x 40 x 6 cm, tanpa perlakuan penggilingan. Proses pembuatan slab tipis dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Masukkan dan susun lump mangkok secara merata di dalam bak pembeku. 2. Tambahkan larutan asam semut 1% ke dalam lateks kebun, dengan dosis 110 ml per liter lateks, kemudian diaduk. 3. Tuangkan campuran tersebut ke dalam bak pembeku yang telah diisi lump mangkok. 4. Biarkan sekitar 2 jam, lalu gumpalan diangkat dan disimpan di atas rak dalam tempat yang teduh. Untuk meningkatkan kadar karet kering menjadi sekitar 70%, slab tipis dapat digiling dengan menggunakan handmangle dan hasilnya disebut dengan slab giling. Slab tipis dapat diolah menjadi blanket melalui penggilingan dengan mesin creper. Proses penggilingan dilakukan sebanyak 46 kali sambil disemprot dengan air bersih untuk menghilangkan kotoran yang terdapat di dalam slab. Hasil blanket mempunyai ketebalan sekitar 0,6 cm – 1 cm, dengan KKK sekitar 75%. Diagram proses pengolahan karet slab giling/tipis dapat dilihat pada Lampiran 4. Standar mutu sesuai dengan SNI 06-2047-2002 terlampir pada Lampiran 5. Pengukuran Produktivitas Berdasarkan hasil analisis ini diketahui bahwa penggunaan energi pada semua kegiatan adalah 0. Hali ini dikarenakan semua aktivitas kegiatan dari mulai pemanenan, perawatan TBM dan TM, pemanenan serta pembuatan bokar dilakukan secara tradisional tanpa menggunakan mesin maupun alat elektronik. Begitu pun dengan penggunaan air yang hanya terdapat pada pembuatan bokar sebesar 47,38 liter per pembuatan bokar (produksi 14 kg bokar dengan kadar karet kering 30,5%
19 maka lateks yang dihasilkan 46 liter) sehingga dibutuhkan 3384,3 liter untuk memproduksi 1 ton bokar. Air tersebut digunakan dalam pengenceran lateks. Pada proses pembekuan digunakan koagulan asam semut 1%. Larutan koagulan asam semut dengan dosis 110 ml asam semut 1% dicampurkan per liter lateks. Air yang digunakan dalam proses pembekuan karet sebanyak 357,1 liter. Sehingga total pemakaian air pada pembuatan 1 ton bokar sebanyak 3741,4. Penggunaan air pada kegiatan penanaman serta perawatan TBM dan TM digantikan dengan air yang diperoleh dari penampungan air hujan. Material yang dari mulai kegiatan penanaman, perawatan TBM dan TM merupakan material pupuk yang digunakan. Pupuk tersebut terdiri dari urea, TSP, KCL, Kieserit, MOP, maupun SP36 yang merupakan pupuk dasar. Pestisida yang digunanakan TB 29, round up, amoniak, dan belerang. Total keseluruhan material yang digunakan sebesar 4479,5 kg. Sampah sebesar 16 kg pada kegiatan penanaman berasal dari penggunaan polybag. Sedangkan sampah sebesar 1,5 kg kegiatan pemanenan bokar per sekali sadapan yang berasal dari ranting, kerikil, tatalan kulit karet, maupun material lain yang mengotori lateks. Bila produksi bokar 1 ton maka sampah pada kegiatan pemanenan adalah 214,5 kg, sehingga total sampah mencapai 230,5 kg. Perhitungan emisi yang dilakukan mengacu pada surat edaran Menteri ESDM No.3783/21/600.5/2008, dimana faktor konversi untuk mengubah energi listrik menjadi jumlah emisi CO2 yang dihasilkan sebesar 0.891 kg/KWh. Sedangkan faktor konversi konsumsi solar menjadi emisi CO2 berdasarkan DEFRA dan DECC (2010) adalah sebesar 2.6413 kg/l. Dengan asumsi transportasi menggunakan mobil bak terbuka yang menghabiskan konsumsi bahan bakar 1 liter untuk menempuh 11 km, maka melalui perhitungan emisi yang dihasilkan dalam pengiriman bibit sejauh 25 km sebesar 6,03 kg. Hal sama digunakan dalam perhitungan emisi dalam pengiriman bokar yang menempuh jarak 60 km menghasilkan emisi sebesar 14,41 kg. Mobil bak terbuka tersebut mampu memuat 1 ton muatan. Besarnya biodiversitas yang pakai sebesar 1 ha sebagai lahan dan 0,001 ha sebagai tempat pengolahan lateks. Hasil analisis tujuh sumber pembangkit limbah selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Pada penelitian ini telah dilakukan analisis setiap proses pada peta aliran material, dan telah didapatkan aliran data dan material dalam peta aliran nilai. Hasil penggambaran seluruh aktivitas aliran material dalam GVSM (current state) disajikan pada Lampiran 6. Tabel 3. Hasil Analisis Tujuh Sumber Limbah Hijau (seven green wastes) Pembuatan Bokar
Pemanenan
Perawatan TM
0 0 0 0 0 0 0 3741,40 1926,50 2474,50 0 0 0 0 214,50 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0,001
Pengiriman Bokar
0 0 78,5 16 0 0
Pengiriman Bibit
Energi (KWh) Air (Liter) Material (Kg) Sampah (Kg) Transportasi (Km) Emisi (Kg) Biodiversitas (Ha)
Perawatan TBM
Jenis Limbah
Penanaman
Proses Kegiatan
0 0 0 0 25 6,03 0
0 0 0 0 60 14,41 0
Total
0 3741,40 4479,50 230,50 85 20,44 1,001
20 Perhitungan Dampak Lingkungan Pada tahap perhitungan dampak lingkungan, total hasil analisis ketujuh sumber pembangkit limbah yang telah didapatkan dari peta aliran material hijau (current state) proses kegiatan dalam perkebunan karet rakyat ini digolongkan ke dalam empat variabel lingkungan GPI. Emisi pada proses kegiatan digolongkan sebagai variabel gaseous wastes generation (GWG), pengunaan air digolongkan ke dalam variabel water consumption (WC), sampah yang dihasilkan digolongkan ke dalam solid wastes generation (SWG), dan penggunaan material digolongkan ke dalam variabel land contamination (LC) (Putra 2012). Berdasarkan data-data yang telah didapatkan dari analisis tujuh sumber pembangkit limbah, selanjutnya dilakukan perhitungan variabel dampak lingkungan sebagai berikut : Jumlah Produksi Bokar / ha 14 kg / ha Ini merupakan asumsi dari petani dengan luas lahan 1 ha dengan jumlah pohon yang produktif sebanyak 300 dari 500 pohon per satu kali sadapan. Sehingga untuk mendapatkan basis 1 ton produksi bokar setidaknya dilakukan 72 kali sadapan. Pembangkit Limbas Gas (GWG) 20,44 kg per sekali angkut yang dapat mengangkut 1 ton muatan. Konsumsi Air (WC) Air yang digunakan dalam pembuatan bokar 1 ton sebanyak 3741,40 liter. Karena densitas air 1 kg/l maka konsumsi air sebanyak 3741,40 kg Pembangkit Limbah Padat (SWG) 230,50 kg Merupakan sampah yang berasal dari polybag hasil penanaman dan material seperti ranting, pasir, kerikil, maupun tatal kulit batang pohon karet yang mengotori lateks. Pencemaran Lahan (LC) 4479,50 kg Dari perhitungan tersebut, maka dampak lingkungan (EI) yang dihasilkan dari proses dapat dirumuskan sebagai berikut : EI = (0,375 x GWG) + (0,25 x WC) + (0,125 x SWG) + (0,25 x LC) EI = (0,375 x 20,44) + (0,25 x 3741,40) + (0,125 x 230,50) + (0,25 x 4479,50) EI = 2091,70 kg Dampak lingkungan yang dihasilkan dari semua kegiatan menghasilkan bokar sekali sadapan setelah tanaman berumur produktif adalah 2091,70 kg atau 2,09 ton. Perhitungan Indikator Ekonomi Basis perhitungan yang digunakan dalam penentuan nilai indikator ekonomi ini adalah biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu ton produk karet slab. Tabel 4 menunjukan perhitungan biaya kebutuhan dalam proses menghasilkan karet slab sebesar satu ton. Daftar lengkap perhitungan biaya kebutuhan proses produksi karet slab terlampir pada Lampiran 7. Biaya bahan dari dihasilkan dari biaya pengangkutan bibit serta pengiriman bokar dengan asumsi pemakaian bahan bakar 1 : 11 km. Sehingga dihasilkan 2,27 liter untuk menempuh jarak 25 km sekali pengiriman bibit dan 5,45 liter untuk menempuh 60 km pengiriman 1 ton bokar. Dalam perhitungan biaya kebutuhan tidak dicantumkan biaya pegawai karena petani sendiri yang mengolah karet.
21 Tabel 4. Perhitungan Biaya Kebutuhan dalam Proses Daftar Kebutuhan Bahan bakar Biaya sarana prasarana Total biaya produksi
Jumlah (2,27+5,45)
Harga per Satuan (Rp) 6500
Biaya (Rp) 50.180 8.350.965 8.401.145
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka diketahui total biaya kebutuhan proses produksi bokar sebesar Rp 8.401.145 dapat memproduksi satu ton bokar atau karet slab. Dengan asumsi bahwa sekali sadapan 1 ha menghasilkan rata-rata 14 kg lateks, sehingga diperlukan setidaknya 72 kali sadapan. Kemudian besar pendapatan yang diperoleh dari penjualan produk karet slab tipis/giling sebagai berikut : Pendapatan penjualan / harga jual satu ton slab tipis/giling Asumsi harga jual slab per kg = Rp 20.000 Jadi harga jual satu ton slab = Rp 20.000.000 Perhitungan indikator ekonomi dihitung sebagai perbandingan antara pendapatan penjualan produk dengan total biaya produksi produk tersebut. Sehingga diperoleh : Indikator Ekonomi atau Produktivitas Pendapatan / Total Biaya = 20.000.000 / 8.401.145 Produktivitas = 2,38 Tingkat produktivitas atau indikator ekonomi proses pembuatan bokar dalam hal ini karet slab tipis/giling adalah 2,38. Perhitungan Indeks Produktivitas Hijau (GPI) Berdasarkan hasil perhitungan dampak lingkungan dan indikator ekonomi kemudian dihitung nilai indeks produktivitas hijau (current state) dihasilkan 1,14 dengan perhitungan sebagai berikut : 2,38 Indeks Produktivitas Hijau (GPI) = = 1,14 2,09 Nilai ini menunjukkan bahwa tingkat produktivitas masih lebih tinggi dari dampak lingkungan yang dihasilkan dari proses kegiatan yang dilakukan. Secara umum, semakin tinggi nilai indeks produktivitas hijau yang dicapai, maka tingkat produktivitas dan indikator ekonomi petani akan semakin tinggi, sedangkan dampak lingkungan yang dihasilkan dari proses kegiatan akan semakin rendah. Sebaliknya semakin rendah nilai indeks produktivitas hijau, maka semakin besar dampak lingkungan yang ditimbulkan dari proses kegiatan yang dilakukan. Analisis Kualitas Hasil wawancara dengan pakar karet diperoleh lima atribut yang menjadi prioritas dalam memilih bokar yaitu kadar karet kering, ketebalan, kebersihan, jenis koagulan, dan kelenturan. Atribut kualitas tersebut selanjutnya digunakan untuk penyusunan kuesioner yang membandingkan atribut kualitas yang menjadi prioritas utama. Rekapitulasi dilakukan menurut format dan skala perbandingan yang merupakan pendapat dari tiga pakar karet dengan menggunakan aplikasi Expert Choice 11. Tampilan hasil perhitungan AHP bobot kriteria kualitas bokar
22 dilampirkan pada Lampiran 8. Dari hasil perhitungan rekapitulasi pendapat pakar dengan metode perbandingan berpasangan akan diperoleh bobot masing-masing atribut, kemudian dikonversikan dalam ranking yang tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Bobot Atribut Kualitas Bokar Atribut Kadar Karet Kering Ketebalan Kebersihan Jenis Koagulan Kelenturan
Bobot 0,286 0,051 0,416 0,138 0,108
Ranking 2 5 1 3 4
Bobot Konversi 4 1 5 3 2
Gambar 8 adalah rumah kualitas bokar pada perkebunan karet rakyat desa Kemawi. Rumah kualitas menggambarkan hubungan antara keinginan konsumen dengan aktivitas dalam pembuatan bokar. Analisis tersebut menghasilkan tiga hal yang harus dilakukan oleh pihak perkebunan atau petani sendiri adalah meperbaiki, mempertahankan dan meningkatkan. +
kuat (10) sedang (5) lemah (1) kuat positif positif
+
+
5
Jenis Koagulan
3
Kelenturan
2
Nilai (Tingkat Kepentingan) Nilai Relatif
Pengeringan
Kebersihan
Penggilingan 2
1
Penggilingan 1
Ketebalan
++
+
+
+
++
+
++
+
Pembekuan
4
++
+
+
Penyaringan
Kadar Karet Kering
+
Penanganan Bahan Baku
Harapan Pelanggan
Bobot Konversi
++
+
+
+ +
+
70 0,215
50 0,154
70 0,215
16 0,049
9 0,028
45 0,138
Penyimpanan
++ +
: : : : :
65 0,200
Gambar 8. Rumah Kualitas Bokar Perkebunan Karet Rakyat Desa Kemawi Gambar rumah kualitas menunjukkan bahwa harapan pelanggan yang paling utama adalah kebersihan bokar itu sendiri karena memiliki bobot paling besar sehingga pemenuhannya harus didahulukan. Hasil analisis terhadap hubungan atau pengaruh antara aktivitas dan sarana yang ada terlihat bahwa aktivitas atau sarana penanganan bahan baku dan pembekuan memiliki kepentingan yang paling tinggi
23 dengan nilai 70 dan nilai relatif 0,215. Penanganan bahan baku, dalam hal ini penanganan lateks setelah disadap perlu diperhatikan juga kebersihannya. Hal itu merupakan salah satu hal mendasar dalam menghasilkan kualitas bokar yang baik. Dalam aktivitas pembekuan juga perlu diperhatikan jenis koagulan yang digunakan. Jenis koagulan yang digunakan akan mempengaruhi kualitas bokar, jika menggunakan jenis koagulan yang tidak direkomendasikan oleh pemerintah tentukan akan mengurangi kualitas bokar yang dihasilkan. Aktivitas penyimpanan juga perlu diperhatikan karena penyimpanan akan berpengaruh langsung terhadap kadar karet kering. Penyimpanan yang tidak tepat akan membuat kadar air di dalam karet bertambah. Penyaringan lateks setelah penanganan lateks juga dilakukan untuk membuat ranting-ranting ataupun tatalan kulit pohon yang terbawa di dalam lateks. Penyaringan yang baik berimbas pada bokar yang bersih. Analisis Peningkatan Produktivitas Secara grafis, struktur model AHP yang dikembang terdiri dari lima level yaitu fokus, faktor, aktor, tujuan, dan alternatif. Masing-masing elemen pada setiap level dalam struktur hierarki didapatkan melalui studi literatur dan wawancara dengan para pakar. Fokus (level 1) dari struktur hierarki adalah penentuan strategi peningkatan produktivitas bokar dengan pendekatan produktivitas hijau. Faktor (level 2) yang dinilai berpengaruh dan harus dipertimbangkan dalam pencapaian fokus adalah kondisi lahan, mutu bokar, kinerja petani, biaya produksi, tingkat permintaan, serta kebijakan pemerintah mengenai bokar bersih. Level 3 mengenai aktor yang terdiri dari petani, pedagang, industri hulu, pemerintah, dan perguruan tinggi serta lembaga peneliti. Pada level 4 tujuan yang akan dicapai yaitu memaksimalkan keuntungan, meningkatkan kualitas, dan mengurangi dampak lingkungan. Level 5 merupakan level alternatif strategi yang dapat dilakukan dalam pencapaian fokus. Alternatif tersebut terdiri dari optimasi lahan, teknik penyadapan terbaik, pengendalian karakter bahan baku, substitusi bahan pembantu, serta penerapan disiplin dan kesasdaran kerja. Perhitungan pembobotan setiap kriteria dilakukan dengan menggunakan software Expert Choice 11 yang dapat mengakomodir pendapat para pakar, sehingga dihasilkan nilai bobot untuk setiap alternatif strategi. Kriteria dan alternatif tersebut diberikan rentang penilaian dengan skala satu sampai sembilan dengan metode perbandingan berpasangan (pairwaise comparison) dalam teknik AHP dilakukan oleh pakar. Selain itu, nilai inconsistency ratio dari setiap level masing-masing pakar harus lebih kecil dari 0.1. Apabila nilainya lebih besar dari 0.1 maka dilakukan revisi penilaian atau pemberian bobot kembali oleh pakar yang bersangkutan. Struktur hierarki model penentuan strategi peningkatan produktivitas bokar dengan pendekatan produktivitas hijau dapat dilihat pada Lampiran 9. Metode AHP memberikan hasil perhitungan berupa urutan prioritas berdasarkan peringkat dari masing-masing elemen setiap level hierarki. Tampilan pengisian model AHP penentuan strategi peningkatan produktivitas disajikan pada Lampiran 10. Perhitungan agregat level 5 (alternatif) penentuan strategi ditunjukkan pada Tabel 6. Dari hasil perhitungan pada level 5, dari lima alternatif peningkatan produktivitas bokar, diketahui bahwa penerapan disiplin dan kesadaran kerja merupakan strategi utama yang harus dilakukan pada perkebunan karet rakyat.
24 Petani menjadi aktor terpenting dalam strategi peningkatan produktivitas bokar ini. Penerapan disiplin dan kesadaran kerja bagi petani yang notabene penggerak langsung pada industri bokar ini dituntut untuk melaksanakan pengolahan karet sesuai dengan pedoman dan aturan yang telah ditentukan untuk menghasilkan bokar yang bersih dan bermutu. Tabel 6. Hierarki Perhitungan Bobot Level 5 (Alternatif) Penentuan Strategi Level 5 (Alternatif) 1. 2. 3. 4. 5.
Optimasi Lahan Teknik Penyadapan Terbaik Pengendalian Karakter Bahan Baku Substitusi Bahan Pembantu Penerapan Disiplin dan Kesadaran Kerja
Bobot
Peringkat
0,292 0,068 0,078 0,144 0,418
2 5 4 3 1
Peran aktif dan kesungguhan petani ini lah yang menjadi keberhasilan peningkatan produktivitas bokar itu sendiri. Penerapan disiplin dan kesadaran kerja ini mendapat bobot sebesar 0,418. Selain alternatif tersebut, optimasi lahan juga dapat mempengaruhi strategi peningkatan produktivitas bokar. Optimasi lahan mendapat bobor sebesar 0,292. Walaupun optimasi lahan ini strategi jangka panjang diharapkan mampu mendongkrak produksi lateks nantinya. Dengan produksi lateks yang meningkat diharapkan produksi bokar pun dapat meningkat. Sedangkan alternatif yang lain, meskipun memiliki bobot yang lebih rendah, penerapan strategi ini dalam jangka waktu tertentu akan dapat meningkatkan indeks produktivitas hijau proses dalam menghasilkan bokar. Peningkatan Produktivitas Hijau Perbaikan Manejemen Perkebunan Perbaikan manajemen perkebunan mencakup kegiatan yang berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas perkebunan diantaranya : 1. Penerapan Disiplin dan Kesadaran Kerja Penerapan disiplin dan kesadaran kerja ini berhubungan langsung SDM petani yang menjadi faktor terpenting juga dalam penentuan keberhasilan peningkatan produktivitas hasil perkebunan. Proses kegiatan dari mulai pengolahan lahan, penanaman, perawatan TBM dan TM, pemanenan karet, serta pembuatan bokar memerlukan keahlian dan keuletan dari petani. Untuk mencapai penerapan disiplin dan kesadaran kerja petani yang baik perlu dibina dan ditingkatkan dalam hal keahlian petani dan juga pemberian pengetahuan dasar tentang karet sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam pengolahan karet alam. Dalam analisis kelembagaan, subelemen kelompok petani dari elemen lembaga yang terlibat menjadi elemen kunci dalam pencapaian strategi peningkatan produktivitas bokar. Dari kelompok tani inilah pertukaran ilmu dan pengetahuan seputar karet dapat dikembangkan. Petani juga yang berperan aktif di dalam pengolahan karet di perkebunan karet rakyat.
25 2. Optimasi Lahan Optimasi lahan di desa Kemawi perlu ditingkatkan tentunya untuk mendukung peningkatan produktivitas karet yang dihasilkan. Dari masing-masing petani anggota kelompok tani yang mengolah lahannya dengan menanam karet hanya sekitar 60% yang produktif. Kendala yang dihadapai di lapangan adalah lahannya yang berkontur bukit dengan kemiringan-kemiringan hendaknya perlu dibuat teras. Di desa Kemawi masih banyak lahan yang belum termanfaatkan dengan baik. Pengolahan tanah dimulai dari pembabatan pohon-pohon yang tumbuh. Pembabatan pohon dimulai dari pohon yang kecil kemudian pohon yang besar. Setelah itu, pohon-pohon tersebut dikeringkan lalu dibakar atau dibuat kayu bakar. Setelah pohon dan alang-alang dibabat dan dibakar, tanah dibongkar dengan cangkul hingga sisa-sisa akar terangkat. Bersihkan sisa-sisa akar, rizoma, alangalang, ranting dan batuan besar karena dapat menghalangi pertumbuhan tanaman karet. Alang-alang dapat dibasmi dengan herbisida. Pemberian herbisida dilakukan 4-5 kali hingga alang-alang benar-benar mati. Setiap kali diberikan herbisida yang dipakai sebanyak 2.000 liter per ha. Untuk membasmi sisa penyakit akar dapat digunakan fungisida. Kendala utama yang dihadapi dari hasil analisis kelembagaan adalah rendahnya produktivitas tanaman. Rendahnya produktivitas tanaman ini disebabkan oleh pengolahan tanah yang kurang. Dengan pengolahan tanah yang baik diharapkan akan dicapai tujuan dalam meningkatkan produktivitas dan produksi tanaman karet. Dengan pencapaian tujuan tersebut diharapkan pula keberhasilan strategi peningkatan produktivitas bokar dengan pendekatan produktivitas hijau dapat terwujud. 3. Pengendalian Karakter Bahan Baku Pengendalian karakter bahan baku yang dimaksud adalah pengendalian lateks hasil sadapan agar tetap terjaga dan bersih dari kotoran. Pengendalian karakter bahan baku ini juga merujuk pada kinerja petani agar tetap terus memperhatikan kebersihan dan mutu bokar yang akan dihasilkan nantinya. Kegiatan manajemen perkebunan ini tidak akan pernah lepas dari peran aktif petani sebagai komponen dan aktor terpenting di dalam perkebunan karet rakyat ini. 4. Teknik Penyadapan Terbaik Untuk memperoleh hasil sadapan yang baik, penyadapan harus mengikuti aturan tertentu agar diperoleh produksi yang tinggi, menguntungkan, serta berkesinambungan dengan tetap memperhatikan faktor kesehatan tanaman. Beberapa aturan yang perlu diperhatikan dalam penyadapan adalah yang pertama penentuan matang sadap. Kebun karet yang memiliki tingkat pertumbuhan normal siap disadap pada umur lima tahun dengan masa produksi 25-30 tahun. Namun hal ini dianggap tidak tepat karena adanya faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman, tetapi tidak tampak dan tidak bias dikontrol oleh manusia. Pengukuran lilit batang merupakan cara yang dianggap paling tepat untuk menentukan matang sadap. Pohon karet siap sadap adalah pohon yang sudah memiliki tinggi satu meter dari batas pertautan okulasi atau dari permukaan tanah untuk tanaman asal biji dan memiliki lingkar batang atau lilit batang 45 cm. Kebun karet mulai disadap bila 55% pohonnya sudah menunjukkan matang sadap. Jika
26 belu mencapai 55% maka sebaiknya penyadapan ditunda. Penyadapan yang dilakukan sebelum mencapai persentase tersebut akan mengurangi produksi lateks dan akan mempengaruhi pertumbuhan pohon karet. Kebun yang dipelihara dengan baik biasanya memiliki 60-70% jumlah tanaman berumur 5-6 tahun yang berlilit batang 45 cm (Tim Penulis PS 2008). Aturan yang kedua adalah peralatan yang digunakan dalam menyadap pohon karet harus bersih. Aturan yang ketiga adalah pelaksanaan penyadapan. Dalam pelaksanaan penyadapan perlu diperhatikan ketebalan irisan, kedalaman irisan, waktu pelaksanaan, dam pemulihan kulit bidang sadap. Tebal irisan yang dianjurkan adalah 1,5-2 mm. Kedalam irisan yang dianjurkan adalah 1-1,5 mm. Penyadapan hendaknya dilakukan pada pagi hari antara pukul 05.00-06.00. Sedangkan pengumpulan lateksnya dilakukan antara pukul 08.00-10.00 (Tim Penulis PS 2008). Aturan yang keempat adalah frekuensi dan intensitas sadapan. Frekuensi sadapan merupakan selang waktu penyadapan dengan satuan waktu dalam hari (d), minggu (w), bulan (m), dan tahun (y). Bila penyadapan dilakukan terus menerus setiap hari maka penyadapan tersebut ditandai dengan d/1. Sedangkan bila dilakukan dengan selang dua hari maka waktunya ditandai dengan d/2, demikian seterusnya. Penyadapan terbaik dilakuan dengan selang waktu dua hari. Intensitas ditentukan oleh panjang irisan dan frekuensi sadapan. Intensitas sadapan yang normal adalah 100% yang dinyatakan dengan tanda S/2, d/2, 100% (berasal dari 1/2 x 1/2 x 400%) yang artinya penyadapan setiap dua hari sekali pada 1/2 spriral dan intensitas sadap 400% (intensitas penyadapan berat atau sadapan mati) (Tim Penulis PS, 2008). Frekuensi penyadapan adalah 1 kali dalam 3 hari (d/3) untuk tahun pertama penyadapan dan kemudian diubah menjadi 1 kali dalam 2 hari (d/2) untuk tahun selanjutnya. Perbaikan dengan Aspek Produktivitas Hijau Perbaikan yang dapat dilakukan dalam penerapan konsep produktivitas hijau (GP) untuk meningkatkan produktivitas bokar adalah substitusi bahan pembantu. Bahan pembantu dalam hal ini adalah seperti pupuk, pestisida, maupun jenis koagulan yang digunakan dalam pembekuan lateks. 1. Substitusi Sebagian Penggunaan Pupuk dengan Pupuk Organik dan Hayati Secara umum terdapat empat macam jenis pupuk, yaitu pupuk organik, pupuk tunggal, pupuk multihara, dan pupuk hayati. Pupuk organik merupakan jenis pupuk terbaik bagi tanaman, tetapi masih tersedia dalam jumlah terbatas. Jenis pupuk ini dicirikan dengan tingginya kandungan C dan C/N-rasio tetapi masih rendah jika dilihat kandungan hara makronya seperti N, P, K, Mg, dan Ca. Pupuk tunggal merupakan jenis pupuk kimia atau anorganik yang mengandung hanya satu jenis hara saja, seperti Urea (N), SP-36 dan TSP (P), KCL dan MOP (K), dan Kieserit (Mg). Pupuk multihara atau pupuk majemuk sama baiknya dengan pupuk tunggal, baik untuk karet rakyat maupun untuk perkebunan besar. Keunggulan dari pupuk multihara adalah bahwa keempat jenis hara seperti N, P, K, dan Mg, semuanya tersedia dalam satu jenis produk pupuk multihara. Masalah yang mungkin dihadapi bagi para pengguna baik pupuk tunggal maupun multihara adalah adanya kemungkinan pupuk mengandung logam-logam berat yang akan membahayakan lingkungan. Pupuk hayati (bio-fertilizer) adalah pupuk yang mengandung mikroba. Pupuk hayati dibedakan terhadap pupuk organik, karena pupuk hayati tidak selalu
27 mengandung kadar C yang cukup tinggi seperti pada pupuk organik. Perbedaan lainnya adalah bahwa dosis pupuk hayati biasanya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pupuk organik (Taryo-Adiwiganda 2007). Pada perkebunan karet rakyat desa Kemawi setidaknya terdapat 6 jenis pupuk yaitu SP-36, urea, TSP, KCL, MOP, dan Kieserit. Keenam jenis pupuk tersebut tergolong jenis pupuk tunggal. Penggunaan pupuk hayati di lapangan biasanya digunakan sebagai substitusi pupuk kimia yang mencapai 25-50%. Hasil-hasil penelitian telah menunjukan bahwa produktivitas tanaman karet pada perlakuan pemupukan dengan 50-75% pupuk kimia ditambah dengan pupuk hayati tidak berbeda nyata atau sama dengan produktivitas tanaman pada pemupukan dengan 100% pupuk kimia (Taryo-Adiwiganda 2007). 2. Substitusi Sebagian Penggunaan Pestisida dengan Pestisida Nabati Salah satu langkah yang dapat ditempuh dalam pengurangan penggunaan pestisida berbahaya adalah dengan melakukan subtitusi sebagian penggunaan pestisida berbahan kimia pada jenis pestisida berbahan baku nabati. Pestisida nabati terbuat dari bahan alami atau nabati, sehingga mudah terurai (biodegradable) di alam, tidak mencemari lingkungan, relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena memiliki residu yang mudah hilang (Kardinan 2002). Penggunaan pestisida berbahaya seringkali berdampak pada resistensi hama, yang mengakibatkan perlunya peningkatan dosis penggunaannya. Salah satu solusi dari permasalahan ini adalah melalui penggunaan jenis pestisida nabati, yang bersifat alami, namun efektif sebagai pengganti pestisida berbahaya. 3. Substitusi Jenis Koagulan Jenis koagulan yang dianjurkan oleh pemerintah adalah asam semut (asam formiat). Asam semut ini mampu menghasilkan bokar yang bermutu tinggi. Namun kendala dari penggunaan asam semut ini adalah bau yang dihasilkan. Sekarang ini banyak dikembangkan berbagai macam jenis koagulan. Sebagai contoh adalah koagulan Deorub (Deodorant Rubber) yang dikembang-produksikan oleh PT. Global Deorub Industry, Palembang, Sumatra Barat. Deorub ini diproduksi dari pemanasan cangkang sawit di dalam reaktor sehingga menghasilkan asap. Kemudian, asap tersebut didinginkan sampai menjadi cair. Setelah pengendapan, maka didapatkan cairan Deorub murni. Dalam penggunaannya, Deorub K pekat diencerkan menjadi 5%. Caranya, setiap bagian Deorub K pekat ditambah dengan 19 bagian air bersih. Dengan begitu, dari satu liter Deorub K pekat didapatkan 20 liter. Kemudian, setiap 0,1 liter Deorub K larutan 5% ini dapat digunakan untuk menggumpalkan satu liter lateks. Dari perhitungan tersebut, setiap liter Deorub K pekat dapat menggumpalkan 200 liter lateks. Jika kadar karet kering lateksnya sekitar 30%, maka diperoleh karet sebanyak 60 kg. Apabila harga Deorub K pekat di tingkat konsumen sekitar Rp9.000/kg, biaya yang diperlukan untuk menggumpalkan 3,33 liter lateks setara 1 kg karet, sekitar Rp150. Salah satu keunggulan penggunaan Deorub K dapat menghilangkan bau pada industri pengolahan karet. Bau busuk ini sering meresahkan masyarakat sekitar. Deorub K ini dapat mematikan bakteri yang memakan protein lateks. Dengan pecahnya protein karena dimakan bakteri, bisa menimbulkan bau busuk. Dengan dimatikannya bakteri, protein tidak ada yang pecah sehingga tidak menimbulkan bau busuk. (Utama dan Diennazola 2012). Menurut Saputera et al. (2011) dalam
28 penelitiannya menyatakan bahwa koagulan Deorub merupakan perlakuan terbaik dalam meningkatkan kualitas bokar dimana memiliki kadar kering karet (koagulum) rata-rata 60%. Evaluasi Skenario Perbaikan Langkah penerapan strategi peningkatan yang dilakukan dalam pembahasan ini menggunakan beberapa asumsi berdasarkan data dan hasil penelitian yang didapatkan dari beberapa sumber pustaka terkait. Berdasarkan tiga alternatif upaya perbaikan yang dilakukan dengan pendekatan produktivitas hijau, maka dapat dikembangkan empat macam skenario strategi perbaikan, yang terdiri atas tiga kombinasi antara semua alternatif perbaikan manajemen perkebunan dengan masing-masing alternatif perbaikan dengan aspek produktivitas hijau dan satu kombinasi antara semua alternatif perbaikan manajemen dengan dua alternatif perbaikan dengan aspek produktivitas hijau terbaik. Rancangan upaya peningkatan produktivitas proses kegiatan dalam pembuatan bokar secara keseluruhan ditunjukan pada Gambar 9. Upaya Peningkatan Produktivitas Hijau Perbaikan Manajemen Perbaikan dengan Aspek Perkebunan Produktivitas Hijau Penerapan Disiplin dan Kesadaran Kerja
Substitusi 50% Penggunaan Pupuk dengan Pupuk Hayati
Optimasi Lahan Pengendalian Karakter Bahan Baku
Substitusi Penggunaan Pestisida dengan Pestisida Nabati
Teknik Penyadapan Terbaik
Substitusi Jenis Koagulan
Gambar 9. Rancangan Upaya Peningkatan Produktivitas Pada strategi perbaikan manajemen perkebunan diasumsikan terjadi peningkatan hasil perkebunan sebesar 20%. Peningkatan produktivitas ini didasarkan pada besarnya jumlah tanaman berproduksi rendah yang harus digantikan. Begitu juga dengan adanya disiplin dan kesadaran akan pengendalian karakter bahan baku dan teknik penyadapan yang baik akan dihasilkan peningkatan produksi lateks. Substitusi 50% penggunaan pupuk dengan pupuk hayati dan substitusi pestisida menggunakan data dan pendapat dari penelitan Putra (2012). Keseluruhan perhitungan skenario tersaji dalam Lampiran 11. Sedangkan keempat rancangan alternatif strategi peningkatan tersaji pada Tabel 7. Berdasarkan hasil analisis, selain penggunaan pupuk paling tidak terdapat empat material lain yang digunakan pada proses budidaya karet alam, diantaranya adalah TB 29, round up, amoniak, dan belerang. Masing-masing material memiliki tujuan penggunaan yang berbeda-beda. TB biasanya digunakan sebagai obat penutup luka tanaman di perkebunan karet, yang disebabkan oleh kegiatan okulasi ataupun pengulitan tanaman karet. Round up merupakan jenis herbisida yang
29 digunakan untuk membasmi rumput. Biasanya round up banyak digunakan oleh para petani untuk membasmi rumput liar yang tumbuh pada lahan penanaman. Herbisida round up merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan tanaman seperti ilalang. Amoniak digunakan sebagai bahan antikoagulan atau pencegahan pengentalan lateks. Diantara keempat material penunjang tersebut, bahan material pestisida merupakan jenis bahan yang harus disubstitusi penggunaannya, dalam tujuan pengurangan dampak bahan kimia terhadap lingkungan. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan produk pestisida nabati yang tersedia di pasaran, seperti pestisida nabati Mitol 20EC. Tabel 7. Skenario Rancangan Alternatif Strategi Peningkatan Produktivitas Skenario Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Penjelasan Semua perbaikan manajemen perkebunan dan substitusi 50% penggunaan pupuk dengan pupuk hayati emas Semua perbaikan manajemen perkebunan dan substitusi penggunaan pestisida dengan pestisida nabati Semua perbaikan manajemen perkebunan dan substitusi jenis koagulan Semua perbaikan manajemen perkebunan dan dua alternatif perbaikan dengan aspek produktivitas hijau terbaik.
Mitol 20EC merupakan produk pestisida nabati ramah lingkungan dengan bahan aktif senyawa eugenol dan eugenol asetat yang diisolasi dan diformulasi dari ekstrak dan sari tanaman, sangat cocok digunakan dalam pertanian organik ramah lingkungan dan dapat mensubsitusi penggunaan fungisida sintetik. Penggunaan Mitol 20EC dapat mengendalikan jamur patogen tanaman, mensubsitusi fungisida sintetik seperti mankozeb, benomil dan tiram, antara lain cacar daun, Fusarium, Rhizoctonia, Sclerotium phytopthora, Adoderma, JAP, karat daun dan jamur kontaminan dalam gudang antara lain Aspergillus, Penicellium serta beberapa hama penting yaitu keong mas dan Helopeltis. Aplikasi penggunaan Mitol 20EC adalah dengan melarutkan 5 ml Mitol 20EC dalam 1 liter air dan dilakukan penyemprotan setiap bulan untuk pencegahan atau dua kali setiap bulan untuk tanaman dengan gejala penyakit. Di pasaran produk Mitol 20EC dihargai dengan Rp 125,000,-/L. Pupuk Hayati Emas merupakan jenis pupuk hayati yang memiliki kemampuan untuk menambah populasi bakteri dan jamur dalam tanah. Mikroba yang terdapat di dalam pupuk PHEdiantaranya adalah Azospirillum lipoverum, Azotobacter beijerinckii, Aeromonas punctata, Aspergillus niger. Manfaat penggunaan PHE adalah dapat meningkatkan N yang diserap akar tanaman melalui dua jenis bakteri pengikat N2 dari udara, mampu meningkatkan jumlah hara yang dapat diserap akar tanaman baik yang berasal dari partikel pupuk maupun dari partikel tanah melalui jenis bakteri pelarut P, mampu meningkatkan daya pegang tanah terhadap air dan hara tanah melalui mikroba jamur, dan mampu meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah serta dapat menghasilkan zat tumbuh yang berguna bagi akar tanaman melalui empat jenis mikroba yang dikandungnya. Kelebihan lain yang dimiliki PHE adalah pada kombinasi penggunaan PHE dan 2550% dosis pupuk kimia dapat menghasilkan produksi tanaman yang sama dengan 100 % dosis pupuk kimia (tanpa PHE). Sehingga penggunaan PHE dapat
30 mengurangi biaya total pemupukan (Madjid 2009). Dosis penggunaan PHE pada tanaman karet dimasa pembibitan adalah 14 g/ bibitan/semester. Sedangkan pada masa tanaman menghasilkan dosis diberikan sejumlah 100 g/pohon/tahun. Di pasaran PHE dijual seharga Rp 137,500,-/karung, yang berisi 25 kilogram pupuk PHE (Saleh 2010). Analisis Perbandingan Skenario Strategi Peningkatan Pada penerapan skenario 1 ini indeks dampak lingkungan dapat dikurangi karena susbtitusi 50% penggunaan pupuk dengan pupuk hayati emas. Nilai dampak lingkungan yang dihasilkan dari skenario 1 sebesar 1,643015, sedangkan nilai indikator ekonomi setelah terjadi peningkatan 20% adalah 3,057244, sehingga dihasilkan nilai indek produktivitas hijau (GPI) yang dihasilkan sebesar 1,860752. GPI skenario 1 meningkat dari GPI pada kondisi awal (current state). Pada penerapan skenario 2 terjadi peningkatan indeks dampak lingkungan. Indeks lingkungan yang dihasilkan dari skenario 2 sebesar 2,945890. Hal ini disebabkan karena peningkatan dalam penggunaan air. Penggunaan air dalam mengencerkan pestisida menambah jumlah konsumsi air yang dibutuhkan sehingga terjadi peningkatan indeks dampak lingkungan. Namun pada indikator ekonomi terdapat peningkatan walaupun tidak signifikan. Indikator ekonomi pada skenario 2 sebesar 2,374252. Dari indeks dampak lingkungan dan indokator ekonomi pada skenario 2 dihasilkan GPI sebesar 0,805954. GPI yang dihasilkan dari penerapan skenario 2 mengalami penurunan dari GPI kondisi awal. Pada penerapan skenario 3 adalah kombinasi semua perbaikan manajemen perkebunan dengan substitusi jenis koagulan. Pada skenario 3 dihasilkan indeks dampak lingkungan sebesar 2,053485. Indeks dampak lingkungan tersebut penurunan sedikit dibandingkan dengan indeks dampak lingkungan kondisi awal. Penurunan tersebut dikarenakan substitusi jenis koagulan yang lebih sedikit membutuhkan air dalam pengencerannya. Indikator ekonomi yang dihasilkan dari skenario 3 sebesar 2,858246, sehingga dihasilkan GPI sebesar 1,391900. Skenario 4 adalah penerapan semua perbaikan manajemen perkebunan dengan dua alternatif perbaikan dengan aspek produktivitas hijau terbaik. Dari skenario 4 dihasilkan indeks dampak lingkungan dan indikator ekonomi masing-masing sebesar 1,631610 dan 3,058954. Sehingga dihasilkan GPI sebesar 1,874807. Perbandingan rancangan skenario peningkatan dilakukan dengan membandingkan capaian indeks dampak lingkungan, tingkat produktivitas atau indikator ekonomi, dan nilai capaian indeks GPI dari masing-masing rancangan skenario penerapan strategi. Menurut Hur et al. (2004) GPI rasio dikembangkan dalam pengambilan keputusan untuk memilih salah satu alternatif yang terbaik peningkatan kinerja produktivitas hijau dari sistem yang ada. GPI rasio diartikan perbandingan GPI alternatif dan GPI kondisi awal. Jika GPI rasio ini lebih besar dari 1, berarti alternatif peningkatan produktivitas yang terpilih lebih baik daripada GPI kondisi awal sebelum adanya perbaikan. Sejalan dengan pemahaman tersebut, dihitung GPI rasio pada skenario 1 sampai skenario 4 terhadap GPI kondisi awal sehingga dihasilkan GPI rasio skenario 1 sebesar 1,634922, GPI rasio skenario 2 sebesar 0,708139, GPI rasio skenario 3 sebesar 1,222972, dan GPI rasio kenari 4 sebesar 1,647271. Dari hasil perbandingan GPI dan perhitungan GPI rasio diketahui bahwa rancangan skenario 2 merupakan skenario dengan indeks GPI terendah dan GPI rasio kurang dari 1 yang menandakan skenario 2 tidak baik untuk dipilih. Indeks
31 GPI dan GPI rasio tertinggi dari semua skenario dihasilkan dari penerapan skenario 4 merupakan skenario terbaik dalam peningkatan produktivitas hijau. Tabel 8 dan Gambar 10 menunjukkan perbandingan indeks keempat rancangan perbaikan. Analisis dalam pembuatan peta aliran material (future state) ditentukan berdasarkan perhitungan skenario 4 dalam strategi peningkatan pada Lampiran 11. Pada perhitungan skenario 4 diketahui bahwa total dampak lingkungan sebesar 20,44 kg GWG, 3695,78 kg WC, 16 kg SWG, dan 2792 kg LC, terbagi ke dalam masing-masing proses kegiatan pada peta aliran material (future state). Keseluruhan aliran limbah hijau dalam peta aliran material (future state) tersaji pada Lampiran 12. Tabel 8. Perbandingan Indeks Keempat Rancangan Perbaikan. Penjelasan
Nilai Indeks
Kondisi pertama kali saat penelitian dilakukan (current state) Skenario 1 Semua perbaikan manajemen perkebunan dan substitusi 50% penggunaan pupuk dengan pupuk hayati emas Skenario 2 Semua perbaikan manajemen perkebunan dan substitusi penggunaan pestisida dengan pestisida nabati Skenario 3 Semua perbaikan manajemen perkebunan dan substitusi jenis koagulan Skenario 4 Semua perbaikan manajemen perkebunan dan dua alternatif perbaikan dengan aspek produktivitas hijau terbaik.
EI
Indikator Ekonomi
GPI
GPI Rasio
2,091703
2,380628
1,138129
1,643015
3,057244
1,860752
1,634922
2,945890
2,374252
0,805954
0,708139
2,053485
2,858246
1,391900
1,222972
1,631610
3,058954
1,874807
1,647271
3,500000 3,000000 2,500000 2,000000 1,500000 1,000000 0,500000 0,000000 Awal
Skenario 1
Indikator Lingkungan
Skenario 2
Indikator Ekonomi
Skenario 3 GPI
Skenario 4
GPI Rasio
Gambar 10. Diagram Perbandingan Indeks Keempat Rancangan Perbaikan Implikasi Manajerial Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, rekomendasi yang dapat digunakan pada perkebunan rakyat di Desa Kemawi dalam peningkatan produktivitas bokar dengan pendekatan produktivitas adalah skenario 4. Dengan penerapan strategi tersebut beriplikasi pada peningkatan indikator ekonomi serta
32 penurunan pada indikator dampak lingkungan yang dihasilkan sehingga menyebabkan nilai indeks produktivitas hijau (GPI) meningkat. Gambar 11 menunjukkan urutan langkah penerapan kebijakan dalam tujuan peningkatan produktivitas bokar. Perbaikan Manajemen Perkebunan
Minimasi Dampak Lingkungan (Produktivitas Hijau)
Peningkatan Produktivitas Hijau Bokar
Gambar 11. Urutan Langkah Peningkatan Produktivitas Bokar Dalam perkebunan karet rakyat, petani merupakan aktor yang paling berperan. Dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan dalam peningkatan produktivitas bokar dengan pendekatan produktivitas hijau yang lebih ramah lingkungan ini diperlukan sosok petani yang dapat mengayomi petani lainnya. Dalam hal tersebut kelompok petani menjadi wadah bagi petani karet. Penerapan perbaikan ini juga perlu didukung oleh Dinas Perkebunan terkait untuk dapat meyakinkan petani dalam peningkatan produktivitas bokar.
Gambar 12. Ilustrasi Pengurangan Dampak Lingkungan dalam Kegiatan Peningkatan Produktivitas Bokar Gambar 12 merupakan ilustrasi pengurangan dampak lingkungan dalam kegiatan peningkatan produktivitas bokar. Perbaikan manajemen perkebunan merupakan bentuk perbaikan yang akan memberikan investasi besar dalam jangka panjang. Kerjasama dengan berbagai instansi penelitian akan dapat membantu petani untuk menyerap informasi terbaru mengenai teknologi proses produksi karet alam. Perbaikan kualitas SDM dalam hal ini penerapan displin dan kesadaran kerja petani akan dapat meningkatkan keahlian dan pengetahuan SDM dalam melakukan kegiatan produksi bokar. Optimalisasi lahan akan dapat meningkatkan produktivitas dengan menurunnya beban biaya. Pengendalian karakter bahan baku serta teknik penyadapan yang baik akan menghasilkan produk yang berkualitas Peningkatan produktivitas hijau selain memiliki dimensi indikator ekonomi juga memiliki indikator lingkungan. Dengan adanya perbaikan manajemen perkebunan meliputi optimasi lahan, pengendalian karakter bahan baku (lateks), teknik penyadapan terbaik serta perbaikan dari segi aspek produktivitas hijau yang meliputi substitusi penggunaan 50% pupuk kimia dengan pupuk hayati dan
33 substitusi jenis koagulan dengan dilandasi disiplin dan kesadaran kerja yang baik dari petani, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas serta dapat mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan. Untuk mendukung penelitian ini juga dilampirkan program perangkat lunak yang dapat dilihat pada Lampiran 13.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dalam penelitian ini analisis kelembagaan dengan metode ISM digunakan untuk menggambarkan struktur hierarki subelemen dari elemen-elemen yang menunjang program peningkatan produktivitas bokar dengan pendekatan produktivitas hijau. Terdapat 8 elemen yang masing-masing terdiri dari subelemensubelemen. Berdasarkan analisis kelembagaan dengan metode ISM dihasilkan elemen-elemen kunci. Elemen kunci tersebut terdiri dari petani, sarana dan prasarana produksi, rendahnya produktivitas tanaman, tumbuh dan berkembangnya sentra komoditas karet sebagai pemasok bahan baku industri, meningkatkan produktivitas dan produksi tanaman karet, meningkatnya produktivitas komoditas karet, kelompok tani, serta peningkatan produktivitas, keterampilan petani, dan kualitas mutu bokar. Analisis proses dengan memetakan semua kegiatan dalam pembuatan bokar dari mulai penanaman, perawatan TBM, perawatan TM, pemanenan dan pembuatan dengan menggunakan peta aliran material. Dari peta aliran nilai dengan pendekatan produktivitas hijau yang memperhatikan aspek dampak lingkungan dihasilkan indeks dampak lingkungan pada kondisi awal sebesar 2,091703, indikator ekonomi sebesar 2,380628, dan GPI sebesar 1,138129. Hasil analisis kualitas terhadap hubungan atau pengaruh antara aktivitas dan sarana yang ada terlihat bahwa aktivitas penanganan bahan baku dan pembekuan memiliki kepentingan yang paling tinggi dalam menghasilkan bokar berkualitas dengan nilai 70 dan nilai relatif 0,215. Penentuan strategi peningkatan produktivitas bokar dilakukan dengan menggunakan metode AHP. Dimana dihasilkan bobot kepentingan dari masingmasing alternatif. Dari alternatif tersebut dilakukan analisis dengan menghubungkan aspek kelembagaan, proses dan kualitas mutu sehingga dihasilkan skenario-skenario dalam penerapan produktivitas hijau. Dari analisis tersebut dihasilkan 4 skenario, dimana skenario kombinasi penerapan disiplin dan kesadaran kerja, optimasi lahan, pengendalian karakter bahan baku, teknik penyadapan terbaik, substitusi 50% penggunaan pupuk dengan pupuk hayati emas, dan substitusi jenis koagulan menghasilkan GPI tertinggi sebesar 1,874807. Semakin tinggi nilai GPI, maka tingkat produktivitas dan indikator ekonomi petani akan semakin tinggi, sedangkan dampak lingkungan yang dihasilkan akan semakin rendah. GPI rasio tertinggi diatas 1 menandakan skenario alternatif yang terpilih merupakan skenario perbaikan produktivitas hijau terbaik. Saran Perlu dilakukan analisis karakteristik material proses pengolahan bokar lebih lanjut untuk mengetahui setiap dampak lingkungan yang disebabkan oleh
34 penggunaan bahan material tersebut. Pada tahap selanjutnya perlu juga dilakukan eksplorasi subtitusi material berbahan dasar organik atau nabati sebagai material penunjang proses kegiatan yang berlangsung di perkebunan karet rakyat. Penerapan kegiatan manajemen perkebunan yang terus melakukan perbaikan dalam rangka meminimalisasi dampak lingkungan dari proses kegiatan perkebunan yang dilakukan serta peningkatan SDM sehingga terbentuk petani karet yang berwawasan luas. Dalam peningkatan kualitas mutu bokar perlu dikaji lebih lanjut dalam menghubungkan keinginan konsumen dengan teknis dalam pembuatan bokar dan diperhatikan pula pada penangan bahan baku lateks serta pada proses pembekuannya. Dibutuhkan sistem terpadu dalam analisis kelembagaan, proses maupun kualitas sehingga skenario perbaikan yang lebih baik dapat ditemukan dan disimulasikan dengan lebih baik, tersistem, dan berkelanjutan tentunya semua itu diperlukan penelitian lanjutan untuk memperbaiki kekurangan dari penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA [APO] Asian Productivity Organization. 2006. Handbook on Green Productivity. Asian Productivity Organization. Cohen L. 1995. Quality Function Deployment : how to make QFD work for you, Addison – Wisley Publishing Company. Darmawan MA, Wiguna B, Marimin, Machfud. 2012. Peningkatan produktivitas proses produksi karet alam dengan pendekatan Green productivity : studi kasus di PT X. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 22 (2) : 98-105. [DEFRA and DECC]. 2010. Guidelines to Defra/DECC’s GHG Conversion Factors for Company Reporting. London : Department of Energy and Climate Change (DECC) and the Department for Environment, Food and Rural Affairs. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Karet Tahun 2011-2013. Jakarta : Direktorat Jenderal Perkebunan. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor. Fewidarto PD. 1996. Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process). TIN Fateta IPB. Bogor. Gandhi NMD, Selladurai V, Santhi P. 2006. Green Productivity Indexing. International Journal of Productivity and Performance Management. Vol. 55 No. 7. Gaspersz V. 2000. Manajemen Produktivitas Total. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Green LN, Bonollo E. 2002. The Development of a Suite of Design Methods Appropriate for Theaching Product Design. Global Journal of Engineering Education, Vol. 6, No 1, Australia. Hur T, Kim I, Yamamoto R. 2004. Measurement of Green Productivity and Its Improvement. Journal of Cleaner Production. Vol. 12 No. 7, pp. 673-83. Kardinan A. 2002. Pestisida Nabati : Ramuan dan Aplikasi. Jakarta : Penebar Swadaya.
35 Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta : Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. Madjid A. 2009. Teknologi Pupuk Hayati Fungi Pelarut Fosfat. [internet]. [diunduh 2013 Agustus 23]. Tersedia pada : http://dasar2ilmutanah.blogspot.com/ 2009/05/teknologi-pupuk-hayati-fungi-pelarut29.html. Marimin, Darmawan MA, Saputra D, Machfud. Decision support for natural rubber supply chain management with green supply chain operations reference approach : a case study. Proceeding IESS 2013 : Challenges and Opportunities of Service Industry in Emerging Economies; 2013 Agustus 2022, Surabaya, Indonesia : Hlm. I7 1-6. Marimin, Magfiroh N. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok. Bogor : IPB Press.. Putra MPIF. 2012. Peningkatan Produktivitas Proses Budidaya Karet Alam dengan Pendekatan Green Productivity Studi Kasus di PT XYZ. [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Saaty L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo. Saleh. 2010. Pupuk Hayati Emas. [internet]. [diunduh 2012 Juli 21]. Tersedia pada : http://pupuk-emas.indonetwork.co.id/1481142/pupuk-hayati-emasenchancing-microbial-activities-in-the.htm. Saputera H, Agustina M, Rangkai YA. 2011. Uji Penggunaan Berbagai Jenis Koagulan Terhadap Kualitas Bahan Olah Karet (Hevea Brasiliensis). Jurnal Ilmiah Agripeat Faperta UNPAR. [internet]. [diunduh 2013 Agustus 23]. Tersedia pada : http://jurnalagriepat.wordpress.com/2012/05/11/ujipenggunaan-berbagai-jenis-koagulan-h-saputera-maria-a-yudha-a-3/. Saputra D. 2012. Sistem Penunjang Keputusan Manajemen Rantai Pasokan Karet Alam dengan Pendekatan Green Supply Chain Operations Reference Studi Kasus di PT. Condong Garut. [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Saxena JJP, Sushil, Vrat P. 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan Elements Using Interpretative Structural Modelling. System Practice, vol. 5 (6), 651:670. Subagyo, P. 2000. Manajemen Operasi. BPFE. Yogyakarta. Taryo-Adiwiganda Y. 2007. Manajemen Tanah dan Pemupukan Perkebunan Karet. In:Mangoensoekarjo S. (ed). Manajemen Tanah dan Pemupukan Budidaya Perkebunan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Tim Penulis PS. 2008. Panduan Lengkap Karet. Jakarta : Penebar Swadaya. Utama, S dan Renda Diennazola. 2012. Memilih Penggumpal Lateks. [internet]. [diunduh 2013 Agustus 23]. Tersedia pada : http://www.agrinaonline.com/redesign2.php?rid=7&aid=4027. Wiguna B. 2012. Peningkatan Produktivititas pada Proses Produksi Karet Alam dengan Pendekatan Green Productivity Studi Kasus di PT. XYZ. [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Wills B. 2009. Green Intentions : Creating a Green Value Stream to Compete and Win. New York : Productivity Press. Yale Center for Environmental Law and Policy Report. 2005. Environmental Sustainability Index : Benchmarking National Environmental Stewardship. http://www.yale.edu/esi. Yale : Yale University. [2 Maret 2013].
36
LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan Variabel Dampak Lingkungan Tabel 1. Bobot pakar pada indikator ESI 2005
37 Tabel 2. Bobot Indikator dalam ESI 2005 Kesetaraan Indikator ESI Kualitas Udara Emisi Gas Rumah Kaca Penurunan Tingkat Polusi Udara Kualitas Air Jumlah Air Penurunan Jumlah Limbah Padat dan Konsumsi Material Biodiversitas Kawasan Lahan dan Tanah
Bobot dalam ESI 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
Tabel 3. Penurunan Empat Indikator Lingkungan GPI
Konsumsi Air (WC)
Kesetaraan Indikator ESI Kualitas Udara Emisi Gas Rumah Kaca Penurunan Tingkat Polusi Udara Kualitas Air Jumlah Air
Pembangkit Limbah Padat (SWG)
Penurunan Limbah Padat dan Konsumsi Material
0.05
0.05
0.125
Biodiversitas Lahan dan Tanah
0.05 0.05
0.1
0.25
Indikator GPI Pembangkit limbah Gas (GWG)
Pencemaran Lahan (LC)
Bobot dalam ESI 0.05
Penggabungan Bobot (x)
Bobot (w) dalam GPI (x/0.4)
0.15
0.375
0.05 0.05
0.10
0.25
0.05 0.05
Dampak lingkungan didefinisikan sebagai penjumlahan keempat bobot variabel lingkungan indeks produktivitas hijau (GPI) yang berasal dari nilai pembobotan ESI. EI = w1GWG + w2WC + w3SWG + w4LC Keterangan : w1, w2, w3, w4 : bobot masing-masing indikator GPI GWG : pembangkit limbah gas (gaseous wastes generation) SWG : pembangkit limbah padat (solid waste generation) WC : konsumsi air (water consumption) LC : tingkat pencemaran pada lahan perkebunan (land contamination) Dari Tabel 6 didapatkan nilai bobot untuk masing-masing indikator GPI, w1=0,375; w2=0,25; w3=0,125; dan w4=0,25. Sehingga dampak lingkungan (EI) dalam kegiatan budidaya karet alam dirumuskan dengan : EI = 0,375 GWG + 0,25 WC + 0,125 SWG + 0,25 LC
38 Lampiran 2. Analisis Kelembagaan Delapan Elemen Elemen Sektor Masyarakat yang Terpengaruh Berdasarkan survey lapangan dan wawancara dengan pihak terkait diperoleh untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruh terbagi menjadi 9 sub elemen, yaitu : 1. Petani (S1) 2. Pedagang perantara / pengumpul (S2) 3. Pengusaha agroindustri (S3) 4. Eksportir (S4) 5. Masyarakat sekitar (S5) 6. Pengusaha transportasi (S6) 7. Pedagang sarana dan prasarana produksi pertanian (S7) 8. Tenaga kerja agroindustri (S8) 9. Petugas penyuluh lapangan (S9) Tabel 1. Matriks RM Subelemen dalam Elemen Sektor Masyarakat yang Terpengaruh dalam Peningkatan Produktivitas Bokar Sub elemen S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 D L
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
S9
DP
R
1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4
1 1 1 0 1 1 1 1 1 8 2
1 1 1 0 1 1 1 1 1 8 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 1
1 1 0 0 1 1 1 1 1 7 3
1 1 1 0 1 1 1 1 1 8 2
1 1 0 0 1 1 1 1 1 7 3
1 1 1 0 1 1 1 1 1 8 2
1 1 0 0 1 1 1 1 1 7 3
9 8 5 1 8 8 8 8 8
1 2 3 4 2 2 2 2 2
9
S1
S7
8
S5
S6 S9 S2
S8
7
Driver Power
Sektor IV
0
Sektor III
6 5
1
2
3
44
S3 5
6
7
8
9
3
Sektor I
2 1
Sektor II S4
0
Dependence
Gambar 1. Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Sektor Masyarakat yang Terpengaruh
39
4. Eksportir
2. Pedagang Perantara / Pengumpul
3. Pengusaha Agroindustri
7. Pedagang Sarana Prasarana Produksi Pertanian
5. Masyarakat Sekitar
8. Tenaga Kerja Agroindustri
6. Pengusaha Transportasi
9. Petugas Penyuluh Lapangan
1. Petani
Gambar 2. Diagram Model Struktural dari Elemen Sektor Masyarakat yang Terpengaruh Elemen Kebutuhan dari Program Hasil diskusi dan wawancara dengan pihak yang terkait dengan karet serta hasil survey lapangan diperoleh bahwa elemen kebutuhan dari program terdiri dari 11 subelemen yaitu : infrastruktur (K1), sarana dan prasarana produksi (K2), bibit unggul (K3), teknologi budidaya (K4), teknologi pasca panen (K5), teknologi produksi (K6), SDM yang terampil (K7), permodalan dan fasilitas pinjaman (K8), manajemen usaha (K9), standarisasi mutu (K10), tata niaga/pemasaran yang terjamin (K11). Tabel 2. Matriks RM Subelemen dalam Elemen Kebutuhan dari Program dalam Peningkatan Produktivitas Bokar K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 D L
K1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1
K2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4
K3 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 6 3
K4 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 6 3
K5 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 6 3
K6 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 6 3
K7 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 6 3
K8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1
K9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1
K10 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 7 2
K11 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1
DP 4 11 10 10 10 10 10 4 4 5 4
R 4 1 2 2 2 2 2 4 4 3 4
40 8. Permodalan dan Fasilitas Pinjaman
1. Infrastruktur
9. Manajemen Usaha
11. Tataniaga / Pemasaran
10. Standarisasi Mutu
3. Bibit Unggul
4. Teknologi Budidaya
5. Teknologi Pascapanen
7. SDM yang Terampil
6. Teknologi Produksi
2. Sarana dan Prasarana Produksi
Gambar 3. Diagram Model Struktural dari Elemen Kebutuhan dari Program 11
K2
10 9 8
Driver Power
Sektor IV
0
K4 K7 K6 K3 K5
Sektor III
7 6 1
2
3
Sektor I
4
55 4
6
7 K10
8
9
3 2
10
11 K8 K9 K11 K1
Sektor II
1 0
Dependence
Gambar 4. Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Kebutuhan dari Program Elemen Kendala Utama Berdasarkan hasil survey lapangan dan wawancara dengan pihak yang terkait (stake holder) diperoleh bahwa elemen kendala utama yang dihadapi dalam peningkatan produktivitas bokar terdiri atas 12 subelemen yaitu : 1. Keterbatasan dana dan modal usaha (modal usaha relatif sulit diperoleh) (KU1) 2. Belum tersedianya sarana dan prasarana produksi yang memadai (KU2) 3. Dukungan infrastruktur yang kurang memadai (KU3) 4. Kestabilan harga hasil produksi agribisnis dan agroindustri yang kurang terjamin (KU4) 5. Belum adanya sinkronisasi baik dalam produksi, pengolahan, maupun pemasaran (KU5) 6. Rendahnya kualitas SDM yang memiliki keterampilan teknis (KU6)
41 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Ketersediaan teknologi agroindustri yang masih terbatas (KU7) Hambatan kelembagaan (perijinan, birokrasi, kolusi, dan lain-lain) (KU8) Rendahnya produktivitas tanaman (KU9) Rendahnya kualitas produksi sehingga menurunkan harga jualnya (KU10) Kontinuitas bahan baku yang tidak terjamin (KU11) Kurangnya mementingkan aspek lingkungan (KU12)
Tabel 3. Matriks RM Subelemen dalam Elemen Kendala Utama dalam Peningkatan Produktivitas Bokar
KU1 KU2 KU3 KU4 KU5 KU6 KU7 KU8 KU9 KU10 KU11 KU12 D L
KU 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1
KU 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1
KU 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1
KU 4 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 0 6 4
KU 5 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 0 6 4
KU 6 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 0 6 4
Driver Power
1
KU 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1
KU 9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 5
KU 10 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 0 6 4
KU 11 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 8 2
KU 12 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 7 3
10
11
DP
R
4 4 4 11 11 11 11 4 12 11 5 6
5 5 5 2 2 2 2 5 1 2 4 3
13 12 KU4 KU6 11 KU10 10 KU5
KU9
0
KU 7 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 0 6 4
2
3
4
5
9 8 7 6 5 6 4 3 2 1 0
KU12 7
8 KU119
12 KU1 KU3 KU8 KU2
KU7
Dependence
Gambar 5. Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Kendala Utama
42
KU1
KU2
KU3
KU8
KU11
KU12
KU4
KU5
KU6
KU7
KU10
KU9
Gambar 6. Diagram Model Struktural dari Elemen Kendala Utama Elemen Perubahan yang Dimungkinkan Setelah konsultasi group pakar dan wawancara secara lintas sektoral, didapatkan 8 subelemen, yaitu : 1. Adanya peningkatan produktivitas dan efisiensi baik pada tingkat usaha tani maupun pada tingkat pengolahan pasca panen (P1) 2. Meningkatnya keterampilan petani dalam menghasilkan bokar yang bersih dan ramah lingkungan (P2) 3. Meningkatnya kualitas mutu bokar yang dihasilkan petani (P3) 4. Peningkatan kegiatan investasi oleh masyarakat khususnya di sektor perkebunan karet rakyat dan industri pengolahan agroindustri karet (P4) 5. Tumbuh dan berkembangnya sentra komoditas karet sebagai pemasok bahan baku industri (P5) 6. Menurunnya angka kemiskinan di pedesaan (P6) 7. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani/pekebun (P7) 8. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan pengusaha dan tenaga kerja agroindustri (P8) Tabel 4. Matriks RM Subelemen dalam Elemen Perubahan yang Dimungkinkan dalam Peningkatan Produktivitas Bokar P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 D L
P1 1 1 1 0 1 0 1 0 5 4
P2 1 1 1 0 1 0 1 0 5 4
P3 1 1 1 0 1 0 1 0 5 4
P4 1 1 1 1 1 0 1 0 6 3
P5 0 0 0 0 1 0 0 0 1 5
P6 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1
P7 1 1 1 0 1 0 1 0 5 4
P8 1 1 1 1 1 0 1 1 7 2
DP 7 7 7 3 8 1 7 2
R 2 2 2 4 1 6 2 5
43 8
P5
P2 7
P1
P3 P7
6
Driver Power
5 4
0
1
2
3
4
5
3
6
7
8
P4
2
P8
1
P6
0
Dependence
Gambar 7. Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Perubahan yang Dimungkinkan P6
P8
P4
P1
P2
P3
P7
P5
Gambar 8. Diagram Model Struktural dari Elemen Perubahan yang Dimungkinkan Elemen Tujuan dari Program Dalam kasus perkebunan karet rakyat, identifikasi e1emen tujuan peningkatan produktivitas hijau bokar menghasilkan 9 sube1emen yaitu meningkatkan produktivitas dan produksi tanaman karet (T1), meningkatkan produktivitas dan produksi produk (bokar) prospektif (T2), meningkatkan kualitas mutu bokar yang dihasilkan (T3), meningkatkan kemampuan bersaing produk agroindustri karet rakyat di dalam negeri (T4), memperkokoh struktur ekonomi daerah dengan keterkaitan yang kuat dan saling mendukung antar sektor (T5), meningkatkan nilai tambah dengan adanya pengembangan industri hilir (T6), meningkatkan dan menghemat devisa negara (T7), meningkatkan kualitas SDM sektor agribisnis dan agroindustri (T8), meningkatkan penggunaan teknologi sederhana yang ramah lingkungan (T9).
44 Tabel5.
T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 D L
Matriks RM Subelemen dalam Elemen Tujuan dari Program dalam Peningkatan Produktivitas Bokar T1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 6
T2 1 1 1 0 0 0 0 1 1 5 5
T3 1 1 1 0 0 0 0 1 1 5 5
T4 1 1 1 1 0 1 0 1 1 7 3
T5 1 1 1 1 1 1 0 1 1 8 2
T6 1 1 1 0 0 1 0 1 1 6 4
T7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 1
T8 1 1 1 0 0 0 0 1 1 5 5
T9 1 1 1 0 0 0 0 1 1 5 5
DP 9 8 8 3 2 4 1 8 8
R 1 2 2 4 5 3 6 2 2
T7 T5 T4 T6 T2
T3
T8
T9
T1
Gambar 9. Diagram Model Struktural dari Elemen Tujuan dari Program 9
T1
T3
8 T2
Driver Power
7
0
T8 T9
6 5 1
2
3
44
5
3 2 1
6 T6
7
8
9
T4 T5 T7
0
Dependence
Gambar 10. Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Tujuan dari Program
45 Elemen Tolok Ukur untuk Menilai Setiap Tujuan Identifikasi elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan dalam peningkatan produktivitas hijau bokar melalui survey lapangan, diskusi dan wawancara menghasilkan 9 sube1emen yaitu : 1. Meningkatnya ekspor dan pangsa pasar produk-produk agroindustri prospektif (To1) 2. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani (To2) 3. Menurunnya angka kemiskinan (To3) 4. Banyaknya petani atau kelompok tani yang terlibat dalam program (To4) 5. Meningkatnya investasi swasta dalam bidang agribisnis dan agroindustri (To5) 6. Banyaknya tenaga kerja yang terserap dan menurunnya tingkat pengangguran (To6) 7. Meningkatnya Pendapatan Daerah Domestik Bruto (PDDB) (To7) 8. Meningkatnya produktivitas komoditas karet (To8) 9. Meningkatnya mutu bahan baku hasil perkebunan karet (To9) 10. Meningkatnya mutu produk hasil agroindustri berbasiskan bahan baku karet (To10) 11. Meningkatnya kesadaran akan dampak lingkungan yang dihasilkan (To11) 12. Meningkatnya kualitas SDM sektor pertanian dan agroindustri (To12) 13. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan tenaga kerja agroindustri (To13) Tabel 6. Matriks RM Subelemen dalam Elemen Tolok Ukur untuk Menilai Setiap Tujuan dalam Peningkatan Produktivitas Bokar
To1 To2 To3 To4 To5 To6 To7 To8 To9 To10 To11 To12 To13 D L
To 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 1
To 2 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 5 3
To 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 1
To 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 1
To 5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 1
To 6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 1
To 7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 1
To 8 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 3 4
To 9 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 6 2
To 10 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 6 2
To 11 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 6 2
To 12 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 6 2
To 13 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 1
DP 7 12 7 7 7 7 7 13 13 13 12 11 7
R 2 4 4 4 4 4 1 1 1 2 3 4
46
To1
To3
To5
To4
To9
To10
To6
To11
To7
To13
To12
To2
To8
Gambar 11. Diagram Model Struktural dari Elemen Tolok Ukur untuk Menilai Setiap Tujuan To9 13 To10
To8
12 To11 11 To12 10 9
Driver Power
To2
0
1
2
3
4
5
8 7 6 6 5 4 3 2 1 0
7
8
9
10
11
To6 To3 To13To1 To4 To7To5
12
13
Dependence
Gambar 12. Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Tolok Ukur untuk Menilai Setiap Tujuan Elemen Lembaga yang Terlibat Berdasarkan hasil survey lapangan dan wawancara dengan pihak yang terkait (stake holder) diperoleh bahwa elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program peningkatan produktivitas hijau bokar terdiri atas 12 subelemen yaitu : Pemerintah Pusat (L1), Pemerintah Daerah (L2), Perbankan (L3), Asosiasi Eksportir (L4), Kelompok tani (L5), Koperasi (L6), Dinas Pertanian (L7), Dinas Perkebunan (L8), Departemen Perindustrian dan Perdagangan (L9), Pekerjaan Umum (L10), Perguruan Tinggi/Litbang (L11), Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) (L12).
47 Tabel 7. Matriks RM Subelemen dalam Elemen Lembaga yang Terlibat dalam Peningkatan Produktivitas Bokar L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L9 L10 L11 L12 D L
L1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1
L2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 10 3
L3 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 9 4
L4 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 8 5
L5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 10
L6 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 2 9
L7 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 4 8
L10 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 7 6
L11 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 2
L12 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 6 7
DP 1 3 4 5 12 11 10 10 8 6 2 8
7 L4 8
9
10
11
12
R 10 8 7 6 1 2 3 3 4 5 9 4
11
L6 L7
Driver Power
L9 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 6 7
12
L5
0
L8 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 4 8
10
L8
9 L9 8 L12 7
L10
6 1
2
3
4
5
5 6 4 3
2 1
L3 L2 L11 L1
0
Dependence
Gambar 13. Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Lembaga yang Terlibat
48 L1 L11 L2 L3 L4 L10 L9
L12
L7
L8
L6 L5
Gambar14. Diagram Model Struktural dari Elemen Lembaga yang Terlibat Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan Guna Perencanaan Tindakan Hasil identifikasi elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam upaya peningkatan produktivitas hijau bokar menghasilkan 8 subelemen yaitu : 1. Adanya peningkatan produktivitas dan efisiensi baik pada tingkat usaha tani maupun pada tingkat pengolahan pasca panen (A1) 2. Meningkatnya keterampilan petani dalam menghasilkan bokar yang bersih dan ramah lingkungan (A2) 3. Meningkatnya kualitas mutu bokar yang dihasilkan petani (A3) 4. Peningkatan kegiatan investasi oleh masyarakat khususnya di sektor perkebunan karet rakyat dan industri pengolahan agroindustri karet (A4) 5. Tumbuh dan berkembangnya sentra komoditas karet sebagai pemasok bahan baku industri (A5) 6. Menurunnya dampak lingkungan yang diakibatkan dalam pembuatan bokar (A6) 7. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani/pekebun (A7) 8. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan pengusaha dan tenaga kerja agroindustri (A8).
49 Tabel 8. Matriks RM Subelemen dalam Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan Guna Perencanaan Tindakan dalam Peningkatan Produktivitas Bokar A1 1 1 1 0 0 1 1 1 6 2
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 D L
A2 1 1 1 0 0 1 1 1 6 2
A4
A3 1 1 1 0 0 1 1 1 6 2
A4 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1
A5 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1
A6 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1
A7 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1
A5
A6
A7
A1
A2
A3
A8 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1
DP 8 8 8 5 5 8 8 8
R 1 1 1 2 2 1 1 1
A8
Gambar 15. Diagram Model Struktural dari Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan Guna Perencanaan Tindakan 8
A1
A3
A6
A2
7
A8 A7
6
Driver Power
A5
0
5
A4
4 1
2
3
4
5
6
7
8
3 2 1 0
Dependence
Gambar 16. Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan Guna Perencanaan Tindakan
50 Lampiran 3. Dosis Pemupukan Tabel 1. Dosis Pemupukan TBM 1 Tahun Umur (bulan) 2 4 6 9 12 Total
Urea 25 25 50 75 100 275
Jenis Pupuk (gram/pohon) TSP KCL 0 0 75 25 0 50 75 75 0 0 150 150
Kies 0 25 0 25 0 50
Tabel 2. Dosis Pemupukan TBM 2-5 Tahun Umur (tahun) 2 3 4 5 Total
Urea 250 250 300 300 1100
Jenis Pupuk (gram/pohon) TSP MOP 175 200 200 200 200 250 200 250 775 900
Kies 75 100 100 100 375
Jenis Pupuk (gram/pohon) TSP KCL 100 0 200 125 225 125 275 150 275 150 275 150 225 150 150 300 1725 1150
Kies 0 75 75 100 100 100 100 100 650
Tabel 3. Dosis Pemupukan TM Umur (tahun) pupuk dasar 6 7 8 9 10 11 >12
Urea 0 125 150 175 225 250 250 175 1350
51 Lampiran 4. Diagram Proses Pengolahan Karet Slab Giling / Tipis Lateks Segar
Limbah Padat Penyaringan
Air ± 15%
Pengenceran Bahan Penggumpal (Asam Semut 1%)
Penggumpalan (cup lump disusun di dalam bak penggumpalan dan dituangkan lateks yang telah diencerkan)
Air
Penggilingan 1 (handmangle polos)
Limbah Cair
Air
Penggilingan 2 (handmangle bermotif)
Limbah Cair
Limbah Cair Pencucian
Limbah Cair Penirisan
Limbah Cair Pengeringan
Slab Tipis
52 Lampiran 5. Standar Mutu Bokar Berdasarkan SNI 06-2047-2002 Parameter Kadar Karet Kering Mutu I (%) Mutu II (%) Ketebalan Mutu I (mm) Mutu II (mm) Mutu III (mm) Mutu IV (mm) Kebersihan
Jenis Koagulan
Persyaratan Lateks Kebun
Sit
Slab
28 20
-
-
Tidak terdapat kotoran
3 5 10 Tidak terdapat kotoran
-
Asam semut dan bahan lain yang tidak merusak mutu karet *)
≤50 51-100 101-150 >150 Tidak terdapat kotoran Asam semut dan bahan lain yang tidak merusak mutu karet *) serta penggumpalan alami
Lump
50 100 150 >150 Tidak terdapat kotoran Asam semut dan bahan lain yang tidak merusak mutu karet*) serta penggumpalan alami
Keterangan : *) Bahan yang tidak merusak mutu karet yang direkomendasikan oleh lembaga penelitian yang kredibel.
Lampiran 6. Peta Aliran Material (GVSM current state)
Petani Karet Rakyat
Kebutuhan Bibit 500 Bibit/Ha
Dinas Perkebunan
Energi
:
Air
: 3741,4 Liter
Material
: 4479,5 Kg
Sampah
: 230,5 Kg
Transportasi : Transportasi : Emisi :
Emisi
25 Km 6,03 Kg
0 KWh
Produksi Bokar Rata-rata 14 Kg/Ha/sadapan. Setidaknya diperlukan 72 kali sadapan untuk menghasilkan 1 ton Bokar
85 Km
: 20,44 Kg
Transportasi : 60 Km Emisi : 14,41 Kg
Biodiversitas : 1,001 Ha
Penanaman (Umur 0-1 tahun)
Perawatan TBM (Umur 1-5 tahun)
Pedagang / Industri Hulu
Perawatan TM (Umur 6-30 tahun)
Pemanenan (Basis 1 ton)
Pembuatan Bokar (Basis 1 ton)
Energi
:
0 KWh
Energi
:
0 KWh
Energi
:
0 KWh
Energi
:
0 KWh
Energi
Air
:
0 Liter
Air
:
0 Liter
Air
:
0 Liter
Air
:
0 Liter
Air
: 3741,4 Liter
Material
:
78,5 Kg
Material
: 1926,5 Kg
Material
: 2474,5 Kg
Material
:
0 Kg
Material
:
0 Kg
Sampah
:
16 Kg
Sampah
:
0 Kg
Sampah
:
0 Kg
Sampah
: 214,5 Kg
Sampah
:
0 Kg
:
0 KWh
Transportasi :
0 Km
Transportasi :
0 Km
Transportasi :
0 Km
Transportasi :
0 Km
Transportasi :
0 Km
Emisi
0 Kg
Emisi
0 Kg
Emisi
0 Kg
Emisi
0 Kg
Emisi
0 Kg
:
:
Biodiversitas : 1 Ha
:
:
:
Biodiversitas : 0,001 Ha
53
54 Lampiran 7. Perhitungan Biaya Kebutuhan Proses Produksi Karet Slab No
Jenis
1.
Penanaman
2.
TBM
3.
TM
4
Pemanenan
5.
Pembuatan Bokar
6.
Transport
Material Polybag 0.12 x 35/17,5 x 40 cm (per kg isi 32 lembar) Pupuk dasar (SP36) Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KCL Pupuk Kieserit Pupuk MOP TB 29 Amoniak Round Up Belerang Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KCL Pupuk Kieserit TB 29 Amoniak Round Up Belerang Pisau sadap Asahan Ember sadap Mangkok sadap Kawat mangkok sadap Talang sadap Asam Semut (liter) untuk menghasilkan 1 ton bokar Loyang lateks Air (liter) untuk basis 1 ton bokar Bahan Bakar (liter) Total
Kebutuhan (kg/ha) 16
Harga / satuan 24000
62,5 687,5 462,5 75 212,5 450 3 6 6 24 675 862,5 575 325 3 6 4 24 2 2 1 500 500 500 3,6
2000 1800 1000 2000 650 2000 14700 3675 31500 1675 1800 1000 2000 650 14700 3675 31500 1675 28000 1000 31500 450 200 150 30000
125000 1237500 462500 150000 138125 900000 44100 22050 189000 40200 1215000 862500 1150000 211250 44100 22050 126000 40200 56000 2000 31500 225000 100000 75000 108000
1 3741,4
15750 3000/30 liter 6500
15750 374140
7,72
Biaya 384000
50180 8401145
55 Lampiran 8. Tampilan Hasil Perhitungan AHP Bobot Kriteria Kualitas Bokar
Fokus
Faktor
Aktor
Penentuan Strategi Peningkatan Produktivitas Bokar dengan Pendekatan Produktivitas Hijau
Lahan (0,179)
Mutu Bokar (0,321)
Petani (0,501)
Pedagang (0,100)
Memaksimalkan Keuntungan (0,510)
Tujuan
Alternatif
Kinerja Petani (0,283)
Optimasi Lahan (0,292)
Teknik Penyadapan Terbaik (0,068)
Biaya Produksi (0,110)
Industri Hulu (0,127)
Meningkatkan Kualitas (0,270)
Pengendalian Karakter Bahan Baku (0,078)
Tingkat Permintaan (0,042)
Pemerintah (0,184)
Kebijakan Pemerintah mengenai Bokar Bersih (0,065)
Perguruan Tinggi & Lembaga Peneliti (0,088)
Mengurangi Dampak Lingkungan (0,219)
Substitusi Bahan Pembantu (0,144)
Penerapan Disiplin dan Kesadaran Kerja (0,418)
56
Lampiran 9. Struktur Hierarki Penentuan Strategi Peningkatan Produktivitas Bokar dengan Pendekatan Produktivitas Hijau
57 Lampiran 10. Tampilan Pengisian Model AHP Penentuan Strategi Peningkatan Produktivitas
Gambar Form Penilaian Model AHP Penentuan Strategi Oleh Pakar 1
Gambar Form Penilaian Model AHP Penentuan Strategi Oleh Pakar 2
Gambar Form Penilaian Model AHP Penentuan Strategi Oleh Pakar 3
58
Gambar Form Hasil Penggabungan Ketiga Pendapat Pakar
Lampiran 11. Keseluruhan Perhitungan Skenario Tabel Perhitungan Skenario 1 No
Jenis
1
Penanaman
2
TBM
3.
TM
Material Polybag 0.12 x 35/17,5 x 40 cm (per kg isi 32 lembar) Pupuk dasar (SP36) Pupuk Urea (Pengurangan 50%) Pupuk TSP (Pengurangan 50%) Pupuk KCL (Pengurangan 50%) Pupuk Kieserit (Pengurangan 50%) Pupuk MOP (Pengurangan 50%) TB 29 Amoniak Round Up Belerang Pupuk Hayati Emas Pupuk Urea (Pengurangan 50%) Pupuk TSP (Pengurangan 50%) Pupuk KCL (Pengurangan 50%) Pupuk Kieserit (Pengurangan 50%) TB 29 Amoniak Round Up
Kebutuhan Awal (kg/ha) 16
Kebutuhan Akhir (kg/ha) 16
62,50 687,50
Harga / satuan
Biaya
24000
384000
62,50 343,75
2000 1800
125000 618750
462,50
231,25
1000
231250
75
37,50
2000
75000
212,50
106,25
650
69063
450
225
2000
450000
3 6 6 24 125
3 6 6 24 125
44100 22050 189000 40200 687500
675
337,50
14700 3675 31500 1675 137500 / 25 kg 1800
862,50
431,25
1000
431250
575
287,50
2000
575000
325
162,50
650
105625
3 6 4
3 6 4
14700 3675 31500
44100 22050 126000
607500
59
4.
Pemanenan
5.
Pembuatan Bokar
6.
Transport
Belerang Pupuk Hayati Emas
24 350
24 350
Pisau sadap Asahan Ember sadap Mangkok sadap Kawat mangkok sadap Talang sadap Asam Semut (liter) untuk menghasilkan 1 ton bokar Loyang lateks Air (liter) untuk basis 1 ton bokar Bahan bakar (liter) Total
2 2 1 500 500 500 3,60
2 2 1 500 500 500 3,60
1 3741,40
1 3741,40
7,72
7,72
1675 137500/ 25 kg 28000 1000 31500 450 200 150 30000
40200 1925000
15750 3000/30 liter 6500
15750 374140
56000 2000 31500 225000 100000 75000 108000
50180 7850208
Tabel Hasil Analisis Tujuh Sumber Limbah Hijau Skenario 1 Pengiriman Bokar
Pengiriman Bibit
Pembuatan Bokar
Pemanenan
Perawatan TM
Perawatan TBM
Penanaman
Proses Kegiatan Total
Energi (KWh)
0
0
0
0
0
0
0
0
Air (Liter)
0
0
0
0
3741,40
0
0
3741,40
Material (Kg)
78,50
1107,75
1605,75
0
0
0
0
2792
Sampah (Kg)
16
0
0
0
0
0
0
16
Transportasi (Km)
0
0
0
0
0
25
60
85
Emisi (Kg)
0
0
0
0
0
6,03
14,41
20,44
0,001
0
0
1,001
Biodiversitas (Ha)
1
Perhitungan Skenario 1 : 1. EI = ((0,375x20,44) + (0,25x3741,40) + (0,125x16) + (0,25x2792)) / 1000 = 1,643015 2. Pendapatan = 120% x 20000000 = 24000000 3. Indikator Ekonomi = 24000000 / 7850208 = 3,057244 4. GPI = 3,057244 / 1,643015 = 1,860752
Tabel Perhitungan Skenario 2 No
Jenis
1.
Penanaman
2.
TBM
Material Polybag 0.12 x 35/17,5 x 40 cm (per kg isi 32 lembar) Pupuk dasar (SP36) Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KCL
Kebutuhan (kg/ha) 16
Harga / satuan 24000
62,50 687,50 462,50 75
2000 1800 1000 2000
Biaya 384000
125000 1237500 462500 150000
60
3.
TM
4.
Pemanenan
5.
Pembuatan Bokar
6.
Pupuk Kieserit Pupuk MOP Mitol 20EC (5ml + 1 l air/ bulan / 20 pohon) Air Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KCL Pupuk Kieserit Mitol 20EC (5ml + 1 l air/ bulan / 20 pohon) Air Pisau sadap Asahan Ember sadap Mangkok sadap Kawat mangkok sadap Talang sadap Asam Semut (liter) untuk menghasilkan 1 ton bokar Loyang lateks Air (liter) untuk basis 1 ton bokar Bahan bakar (liter) Total
Transport
212,50 450 7,50
650 2000 125000
138125 900000 937500
1500 675 862,50 575 325 7,50
3000/30 liter 1800 1000 2000 650 125000
150000 1215000 862500 1150000 211250 937500
2100 2 2 1 500 500 500 3,60
3000/30 liter 28000 1000 31500 450 200 150 30000
210000 56000 2000 31500 225000 100000 75000 108000
1 3741,40
15750 3000/30 liter
15750 374140
7,72
6500
50180 10108445
Tabel Hasil Analisis Tujuh Sumber Limbah Hijau Skenario 2
Pengiriman Bokar
Pengiriman Bibit
Pembuatan Bokar
Pemanenan
Perawatan TM
Perawatan TBM
Penanaman
Proses Kegiatan
Total
Energi (KWh)
0
0
0
0
0
0
0
0
Air (Liter)
0
1500
2100
0
3741,40
0
0
7341,40
Material (Kg)
78,50
1887,50
2437,50
0
0
0
0
4403,50
Sampah (Kg)
16
0
0
0
0
0
0
16
Transportasi (Km)
0
0
0
0
0
25
60
85
Emisi (Kg)
0
0
0
0
0
6,03
14,41
20,44
0,001
0
0
1,001
Biodiversitas (Ha)
1
Perhitungan Skenario 2 : 1. EI = ((0,375x20,44) + (0,25x7341,40) + (0,125x16) + (0,25x4403,50)) / 1000 = 2,945890 2. Pendapatan = 120% x 20000000 = 24000000 3. Indikator Ekonomi = 24000000 / 10108445 = 2,374252 4. GPI = 2,374252 / 2,945890 = 0,805954
61 Tabel Perhitungan Skenario 3 No
Jenis
Material
1.
Penanaman
2.
TBM
3.
TM
4.
Pemanenan
5.
Pembuatan Bokar
6.
Transport
Polybag 0.12 x 35/17,5 x 40 cm (per kg isi 32 lembar) Pupuk dasar (SP36) Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KCL Pupuk Kieserit Pupuk MOP TB 29 Amoniak Round Up Belerang Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KCL Pupuk Kieserit TB 29 Amoniak Round Up Belerang Pisau sadap Asahan Ember sadap Mangkok sadap Kawat mangkok sadap Talang sadap Deorub Loyang lateks Air (liter) untuk basis 1 ton bokar Bahan bakar (liter) Total
Kebutuhan (kg/ha) 16
Harga / satuan 24000
62,50 687,50 462,50 75 212,50 450 3 6 6 24 675 862,50 575 325 3 6 4 24 2 2 1 500 500 500 16,39 1 3695,78
2000 1800 1000 2000 650 2000 14700 3675 31500 1675 1800 1000 2000 650 14700 3675 31500 1675 28000 1000 31500 450 200 150 6600 15750 3000/30 liter 6500
7,72
Biaya 384000
125000 1237500 462500 150000 138125 900000 44100 22050 189000 40200 1215000 862500 1150000 211250 44100 22050 126000 40200 56000 2000 31500 225000 100000 75000 108174 15750 369578 50180 8396757
Tabel Hasil Analisis Tujuh Sumber Limbah Hijau Skenario 3
Energi (KWh) Air (Liter)
0
0
Pengiriman Bokar
Pengiriman Bibit
Pembuatan Bokar
Pemanenan
Perawatan TM
Perawatan TBM
Penanaman
Proses Kegiatan
Total
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3695,78
0
0
3695,78
Material (Kg)
78,50
1926,50
2474,50
0
0
0
0
4479,50
Sampah (Kg)
16
0
0
0
0
0
0
16
Transportasi (Km)
0
0
0
0
0
25
60
85
Emisi (Kg)
0
0
0
0
0
6,03
14,41
20,44
0,001
0
0
1,001
Biodiversitas (Ha)
1
62 Perhitungan Skenario 3 : 1. EI = ((0,375x20,44) + (0,25x3695,78) + (0,125x16) + (0,25x4479,50)) / 1000 = 2,053485 2. Pendapatan = 120% x 20000000 = 24000000 3. Indikator Ekonomi = 24000000 / 8396757 = 2,858246 4. GPI = 2,858246 / 2,053485 = 1,391900 Tabel Perhitungan Skenario 4 No
Jenis
1
Penanaman
2
TBM
3.
TM
4.
Pemanenan
5.
Pembuatan Bokar
6.
Transport
Material Polybag 0.12 x 35/17.5 x 40 cm (per kg isi 32) Pupuk dasar (SP36) Pupuk Urea (Pengurangan 50%) Pupuk TSP (Pengurangan 50%) Pupuk KCL (Pengurangan 50%) Pupuk Kieserit (Pengurangan 50%) Pupuk MOP (Pengurangan 50%) TB 29 Amoniak Round Up Belerang Pupuk Hayati Emas Pupuk Urea (Pengurangan 50%) Pupuk TSP (Pengurangan 50%) Pupuk KCL (Pengurangan 50%) Pupuk Kieserit (Pengurangan 50%) TB 29 Amoniak Round Up Belerang Pupuk Hayati Emas Pisau sadap Asahan Ember sadap Mangkok sadap Kawat mangkok sadap Talang sadap Deorub Loyang lateks Air (liter) untuk basis 1 ton bokar Bahan bakar (liter) Total
Kebutuhan Awal (kg/ha) 16
Kebutuhan Akhir (kg/ha) 16
62,5 687,5
Harga / satuan
Biaya
24000
384000
62,5 343,75
2000 1800
125000 618750
462,5
231,25
1000
231250
75
37,5
2000
75000
212,5
106,25
650
69063
450
225
2000
450000
3 6 6 24 125 675
3 6 6 24 125 337,5
14700 3675 31500 1675 137500/25 kg 1800
44100 22050 189000 40200 687500 607500
862,5
431,25
1000
431250
575
287,5
2000
575000
325
162,5
650
105625
3 6 4 24 350 2 2 1 500 500 500 16,39 1 3695,78
3 6 4 24 350 2 2 1 500 500 500 16,39 1 3695,78
14700 3675 31500 1675 137500/25 kg 28000 1000 31500 450 200 150 6600 15750 3000/30 liter
44100 22050 126000 40200 1925000 56000 2000 31500 225000 100000 75000 108174 15750 369578
7,72
7,72
6500
50180 7845820
63 Tabel Hasil Analisis Tujuh Sumber Limbah Hijau Skenario 4
Pengiriman Bokar
Pengiriman Bibit
Pembuatan Bokar
Pemanenan
Perawatan TM
Perawatan TBM
Penanaman
Proses Kegiatan
Total
Energi (KWh)
0
0
0
0
0
0
0
0
Air (Liter)
0
0
0
0
3695,78
0
0
3695,78
Material (Kg)
78,50
1107,75
1605,75
0
0
0
0
2792
Sampah (Kg)
16
0
0
0
0
0
0
16
Transportasi (Km)
0
0
0
0
0
25
60
85
Emisi (Kg)
0
0
0
0
0
6,03
14,41
20,44
0,001
0
0
1,001
Biodiversitas (Ha)
1
Perhitungan Skenario 4 : 1. EI = ((0,375x20,44) + (0,25x3695,78) + (0,125x16) + (0,25x2792)) / 1000 = 1,631610 2. Pendapatan = 120% x 20000000 = 24000000 3. Indikator Ekonomi = 24000000 / 7845820 = 3,058954 4. GPI = 3,058954 / 1,631610 = 1,874807
64
Lampiran 12. Peta Aliran Material (GVSM future state)
Petani Karet Rakyat
Kebutuhan Bibit 500 Bibit/Ha
Dinas Perkebunan
Energi
:
Air
:3695,78 Liter
Material
: 2792 Kg
Sampah
:
Transportasi : Transportasi : Emisi :
Emisi
25 Km 6,03 Kg
Asusmsui Produksi Bokar dan Pendapatan Naik 20% dari Kondisi Awal
0 KWh
16 Kg 85 Km
: 20,44 Kg
Transportasi : 60 Km Emisi : 14,41 Kg
Biodiversitas : 1,001 Ha
Penanaman (Umur 0-1 tahun)
Perawatan TBM (Umur 1-5 tahun)
Pedagang / Industri Hulu
Perawatan TM (Umur 6-30 tahun)
Pemanenan (Basis 1 ton)
Pembuatan Bokar (Basis 1 ton)
Energi
:
0 KWh
Energi
:
0 KWh
Energi
:
0 KWh
Energi
:
0 KWh
Energi
Air
:
0 Liter
Air
:
0 Liter
Air
:
0 Liter
Air
:
0 Liter
Air
:3695,78 Liter
Material
:
78,5 Kg
Material
:1107,75 Kg
Material
:1605,75 Kg
Material
:
0 Kg
Material
:
0 Kg
Sampah
:
16 Kg
Sampah
:
0 Kg
Sampah
:
0 Kg
Sampah
:
0 Kg
Sampah
:
0 Kg
:
0 KWh
Transportasi :
0 Km
Transportasi :
0 Km
Transportasi :
0 Km
Transportasi :
0 Km
Transportasi :
0 Km
Emisi
0 Kg
Emisi
0 Kg
Emisi
0 Kg
Emisi
0 Kg
Emisi
0 Kg
:
:
Biodiversitas : 1 Ha
:
:
:
Biodiversitas : 0,001 Ha
65 Lampiran 13. Program Perangkat Lunak Instalasi program “Green” membutuhkan seperangkat PC dengan spesifikasi minimal sebagai berikut : 1. Satu set Personal Computer (PC) atau laptop dengan prosesor Pentium IV dan RAM 256 MB. 2. Layar monitor 1280x 800 pixel. 3. DVD-ROM. 4. Ruang kosong pada harddisk sebesar 100 MB. 5. Sistem operasi Linux, Mac atau Windows. 6. PC telah terinstal web server dan database MySQL. 7. PC telah terinstal internet browser seperti Mozilla Firefox atau Internet Explorer. Petunjuk Instalasi Program Green melalui localhost : 1. Masukkan CD Program Green ke dalam DVD-ROM. 2. Salin folder “green” ke dalam drive C di folder xampp/htdocs. 3. Import database “green” ke dalam drive C di folder xampp/mysql/data. 4. Setelah itu program dapat langsung digunakan melalui browser dengan alamat http://localhost/green. 5. Keluarkan CD dari DVD-ROM dan simpan di tempat aman. 6. Selamat menggunakan aplikasi perangkat lunak ini.
66
67
68
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 17 September 1991 sebagai anak dari pasangan Bapak Sudarno dan Ibu Ely Faridah. Penulis adalah putra kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Slawi dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Penerapan Komputer pada tahun ajaran 2011/2012. Penulis juga pernah menjadi ketua Matipala (Mahasiswa TIN Pecinta Alam). Pada Bulan Juni – Agustus 2012 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PT Binagloria Enterprindo, Cirebon dengan judul Mempelajari Manajemen Rantai Pasok Bawang Merah Di PT Binagloria Enterprindo.