Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________
PENINGKATAN MUTU ONGGOK MELALUI FERMENTASI DAN PEMANFATAANNYA SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN AYAM KAMPUNG SUPRIYATI 1, D. Z AENUDIN 1, I P. KOMPIANG 1, P. SOEKAMTO 2 dan D. ABDURACHMAN2 1
Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 2 Dinas Peternakan, Kabupaten Garut
ABSTRACT Quality Improvement of Cassava Waste by-Mean of Fermentation, as a Feedstuff for Native Chicken This research is a collaboration between RIAP and Kelompok Peternak Unggas Padamukti Malangbong, Dinas Peternakan Garut. The aim was to transfer fermentation technology to the end user (farmers) and utilize its as feedstuff for native chicken. The technology for nutrient quality improvement (protein content) of cassava waste by mean of solid state fermentation, using A. niger as inocculum, urea and ammoniumsulfphate as sources of inorganic nitrogen, which has been well established at the RIAP laboratory , then transferred to farmers. The product was evaluated chemically and biologically by feeding trial using native chicken. The economic of feedstuff utilization was evaluated. The results showed that the quality improvement technique of cassava waste could be easily applicated to the farmers. After fermentation process, the protein contents of cassava waste increased from 1.85 to 14.74%. After 12 weeks observation showed that the inclusion of 10% fermented cassava waste in ration improved the growth performances of native chickens. The body weight of birds increased from 809 to 920 g with better feed convertion ration (3,08 vs 3,40). Key words: Cassava waste, fermentation, farmers level, feeding trial, native chickens
PENDAHULUAN Pada budidaya ternak secara intensip, pakan merupakan biaya yang terbesar, dapat mencapai 70% dari total biaya produksi, oleh karenanya harga dari bahan baku akan menentukan sekali biaya produksi. Untuk memenuhi kebutuhan akan bahan baku ini, banyak masih harus diimpor, terutama sumber vitamin dan protein seperti misalnya tepung ikan, dan bungkil kedele. Bahan baku lokal yang tersedia umumnya berupa hasil ikutan agroindustri, seperti antara lain dedak padi, onggok, ampas sagu dan lain-lainnya. Pada umumnya bahan baku tersebut kandungan proteinnya rendah disertai dengan kandungan serat kasar yang tinggi, sehingga sukar untuk dicerna, terutama oleh monogastrik (unggas) dan ikan (HASAN et al., 1996; KLEMESRUD et al., 1997), oleh karenanya penggunaannya sebagai bahan baku pakan sangat terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, telah dicobakan peningkatan nilai gizinya dengan proses fermentasi padat. Dengan fermentasi padat, menggunakan Aspergillus niger sebagai inokulum, dan urea serta amoniumsulfat sebagai sumber nitrogen telah dapat meningkatkan kandungan protein dari singkong (KOMPIANG et al., 1994), kulit ubikayu (SUPRIYATI dan KOMPIANG , 2002), kulit singkong (SUPRIYATI et al., 2002), ampas kirai (A NTAWIDJAJA et al., 1997), dan bungkil kelapa (SINURAT et al., 1996) maupun ampas sagu dari 1-2% menjadi 18% atau lebih.
Onggok merupakan limbah atau hasil samping produksi tapioka dari ubi kayu. Ketersediannya terus meningkat sejalan dengan meningkatnya produksi tapioka dengan semakin luas areal penanaman dan produksi ubikayu. Luas areal tanaman meningkat dari 1,3 juta hektar dengan produksi 13,3 juta ton pada tahun 1990 mejadi 1,8 juta hektar dengan produksi 19,4 juta ton (BPS, 1996). Dalam produksi tapioka, dari setiap ton ubikayu dihasilkan 250 kg tapioka dan 114 kg onggok (ENIE et al., 1989). Onggok, sebagai bahan organik mempunyai potensi sebagai bahan pakan ternak. Pada penelitian ini, teknologi fermentasi dari onggok dikembangkan dalam skala yang lebih besar, dan dilakukan bersama kelompok tani, dimana adaptasi teknologi laboratorium ke lapangan dan alih teknologinya dapat dilakukan serentak. Selanjutnya onggok terfermentasi diujicobakan pada ayam kampung periode pertumbuhan. MATERI DAN METODE Fermentasi skala laboratorium Fermentasi dilakukan dengan media onggok yang diperoleh dari lokasi penelitian di lapangan seperti diuraikan sebelumnya. Untuk setiap kg bahan baku ditambahkan campuran mineral yang terdiri dari urea,
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
381
____________________________________________________________________________________________________________________
MgSO4, ZA ((NH4)2SO4), KCl, NaH2PO4 dan FeSO4, dan serbuk spora sebanyak 1 sendok makan (6-8 g), dengan penambahan air panas, untuk memperoleh kadar air akhir sebesar 60%. Adonan kemudian difermentasikan dengan menggunakan bakibaki plastik pada ruang fermentor, dan setelah 3-4 hari, setelah permukaan ditumbuhi miselium maka adonan dipanen, dikeringkan dan digiling, yang selanjutnya dianalisis komposisi kimianya. Fermentasi di lapang Transfer teknologi dalam peningkatan kandungan protein dari onggok di lapangan dilakukan dengan “scalling-up” teknologi laboratorium secara bertahap. Fermentasi dilakukan dengan media onggok yang diperoleh di sekitar Malangbong, teknik fermentasi di lapang dilakukan seperti pada skala laboratorium namun tanpa fermentor. Untuk tahap pertama, dilakukan bersama-sama petani kooperator dengan menggunakan bahan baku sebanyak 25 kg perharinya, dan diproduksi terus selama 7 hari. Pada minggu kedua dilakukan evaluasi, untuk mengetahui apa perlu dilakukan perbaikan-perbaikan untuk mendapat hasil seperti yang diharapkan atau untuk meningkatkan efisiensi kerja. Setelah evaluasi, pada minggu ketiga dilakukan lagi produksi, dimana kegiatan lebih banyak dilakukan oleh petani kooperator, sedangkan peneliti dan stafnya lebih banyak bersifat supervisi. Target volume produksi masih tetap sekitar 25 kg/hari. Setelah 1 minggu, dilakukan kembali evaluasi dan anjuran perbaikan bila diperlukan. Untuk selanjutnya bila semuanya berjalan seperti diharapkan, volume produksi dapat ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan.
Analisis kimia Analisis kimia yang dilakukan meliputi kandungan protein kasar, Ca, P, energi dan serat kasar dengan metoda seperti diuraikan pada A OAC (1985). Feeding trial pada unggas Feeding trial dilakukan di lapangan dengan menggunakan ayam kampung umur sehari bekerja sama dengan peternak kooperator, Kelompok Peternak Unggas Padamukti, Malangbong-Garut. Lokasi penelitian yaitu di Proyek RRMC, Malangbong Garut. Ayam yang dipergunakan adalah ayam kampung bulu hitam (dominan jenis Kedu hitam namun dagingnya putih) dan ayam kampung bulu kuning (hasil silangan antara ayam jantan jenis Dekalb dan ayam kampung betina) umur 1 hari sebanyak 240 ekor yang kemudian dibagi dalam 4 kelompok berdasarkan warna bulu ayam. Ransum percobaan disusun iso protein dan kalori. Susunan ransum periode starter dan grower/finisher dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Bahan baku sebelum dicampur dianalisis kandungan gizinya. Pemberian pakan starter dilakukan dari mulai pengamatan (ayam berumur 1 minggu) dan pakan finisher diberikan pada saat ayam telah berumur 8 minggu. Kandang percobaan yang dipergunakan adalah sistem litter dengan ukuran 12,5 x 3 m yang dibagi menjadi 4 kandang. Adapun cara pemeliharaan seperti apa lazimnya dilakukan oleh kelompok peternak, yang sudah berpengalaman memelihara ayam kampung. Parameter yang diukur antara lain bobot hidup, konsumsi dan konversi pakan dan angka kematian. Untuk melihat pengaruh perlakuan, data yang diperoleh
Tabel 1. Susunan ransum ayam kampung masa pertumbuhan pada periode starter
Bahan baku
Tepung ikan Bungkil kedelai Jagung Dedak Kapur Garam Topmix Onggok terfermentasi Total
Pakan ayam hitam Tanpa onggok Onggok terfermentasi terfermentasi (Grup A) (Grup B) 11 10 22 22 46,5 46,5 18 9 1,5 1,5 0,25 0,25 0,75 0,75 10 100 100
Pakan ayam kuning Tanpa onggok Onggok terfermentasi terfermentasi (Grup C) (Grup D) 11 10 22 22 46,5 46,5 18 9 1,5 1,5 0,25 0,25 0,75 0,75 10 100 100
_____________________________________________________________________________________________ 382
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ Tabel 2. Susunan ransum ayam kampung masa pertumbuhan pada periode finisher
Bahan baku
Tepung ikan Bungkil kedelai Jagung Dedak Kapur Garam Topmix Onggok terfermentasi Total
Pakan ayam hitam (%) Tanpa onggok Onggok terfermentasi terfermentasi (Grup B) (Grup A) 8.5 8,2 13.5 13,5 53 53 22.5 12,8 1,5 1,5 0,25 0,25 0,75 0,75 10 100 100
diuji secara statistik dengan analisa sidik ragam rancangan acak lengkap dan dilanjutkan dengan uji-T (STEEL dan TORRIE, 1981). HASIL DAN PEMBAHASAN Fermentasi Hasil analisis kimia onggok dan onggok terfermentasi di tingkat laboratorium dan lapang dapat dilihat pada Tabel 3. Pada pembuatan fermentasi cassapro di lapangan, diintroduksikan cara fermentasi dengan menggunakan tepung spora dan air panas. Teknik ini dapat diadopsi oleh peternak dengan baik. Pada teknik ini tidak diperlukan tenaga listrik, disini hanya mengandalkan tenaga manusia untuk mencampur. Dari hasil analisis onggok terfermentasi di tingkat lapang ternyata kandungan protein kasar meningkat dari 1,85 menjadi 14,74%, hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi semi padat dapat meningkatkan protein kasar onggok. Peningkatan protein dikarenakan adanya proses perubahan N (nitrogen) anorganik dalam bentuk urea maupun amoniumsulfat (ZA), oleh kapang, Aspergillus niger, menjadi N organik (protein). Dengan kata lain protein pada produk fermentasi ini adalah merupakan protein dari kapang Aspergillus niger. Hal ini seiring dengan produk cassapro (cassava berprotein
Pakan ayam kuning (%) Tanpa onggok Onggok terfermentasi terfermentasi (Grup D) (Grup C) 8,5 8,2 13,5 13,5 53 53 22,5 12,8 1,5 1,5 0,25 0,25 0,75 0,75 10 100 100
tinggi), produk fermentasi dari umbi singkong, kandungan proteinnya 18-42%, lebih tinggi dari bahan asalnya singkong, yang hanya 3% (KOMPIANG et al., 1995). Dari hasil ini kandungan protein kasar onggok terfermentasi lebih rendah dari yang terkandung di cassapro dikarenakan kandungan gizi onggok lebih rendah daripada singkong. Kandungan protein kasar pada onggok terfermentasi di tingkat laboratorium lebih besar dibanding fermentasi di tingkat lapangan. Hal ini dikarenakan faktor lingkungan fermentasi, dimana pada skala laboratorium suhu ruangan diusahakan tetap karena menggunakan fermentor, sedangkan di lapangan tanpa fermentor. Kandungan Abu, Ca dan P pada produk onggok terfermentasi lebih tinggi dari onggoknya, peningkatan kandungan abu, Ca dan P, bukan sebagai hasil sintesis, tetapi merupakan hasil penambahan mineral kalsiumklorida (CaCl2. 2H2O) dan natriumdihidrogenfosfat pra-fermentasi. Namun demikian kandungan abu, Ca dan P produk onggok terfermentasi pada tingkat laboratorium dan lapang tidak berbeda walaupun ada kecenderungan menurun pada tingkat lapang. Perubahan lainnya yang perlu diperhatikan adalah peningkatan kandungan energi. Kandungan enersi kasar meningkat dari 3.095 kkal/kg menjadi 3.300 dan 3.277 kkal/kg masing-masing untuk onggok terfermentasi
Tabel 3. Komposisi kimia onggok dan onggok terfermentasi Parameter Protein kasar, % Abu, % Kalsium, % Fosfor, % Energi kasar, kkal/kg
Onggok
Onggok terfermentasi di laboratorium
Onggok terfermentasi di lapang
1,85 2,12 0,20 0,16 3.095
18,40 2,60 0,28 0,24 3.300
14,74 2,24 0,26 0,22 3.277
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
383
____________________________________________________________________________________________________________________
tingkat laboratorium dan tingkat lapang. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan nilai gizi produk terfermentasi. Feeding trial pertumbuhan
pada
pada
kampung
periode
Hasil analisis kimia pakan percobaan ternyata kandungan protein untuk ransum yang tanpa dan penambahan onggok terfermentasi masing-masing adalah 21,82 dan 22,86% (Tabel 4). Walaupun diusahakan perhitungannya iso protein ternyata setelah dianalisis tidak sama. Hal ini kemungkinan disebabkan tidak seragamnya sample pakan maupun bahan baku dan kemungkinan lain yaitu penyimpangan analisis kimia. Data analisis protein kasar masih di antara kisaran penyimpangan analisis yatitu sebesar 4,4%. Kandungan serat kasar dan lemak untuk kedua ransum tidaklah berbeda nyata, tetapi untuk kandungan Ca dan P beda nyata, hal ini kemungkinan dikarenakan ketidak seragaman sample pakan. Namun bila dilihat dari nilai enersi-nya ternyata perlakuan onggok terfermentasi cassapro dan tanpa onggok terfermentasi tidaklah berbeda jauh, 3926 vs 3945 (kkal/kg) (0,48%).
Kinerja dari ayam kampung periode pertumbuhan yang diberikan pakan percobaan disarikan pada Tabel 5. Selama 12 minggu percobaan dijumpai kematian pada semua perlakuan. Hasil analisis satatistik pada umur sekitar 8 minggu, secara nyata ada perbedaan diantara kedua kelompok ayam, dimana rataan berat ayam hitam pada umur 54 hari adalah 632,5 g, lebih rendah dari kelompok ayam berbulu kuning, dimana beratnya sebesar 573,75 g. Rataan berat badan ayam warna hitam dan kuning yang memperoleh pakan dengan onggok terfermentasi masing-masing adalah 625 dan 640 g, lebih berat dari ayam-ayam yang memperoleh pakan kontrol (tanpa onggok terfermentasi) yaitu 560 dan 587,5 g. Pada umur ayam 84 hari ternyata bobot ayam bulu hitam yang diberi onggok terfermentasi mencapai rataan bobot hidup sebesar 967 g dibandingkan yang tanpa perlakuan onggok terfermentasi yaitu 809 g. Rataan perbedaan bobot hidup yaitu 158 g. Demikian pula pada ayam berbulu kuning terjadi peningkatan bobot hidup, perlakuan tanpa onggok terfermentasi dan penambahan onggok terfermentasi yaitu dari 725 g menjadi 852 g.
Tabel 4. Hasil analisis komposisi kimia pakan starter
Bahan baku (%) Kadar air Protein Serat Kasar Lemak Abu Ca P Enersi kasar (kkal/kg)
Perlakuan pakan Tanpa onggok terfermentasi Penambahan onggok terfermentasi 12,81 12,80 21,82 22,86 4,72 4,82 3,79 3,85 6,18 6,22 2,53 3,39 0,83 1,06 3.926 3.945
Tabel 5. Bobot hidup ayam yang mengkonsumsi tanpa dan penambahan onggok terfermentasi
Umur (hari) 0 7 14 21 28 33 40 48 54 84
Ayam hitam (g) Tanpa onggok Onggok terfermentasi terfermentasi 32,5 32,6 47,5 47,6 77,5 85,7 135,0 157,0 168,0 186,0 211,0 231,0 250,0 283,0 460,0 500,0 560,0 625,0 809,0 967,0
Ayam kuning (g) Tanpa onggok Onggok terfermentasi terfermentasi 37,4 37,9 54,7 63,3 87,8 92,5 144,6 164,0 174,0 192,0 204,5 247,6 245,0 288,0 470,0 500,0 587,5 640,0 725,0 852,0
_____________________________________________________________________________________________ 384
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ Tabel 6. Kinerja ayam kampung periode pertumbuhan secara teknis dan ekonomis selama 12 minggu pengamatan
Uraian Bobot hidup awal, g Bobot hidup 12 mg, g PBB, g Konsumsi pakan,g FCR Mortalitas, % IOFCC (Rp/ekor)
Ayam hitam Tanpa onggok Onggok terfermentasi terfermentasi 47,5 47,6 809 967 762 920 3.401 3.076 4,466 3,346 12,5 10,8 2.606 5.082
Ayam Kuning Tanpa onggok Onggok terfermentasi terfermentasi 54,7 63,3 725 852 670 789 3.228 3.227 4,816 4,092 24,53 33,33 1.858 3.480
IOFCC = Income over feed and chick cost
Bila dibandingkan pola pertumbuhan ayam berbulu hitam dan bulu kuning ternyata pada umur percobaan 54 hari ayam berbulu kuning dan hitam dengan perlakuan yang sama (tanpa dan dengan onggok terfermentasi) bobot hidupnya hampir sama. Namun pada umur 12 minggu, dimana pakan yang dipergunakan adalah pakan finisher ternyata ayam hitam pertumbuhannya lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa ayam silangan (Dekalb x ayam buras) untuk pertumbuhan pada periode diatas 8 minggu masih memerlukan pakan yang lebih baik lagi (protein lebih tinggi dari 17%). Bobot hidup awal ayam bulu hitam percobaan pada umur yang sama yaitu sekitar 7 hari untuk kontrol dan perlakuan cassapro tidak beda nyata, sedangkan untuk ayam bulu kuning bobot awal lebih tinggi (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa ayam kuning berbobot hidup lebih besar dan lebih cepat tumbuh pada periode 1 minggu sampai umur 1 bulan. Namun setelah 12 minggu pengamatan, ternyata pertambahan bobot hidup yang paling tinggi diperoleh pada ayam hitam dengan perlakuan onggok terfermentasi (920 g), diikuti oleh ayam kuning dengan perlakuan onggok terfermentasi (789 g), ayam hitam yang tanpa perlakuan (762 g) dan ayam kuning yang tanpa perlakuan (670 g). Hal ini menunjukkan bahwa ayam silangan pada periode finisher dengan pemberian 17% protein belum mencukupi untuk pertumbuhannya. Konsumsi ransum selama 12 minggu pengamatan yang terendah adalah ayam hitam dengan perlakuan onggok terfermentasi (3076 g/ekor/12 minggu, diikuti oleh ayam kuning dengan dan tanpa perlakuan onggok terfermentasi (3228 dan 3227 g/ekor/12 minggu) dan ayam hitam tanpa cassapro (3401 g/ekor/12 minggu). Dari data terlihat bahwa ayam hitam memberikan respon yang nyata. Perbedaan jumlah pakan yang dikonsumsi antara kontrol dan perlakuan untuk ayam berbulu hitam sebesar 325 g. Mortalitas tertinggi diperoleh pada ayam kuning, namun hal ini dikarenakan ada kesalahan teknis yang disebabkan jatuhnya tempat minyak untuk pemanas sehingga menyebabkan kematian ternak tinggi. Pada
ayam hitam, kelompok kontrol lebih tinggi tingkat kematiannya dibanding kelompok perlakuan. Kajian ekonomi
1.
2.
3.
4.
5.
Dari hasil pengkajian ekonomi ternyata: Efisiensi pakan lebih baik, dimana untuk 1 kg ayam hidup memerlukan 3181 gr pakan dengan onggok terfermentasi dan 4204 gr tanpa onggok terfermentasi. Selisihnya untuk produksi 1 ekor ayam yaitu 1023 g pakan, bila harga pakan Rp. 1 500,- maka sudah mendapat keuntungan sebesar Rp. 1 535,-/ekor. Penggunaan bahan baku terfermentasi seperti onggok yang harganya relatif murah akan mengurangi biaya produksi pakan. Bila 10% dedak digantikan onggok terfermentasi maka selisih harga pakan sekitar Rp. 50,- (bila harga onggok Rp 300,dan harga dedak Rp.500,-). Dari analisis income over feed and chick cost (IOFCC) ternyata nilai tertinggi diperoleh pada Grup B (Ayam hitam yang diberi onggok terfermentasi) sebesar Rp. 5 082,- diikuti grup D (ayam kuning dengan pemberian onggok terfermentasi). Waktu pemeliharaan yang diperlukan untuk mendapatkan bobot pasar lebih pendek, sehingga kemungkinan kesempatan diserang oleh penyakit lebih pendek. Dalam satu tahun akan lebih banyak flok yang dipelihara. KESIMPULAN
1.
Dari uji coba ini dapat disimpulkan bahwa: Teknologi peningkatan mutu onggok melalui fermentasi sebagai bahan baku pakan maupun produksi onggok terfermentasi dapat diadopsi dengan baik oleh peternak.
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
385
____________________________________________________________________________________________________________________
Penggunaan onggok terfermentasi dalam ransum memberikan efesiensi pakan yang lebih baik dan biaya produksi lebih rendah. 3. Membuka peluang lapangan kerja untuk orang memproduksi onggok terfermentasi. 4. Diversifikasi bahan baku pakan sehingga ketergantungan pada sumber protein seperti bungkil kedelai dapat dikurangi.
KOMPIANG , I P. , A.P. SINURAT, S. KOMPIANG , T. PURWADARIA dan J. DARMA . 1994. Nutrition value of protein enriched cassava: Cassapro. Ilmu dan Peternakan 7(2): 22-25.
DAFTAR PUSTAKA
SINURAT, A.P., P. SETIADI, A. LASMINI, A.R. SETIOKO, T. PURWADARIA, I.P. KOMPIANG DAN J . DARMA . 1995. Penggunaan cassapro (singkong terfermentasi) untuk itik petelur. Ilmu dan Peternakan 8(2): 28-31.
2.
ANTAWIDJAJA , T., I.A.K. BINTANG, SUPRIYATI , A.P. SINURAT dan I P. KOMPIANG . 1997. “Pengaruh ampas kirai (Metroxylan sago) dan hasil fermentasinya sebagai bahan pakan itik yang sedang tumbuh”, JITV 2 : 175180. BIRO PUSAT STATISTIK. 1990. Statistik Tanaman Pangan. BPS. Jakarta.
KOMPIANG , I P., A.P. SINURAT, T. PURWADARIA dan J. DARMA . 1995. Cassapro in broiler ration: Interaction with rice bran. JITV 1: 81-85. KOMPIANG , I P dan SUPRIYATI . 1998. Evaluasi nilai gizi dari homini sebagai pakan ayam. JITV. 3: 158-164.
SINURAT, A.P., P. SETIADI, T. PURWADARIA, A.R. SETIOKO, dan J. DARMA . 1996. Nilai gizi bungkil kelapa yang difermentasi dan pemanfaatannya dalam ransum itik. JITV 1: 161-168.
ENIE, A.B., 1989. Teknologi pengolahan singkong. Pros: Seminar Nasional Peningkatan Nilai Tambah Singkong. Fakultas Pertanian UNPAD.
.SUPRIYATI , T. PASARIBU, H. HAMID dan A. SINURAT. 1998. Fermentasi bungkil inti sawit secara subtrat padat dengan menggunakan Aspergillus Niger. JITV. 3: 165170.
HASAN , M.R., M.S. HAG , P.M. DAS AND G. M OWLAH . 1996. Evaluation of feather meal as a dietary protein source for Indian major carp Labeorohita fry. Aquaculture. 151: 47-54.
SUPRIYATI dan I P. KOMPIANG . 2002. Perubahan Komposisi Nutrien dari Kulit Ubi Kayu Terfermentasi dan Pemanfaatan sebagai Bahan Baku Pakan Ayam Pedaging. JITV. 7: 150-154.
KLEMESRUD, M.J., T.J. KLOPFENSTEIN, A.J. LEWIS, D.H. SHAIN and D.W. HEROLD . 1997. Limiting amino acids in meat and bone and poultry by product meals. J. Anim. Sci. 75: 3294-3300.
STEEL, R.G.D. dan J.H. T ORRIE. 1981. “Principles and Procedures of Statistical”. Mc Graw-Hill Book Co. New York.
DISKUSI Pertanyaan: 1.
Apakah onggok bisa diganti dengan singkong ?
2.
Bagaimana dengan adopsi, apakah dapat diterapkan ?
3.
Apakah yang dihasilkan oleh petani diamati juga kuliatasnya ?
4.
Mengapa ayam yang berbulu kuning kematiannya lebih tinggi dari ayam yang lain ?
Jawaban: 1.
Singkong boleh/bisa digunakan. Penelitian dilakukan tahun 2000, dan sampai sekarang sedang berjalan/dilakukan. Enzim tidak dianalisa. Ayam berbulu kuning merupakan hasil silangan, sehingga kemungkinan berpengaruh terhadap mortalitas yang tinggi.
_____________________________________________________________________________________________ 386
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003