PENGGUNAAN POLIFOSFAT UNTUK MEREDUKSI SUSUT MASAK SELAMA PRODUKSI SKALA INDUSTRI UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei) BEKU DI PT. CENTRALPERTIWI BAHARI LAMPUNG
SKRIPSI
IMAN INDRAJAYA F24070121
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
USE OF POLYPHOSPHATE TO REDUCE COOKING LOSS DURING INDUSTRIAL SCALE PRODUCTION OF FROZEN WHITE SHRIMP (Litopenaeus vannamei) IN PT. CENTRALPERTIWI BAHARI, LAMPUNG Iman Indrajaya, Ratih Dewanti-Hariyadi, Joko Hermanianto Departement of Food Science and Technology, Faculty of AgriculturalTechnology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java,Indonesia. Phone : +62 856 150 7284, E-mail :
[email protected] ABSTRACT White shrimp (L. vannamei) is the most important shrimp export commodity in Indonesia. Shrimps are mostly exported as frozen product after cooking process.The cooking process to produce frozen shrimp generally cause undesirable cooking loss because it decrease the weight. To overcome this problem, several techniques have been developed such as soaking in salt and polyphosphate as sequestrant before cooking process. Polyphosphate and salt can increase pH and ionik strength thus increase the WHC (Water Holding Capacity) and reduce cooking loss. In addition, polyphosphate provide a synergistic effect when it is combined with salt. The purpose of this research is to determine the influence of various concentrations of polyphosphate (0%, 2%, 3%, 4%) in combination with salt (4%) on the cooking loss of industrial scale frozen zhrimp production at PT Centralpertiwi Bahari, Lampung. The physico-chemicalproperties of shrimp observed are WHC using Hamm method and phosphate content in the product as P2O5. Formula resulting in the lowest cooking loss was selected as the best formula and the effect of polyphosphate was evaluated base on organoleptic characteristic. The result indicated that 4% polyphosphate gave the smallest cooking loss. Based on sensory evaluation, all various concentration showed that there is no bitter effect on final product. Keyword : white shrimp, polifosfat, WHC, cooking loss, P2O5
Iman Indrajaya. F24070121. Penggunaan Polifosfat Untuk Mengurangi Susut Masak Produk Udang Putih (L. vannamei) Beku di PT. Centralpertiwi Bahari, Lampung. Dibawah bimbingan Ratih Dewanti-Hariyadi, Joko Hermanianto, Hardi Kurniawan dan Ahmad Sofian.
RINGKASAN
Udang beku merupakan salah satu produk ekspor perikanan yang cukup penting yang dimiliki oleh Indonesia. Salah satu perusahaan yang bergerak dibidang budidaya udang adalah PT. Centralpertiwi Bahari (CPB). Permintaan buyer luar negeri yang meningkat akan produk udang siap saji (cooked shrimp) pada PT. CPB khususnya pada jenis produk CTO (Cooked Tail-On), menyebabkan ditingkatkannya kapasitas produksi. Peningkatan kapasitas produksi ini menyebabkan peningkatan kebutuhan bahan baku udang untuk dilakukan proses pemasakan. Namun, setelah dilakukan proses pemasakan terjadi penurunan jumlah produk yang cukup tinggi yang disebabkan oleh tingginya nilai susut masak. Hal ini menyebabkan perusahaan harus menyiapkan bahan baku udang yang lebih banyak untuk mendapatkan jumlah produk akhir yang diinginkan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka sebelum proses pemasakan dilakukan proses perendaman menggunakan larutan garam dan polifosfat. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi polifosfat optimum yang menghasilkan nilai susut masak rendah sehingga dapat meningkatkan jumlah produk akhir dalam skala produksi (rendemen total). Dalam penelitian ini dilakukan proses perendaman dengan menggunakan konsentrasi garam 4% dan berbagai macam konsentrasi polifosfat (0%, 2%, 3%, 4%) dengan waktu perendaman selama 3 jam dan dilakukan proses pengadukan secara terusmenerus. Selain itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai WHC (Water Holding Capacity) pada daging udang sehingga dapat diketahui hubungan antara konsentrasi polifosfat dan nilai WHC. Penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui konsentrasi phosfat pada produk akhir dalam bentuk P2O5. Dari hasil yang terbaik berdasarkan nilai susut masak terendah dan menghasilkan rendemen total yang tinggi, maka konsentrasi polifosfat yang ditetapkan akan di scale-up pada skala produksi. Penelitian menyimpulkan bahwa perlakuan dengan polifosfat 4% memberikan nilai susut masak rendah sebesar 12,51% dan nilai rendemen total paling tinggi sebesar 88,21%, meskipun hasil perlakuan yang lain memiliki hasil yang tidak berbeda nyata baik dalam nilai susut masak dan rendemen total. Namun perbedaan 1-2% dalam skala industri dapat menghasilkan perbedaan yang cukup besar. Data hasil pengukuran WHC juga menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi polifosfat 4% memberikan nilai WHC tertinggi yaitu sebesar 78,75%. Hasil pengujian kadar phosfat pada produk akhir dari ke-4 perlakuan menunjukkan kadar P2O5 yang dikandung masih dibawah 0,5%, hal ini sesuai dengan standar regulasi. Sedangkan untuk hasil uji organoleptik dari ke-4 perlakuan menunjukkan tidak ada rasa pahit yang disebabkan oleh kandungan phosfat pada produk akhir melainkan rasa dominan asin. Sehingga dapat dikatakan produk udang akhir aman untuk dikonsumsi.
PENGGUNAAN POLIFOSFAT UNTUK MEREDUKSI SUSUT MASAK SELAMA PRODUKSI SKALA INDUSTRI UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei) BEKU DI PT. CENTRALPERTIWI BAHARI LAMPUNG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh IMAN INDRAJAYA F24070121
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
:
Nama NIM
: :
Penggunaan Polifosfat Untuk Mereduksi Susut Masak Selama Produksi Skala Industri Udang Putih (L. vannamei) Beku di PT. Centralpertiwi Bahari, Lampung Iman Indrajaya F24070121
Menyetujui 14 Oktober 2011,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Kedua,
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Dr. Ir. Joko Hermanianto
NIP 19620920.198603.2.002
NIP 19590528.198503.1.001
Mengetahui: Plt. Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si.) NIP 19610802.198703.2.002
Tanggal lulus: 20 September 2011
Pembimbing Lapang,
Ahmad Sofian, S.Si NIP 20501190
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Penggunaan Polifosfat Untuk Mereduksi Susut Masak Selama Produksi Skala Industri Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Masak Di PT. Centralpertiwi Bahari Lampung adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan dosen pembimbing lapang dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 14 Oktober 2011 Yang membuat pernyataan,
Iman Indrajaya F24070121
© Hak cipta milik Iman Indrajaya, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS
Penulis bernama Iman Indrajaya, dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 September 1989. Penulis merupakan anak ke-dua dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Dr. Ir. Bambang Widigdo dan Ibu Ir. Dwi Poetranti Kientjokowati serta kakak Tetuko Widigdo dan adik Nur Amirah Trijayanti. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1993-1995, di TK Insan Kamil, Bogor. Pada tahun 1995-2001 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Polisi I, Bogor. Pada tahun 2001-2004 penulis melanjutkan jenjang berikutnya yaitu Sekolah Menengah Pertama Negeri 4, Bogor, kemudian Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Bogor pada tahun 20042007. Pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Selama di Perkuliahan, penulis aktif di organisasi HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan) sebagai staf Hi-Co (HIMITEPA Corporation) (2009-2010). Penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan seperti LCTIP XVII (2009), IFOODEX (2009), Entreupreneurship Day (2009) dan Orde Keramat ITP (2010). Penulis juga pernah menjadi delegasi di acara Indonesia Youth Delegate, Miracle Youth Conference, University Putra Malaysia, Malaysia (Juni 2009). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB, penulis melakukan kegiatan magang selama empat bulan di PT Centralpertiwi Bahari, Lampung. Tema penelitian dalam kegiatan magang ini adalah “Penggunaan Polifosfat Untuk Mereduksi Susut Masak Selama Produksi Skala Industri Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Beku Di PT Centralpertiwi Bahari, Lampung” di bawah bimbingan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc, Dr. Ir. Joko Hermanianto, Hardi Kurnia dan Ahmad Sofian, S.Si.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Penggunaan Polifosfat Untuk Mereduksi Susut Masak Selama Produksi Skala Industri Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Masak Di PT Centralpertiwi Bahari, Lampung” dengan baik yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mempersembahkan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Bambang Widigdo dan Mama Dwi Poetranti, Mas Tuko dan Mbak Asti, serta adik Nur Amirah Trijayanti atas doa dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis. Semoga tugas akhir ini merupakan langkah awal untuk bisa membahagiakan keluarga. 2. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc sebagai dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dannasihat-nasihat yang sangat berharga kepada penulis hingga skripsi ini selesai. 3. Dr. Ir, Joko Hermanianto sebagai dosen pembimbing ke-2 yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta nasihat-nasihat hingga penulisan skripsi ini selesai. 4. Bapak Hardi Kurnia dan Bapak Ahmad Sofian, S.Si atas kesediaanya menjadi pembimbing lapang dan atas bimbingan, nasihat-nasihat serta motivasi selama kegiatan magang hingga penulisan skripsi. 5. Departemen A&I (Application & Improvement), Dept QC dan QMS, dan Dept Processing PT. CPB 6. Septiannisa Rahmi , atas saran, motivasi, kesabaran serta kebersamaan yang indah dalam mendampingi penulis selama ini. 7. Sahabat-sahabat terbaikku : Leo, Adi, Wimala, Bogel, Cherish, Vendry, Arum, Mita, Indrawan, Argya, Dinda, Andri, Ibu Elmiati, Amelinda, Marisa, Trancy, Daniel, Elisabeth, Munyatul, Dimas, Irsyad, Vita, Rozak, Indri, Marvin, Tiara, Oni, Ni Putu, Melia, Ronald, Bertha, Kevin dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membantu dalam penyempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat, Amin.
Bogor, 14 Oktober 2011 Iman Indrajaya
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... iii DAFTAR ISI .............................................................................................................................. iv DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................viii I.
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1 A.
LATAR BELAKANG ..................................................................................................... 1
B.
TUJUAN PENELITIAN ................................................................................................. 2
C.
MANFAAT .................................................................................................................... 2
II.
TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN ............................................................................. 3 A.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN .................................................. 3
B.
LOKASI PERUSAHAAN ............................................................................................... 3
C.
VISI DAN MISI PERUSAHAAN ................................................................................... 4
D.
SUMBER DAYA MANUSIA ......................................................................................... 4
E.
STRUKTUR ORGANISASI ........................................................................................... 4
F.
HASIL PRODUKSI DAN PEMASARAN ....................................................................... 5
G.
FASILITAS .................................................................................................................... 5
III.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 6
A.
PRODUK UDANG BEKU.............................................................................................. 6
B.
TEKNOLOGI PEMASAKAN UDANG CTO (cooked tail-on) ........................................ 7
C.
MUTU PRODUK UDANG BEKU.................................................................................. 9
D.
PENGARUH POLIFOSFAT TERHADAP SUSUT MASAK ........................................ 10
IV.
METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................................... 16
A.
BAHAN DAN ALAT ................................................................................................... 16
B.
METODE PENELITIAN .............................................................................................. 16
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................................... 22 A.
OPTIMASI POLIFOSFAT ............................................................................................ 22
B.
KONSENTRASI PHOSFAT (P2O5) PADA PRODUK AKHIR ..................................... 29
iv
C.
UJI ORGANOLEPTIK ................................................................................................. 29
D.
ANALISIS BIAYA PRODUKSI ................................................................................... 30
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................... 32
A.
KESIMPULAN ............................................................................................................. 32
B.
SARAN ........................................................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 34 LAMPIRAN .............................................................................................................................. 37
v
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1
Atribut Uji Organoleptik...................................................................................
21
Tabel 2
Perbedaan Penggunaan Polifosfat Terhadap Rendemen...................................
22
Tabel 3
Pengaruh Polifosfat Terhadap Kadar Phosfat Udang........................................
23
Tabel 4
Pengaruh Polifosfat Terhadap Nilai WHC........................................................
24
Tabel 5
Pengaruh Polifosfat Terhadap Susut Masak.....................................................
27
Tabel 6
Pengaruh Polphosfat Terhadap Rendemen total...............................................
28
Tabel 7
Konsentrasi Phosfat (P2O5) Pada Udang Masak...............................................
29
Tabel 8
Hasil Uji Organoleptik......................................................................................
29
Tabel 9
Analisis Biaya Produksi....................................................................................
30
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1
Diagram alir proses pemasakan udang di PT CPB......................................
8
Gambar 2
Struktur Sarkolema......................................................................................
11
Gambar 3
Struktur Miosin............................................................................................
11
Gambar 4
Pengaruh pH Terhadap Struktur Protein.....................................................
12
Gambar 5
Pengaruh pH Terhadap Kelarutan Protein Daging......................................
12
Gambar 6
Diagram Alir Penelitian...............................................................................
17
Gambar 7
Cetakan Daging Udang Pada Kertas Whatman No. 41...............................
18
Gambar 8
Nilai pH pada setiap Perlakuan...................................................................
24
Gambar 9
Hubungan Antara WHC dan Kadar Phosfat (P2O5)………………………
26
Gambar 10
Hubungan Antara WHC dan pH Udang Setelah Perendaman……………
26
Gambar 11
Hubungan Antara WHC dan Susut Masak………………………………..
28
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2a Lampiran 2b Lampiran 3a Lampiran 3b Lampiran 3c Lampiran 3d
Lampiran 3e Lampiran 4a Lampiran 4b Lampiran 4c Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8a Lampiran 8b Lampiran 9 Lampiran 10a Lampiran 10b Lampiran 11a Lampiran 11b Lampiran 11c Lampiran 11d Lampiran 12a Lampiran 12b Lampiran 12c Lampiran 12d Lampiran 13 Lampiran 14a Lampiran 14b Lampiran 14c
Rekapitulasi Data Nilai Rendemen, Susut Masak dan Rendemen Total........................ Hasil Analisis Statistik (ANOVA) Pengaruh Polifosfat Terhadap Rendemen………... Hasil Uji Lanjut (Duncan) Pengaruh Polifosfat Terhadap Rendemen............................ Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Perendaman I……..………….. Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Perendaman II…..…...……….. Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Perendaman III....…...……….. Hasil Analisis Statistik (ANOVA) Pengaruh Polifosfat Terhadap Kadar Phosfat (P2O5) Setelah Perendaman…………………………………………………………………… Hasil Uji Lanjut (Duncan) Pengaruh Polifosfat Terhadap Kadar Phosfat (P2O5) Setelah Perendaman…………………………………………………………………… Rekapitulasi Data Nilai WHC (water holding capacity)………………………………. Hasil Uji Statistik (ANOVA) Pengaruh Polifosfat Terhadap Nilai WHC (water holding capacity)……………………………………………………………………….
Halaman 38 38 38 39 39 40
Hasil Uji Lanjut (Duncan) Pengaruh Polifosfat Terhadap Nilai WHC (water holding capacity)………………………………………………………………………………..
40
40 41 42 42
Rekapitulasi Data Nilai pH Setelah Perendaman……………………………………… Hubungan Nilai WHC (water holding capacity) Dengan Kadar Phosfat (P2O5) Setelah Perendaman…………………………………………………………………… Hubungan Nilai WHC (water holding capacity) dengan Nilai pH Udang Setelah Perendaman……………………………………………………………………………. Hasil Analisis Statistik (ANOVA) Pengaruh Polifosfat Terhadap Nilai Susut Masak… Hasil Uji Lanjut (Duncan) Pengaruh Polifosfat Terhadap Nilai Susut Masak………… Hubungan Antara Nilai Susut Masak Dengan WHC (water holding capacity)……….. Hasil Analisis Statistik (ANOVA) Pengaruh Polifosfat Terhadap Rendemen Total…… Hasil Uji Lanjut (Duncan) Pengaruh Polifosfat Terhadap Rendemen Total…………...
43
Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Pemasakan I………………….. Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Pemasakan II………………… Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Pemasakan III………………... Hasil Analisis Statistik Kadar Phosfat (P2O5) Pada Produk Akhir (Setelah Pemasakan)…………………………………………………………………………….. Hasil Analisis Uji Organoleptik……………………………………………………….. Hasil Analisis Statistik Uji Organoleptik Rasa………………………………………... Hasil Analisis Statistik Uji Organoleptik Tekstur……………………………………... Hasil Analisis Statistik Uji Organoleptik Kenampakan..……………………………... Form Penilaian Organoleptik………………………………………………………….. Kurva Standar P2O5 I….……………………………………………………………….. Kurva Standar P2O5 II...……………………………………………………………….. Kurva Standar P2O5 II...………………………………………………………………..
46 47 47
44 44 45 45 45 45 46
47 48 49 49 49 50 51 51 52
viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah perairan yang luas dan kaya akan potensi sumberdaya perikanan. Hasil perikanan Indonesia, baik dalam bentuk segar maupun olahan, sangat diminati pasar dalam maupun luar negeri. Salah satu komoditas unggulan pada sektor perikanan adalah udang. Udang sangat diminati oleh konsumen karena memiliki nilai gizi yang sangat tinggi. Sebagai bahan pangan, udang merupakan sumber mineral dan sumber protein hewani yang baik. Produk udang bagi Indonesia merupakan primadona ekspor non migas. Menurut data dari Menteri Kelautan dan Perikanan, hingga akhir tahun 2009, ekspor udang mencapai 240,250 ton atau 27,29% dari total ekspor perikanan yang mencapai 881,413 ton. Hal ini juga dibuktikan dengan penigkatan penjualan bibit udang yang melonjak 20% pada tahun 2009 dibandingkan tahun sebelumnya, penjualan benur mencapai satu juta ekor per hari. Sebagai salah satu komoditas ekspor maka masalah mutu menjadi masalah penting bagi industri pengolah udang. Hal ini perlu diperhatikan mengingat banyak pesaing produk-produk udang dari negara lain yang sangat memperhatikan mutu produk udang yang prima. PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB) merupakan salah satu perusahaan tambak udang dengan pengelolaan secara terintegrasi mulai dari pembenihan, pembesaran dan pengolahan. Produk akhir dari perusahaan ini merupakan udang beku segar, dan olahan dimana 90% dari total produknya diekspor baik ke Amerika, Eropa maupun ke Jepang. Agar produknya tetap eksis dipasar internasional, maka perusahaan ini sangat memperhatikan aspek mutu dan keamanan produk. Salah satu produk dari PT CPB adalah udang beku (frozen shrimp). Permasalahan mutu yang sering dihadapi pada produk udang masak adalah hilangnya berat produk udang akibat susut masak. Untuk mengurangi besarnya susut masak, maka dilakukan proses perendaman menggunakan garam dan polifosfat sebelum dilakukan proses pemasakan. Menurut Ockermen (1983) fungsi dari polifosfat adalah untuk meningkatkan daya ikat air (water holding capacity/WHC) dalam daging udang sehingga penurunan kadar air akibat pemasakan dan pembekuan dapat diminimalkan. WHC akan meningkat jika kadar polifosfat juga meningkat. Namun belum ditemukan pola hubungan yang teratur (konsisten) anatara dosis polifosfat dengan kehilangan berat yang dimaksud. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang hubungan antara konsentrasi polifosfat dalam proses perendaman udang sebelum pemasakan dan kehilangan berat baik setelah udang dimasak maupun setelah didefrost (setelah dibekukan). Penggunaan konsentrasi polifosfat yang rendah dapat menurunkan kemampuan mengikat air (water holding capacity/WHC) pada udang sehingga air yang keluar lebih banyak dan susut masak semakin tinggi. Sedangkan penggunaan konsentrasi polifosfat yang tinggi dapat meningkatkan kemampuan WHC udang namun dapat menyebabkan produk udang menjadi pahit. Oleh karena itu, perlu dilakukan optimasi penggunakan konsentrasi polifosfat sehingga didapatkan kemampuan WHC udang yang baik dan aman untuk dikonsumsi.
1
B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendapatkan konsentrasi polifosfat optimum perendaman udang sehingga dapat menghasilkan nilai susut masak rendah dan nilai rendemen total yang tinggi, (2) mengetahui hubungan antara konsentrasi polifosfat dengan WHC (Water Holding Capacity) dan susut masak, (3) mengetahui konsentrasi phosfat (P2O5) pada produk akhir.
C. MANFAAT Optimasi penggunaan polifosfat saat perendaman pada produk CTO ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam perusahaan berkaitan dengan penurunan jumlah produk akhir setelah proses pemasakan, sehingga diperoleh jumlah produk akhir yang sesuai tanpa menggunakan bahan baku yang berlebihan.
2
II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN PT Centralpertiwi Bratasena didirikan pada tanggal 8 Juli 1994 dengan SPT BPKM No. 453/PMDN/1994, dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 509/KPT/IK.120/7/1995 serta surat Keputusan Gubernur Daerah Lampung No. 5 tahun 1996 tentang Pola Kemitraan Usaha Perikanan Inti Rakyat di Wilayah Lampung. PT Centralpertiwi Bratasena ini merupakan usaha gabungan antara investor Charoen Pokhpand Group dari Thailand dengan PT Bratasena Perkasa Kencana. PT Centralpertiwi Bratasena bergerak di bidang aquabisnis dengan pola usaha kemitraan inti rakyat (plasma). Pada tahun 1998, pemilik PT Bratasena Kencana Perkasa menarik sahamnya dari usaha gabungan ini. Kemudian, Nama PT Centralpertiwi Bratasena diganti menjadi PT centralpertiwi Bahari yang sudah tertuang dalam akta perusahaan Anggaran Dasar Perseroan Nomor 29 tanggal 13 Februari 1998 di hadapan Notaris Sutjito, SH. Pada tanggal 28 Desember 1998 mendapatkan predikat B (baik) dari Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian Jakarta, No. 325/PP/SKP/PB/I/12/98 dan pada tanggal 26 Agustus 1999 mendapatkan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Nomor 102/PP/Va/I/VIII/99. Saat ini, mayoritas saham PT Centralpertiwi Baharai dimiliki oleh PT Centralprotein Prima yang merupakan anak cabang Charoen Pokhpand Indonesia (CPI).
B. LOKASI PERUSAHAAN PT Centralpertiwi Bahari berada di wilayah bekas hutan register 47 Way Terusan, Kecamatan Pembantu Gedong Meneng, Kecamatan Induk Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung. Luas Lahan yang dicadangkan adalah 22.271 hektar. Batas-batas wilayah PT Centralpertiwi Bahari, yaitu : Utara : Sungai Way Tulang Bawang, Selatan : Sungai Way Seputih dan Laut Jawa Barat : Sungai Way Terusan Timur : Laut Jawa PT Centralpertiwi Bahari mempunyai kapasitas sekitar 15000 plasma dan 1000 tenaga kerja. Wilayah tambak budidaya terletak di dua desa, yaitu : 1. Desa Adiwarna yang meliputi Blok 1, Blok 2 dan Blok 81 2. Desa Mandiri yang meliputi Blok 71 Selain itu, PT Centralpertiwi Bahari memiliki tempat pembenuran (hatchery) yang terletak di Desa Suak, Lampung Selatan seluas 130 hektar. PT Centralpertiwi Bahari juga memiliki pabrik pakan udang yang terletak di Tanjung Bintang, Kawasan Industri Lampung. Apabila seluruh lahan dan kapasitas PT Centralpertiwi Bahari telah difungsikan, maka perusahaan ini akan menjadi perusahaan budidaya tambak udang terbesar di dunia.
3
C. VISI DAN MISI PERUSAHAAN PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB) merupakan perusahaan budidaya dan pengolahan udang modern. Perusahaan ini memiliki visi menjadi perusahaan tambak inti rakyat terbaik dengan teknologi ramah lingkungan dimana setiap insane secara tulus mengabdi dan memberikan konstribusi terbaiknya kepada perusahaan, bangsa dan negara. Misi dari PT CPB yaitu : 1. Mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. 2. Membina hubungan kerjasama yang harmonis antara inti dengan plasma untuk mencapai tujuan bersama. 3. Menyediakan produk dan pelayanan dengan mutu terbaik bagi pelanggan yang pada akhirnya memberikan manfaat kepada investor, karyawan, mitra kerja dan pemerintah. 4. Memberikan manfaat kepada masyarakat sekeliling melalui peningkatan kegitan ekonomi Selain itu, PT CPB juga memiliki nilai-nilai (values) yang diterapkan, meliputi : 1. Contribution : merupakan falsafah Charoen Pokhpand yang berarti perusahaan didirikan jika mempunyai kontribusi pada negara, masyarakat dan karyawan. 2. Profesionalism (honesty, loyalty, quality and intregity): segala sesuatunya dituntut berjalan secara professional, sesuai dengan nilai-nilai keujuran, kesetiaan, kualitas dan integritas yang tinggi pada perusahaan. 3. Broadminded : berpikiran luas, fleksibel dan mampu menerima, menyerap serta menerapkan kemajuan dan teknologi.
D. SUMBER DAYA MANUSIA Berdasarkan data dari Human Resources Departement (HRD) PT Centralpertiwi Bahari, hingga bulan Juni 2011, jumlah karyawan yang bekerja baik di Plant 1 maupun Plant 2, sebagai pekerja inti adalah 491 laki-laki dan 187 perempuan. Selain itu, PT CPB juga melakukan outsourcing dengan mempekerjakan karyawan dari perusahaan penyalur tenaga kerja sejumlah 1675 laki-laki dan 7410 perempuan.
E. STRUKTUR ORGANISASI PT CPB memiliki sebelas divisi yang tersebar di beberapa wilayah di Lampung, dan dua bagian non-divisi yang berada di Bandar Lampung yaitu Kantor Perwakilan PT CPB untuk wilayah Lampung dan di Jakarta yaitu Kantor Pusat. Sembilan dari sebelas divisi tersebut berada di area tambak (Pond Site), wilayah Menggala, Kabupaten Tulang Bawang. Dua divisi lainnya berada di wilayah Kawasan Industri Lampung (KaIL) Tanjung Bintang yaitu Divisi Feedmill Operation yang merupakan divisi yang bertanggung jawab dalam hal pengadaan pakan udang (pabrik pakan) dan di wilayah Suak-Kalianda, Lampung Selatan yaitu Divisi Breeding Operation, yakni divisi yang bertanggung jawab dalam hal pengadaan benur udang. Sembilan divisi PT Centralpertiwi Bahari di Pond Site yaitu : 1. Divisi budidaya air (Aquaculture division) 2. Divisi pengolahan dan penyimpanan (Processing and cold storage) 3. Divisi pelayanan petambak (Farmer service) 4. Divisi pengembangbiakan udang (Breeding operation)
4
5. 6. 7. 8. 9.
Divisi pembangkit listrik dan peralatan elektrik (Power plant and electric engineering) Divisi pemasaran (Marketing Division) Divisi permasalahan umum dan pengembangan sumber daya manusia (General Affair and Human Resources Development) Divisi keuangan dan akuntansi (Finance and accounting) Divisi masyarakat dan permesinan (Civil and engineering)
F. HASIL PRODUKSI DAN PEMASARAN PT Centralpertiwi Bahari memproduksi berbagai macam jenis udang beku seperti udang mentah beku (conventional frozen shrimp), udang kupas mentah beku (peel raw frozen shrimp), udang masak beku (cooked frozen shrimp), nobashi ebi dan sushi ebi. Seluruh produk diekspor ke mancanegara, seperti Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Produk unggulan PT CPB adalah produk udang beku CTO (cooked tailon). Setiap harinya PT CPB memproduksi produk CTO rata-rata sebesar 2,5-3 ton/hari dan menghasilkan 900-1080 ton/tahun.
G. FASILITAS PT Centralpertiwi Bahari menyediakan fasilitas bagi karyawan, petambak dan keluarganya. Fasilitas tersebut meliputi fasilitas perumahan, sarana pendidikan, alat transportasi, tempat ibadah, sarana ekonomi, sarana komunikasi, sarana kesehatan, sarana olahraga dan rekreasi. Bagi karyawan PT CPB, disediakan perumahan, tunjangan, jamsostek sesuai dengan peraturan tentang ketenagakerjaan. ,Fasilitas pendidikan terdiri dari satu Sekolah Dasar (SD) pada masing-masing desa dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Fasilitas transportasi berupa infrastruktur jalan (road and subroad), jalan raya menuju dermaga (± 20 km), dermaga sungai (Amarta dan Sadewa), transportasi air (perahu speed boat dan pontoon), serta transportasi darat (bus karyawan dan minibus). Untuk memenuhi kebutuhan spiritual, didirikan tempat ibadat berupa masjid, mushola, gereja dan pura. Fasilitas ekonomi meliputi pasar traditional, warung, kantin, bengkel dan pertokoan di setiap pemukiman. Selain itu, juga terdapat koperasi karyawan (Kopkar) dan Koperasi Unit Desa (KUD). Fasilitas komunikasi meliputi siaran radio Swara Bahari, HT, Warung Telekomunikasi (Wartel), telepon rumah dan pemancar signal HP. Fasilitas kesehatan meliputi puskesmas di setiap blok dan Pusat Pelayanan Medical. Sedangkan fasilitas olahraga meliputi lapangan sepak bola, lapangan bulu tangkis dan tenis meja, taekwondo dan terdapat organisasi olahraga Satria Nusantara (SN). Terkadang, diadakan acara hiburan seperti layar tancap, music dangdut yang didatangkan dari Bandar Lampung.
5
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. PRODUK UDANG BEKU Udang dalam bentuk produk beku memiliki pangsa pasar yang cukup luas. Sebagian besar produk udang beku diekspor ke negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang. Produk beku adalah produk yang sudah diberi perlakuan proses pembekuan yang cukup untuk mereduksi suhu seluruh produk sampai pada tingkat suhu yang cukup rendah guna mengawetkan mutu produk dan tingkat suhu rendah ini dipertahankan selama pengangkutan, penyimpanan, dan distribusi sampai saat (dan termasuk) waktu penjualan akhir (Johnston et al., 1994). Udang memiliki nilai gizi yang sangat tinggi. Sidwell et al, (1987) menyebutkan bahwa pada udang mentah mempunyai kadar protein pada kisaran 14,1g – 25,0g. Proses pemasakan dan pengalengan tidak terlalu memengaruhi kisaran protein pada udang mentah. Kadar lemak pada udang mentah lebih sedikit dibandingkan dengan protein udang. Kadar lemak pada udang mentah berkisar antara 0,37g – 0,88g. Phospholipids dan sterol adalah komponen terbesar dalam kadar lemak yang terdapat dalam udang (Kritchevsky, et al. 1976) Definisi udang beku menurut SNI 01-2705-1992 adalah udang segar yang telah dicuci bersih, didinginkan untuk mempertahankan suhu udang sekitar 0oC, dan dibekukan dengan atau tanpa perlakuan pendahuluan pada suhu rendah maksimum -45oC sehingga suhu produk akhir menjadi maksimum -18oC, dan kemudian disimpan pada tempat penyimpanan dengan suhu maksimum -25oC dengan fluktuasi 1oC (BSN, 1992). Berbagai macam bentuk udang beku dapat ditemukan di pasaran. Namun demikian, produk-produk itu dapat dikelompokkan menjadi dua kategori: produk untuk dikonsumsi langsung dan produk untuk diolah lebih lanjut. Produk udang beku yang umum ada dipasaran adalah head-on (HO), headless (HL), peeled and undeveined (PUD – udang dikupas, kepala dan kulit dibuang, tetapi isi perut tetap). Bentuk lain termasuk peeled and undeveined, tail on (PUDT/PTO); peeled and deveined, tail-on (butterfly); dan black tiger (BT – tidak ada kulit atau kaki harus tetap ada pada udang atau pada kemasan). Dunia perdagangan mengenal bentuk penyajian udang beku antara lain (Ilyas, 1993): 1. Utuh: berkepala dan berkulit (whole; head and shell-on); 2. Tanpa kepala berkulit (headless shell-on); 3. Ekor kipas utuh: kepala dan kulit dibuang, kecuali ruas paling akhir dan ekor (fantail round); 4. Ekor kipas tanpa isi perut (fantai deveined); 5. Ekor kipas kupu-kupu (fantail butterfly); 6. Dikupas: tanpa kepala dan dikupas (peeled); 7. Dikupas dan tanpa isi perut (peeled and deveined); 8. Dikupas dan direbus (peeled and cooked); 9. Utuh direbus (whole cooked); 10. Dikupas dan tidak dibuang isi perut (peeled and undeveined). Udang diperdagangkan berdasarkan ukuran dengan menghitung jumlah ekor udang, yang dinyatakan sebagai rentang jumlah udang per pon atau kilogram. Misalnya ukuran 26-30 menyatakan bahwa terdapat 26 dan 30 ekor udang per pon. Mendapatkan
6
hitungan yang benar dari jumlah udang merupakan hal yang sangat penting karena terdapat perbedaan harga diantara berbagai ukuran. Jumlah udang lebih sering dinyatakan sebagai nama dibandingkan jumlah, misalnya colossal (raksasa): 10 – 15 per pon, jumbo: 21 - 25 per pon dan extra large: 26 – 30 per pon. Terdapat tiga kategori produk udang yang dimasak: cooked, peeled and deveined, tail-on (CP, tail-on/CTO); cooked, peeled and deveined, tail-off (CP, tail-off); dan cooked in the sheel (utuh dimasak) (Kanduri dan Eckhardt, 2002). B. TEKNOLOGI PEMASAKAN UDANG CTO (cooked tail-on) Udang CTO adalah produk udang Litopenaeus vannamei dengan ekor tanpa kepala, dibuang kulit segmen 1 – 5, bekas pangkal kaki renang dikerik, kemudian dibelah dari segmen 2 – 5 sedalam usus terambil (kedalaman 30%) kemudian dimasak dan dibekukan (A&I PT CPB, 2007). Pada penelitian ini pengujian dilakukan sampai dengan tahap pemasakan. Secara umum proses pemasakan udang CTO melalui beberapa tahapan, mulai dari pengupasan kepala (head of/HO), pengupasan kulit (peeled), dan membuang isi perut (deveined). Kemudian dilakukan proses perendaman menggunakan STP (Sodium Tripolifosfat) dan dimasak menggunakan suhu 99-100o C (Kanduri dan Eckhardt, 2002). Namun, di PT CPB perendaman dilakukan menggunakan polifosfat sesuai dengan permintaan buyer. Selain itu proses pemasakan menggunakan steam bersuhu 98-99oC. Proses pemasakan udang CTO pada PT CPB ini dimulai dari penerimaan udang mentah (raw material), kemudian dilakukan pencucian dengan air es yang mengandung klorin 20-30ppm. Tahap selanjutnya adalah pemisahan berdasarkan ukuran dan grade udang kemudian dilanjutkan dengan penimbangan. Setelah penimbangan udang dicuci menggunakan air es, dipotong kepala, dan dicuci kembali menggunakan air es. Setelah itu udang dikelompokkan berdasarkan permintaan harian yang telah dibuat oleh PPIC (Production Planning & Inventory Control). Setelah dikelompokkan, kemudian dilakukan pengupasan kulit dan pembuangan usus sampai pembelahan pada punggung udang. Udang kemudian direndam dengan menggunakan larutan garam dan polifosfat. Proses pemasakan dilakukan setelah perendaman menggunakan larutan tersebut. Secara lebih rinci proses pemasakan udang ini dapat dilihat pada Gambar 1. Proses pemasakan yang dilakukan merupakan salah satu penerapan pengolahanpanas pada bahan pangan. Menurut Lund (1989), pengolahan panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah dikembangkan unutk memperpanjang umur simpan bahan pangan. Pengolahan panas pada bahan pangan yang diterapkan pada pemasakan udang berupa pengukusan (menggunakan sumber panas berupa steam). Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum pembekuan, pengeringan atau pengalengan. Tujuan proses pengukusan bergantung pada perlakuan lanjutan terhadap bahan pangan. Misalnya pengukusan sebelum pembekuan atau pengeringan terutama untuk menginaktivasi enzim yang akan menyebabkan perubahan warna, cita rasa atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan (Lund, 1989). Pada proses pemasakan penggunaan suhu yang kebih rendah dengan waktu pemasakan yang lebih lama dapat menurunkan susut masak produk. Hal ini dikarenakan pada penggunaan suhu rendah pada proses pemasakan perbedaan suhu pusat udang dengan suhu permukaan menjadi lebih kecil sehingga air yang hilang selama pemasakan dat ditekan dan rendemen akan meningkat jika dibandingkan dengan mengunakan suhu
7
tinggi. Selain itu penggunaan suhu yang lebih rendah akan membuat produk lebih aman karena produk akan lebih lama berada pada kisaran suhu diatas pertumbuhan bakteri serta akan memberikan penampakan tekstur dan rasa yang lebih baik (Anonim 1, 2001). Penerimaan ↓ Pencucian menggunakan air es ↓ Pemisahan (ukuran dan grade) ↓ Penimbangan ↓ Pencucian menggunakan air es ↓ Potong kepala ↓ Pencucian menggunakan air es ↓ Pengelompokkan ↓ Pengupasan kulit, pengambilan usus dan pembelahan punggung ↓ Perendaman dengan garam dan polifosfat ↓ Pemasakan ↓ Pendinginan ↓ Pembekuan dengan tunnel freezer ↓ Penimbangan ↓ Glazing ↓ Pengemasan dan Pelabelan ↓ Penyimpanan dalam cold room Gambar 1. Diagram alir proses pemasakan udang di PT CPB Menurut Crowly (2001), metode dasar dari pemasakan komersil seafood ada tiga yaitu: pemasakan dengan steam, pemasakan dengan air panas dan pemasakan dengan udara panas. Prose pemasakan di PT CPB memakai steam sebagai sumber panasnya dan memanfaatkan pindah panas konduksi dan konveksi dalam prosesnya. Mesin pemasak yagn digunakan pada penelitian ini adalah mesin Cabinplant ® cooker. Mesin ini mampu memenuhi kapasitas produksi pemasakan 1000 kg/jam. Steam, yang dijadikan sumber panas, dialirkan langsung merata dari bagian atas mesin ke produk dengan waktu
8
pemasakan antara 25 detik sampai 240 detik. Suhu yang digunakan yaitu 197oF-203oF atau sekitar 92oC-113oC (Crowly, 2001). Suhu pemasakan yang distandarkan pada mesin Cabinplant® cooker di PT CPB yaitu 98oC-99oC. kisaran suhu ini juga banyak dipakai oleh perusahaan-perusahaan udang masak lainnya. Setelah proses pemasakan berakhir, kemudian dilanjutkan dengan pendinginan dalam air yang telah ditambahkan serpihan es (flake es) dan garam 2% sampai suhu dibawah 5oC yang berfungsi sebagai shock chilling yang bertujuan agar mikroba yang belum tereduksi selama pemasakan tidak tumbuh lagi. Selain itu, suhu dingin pada udang juga diperlukan karena setelah proses pemasakan, akan dilanjutkan pada proses pembekuan sehingga produk akan lebih cepat beku dan beban refrigerasi dapat dikurangi. Proses pembekuan dilakukan dengan menggunakan system tunnel freezer, penimbangan, glazing, dikemas dan diberi label, dan tahap akhir adalah penyimpanan di cold room.
C. MUTU PRODUK UDANG BEKU Salah satu metode penilaian mutu produk perikanan yaitu dengan penilaian subjektif. Penilaian subjektif yang disebut juga penilaian organoleptik, menggunakan panca indra pengamat untuk menilai faktor mutu yang umumnya dikelompokkan atas penampakkan, bau, citarasa dan tekstur. Sifat organoleptik yang berhubungan dengan sifat fisik sangan memegan peran penting terutama untuk menentukan komoditas yang masih segar atau sudah busuk (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Berdasarkan penampakan, untuk udang masak, daging udang yang telah matang berwarna putih susu. Penilaian mutu secara organoleptik selain penampakan adalah tekstur dan rasa. Tekstur yang palin bagus pada udang masak adalah elastic, kompak dan padat kenyal. Untuk produk udang masak, kematangan juga sangat berpengaruh terhadap tekstur. Udang yang terlalu matang akan merusak tekstur. Udang yang terlalu lembek dan sangat lunak juga tidak bagus bagi tekstur udang (AOAC, 2000). Udang dan produk perikanan lainnya pada umumnya mempunyai sifat cepat busuk dan mutunya identik dengan kesegarannya. Proses pembusukan atau penurunan mutu pada udang dan produk perikanan lainnya terutama disebabkan oleh kegiatan enzim dan bakteri. Untuk mempertahankan suhu agar dibawah suhu pertumbuhan mikroba, biasanya ditambahkan sejumlah es (Moeljanto, 1992). Ada tiga penyebab terjadinya penurunan mutu udang menurut Purwaningsih (2000), yang pertama adalah penurunan secara autolisis dimana terjadinya penurunan ini diakibatkan oleh kegiatan enzim didalam tubuh udang yang tidak terkendali sehingga senyawa kimia pada jaringan tubuh terurai. Diantara proses enzimatis yang sangat mempengaruhi rupa udang selama proses penanganan adalah pembentukan bercak hitam (black spot) akibat melanosis. Gejalanya adalah penghitaman pada kepala, ruas-ruas dan ekor. Penyebabnya adalah enzim dalam udang yang melalui suatu rangkaian reaksi, mengoksidasi senyawa-senyawa tertentu, menghasilkan pigmen melanin berwarna hitam, proses melanosis ini sangat dipengaruhi oleh keadaan kering, adanya oksigen, suhu tinggi dan faktor waktu (Ilyas, 1993). Menurut Bileye dkk (1960), bercak hitam itu adalah senyawa melanin, hasil keja dari enzim oksidatif tyrosinase atau Polyphenol Oxidase (PPO) yang mengkatalisis reaksi mengubah tyrosin (substrat) menjadi melanin yang berwarna hitam. Black spot tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak juga mengubah rasa maupun aroma tetapi memperburuk penampakan pada udang sehingga, produk akan ditolak oleh konsumen. Enzim PPO, yang merupakan penyebab terjadinya blackspot,
9
banyak terdapat pada lapisan kutikula dan hemolymph pada crustaceans dan serangga. PPO berperan penting dalam pengerasan kulit dari chitin selama siklus pertumbuhannya, sehingga banyak terjadi pada produk udang berkulit (shell-on). Penurunan mutu yang kedua adalah penurunan mutu secara bakteriologi yaitu suatu proses penurunan mutu yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari selaput lendir dari permukaan tubuh daging udang yang terurai dan menimbulkan bau busuk. Penurunan mutu yang ketiga adalah penurunan mutu secara oksidasi, penurunan mutu ini biasanya terjadi pada udang yang kandungan lemaknya tinggi. Lemak pada udang akan dioksidasi oleh oksigen yang berada di udara sehingga menimbulkan bau dan rasa tengik (Purwaningsih, 2000). Perubahan mutu yang sangat berisiko dalam produk udang masak adalah perubahan mutu teknologi. Salah satunya adalah terjadinya susut masak pada produk udang yang diakibatkan oleh kehilangan sejumlah air yang terdapat didalam udang yang terjadi karena pengaruh suhu pemanasan dari proses pemasakan. Nilai susut masak dipengaruhi oleh daya ikat air/water holding capacity (WHC), kelarutan protein dan nilai pH. Dari sisi ekonomi, produk yang mengalami susut masak tinggi menyebabkan kehilangan berat yang cukup besar. Hal ini tidak diinginkan oleh perusahaan karena dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi susut masak pada produk udang adalah melakukan proses perendaman menggunakan polifosfat dan garam sebelum dilakukan proses pemasakan.
D. PENGARUH POLIFOSFAT TERHADAP SUSUT MASAK Polifosfat adalah komponen kimia yang berfungsi sebagai buffer, sekuestran dan sebagai polimer yang berperan meningkatkan kekuatan ionic. Pada umumnya fosfat digunakan sebagai bahan tambahan pangan pada bermacam makanan termasuk daging, unggas dan produk perikanan. Melalui reaksi kimia antar komponen makanan dengan bahan tambahan lain, fosfat akan mempengaruhi daya ikat air, warna, pengawetan dan penanganan berbagai jenis makanan (Sofos, 1986). Polifosfat merupakan salah satu jenis garam alkali fosfat yang sering digunakan oleh industri yang ditujukan untuk memperbaiki mutu produk, salah satunya adalah mengurangi susut masak. Pada daging alkali fosfat berfungsi untuk meningkatkan daya ikat air/Water Holding Capacity (WHC) oleh protein daging, mereduksi pengerutan daging dan memperbaiki tekstur, sehingga dapat mengurangi susut masak. Daya ikat air oleh protein atau water holding capacity (WHC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemanasan, penggilingan, pengadukan dan tekanan. Absorpsi air atau kapasitas gel adalah kemampuan daging menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan. Air yang berada pada otot daging minimal ada dalam dua kondisi dan dalam setiap kondisi tersebut proporsinya “terikat” atau “bebas”. Hamm (1960) menjelaskan bahwa tidak lebih dari 5 persen total air dalam otot daging dapat secara langsung terikat pada grup hidrofilik dalam protein. Air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4 – 5 % sebagai lapisan monomolecular pertama; air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4% dan lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air
10
terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan jumlah air terikat yang lebih lemah yaitu lapisan air diantara molekul protein akan menurun bila protein mengalami denaturasi (Wismer-Pedersen, 1971). Hampir semua air dalam urat daging berada dalam myofibril, dalam ruang antara filamen yang tebal dari myosin dan filamen tipis dari aktin/tropomiosin. Ruang interfilamen (menurut hasil pengamatan) berukuran antara 320 Ǻ dan 570 Ǻ; ukuran tersebut ada hubungannya dengan pH, panjang sarkomere, kekuatan ionik, tekanan osmotic dan apakah otot daging tersebut dalam keadaan pre- atau postrigor (Offer dan Trinick, 1983). Dalam penelitian yang mendetail tentang myofibril, Offer dan Trinick (1983) melaporkan suatu kenyataan dalam menunjang pandangan mereka bahwa hampir semua air yang ada dalam otot daging ditahan oleh tenaga kapiler diantara filamen-filamen tebal dan tipis. Filamen tipis mempunyai diameter kira-kira 1µm pada setiap jalur Z dan merupakan ban I-nya sarkomer. Filamen tipis terutama terdiri dari molekul-molekul protein aktin, sehingga disebut juga filamen aktin (Forrest et al., 1975; Lawrie, 1979; Swatland, 1984) (Gambar 2). Myosin adalah protein filamen tebal yang dominan dan proporsi asam-asam amino basic dan asidiknya tinggi. Myosin memiliki pH isoele ktrik kira-kira 5,4, mengandung asam amino prolin yang lebih rendah dan lebih fibrus dari aktin. Struktur molekul myosin berbentuk seperti batang korek api dengan bagian tebal pada salah satu ujungnya. Bagian tebal ini disebut kepala myosin yang berjumlah dua buah, dan bagian yang seperti batang panjang disebut ekor myosin. Bagian antara kepala dengan ekor disebut leher myosin (Gambar 3).
Gambar 2. Struktur Sarkolema (Soeparno, 2005)
Gambar 3. Struktur Miosin (Soeparno, 2005) WHC dipengaruhi oleh pH (Bouton et al., 1971; Wismer-Pedersen, 1971). WHC menurun dari pH tinggi sekitar 7 – 10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0 – 5,1. Pada pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari isoelektriknya protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air (Gambar 4). Demikian pula pada pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, terdapat ekses muatan positif yang
11
mengakibatkan penolakan miofilamen dan member lebih banyak ruang untuk molekulmolekul air. Jadi pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik proteinprotein daging , WHC meningkat (Gambar 5). Hanya sangat jarang pH jatuh dibawah 5,0, karena enzim yang mempengaruhi glikolisis pascamati cenderung dinonaktifkan pada saat pH turun sampai 5,4 – 5,5 yaitu titik isoelektrik protein otot daging. Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot postmortem, menurunkan WHC daging dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelektrik protein myofibril, filamen myosin dan filamen aktin akan saling mendekat, sehingga ruang diantara filamen-filamen ini menjadi lebih kecil. Pemecahan dan habisnya ATP serta pembentukan ikatan diantara filamen pada saat rigormortis menyebabkan penurunan WHC. Penurunan pH yang cepat karena pemecahan ATP akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan WHC protein (Bendall, 1960). Dua pertiga penurunan WHC otot sapi adalah karena pembentukan aktomiosin dan menjadi habisnya ATP pada saat rigor, dan sepertiga lainnya disebabkan oleh penurunan pH (Hamm, 1960).
Gambar 4. Pengaruh pH terhadap Struktur Protein (Warriss, 2004)
.
Gambar 5. Pengaruh pH terhadap kelarutan protein daging (Warriss, 2004) Pemasakan menyebabkan perubahan WHC karena adanya solubilitas protein daging. Temperatur tinggi meningkatkan denaturasi protein dan menurunkan WHC (Bouton dan Harris, 1971). Pada temperatur 30 dan 40oC, protein myofibril mulai mengalami koagulasi dan pada temperatur 55oC, protein myofibril mengalami denaturasi sempurna (Locker, 1956). Pada temperatur 60oC, protein sarkoplasmik hamper mengalami denaturasi sempurna (Bendall, 1960). WHC mengalami perubahan besar dengan pemanasan pada temperatur 60oC (Hamm, 1960). Bendall dan Restall (1983) menyimpulkan bahwa sifat dari suatu potongan daging yang besar bila dibuat stew (yaitu
12
dimasak/dipanasi dalam media cair) dapat dijelaskan dalam 4 fase. Pertama, suatu kehilangan cairan dari zat-zat myofibril ke dalam ruang-ruang ekstraseluler pada proteinprotein sarkoplasma dan myofibril terdenaturasi pada suhu antara 40 – 53oC tanpa diikuti pemendekan; Kedua, kehilangan cairan yang cepat dari myofibril pada saat temperature meningkat menjadi 60oC; pada saat itu kolagen dari membrane basal mengalami pengerutan karena panas. Ketiga, pengerutan karena panas dari kolagen endomisium, perimisium dan epimisium pada suhu antara 64 – 90oC semakin banyak pengerutan, penurunan diameter miofiber dan kehilangan karena pemasakan. Keempat, selama pemanasan lebih lanjut atau diperpanjang ada konversi kolagen dari epimisium, sendomisium dan perimisium menjadi gelatin diikuti oleh pengempukan. Pemanasan udara kering juga mempengaruhi WHC daging. WHC menurun dengan meningkatnya temperatur pemanasan. Penurunan WHC pada pemanasan sampai temperatur 80oC berhubungan dengan berkurangnya grup asidik. Hilangnya grup asidik ini meningkatkan pH daging, sehingga titik isoelektrik daging berubah dan berada pada pH yang lebih tinggi (Hamm, 1960). Selama proses pemasakan atau pemanasan terjadi peningkatan pH akibat hilangnya group asidik di dalam otot (Angsupanich dan Ledward, 1998). Disamping faktor pH dan pemasakan atau pemanasan, WHC daging juga dipengaruhi oleh spesies, umur dan fungsi otot (Wismer-Pedersen, 1971). Peningkatan kapasitas WHC kelihatannya lebih banyak disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam hubungan ion-protein; ada peningkatan ion K+ dan peningkatan ion Ca++. Semakin kuat ion-ion terikat oleh protein, akan semakin kuat pula pengaruh hidrasinya (Hamm, 1960). Penurunan WHC menyebabkan terjadinya susut masak. Susut masak merupakan fungsi dari temperature dan lama pemasakan. Disamping itu susut masak juga dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging (Bouton et al., 1971). Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Perubahan nilai WHC dan denaturasi protein dipengaruhi oleh konsentrasi dan komposisi garam didalam otot. Hanya 4 – 5% dari total air terikat kuat didalam otot dan tidak dipengaruhi oleh perubuahan struktur dan muatan protein. Kebanyakan air yang ada didalam otot dipengaruhi oleh perubahan struktur dan muatan yang ada pada protein otot. Phosfat dan natrium klorida memberikan pengaruh terhadap nilai WHC baik pada daging maupun ikan (Greene, 1981). Pada garam dengan konsentrasi sangat rendah (0 – 0,1 M) peningkatan konsentrasi garam dapat menurunkan ruang antara filamen dan menyebabkan penyusutan serat otot. Pada konsentrasi garam yang lebih tinggi dari 0,1 M , ruang antara filamen meningkat seiring dengan peningkatan muatan negatif dan meningkatnya gaya tolak menolak protein otot. Peningkatan pembekakan filamen dapat juga terjadi karena dipolimerisasi filamen tebal, yang mendorong terjadinya disosiasi dari kompleks aktomiosin (Fennema, 1990). Pada konsentrasi diatas 1 M, ruang antara filamen makin tidak mengembang, sedangkan diatas 4,5 M, otot menyusut (Offer and Knight, 1988). Pada kekuatan ionik yang tinggi, garam mempunyai pengaruh dehidrasi; hidrasi maksimum bila kekuatan ionik sekitar 0,8 – 0,1. Ini setara dengan 5 – 8 % NaCl untuk daging tanpa dan dengan penambahan 60% air (Hamm, 1960). Selama beberapa tahun terakhir, penggunaan zat aditif dalam produksi pangan telah meningkat. Penambahan polifosfat pada daging dan produk perikanan dapat
13
mempengaruhi nilai WHC selama proses sehingga dapat meningkatkan berat produk tersebut. Pada dasarnya protein daging dibagi menjadi tiga bagian yaitu protein sarkoplasma, protein myofibril dan kolagen, elastin dan reticulum. Protein sarkoplasma memiliki sifat mudah larut air, memiliki kemampuan yang rendah dalam menjaga WHC dan emulsi, sedangkan protein myofibril memiliki sifat larut garam, larut pada suhu rendah (-4oC – 4oC), memiliki kemampuan yang tinggi dalam menjaga WHC dan emulsi. Kolagen, elastin dan reticulum memiliki sifat larut pada suhu tinggi dan asam. Penggunaan polifosfat mempengaruhi protein myofibril (aktin dan myosin) yang dapat meningkatkan nilai WHC. Menurut Lindsay (1996), mekanisme yang digunakan alkalin phosfat dan polifosfat dalam meningkatkan hidrasi daging tidak dipahami dengan jelas. Hal ini bisa dipengaruhi oleh efek pH dan kekuatan ionik, dan interaksi spesifik anion phosfat dengan kation divalent dan myofibril protein. Fungsi dari phosfat adalah untuk memecah atau memisahkan kompleks aktomiosin menjadi aktin dan myosin sehinggan myosin akan lebih mudah larut dan sifat fungsionalnya lebih baik daripada aktomiosin ; meningkatkan pH, kekuatan ionik dan daya ikat air (WHC) sehingga akan meningkatkan rendemen pemasakan (mengurangi susut masak) ; dan sebagai antioksidan (pengkelat ion divalent seperti Fe+2, Cu +2) mencegah oksidasi dan pembentukan flavor tengik. Menurut Thorarinsdottir et al. (2001) penggunaan polifosfat mempengaruhi hidrasi produk perikanan karena pengaruh dari pH, kekuatan ionik dan interaksi spesifik dengan protein myofibril sehingga efektif untuk meningkatkan WHC. Phosfat dapat meningkatkan WHC daging post mortem dengan cara meningkatkan pH daging sehingga muatan negatif dalam daging meningkat. Peningkatan muatan negatif meningkatkan gaya tolak menolak elektrostatik diantara protein serat daging sehingga WHC daging meningkat. Efeknya, susut masak produk rendah, stabilitas emulsi dan daya ikat produk akan lebih baik. Efektivitas phosfat dalam mempertahankan air didalam daging tergantung dari tipe phosfat yang digunakan, jumlah yang digunakan dan produk spesifik. Phosfat memberikan efek sinergis jika diaplikasikan bersama-sama garam (NaCl). Pada jumlah phosfat terbatas, garam akan mengembangkan protein miofibril protein sehingga dan dengan bantuan gaya dari luar (misalnya pengadukan) akan menyebabkan protein terlarut kedalam larutan garam. Protein terlarut akan membentuk matriks yang bisa mengikat air. Selama pemanasan, protein yang terlarut (terekstrak) akan terkoagulasi dan memberi efek pengikatan antar setiap partikel daging, mengikat air (meminimalkan susut masak) dan membentuk matriks yang koheren yang akan memerangkap lemak yang meleleh sehingga tidak keluar. Peningkatan konsentrasi garam yang digunakan akan meningkatkan jumlah protein yang terlarut (terekstrak). Penambahan garam akan berpengaruh besar pada peningkatan kekuatan ionik (ion Cl berfungsi untuk meningkatkan gaya tolak menolak pada protein otot sehingga WHC meningkat dan susut masak rendah. Dalam hubungan ini Offer dan Trinick (1983) telah melaporkan bahwa pirofosfat banyak menurunkan konsentrasi garam yang dibutuhkan untuk menghasilkan pembengkakan maksimum bila myofibril-miofibril diletakkan dalam larutan NaCl. Offer dan Knight (1988) mendiskusikan efek dari garam dan phosfat pada myofibril dan WHC didalam daging. Mereka menjelaskan ada tiga cara phosfat mempengaruhi WHC. Pertama, phosfat merupakan buffer yang baik, yang dapat membantu terjadinya depolimerisasi dari filamen tebal dan meningkatkan penyerapan air. Kedua, dengan adanya Mg2+, pyophosfat dan triphosfat mengikat molekul myosin. Pyrophosfat berperan sebagai analog ATP dan berikatan dengan kepala myosin, ini bisa
14
mendorong terjadinya disosiasi aktomiosin. Ketiga, polifosfat dapat mengikat ekor myosin dan mendorong disosiasi dari filamen myosin. Schmidt, et al (1970) juga menjelaskan pengaruh garam dan phosfat didalam otot, disosiasi dari aktin dan myosin, dan kecenderungan melubangi filamen tebal sehingga terjadi dipolimerisasi. Faktor lain seperti konsentrasi ion (Mg2+, Ca2+, Cl-) dan phosfat, suhu dan pH dipercaya dapat mempengaruhi bagaimana phosfat berinteraksi dengan otot. Polifosfat memiliki potensial yang bagus sebagai buffer awal daging postmortem ketika pH akan turun karena memiliki kapasitas buffer yang sangat bagus (Ellinger, 1972). Sebagai tambahan berbagai bentuk polifosfat sering digunakan secara luas untuk industri daging, unggas dan perikanan karena polifosfat dapat meningkatkan karakteristik daging selama proses. Keuntungan ini menghasilkan empat fenomena yang berbeda: meningkatkan pH, meningkatkan kekuatan ion, menghilangkan alkali metal dan disosiasi komlpleks aktomiosin (Hamm, 1960). Kekuatan ionik berhubungan dengan jumlah ion dalam larutan phosfat yang dapat meningkatkan jumlah ion yang dapat berinteraksi dengan protein dan meningkatkan hidrasi. Interaksi phosfat-protein melibatkan beberapa hubungan antara protein dan alkali metal hancur dan memungkinkan air untuk migrasi. Kemampuan phosfat untuk meningkatkan pH tidak diragukan lagi karena phosfat telah terbukti memiliki kapastas buffer yang baik (Ellinger, 1972). Phosfat tergolong senyawa yang tergolong GRAS (generally recognize as safe) dan harus digunakan sesuai dengan proses GMP (good manufacturing practices). Senyawa polifosfat diketahui tidak memiliki sifat beracun jika dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan peraturan international yang dikeluarkan oleh CODEX (Codex Alimentarius Commission 1992) penggunaan phosfat pada produk seafood tidak boleh lebih dari 0,5 % dalam bentuk P2O5. Peraturan ini juga diterapkan oleh Europian Union Council on Foods penambahan maksimum phosfat pada produk makanan laut beku sebesar 5 g/kg. Di Indonesia peraturan penggunaan batas maksimum phosfat diatur didalam MENKES RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 yang juga menyatakan pada produk udang masak kandungan phosfat dalam bentuk P2O5 tidak boleh lebih dari 0,5 %. Namun penggunaan fosfat berlebihan (konsentrasi >0,5%) memberikan citarasa menyimpang (pahit) dan bisa memberikan sensasi terbakar karena fosfor bila terpapar udara akan teroksidasi secara spontan menjadi fosfor pentaoksida, yang akan mengalami hidrolisis di dalam air menjadi asam fosfat kausatik. Cedera panas langsung ditimbulkan oleh partikel-partikel fosfor yang membakar, dank arena sifat eksplosif dari pembakaran spontan, partikel fosfor sering tertanam dibawah kulit (Soeparno, 2005).
15
IV. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan adalah udang putih (Litopenaeus vannamei), polifosfat ((NaPO3)n) dan garam (NaCl). Udang putih yang digunakan memiliki ukuran 31-40, artinya dalam 1lbs (453,6 gr) terdapat 31 sampai 40 ekor udang. Sedangkan polifosfat dan garam yang digunakan berasal dari perusahaan. Bahan-bahan analisis yang digunakan adalah ammonium tetrahidrat, ammonium monovanadat, HClO 4, kalium dihidrogen phosfat (KH2PO4), larutan aquaregia (HCL dan HNO3) dan air destilata. Alat – alat yang diperlukan adalah kertas Whatman No.41, dua buah plat kaca, pemberat, neraca analitik, tanur, labu takar 100 ml dan 500 ml, Pipet volumetrik 10 ml dan 20 ml, pipet Mohr 10 ml dan 25 ml, Botol semprot, Penghalus listrik (mixer/blender), Spektrofotometer UV-Vis 1650, Gelas piala 100 ml, 250 ml, dan 300 ml, dan penangas listrik (Hotplate). B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahap, yaitu : (1) optimasi polifosfat (2) pengukuran kadar phosfat (P2O5), (3) uji organoleptik dan (4) analiasis biaya produksi. Garis besar penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6. 1. Optimasi Polifosfat Udang yang telah ditimbang dibagi ke dalam empat wadah yang masingmasing memiliki berat 15 kg. Masing-masing udang dilarutkan ke dalam empat larutan yang berbeda yaitu larutan A (4% garam), larutan B (4% garam dan 2% polifosfat), larutan C (4% garam dan 3% polifosfat) dan larutan D (4% garam dan 4% polifosfat). Penetapan konsentrasi garam 4% dikarenakan konsentrasi garam 4-5% memiliki kemampuan yang optimum dalam mempertahankan WHC (Hamm, 1978). Pelarutan larutan polifosfat dan garam dilakukan melalui dua tahap. Pertama larutkan terlebih dahulu garam dengan menggunakan air dengan suhu normal (30-35oC). Kedua larutkan secara terpisah polifosfat dengan menggunakan air dengan suhu rendah (4-6oC). Setelah kedua larutan tersebut larut sempurna, campurkan kedua larutan tersebut ke dalam satu wadah. Perbandingan jumlah udang dan larutan adalah 1 : 2. Sehingga pada penelitian ini dibutuhkan 30 liter air untuk merendam 15 kg udang. Kemudian dilakukan pengadukan secara terus-menerus selama 3 jam. Setelah selesai perendaman, dilakukan perhitungan rendemen. Rendemen dihitung berdasarkan persentase perbandingan selisih antara bobot udang setelah perendaman dengan bobot udang sebelum perendaman. Berikut adalah rumus perhitungan rendemen : rendemen
Setelah proses perendaman kemudian dilakukan proses pemasakan menggunakan steamer dengan suhu 97-99OC selama 2 menit 15 detik. Udang
16
yang telah melalui proses pemasakan direndam dengan air es selama 5 menit, kemudian ditiriskan selama 5 menit hingga suhu pusat udang mencapai 4-5oC. Setelah direndam hitung susut masak. Susut masak dihitung berdasarkan persentase perbandingan selisih antara bobot udang sebelum pemasakan dengan bobot udang setelah pemasakan terhadap bobot udang sebelum pemasakan. Susut masak menyebabkan ukuran dan berat akhir produk udang menjadi kecil dari ukuran dan berat produk awal. Berikut adalah rumus perhitungan susut masak : =
Udang Mentah Perhitungan berat awal, phosfat, pH dan WHC Perendaman (perlakuan : A,B,C,D) Selama 3 jam Perhitungan berat, phosfat, pH, WHC dan rendemen Pemasakan
Perhitungan berat, susut masak Pendinginan
dan rendemen total
Pengukuran Phosfat
Uji Organoleptik
Analisis Biaya Produksi Gambar 6. Diagram alir penelitian Setelah dihitung susut masak, dapat dihitung pula nilai rendemen total. Rendemen total adalah berat udang setlah proses pemasakan dibandingkan dengan berat udang awal sebelum proses perendaman. Berikut adalah rumus perhitungan rendemen total : Rendemen total = 87% x % rendemen x % susut masak Ket : 87% : persentase berat udang setelah proses pengupasan kepala, kulit dan pengeluaran usus.
17
Setelah dilakukan perendaman dan pemasakan, maka dilakukan perhitungan nilai WHC (water holding capacity). Perhitungan WHC menggunakan metode Hamm (Swatland, 1984). Udang ditimbang ± 0,5 gr. Kemudian udang diletakkan pada kertas Whatman no.41. udang ditekan menggunakan beban 35 kg selama 5 menit. Cetakan yang terbentuk pada kertas Whatman dipindahkan ke dalam millimeter blok (Gambar 7). Kemudian dihitung luas area basah dan dinyatakan ke dalam satuan cm2. Daerah A merupakan area sampel daging udang dan daerah B merupakan area basah. Mg H2O = Ket : 0,0948 dan 8,0 adalah konstanta
A B
Gambar 7. Cetakan daging udang pada kertas Whatman No. 41 Setelah didapatkan luas area basah, hitung kadar air bebas menggunakan rumus : Kadar air bebas = Setelah didapatkan kadar air bebas, akan dihitung nilai kadar air daging udang. Perhitungan kadar air udang (Latimer, Horwitz 2007). Cawan dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (A). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan ke dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 14 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator untuk didinginkan, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot konstan (C). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut: Kadar Air (% bb) = Ket : bb = berat basah Nilai WHC didapat dengan cara : WHC = Kadar Air Daging – Kadar Air Bebas Kemudian pada sampel udang dilakukan juga perhitungan pH (Faridah et al. 2009) dilakukan dengan mengkalibrasi pH- meter dengan menggunakan larutan buffer pH 7 dan pH 10. Sebelumnya pH-meter dinyalakan dan distabilkan selama 15-30 menit. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering. Sebanyak 5gr sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml dan dilarutkan dengan 10 ml aquades. Elektroda pHmeter dibilas dengan air destilata, dikeringkan, dan dicelupkan ke dalam sampel.
18
Nilai yang tertera pada layar menunjukkan pH sari tempe. Selanjutnya, elektroda kembali dibilas dengan air destilata, dikeringkan, dan dapat digunakan kembali untuk pengukuran pH sampel. 2.
Pengukuran Kadar Phosfat (AOAC, 1995) a.
Persiapan Sampel Sampel udang kemudian diabukan (Latimer, Horwitz 2007). Cawan yang dipersiapkan untuk pengabuan contoh dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan ke dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya, dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400600oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (C). Kadar abu contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut: Kadar Abu (% bb) =
selanjutnya diambil sebanyak 0,5 g untuk analisis kadar P2O5. b. Pereaksi dan Larutan Baku 1) Larutan Ammonium Molibdovanadat Larutan Ammonium Molibdovanadat dibuat dengan mencampurkan larutan Ammonium Molibdat 8% yang dibuat dengan melarutkan 80 g Ammonium Tetrahidrat dengan air destilata hingga 1000 mL, dan larutan Ammonium Monovanadat 0.4% yang dibuat dengan melarutkan 4 g Ammonium Monovanadat dengan 500 mL HClO4 p.a, kemudian diencerkan dengan air destilata hingga 1000 mL. Kedua larutan ini dicampurkan dengan perbandingan 1:1. Pencampuran dilakukan pada saat akan digunakan. 2) Larutan baku P2O5 0,5 mg/mL Larutan baku P2O5 dibuat dengan melarutkan kristal Kalium Dihidrogen Posphate (KH2PO4) sebanyak 0.9587 g ke dalam labu takar 1000 mL menggunakan air destilata dengan terlebih dahulu dikeringkan selama dua jam pada suhu 105oC. 3) Prinsip Pengukuran Fosfat Penentuan kandungan fosfat dalam bentuk P2O5 pada bahan berdasarkan pembentukan kompleks warna kuning larutan hasil reaksi antara fosfat dengan pereaksi ammonium molibdovanadat menjadi senyawa kompleks olibdometavanadat phosphoriacid yang diukut dengan metode kolorimetri atau spektrofotometri pada intensitas panjang gelombang 420 nm atau 440 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Metode spektroskopi berdasarkan pengukuran warna yang merupakan kriteria penting di dalam pengukuran tersebut. Pada metode ini suatu sampel mengabsorpsi berkas sinar yang dipancarkan oleh suatu radiasi sehingga dapat dilewatkan. Semakin pekat warna suatu senyawa, maka semakin besar
19
nilai absorpsi senyawa tersebut. Untuk percobaan ini dilakukan pengujian pelarut yang dipergunakan dalam melarutkan fosfat yang terdapat dalam sample bahan dengan larutan aquaregia. Dalam hal ini dilakukan pengujian persentase kandungan P2O5 yang larut dalam air berdasar bobot kering. 4) Penentuan Kadar Fosfat dengan Spektrofotometri Penentuan fosfat kandungan P2O5 dalam udang beku menggunakan larutan aquaregia dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan tersebut meliputi pembuatan kurva kalibrasi standar P2O5, penyiapan dan pengukuran sampel. Pembuatan kurva kalibrasi standar P2O5 dilakukan dengan dipipet secara berseri larutan baku P2O5 0,5 mg/mL sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 mL (masing-masing mengandung 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mg P2O5), yang dimasukan kedalam labutakar 100 mL. Larutan diencerkan dengan air destilata 50 mL dan ditambahkan 20 mL larutan pereaksi Ammonium Molibdovanadat, kemudian diencerkan kembali dengan air destilata hingga tanda garis dan dilakukan pengocokan (lakukan pengerjaan larutan blako atau 0 mg P2O5). Larutan dibiarkan selama 10 menit untuk pengembangan warna hingga didapatkan warna konstan. Larutan diukur intensitas warna dengan spektrofotometer pada kisaran gelombang 420-440 nm. Terhadap larutan blanko. 5) Pengukuran Kadar Fosfat Sampel Persiapan dan pengukuran contoh dilakukan dengan 0,5 g contoh abu sampel ditimbang dan dimasukan kedalam gelas piala 100 mL, kemudian ditambahkan larutan aquaregia sebanyak 40 mL (HCl-HNO3 dengan perbandingan 3:1) dan campuran dipanaskan hingga didapat volume larutan 2-5 mL. setelah itu dibiarkan hingga dingin. Kemudian larutan diencerkan dengan air destilata dan dimasukan kedalam labu takar 500 mL dan diencerkan kembali dengan air destilata hingga tanda garis kemudian dilakukan pengocokan larutan. Diambil 1.0 mL larutan sampel yang dimasukan ke dalam labu takar 100 mL yang kemudian larutan diencerkan dengan air destilata 50 mL dan ditambahkan 20 mL larutan pereaksi Ammonium Molibdovanadat, kemudian diencerkan kembali dengan air destilata hingga tanda garis dan dilakukan pengocokan. Larutan dibiarkan selama 10 menit untuk pengembangan warna hingga didapatkan warna konstan.Larutan dilakukan pengukuran intensitas warna dengan spektrofotometer pada kisaran gelombang 420440 nm terhadap blanko. 3.
Uji Organoleptik (Lab PT. CPB, 2006) Pada penelitian ini uji organoleptik menggunakan uji rating skala kategori. Uji rating ini meliputi rasa, tekstur dan kenampakan. Dalam uji ini, digunakan panelis terlatih sebanyak 8 orang. Skala yang digunakan sampai skala 5. Nilai yang paling tinggi adalah nilai yang mempunyai mutu terbaik. Sampel yang digunakan adalah sampel udang setelah pemasakan. Atribut uji dan system penilaiannya da[at dilihat pada Tabel 1.
20
Tabel 1. Atribut Uji Organoleptik Skala 1
Pahit
Uji Rating Tekstur Membubur, sangat lunak
2
Hambar
Lunak
3
Dominan manis
Elastis, agak berair
4
Dominan asin
Elastis, kompak, kurang padat
5
Asin-manis
Elastic, kompak, padat, kenyal
Rasa
4.
Kenampakan Warna kulit pudar Timbul bintik putih Warna daging biru (mentah) Warna kulit sedikit pudar Warna kulit terang/cerah
Analisis Biaya Produksi (Department of A&I, 2011) Analisa biaya produksi ini dilakukan untuk membandingkan biaya yang dibutuhkan dari keempat perlakuan (0%, 2%, 3% dan 4% polifosfat). Biaya produksi dihitung berdasarkan nilai rendemen total yang diperoleh. Dari hasil rendemen total akan dihitung kebutuhan bahan kimia dan udang mentah (RM). Analisis biaya produksi menggunakan asumsi, seperti : (1) dalam sehari menghasilkan produk jadi/Finish Good (FG) sebanyak 2000 kg/hari, (2) nilai tukar dolar terhadap rupiah sebesar Rp 8.200,00, (3) harga pembelian RM Rp 34.000,00/kg, dan (4) harga jual produk jadi sebesar Rp 80.000,00/kg.
21
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Optimasi Polifosfat 1.
Pengaruh Terhadap Rendemen Rendemen dihitung berdasarkan kenaikkan berat udang setelah perendaman dibandingkan dengan berat udang sebelum perendaman yang dipengaruhi oleh masuknya zat (baik pelarut maupun zat terlarut) ke dalam sel udang . Proses keluar masuknya zat ke dalam sel udang salah satunya dipengaruhi oleh konsentrasi zat terlarut yang pada penelitian ini adalah polifosfat dan garam. Unal et al. (2004) menjelaskan selama proses perendaman terjadi dua mekanisme difusi yang terjadi secara bersamaan : pada sampel daging secara alami mengandung jumlah orthophosfat yang sangat tinggi sehingga menyebabkan orthophosfat berdifusi ke dalam larutan polifosfat, sementara berlangsung juga difusi polifosfat ke dalam sampel daging. Sebagai tambahan, polifosfat berdifusi ke dalam sampel daging membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan difusi orthophosfat keluar dari sampel daging dampai pembentukan kompleks air-protein-polifosfat (Tenhet et al. 1981a,b) pada permukaan daging sempurna. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 3 kali pengulangan menunjukkan bahwa pengaruh perbedaan konsentrasi polifosfat memberikan hasil rendemen yang berbeda pula. Hal ini bisa dilihat pada Lampiran 2a (ANOVA) dan 2b (Uji Lanjut Duncan). Berdasarkan hasil ANOVA (Analysis of Variance) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan nilai rendemen yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant level) < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%). Perbedan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Penggunaan Polifosfat Terhadap Rendemen. Konsentrasi Rendemen (%) Polifosfat 0% 106,58a 2% 114b 3% 114,52b 4% 115,89c Pada perlakuan polifosfat 0% memberikan hasil rendemen terkecil (106,58%), dan perlakuan 4% memberikan hasil rendemen terbesar (115,89%). Perlakuan 2% dan 3% menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (114% dan 114,52%). Perlakuan 0% memberikan nilai rendemen yang paling rendah disebabkan karena perlakuan perendaman hanya menggunakan garam saja, sementara perlakuan 4% memberikan nilai rendemen yang paling besar karena perlakuan perendaman menggunakan campuran garam dan polifosfat yang tertinggi yaitu sebesar 4%. Menurut Jantranit dan Thipayarat (2009), perendaman udang putih (Panaeus vannamei) menggunakan 3% STPP dengan lama perendaman selama 60 menit memberikan nilai rendemen sebesar 107,33% sementara dengan 5% STPP dengan lama perendaman 60 menit juga memberikan nilai rendemen sebesar 108,08%. Hasil rendemen pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Jantranit dan Thipayarat,
22
hal ini dikarenakan waktu perendaman yang dilakukan lebih lama yaitu 3 jam. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi polifosfat semakin tinggi pula nilai rendemen yang diperoleh. Phosfat akan memiliki sifat sinergis dengan garam dalam meningkatkan WHC. Garam dapat meningkatkan kekuatan ionik yang menyebabkan gaya tolak menolak pada protein otot yang kemudian akan memperbanyak masuknya larutan ke dalam daging sehingga WHC meningkat. Sementara phosfat dapat meningkatkan WHC dengan cara memecah atau memisahkan kompleks aktomiosin menjadi aktin dan myosin sehingga myosin akan lebih mudah larut dan sifat fungsionalnya lebih baik daripada aktomiosin hal ini dapat meningkatkan kekuatan ionik dan daya ikat air (WHC) sehingga akan meningkatkan rendemen setelah proses perendaman.
2. Pengaruh Terhadap Kadar Phosfat Daging Udang Setelah Perendaman Selama proses perendaman terjadi mekanisme difusi yang menyebabkan masuknya larutan polifosfat kedalam daging udang. Pengukuran phosfat (P2O5) dilakukan sebanyak 3 kali ulangan triplo, masing-masing ulangan menggunakan kurva standar yang baru (Lampiran 14a, 14b, 14c). Berdasarkan hasil analisis ANOVA dan Uji Lanjut Duncan (Lampiran 3d dan 3e), menunjukkan kandungan phosfat dari ke-4 perlakuan berbeda nyata, hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%). Untuk hasil Uji Lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh Polifosfat Terhadap Kadar Phosfat Udang Setelah Perendaman Konsentrasi Polifosfat Kadar Phosfat (%) 0% 0,18a 2% 0,29b 3% 0,33b 4% 0,49c Pada Tabel 3 dapat dilihat perlakuan 0% memiliki kadar phosfat paling rendah (0,18%) sedangkan perlakuan 2% dan 3% tidak berbeda nyata (0,29% dan 0,33%) dan perlakuan 4% memiliki kadar phosfat paling tinggi (0,49%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, telah terjadi peningkatan kadar phosfat dari udang raw material (0,25%) terhadap perlakuan 2%, 3% dan 4%. Pada perlakuan 0% terjadi penurunan kadar phosfat, hal ini disebabkan kandungan garam NaCl yang tinggi pada larutan perendaman udang tanpa adanya polifosfat yang memengaruhi proses difusi. Seperti yang telah dijelaskan oleh Unal et al. (2004) secara alami terdapat orthophosfat di dalam daging yang berdifusi ke dalam larutan perendaman, sementara itu terjadi juga difusi larutan perendaman (dalam hal ini hanya NaCl saja) ke dalam sampel daging, sehingga konsentrasi phosfat pada sampel udang dengan perlakuan 0% polifosfat mengalami penurunan.
3. Pengaruh Terhadap Nilai WHC/water holding capacity Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan polifosfat pada industri udang memiliki tujuan untuk meningkatkan rendemen produk dengan cara meningkatkan nilai WHC pada udang. Mekanisme polifosfat dalam meningkatkan
23
WHC adalah dengan meningkatkan pH, sehingga akan meningkatkan muatan negatif yang akan menimbulkan gaya tolak menolak pada protein udang. Gaya tolakmenolak inilah yang menyebabkan air/larutan bisa masuk banyak kedalam protein daging sehingga meningkatkan WHC. Selain itu, mekanisme yang lainnya adalah dengan memecah kompleks aktomiosin, sehingga dapat memperlebar ruang antar filamen dan air/larutan dapat masuk kedalam daging udang. Offer dan Knight (1988) mendiskusikan efek dari garam dan phosfat pada myofibril dan WHC didalam daging. Mereka menjelaskan ada tiga cara phosfat mempengaruhi WHC. Pertama, phosfat merupakan buffer yang baik, yang dapat membantu terjadinya depolimerisasi dari filamen tebal dan meningkatkan penyerapan air. Kedua, dengan adanya Mg 2+, pyophosfat dan triphosfat mengikat molekul myosin. Pyrophosfat berperan sebagai analog ATP dan berikatan dengan kepala myosin, ini bisa mendorong terjadinya disosiasi aktomiosin. Ketiga, polifosfat dapat mengikat ekor myosin dan mendorong disosiasi dari filamen myosin. Berdasarkan hasil analisis ANOVA dan Uji Lanjut Duncan (Lampiran 4b dan 4c), hasil ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan nilai WHC yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant level) < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh Polifosfat Terhadap Nilai WHC Perlakuan Nilai WHC (%) 0% 72,57a 2% 77,07b 3% 78,01bc 4% 78,75c Pada Tabel 4 dapat dilihat perlakuan 2% dan 3% tidak berbeda nyata (77,07% dan 78,01%), begitu pula dengan perlakuan 3% dan 4% (78,01% dan 78,75%). Namun jika dilihat secara nilai matematis, perlakuan 4% memiliki nilai WHC yang paling tinggi. Semakin banyak konsentrasi polifosfat yang digunakan maka semakin tinggi pula muatan negative yang menyebabkan semakin besar pula gaya tolak menolak pada protein otot udang sehingga nilai WHC yang diperoleh pun semakin tinggi. Berikut dapat dilihat pH daging udang setelah proses perendaman pada Gambar 8.
0 Gambar 8. Nilai pH pada setiap Perlakuan Menurut Abduh (2001), udang windu (Paneus monodon) yang direndam menggunakan 4% sodium tripolifosfat selama 60 menit memiliki nilai WHC yang berbeda jika dibandingkan dengan perendaman udang tanpa sodium tripolifosfat.
24
Perendaman udang tanpa menggunakan sodium tripolifosfat memiliki nilai WHC sebesar 29,31 mg H2O, sementara perendaman udang menggunakan 4% sodium tripolifosfat memiliki nilai WHC sebesar 61,34 mg H2O. Hal ini membuktikan bahwa polifosfat memiliki kemampuan dalam meningkatkan nilai WHC. Hasil WHC pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Abduh, hal ini dikarenakan waktu perendaman yang dilakukan pada penelitian lebih lama yaitu 3 jam. Peningkatan nilai WHC juga dimungkinkan dipengaruhi oleh pH. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa polifosfat memiliki nilai pH tinggi dan bersifat basa sehingga udang yang direndam menggunakan larutan polifosfat gugus karboksil asam aminonya akan terdisosiasi. Hal tersebut dapat meningkatkan muatan dan mengembangkan molekul protein yang disebabkan oleh melonggarnya jaringan protein sehingga terjadi peningkatan kapasitas menahan air karena terikatnya molekul H2O pada gugus karboksil dan amino bebas protein (Winarno, 1984). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mekanisme polifosfat dalam meningkatkan WHC adalah dengan meningkatkan pH. Pada perlakuan 4% dapat dilihat pada grafik tersebut memiliki nilai pH yang paling besar yaitu 7,45 (Lampiran 5). Hal ini juga yang memberikan alasan bahwa perlakuan 4% memiliki nilai WHC yang paling tinggi. WHC menurun sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,4 – 5,5. Pada pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari isoelektriknya protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Demikian pula pada pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, terdapat ekses muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan member lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air (Bouton et al., 1971). Jadi pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging , WHC meningkat. Hanya sangat jarang pH jatuh dibawah 5,0, karena enzim yang mempengaruhi glikolisis pascamati cenderung dinonaktifkan pada saat pH turun sampai 5,4 – 5,5 yaitu titik isoelektrik protein otot daging. Oleh karena itu pH daging udang harus dipertahankan diatas pH isoelektrik protein daging untuk mempertahankan nilai WHC. 4.
Korelasi Antara Kadar Phosfat dan pH Udang dengan Nilai WHC Nilai WHC dipengaruhi oleh kadar phosfat yang ada pada daging udang. Hal ini karena pengaruh phosfat terhadap peningkatan pH dan peningkatan kekuatan ionik pada protein otot udang. Berdasarkan analisis statistic menggunakan Correlation didapatkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara WHC dengan kadar phosfat (Nilai Sig. < 0,05). Dari nilai pearson correlation menunjukkan nilai positif sebesar 0,553 ( Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara WHC dan kadar phosfat berbanding lurus. Semakin tinggi phosfat maka semakin tinggi nilai WHC yang diperoleh. Phosfat dapat meningkatkan WHC dengan cara memecah atau memisahkan kompleks aktomiosin menjadi aktin dan myosin sehingga, myosin akan lebih mudah larut. Hal ini dapat meningkatkan kekuatan ionik dan daya ikat air (WHC) sehingga akan meningkatkan rendemen setelah proses perendaman (Stone, 1981). Korelasi antara kadar phosfat dengan WHC dapat dilihat
25
pada Gambar 9. Pada Gambar 9 dapat diketahui pula persamaan korelasinya yaitu y = 18,79x + 70,54 dengan nilai R = 75,7% yang menandakan bahwa korelasi kadar phosfat dengan WHC tidak terlalu berbanding lurus.
Gambar 9. Korelasi antara kadar phosfat dengan WHC Selain dipengaruhi oleh kadar phosfat, nilai WHC juga dipengaruhi oleh pH. Berdasarkan analisis statistic menggunakan Correlation didapatkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara nilai WHC dengan pH (Nilai Sig < 0,05). Nilai pearson correlation juga menunjukkan nilai positif sebesar 0,956 (Lampiran 7) yang berarti hubungan antara nilai WHC dengan pH berbanding lurus. Semakin tinggi pH daging udang maka semakin tinggi pula nilai WHC yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan teori menurut Bouton et al (1971), nilai pH diatas pH isoelektrik daging 5,4-5,5 dapat meningkatkan nilai WHC. Korelasi antara pH WHC dapat dilihat pada Gambar 10. Pada Gambar 10 dapat diketahui pula persamaan korelasinya yaitu y = 7,275x + 24,67 dengan nilai R = 99,7% yang menandakan korelasi antara pH udang dengan WHC berbanding lurus.
Gambar 10. Hubungan WHC dan pH udang
26
5.
Pengaruh Polifosfat Terhadap Susut Masak Proses pemasakan udang dilakukan pada suhu 97-99OC selama 2 menit 15 detik. Selama proses pemasakan, menurut Bendall dan Restall (1983) menyimpulkan bahwa sifat dari suatu potongan daging yang besar bila dibuat stew (yaitu dimasak/dipanasi dalam media cair) dapat dijelaskan dalam 4 fase. Pertama, suatu kehilangan cairan dari zat-zat myofibril ke dalam ruang-ruang ekstraseluler pada protein-protein sarkoplasma dan myofibril terdenaturasi pada suhu antara 40 – 53oC tanpa diikuti pemendekan; Kedua, kehilangan cairan yang cepat dari myofibril pada saat temperature meningkat menjadi 60oC; pada saat itu kolagen dari membrane basal mengalami pengerutan karena panas. Ketiga, pengerutan karena panas dari kolagen endomisium, perimisium dan epimisium pada suhu antara 64 – 90oC semakin banyak pengerutan, penurunan diameter miofiber dan kehilangan karena pemasakan. Keempat, selama pemanasan lebih lanjut atau diperpanjang ada konversi kolagen dari epimisium, sendomisium dan perimisium menjadi gelatin diikuti oleh pengempukan. Keempat fase inilah yang menyebabkan terjadinya susut masak pada produk udang. Berdasarkan hasil analisis data menggunakan ANOVA dan Uji Lanjut Duncan ( Lampiran 8a, 8b), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan denga nilai susut masak yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant level) < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh Polifosfat Terhadap Susut Masak Perlakuan Nilai Susut Masak (%) 0% 15,94b 2% 13,54a 3% 11,92a 4% 12,51a Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan 2%, 3%, dan 4% tidak berbeda nyata, sementara perlakuan A memiliki nilai susut masak terbesar yaitu 15,94%. Semakin besar nilai susut masak, semakin tidak bagus untuk perusahaan, karena dapat menurunkan berat produk dari target yang ingin dicapai. Sementara jika dilihat secara matematis perlakuan 3% memiliki nilai susut masak terendah (11,92%) diikuti oleh perlakuan 4% dan 3% (12,51% dan 13,54%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Faithong et al. (2006) pengaruh penggunaan 3% SHMP (Sodium hexametaphosphate) pada udang putih (Penaeus vannamei) dengan garam NaCl 3% mampu menghasilkan nilai susut masak sebesar 10,77 ± 0,73 %. Susut masak pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Faithong et al. Hal ini disebabkan udang yang digunakan oleh Faithong hanya 1 kg untuk perendaman dengan larutan polifosfat sehingga lebih mudah untuk mengontrol hasil susut masak. Sedangkan menurut Erdogu (2007), pada daging merah yang dimasak tanpa perlakuan phosfat memiliki nilai susut masak sebesar 45,9%, tetapi ada penurunan 10% susut masak (35%) pada daging merah yang dimasak setelah dilakukan perendaman menggunakan 6% STP (Sodium trypolyphosphat). Jadi peningkatan konsentrasi polifosfat saat perendaman mempengaruhi nilai susut masak yang dihasilkan.
27
6.
Korelasi Antara WHC dengan Susut Masak Pengaruh nilai WHC terhadap nilai susut masak dapat dilihat berdasarkan analisis statistic menggunakan Correlation. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh bahwa terdapat hubungan yang nyata antara nilai WHC dengan susut masak yang diperoleh (Nilai Sig. < 0,05). Jika dilihat dari nilai pearson correlation menunjukkan nilai negative sebesar – 0,827 (Lampiran 9). Hal ini menandakan bahwa hubungan antara WHC dengan susut masak berbanding tebalik. Semakin besar nilai WHC maka semakin kecil nilai sust masak yang diperoleh. Semakin besar kemampuan protein otot pada daging udang dalam mengikat air maka semakin kecil kemungkinan air yang sudah terserap keluar pada saat proses pemasakan. Korelasi antara WHC dengan susut masak dapat dilihat pada Gambar 11. Pada Gambar 11 dapat diketahui pula persamaan korelasinya yaitu y = -0,614x + 60,52 dengan nilai R = 92,3% yang menandakan hubungan antara nilai WHC dan susut masak berbanding lurus.
Gambar 11. Korelasi antara WHC dengan Susut Masak 7.
Pengaruh Polifosfat Terhadap Rendemen total Rendemen total suatu produk merupakan indikasi pencapaian berat target perusahaan pada penjualan produk tertentu. Rendemen total merupakan perbandingan produk akhir yang dihasilkan terhadap bahan mentah (udang) yang digunakan. Sebagai produk akhir pada perlakuan ini yaitu produk masak dan udang mentah yang diambil yaitu dari bentuk Head Less (udang tanpa kepala) dengan mengasumsikan rendemen pada proses peeling untuk semua perlakuan sama. Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan ANOVA dan Uji Lanjut Duncan (Lampiran 10a dan 10b), dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan dilihat dari rendemen total produk yang dihasilkan. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant level) < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%) seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Pengaruh Polphosfat Terhadap Rendemen total Perlakuan Nilai Rendemen total (%) 0% 77,93a 2% 86,15b 3% 87,37b 4% 88,21b
28
Berdasarkan Tabel 6. Dapat dilihat bahwa perlakuan 2%, 3% dan 4% tidak berbeda nyata. Sementara perlakuan 0% memiliki nilai rendemen total paling rendah sebesar 77,93%. Walaupun perlakuan 2%, 3% dan 4% tidak berbeda nyata, namun pada perusahaan perbedaan 1-2% memiliki perbedaan yang cukup besar. Oleh karena itu jika dilihat secara matematis perlakuan 4% memberikan nilai rendemen total yang paling besar yaitu 88,21%. B. Konsentrasi Phosfat (P2O5) Pada Produk Akhir Penggunaan polifosfat pada industri udang harus digunakan sesuai dengan peraturan yang ada, baik peraturan di negara yang akan dituju maupun peraturan di dalam negeri. Menurut peraturan pangan international CODEX (Codex Alimentarius Commission, 1992) penggunaan phosfat pada produk seafood tidak boleh lebih dari 0,5 % dalam bentuk P2O5. Hal ini juga diatur oleh pemerintah Indonesia yang diatur dalam MENKES RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 yang juga menyatakan pada produk udang masak kandungan phosfat dalam bentuk P2O5 tidak boleh lebih dari 0,5 %. Pengukuran phosfat dilakukan triplo (Lampiran 11a, 11b, 11c). Berikut konsentrasi phosfat pada produk udang setelah dimasak dari ke-4 perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Konsentrasi Phosfat (P2O5) Pada Udang Masak Perlakuan Rata-rata Konsentrasi Phosfat (%) 0% 0,17 2% 0,23 3% 0,27 4% 0,29 Jika dibandingkan dengan kandungan phosfat setelah perendaman pada Tabel 3 terjadi penurunan kadar phosfat. Hal ini disebabkan karena pengaruh proses pemasakan dan proses pendinginan. Berdasarkan analisis statistic (Lampiran 11d), dari ke-4 sampel perlakuan memiliki rata-rata konsentrasi P2O5 dibawah standar peraturan yang ada yaitu < 0,5%. Sehingga dapat dikatakan dari ke-4 perlakuan masih aman dan layak untuk dikonsumsi.
C. Uji Organoleptik Pengujian organoleptik dilakukan dengan menggunakan metode uji rating kategori yang meliputi uji rasa, tekstur dan kenampakan. Nilai maksimum tiap-tiap aspek menurut standar PT. CPB adalah 5. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 12a. Uji organoleptik ini diikuti oleh 8 panelis terlatih. Secara rinci, hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Uji Organoleptik Perlakuan Uji Rasa 0% 4,13 2% 4,25 3% 4,25 4% 4,13
Nilai Rata-Rata Uji Tekstur 4,75 4,50 4,38 4,75
Uji Kenampakan 4,63 4,75 4,63 4,63
29
Dari tabel, dapat dilihat bahwa dari ke-4 perlakuan tidak berbeda nyata baik dari rasa, tekstur maupun kenampakan pada selang kepercayaan 95%. Hal ini dikarenakan berdasarkan uji statistic nilai F tabel > F hitung (Lampiran 4b, 4c, 4d). Dari ke-4 perlakuan berdasarkan Tabel 8. memiliki rasa asin, tekstur yang elastis, kompak, padat, kenyal dan memiliki kenampakan warna kulit terang. D. Analisis Biaya Produksi Biaya produksi dihitung berdasarkan nilai rendemen total yang diperoleh. Dari hasil rendemen total akan dihitung kebutuhan bahan kimia dan udang mentah (RM). Analisis biaya produksi menggunakan asumsi, seperti : (1) dalam satu hari menghasilkan produk jadi/Finish Good (FG) sebanyak 2000 kg, (2) nilai tukar dolar terhadap rupiah sebesar Rp 8.200,00, (3) harga pembelian RM Rp 34.000,00/kg, dan (4) harga jual produk jadi sebesar Rp 80.000,00/kg. Berikut rincian biaya produksi dari perlakuan 0%, 2%, 3% dan 4% pada Tabel 9. Tabel 9. Analisi Biaya Produksi Kategori 0% Polifosfat Asumsi FG = 2.000 kg /Hari Yield (HL to FG)
Konsentrasi Polifosfat 2% Polifosfat (Perusahaan) 3% Polifosfat
4% Polifosfat
2000
2000
2000
2000
0.7793
0.8615
0.8737
0.8821
Harga Bahan Kimia ($)/kg Harga Bahan Kimia (Rp)/kg
1.85
1.85
1.85
1.85
15,170.00
15,170.00
15,170.00
15,170.00
Kebutuhan RM HL (Kg)
2,566.41
2,321.53
2,289.12
2,267.32
Kebutuhan RM HO (Kg) Kebutuhan Bahan Kimia/ 2.000 kg FG (kg) Biaya RM untuk 2.000 kg FG (Rp) Biaya Bahan Kimia/ 2.000 kg FG (Rp) Biaya RM dan Bahan Kimia/ 2000 kg FG Biaya RM dan Bahan Kimia/ kg FG
3,774.13
3,414.02
3,366.35
3,334.29
89.31
80.79
120.87
152.36
128,320,287
116,076,611
114,455,763
113,365,832
1,354,847
1,225,574
1,833,526
2,311,357
129,675,134
117,302,185
116,289,289
115,677,189
64,838
58,651
58,145
57,839
Selisih biaya udang/kg(Rp) Selisih biaya udang/2000kg(Rp)
-6,186
-
506
812
-12,372,950
-
1,012,895
1,624,996
Keuntungan udang/kg (Rp)
15,162
21,349
21,855
22,161
30,324,866
42,697,815
43,710,711
44,322,811
-28.98%
-
2.37%
3.81%
Keuntungan/2000kg(Rp) Persentase kenaikan keuntungan Keterangan : HL : Head less HO : Head on FG : Finish Good
30
Dari Tabel 9 diatas dapat dilihat bahwa perlakuan 4% membutuhkan biaya Rp 57.838,6/Kg produk akhir, perlakuan 2% membutuhkan biaya Rp 58.114,6/Kg produk akhir dan perlakuan 3% membutuhkan biaya Rp 58.651,1. Perlakuan 4% memerlukan jumlah biaya produksi yang lebih kecil dibandingkan perlakuan 2% dan 3%. Hal ini dikarenakan perlakuan 4% memiliki nilai rendemen total yang paling besar sehingga membutuhkan bahan udang mentah HO lebih sedikit dibandingkan perlakuan 2% dan 3%. Penggunaan 4% polifosfat dapat menghemat uang sebesar Rp 812.50/kg udang dan Rp 1,624,996.44/2000kg udang. Jika diasumsikan harga jual udang Rp 80,000/kg maka keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan menggunakan 4% polifosfat akan mendapatkan keuntungan terbesar yaitu Rp 22,161.41/kg udang dan Rp 44,322,811.47/2000kg udang. Dengan demikian penggunaan 4% polifosfat akan menaikkan keuntungan perusahaan sebesar 3,81%. Sementara perlakuan 0% sudah jelas membutuhkan biaya yang paling besar dan memberikan kerugian yang besar pula (-29%).
31
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian, telah didapatkan penggunaan konsentrasi polifosfat yang menghasilkan nilai susut masak dan rendemen total optimum yaitu 4 % polifosfat. Perlakuan 4% memiliki nilai rendemen yang paling besar yaitu sebesar 115,89% dan rendemen total sebesar 88,21%. Selain itu perlakuan 4% juga memiliki nilai pH yang lebih tinggi sebesar 7,45 dibandingkan perlakuan yang lain. Hal ini juga yang menyebabkan semakin banyaknya air yang terserap kedalam protein otot daging udang. Perlakuan 4% juga menunjukkan nilai WHC yang paling besar diantara perlakuan yang lain yaitu 78,75%. Hal ini disebabkan semakin banyaknya kandungan polifosfat di dalam larutan dan pada daging udang selama perendaman (0,48%) menyebabkan terjadinya disosiasi kompleks aktomiosin. Korelasi antara nilai kadar phosfat dan pH udang saat perendaman dengan WHC juga menunjukkan memiliki hubungan yang berbanding lurus. Semakin tinggi kadar phosfat dan pH udang maka semakin tinggi juga nilai WHC yang diperoleh. Susut masak yang dihasilkan pada perlakuan 4% juga memberikan nilai yang cukup rendah sebesar 12,51% dibandingkan perlakuan 0%dan 2%. Berdasarkan analisis correlation hubungan antara WHC dan susut masak memiliki hubungan yang nyata pada selang kepercayaan 95% (Nilai Sig. < 0,05) sehingga korelasi antara WHC dan susut masak berbanding terbalik yang ditunjukkan dengan nilai pearson correlation negative (-0,827). Semakin tinggi nilai WHC maka semakin rendah susut masak yang dihasilkan. Nilai susut masak yang rendah merupakan hal yang diinginkan oleh perusahaan untuk mencapai target penjualan produk udang tersebut. Berdasarkan nilai rendemen total yang dihasilkan, perlakuan polifosfat memberikan nilai yang terbesar yaitu 88,21%. Hal ini disebabkan pada perlakuan polifosfat memiliki nilai WHC yang tertinggi dibandingkan perlakuan 0%, 2% dan 3% yaitu sebesar 78,75%. Residu phosfat pada perlakuan 4% memberikan residu phosfat dalam bentuk P2O5 sebesar 0,29% pada produk udang masak. Jadi residu phosfat pada perlakuan 4% sesuai dengan peraturan pangan baik international (CODEX) maupun peraturan dalam negeri dimana residu phosfat pada produk udang/seafood tidak lebih dari 0,5%. Evaluasi uji mutu organoleptik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dari ke-4 perlakuan baik dalam hal rasa, tekstur dan kenampakan. Perlakuan 4% memberikan rasa asin, tekstur elastis, kompak, padat, kenyal dan memiliki warna kulit udang yang cerah. Analisis biaya produksi juga menunjukkan bahwa perlakuan 4% membutuhkan biaya yang paling sedikit untuk menghhasilkan 1 kg produk akhir yaitu sebesar Rp 57.838,6 dibandingkan dengan perlakuan 2% dan 3%. Selain itu perlakuan 4% akan memberikan kenaikan persentase keuntungan sebesr
32
3,81%. Jadi dapat disimpulkan bahwa perlakuan 4% memberikan nilai rendemen total yang besar, memiliki mutu organoleptik yang baik dan bisa memberikan biaya yang rendah dibandingkan perlakuan yang lain. B. SARAN 1. 2. 3. 4. 5.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan memperhatikan pH air yang digunakan untuk proses perendaman. Prosedur dalam melarutkan garam dan polifosfat harus benar-benar tercampur, jangan sampai masih ada yang menggumpal terutama polifosfat. Suhu perendaman udang diusahakan berada pada kisaran -4oC – 4oC. Dipastikan konsentrasi larutan perendaman mencapai konsentrasi target. Pembuatan larutan stock untuk garam dan polifosfat dapat meningkatkan ketepatan konsentrasi garam dan polifosfat dalam melakukan proses perendaman.
33
DAFTAR PUSTAKA
Abduh M. 2002. Pengaruh Perendaman Udang PDTO Dengan Menggunakan Larutan Sodium Tripolifosfat Terhadap Perubahan Beratnya. IPB. Bogor Anonim 1. 2001. Laitram Machinery FC200 Series (Forced Convection Central Cooker) www.laitrammachinery.com [15 Agustus 2011] Angsupanich K, Ledward DA. 1998. High preasure treatment effects on cod (Gadus morhua) muscle. Food Chem 63(1):39-50. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemist, Inc., Washington D.C. AOAC Official Methode 976.16. 2000. Cooking Seafood Products. United States Standards. International, USA Bendall JR. 1960. The Structure and Function of Muscle. Vol. 3. Ed. G.H. Bourne. Academic Press, New York. Hal. 227. Bendall JR, Restall DJ. 1983. A review of the relationships of pH with physical aspects of pork quality. J Meat Sci., 24: 85-96 Bouton PE, Harris PV and Shorthose WR. 1971. Effect of ultimate pH upon the water-holding capacity and tenderness of mutton. Journal of Food Science 36, 435-439. Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1992. SNI 01-2705-1992: Standar Udang Beku. Callow EH. 1931. Effect of selected inorganic phosphate and phosphate levels and reduced sodium chloride levels on protein solubility, stability and pH of meat emulsion. J. Food Sci., 50(4):1010-1013. Codex Alimentarius Commision. 1992. Recommended International Standard For Quick-Frozen Shrimps and Prawns. FAO United Nations, World Health Organization, Rome, Italy, Issue CACIRS92-1976, p. 15 Crowly M. 2001. Cookers: Whether Shellfish, Finfish or Value-added Products, Cooking Seafood is Getting Easier All The Time. In 1999. Seafood Magazine. Ellinger RH. 1972. Phophates in Food Processing. In: “Handbook of Food Additives” (Furia, T. E. ed.) CRC Press, Cleceland, CH, 617-780. Erdogdu SB, Erdogdu F, Ekiz HI. 2007. Influence of sodium tripolifosfat (STP) treatment and cooking time on cook losses and textural properties of red meats. Journal of Food Process Engineering 30: 685-700. Faithong J, Raksakulthai N, Chaiyawat M. 2006. Effect of phosphates and salt on yield and quality of cooked white shrimp (Panaeus vannamei). Kasetsart. (Nat. Sci.) 40 (Suppl.) : 108-116. Faridah DN, Kusnandar F, Herawati D, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasti D. 2009. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
34
Fennema OR. 1990. Comparative water-holding properties of various muscle foods: A critical review relating to definition, methods of measurement, governing factors, comparative data, and mechanistic matters. J Muscle Foods 1(4): 363-381 Forrest JC, Aberle ED, Hedrick HB, Judge MD, Merkel RA. 1975. Principles of Meat Science. W.H Freeman and Company, San Francisco. Gosner KL. 1971. Guide to Identification of Marine and Estuarine Invertebrates, Willey Interscience, a Divison of John Wiley and Sons, Inc. New York. Greene LE. 1981. Interaction between phosphate and meat protein. The AVI Publishing Co., Westport, Conn. Hamm R. 1960. Biochemistry of meat hydration. J. Food Sci 10:355-462 Ilyas, Sofyan. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid I Teknik Pendinginan Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. Jantranit S, Thipayarat A. 2009. Marinating yield optimization of phosphate soaking process to enhance water uptake in white shrimp (Panaeus vannamei). As. J. Food Ag-Ind. 2(02), 126-134. Johnston WA, Nicholson FJ, Roger A, Stroud GD. 1994. Freezing and Refrigerated Storage in Fisheries. FAO Fisheries Technical Paper-340. Food and Agricluture Organization of The United Nations http://www.fao.org/document/show_cdr.asp?url_file=/ DOCREP/003/V3630E/V3630E08.htm [15 Agustus 2011] Kanduri L, Eckhardt AL. 2002. Food Safety In Shrimp Processing. Iowa State: Blackwell Publishing. Kritchevsky D, Tepper SA, Ditullo NW, Holmes WL. 1976. The sterois of seafood. Jurnal Food Science, 32:64. Latimer GW, Horwitz W. 2007. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists International. Ed ke-18. AOAC International, Washington DC. Lawrie RA. 1979. Meat Science. 3rd ed. Pregamon Press. Lindsay RC. 1996. Food additives, In: Fennema OR, editor. Food chemistry. 3 rd ed. New York: Marcel Dekker. P 767-823. Locker RH. 1956. Effect of inorganic polifosfat with myosin B.J. Agric. Food. Chem., 12(5) :392398. Lund DB. 1989. Bagian 1 Pengaruh Pengukusan, Pasteurisasi dan Pensterilan terhadap Zat Gizi. di dalam Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan E. Karmas dan R. S. Harris (ed) Suminar Achmadi (Penerjemah). Penerbit ITB, Bandung. Martosudarmo B, Ranoemihardja B.S. 1983. Biologi udang paneid, hal 1-21. di dalam Pedoman Pembenihan Udang Paneid. Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian. Balai Budidaya Air Payau, Jepara. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta. Muchtadi dan Sugiyono, 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor
35
Offer G, Knight P. 1988. The structural bassis of water-holding in meat. In: Lawrie R, editor. Offer G, Trinick J. 1983. On the mechanism of water-holding in meat: The swelling and shrinking of myofibrils. Meat Sci 8(4):245-381. PT. CPB. 2006. Prosedur Kerja Analisa Organoleptik. PK 8.5 LB 21. PT. CPB (Department of Aplication and Improvement). 2011. Analisis Biaya Produksi. Tulang Bawang, Lampung. Purwaningsih S. 2000. Teknologi Pembekuan Udang. Cetakan ke-2. Jakarta: Penebar Swadaya Savagin KA, Venugopal V, Kamat SV. Kumts US. 1972. Radiation preservation of tropical shrimp for ambient temperature storage 2nd. Storage Studies. Jurnal Food Science, 37:151. Schmidt GR, Gilbert KY. 1970. The effect of muscle excision before the onset of rigor mortis on the palatability of beef. J. Food Technol. (London) 5:331. Sidwell VD, Buzzel DH, Foncannon PR, Smith AL. 1977. Composition of edible portion of raw (fresh or frozen) crustaceans, finfish and mollusk. II. Macroelements : sodium, potassium, chlorine, calcium, phosphorus and magnesium. Marine Fisheries Review. 39 (1) : 1-12. Sidwell VD, Bonnet JC, Zook EG. 1987. Chemical and Nutritive Values of Several Fresh and Canned Finfish, Crustaceans and Molluscans. Part 1 : Proximate composition calcium and phosphorus. Publ.Inc. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Sofos JN. 1986. Use of phosphate in low medium meat product. Food Technology 40 (9) : 52 – 69. Swatland HJ. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Thorarinsdottir KA, Arason S, Bogason SG, Kristbergsson K. 2001. Effects of phosphate on yield, quality, and water-holding capacity in the processing of salted cod (gadus morhua). Journal Food Science Vol. 66, No. 6 : 821-891. Tenhet V, Finne G, Nickelson R, Toloday, D. 1981. Penetration of sodium tripolifosfat into fresh and prefrozen peeled and devined shrimp. J. Food Sci. 46, 344-349. Unal SB, Erdogdu F, Ekiz HI, Ozdemir Y. 2004. Experimental theory, fundamental and mathematical evaluation of phosphate diffusion in meats. J. Food Eng. 65, 263-272. Warriss PD. 2004. Meat Science an Intoductory Text. London : CABI Publishing. Wismer-Pedersen J. 1971. Pada The Science of Meat and Meat Products. 2nd ed. Ed. J.F. Price dan B.S. Schweigrt. W.H. Freeman and Co., San Fransisco. Hal. 177. Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia.
36
LAMPIRAN
37
Lampiran 1. Rekapitulasi Data Nilai Rendemen, Susut Masak dan Rendemen total
Metode 0% polifosfat
2% polifosfat
3% polifosfat
4% polifosfat
Ulangan
Rendemen (%)
Susut Masak (%)
Rendemen total
1
106.65
17.17
76.85
2
106.87
16.97
77.20
3
106.21
13.69
79.75
1
115.29
12.88
87.38
2
114.80
14.50
85.40
3
113.47
13.23
85.66
1
114.03
11.30
88.00
2
114.76
11.36
88.50
3
113.22
13.10
85.60
1
115.96
12.53
88.24
2
115.31
13.41
86.86
3
116.40
11.58
89.54
Lampran 2a. Hasil Analisis Statistik (ANOVA) Pengaruh Polifosfat Terhadap Rendemen
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 158.020 3.788 161.808
Df 3 8 11
Mean Square 52.673 .473
F 111.245
Sig. .000
Lampiran 2b. Hasil Uji Lanjut (Duncan) Pengaruh Polifosfat Terhadap Rendemen Perlakuan Polifosfat
Subset for alpha = 0.05 N
0% 3% 2% 4% Sig.
3 3 3 3
1 106.58
2
3
114.00 114.52 1.00
.38
115.89 1.00
38
Lampiran 3a. Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Perendaman I
Perlakuan 0% Polifosfat
2% Polifosfat
Absorbansi (3 Ulangan)
Gram Abu
Kadar Abu
0.01
0.5018
2.13%
4% Polifosfat
P2O5 Daging (%) 0.09
0.011
0.09
0.011
0.09
0.013
0.5061
2.77%
0.14
0.014
0.15
0.014 3% Polifosfat
Persamaan Kurva Standar
0.016
0.15
y=24.767x 0.5079
2.78%
0.18
0.017
0.19
0.017
0.19
0.037
0.5046
3.15%
0.47
0.037
0.47
0.038
0.48
Lampiran 3b. Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Perendaman II
Perlakuan 0% Polifosfat
Absorbansi (3 Ulangan)
Gram Abu
Kadar Abu (%)
0.039
0.5024
2.12%
Persamaan Kurva Standar
0.19
0.038
0.19
0.039 2% Polifosfat
0.081
0.19 0.5
2.75%
4% Polifosfat
0.40
0.082
0.41
0.081 3% Polifosfat
0.093
P2O5 Daging (%)
Y=25.74X 0.5018
2.97%
0.40 0.46
0.094
0.47
0.095
0.47
0.108
0.5026
3.14%
0.54
0.109
0.54
0.11
0.55
39
Lampiran3c. Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Perendaman III
Perlakuan
Absorbansi (3 Ulangan)
Gram Abu
Kadar Abu (%)
0.061
0.5021
2.10%
0% Polifosfat
2% Polifosfat
Persamaan Kurva Standar
0.24
0.063
0.25
0.062
0.25
0.082
0.504
2.75%
0.32
0.082
0.32
0.081 3% Polifosfat
4% Polifosfat
P2O5 Daging (%)
0.32
y= 24.32x
0.086
0.5009
3.12%
0.34
0.087
0.34
0.086
0.34
0.112
0.5014
3.31%
0.44
0.113
0.45
0.11
0.44
Lampiran 3d. Hasil Analisis Statistik (ANOVA) Pengaruh Polifosfat Terhadap Kadar Phosfat (P2O5) Setelah Perendaman Sum of Squares
Df
Mean Square
Between Groups
0.446963889
3
0.148988
Within Groups
0.274911111
32
0.008591
0.721875
35
Total
F 17.34239
Sig. 0.000
Lampiran 3e. Hasil Uji Lanjut (Duncan) Pengaruh Polifosfat Terhadap Kadar Phosfat (P2O5) Setelah Perendaman Subset for alpha = 0.05
Konsentrasi Polifosfat
N
0%
9
2%
9
0.29
3%
9
0.33
4%
9
Sig.
1
2
3
0.18
0.49 1
0.35
1
40
Lampiran 4a. Rekapitulasi Data Nilai WHC (water holding capacity)
Perlakuan
Ulangan Berat Udang (gr)
Ulangan Luas Area (cm2)
Ulangan Mg H20
Ulangan Kadar air bebas (%)
Ulangan Kadar air Daging (%)
Ulangan WHC (%)
Rata-Rata WHC (%)
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
0% Polifosfat
0.58
0.47
0.57
5.51
3.52
4.73
50.12
29.13
41.89
8.64
6.20
7.35
79.68
79.37
79.52
71.04
73.17
72.17
72.13
2% Polifosfat
0.46
0.43
0.43
2.16
2.09
1.78
14.78
14.05
10.78
3.21
3.27
2.51
81.03
81.27
80.96
77.81
78.01
78.46
78.09
3% Polifosfat
0.48
0.6
0.57
1.68
2.22
1.95
9.72
15.42
12.57
2.03
2.57
2.21
80.87
80.48
81.10
78.84
77.91
78.90
78.55
4% Polifosfat
0.49
0.5
0.4
1.53
1.79
1.36
8.14
10.88
6.35
1.66
2.18
1.59
80.40
80.32
80.44
78.74
78.14
78.85
78.58
0% Polifosfat
0.57
0.47
0.51
5.28
3.30
4.48
47.70
26.81
39.26
8.37
5.70
7.70
80.28
79.92
80.67
71.91
74.22
72.97
73.03
2% Polifosfat
0.49
0.51
0.52
2.10
2.51
2.84
14.15
18.48
21.96
2.89
3.62
4.22
79.44
79.25
79.49
76.55
75.63
75.26
75.81
3% Polifosfat
0.47
0.50
0.47
1.91
2.20
1.82
12.15
15.21
11.20
2.58
3.04
2.38
79.76
80.44
80.12
77.18
77.40
77.74
77.44
4% Polifosfat
0.56
0.48
0.48
1.71
1.49
1.27
10.04
7.72
5.40
1.79
1.61
1.12
79.80
79.32
80.28
78.01
77.72
79.15
78.29
0% Polifosfat
0.46
0.46
0.55
4.31
4.97
5.06
37.46
44.43
45.38
8.14
9.66
8.25
81.11
81.56
81.00
72.97
71.91
72.75
72.54
2% Polifosfat
0.46
0.52
0.53
2.42
2.50
3.13
17.53
18.37
25.02
3.81
3.53
4.72
81.35
81.53
81.14
77.54
77.99
76.42
77.32
3% Polifosfat
0.51
0.49
0.49
2.52
2.23
2.31
18.58
15.52
16.37
3.64
3.17
3.34
81.42
81.51
81.31
77.78
78.34
77.97
78.03
4% Polifosfat
0.51
0.51
0.50
1.69
1.78
1.51
9.83
10.78
7.93
1.93
2.11
1.59
81.11
81.27
81.36
79.19
79.16
79.78
79.38
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
41
Lampiran 4b. Hasil Uji Statistik (ANOVA) Pengaruh Polifosfat Terhadap Nilai WHC (water holding capacity)
WHC
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 69.279
3
Mean Square 23.093
4.351
8
.544
73.630
11
df
F 42.462
Sig. .000
Lampiran 4c. Hasil Uji Lanjut (Duncan) Pengaruh Polifosfat Terhadap Nilai WHC (water holding capacity) Perlakuan Polifosfat
Subset for alpha = 0.05 N
0% 2% 3% 4% Sig.
3 3 3 3
1 72.57
2
3
77.07 78.01 1.00
.16
78.01 78.75 .25
42
Lampiran 5. Rekapitulasi Data Nilai pH Setelah Perendaman Perlakuan
Nilai Ph
0%
6.67
0%
6.66
0%
6.68
0%
6.52
0%
6.52
0%
6.52
0%
6.59
0%
6.58
0%
6.58
Rata-Rata
6.59
2%
7.23
2% 2% 2% 2% 2% 2% 2% 2% Rata-Rata 3%
7.30 7.28 6.99 6.97 6.96 7.28 7.28 7.29
3% 3% 3% 3% 3% 3%
7.46 7.44 7.12 7.12 7.12 7.42
3% 3%
7.43 7.44
Rata-Rata
7.33
7.18 7.44
43
Lampiran 5. (Lanjutan) Perlakuan 4% 4% 4% 4% 4% 4% 4% 4% 4% Rata-rata
Nilai pH 7.59 7.60 7.59 7.20 7.23 7.23 7.52 7.54 7.54 7.45
Lampiran 6. Hubungan Nilai WHC (water holding capacity) Dengan Kadar Phosfat (P2O5) Setelah Perendaman. Kadar Phosfat Kadar Phosfat Setelah Perendaman
WHC
WHC .553 .000 36
1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
36
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
.553 .000 36
1 36
Lampiran 7. Hubungan Nilai WHC (water holding capacity) dengan Nilai pH Udang Setelah Perendaman
WHC WHC
pH udang setelah perendaman
Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N
1
pH_Perendaman .956 .000
12
12
.956
1
.000 12
12
44
Lampiran 8a. Hasil Analisis Statistik (ANOVA) Pengaruh Polifosfat Terhadap Nilai Susut Masak
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 28.356 12.855
Df 3 8
41.212
Mean Square 9.452 1.607
F 5.882
Sig. .020
11
Lampiran 8b. Hasil Uji Lanjut (Duncan) Pengaruh Polifosfat Terhadap Nilai Susut Masak Perlakuan Polifosfat
Subset for alpha = 0.05 N
3% 4% 2% 0% Sig.
3 3 3 3
1 11.92 12.51 13.54 .17
2
15.94 1.00
Lampiran 9. Hubungan Antara Nilai Susut Masak Dengan WHC (water holding capacity) Susut Masak Susut Masak
Pearson Correlation
1
Sig. (2tailed) N WHC
WHC -.827 .001
Pearson Correlation Sig. (2tailed) N
12
12
-.827
1
.001 12
12
Lampiran 10a. Hasil Analisis Statistik (ANOVA) Pengaruh Polifosfat Terhadap Rendemen Total
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 201.451 15.726 217.177
Df 3 8 11
Mean Square 67.150 1.966
F 34.160
Sig. .000
45
Lampiran 10b. Hasil Uji Lanjut (Duncan) Pengaruh Polifosfat Terhadap Rendemen Total Perlakuan Polifosfat
Subset for alpha = 0.05 N
0%
3
2% 3%
3 3
4% Sig.
3
1 77.93
2 86.15 87.37
1.000
88.21 .122
Lampiran 11a. Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Pemasakan I
Perlakuan 0% Polifosfat
2% Polifosfat
Absorbansi (3 Ulangan)
Gram Abu
Kadar Abu (%)
0.021
0.5062
2.14%
4% Polifosfat
P2O5 Daging (%) 0.18
0.021
0.18
0.022
0.19
0.035
0.5058
2.69%
0.30
0.036
0.31
0.035 3% Polifosfat
Persamaan Kurva Standar
0.037
y=24.767x 0.5069
2.83%
0.30 0.32
0.037
0.32
0.038
0.32
0.04
0.5055
2.69%
0.34
0.042
0.36
0.043
0.37
46
Lampiran 11b . Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Pemasakan II
Perlakuan 0% Polifosfat
2% Polifosfat
Absorbansi (3 Ulangan)
Gram Abu
Kadar Abu (%)
0.029
0.5017
2.23%
4% Polifosfat
P2O5 Daging (%) 0.14
0.033
0.16
0.033
0.16
0.035
0.5047
2.61%
0.17
0.036
0.18
0.036 3% Polifosfat
Persamaan Kurva Standar
0.046
0.18
Y=25.74X 0.5024
2.52%
0.23
0.046
0.23
0.047
0.23
0.048
0.5037
2.49%
0.24
0.048
0.24
0.049 0.24 Lampiran 11c. Rekapitulasi Data Konsentrasi Phosfat (P2O5) Setelah Pemasakan III
Perlakuan 0% Polifosfat
2% Polifosfat
Absorbansi (3 Ulangan)
Gram Abu
Kadar Abu (%)
0.041
0.5014
2.45%
4% Polifosfat
P2O5 Daging (%) 0.16
0.043
0.17
0.042
0.17
0.052
0.5011
2.88%
0.21
0.053
0.21
0.052 3% Polifosfat
Persamaan Kurva Standar
0.064
y= 24.32x 0.5026
2.96%
0.21 0.25
0.063
0.25
0.061
0.24
0.071
0.5029
3.33%
0.28
0.071
0.28
0.071 0.28 Lampiran 11d. Hasil Analisis Statistik Kadar Phosfat (P2O5) Pada Produk Akhir (Setelah Pemasakan)
N Produk Akhir 0% Produk Akhir 2% Produk Akhir 3% Produk Akhir 4%
9 9 9 9
Mean .17 .23 .27 .29
Std. Deviation .01 .06 .04 .05
Std. Error Mean .00 .02 .01 .02
47
Lampiran 12a. Hasil Analisis Uji Organoleptik Perlakuan
Rasa
Tekstur
Kenampakan
0%
4
5
5
0%
4
4
4
0%
4
5
5
0%
4
5
4
0%
4
5
5
0%
4
5
5
0%
4
4
4
0%
5
5
5
2%
4
5
5
2%
4
4
4
2%
4
4
5
2%
5
5
4
2%
4
4
5
2%
4
4
5
2%
5
5
5
2%
4
5
5
3%
4
4
5
3%
4
4
4
3%
4
5
5
3%
4
5
4
3%
4
4
4
3%
5
4
5
3%
4
4
5
3%
5
5
5
4%
4
5
5
4%
4
4
4
4%
4
5
5
4%
4
4
4
4%
4
5
4
4%
4
5
5
4%
5
5
5
4%
4
5
5
48
Lampiran 12b. Hasil Analisis Statistik Uji Organoleptik Rasa FK
561.125
Sumber Ragam Sampel (Perlakuan)
Db
JK
KT
Fhitung
3
0.125
0.0416667
0.2592593
Panelis (Blok)
7
1.375
0.1964286
1.2222222
Galat (Error)
21
3.375
0.1607143
Total
31
4.875
Ftabel 3.07
Lampiran 12c. Hasil Analisis Statistik Uji Organoleptik Tekstur FK
675.28125
Sumber Ragam Sampel (Perlakuan)
Db
JK
KT
Fhitung
3
0.84375
0.28125
1.3404255
Panelis (Blok)
7
2.46875
0.3526786
1.6808511
Galat (Error)
21
4.40625
0.2098214
Total
31
7.71875
Ftabel 3.07
Lampiran 12d. Hasil Analisis Statistik Uji Organoleptik Kenampakan FK
693.78125
Sumber Ragam Sampel (Perlakuan)
Db
JK
KT
Fhitung
3
0.09375
0.03125
0.3962264
Panelis (Blok)
7
5.46875
0.78125
9.9056604
Galat (Error)
21
1.65625
0.078869
Total
31
7.21875
Ftabel 3.07
49
Lampiran 13. Form Penilaian Organoleptik Uji Organoleptik Cook Product Tanggal
:
Nama
:
Instruksi
:
Di Hadapan Anda terdapat 4 sampel. Beri nilai (skoring) berdasarkan kriteria yang telah ditentukan (lihat di lembar yang telah tersedia) Tuliskan terlebih dahulu semua kode sampel di tempat yang telah disediakan Pencicipan sampel hanya diperbolehkan satu kali, secara berurutan dari kiri ke kanan dan tidak boleh mengulang Netralkan indera pencicip Anda setiap mencicipi satu sampel dengan air minum Tuliskan skor penilaian Anda terhadap sampel pada kolom yang telah tersedia. Kriteria Penilaian Kode Sampel Kenampakan Tekstur Rasa
Deskripsi Kriteria Penilaian Sampel Kenampakan 5: Warna kulit terang/cerah 4: Warna kulit sedikit pudar 3: Warna daging masih ada warna biru (indikasi mentah) 2: warna kulit pudar, terjadi dehidrasi (spot putih) 1: warna kulit pudar Tekstur 5: elastis, kompak, padat, kenyal 4: elastis, kompak, kurang padat 3: Elastis, agak berair 2: Lunak/lembek 1: Membubur, lembek sekali dan sangat lunak Rasa 5: Asin-Manis 4: Dominan asin 3: Dominan manis 2: Hambar, sedikit asam 1: Pahit, sepat
50
Lampiran 14a. Kurva Standar P2O5 I
Lampiran 14b. Kurva Standar P2O5 II
51
Lampiran 14c. Kurva Standar P2O5 III
52