EkBis: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
ISSN 2549-4988 (p)
PENGENTASAN KEMISKINAN BERBASIS DASAWISMA (ANALISIS KRITIS PROGRAM ANTIKEMISKINAN) Miftakhul Choiri Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
[email protected] Abstract Evaluate to program of policy to against poorness require to be done to get the model or more effective policy strategy. Strategy which on the market by emphasizing at participation of entire citizen as well as state requirement to develop the people potency as maximum. Dasawisma as local institutions at the RT level of 10 -20 members of the family, spearheading the success of an existing government programs. This study is a descriptive and comparative analysis, descriptive method is intended to discover concepts related to poverty alleviation based on local institutions. In this case some of the concepts will be presented as they are, to understand the way the mind poverty alleviation system comprehensively. The comparative method was intended to compare the concept that local institutions and other bases to be elaborated in a new concept of poverty alleviation by dasawisma basis.Conclusion from this research is policy to against poorness base on the dasawisma require not only a way of newly think of the policy content, but also the way of newly think of the policy structure. Keyword: strategy, poverty, dasawisma Abstrak Evaluasi terhadap program kebijakan pengentasan kemiskinan perlu dilakukan untuk mendapatkan model atau strategi kebijakan yang lebih efektif. Strategi yang ditawarkan adalah dengan menekankan pada partisipasi seluruh warga negara dan juga kebutuhan negara untuk mengembangkan potensi rakyat dengan semaksimal mungkin. Dasawisma sebagai institusi lokal di tingkat RT yang terdiri dari 10 -20 anggota keluarga, menjadi ujung tombak keberhasilan suatu program pemerintah yang ada. Penelitian ini bersifat deskriptis, komparatif analisis, dengan metode deskriptif dimaksudkan untuk menemukan konsep yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan berbasis institusi lokal. Dalam hal ini beberapa konsep akan dipaparkan sebagaimana adanya, untuk memahami jalan pikiran sistem pengentasan kemiskinan secara komperhensif. Metode komparatif dimaksudkan untuk membandingkan konsep yang sudah dan basis institusi lokal yang lain
101
EkBis: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1, No. 1. Halaman 101-122 untuk dielaborasi dalam sebuah konsep baru pengentasan kemiskinan dengan basis dasawisma. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kebijakan pengentasan kemiskinan berbasis dasawisma membutuhkan tidak hanya sebuah cara baru berpikir tentang isi kebijakan, tetapi juga cara baru berpikir tentang struktur kebijakan. Kata Kunci: strategi, kemiskinan, dasawisma PENDAHULUAN Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Masalah kemiskinan itu sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu sendiri dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia, walaupun, seringkali tidak disadari kehadirannya sebagai masalah oleh manusia yang bersangkutan. Bagi mereka yang tergolong miskin, kemiskinan merupakan sesuatu yang nyata ada dalam kehidupan mereka sehari-hari, karena mereka itu merasakan dan menjalani sendiri bagaimana kehidupan dalam kemiskinan. Secara singkat, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Ahmad, 1979). Standar kehidupan yang rendah ini secara umum langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin. Pemerintah nasional telah melaksanakan program anti-kemiskinan semenjak PJPT 1 orde baru. Di samping strategi pengembangan ekonomi makro, pemerintah juga telah meluncurkan berbagai program penanggulangan kemiskinan langsung kepada target kelompok miskin, mulai dari program jaring pengaman sosial sampai program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui berbagai departemen pemerintah. Sayangnya, pencapaian berbagai program penanggulangan kemiskinan tersebut ternyata belum menunjukkan kemajuan yang berarti, ditunjukkan oleh kenyataannya, secara nasional persentase penduduk miskin tidak berkurang secara berarti. Pada Februari 1998, tercatat jumlah penduduk miskin memang menurun, tetapi masih tinggi yaitu, menjadi 44 juta, dan pada Agustus 1999 terhitung 34 juta atau sekitar 18% dari penduduk Indonesia masih tergolong miskin (BPS, 2001). Persentase 102
Lailatis Syarifah: Teori Dasar Ekonomi Mikro dalam Literatur Islam Klasik penduduk miskin secara nasional pada tahun 2004 lebih tinggi dari persentase penduduk miskin pada tahun 1999. Pada tahun itu tercatat 20,11% dari penduduk Indonesia tergolong miskin (Statistik, 2004). Dasawisma adalah kelompok ibu berasal dari 10 KK (kepala keluarga) rumah yang bertetangga untuk mempermudah jalannya suatu program. Kelompok Dasawisma adalah kelompok yang terdiri dari 10 – 20 kepala keluarga (KK) dalam satu RT. Setelah terbentuk kelompok, maka diangkatlah satu orang yang memiliki tanggung jawab sebagai ketua. Dasawisma sebagai salah satu wadah kegiatan masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaan programprogram kegiatan gerakan PKK di tingkat desa,yang nantinya akan berpengaruh pula pada kegiatan gerakan PKK di tingkat Kecamatan dan Kabupaten. Yang akhirnya akan berpengaruh ke level yang lebih besar yaitu negara. Rumusan Masalah 1. Analisis program-program antikemiskinan 2. Bagaimana Program Pengentasan Kemiskinan Berbasis Dasawisma? KERANGKA PEMIKIRAN Dalam kamus besar bahasa Indonesia, orang miskin diartikan sebagai orang yang tidak berharta benda, serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Kata “kemiskinan” dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab, yakni “miskin”. Kata ini disebut beberapa kali di dalam kitab suci Al-Qur’an dalam berbagai bentuk, seperti miskin (tunggal), dan masakin (jamak). Bahkan jika ditelusuri lebih lanjut, maka dapat dijumpai berbagai istilah lain dalam Al-Qur’an yang juga mengandung arti miskin, seperti al-faqir (fakir), al-mustadh’af (orang yang tidak mampu), as-sail (orang yang meminta-minta), dan al-mahrum (orang yang miskin tetapi tidak meminta-minta) (Al Munawwar, 2017). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke
103
EkBis: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1, No. 1. Halaman 101-122 kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif (Sahdan, 2017). Selama ini ketika membicarakan kemiskinan dan pengentasan kemiskinan, asumsi dasarnya selalu terpatok dari berapa jumlah pendapatan dan bagaimana meningkatkan jumlah pendapatan seseorang. Padahal faktor pendapatan hanya berpengaruh terhadap kondisi seseorang (miskin atau kaya) dalam jangka pendek saja. Hal ini disebabkan adanya sejumlah fariabel pendapatan yang hanya dapat dinilai dalam waktu tertentu saja dan tidak untuk jangka waktu yang panjang. Kemudian, disadari bahwa orang miskin tidak hanya mengalami persoalan ketiadaan modal, tetapi juga kerentanan dan ketidak berdayaan (Chambers, 1987). Seiring dengan bergesernya pemamahan menganai hakekat kemiskinan, strategi penting yang kemudian dilakukan adalah memberdayakan rumahatangga miskin dengan berbagai cara yang dapat digolongkan sebagai capacity building. Strategi pemberdayaan anggota rumahtangga miskin dengan pendekatan capacity building hanya bertumpu pada perbaikan pada tingkat individual dan rumahtangga. Cara lain yang perlu dilakukan adalah dengan menyentuh komunitas lokal, dengan cara menggunakan institusi lokal yakni mekanisme jaminan sosial yang hidup di dalam komunitas tempatan untuk mengentaskan kemiskinan. Strategi ini disebut pengentasan kemiskinan berbasis institusi komunitas setempat (Ancok, 1995). Salah satu komunitas yang telah ada dan di akui manfaatnya bagi masyarakat, terutama dalam upaya meningkatkan keberdayaan dan kesejahteraan keluarga adalah gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PPK). Dan disini yang paling berperan adalah Dasawisma, yakni unit terkecil kelompok PKK yang terdiri dari 10-20 anggota rumah tangga. Dari kelompok rumah tangga itu, ada seorang penanggung jawab untuk memantau kondisi rumah tangga yang lain. Prinsip dasawisma adalah pengawasan dan pemberdayaan hingga kemasyarakat bawah dan menyentuh unit masyarakat terkecil, yakni keluarga. Peran PKK diharapkan dapat menggugah agar termotivasi untuk selalu dinamis, mau mengubah keadaan kepada yang lebih maju lagi. Seperti dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan keluarga. PKK bukanlah tempat arisan dan pengajian saja,
104
Lailatis Syarifah: Teori Dasar Ekonomi Mikro dalam Literatur Islam Klasik tetapi merupakan wadah bagi pemberdayaan masyarakat. Kalau arisan dan pengajian, setiap perkumpulan beberapa orang bisa saja dilakukan. Tapi PKK lebih dari itu, merupakan wadah pemberdayaan. Dasawisma sebagai kelompok kecil dari kelompok-kelompok PKK memiliki peran strategis mewujudkan keluarga sejahtera. Untuk itu, di harapkan agar dasawisma menjadi ujung tombak pelaksanaan 10 program pokok PKK dan program pemerintah karena sebagai mitra METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu data berasal dari literatur-literatur yang terkait dengan topik penelitian. Oleh sebab itu sumber literatur yang dijadikan landasan dalam penelitian ini yaitu sumber primer dan sekunder. Adapun sumber primer diperoleh dari buku-buku yang berkaitan langsung dengan pengentasan kemiskinan berbasis aset dan investasi baik dalam Islam maupun konvensional. Sumber sekunder diperoleh dari sumber yang fungsinya menunjang data atau sumber primer, yaitu buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah, internet dan artikel-artikel yang juga berkaitan dengan pengentasan kemiskinan berbasisi aset. Penelitian ini bersifat deskriptis, komparatif analisis, dengan metode deskriptif dimaksudkan untuk menemukan konsep konvensional dan Islam yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan berbasis aset. Dalam hal ini kedua konsep akan dipaparkan sebagaimana adanya, untuk memahami jalan pikiran kedua sistem itu secara komperhensif. Metode komparatif dimaksudkan untuk membandingkan konsep Islam dan basis pendapatan untuk dielaborasi dalam sebuah konsep baru pengentasan kemiskinan. Metode ini, pada dasarnya hanya mengumpulkan sumber berupa keterangan-keterangan, kemudian dilakukan penafsiran, intrpretasi dan penggabungan dalam penyusunan. Selanjutnya penulis menggunakan kerangka berfikir dengan mnganalisis pesan yang tersurat dari suatu komunikasi, dimana dalam penyusunan penelitian ini dilakukan analisis pada isi yang terkandung dalam suatu data dengan berfikir secara reflektif kemudian diolah dan disusun secara logis (Muhadjir, 1989).
105
EkBis: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1, No. 1. Halaman 101-122 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Program-Program Anti Kemiskinan Kebijakan pengentasan kemiskinan di desain secara sentralistik oleh pemerintah pusat yang di wakili BAPPENAS. BAPPENAS merancang program penangulangan kemiskinan dengan dukungan alokasi dan distribusi anggaran dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan utang kepada Bank Dunia serta lembaga keuangan multinasional lainnya. Berkat alokasi anggaran yang memadai, pemerintah pusat menjalankan kebijakan sentralistik dengan program-program yang bersifat karitatif. Sejak tahun 1970-an di bawah kebijakan economic growth sampai dengan sekarang, pemerintah pusat menjadikan desa sebagai obyek dari seluruh proyek yang dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan (Sahdan, 2017). Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah pusat menjalankan program-programnya disimpulkan dalam bentuk: a. Menurunkan jumlah persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan melalui bantuan kredit, jaminan usaha dan pengadaan sarana dan prasarana di desa seperti PUSKESMAS, INPRES, KUD, dan sebagainya; b. Mengusahakan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat miskin melalui distribusi sembako yang dibagikan secara gratis kepada penduduk miskin; c. Mengusahakan pelayanan kesehatan yang memadai dengan menyebarkan tenaga-tenaga kesehatan ke desa dan pengadaan obat-obatan melalui PUSKESMAS; d. Mengusahakan penyediaan fasilitas pendidikan dasar dengan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah INPRES; e. Menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha melalui proyekproyek perbaikan sarana dan prasarana milik pemerintah, penyediaan kredit dan modal usaha yang diberikan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat miskin; f. Memenuhi kebutuhan perumahan dan sanitasi dengan memperbanyak penyediaan rumah-rumah sederhana untuk orang miskin; g. Mengusahakan pemenuhan air bersih dengan pengadaan PAM; h. Menyediakan sarana listrik masuk desa, sarana telekomunikasi dan sejenisnya; dan sebagainya.
106
Lailatis Syarifah: Teori Dasar Ekonomi Mikro dalam Literatur Islam Klasik Pertanyaannya kini adalah seberapa besar efek pemberdayaan yang telah ditimbulkan berbagai program tersebut pada lapisan masyarakat miskin yang menjadi sasarannya? Pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan patut untuk dievaluasi keberadaannya di tengah masyarakat. Dengan evaluasi ini akan diperoleh informasi tentang hal-hal pokok seperti: ketepatan program dalam mencapai tujuan, permasalahan dan kendala yang dihadapi, dan bias-bias yang mungkin terjadi dalam implementasi maupun outputnya. Sehingga melalui evaluasi tersebut akan menjadi bahan masukan yang berharga dalam menilai keberadaan, menyusun perencanaan dan pelaksanaan program pengentasan kemiskinan selanjutnya. Berikut evaluasi beberapa program pengentasan kemiskinan yang telah di lakukan oleh pemerintah: a. Kredit Usaha Tani (KUT) Salah satu program pengentasan kemiskinan dalam perkreditan adalah kredit usaha tani (KUT) yang mulai dilaksanakan tahun 1985 dan merupakan bantuan modal kerja bagi petani untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan. Kebijakan pengentasan kemiskinan adalah bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah petani yang menggantungkan hidupnya dengan cara bertani. Kehidupan mereka sebenarnya masih tetap miskin karena lahan miliknya/garapannya sudah sangat sempit sebagai akibat dari berlangsungnya proses fragmentasi lahan secara terus-menerus yaitu dipecah-pecahnya lahan pertanian untuk diberikan atau dibagi-bagikan kepada anak-anaknya secara malwaris. Di sisi lain, upaya pemerintah dalam program peningkatan produksi pangan terutama beras demi kepentingan nasional, dibutuhkan tambahan biaya produksi di mana sebagian besar petani kurang mampu menyediakannya. Untuk membantu petani, pemerintah menyediakan dan memberikan kredit (KUT) yang berupa: pupuk, obat-obatan (pestisida), dan bibit yang penyalurannya melalui KUD. Pinjaman KUT tersebut harus dikembalikan petani (plus bunganya) segera setelah panen (Sunanto, 2017). Program ini menempatkan Bank, Koprasi, LSM dan kelompok tani hanya sebagai mesin penyalur kredit, sedangkan tanggungjawab kredit terletak di tangan Departemen Koprasi.
107
EkBis: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1, No. 1. Halaman 101-122 Pada tahun 1998, platfon KUT mencapai 8,4 triliun rupiah naik 13 kali lipat dari sebelumnya. Para petani menyebut program ini sebagai “kesalahan bertingkat enam” karena: 1) pelaksanaan KUT tidak benar-benar memberdayakan petani; 2) mesin penyalur KUT (LSM, Bank, Koprasi), ditunjuk tidak diseleksi secara ketat; 3) Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) dibuat secara serampangan, banyak fiktifnya; 4) kredit diberikan kepada siapa saja termasuk non-petani, sehingga kurang tepat sasaran; 5) tidak ada pengawasan dalam penyaluran, penerimaan dan penggunaan kredit; 6) dana penyaluran banyak bocornya, mulai dari Departemen Koperasi, hingga ke KUD. Akibatnya per September 2000, tunggakan KUT mencapai 6,169 triliun rupiah atau 73,69% dari realisasi kredit. b. Inpres Desa Tertinggal (IDT) Program INPRES Desa Tertinggal (IDT) menjadi bahan pembicaraan di mana-mana ketika Pemerintah mencanangkannya pada tanggal 27 Desember 1993, dan mengimplementasikan program tersebut pada 1 April 1994. Ada secercah harapan, meski sebenarnya program penghapusan kemiskinan secara tidak langsung juga sudah diupayakan dengan terintegrasi melalui program-program lain.Pertama-tama perlu diketahui bahwa program IDT atau Program Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan (PPK) sesuai Inpres No. 5/1993 adalah bagian dari gerakan nasional penanggulangan kemiskinan. Memang benar program IDT dimulai atau dipacu melalui satu program pemerintah berupa: (1) hibah dana Rp 20 juta per desa per tahun (dan berjalan tiga tahun) sebagai modal kerja masyarakat miskin; (2) pendampingan masyarakat/penduduk miskin agar dana hibah tersebut dapat merangsang dan menggerakkan ekonomi rakyat di setiap desa IDT; dan (3) pembangunan prasarana dan sarana fisik pendukung. Tujuan program IDT adalah memberdayakan masyarakat miskin dan menguatkan perekonomian mereka sehingga melalui bekerjanya tiga kemudahan di atas, kegiatan ekonomi dan usaha ekonomi rakyat miskin menjadi kegiatan/usaha yang andal dan mandiri, yang bisa terus
108
Lailatis Syarifah: Teori Dasar Ekonomi Mikro dalam Literatur Islam Klasik
c.
berkembang tanpa tergantung lagi pada bantuan dari luar desa/masyarakat desa. Program IDT memberi kepercayaan penuh kepada penduduk/masyarakat miskin untuk (selanjutnya) mereka dapat memutuskan sendiri bagaimana mengelola aset atau sumber daya yang mulai dikuasai setelah berjalannya program IDT (Mubyarto, 2017). Secara ideal, program IDT yang kemudian banyak diplesetkan menjadi Iki duit titipan atau Iki duite tekor, adalah program pemberdayaan yang menekankan pada upaya-upaya memperkuat dan memampukan usaha-usaha ekonomi rakyat dalam mencapai kemandirian. Menurut (Dumairy, 1999) beberapa kelemahan dalam program IDT adalah: 1) Adanya penekanan pada target-target tertentu sebagai ukuran keberhasilan pejabat di daerah. Hal ini cenderung memperkuat bias birokrasi yang merugikan kelompok penduduk miskin, karena penduduk miskin cenderung kurang responsif terhadap program-program pemerintah. 2) Kewenangan penggunaan dana IDT telah di tentukan dan bahkan cenderung menggurui. Ini dilakukan karena sikap dan perilaku birokrasi pemerintah dearah yang pada umumnya mendominasi pengambilan keputusan pembangunan. 3) Tidak adanya perbaikan sistem manajemen pembangunan. IDT di indikasikan sebagai intervensi pemerintah saja dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan kesenjangan, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan lainnya tidak ada yang sinergik dengan program IDT. 4) Program IDT ini yang bernilai Rp 385 milyar, menjadi kecil di bandingkan dengan nilai program inpres yang lainnya. 5) Program IDT ini adalah bagian dari inpres lainnya sehingga sulit dievaluasi untuk mengukur keberhasilannya dari IDT itu sendiri. Jaring Pengaman Sosial (JPS) Secara umum Program JPS ini berupaya menumbuhkan kegiatan perekonomian masyarakat melalui tahapan penyelamatan dan pemulihan menuju pada tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang normal. Program JPS merupakan suatu program jangka pendek yang sasarannya
109
EkBis: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1, No. 1. Halaman 101-122 adalah masyarakat miskin akibat krisis ekonomi, dengan cara pemberian uang, barang serta pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, Program JPS ini memiliki komponen program, yaitu Program Pemberdayaan daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE), Program Makanan Tambahan Bagi Anak Sekolah (PMT-AS), Program Pembangunan Kecamatan (PPK), dan Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) (Kurniawan, 2000). Berhubung krisis ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat terus berlangsung dan semakin berdampak luas, maka program JPS ini juga mengalami perluasan komponen program. Sehingga muncul komponen-komponen baru program JPS, seperti Program OPK Beras, JPS Bidang Kesehatan, JPS Biaya Siswa dan BBO, Program Pengembangan usaha mikro dan usaha kecil serta program dana tunai kepada masyarakat. Tidak dapat disangkal oleh siapa pun, bahwa implementasi program JPS telah membawa "manfaat" yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat, terutama di tengah suasana krisis. Selain manfaat seperti dikemukakan atas, ternyata tanpa didasari pelaksanan program JPS berpotensi membawa dampak negatif yang sangat mengkhwatirkan bagi kehidupan masyarakat miskin terutama untuk jangka menengah dan jangka panjang. Tentunya pemahaman ini tidak berlaku bagi semua komponen program JPS. Dampak negatif tersebut terutama dapat dilihat dari aspek sikap mental masyarakat miskin sebagai target group program JPS. Melalui mekanisme pemberian bantuan berupa uang gratis dan barang (baca: beras) dengan harga murah tanpa diimbangi dengan sistem pertanggung jawaban yang pasti, melahirkan sikap-sikap dan mental yang kurang baik dan kurang mendidik terutama dalam kacamata pengembangan ekonomi. Di antara sikap-sikap dan mental yang kurang baik dan kurang mendidik tersebut adalah: menurunkan etos kerja, menguatkan sikap malas dan pasrah, kuatnya sikap ketergantungtan pada pihak lain (terutama pemerintah), bisa lahirkan pola konsumsi yang tidak rasional (boros) terutama pada beras, menguatnya sikap manja meminta dan menuntut berbagai bantuan kepada pemerintah dan pihak lainnya dari masyarakat
110
Lailatis Syarifah: Teori Dasar Ekonomi Mikro dalam Literatur Islam Klasik miskin tersebut. Selain itu pula, yang tak kalah mengkhwatirkan yakni muncul sikap mental masyarakat yang cendrung "bangga" atau "suka" dicap atau dikategorikan sebagai orang miskin/tidak mampu, dengan harapan akan mendapat bantuan dari pemerintah. d. Program Dana Bergulir Koperasi, Usaha Kecil Menengah (KUKM) Program dana bergulir adalah bantuan perkuatan pemerintah dalam bentuk uang atau barang modal yang disalurkan kepada Koperasi, Usaha Kecil Menengah (KUMK). Dana tersebut disalurkan melalui pola bergulir. Pola bergulir adalah cara memanfaatkan bantuan kepada KUMK. Tata cara atau persyaratannya diatur dalam keputusan Menteri KUKM. Pola perguliran ini di mulai tahun 2000 dan merupakan salah satu terobosan Kementerian KUKM untuk membantu KUKM dalam rangka menstimulir pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui kebijakan pembinaan dan pengembangan program KUKM. Program dana bergulir yang dikembangkan Kementerian KUKM sampai saat ini ada dua sumber yaitu dari (1) Kompensasi Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) dan (2) Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Semua kegiatan dana bergulir dapat dibagi kepada empat pola pelaksanaan yaitu (1) pola subsidi program kompensasi pengurangan BBM (PKPSBBM) yang dilakukan sejak tahun 2000-2003, (2) pola agribisnis meliputi dua sub pola yaitu (a) pola pengembangan komoditas unggulan dengan plafon dana @ Rp 1 milyar dilakukan sejak tahun 2005, (b) sub-pola peningkatan produksi dengan plafon @ Rp 50 juta dilakukan sejak tahun 2000-2004 dan akan diteruskan pada tahun 2005, (3) pola Modal Awal Padanan (MAP) merupakan stimulan terhadap UKM melalui sentra-sentra produksi. Pola ini disalurkan melalui KSP dan telah dilaksanakan sejak tahun 2000-2004 dengan besaran plafon Rp 150 sampai Rp 250 juta dan (4) pola syariah dilakukan tahun 2003 sampai tahun 2004. Selanjutnya hasil identifikasi menemukan beberapa kelemahan dalam program yaitu: 1) tidak adanya ciri atau spesifikasi pihak ketiga atau rekanan dalam kebijakan,
111
EkBis: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1, No. 1. Halaman 101-122
e.
2) sanksi untuk semua pelaku dalam kegiatan kurang kuat untuk mengawali dan berlangsungnya kegiatan. Sanksi yang ada hanya pada koperasi dan penerima bantuan .Sedangkan bagi pelaku lain tidak ada, apakah dana tersebut sampai secara tepat jumlah,mutu,waktu dan tempat yang ditentukan. 3) status dana bergulir sampai kapan dan kepada siapa belum jelas diatur dan 4) diantara program masih ditemukan ada program yang sudah menerima dan bergulir namun karena dana tersebut masih kurang untuk mewujudkan tujuan yang ditentukan (Panggabean, 2017). P2KP dan P4K (Studi Kasus di DIY) Program P2KP merupakan program penanggulangan kemiskinan untuk wilayah perkotaan yang di kembangkan untuk mengatasi kemiskinan sruktural akibat krisis ekonomi beberapa tahun yang lalu, dijelaskan bahwa P2KP adalah sebuah program pemberdayaan masyarakat. Utamanya ditujukan bagi masyarakat miskin di daerah perkotaan yang menerima dampak paling berat akibat krisis ekonomi. Dijelaskan pula bukan berarti masyarakat miskin perdesaan tidak diperhatikan. Tetapi masyarakat miskin perkotaan menjadi skala prioritas utama program ini, karena mereka tidak memiliki pilihan lain selain sandaran ekonomi keluarganya. Di sisi lain menurut pemahaman saya, masyarakat miskin perkotaan karena kondisi dan pengaruh kepentingan tertentu, memiliki peluang besar untuk melakukan gerakan massa guna memperoleh hak-hak dasar mereka. Bahkan yang paling ekstrim sekalipun. Seperti pernah terjadi, terprovokasinya gerakan anarki dalam bentuk penjarahan dan pengrusakan oleh sebagian massa daerah perkotaan sebagai akibat kecemburuan sosial dan ekonomi. Sementara masyarakat perdesaan meskipun memiliki peluang yang sama, tetapi karakter kepribadian dan lingkungan mereka yang saling berbeda, kemungkinan melakukan gerakan massa sangat relatif. Kecuali provokasi bernuansa SARA, yang dilakukan secara sistematis untuk suatu kepentingan politik (Surachmad, 2017). Garis kemiskinan yang digunakan dalam P2KP adalah garis kemiskinan yang disepakati oleh masyarakat setempat. Sedangkan P4K, program yang lebih banyak dikembangkan di
112
Lailatis Syarifah: Teori Dasar Ekonomi Mikro dalam Literatur Islam Klasik pedesaan, cenderung menggunakan standar garis kemiskinan absolut secara nasional yang statis, yaitu pengeluaran perkapita setara dengan 320 kg beras per orang per tahun (standar yang di gunakan sejak tahun 1979/1980). Jika di perkirakan harga beras tahun 2004 adalah Rp3.000,00 per kg, garis kemiskinan tersebut setara dengan Rp960.000,00 per orang per tahun atau Rp80.000,00 per orang per bulan (Hamid, 2006). Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta relatif cukup baik. Baik program P2KP ataupun P4K, DIY merupakan daerah yang mendapatkan dana program cukup memadai dibandingkan dengan kondisi rata-rata daerah lainnya. Jika di perhitungkan dana program per kelompok terkecil KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), dana yang diterima rata-rata adalah Rp3.656.000,00 untuk P2KP, dimana sebagian KSM merupakan KSM yang baru saja di bentuk setelah adanya program dan sebagian merupakan KSM yang sudah ada secara formal ataupun informal dalam masyarakat. Untuk program P4K, dana yang diterima setiap kelompok rata-rata adalah Rp7.647.672,00. Hingga program P2KP tahap ke-2, alokasi dana P2KP mencapai Rp41,5 milyar untuk empat wilayah kabupaten dan satu kota. Dana yang diterima setiap kelompok BKM rata-rata adalah Rp253.018.000,00 dan rata-rata BKM penerima dana terbesar adalah di daerah Bantul (sekitar Rp300 juta per BKM) di bandingkan dengan daerah lainnya, sedangkan KSM penerima dana terbesar adalah di kota Yogyakarta (Rp3.280.000, per KSM). Hal ini terjadi karena banyaknya anggota KSM untuk setiap BKM di daerah Bantul. Di sisi lain, ketersediaan dana program P4K menunjukkan adanya peningkatan. Dalam tiga bulan terakhir (September 2004), jumlah dana P4K yang diterima masyarakat DIY selalu meningkat dengan rata-rata Rp7.600.000,00 per kelompok. Jumlah kelompok penerima program P4K meliputi 5.831 BKM, dimana setiap BKM memayungi beberapa KSM. Kelompok terbesar terdapat di kabupaten Sleman, sedangkan dana perkelompok terbesar terdapat di kabupaten Bantul, hingga mendekati 8,5 juta.
113
EkBis: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1, No. 1. Halaman 101-122 Di wilayah DIY, program penanggulangan kemiskinan telah menjangkau 561.672 penduduk DIY yang meliputi 13.469 KSM yang di koordinasikan oleh 164 BKM. Sedangkan program P4K mampu menjangkau 5.831 kelompok usaha KPK dan meningkat 2,0% per bulan. Dengan rata-rata anggota KPK adalah 10 kepala keluarga, diperkirakan program ini telah menjangkau sekitar 58.310 KK atau sekitar 157.301 penduduk. Program P2KP di gulirkan di 64 kelurahan se propinsi DIY, 17 kelurahan di Kabupaten Kulon Progo, 16 Kelurahan di Kabupaten Bantul, masing-masing 11 kelurahan di Kabupaten Gunung Kidul dan Sleman, dan 11 Kelurahan di kota Yogyakarta. Dari 64 Kelurahan (BKM) tersebut, sebagian besar termasuk BKM kecil, yang mendatangkan Beberapa hal yang ditemukan sebagai penghambat berlangsungnya program P2KP dan P4K adalah sebagai berikut: 1) Skim kredit yang dikucurkan oleh pemerintah dalam rangka pengentasan kemiskinan memiliki berbagai ketentuan yang mengatur agar penyalurannya tidak salah sasaran. Sebagai contoh ketentuan tersebut adalah pembatasan nilai pinjaman bagi kelompok atau individu, termasuk bagi kelompok yang sudah maju/berkembang. Ketentuan ini dinilai baik agar dalam penyaluran tetap sesuai dengan skema dalam program tersebut. Namun demikian, bagi kelompok yang sudah sukses dalam pengembangan usaha dan sudah tidak memenuhi kriteria skim kredit dalam program ini, kelompok ini akan mengalami kesulitan mendapatkan pinjaman modal kerja untuk mengembangkan usaha lebih lanjut, dikarenakan tidak ada jenjang program lain yang terintegrasi dengan program yang sudah ada. 2) Sistem pertanggungjawaban yang saling mengikat antara kelompok (tanggung renteng) yang diterapkan dalam program kredit justru menghambat laju perkembangan pada kelompok yang potensial dan berkembang dengan baik. Namun karena ada kelompok lain yang tidak maju, misalnya gagal dalam pengembalian kredit, maka kelompok yang sudah berkembang juga akan tertutup akses kredit akibat ketentuan tanggung renteng dalam pengembalian kredit program. Hal ini justru menciptakan trade off dalam
114
Lailatis Syarifah: Teori Dasar Ekonomi Mikro dalam Literatur Islam Klasik
3)
4)
5)
6)
7)
penanggulangan kemiskinan karena lebih maju bagi kelompok yang sukses dalam pengembalian kredit. Banyak kelompok yang merasakan bahwa terjadi ketidaktepatan pencairan kredit (timing) dimana pada saat mereka memerlukan modal kerja dengan segera karena ada peningkatan order usaha. Namun karena adnya administrasi program dan penyeragaman waktu dalam penurunan dana kredit sehingga dari sisi usaha banyak kelompok yang kehilangan potensi (potential loss) untuk meningkatkan produksi. Sebagai contoh, kelompok kerajinan makanan akan berpotensi mendapat keuntungan apabila mampu memenuhi pesanan pada musim libur dan hari raya (Ramadhan dan Idul Fitri), namun karena pada bulan tersebut pengajuan kredit untuk modal belum terpenuhi sehingga skala produksi mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan/permintaan pasar. Dengan demikian, banyak kelompok yang mengalami kehilangan potensi akibat administrasi pencairan kredit yang tidak fleksibel. Kurangnya integrasi program dan koordinasi antar instansi pengelola program menyebabkan permasalahan ketidaktepatan alokasi (misalokasi) dana program. Hal ini ditemukan pada beberapa kasus, dimana satu individu bisa mendapatkan lebih dari dua program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan, sementara banyak komunitas yang tidak mendapatkan. Ini lebih dikarenakan tidak adanya koordinasi intensif antarinstansi pelaksana program, khususnya dalam hal proses verivikasi kelompok/individu yang terlibat dalam program (Hamid, 2006); Banyak anggota masyarakat yang tidak mengerti P2KP bahkan di kelurahan yang menjadi wilayah sasaran. Sehingga P2KP seringkali disamakan dengan program JPS atau sejenisnya; Pembentukan KSM dan BKM yang terkesan terburu-buru hanya karena mengejar target waktu pencairan dana tanggal 15 Maret 2000; Adanya sejumlah BKM melakukan improvisasi di luar buku manual dengan memberlakukan berbagai peraturan, yang
115
EkBis: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1, No. 1. Halaman 101-122
f.
intinya bagaimana dana pinjaman tidak "dikemplang" oleh para anggota KSM; 8) Sejumlah BKM ramai-ramai menyiapkan dirinya sebagai calon "Bank Mikro", BPR, Yayasan, Koperasi atau sejenisnya; 9) Kecendrungan sejumlah pengurus BKM yang mengartikan BKM sebagai wadah usaha pribadi, keluarga atau kelompok tertentu. Bukan forum anggota KSM yang seharusnya merupakan lembaga keswadayaan masyarakat yang merepresentasikan keragaman anggotanya; 10) Pembentukan KSM yang cenderung hanya digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dana pinjaman dari program P2KP (Surachmad, 2017). Bantuan Tunai Langsung (BLT) Program BLT pertama kalinya diterapkan di Indonesia sebagai bantuan langsung untuk keluarga miskin sebagai kompensasi dari satu kebijakan pemerintah yang menyulitkan mereka. Hal yang selalu terdengar dari penerapan program tersebut adalah tidak tepatnya sasaran. Penelurusan keasalahan selalu berujung kepada tidak akuratnya data keluarga miskin di Indonesia. Sedangkan beberapa kelemahan dari program ini adalah: 1) Banyak warga miskin yang belum menerima BLT pada tahap pertama 2008, karena belum terdata sebagai penerima BLT. Akibat lemahnya metodologi dalam validasi data penerima BLT. Saat ini data yang digunakan adalah data warga miskin tahun 2005. "Padahal dalam kurun waktu 3 tahun sesudahnya data tersebut belum tentu valid, karena kemungkinan ada warga yang pindah atau meninggal dunia", kata Peneliti Senior P2ELIPI Wijaya Adi. 2) Distribusi kartu BLT saat ini belum merata. Contoh terjadi di Bandung pelaksanaan pencairan kartu BLT masih sepi, karena rumah tangga miskin (RTM) belum menerima kartu BLT yang diperlukan untuk mencairkan dana BLT. 3) Kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan cabang PT Pos Indonesia di daerah. Sejumlah warga miskin di kota Manado, Sulawesi Utara, dan Kotabaru Kalimantan Selatan belum menerima penyaluran BLT, karena PT Pos
116
Lailatis Syarifah: Teori Dasar Ekonomi Mikro dalam Literatur Islam Klasik Indonesia di sana menyatakan belum menerima instruksi resmi penyaluran BLT dari pemerintah pusat. 4) Pemberian BLT dinilai kurang efektif untuk memecahkan kesulitan warga miskin. Dengan jumlah dana BLT sebesar Rp100.000,-/bulan tetap saja tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Apalagi jumlah dananya juga tidak bertambah dari tahun 2005 hingga sekarang. "Padahal tingkat inflasi meningkat dan harga barang-barang kebutuhan pokok juga merangkak naik," katanya. 5) Program BLT berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Sebagai contoh, kata dia, ratusan kepala desa di wilayah III Cirebon menolak kebijakan pemberian BLT sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Berdasarkan pengalaman BLT pada 2005, pembagian BLT selalu menyisakan gejolak di masyarakat karena pasti ada warga miskin yang tidak masuk daftar akibatnya melakukan protes ke kepala desa (Ma'ruf, 2017). 6) Menurut analisis Supardi, cara pemerintah mengatasi kemiskinan akibat kenaikan BBM dengan memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT), sebagai suatu kebijakan yang tidak memihak rakyat, sekedar ngeyem-ngeyemi rakyat miskin dengan BLT. BLT memiliki sejarah tidak baik dan tidak sehat bagi rakyat, serta birokrasi pemerintah pada tingkat paling rendah. Selama ini, BLT telah membuat pandangan memilukan di masyarakat, antri berebut (Supardi, 2008). Ada beberapa strategi pembangunan yang telah dilakukan dengan maksud mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia, meskipun kebijakan ini dilakukan tidak secara langsung menyerang penyebab kemiskinan yang paling mendasar itu sendiri (Tjokrowinoto, 1993). Pertama, mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dengan cara menyelenggarakan berbagai proyek Inpres karena proyek ini akan mendatangkan pentransferan sumber-sumber dana pembangunan dari pusat ke daerah. Kedua, mempermudah lapisan sosial miskin untuk memperoleh akses dalam berbagai pelayanan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, air bersih dan sanitasi. Ketiga, penyediaan fasilitas-fasilitas kredit untuk masyarakat lapis bawah seperti,
117
EkBis: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1, No. 1. Halaman 101-122 KUT, Kupedes, BKK, KCK, Kredit Bimas, dan lain-lain. Keempat, pembangunan infrastruktur ekonomi pedesaan, khususnya pembangunan pertanian. Kelima, pengembangan kelembagaan seperti Program Pengembangan Wilayah (PPW), Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4kt), Inpres Desa Tertinggal (IDT), dan lain-lain (Rais, 1999). Apapun nama program pemberdayaan masyarakat di tingkat lokal, regional, maupun nasional, semua bermuara pada masyarakat kecil sebagai pelaksana di lapangan. Mereka sering menjadi bulan-bulanan propaganda, yang dimukanya terkesan mampu meningkatkan kesejahteraan yang selama ini diidamkan. Setiap program yang dijalankan hampir menawarkan proses yang mudah, murah, dengan impian hasil yang menjulang tinggi. Propaganda ini mirip alurnya dengan masyarakat yang terbuai oleh perjudian, yaitu dengan modal sekecil-kecilnya akan memberikan hasil yang setinggi-tingginya. Kalau kita cermati, target pelaksanaan program memang bukan memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Target pelaksanaan lebih didasarkan pada hasil sesaat berupa laporan pelaksanaan kegiatan di lapangan, seperti terbaginya beras bantuan kepada sekian Kepala Keluarga (KK), terbaginya sekian ternak, tertanamnya jenis pohon tertentu yang dianggap prospektif, dll. Sangat jarang propaganda yang menargetkan hasil pada peningkatan penghasilan masyarakat. Jika kita cermati, banyak program yang selama ini dijalankan lebih banyak terjebak pada aturan birokrasi semata, yang terbatasi oleh waktu (6 bulan), tenaga dan biaya. Program yang sering dijalankan lebih banyak pada pemberian suatu barang habis pakai. Sementara masyarakat miskin lebih banyak mendambakan perubahan nasib yang dimulai dari peningkatan penghasilan. 2.
Program Pengentasan Kemiskinan Berbasis Dasawisma Dasawisma sebagai salah satu wadah kegiatan masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam melaksanakan program-program gerakan PKK ditingkat Desa dan Kelurahan yang nantinya akan berpengaruh pada kegiatan gerakan PKK di Kecamatan dan Kabupaten.
118
Lailatis Syarifah: Teori Dasar Ekonomi Mikro dalam Literatur Islam Klasik Sesuai dengan nawacita Presiden RI Joko Widodo yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerahdaerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Dimana dasawisma adalah kelompok terkecil yang sangat berperan dalam melaksanakan pendataan keluarga dalam kelompok keluarga kecil di tingkat desa dan kelurahan. Ada dua strategi pengentasan kemiskinan yang berbasis dasawisma yang dapat dilakukan. Pertama, strategi pemberdayaan rumahtangga anggota kelompok dasawisma. Rumahtangga miskin di perdesaan maupun perkotaan dengan potensi yang dikuasainya mengatasi kemiskinan dengan cara mereka sendiri. Strategi utama biasanya adalah dengan memanfaatkan potensi tenaga kerja rumah tangga: pria dan wanita, dewasa maupun anak-anak. Pada rumahtangga lapisan bawah atau miskin seringkali peranan wanita mencari nafkah (produksi) lebih nyata dibanding pada rumah tangga lapisan menengah dan atas yang lebih kaya. Keterlibatan akses sumber daya ekonomi, dalam hal ini tanah dan modal, menyebabkan rumah tangga miskin di perdesaan berupaya memanfaatkan potensi tenaga kerja yang rasional. Konsolidasi tenaga kerja dalam strategi alokatif rumah tangga miskin itu sangat ketat. Dalam strategi ekonomi rumahtangga miskin perdesaan misalnya, wanita seperti juga pria biasanya memiliki peran yang sangat penting sebagai pencari nafkah di bidang pertanian maupun non-pertanian. Hal ini berarti, memberdayakan anggota rumahtangga yang laki-laki sama pentingnya dengan memberdayakan anggota rumahtangga yang perempuan. Kedua, strategi pengentasan kemiskinan yang bertumpu kepada kekuatan komunitas dasawisma itu sendiri dalam arti kata menggunakan kekuatan-kekuatan sosial di dalam komunitas tersebut untuk mengentaskan kemiskinan, dalam hal ini adalah komunitas dasawisma. Di kalangan rumah tangga miskin di pedesaan maupun di perkotaan biasanya juga ada pertukaran atau konsolidasi sumberdaya antar rumah tangga, baik itu rumahtangga lapisan maupun antar lapisan. Dalam hal ini, menjadi relevan untuk mengaitkan strategi pengentasan kemiskinan dengan konsep-konsep energi sosialbudaya kreatif, suatu kekuatan internal pada tingkat lokalitas (komunitas) seperti nagari, jorong, kampung dan kelompok
119
EkBis: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1, No. 1. Halaman 101-122 ketetanggaan ataupun kewargaan. Konsep energi sosial kretaif ini menunjuk pada tiga aspek, yaitu: (a) gagasan (ideas) dasar yang disepakati teantang suatu tujuan positif, (b) harapan atau cita-cita (ideal) yang disepakati tentang wujud mencapai tujuan itu, dan (c) kebersamaan (friendship) dalam upaya mencapai tujuan itu. Energi sosial itu terdapat pada satuan lokalitas dalam bentuk pranatapranata yang berorientasi pada kesejahteraan bersama yang telah dijelaskan sebelumnya (Afrizal, 1997). Dapat disimpulkan bahwa program pengentasan kemiskinan berbasis dasawisma harus mendapatkan dukungan dari pihak internal anggota dan eksternal masyarakat luas dan pemerintah. Secara prinsip program ini akan berhasil jika memenuhi kriteriakriteria berikut: a. Komunitas dasawisma didorong dan dikondisikan untuk aktif mengentaskan kemiskinan di dalam komunitasnya dengan menggunakan sumber-sumber setempat dan bantuan dari luar. Tujuannya agar lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh masyarakat tempatan aktif dan proaktif melakukan upaya-upaya pengentasan kemiskinan dalam komunitasnya dengan menggunakan sumber-sumber setempat dan bantuan dari luar. b. Lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh masyarakat ikut aktif memonitor upaya-upaya pengentasan kemiskinan dalam dasawisma c. Pemerintah perlu membantu dasawisma untuk melakukan pengentasan kemiskinan, baik secara kebijakan program dan pendanaan. d. Bantaun-bantuan anti kemiskinan dari pemerintah atau dari pihak lain selalu melibatkan dasawisma, karena keberhasilan program pengentasan kemiskinan tergantung pula padanya. Lembaga-lembaga lokal mestilah diupayakan untuk terlibat dalam berbagai tahap program dan dengan demikian mereka merasa memiliki program itu dan akibatnya mereka ikut bertanggung jawab terhadap pelaksananan dan keberhasilannya. DAFTAR PUSTAKA Afrizal. 1997. Ikatan Kekerabatan Sebagai Sebuah Jaringan Sosial Ekonomi: Diskusi tentang Isu-Isu Perubahan Pada Ikatan
120
Lailatis Syarifah: Teori Dasar Ekonomi Mikro dalam Literatur Islam Klasik Kekerabatan Matrilineal Minangkabau. Jurnal Pembangunan dan Perubahan Sosial. Ahmad, Zainal Abidin. 1979. Dasar-dasar Ekonomi Islam. Cet. 1. Jakarta: Bulan Bintang. Al Munawwar, Sayid Aqil Hussein. Mencari Solusi Kemiskinan Umat Islam di Indonesia", di kutip dari http: // www. Center for Moderate Muslim Indonesia. Net/ diakses Februari 2017. Ancok, Dj. 1995. Pemanfaatan Organisasi Lokal untuk Mengentaskan Kemiskinan’, dalam Awan Setya Dewanta dkk., ed. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Chambers, R. 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES. Dumairy. 1999. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Hamid, Edy Suandi. 2006. Ekonomi Indonesia: dari Sentralisasi ke Desentralisasi. Yogyakarta: UII Press. Kurniawan. Catatan Kritis untuk Program JPS. Pontianak Pos, Selasa 5 Desember 2000. Ma'ruf, Muhammad. Lima Kelemahan Program BLT: Sektor Riil" dikutip dari http://www.okezone.com/ -artikel ekonomi/ diakses Februari 2017. Mubyarto. Progam IDT Setelah Tiga Tahun. Dikutip dari http://
[email protected]/ diakses Februari 2017. Muhadjir, Noeng. 1989. Metode Penelitian, Yogyakarta: Raka Sarasin. Panggabean, Riana. Efektifitas Program Dana Bergulir Bagi Koperasi dan UKM. Dikutip dari http:// www.EvaluasiProgramPengentasanKemiskinan.Com/ diakses Februari 2017. Rais, M. Amien. 1999. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Cet. Kedua. Yogyakarta: Aditya Media. Sahdan, Gregorius. Menanggulangi Kemiskinan Desa. Dikutip dari http:// www.ekonomirakyat.org,/Jurnal Ekonomi Rakyat/ diakses Februari 2017. ______. Menanggulangi Kemiskinan. Dikutip dari http: // www.ekonomirakyat.org/ diakses Februari 2017. Statistik Indonesia 2004 Sunanto, Hatta. Pemerintah Dihadapkan Dilema KUT. Dikutip dari http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=155834&actmenu=39, diakses Februari 2017
121
EkBis: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1, No. 1. Halaman 101-122 Supardi. 2008. Analisis BLT Mahasiswa. Kedaulatan Rakyat. No. 234, Tahun LXIII (30 Mei 2008), hal. 1, Kolom 1. Surachmad, Achmad. Quo Vadis P2KP. Dikutip dari http: /www.P2KP.Com/ accesed Februari 2017 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet 9, Balai Pustaka, Jakarta. Tjokrowinoto, Moeljarto. 1993. Strategi Alternatif Pengentasan Kemiskinan. makalah untuk seminar bulanan P3PK UGM.
122