PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN NASIONAL (TELAAH KURIKULUM PAI) Mustajab Fakultas Tarbiyah IAINU Kebumen E-mail:
[email protected]
Abstrak Pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat. Sebagian pengamat pendidikan berpendapat bahwa krisis ekonomi dan politik, terutama krisis moral yang melanda masyarakat Indonesia secara berkepanjangan disebabkan pembinaan mental yang gagal. Hal ini menandakan bahwa Pendidikan Islam telah gagal membina masyarakat, khususnya peserta didik untuk menjadi insan yang beriman dan bertakwa. Pendidikan agama Islam harus berusaha berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan nonkeagamaan. Pendidikan agama islam tidak boleh dan tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan nonkeagamaan, sehingga ada pembuatan budaya yang bernafaskan Islam di sekolah umum. Pendidikan agama Islam di sekolah lebih diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti pada tataran kompetensi (competence), tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama islam tersebut dalam kehidupan seharihari. Kata Kunci: Pendidikan Islam, Kurikulum, Pendidikan Agama Islam
249
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat serta globalisasi dewasa ini berdampak positif dan negatif terhadap kehidupan masyarakat, baik secara kehidupan individu maupun sosial kemasyarakatan. Dalam konteks inilah pendidikan berperan sangat penting untuk memelihara dan melindungi norma dan nilai kehidupan positif yang telah ada di masyarakat suatu negara dari pengaruh negatif perkembangan iptek dan globalisasi. Proses pendidikan yang benar dan bermutu memberikan bekal dan kekuatan untuk memelihara ”jatidiri” dari pengaruh negatif globaliasasi, bukan hanya untuk kepentingan individu peserta didik, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat dan negara. Oleh karena proses pendidikan itu terjadi di masyarakat, -dengan menggunakan berbagai sumber daya masyarakat dan untuk masyarakat,- maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap kebutuhan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, ekonomi, politik, dan kenegaraan secara simultan dengan barometer nilai-nilai Agama maupun aturan perundangan yang berlaku di masyarakat maupun negara Indonesia. Sehingga Pendidikan Islam (PI) memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional yakni terletak pada fungsi pentingnya dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, yang utamanya dalam mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Hal ini menjadi bagian esensial dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Namun yang menjadi masalah adalah seberapa jauh peran strategis Pendidikan Islam ini telah diperankan secara efektif pada dataran operasional pendidikan agama, terutama dalam pembentukan kepribadian bangsa. Pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat. Sebagian pengamat pendidikan berpendapat bahwa krisis ekonomi dan politik, terutama krisis moral yang melanda masyarakat Indonesia secara berkepanjangan disebabkan pembinaan mental yang gagal. Hal ini menandakan bahwa Pendidikan Islam telah gagal membina masyarakat, khususnya peserta didik untuk menjadi insan yang beriman dan bertakwa. Menurut Nurcholis 250
Pengembangan Pendidikan Islam dalam Konteks Pembangunan Nasional (Telaah Kurikulum Pai)
Madjid bahwa kegagalan Pendidikan Islam disebabkan dalam pembelajaran PAI lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan, bukan pada pemaknaannya.1 Proses belajar-mengajar diakui selama ini masih mengejar target pencapaian kurikulum yang telah ditentukan, padahal yang diperlukan lebih pada suasana keagamaan. Diasumsikan bahwa problem Pendidikan Islam berkaitan dengan pemikiran pendidikan Islam yang direfleksikan dalam pengembangan kurikulum yang ada sekarang ini lebih mengarah beberapa aspek, yakni: pertama, pengembangan kurikulum lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politis daripada pemikiran filosofispedagogis. Kedua, pengembangan kurikulum PAI masih bersifat parsial. Ketiga, kurikulum PAI lebih berorientasi pada pencapaian target materi (materi oriented) daripada kemampuan dasar dalam melakukan perbuatan dan memecahkan problem keagamaan siswa. Keempat, pembelajaran PAI lebih cenderung pada pengembangan aspek kognitif, sehingga tidak dapat mengembangkan kepribadian siswa secara integratif, bahkan PAI lebih lebih cenderung berfungsi sebagai penyekolahan (schooling), sedangkan sebagai fungsi pendidikan (education) nilai dan ajaran islam masih kurang efektif.2 Berangkat dari sinilah, perlu adanya pemikiran pendidikan Islam yang direfleksikan dalam kurikulum PAI secara serius. Perlunya kajian-kajiaan tersebut akan bermanfaat bagi pengembangan pendidikan islam di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui konstruks dan pemetaan pemikiran (filsafat) pendidikan yang memahami kecenderungan, pola-pola, kerangka teoritis dan substansi pemikiran serta sikap dalam merespon persoalan pendidikan islam, sosial, politik, moral di Indonesia. Kemudian ditelaah secara kritis dan dicarikan jalan solusi, sehingga pendidikan islam yang ada disesuaikan dan dikembangkan dalam konteks keindonesian di masa depan. Maka makalah ini berusaha untuk memotret Pendidikan Islam dalam konteks pembangunan nasional.
1 2
Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: Rosda Karya, 2005), hlm 165. Tasman Hamami, Pemikiran Pendidikan Islam, dalam ringkasan Disertasi Program Pasca Sarjana UIN Yogyakarta, 2006. hlm 1.
251
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
PERAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PENDIDIKAN NASIONAL Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.3 Menurut Dr. Muhammad Ibrahim SA, sarjana pendidikan Islam Bangladesh menyatakan bahwa: Islamic education in true sense of term, is a system of education which en-anbles a man to lead his life according to the Islamic ideology, so that he may easily mould his life ini according with tenents of Islam. Pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang mampu menjalani kehidupan sesuai dengan ideologi Islam, sehingga ia dalam menjalani hidupnya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.4 Sedangkan pengertian Pendidikan Islam menurut Ibnu Hadjar adalah: “Pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam sehingga terbentuk manusia muslim yang diidealkan.”
5
Dari uraian tentang pendidikan Islam tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa unsur dalam pendidikan Islam, sebagai berikut:6 1) Pendidikan dilakukan untuk mengembangkan semua potensi manusia dan usaha untuk meningkatkan kepribadiannya dan dilakukan secara kontinyu dari lahir sampai meninggal. 2)
Sasaran pendidikan adalah keseluruhan eksistensi manusia, intelektual, ilmiah, jasmaniah, spiritual, imajinatif dan aspek-aspek lain.
3 4 5 6
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra Umbara, 2003), hlm 3. H.M. Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat, (Jakarta : Golden Pers,, 1991), hlm.7. Ibnu Hadjar, Pendekatan Keberagaman Dalam Pemilihan Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam, dalam H.M. Chabib Toha, dkk (ed), Metodologi Pengajaran Agama, (Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1994), hlm. 14-1. Ibid, hlm 16.
252
Pengembangan Pendidikan Islam dalam Konteks Pembangunan Nasional (Telaah Kurikulum Pai)
3) Dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab yang meliputi aspek individu dan sosial kemasyarakatan, sehingga menjadi manusia yang bermanfaat baik secara individu atau sosial. 4) Memiliki tujuan dan sasaran tertentu sesuai dengan nilai-nilai Islam Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan Pendidikan Nasional yakni pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 7 Dalam Permendiknas no.22 tahun 2006 tentang standar isi menyebutkan bahwa tujuan mata pelajaran pendidikan agama islam yakni untuk mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan beraklak mulia, yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur adil, etis, berdisiplin, bertoleransi, menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.8 Pendidikan agama Islam adalah pendidikan yang kompleks karena menyentuh keseluruhan ranah pendidikan. Pendidikan agama tidak saja menyampaikan materi pengetahuan agama kepada peserta didik tetapi juga membimbing anak didik untuk berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan agama yang mengedepankan nilainilai akhlakul karimah sebagai perilaku dasar yang harus dimiliki oleh peserta didik. Posisi pendidikan agama Islam sebenarnya sudah jelas, yakni sebagai “core” pendidikan nasional. Hanya saja dalam praktinya di lapangan kadangkala mengalami proses reduksi pemahaman dan penerapan, sehingga melahirkan sikap dan perilaku yang eksklusif dan diposisikan marginal. Ada sedikit kekeliruan menempatkan mata pelajaran PAI sebagai mata pelajaran pendukung di dalam kurikulum di sekolah. Sehingga menjadikan mata pelajaran PAI ini menjadi tidak penting diajarkan. Padahal PAI memiliki level yang sama diantara mata pelajaran lainnya. 7 8
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional…, hlm 7. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 2009), hlm 45.
253
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI DI INDONESIA Di dalam Undang - Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.9 Sehingga kurikulum merupakan salah satu komponen pokok aktivitas pendidikan, dan merupakan penjabaran idealisme, cita-cita, tuntunanan masyarakat, atau kebutuhan tertentu. Dari kurikulum inilah akan diketahui arah pendidikan, alternatif pendidikan, fungsi pendidikan, serta hasil pendidikan yang hendak dicapai dari aktivitas pendidikan. Kurikulum Pendidikan agama Islam di sekolah terdiri atas beberapa aspek, yaitu aspek al-Qur’an Hadits, Keimanan/ Aqidah, Akhlak, Fiqih (hukum Islam), dan aspek Tarikh (sejarah). Meskipun masing-masing aspek tersebut dalam praktiknya saling terkait (mengisi dan melengkapi), tetapi jika dilihat secara teoritis masing-masing memiliki karaketristik tersendiri sebagai berikut:10 1) Aspek al Qur’an dan hadits, menekankan pada kemampuan baca tulis yang baik dan benar, memahami makna secara tekstual dan kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. 2) Aspek akidah, menekannkan pada kemampuan memahami dan mempertahankan keyakinan/keimanan yang benar serta menghayati dan mengamalkan nilai-nilai asma’ al husna. 3) Aspek akhlak, menekankan pada pembiasaan untuk melaksanakan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari. 4) Aspek fiqih, menekankan pada kemampuan cara melaksanakan ibadah dan muamalah yang benar dan baik. 5) Aspek tarikh dan kebudayaan islam, menekankan pada kemampuan mengambil ibrah (contoh/ hikmah) dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena 9 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional…, hlm 5. 10 Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam..., hlm 33.
254
Pengembangan Pendidikan Islam dalam Konteks Pembangunan Nasional (Telaah Kurikulum Pai)
sosial, budaya, politik, ekonomi, ipteks, dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban islam. Dalam tataran di lapangan, aspek kajian PAI menurut Hasbi Ash-Shidiqqi meliputi:11 1) Tarbiyah jismiyah, yaitu segala rupa pendidikan yang wujudnya menyuburkan dan menyehatkan tubuh serta menegakkannya, supaya dapat merintangi kesukaran yang dihadapi dalam pengalamannya. 2) Tarbiyah aqliyah, yaitu sebagaimana rupa pendidikan dan pelajaran yang akibatnya mencerdaskan akal dan menajamkan akal. 3) Tarbiyah adabiyah, yaitu segala rupa praktek maupun berupa teori yang wujudnya meningkatkan budi dan meningkatkan perangai. Berikut ini tabel. perkembangan kurikulum PAI di sekolah umum pada masa kemerdekaan:12 No Periode Kebijakan
Eksistensi dan Perkembangan PAI
1.
Masa Awal (Pasca
Masih rencana pelajaran, kurikulum
Kemerdekaan/ 1945)
sederhana.
Kurikulum Tahun 1951
Bersifat ganda muka; pendidikan agama
2.
diberlakukan mulai dari SD sampai Perguruan Tingggi, tapi opsional. 3.
Masa Orde Lama
Posisi pendidikan agama : a) Disejajarkan dengan budi pekerti. b) Bagian dari pendidikan cinta bangsa dan tanah air. c) Masih dipengaruhi faham komunisme, konsep Sapta Usaha Tama, konsep Pancawardhana.
11
Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: Rosda Karya, 2005), hlm 138. 12 Tasman Hamami, Pemikiran Pendidikan Islam…, hlm 13.
255
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
4.
TAP MPRS No.II/
Kurikulum tahun 1968; posisi PAI tidak jelas
MPRS/1960 dan
sebagai pelajaraan wajib atau opsi, karena
TAP MPRS No.
kedua TAP berlaku bersamaan.
XXVII?MPRS/1966 5.
TAP MPRS No. XXVIII/
Kurikulum tahun 1968; posisi pendidikan
MPRS/1968 – pencabutan agama sebagai pelajaran wajib. TAP MPRS No.II/ MPRS/1960 6.
7.
8.
Pelita I (1969-
Kurikulum 1975 (efektif 1976); dasar
1973), GBHN 1973,
akademik, konsep PSSI, berorientasi hasil,
perkembangan Iptek.
berprinsip efisien-efektif, satuan pelajaran.
Pelita selanjutnya; GBHN Kurikulum 1984; penyederhanaan kurikulum tahun 1978 dan tahun
1975, ketrampilan proses dikenal dengan
1983
CBSA.
GBHN 1988 amanatkan : a) UUSPN nomor 2 tahun 1989. a) Peningkatan mutu pendidikan. b) Perluasan wajib belajar.
b) Kurikulum tahun 1994 (sarat materi dan overlaping) dan suplemen kurikulum PAI tahun 1994 (1999).
c) Perlu segera UU yang mengtaur sisdiknas. 9.
Reformasi, Otonomi
Kurikulum tahun 2004; Kurikulum Berbasis
Daerah, Desentralisasi
Kompetensi (KBK), dan Kurikulum tahun
Pendidikan.
2006; Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berorientasi mutu.
Kurikulum selalu dinamis, senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam faktor-faktor yang mendasarinya. Bila suatu negara beralih dari negara yang dijajah menjadi negara yang merdeka, maka kurikulum akan mengalami perubahan menyeluruh.13 Hal ini juga, bila ada pergantian pemerintahan atau politik maka 13 Abdurahman Assegaf, Politik Penddikan Nasional, (Yogyakarta : Kurnia Kalam, 2005), hlm 135. Lihat juga S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Bandung : Jemmars, 1988), 218.
256
Pengembangan Pendidikan Islam dalam Konteks Pembangunan Nasional (Telaah Kurikulum Pai)
akan ada perubahan kebijakan terhadap tatanan pemerintahan, termasuk di dalamnya kebijakan pendidikan (kurikulum).
a.
Model Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah Umum Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, aspek-aspek pendidikan telah
mengalami berbagai perubahan dan perbaikan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan (policy) yang pernah diberlakukan dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain. Demikian juga, pendidikan islam mendapat efek dari perubahan kebijakan tersebut. Sehingga dalam kurikulum seperti yang telah dikemukan di depan, mengalami perubahan baik itu dari masa orde lama, orde baru dan reformasi. Maka dapat dilihat corak model pengembangan kurikulum PAI yang pernah berkembang, sebagai berikut :
1) Model Dikotomis Pada model ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana dan kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan yakni pendidikan agama dan pendidikan non-agama. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannaya dikembangkan dalam memandang kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga pendidikan agama islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja.14 Seksi yang mengurusi masalah keagamaan disebut sebagai seksi kerohanian. Dengan demikian, pendidikan agama dihadapkan dengan pendidikan nonagama, pendidikan keislamanan dengan nonkeislaman, dan seterusnya. Menurut Azumardi Azra bahwa pemahaman semacam ini muncul ketika umat islam Indonesia mengalami penjajahan yang sangat panjang. Dimana umat islam mengalami keterbelakangan dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perbenturan umat islam dengan pola pendidikan dan kemajuan barat memunculkan kaum intelektual baru (cendekiawan sekuler). Kaum inteleketual ini mendapat pendidikan ala barat, sehingga dalam proses pendidikan mereka 14
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam..., hlm 59-60.
257
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
menjadi teraliensi (terasing) dari ajaran-ajaran islam itu sendiri.15 Bahkan terjadi gap (kesenjangan) antara kaum intelektual baru (sekuler) dengan intelektual lama (ulama). Maka ulama masa ini dipersepsikan sebagai kaum sarungan yang hanya mengerti persoalan keagamaan dan buta dalam persoalan keduniaan. Pandangan dikotomis ini mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan agama islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting. Sehingga menekankan pada pendalaman al ‘ulum al addiniyah, yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagian akhirat, sementara sains (ilmu umum) dianggap terpisah dengan agama. Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normatif, doktriner dan absolutis.
2) Model Mekanisme Model mekanisme ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya.16 Hal ini sebagaimana sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemenlemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi. Secara sederhana dapat dipahami bahwa aspek-aspek atau nilai-nilai itu sendiri terdiri atas; nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetika, nilai biofisik, dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya bersifat bersifat lateral-sekuensial, berarti diantara masing-masing mata pelajaran tersebut mempunyai relasi sederajat yang bisa saling berkonsultasi.17 Model-model ini dapat dikembangkan pada sekolah umum sebagai upaya pembentukan kepribadian ynag religius. Dalam implikasinya di lapangan sangat 15 Ibid, hlm 61. 16 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam..., hlm 54. 17 Ibid, hlm 54.
258
Pengembangan Pendidikan Islam dalam Konteks Pembangunan Nasional (Telaah Kurikulum Pai)
tergantung pada kemauan, kemampuan atau political-will dari para pemimpin sekolah, terutama dalam membangun hubungan kerja sama dengan mata pelajaran lainnya. Model diatas dapat diaplikasikan melalaui pengintegrasian imtak dengan materi pembelajaran yakni dengan upaya mengintegrasikan konsep atau ajaran agama ke dalam materi (teori, konsep) yang sedang dipelajari oleh peserta didik atau diajarkan oleh guru. Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa cara :18 a)
Pengintegrasian filosofis, yakni bila tujuan fungsional mata pelajaran umum sama dengan tujuan fungsional mata pelajaran agama. Misalnya, Islam mengajarkan perlunya hidup sehat, sementara ilmu kesehatan juga begitu. Demikian juga matematka mengajarkan ketelitian, keuletan, maka Islam juga mengajarkan demikian.
b) Pengintegrasian dilakukan jika konsep agama saling mendukung dengan konsep pengetahuan umum. Misalnya islam mengajarkan membela negara dan taat pada aturan pemrintah, maka tata cara dan pelaksanaan diajarkan oleh mata pelajaran pendidikan kewarganegaran. Pengintegrasian Imtaq dalam memilih bahan ajar dapat dilakukan dengan cara, misalnya guru bahasa Indonesia memilih bahan-bahan ajar yang memuat ajaran islam untuk dibahas, seperti dalam memilih sajak-sajak atau tema-tema kajian yang bernafaskan islam. Ini berarti guru ingin meningkatkan imtaq peserta didik melalui bahasa Indonesia. Sedangkan pengintegrasian imtaq dalam memilih media pembelajaran dapat dilakukkan dengan cara misalnya ketika guru matematika memilih contoh bangunan, maka ia menggunkan contoh bangunan masjid untuk mengganti bangunan rumah. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan hati peserta didik kepada masjid. Tentunya hal ini dilakukan ketika ada peluang untuk mengaitkan dan tidak perlu ada paksaan.
18 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam..., hlm 43-44.
259
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
3) Model Organism/ Sistemik Meminjam istilah biologi, bahwa organism dapat diartikan sebagai susunan yang bersistem dari berbagai jasad hidup untuk suatu tujuan. Dalam konteks pendidikan islam, model organism bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu perwujudan hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.19 Pandangan semacam itu mengarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental value yang tertuang dan terkandung dalam al Qur’an dan as Sunnah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspekaspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai hubungan vertical-linier dengan nilai-nilai agama.20 Melalui upaya semacam iu, maka sistem pendidikan islam diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kematangan professional, dan sekaligus hidup didalam nilai-nilai agama. Melalui upaya tersebut peserta didik dibawa ke pengenalan nilai-nilai agama secara kognitif, penghayatan nilai-nilai agama secara afekif, dan akhirnya penghayatan nilai-nilai agama secara nyata. Atau menurut istilah pedagogik disebut “dari gnosis samapai ke praksis”. Untuk sampai ke praksis, ada satu peristiwa batin yang amat penting yang harus tejadi dalam diri pesera didik, yaitu muculnya keinginan yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai-nilai agama. Peristiwa ini disebut conatio, dan langkah untuk membimbing peserta didik membulatkan tekad ini disebut konatif. 21
19 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam..., hlm 67. 20 Ibid, hlm 67. 21 Ibid, hlm 313.
260
Pengembangan Pendidikan Islam dalam Konteks Pembangunan Nasional (Telaah Kurikulum Pai)
KURIKULUM PAI YANG BERORIENTASI MUTU Dalam UU Sisdiknas tahun 2003 Bab X pasal 36, 37, 38 yang intinya dijelaskan: ”Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik”. Pengembangan kurikulum yang ditetapkan ini, dalam rangka membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah, yang berpengaruh juga pada pemberian otonomi pendidikan, menuntut adanya pengembangan kurikulum yang lebih akomodatif di sekolah. Oleh karena itu, setiap satuan pendidikan Islam dituntut untuk mampu mengembangkan kurikulum dengan mengorientasikan pada peningkatan keimanan dan ketakwaan sebagai pemandu dalam menggali ilmu pengetahuan dan teknologi serta untuk menggali dan memberdayakan keragaman kultur dan potensi daerah, sehingga akan tampil sosok yang berketrampilan dan berakhlak mulia dalam rangka memenuhi tuntutan dunia kerja. Kondisi memprihatinkan yang mendera ini, kemudian Kementrian Agama –pada masa kepemimpinan Muhammad Maftuh Basyuni menggulirkan program pembangunan tata kelola yang baik (good governance), dengan lima program strategis yakni: meningkatkan kualitas kehidupan umat beragama, meningkatkan kerukunan umat beragama, meningkatkan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.22 Secara normatif, Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum sebagai refleksi pemikiran pendidikan Islam yang berfungsi sebagai pengajaran, sosialisasi, internalisasi dan rekontruksi pemahaman ajaran dan nilai-nilai Islam. Secara praxis PAI bertujuan mengembangkan kepribadian muslim yang memiliki kemampuan kognitif, afektif, normatif, dan psikomotorik, yang kemudian dikejawantahkan dalam cara berfikir, bersikap, dan bertindak dalam kehidupannya.23 Sehingga diharapkan dengan pembelajaran PAI dapat menjadikan peserta didik mampu mengembangkan kepribadian sebagai muslim yang baik, menghayati dan 22 Majalah Ikhlas Beramal (versi pdf ), Nomor 61 Tahun XIII Maret 2010, hlm 13. 23 Tasman Hamami, Pemikiran Pendidikan Islam…, hlm 1.
261
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
mengamalkan ajaran serta nilai islam dalam kehidupannya. Dan kemudian PAI tidak hanya dipahami secara teoritis, namun dapat diamalkan secara praxis. Reaktualisasi pendidikan agama islam di sekolah menuntut adanya perubahan aspek metodologi pembelajaran dari yang bersifat dogmatis-doktiner dan tradisional menuju kepada pembelajaran yang lebih dinamis-aktual dan kontekstual. Untuk mengimplementasikan pendekatan kontekstual tersebut diperlukan modal dasar antara lain; pendekatan filosofis dalam memahami teks-teks agama, supaya tidak kehilangan ide-ide segar yang aktual dan kontekstual. Pendidikan agama Islam di sekolah pada dasarnya lebih diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti pada tataran kompetensi (competence), tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Lickona bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan secara berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga moral action.24 Revitalisasi pendidikan agama Islam tidak akan dapat dilakukan jika guru memandang kurikulum yang ada secara sempit. Cara pandang demikian ini mengakibatkan pembelajaran tidak dinamis, terlalu tekstual, dan kurang memperhatikan kontekstual materi pembelajaran dalam kurikulum. Sehingga perlu pemahaman secara utuh tentang konsep kurikulum. Menurut Beane membagi kurikulum dalam empat jenis, yaitu (1) kurikulum sebagai produk, (2) kurikulum sebagai program, (3) kurikulum sebagai hasil belajar yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi siswa. Dan hampir sama menurut Said Hamid Hasan yang berpendapat bahwa setidak-tidaknya terdapat empat dimensi kurikulum, yaitu (a) kurikulum sebagai suatu ide atau konsep, (b) kurikulum sebagai rencana tertulis, (c) kurikulum sebagai suatu kegiatan atau proses, dan (d) kurikulum sebagai hasil belajar.25 Dalam pengembangan kurikulum dilakukan searah dengan perkembangan faktor non-kurikulum, antara lain akibat perubahan ekonomi, politik, sosial, 24 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam..., hlm 313. 25 Suyanto & Djihan Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta : Adicita, 2000), hlm 60.
262
Pengembangan Pendidikan Islam dalam Konteks Pembangunan Nasional (Telaah Kurikulum Pai)
budaya, hukum dan lain-lain, termasuk faktor akademik kurikulumnya. Artinya kurikulum tidak berdiri sendiri, melainkan dilingkari oleh berbagai faktor tersebut.26 Dalam tataran praksis bahwa kurikulum sebagai hasil belajar dan sebagai pengalaman belajar itu yang manageable. Sehingga pembelajaran agama islam bukan sekedar kurikulum tertulis yang hanya disampaikan sebagai pengetahuan (kognitif ) saja. Tapi kurikulum PAI mampu memberikan nilai terhadap peserta didik dengan pemahaman, perilaku, sikap terhadap materi yang ada. Dalam menghadapi tantangan global, maka materi PAI tidak hanya persoalan keagamaan secara sempit namun juga menyentuh wilayah sosial. Maka perlu ada reorientasi wawasan PAI yang kontekstual. Menurut Abdurahman Assegaf bahwa setidaknya ada empat orientasi wawasan PAI yang relevan. Pertama, PAI berwawasan kebangsaan. Kedua, PAI berwawasan demokrasi. Ketiga PAI berwawasan HAM. Keempat PAI berwawasan plularis. Dalam jangka panjang, keempat wawasan PAI diatas diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam mengurangi problematika ekonomi, moral, sosial, dan politik bangsa Indonesia.27 Dalam pelaksanaaannya, diakui PAI mengalami banyak tantangan diantaranya; minimnya jam pelajaran yang diberikan. Dalam waktu yang singkat itu, guru harus menyampaikan materi yang cukup padat terhadap peserta didik.28 Maka diperlukan suatu pendekatan yang efektif agar materi PAI dapat disampaikan secara bermakna, sehingga dapat mengoptimalkan sedikitnya jam mata pelajaran di sekolah. Dalam hal ini, ada beberapa pendekatan yang digunakan baik itu pada tingkat sekolah dasar dan menengah, yakni :29 a)
Pendekatan keimanan, yaitu memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya Tuhan sebagai sumber kehidupan makhluk di alam ini.
26 27 28 29
Abdurahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Kurnia Kalam, 2005), hlm 126. Lihat Abdurahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional…, hlm 245. Lihat Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya : Pustaka Pelajar, 2004), hlm 295. Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Bebnasis Kompetensi..., hlm 170-171.
263
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
b)
Pendekatan pengalaman, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengalaman ibadah dan akhlak dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah dalam kehidupan.
c)
Pendekatan pembiasan, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membiasakan sikap dan perilaku yang sesuai dengan ajaran islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah kehidupan.
d) Pendekatan rasional yaitu memberikan peran pada akal peserta didik dalam memahami dan membedakan berbagai bahan ajar dalam standar materi serta kaitannya dengan perilaku yang baik dan buruk dalam kehidupan. e)
Pendekatan emosional, yaitu upaya menggugah perasaan peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa.
f )
Pendekatan fungsional, yaitu menyajikan bentuk semua standar materi (alQur’an, keimanan, akhlak, fiqh/ibadah dan tarikh) dari segi manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti yang luas.
g)
Pendekatan keteladanan, yaitu menjadikan figur guru agama dan nonmagama serta semua pihak sekolah sebagai cermin manusia yang berkepribadian. Dalam pelaksanaan dilapangan, materi PAI jangan hanya disampaikan terkait
dengan aspek-aspek kognitif dan psikomotorik saja, tetapi juga dari aspek afektif. Padahal hal yang cukup penting terkait dengan pembinaan sikap dan cita rasa beragama terkait dengan aspek afektif. Seharusnya aspek ini mampu built in pada diri peserta didik. Sehingga sebagai solusi yakni melalui keteladan atau peragaan hidup secara riil serta penciptaan suasana yang religius di sekolah umum.
SIMPULAN Pendidikan agama Islam harus berusaha berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan nonkeagamaan. Pendidikan agama islam tidak boleh dan tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan nonkeagamaan, sehingga ada pembuatan budaya yang bernafaskan Islam di sekolah umum. Pendidikan agama Islam di sekolah 264
Pengembangan Pendidikan Islam dalam Konteks Pembangunan Nasional (Telaah Kurikulum Pai)
lebih diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti pada tataran kompetensi (competence), tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama islam tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
265
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
DAFTAR RUJUKAN
Arifin, H.M., Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat, Jakarta : Golden Pers, 1991. Assegaf, Abdurahman, Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta : Kurnia Kalam, 2005. Hadjar, Ibnu, Pendekatan Keberagaman Dalam Pemilihan Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam, dalam H.M. Chabib Toha, dkk (ed), Metodologi Pengajaran Agama, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1994. Hamami, Tasman, Pemikiran Pendidikan Islam, dalam ringkasan Disertasi Program Pasca Sarjana UIN Yogyakarta, 2006. Majid, Abdul & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Bebnasis Kompetensi, Bandung : Rosda Karya, 2005. Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam, Jakarta : Rajawali Press, 2009. ________, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Surabaya : Pustaka Pelajar, 2004. Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dalam www.kemenag.go.id, diakses 2010. Suyanto & Djihan Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta : Adicita, 2000. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung : Citra Umbara, 2003.
266