INTERNALISASI NILAI SOFT SKILLS DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Model Alternatif Pengembangan Kurikulum PAI) Imam Mawardi Dosen Prodi PAI Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang
[email protected] Abstrak Artikel ini memfokuskan pada model alternatif pembelajaran PAI. Sebagaimana dijelaskan bahwa penekanan akhir pembelajaran pai lebih diutamakan pada segi soft skills yang mengikat pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh peserta didik, sehingga akan memunculkan makna bagi pendewasaan peserta didik, meskipun kadarnya berbeda-beda sesuai atribut soft skills yang melekat pada diri peserta didik. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan berfikir, berkata, bertindak dan bersikap. Namun, atribut ini dapat berubah jika yang bersangkutan mau merubahnya dengan cara berlatih membiasakan diri dengan hal-hal yang baru. Penularan soft skills dalam pembelajaran, yaitu melalui:1) Lecturer role model, 2) Message of the week, 3) Hidden curriculum. Hal ini lebih efektif karena selaras dengan misi kependidikan yang dibawah Nabi Muhammad saw yaitu menanamkan aqidah yang benar: yakni aqidah tauhid, memahami seluruh fenomena alam dan kemanusiaan sebagai suatu kesatuan yang holistic. Dalam kerangka tauhid maka kemanusiaan adalah manusia yang memiliki kualitas yang seimbang: beriman, berilmu (beriptek) dan beramal; cakap baik secaraa lahiriah maaupun batiniah; berkualitas secara emosional dan raasional, atau memiliki EQ dan IQ yang tinggi. Kata Kunci: Soft skills, Pembelajaran, PAI, Kurikulum
“Tell me and I will forget… Show me and I may remember… Involve me and I will understand.” Confucius, 450 BC
A. Pendahuluan Pendidikan Islam sebagai konsep yang lengkap dalam mengkaji struktur keilmuan secara universal tidak sekedar keilmuan yang berhubungan dengan akhirat belaka tetapi juga ilmu-ilmu yang berhubungan dengan persoalan keduniaan (profan). Kedua jenis keilmuan ini dalam transformasinya harus berjalan seimbang, karena pada
62
hakekatnya ilmu dunia pun sebagai sarana atau bekal pada kehidupan akhirat kelak. Pendidikan Islam, dalam kajian yang lebih sempit, berhubungan dengan pembelajaran diistilahkan oleh banyak ahli sebagai “pendidikan agama Islam (PAI)” yang mana pendidikan Islam sebagai bidang studi atau mata kuliah yang intinya lebih menitikberatkan pada dataran kajian studi Islam. Muatan materi PAI dalam struktur kurikulum Madrasah terdiri dari mata pelajaran Aqidah dan Akhlaq, Al-Qur’an Hadits, Fiqh, dan
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011
Sejarah Kebudayaan Islam sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri. Hal ini berbeda dengan pendidikan sekolah umum non madrasah dimana pembelajaran PAI sebagai satu kesatuan integral dari materi-materi Aqidah akhlak, Al-Qur’an hadits, Fiqh dan SKI yang dihimpun dalam satu mata pelajaran atau mata kuliah. Pendidikan agama Islam dalam kipranya dalam dunia belajar mengajar menghadapi dua tantangan, yaitu tantangan internal dan eksternal. Secara internal di samping seringkali dihadapkan pada “budaya mengekor” pendidikan umum dari segi metodologi, kurikulum, alat evalusi dan sebagainya, juga ketidakpercayaan diri yang menimbulkan sikap apatis seluruh komponen penyelenggara pendidikan Islam. Meskipun tidak ada salahnya untuk mengikuti konsepkonsep baru yang bisa menimbulkan kegairahan dalam pembelajaran asalkan tidak bertentangan dengan asas Islam. Secara eksternal, hingga saat ini pendididikan agama Islam menghadapi berbagai tantangan yang berat. Di antara tantangan yang dihadapi adalah globalisasi, baik di bidang capital, budaya, etika maupun moral. Era globalisasi adalah era pasar bebas dan sekaligus persaingan bebas dalam produk material dan jasa. Kalau dulu untuk membangun basis ekonomi masyarakat yang kuat sangat mengandalkan pada money capital (modal uang) selanjutnya berevolusi pada human capital, yakni SDM yang menguasai ipteks, dapat mengerjakan tugas secara professional, serta berperilaku dan berpribadi mandiri. Pada perkembangan selanjutnya, kedua capital tersebut dianggap kurang memadai. Justru masyarakat yang mau membangun basis ekonomi
63
yang kuat sangat membutuhkan social-capital yang kokoh, yang inti didalamnya adalah adanya trust (sikap amanah), atau masyarakat yang saling percaya dan bisa dipercaya. Di samping itu, sebagai akibat kemajuan teknologi terutama di bidang informasi, menyebabkan peran pendidik khususnya pendidik agama Islam dalam pendidikan mulai bergeser, terutama dalam pembinaan moralitas peserta didik. Peserta didik saat ini telah mengenal berbagai sumber pesan pembelajaran, ada yang bersifat pedagogis dan mudah dikontrol, dan banyak pula yang sulit dikontrol. (Muhaimin, 2006: 84-86). Kalau selama ini pendidikan secara umum terhadap pengembangan potensi peserta didik, mengikuti ranah kognitif, afektif dan psikomotor secara berurutan, tetapi dalam pendidikan Islam bahwa kognitif dan psikomotor harus secara langsung diikuti afektif. Karena afektif ini merupakan ruh atau inti yang menjadi muara tujuan pendidikan Islam. Sejauhmana pengetahuan ditarnsferkan dan seluas apakah ketrampilan dikuasai tak ada artinya kalau tidak diringai dengan sikap yang baik. Oleh karena itu, perlu kiranya membangun model baru, dalam hal ini adalah soft skills sebagai alternatif memberdayakan pembelajaran PAI, biar tidak terjebak rutinitas yang kaku dimana PAI hanya muatan kognitif belaka dan tidak bisa menjadi basis moralitas pada pelajaran-pelajaran yang lain. Mengingat, kesuksesan seseorang tidak ditentukan sematamata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skills), tetapi oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skills).
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011
Untuk menjawab permasalahan tersebut, dalam makalah ini akan diuraikan tentang soft skills, pembelajaran PAI dan peranan soft skills sebagai alternatif model pembelajaran PAI. B. Soft Skills: Orientasi kepada
Makna Pendidikan Peggy dalam bukunya berjudul The Hard Truth about Soft Skills yang dikutip Illah Sailah (2008), mengatakan bahwa “soft skills encompass personal, social, communication, and self management behaviours, they cover a wide spectrum: self awareness, trustworthiness, conscientiousness, adaptability, critical thinking, organizational awareness, attitude, innitiative, emphathy, confidence, integrity, self-control, leadership, problem solving, risk taking and time management”. Soft skills adalah ketrampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri), Dengan demikian atribut soft skills meliputi nilai yang dianut, motivasi, perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap. Menurut Dr dr Abdurachman (2007) Soft skills diartikan sebagai sikap dan prilaku. Sikap dan prilaku yang dimaksud, antara lain, jujur, percaya diri (self confidence), motivasi yang tinggi, kemampuan beradaptasi dengan perubahan, kompetensi interpersonal, orientasi nilai yang menunjukkan kinerja yang efektif dan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Dalam soft skills ini sikap jujur mampu membuat seseorang berani menyampaikan sesuatu sesuai dengan kenyataannya. Kejujuran memungkinkan seseorang
64
untuk mengevaluasi diri dengan baik karena berani mengakui kekurangan dan siap untuk memperbaikinya. Di sisi lain, kejujuran akan menjadikan seseorang mampu menyatakan kelebihannya. Semua perilaku tersebut sangat mendukung seseorang untuk percaya diri. Yaitu, keyakinan seseorang pada kemampuannya untuk menyelesaikan tugas dan menghadapi tantangan. Untuk mampu menghadapi tantangan itu, seseorang harus mempunyai motivasi yang tinggi. Dengan motivasi tinggi tersebut, seseorang akan mudah untuk beradaptasi dengan segala perubahan. Bila semua sikap dan prilaku tersebut ada pada diri seseorang, sebenarnya dia telah mempunyai kompetensi interpersonal yang tinggi. Pengembangan soft skills dalam pendidikan bertumpu pada pembinaan mentalitas agar siswa dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Hasil penelitian mengungkapkan, kesuksesan seseorang hanya ditentukan sekitar 20 persen dengan hard skill dan sisanya 80 persen dengan soft skills. Proses pendidikan merupakan perubahan pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor) dan sikap (afektif) seseorang, maka pendidikan seharusnya menghasilkan output dengan kemampuan yang proporsional antara hard skills dan soft skills. Selain karena kurikulum yang memiliki muatan soft skills yang rendah dibanding muatan hard skills, ketidakseimbangan antara soft skills dengan hard skills juga dapat disebabkan oleh proses pembelajaran yang menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian. (Pramuji, 2008) Apabila sejak dini peserta didik dibekali dengan soft skills yang
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011
cukup dan bahkan sudah terbiasa mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari maka peluang mereka untuk menjadi orang sukses di masyarakat akan semakin besar. Hal ini harus dimulai dari pimpinan lembaga pendidikan, para guru/dosen dan para staf penunjang pendidikan yang berhubungan langsung dengan peserta didik. Dengan demikian apabila peserta didik terbiasa diperlakukan baik, terhormat dan dihargai pendapatnya, lambat atau cepat mereka akan menjadi pelayan yang baik di masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan penularan yang paling sederhana.
COMPONENT OF SUCCESS
20%
80%
Technical
Mindset
Gambar 1. Persentase soft skills sebagai komponen sukses
OUR EDUCATION SYSTEM Softskills
90
65
Rasio kebutuhan soft skills dan hard skills di dunia kerja/usaha berbanding terbalik dengan pengembangannya di lembaga pendidikan, sebagaimana gambar yang dilustrasikan Ilah Sailah (2008) sebagai berikut:
10
Menurut Sailah (2008), sesuatu yang akan ditularkan kepada orang lain menghendaki diri kita tertular terlebih dahulu. Layaknya seseorang yang menularkan penyakit flu, dapat dipastikan dirinya telah tertular terlebih dahulu, sebelum menular kepada orang lain. Hal ini bermakna, seorang pendidik apabila ingin menerapkan aturan disiplin untuk datang tidak terlambat kepada mahasiswa, maka seyogyanya pendidik harus datang tepat waktu di dalam kelas dan juga tidak terlalu cepat untuk mengakhiri tatap muka di kelas. Apabila pendidik ingin menularkan rasa tanggungjawab kepada peserta didiknya dengan memberi tugas dan tugas tersebut dikumpulkan dalam waktu dua minggu (misalnya), maka guru pun harus berupaya untuk mengembalikan tugas tersebut dengan umpan balik kepada peserta didik sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Hal ini sebagai indikasi pentingnya suri tauladan (uswatun hasanah) yang dimulai pada diri pendidik, sehingga dapat dikatakan penularan melalui ibda’ bi nafsi (dimulai dari diri sendiri) akan
mampu mentransformasikan nilai-nilai yang sangat berarti bagi kehidupan peserta didik.
Hardskills
0
20
40
60
80
100
Gambar 2. Porsi soft skills yang diberikan dalam sistem pendidikan
Gambar 1 menunjukkan bahwa yang membawa atau mempertahankan orang di dalam sebuah kesuksesan di lapangan kerja yaitu 80% ditentukan oleh mind set yang dimilikinya dan 20% ditentukan oleh technical skills. Namun, pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada sistem pendidikan kita saat ini, soft skills hanya diberikan rata-rata 10% saja dalam kurikulumnya. Jadi, bagaimana
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011
baiknya agar proses pendidikan kita dapat mensinergikan antara soft skills dan hard skills dengan baik?, sementara jumlah satuan kredit mahasiswa sudah cukup banyak. Mengamati Gambar 1 dan 2, Ilah Sailah memberi jawaban argumentatif bahwa di dunia pendidikan perlu ada pergeseran paradigma berfikir dan bertindak dari fokus pada hard skills saja menjadi mensinergikan antara hard skills dengan soft skills. Salah satu caranya yaitu dengan melakukan penularan soft skills melalui Hidden Curriculum. Menurut Zamroni (2000:79), hidden curriculum adalah proses penanaman nilai-nilai dan sifat-sifat pada diri peserta didik. Proses ini dilaksanakan lewat perilaku guru selama melaksanakan proses belajar mengajar. Untuk menanamkan sikap disiplin, guru harus memberikan contoh bagaimana perilaku mengajar yang disiplin. Misalnya, memulai dan mengakhiri pelajaran tepat pada waktunya.
C. Pembelajaran PAI Pembelajaran PAI sebagai bagian dari pendidikan agama telah diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) bahwa: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undangundang". Atas dasar amanat ini, makat, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk
66
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 20 Tahun 2003 ini ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah "pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia". Selanjutnya, pada Pasal 37 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003, mewajibkan Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut "Pendidikan Agama". Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar agama dapat dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran/kuliah agama. Pendidikan Agama dengan demikian sekurang-kurangnya perlu berbentuk mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Agama untuk menghindari kemungkinan peniadaan pendidikan agama di suatu satuan pendidikan dengan alasan telah dibelajarkan secara terintegrasi. Ketentuan tersebut terutama pada penyelenggaraan pendidikan formal dan pendidikan kesetaraan. Selain itu, Pasal 12 ayat (1) huruf a mengamanatkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama. Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu pertama, untuk menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011
agama; kedua, dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama; ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama. Pendidikan agama sebagaimana dijelaskan dalam PP RI Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (Pasal 1), adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Selanjutnya pada pasal 2 ayat (1) PP RI Nomor 55 Tahun 2007 dijelaskan bahwa Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. Pada ayat (2) Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilainilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Dan Islam sendiri sebagai salah satu agama yang dilekatkan kepada pendidikan dalam membina peserta didik mencapai tujuan yang diharapkan, Mengenai pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI)
67
Zakiah Daradjat (1995:86) menjelaskan sebagai berikut: 1. PAI adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life). 2. PAI ialah pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam 3. PAI adalah pendidikan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara meyeluruh, serta menjadikannya ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat kelak, Adapun kebijaksanaan yang harus dijadikan arahan dalam pelaksanaan PAI sebagaimana kata pengantar yang dikemukakan oleh Direktur Madrasah dan Pendidikan Agama Drs. H. Firdaus Basuni, M.Pd dalam Shaleh (2005:x-xi) adalah sebagai berikut: Pertama, PAI harus mampu mengembangkan aqidah sebagai landasan keberagamaan siswa dalam meningkatkan iman, takwa dan akhlak mulia. Kedua, PAI harus mengembangkan konsep keterpaduan antara ketercapaian kemampuan yang bersifat kognitif, afektif, maupun psikomotorik. PAI bukan hanya bersifat hafalan, melainkan juga praktik dan amalan.
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011
Ketiga, PAI harus mampu mengajarkan agama sebagai landasan dasar dan inspirasi siswa untuk mengembangkan bidang keilmuan dari semua mata pelajaran dan bahan kajian yang diajarkan di sekolah. Keempat, PAI harus dapat menjadi landasan moral dan etika sosial dalam kehidupan sehari-hari siswa.
D. Peranan Soft Skills sebagai Alternatif Model Pembelajaran PAI. UNESCO (Depdiknas, 2005) menjelaskan bahwa untuk melaksanakan perubahan besar di bidang pendidikan, dipakai empat pilar pendidikan sebagai landasan, yaitu: (i) learning to know, (ii) learning to do yang bermakna pada penguasaan kompetensi dari pada penguasaan ketrampilan menurut klasifikasi ISCE (International Standard Classification of Education) dan ISCO (International Standard Classification of Occupation), dematerialisasi pekerjaan dan kemampuan berperan untuk menanggapi bangkitnya sektor layanan jasa, dan bekerja di kegiatan ekonomi informal, (iii) learning to live together (with others), dan (iv) learning to be, serta; belajar sepanjang hayat (learning throughout life). Empat pilar pendidikan tersebut sebagai satu kesatuan utuh, meskipun terdapat pengelompokan pilar, hal ini hanya untuk mencirikan pengutamaan substansi materi dan proses pembelajaran. Artinya bahwa kompetensi sebagai ciri utama dari penguasaan learning to do dari suatu materi pembelajaran tidak dapat dipisahkan dengan elemen kompetensi yang terkandung dalam learning to
68
know, learning to live together, dan learning to be dari materi yang bersangkutan atau materi-materi pembelajaran lainnya. Oleh karenanya pemisahan antara materi pembelajaran atas hard skill dan soft skill dalam satu kurikulum tidak berlaku lagi. Makna arti hard skill dan soft skill diakomodasi dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan dimensi proses kognitif, yaitu: (i) mengingat/menghafalkan, (ii) memahami, (iii) menerapkan, (iv) menganalisa, (v) mengevaluasi, dan (vi) mengkreasi; dari setiap dimensi pengetahuan yang berjenjang, mulai dari dimensi faktual, dimensi konsepsual, dimensi prosedural, dan dimensi pengetahuan metakognitif. Pada pembelajaran PAI, penekanan akhir lebih diutamakan pada segi soft skills yang mengikat pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh peserta didik, sehingga akan memunculkan makna bagi pendewasaan peserta didik, meskipun kadarnya berbedabeda sesuai atribut soft skills yang melekat pada diri peserta didik. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan berfikir, berkata, bertindak dan bersikap. Namun, atribut ini dapat berubah jika yang bersangkutan mau merubahnya dengan cara berlatih membiasakan diri dengan hal-hal yang baru. Kebiasaan baru ini paling tidak dilakukan selama 90 hari berturut-turut (Aribowo dalam Sailah, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh negara-negara Inggris, Amerika dan Kanada, ada 23 atribut softskills yang dominan di lapangan kerja. Ke 23 atribut tersebut diurut berdasarkan prioritas kepentingan di dunia kerja, yaitu: (1) Inisiatif, (2) Etika/integritas, (3) Berfikir kritis, (4) Kemauan belajar, (5) Komitmen, (6) Motivasi, (7) Bersemangat, (8) Dapat diandalkan, (9) Komunikasi lisan, (10) Kreatif,
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011
(11) Kemampuan analitis, (12) Dapat mengatasi stres, (13) Manajemen diri, (14) Menyelesaikan persoalan, (15) Dapat meringkas, (16) Berkooperasi, (17) Fleksibel, (18) Kerja dalam tim, (19) Mandiri, (20) Mendengarkan, (21) Tangguh, (22) Berargumentasi logis, dan (23) Manajemen waktu Aribowo dalam Sailah (2008), membagi soft skills atau people skills menjadi dua bagian, yaitu intrapersonal skills dan interpersonal skills. Dua jenis keterampilan tersebut dirinci sebagai berikut: 1. Intrapersonal Skill (Keterampilan seseorang dalam ”mengatur” diri sendiri): Transforming Character, Transforming Beliefs, Change management, Stress management, Time management, Creative thinking processes, Goal setting & life purpose, Accelerated learning techniques. 2. Interpersonal Skill (Keterampilan seseorang yang diperlukan dalam berhubungan dengan orang lain): Communication skills, Relationship building, Motivation skills, Leadership skills, Self-marketing skills, Negotiation skills, Presentation skills, Public speaking skills Belakangan yaitu kira-kira tahun 2006-an sedang dikembangkan atribut lain yang tergolong pada extra personal concern, yang mengandung makna kearifan/welas asih atau wisdom. Atribut ini penting karena kalaulah dia menjadi seorang pengusaha maka tidak menjadi pengusaha yang bengis, memiliki kebijakan yang berorientasi pada winwin solution. Pengembangan Skills
69
Kurikulum
Soft
Pengembangan kurikulum menurut Sumantri (2005) dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: analisis kebutuhan, merumuskan kebutuhan dan disain kurikulum, menyusun kurikulum, menentukan pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan kurikulum, dan mempertimbangkan berbagai pengaruh terhadap pengembangan kurikulum. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan meliputi tiga hal berikut ini. Pertama, analisis kebutuhan masyarakat terhadap kurikulum diantaranya meliputi: (1) kebutuhan untuk menularkan lingkungan kebudayaan dan tatanan masyarakat; (2) kebutuhan untuk mempersiapkan anak sebelum memasuki kehidupan masyarakat; dan (3) kebutuhan untuk memperkenalkan nilai-nilai yang berlaku, harapan masyarakat, struktur kekuatan dan kekuasaan politik, masalahmasalah sosial, dan berbagai arah gejala yang mungkin timbul dalam kehidupan masyarakat. Kedua, analisis kebutuhan pengembangan ilmu dan nilai melalui kurikulum diantaranya meliputi: (1) kebutuhan jenis ilmu dan nilai yang begaimana yang seharusnya dipelajari oleh anak; (2) kebutuhan jenis ilmu dan nilai yang bermanfaat bagi kehidupan anak; (3) kebutuhan untuk mengorganisasikan ilmu dan nilai untuk kepentingan pendidikan; dan (4) kebutuhan kriteria untuk menentukan relevansi ilmu dan
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011
nilai dengan kebutuhan anak. Ketiga, analisis kebutuhan anak diantaranya meliputi: (1) kebutuhan tentang populasi anak (normal, luar biasa, dan sebagainya); (2) kebutuhan tentang pertumbuhan dan perkembangan anak; (3) kebutuhan tentang kondisi lingkungan anak; (4) kebutuhan tentang kesempatan anak dalam hubungannya dengan dunia kerja, pengembangan karir, dan proyeksi atau perkiraan pertumbuhan ekonomi; dan kebutuhan tentang kesempatan belajar yang sama berdasarkan minat dan kemampuan anak. (Sumantri, 2005) Dalam pembelajaran PAI analisis kebutuhan ditambah dengan hal-hal yang berhubungan dengan analisa terhadap pemahaman terhadap makna ibadah sebagai kebutuhan hidup yang harus dihayati sebagai bentuk keyakinan yang mendasari tata pergaulan dan aktifitas dalam kehidupan sebagai makhluk individu, makluk sosial dan sebagai makluk yang berketuhanan. Merumuskan Kebutuhan Kurikulum dan Disain Kurikulum Kebutuhan kurikulum diantaranya meliputi dua hal sebagai berikut: (1) kondisi khusus dan kepentingan dari lembaga pendidikan. Kurikulum harus disesuaikan dengan misi lembaga pendidikan baik misi yang sifatnya pendidikan umum maupun misi yang sifatnya pendidikan khusus (kejuruan atau keterampilan); dan (2) kurikulum yang direncanakan harus berdasarkan efektivitas kurikulum yang dilaksanakan sebelumnya. Hasil-hasil penelitian dan penilaian akan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menentukan efektif atau tidaknya suatu kurikulum. (Sumantri, 2005)
70
Desain dan isi kurikulum dipilih sesuai dengan tujuan dari mata pelajaran PAI di setiap program pendidikan. Sehingga penajaman makna soft skills benar-benar nampak dan berpengaruh di seluruh aktivitas siswa, bagaimana keyakinannya, bagaimana akhlak yang seharusnya, dan bagimana pengamalan ibadahnya. Menyusun Kurikulum Dalam menyusun kurikulum sofst kills, sebagaimana yang dilakukan Tyler (1975) dengan merumuskan pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dijawab dalam pengembangan kurikulum: Pertama, "What educational purposes should the school seek to attain?" (tujuan-tujuan pendidikan apa yang seharusnya dicapai oleh sekolah?). Kedua, "How can learning experiences be selected which are likely to be useful in attaining these experiences?" (bagaimana pengalaman belajar dapat dipilih yang mungkin berguna dalam pencapaian pengalaman tersebut?). Ketiga, "How can learning experiences be organized for effective instruction?" (bagaimana pengalaman belajar dapat diorganisasikan untuk pengajaran yang efektif?). Terakhir, "How can the effectiveness of learning experiences be evaluated?" (bagaimana keefektifan pengalaman belajar dapat dinilai?). Rumusan tujuan kurikulum harus mencakup antara lain hal-hal sebagai berikut: (1) generalisasi bidang pelajaran; (2) pengembangan sikap, kepekaan, dan perasaan; (3) penguatan cara berpikir; dan (4) penguasaan kebiasaan dan keterampilan.
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011
Unsur-unsur yang Terlibat dalam Pengembangan Kurikulum Unsur-unsur yang terlibat langsung dalam kegiatan pengembangan kurikulum ialah (1) para pengambil keputusan yang terkait dengan penetapan kurikulum (2) para ahli kurikulum, (3) para ahli disiplin keilmuan, (4) para ahli psikologi, dan (5) guru-guru. Sifat keterlibatan mereka dipilih dan ditentukan oleh latar belakang, keterampilan, dan kemampuannya dalam bidang masingmasing. Mempertimbangkan Berbagai Pengaruh terhadap Pengembangan Kurikulum Pengembangan suatu kurikulum akan dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung biasanya datang dari lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif yang mempunyai kepentingan dengan kurikulum sesuai dengan misi dan "trends" politik yang sedang populer dan berkembang pada waktu tertentu. Para pengembang kurikulum tidak dapat mengabaikan pengaruh langsung tersebut, sebab kurikulum yang akan diberlakukan harus sesuai dengan kriteria dan tuntutan zaman. Pengaruh tidak langsung datang dari pihak masyarakat dan cendekiawan yang merasa langsung atau tidak langsung merasa terlibat dan/atau mempunyai kepentingan dengan kurikulum. Masyarakat, misalnya, mengusulkan agar pelajaran agama di sekolah lebih ditingkatkan baik untuk mengurangi perkelahian para pelajar maupun untuk menanggulangi penyalahgunaan obat dan narkotika.
71
Model Alternatif Penularan Soft Skills PAI Melalui Proses Pembelajaran Pengembangan soft skills dapat dilakukan melalui kegiatan proses pembelajaran dan juga kegiatan ekstra kurikuler atau ko-kurikuler. Yang terpenting, soft skills ini bukan bahan hafalan melainkan dipraktekkan oleh individu yang belajar atau yang ingin mengembangkannya. Pada saat peserta didik ingin mengembangkan minat dan bakatnya di dalam bidang seni tilawah umpamanya, acapkali pembimbing kegiatan seni tilawah hanya berpusat pada teknik bagaimana memenangkan pertandingan yang akan dilakukan oleh anak didiknya. Tidak sedikit yang tidak mengindahkan, bahwa pada saat guru agama menjadi pembina tilawah, maka soft skills yang perlu dikembangkan adalah sportifitas, keberanian untuk kalah, keberanian untuk menang dan semangat juang yang membara. Seringkali, hard skillsnya yang selalu kita perhatikan. Namun, ketika menerima kekalahan, bukan introspeksi diri yang pertama dilakukan, tetapi mungkin malah menyalahkan cara kerja juri, atau kecurangan yang dilakukan oleh lawan. Hal-hal demikian akan banyak digali dalam kegiatan ektra kurikuler. Pengembangan soft skills dalam proses pembelajaran PAI dapat dilakukan melalui kegiatan belajar melalui tatap muka di dalam kelas maupun praktek di lapangan. Hal ini memerlukan keikhlasan, kesabaran, ikeistiqomahan dan kreatifitas pendidik yang mengampu mata pelajaran PAI dan kompetensi yang diharapkan dari pembelajaran mata pelajaran yang diampu tersebut.
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011
Menurut Illah Sailah (2008) terdapat sedikitnya tiga cara penularan soft skills dalam pembelajaran, yaitu melalui:1) Lecturer role model, 2) Message of the week, 3) Hidden curriculum Role model pendidik dapat diperlihatkan dengan saling edifikasi dengan teman sejawat di depan siswa. Edifikasi berasal dari kata to edify yaitu memberikan penghargaan sekaligus proposi bagi teman sejawat. Saling menjelekkan antar pendidik di depan siswa patut dihindari. Jangan sampai siswa menjadi tumpahan keluhan rasa kekesalan pendidik dengan menyalahkan orang lain. Sering-seringlah memberikan pujian kepada siswa di depan siswa lainnya jika mampu mencapai prestasi tertentu. Penularan cara kedua dapat dilakukan dengan memberi pesan moral di setiap waktu tatap muka baik pada saat awal membuka pelajaran atau menutup pelajaran. Cara ini disebut Message of the week (MOW). Pesan yang disampaikan dapat berupa kata-kata mutiara dan cerita yang membangun moral dari berbagai sumber dengan pemaknaannya dalam berkehidupan, atau animasi yang mendukung dari web site internet. Selain cara kedua di atas yaitu melalui hidden curriculum. ”Hidden Curriculum is the broader concept of which the informal curriculum is a part” Pelajaran dari kurikulum tersembunyi diajarkan secara implisit. Kurikulum tersembunyi lebih ampuh karena dapat membuat proses pembelajaran lebih menarik minat dan menyenangkan. Peran pendidik dalam hal ini adalah: – Membangun proses dialog – Menangani dinamika kelompok
72
– Terlibat dengan motivasi siswa – Mengintroduksikan berpikir kritis – Memberdayakan kurikulum tersembunyi (Empowering Hidden Curriculum) Ketiga cara penularan ini, kalau dikaji dari perspektif pendidikan Islam merupakan pengejawantahan dari misi profetik pendidikan Islam, sebagaimana misi kependidikan yang dibawah Nabi Muhammad saw adalah menanamkan aqidah yang benar: yakni aqidah tauhid, yang by extension, memahami seluruh fenomena alam dan kemanusiaan sebagai suatu kesatuan yang holistic. Dalam kerangka tauhid dalam pengertian terakhir ini, maka kemanusiaan—dan demikian SDM— adalah manusia yang memiliki kualitas yang seimbang: beriman, berilmu (beriptek) dan beramal; cakap baik secaraa lahiriah maaupun batiniah; berkualitas secara emosional dan raasional, atau memiliki EQ dan IQ yang tinggi.(Azra, 1999). Sebagaimana firman Allah swt yang artinya; “Dan Kami tidak mengutus, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan’ (Q.S. Saba’/34:28). “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Q.S. al-Anbiya’/21:107). Di sisi yang lain, akhlak mediasi antara pendidik dan anak didik secara timbal balik memberikan keteladanan (uswatun hasanah) sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammaad saw sehingga ilmu yang ditransferkan [72]syarat dengan muatan nilai. Andrea Hirata dalam “Laskar Pelanginya” (2007), mengeluhkan
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011
tentang betapa mekanistiknya pendidikan saat ini sehingga siswasiswa belajar sekeras-kerasnya bukan lantaran cinta dengan ilmu pengetahuan, tapi keinginan untuk menembus level sosial yang lebih tinggi. Sebagaimana juga pendidikan kita yang kian mekanistik secara sistemik telah mencetak generasi robot yang pintar menyelesaikan soal-soal UAN tetapi gagap untuk menyelesaikan persoalan hidup. Siswa dididik untuk menganggap bahwa bisa berhitung jauh lebih mulia dibandingkan bisa bernyanyi.. Dan dididik untuk senantiasa mengasah otak kiri kita hingga cerdas dan licik dalam berpikir tetapi disisi lain menumpulkan banyak potensi otak kanan siswa yang seharusnya sadar bahwa perbedaan individual begitu unik. Di sini Andrea menunjukkan tentang pendidikan yang mencerahkan visi peserta didik dari seorang guru dusun bernama bu Muslimah. Apa yang dilakukan bu Muslimah adalah sebuah praktek soft skills dimana nilai-nilai agama dapat diramu sedemikian rupa sehingga benar-benar membekas dalam dalam diri siswa. Bu Muslimah berusaha mendobrak paradigma-paradigma pendidikan tipikal dengan suatu dogma baru. Satu hal yang amat unik dari sosok ini adalah kemampuannya untuk membuat anak-anak dusun menjadi bocah-bocah maniak ilmu pengetahuan. Ia mampu menjadikan setiap orang istimewa dengan kekhasannya masing-masing, entah itu dengan kebandelannya, kemampuan matematikanya maupun kemampuan seninya. Beliau dapat membuat para bocah ini begitu merindukan sekolah sehingga hari minggu menjadi mimpi buruk yang harus cepat-cepat diakhiri
73
dan hari senin menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu. Rahasia dibalik itu semua menurut Andrea Hirata adalah jiwa guru yang ada dalam diri seorang bu Muslimah. Jiwa guru yang dimaksud adalah motivasi tanpa pamrih yang telah berhasil melampaui sekat-sekat batasan ekonomi, fasilitas, sosiokultur dan bahkan kungkungan paradigma yang selama ini membelenggu masa depan para bocah laskar pelangi itu. Hal yang paling utama adalah, beliau mampu menumbuhkan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, menjadikan mereka sosok-sosok yang cinta ilmu, sekaligus berhasil menancapkan mimpi-mimpi besar dibenak bocah-bocah kecil itu agar mereka mampu berbuat sesuatu dikemudian hari. Itulah sebuah senjata yang amat berharga yang mampu mengalahkan uang berjuta-juta atau fasilitas bergunung-gunung yang mampu diberikan sebuah sekolah paling favorit sekalipun. Sebuah perhiasan bagi kaum guru yang tidak mungkin ditukarkan dengan anggaran pendidikan sebesar apapun, kurikulum sedahsyat apapun, atau bahkan guruguru setingkat profesor sekalipun. Berkaca dari Laskar Pelangi ini dalam hubungannya dengan penularan soft skills dapat dikaji bahwa keberhasilan pembelajaran dalam tinjauan pendidikan Islam bukan sekedar transfer ilmu dan nilai secara terpisah, tapi merupakan core yang menyatu, sehingga ilmu adalah nilai, dan nilai adalah wujud ilmu. Dan keduanya ketika diaplikasikan dalam kehidupan merupakan ketrampilan yang bermanfat bagi diri peserta didik--bagaimana ia dapat menyadari dirinya seutuhnya dan mengetahui segala potensi yang ia
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011
miliki untuk kemudian dapat memanfaatkannya untuk menghadapi persoalan-persoalan yang mereka hadapi dalam kehidupan, masyarakat, kehidupan dan kemanusiaan. Demikianlah, sekilas kupasan tentang hakekat pengembangan soft skills pembelajaran PAI yang intinya adalah ketrampilan halus yang harus ditularkan kepada peserta didik. Ditularkan karena untuk menstansfer sebuah nilai yang menularkan seharusnya sudah “terinfeksi” terlebih dahulu. Wallahu a’lamu bi shawab.
E. Kesimpulan 1. Soft skills diartikan sebagai sikap dan prilaku, yaitu antara lain, jujur, percaya diri (self confidence), motivasi yang tinggi, kemampuan beradaptasi dengan perubahan, kompetensi interpersonal, orientasi nilai yang menunjukkan kinerja yang efektif dan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Pengembangan soft skills dalam pendidikan bertumpu pada pembinaan mentalitas agar siswa dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. 2. Pendidikan Agama Islam (PAI) ialah pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam yang
berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara meyeluruh, serta menjadikannya ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat kelak, 3. Penularan soft skills dalam pembelajaran, yaitu melalui:1) Lecturer role model, 2) Message of the week, 3) Hidden curriculum. Hal ini lebih efektif karena selaras dengan misi kependidikan yang dibawah Nabi Muhammad saw yaitu menanamkan aqidah yang benar: yakni aqidah tauhid, memahami seluruh fenomena alam dan kemanusiaan sebagai suatu kesatuan yang holistic. Dalam kerangka tauhid maka kemanusiaan adalah manusia yang memiliki kualitas yang seimbang: beriman, berilmu (beriptek) dan beramal; cakap baik secaraa lahiriah maaupun batiniah; berkualitas secara emosional dan raasional, atau memiliki EQ dan IQ yang tinggi.
Daftar Pustaka Abdurachman, Jawa Post. “Kualitas PT, Kualitas Soft Skills-nya” Rabu, 04 Juli 2007. Azra, A. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Daradjat, Z. et.al. 1995. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Edisi ke-2. Jakarta: Bumi Aksara. Hirata, A. 2007. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang
74
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011
Miller, J.P. dan Seller, W. 1985. Curriculu: Perspectives and practice. New York: Longmen Muhaimin, 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam (Mengenai Dunia Kusut Dunia Pendidikan). Jakarta: PT Grafindo Persada. PP RI Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pramuji, L. 2008. Mengembangkan Soft Skills Siswa Melalui Pembelajaran Kontekstual. [Online]. Tersedia: http://alkhoirot.com/2008/07/06/mengembangkan-softskills-siswa/ [22 Oktober 2008] Sailah, I. 2008. Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi. Jakarta: Tim Kerja Pengembangan Soft Skills Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Shaleh, A.R. 2005. Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Somantrie, H. 2005. Pengembangan dan Penilaian Kurikulum. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Tyler, R.W. 1975. Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago & London: The University of Chicago Press. Tim Kerja Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi Bidang-Bidang Ilmu (Ilmu-ilmu Dasar, Pertanian, Kesehatan, Sosial, Teknik). Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Tim Kerja Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan. 2005. Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
75
CAKRAWALA Jurnal Studi Islam, Vol. VII, No. 1, Juli 2011