PENGEMBANGAN MODEL JOINT DYNAMIC PRICING UNTUK DUA PENERBANGAN PARALEL MEMPERTIMBANGKAN OVERBOOKING, CANCELLATIONS, DAN NO-SHOW CUSTOMERS Hilman Pradana, Ahmad Rusdiansyah Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email:
[email protected] ;
[email protected]
Abstrak Pada penelitian ini dilakukan pengembangan model joint dynamic pricing untuk dua penerbangan paralel dengan mempertimbangkan overbooking, cancellations, dan no-show customers. Pengembangan dilakukan berdasarkan model penelitian terdahulu yang telah disusun oleh Xiao, dkk (2008), dan Subramanian, dkk (1999). Model yang dikembangkan merupakan model dynamic programming, yang akan mengoptimalkan harga tiket kedua penerbangan paralel secara dinamis, yang dapat dipilih dari beberapa alternatif harga tiket yang ditetapkan sebelumnya. Dengan memilih harga tiket yang optimal, total expected revenue kedua penerbangan dapat dimaksimalkan. Selain itu, batas overbooking juga ditetapkan secara optimal untuk mengantisipasi terjadinya cancellations dan no-shows. Perancangan perangkat lunak juga dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan percobaan numerik terhadap model yang dikembangkan. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa tingginya tingkat cancellation per customer dan tingginya peluang no-shows akan mengurangi total pendapatan. Namun penerapan overbooking secara optimal dapat meningkatkan utilisasi kapasitas pesawat, sehingga dapat memperbaiki perolehan total pendapatan kedua penerbangan paralel. Kata kunci : revenue management, joint dynamic pricing, penerbangan paralel, overbooking, cancellations, no-shows, dynamic programming
Abstract In this research, joint dynamic pricing model is developed for two parallel flights by considering overbooking, cancellations, and no-show customers. The development is based on previous research models that have been composed by Xiao, et al (2008), and Subramanian, et al (1999). The model developed is a dynamic programming model, which optimizes ticket price of both flights dynamically, which can be chosen from several alternatives ticket price set previously. By choosing the optimal ticket price, total expected revenue of two flights can be maximized. In addition, overbooking limit is also set optimally to anticipate the occurrence of cancellations and no-shows. Software design are also made to simplify the implementation of numerical experiments on the model developed. The results obtained show that high cancellation rate per customer and a high probability of no-shows, will reduce total revenue. However, the implementation of an optimal overbooking policy can increase the utilization of aircraft capacity, so it can improve the acquisition of the total revenue from the two parallel flights. Key Words : revenue management, joint dynamic pricing, parallel flights, overbooking, cancellations, no-shows, dynamic programming.
1.
Pendahuluan
Pada industri penerbangan sudah menjadi hal yang umum untuk menjual tiket pesawat dengan harga yang berbeda-beda untuk memaksimalkan pendapatan. Ini merupakan pengaplikasian revenue management pada industri penerbangan. Menurut Cross (1997), Revenue management (RM) merupakan penerapan berbagai disiplin taktik yang memprediksi perilaku konsumen dan
mengoptimalkan ketersediaan produk dan harga produk untuk memaksimalkan pertumbuhan pendapatan. Pada airline revenue management terdapat dua keputusan dasar yang dapat dilakukan. Yang pertama adalah keputusan alokasi kursi untuk segmen-segmen kustomer (seat allocation). Kedua adalah keputusan penentuan harga tiket yang dijual (pricing). Keduanya dilakukan untuk mengontrol permintaan agar sesuai dengan persediaan kursi
1
penerbangan yang dimiliki, sehingga pendapatan yang diperoleh maksimal. Penelitian-penelitian dalam bidang airline revenue management telah banyak dilakukan. Terutama yang menyangkut pengoptimasian pendapatan untuk penerbangan tunggal. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Subramanian, dkk (1999). Penelitian tersebut fokus pada keputusan seat allocation untuk penerbangan tunggal dengan multiple class. Selain itu, pada penelitian tersebut juga mempertimbangkan adanya overbooking, cancellations, serta no-shows. Cancellations merupakan pembatalan pemesanan tiket yang dilakukan oleh kustomer saat selling horizon masih berlangsung. Sedangkan no-show customers merupakan kustomer yang tidak datang saat keberangkatan penerbangan. Keduanya merupakan pembatalan atas pemesanan yang dilakukan sebelumnya, dan untuk kedua hal tersebut biasanya maskapai penerbangan memberikan refund dalam jumlah tertentu. Cancellations maupun no-shows merupakan hal yang mungkin saja terjadi dalam industri penerbangan. Kedua hal tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi maskapai penerbangan. Yang pertama, sejumlah refund yang diberikan akan mengurangi pendapatan maskapai penerbangan. Kedua, akan ada beberapa kursi pesawat yang tidak terisi karena maskapai penerbangan susah untuk menjual kembali tiket-tiket yang telah dibatalkan pada saat telah mendekati atau saat keberangkatan penerbangan. Untuk mengatasi kerugiankerugian tersebut, maskapai penerbangan dapat menerapkan kebijakan overbooking. Overbooking merupakan suatu cara untuk menjual tiket melebihi kapasitas kursi yang tersedia. Dengan demikian diharapkan kursikursi tetap terisi oleh kustomer yang memesan tiket berlebih tersebut, walaupun beberapa kustomer telah melakukan cancellation ataupun no-show. Namun kebijakan overbooking bukannya tidak memiliki kelemahan dan konsekuensi tersendiri. Hal yang justru dapat merugikan maskapai penerbangan adalah ketika ternyata jumlah kustomer yang datang saat keberangkatan melebihi kapasitas kursi pesawat yang tersedia. Ini menyebabkan beberapa kustomer tidak mendapatkan bagian kursi pada penerbangan yang dipilihnya (bumped passengers). Terhadap beberapa kustomer yang
tidak kebagian kursi pesawat tersebut, maskapai penerbangan harus memberikan kompensasi tertentu atas kerugian yang mereka alami. Ini dapat menjadi kerugian bagi maskapai penerbangan, karena mereka harus mengeluarkan biaya overbooking penalty yang besarnya dapat melebihi harga tiket itu sendiri. Karena itu, batas overbooking ini perlu ditetapkan secara optimal agar dapat berfungsi dengan baik untuk memaksimalkan pendapatan bagi maskapai penerbangan. Batas overbooking yang terlalu rendah belum mampu meningkatkan utilitas pesawat secara optimal. Namun batas overbooking yang terlalu tinggi beresiko menyebabkan besarnya biaya overbooking penalty yang harus dikeluarkan. Kedua kondisi tersebut bukan kondisi yang akan menyebabkan pendapatan bernilai maksimal. Penelitian-penelitian untuk penerbangan tunggal, termasuk penelitian Subramanian, dkk tersebut, belum memperhatikan adanya keterkaitan antara satu penerbangan dengan penerbangan yang lain. Padahal keputusan yang diambil untuk suatu penerbangan, misalnya keputusan penetapan harga, akan mempengaruhi permintaan dan pendapatan penerbangan yang lain. Beberapa penelitian telah dilakukan dengan memperhatikan adanya dua penerbangan, yang kebanyakan dalam kondisi persaingan antar maskapai penerbangan. Namun, Xiao, dkk (2008) telah melakukan penelitian untuk dua penerbangan paralel yang dimiliki maskapai penerbangan yang sama, melayani rute yang sama, dengan jadwal keberangkatan yang berbeda. Pada penelitian Xiao, dkk, keterkaitan antara dua penerbangan paralel dapat terjadi karena terdapat perilaku kustomer yang memilih penerbangan berdasarkan faktor harga tiket. Kustomer tersebut akan memilih penerbangan yang harga tiketnya lebih murah. Dengan demikian permintaan kustomer terhadap suatu penerbangan bergantung pada harga tiket penerbangan yang satunya. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh pada perolehan total pendapatan kedua penerbangan. Maskapai penerbangan tentu saja ingin mengoptimalkan total pendapatan untuk kedua penerbangan tersebut secara bersamaan. Joint dynamic pricing merupakan keputusan dalam revenue management yang terkait dengan penentuan harga tiket pesawat. Dengan joint dynamic pricing, maskapai penerbangan akan menetapkan harga tiket dua 2
peberbangan paralel yang dimilikinya secara bersama-sama dan dinamis, berubah-ubah selama selling horizon. Secara bersama-sama dengan melihat tingkat ketersediaan kursi kedua penerbangan, karena keputusan harga pada salah satu penerbangan akan berpengaruh terhadap permintaan pada penerbangan yang lain. Sedangkan dinamisasi dalam penetapan harga tiket ini dilakukan dengan tujuan untuk menyesuaikan antara permintaan yang berfluktuasi dengan tingkat persediaan kursi kedua penerbangan yang juga berubah-ubah selama selling horizon. Kesesuaian antara permintaan dengan persediaan kursi akan menghasilkan total pendapatan yang maksimal dari penjualan tiket kedua penerbangan. Dalam penelitian Xiao, dkk belum mempertimbangkan adanya overbooking, cancellations maupun no-shows. Untuk itu, pada penelitian ini dilakukan pengembangan model joint dynamic pricing untuk dua penerbangan paralel dengan mempertimbangkan adanya overbooking, cancellations, dan no-show customers. Pengembangan yang dilakukan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Xiao, dkk (2008), sedangkan permasalahan overbooking, cancellations dan no-shows mengacu pada penelitian Subramanian, dkk (1999). Pada penelitian ini dipelajari bagaimana joint dynamic pricing yang optimal jika dikaitkan dengan adanya tingkat cancellations, no-shows dan kebijakan overbooking. 2.
Deskripsi Model Penelitian
Pada penelitian ini akan dikembangkan sebuah model dynamic programming yang akan dapat mengoptimalkan penentuan harga tiket untuk dua penerbangan paralel, dengan mempertimbangkan perilaku kustomer dalam memilih penerbangan, serta mempertimbangkan adanya overbooking, cancellations, dan noshows. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan total expected revenue yang dapat diperoleh dari kedua penerbangan paralel. Penerbangan paralel merupakan penerbangan yang dimiliki oleh satu maskapai penerbangan, melayani rute yang sama namun dengan jadwal keberangkatan yang berbeda. Dalam model penelitian ini terdapat dua penerbangan paralel, penerbangan A dan penerbangan B. Berdasarkan perilakunya dalam memilih di antara kedua penerbangan ini, kustomer dapat dibedakan menjadi time
sensitive customers (memilih berdasarkan faktor jadwal keberangkatan), dan price sensitive customers (memilih penerbangan yang harga tiketnya lebih murah). Kustomer tipe I dan II adalah customer yang memilih berdasarkan faktor jadwal penerbangan. Kustomer jenis ini biasanya merupakan business passenger dimana mereka lebih sibuk dan jadwal penerbangan merupkan faktor penting bagi mereka. Kustomer tipe I akan memilih penerbangan A, sedangkan kustomer tipe II akan memilih penerbangan B. Kustomer tipe III adalah price sensitive customers yang akan memilih penerbangan setelah membandingkan harga penerbangan yang masih tersedia. Kemudian kustomer tipe III ini akan menentukan pilihannya pada penerbangan yang harga tiketnya paling murah. Seandainya harga kedua penerbangan sama, maka dengan peluang β, kustomer tipe III akan memilih penerbangan A, sebaliknya dengan peluang 1 – β, akan memilih penerbangan B. Selling horizon dibagi menjadi sejumlah events (t) sebagai waktu yang sangat singkat, dimana pada tiap event, hanya salah satu dari beberapa kejadian berikut ini dimungkinkan untuk terjadi : (1) kejadian datangnya seorang kustomer; (2) kemungkinan adanya kustomer yang membatalkan pembelian tiketnya; (3) tidak terjadi apapun pada event tersebut. Kustomer yang akan memesan tiket, datang dengan tingkat kedatangan λt pada event ke-t. Tingkat kedatangan berdistribusi poisson. Proporsi untuk masing-masing tipe kustomer adalah αti pada event ke-t, dimana i = 1, 2, 3, menunjukkan tipe kustomer dan ∑∀𝑖 𝛼𝑡𝑖 = 1. Sehingga λti = λt.αti, menunjukkan tingkat kedatangan masingmasing tipe kustomer yang ada, pada event ke-t. Sedangkan pembatalan pembelian terjadi dengan tingkat pembatalan qtA dan qtB per kustomer untuk penerbangan A dan B pada event ke-t. Jika jumlah kustomer yang telah memesan tiket untuk penerbangan A dan B adalah xA dan xB, maka peluang terjadi pembatalan pembelian tiket pada suatu event untuk penerbangan A, qtA(xA) = qtA.xA, dan qtB(xB) = qtB.xB untuk penerbangan B. Dengan demikian, karena hanya salah satu kejadian yang akan terjadi pada tiap event, maka 0 ≤ λt + qtA.xA + qtB.xB ≤ 1. Selling horizon untuk penerbangan A dan B sama, dan dituliskan dengan [0,T], dimana T adalah akhir dari selling horizon dan 0 merupakan awal dari selling horizon. Sedangkan 3
event T + 1 merupakan event setelah selling horizon berakhir, yaitu ketika keberangkatan pesawat. Tiket untuk kedua penerbangan dapat dijual dengan k alternatif harga P = {p1, p2, p3, …, pk}, dimana p1 > p2 > … > pk. Kustomer yang datang dan memilih suatu penerbangan (A atau B) akan mau untuk membeli tiket dengan peluang 𝐹�𝑡 (𝑃𝐴 ) atau 𝐹�𝑡 (𝑃𝐵 ), tergantung berapa harga yang ditawarkan kepada kustomer pada saat itu untuk penerbangan yang dia pilih. Peluang penerimaan untuk tiap-tiap alternatif harga berbeda-beda, semakin murah harga tiket akan semakin besar peluangnya untuk diterima oleh kustomer. Pada tiap-tiap event selama selling horizon akan diputuskan harga tiket yang optimal untuk ditawarkan kepada kustomer, yaitu pA untuk penerbangan A, dan pB untuk penerbangan B. Melalui model dynamic programming yang dikembangkan, harga yang optimal tersebut dapat diketahui. Kustomer yang memutuskan untuk membeli tiket pesawat saat event ke-t, akan menambah pada expected revenue sebesar pA atau pB sesuai dengan penerbangan yang dia pilih. Namun sebaliknya, kustomer yang membatalkan pemesanan tiketnya, akan diberikan refund (c), dan mengurangi expected revenue sebesar nilai refund tersebut, apakah itu pembatalan untuk penerbangan A ataupun pembatalan untuk penerbangan B. Setelah selling horizon berakhir dan tiba jadwal keberangkatan (T+1), dapat dimungkinkan terjadinya no-shows. Seorang kustomer yang masih memiliki tiket hingga waktu keberangkatan, dapat dimungkinkan untuk menjadi no-show customer dengan peluang γ. Y(xA) maupun Y(xB) merupakan jumlah kustomer yang datang saat keberangkatan untuk penerbangan A dan penerbangan B berturut-turut, jika jumlah tiket yang terpesan hingga saat itu sejumlah xA dan xB. Dengan demikian Y(xA) maupun Y(xB) berdistribusi binomial-(xA, 1-γ) dan binomial(xB, 1-γ). Expected no-show sebanyak xA-Y(xA) untuk penerbangan A, dan xB-Y(xB) untuk penerbangan B. Sejumlah kustomer yang tidak datang saat waktu keberangkatan tersebut akan diberikan refund yang nilainya bisa lebih besar dibanding kustomer yang melakukan pembatalan pemesanan. Misalkan kapasitas penerbangan A dan B adalah CA dan CB. Pada saat keberangkatan penerbangan dapat dimungkinkan bahwa jumlah kustomer yang datang (Show-up), Y(xA) maupun
Y(xB), melebihi jumlah kapasitas kursi pesawat CA ataupun CB. Hal ini disebabkan adanya kebijakan overbooking yang diberlakukan, yaitu menjual tiket melebihi kapasitas kursi pesawat yang tersedia. Kelebihan jumlah kustomer ini mengharuskan maskapai penerbangan memberikan kompensasi kepada mereka. Dengan demikian timbullah biaya overbooking penalty (s), untuk tiap kustomer yang berlebih. Melalui model yang dikembangkan akan dapat diketahui pengaruh jumlah overbooking terhadap total expected revenue yang dapat diperoleh untuk kedua penerbangan. Notasi vA dan vB merupakan batas jumlah overbooking untuk penerbangan A dan B secara berturutturut. 3.
Model Penelitian
Penyelesaian model dynamic programming dimulai dari event terakhir (T+1) terlebih dahulu. kemudian secara berurut mundur, dilakukan perhitungan untuk event sebelumnya, hingga event ke-0. Pada tiap event tersebut akan dilakukan perhitungan Rt(nA, nB), yaitu expected revenue selama sisa waktu [t,T+1], jika tiket yang tersisa saat itu (event ke-t) untuk penerbangan A sebanyak nA dan untuk penerbangan B sebanyak nB. Maka total expected revenue merupakan revenue yang dapat diperoleh saat awal selling horizon (t=0), jika tiket belum ada yang terjual sama sekali, R0(CA+vA,CB+vB). 3.1 Model pada event T+1 Event T+1 merupakan event yang terjadi setelah selling horizon berakhir, yaitu saat keberangkatan penerbangan A maupun penerbangan B. Pada saat itu, yang dimungkinkan terjadi hanyalah adanya kustomer yang tidak datang atau no-show customer. Tidak ada pertambahan pendapatan untuk maskapai penerbangan, namun timbul dua macam biaya. Biaya yang timbul adalah biaya refund untuk no-show customers, serta overbooking penalty jika kustomer yang datang melebihi kapasitas kursi pesawat yang tersedia. Biaya yang mungkin terjadi ini akan mengurangi perolehan total expected revenue kedua penerbangan. Sehingga fungsi expected revenue pada event T+1 adalah sebagai berikut :
4
𝑅𝑇+1 (𝑛𝐴 , 𝑛𝐵 )
= 𝐸�−𝜋�𝑌(𝑥𝐴 )� − 𝜋�𝑌(𝑥𝐵 )� − �𝑥𝐴 − 𝑌(𝑥𝐴 )�𝑑 − �𝑥𝐵 − 𝑌(𝑥𝐵 )�𝑑�
= −𝑚𝑎𝑥�0, �(1 − 𝛾) × (𝐶𝐴 + 𝑣𝐴 − 𝑛𝐴 ) − 𝐶𝐴 �� × 𝑠 −𝑚𝑎𝑥�0, �(1 − 𝛾) × (𝐶𝐵 + 𝑣𝐵 − 𝑛𝐵 ) − 𝐶𝐵 �� × 𝑠
−[(𝐶𝐴 + 𝑣𝐴 − 𝑛𝐴 ) − (1 − 𝛾) × (𝐶𝐴 + 𝑣𝐴 − 𝑛𝐴 )] × 𝑑
−[(𝐶𝐵 + 𝑣𝐵 − 𝑛𝐵 ) − (1 − 𝛾) × (𝐶𝐵 + 𝑣𝐵 − 𝑛𝐵 )] × 𝑑,
(1)
𝜋�𝑌(𝑥𝐴 )� dan 𝜋�𝑌(𝑥𝐵 )� secara berturutturut merupakan total biaya overbooking yang dapat terjadi untuk penerbangan A dan penerbangan B. Perhitungan pada event T+1 dengan kombinasi sisa tiket nA dan nB, akan digunakan untuk perhitungan pada event sebelumnya. Perlu dilakukan perhitungan pada event T+1 dengan berbagai macam kombinasi sisa tiket yang mungkin terjadi saat itu. 3.2 Model pada event t < T+1 Event t < T + 1 merupakan events yang terjadinya selama selling horizon. Pada saat itu, jika tiket masih tersisa, maka maskapai penerbangan masih dapat menjual kursi yang tersisa tersebut dengan harga yang optimal. Selain itu pada event t < T + 1, dimungkinkan juga terjadi pembatalan pemesanan oleh kustomer yang telah membeli tiket sebelumnya. Kustomer yang melakukan pembatalan ini akan diberikan refund oleh maskapai penerbangan. Untuk menghitung expected revenue serta optimal joint pricing pada event t (t < T + 1), maka diperlukan hasil perhitungan expected revenue pada event setelahnya, yaitu event t + 1. Terdapat 4 macam keadaan yang merepresentasikan keadaan sisa kursi yang berbeda, sehingga masing-masing memerlukan formulasi yang berbeda. Berikut ini formulasi expected revenue pada event t, pada 4 macam keadaan yang berbeda. Keadaan 1 : Jika nA = nB = 0, pada kasus ini, jumlah tiket yang terpesan untuk kedua penerbangan telah mencapai batas overbooking maksimal. Sehingga tidak perlu dicari optimal pricing, dan tidak ada pertambahan pendapatan bagi perhitungan expected revenue dalam keadaan ini. Namun pembatalan masih dapat
terjadi saat itu. Berikut ini fungsi expected revenue untuk keadaan 1. R t (0,0) (4.1)
= (𝐶𝐴 + 𝑣𝐴 )𝑞𝑡 𝐴 [𝑅𝑡+1 (1,0) − 𝑐]
+(𝐶𝐵 + 𝑣𝐵 )𝑞𝑡 𝐵 [𝑅𝑡+1 (0,1) − 𝑐]
+�1 − (𝐶𝐴 + 𝑣𝐴 )𝑞𝑡 𝐴 − (𝐶𝐵 + 𝑣𝐵 )𝑞𝑡 𝐵 �𝑅𝑡+1 (0,0)
(2)
Keadaan 2 : Jika nA = 0, nB > 0, pada kasus ini, hanya penerbangan B yang masih menyisakan tiket untuk dijual. Sedangkan penerbangan A telah menjual seluruh tiketnya hingga batas maksimal overbooking. Sehingga pada keadaan ini, akan dihitung expected revenue dan ditentukan optimal pricing untuk penerbangan B (pB). Pada kasus ini, jika ada kustomer tipe III yang datang, akan langsung memilih penerbangan B, karena tiket penerbangan A sudah habis. R t (0, n2 )
= max��𝜆𝑡 2 + 𝜆𝑡 3 �𝐹�𝑡 (𝑝𝐵 )[𝑝𝐵 + 𝑅𝑡+1 (0, 𝑛2 − 1)] pB ∈P
+(𝐶𝐴 + 𝑣𝐴 )𝑞𝑡 𝐴 [𝑅𝑡+1 (1, 𝑛2 ) − 𝑐]
+(𝐶𝐵 + 𝑣𝐵 − 𝑛2 )𝑞𝑡 𝐵 [𝑅𝑡+1 (0, 𝑛2 + 1) − 𝑐] +�1 − �𝜆𝑡 2 + 𝜆𝑡 3 �𝐹�𝑡 (𝑝𝐵 ) − (𝐶𝐴 + 𝑣𝐴 )𝑞𝑡 𝐴 −(𝐶𝐵 + 𝑣𝐵 − 𝑛2 )𝑞𝑡 𝐵 �𝑅𝑡+1 (0, 𝑛2 )}
(3)
Keadaan 3 : Jika n1 > 0, n2 = 0, pada kasus ini, hanya penerbangan A yang masih menyisakan tiket untuk dijual. Sedangkan penerbangan B telah menjual seluruh tiketnya hingga batas maksimal overbooking. Sehingga pada keadaan ini, akan dihitung expected revenue dan ditentukan optimal pricing untuk penerbangan A (pA). Pada kasus ini, jika ada kustomer tipe III yang datang, akan langsung memilih penerbangan A karena tiket untuk penerbangan B telah terjual habis hingga batas overbooking. 𝑅𝑡 (𝑛1 , 0)
= max�(𝜆𝑡1 + 𝜆𝑡 3 )𝐹�𝑡 (𝑝𝐴 )[𝑝𝐴 + 𝑅𝑡+1 (𝑛1 − 1,0)] 𝑝𝐴 ∈𝑃
+(𝐶𝐴 + 𝑣𝐴 − 𝑛1 )𝑞𝑡 𝐴 [𝑅𝑡+1 (𝑛1 + 1,0) − 𝑐]
5
+(𝐶𝐵 + 𝑣𝐵 )𝑞𝑡 𝐵 [𝑅𝑡+1 (𝑛1 , 1) − 𝑐]
+�1 − �𝜆𝑡1 + 𝜆𝑡 3 �𝐹�𝑡 (𝑝𝐴 ) − (𝐶𝐴 + 𝑣𝐴 − 𝑛1 )𝑞𝑡 𝐴 −(𝐶𝐵 + 𝑣𝐵 )𝑞𝑡 𝐵 �𝑅𝑡+1 (𝑛1 , 0)}
(4)
Keadaan 4 : Jika n1 > 0, n2 > 0, pada kasus ini tiket kursi yang terjual untuk kedua penerbangan masih belum mencapai batas overbooking. Maskapai penerbangan masih dapat memperoleh pendapatan dari keduanya. Sehingga harus ditentukan optimal joint pricing untuk kedua penerbangan. R t (n1 , n2 )
= max ��λt1 + βλt 3 I{pA=pB} + λt 3 I{pA
R t+1 (n1 − 1, n2 )]
+�λt 2 + (1 − β)λt 3 I{pA=pB} + λt 3 I{pA>pB} )F�t (pB )[pB + R t+1 (n1 , n2 − 1)] +(CA + vA − n1 )qt A [R t+1 (n1 + 1, n2 ) − c]
+(CB + vB − n2 )qt B [R t+1 (n1 , n2 + 1) − c]
+�1 − �λt1 + βλt 3 I{pA=pB} + λt 3 I{pA
pB} )F�t (pB ) −(CA + vA − n1 )qt A
−(CB + vB − n2 )qt B �R t+1 (n1 , n2 )}
4.
(5)
Perhitungan Batas Overbooking yang Optimal
Dengan mengetahui pengaruh tingkat overbooking terhadap total expected revenue untuk kedua penerbangan paralel, maka dapat dicari tingkat overbooking yang optimal untuk diberlakukan selama selling horizon. Gambar 4.1 merupakan flowchart untuk mencari tingkat overbooking yang optimal bagi kedua penerbangan paralel.
Gambar 4.1 Flowchart Perhitungan Batas Overbooking yang optimal
Pada keadaan tertentu overbooking dapat meningkatkan pendapatan bagi maskapai penerbangan. Namun tingkat overbooking pada suatu titik tertentu akan mencapai keadaan optimal, sehingga jika ditambahkan lagi justru tidak dapat memaksimalkan pendapatan. Hal ini dikarenakan jika jumlah overbooking yang diperbolehkan terlalu banyak, akan beresiko menimbulkan biaya overbooking penalty yang terlalu besar bagi maskapai penerbangan. 5.
Percobaan Numerik
Untuk menguji model yang telah dikembangkan dilakukan percobaan numerik dengan parameter awal sebagai berikut : Kapasitas kursi untuk kedua penerbangan sama, C1 = C2 = 30; Tiket dapat dijual dengan enam alternatif harga tiket, harga tiket penuh (100%) sebesar Rp.500.000,00; Sedangkan lima alternatif harga diskon lainnya terhadap harga tiket penuh berturut-turut sebesar 90%, 80%, 70%, 60%, dan 50%; Peluang bahwa kustomer mau menerima untuk membeli dengan hargaharga tersebut adalah {0.30, 0.40, 0.48, 0.58, 0.70, 0.85}; Selling horizon dibagi menjadi T = 250 events; Tingkat kedatangan kustomer ditentukan sebesar λ = 175/T = 0.7, dimana proporsi untuk kustomer tipe I, II, dan III adalah (α1, α2, α3) = (30%, 45%, 25%); Ketika harga 6
sama untuk kedua penerbangan, maka dengan peluang β = 0.4, kustomer tipe III akan memilih penerbangan A; Tingkat cancellation per kustomer untuk penerbangan A dan penerbangan B sama, sebesar 0.002; Kustomer yang telah memiliki tiket penerbangan berpeluang sebesar γ = 0.1 untuk tidak hadir saat keberangkatan (no-show customer); Biaya refund untuk cancellations ditetapkan sebesar 45% terhadap harga tiket penuh, sedangkan untuk no-shows sebesar 20% terhadap harga tiket penuh; Biaya untuk overbooking penalty sebesar 140% terhadap harga tiket penuh per kustomer. Sebagai parameter awal, tidak ada overbooking untuk kedua penerbangan. Karena pada tiap percobaan akan dicari overbooking limit yang optimal. Pada percobaan numerik, selain total expected revenue, digunakan performance indicator sebagai berikut : expected rate of occupied seats (ROS), yang menunjukkan utilisasi kapasitas kursi pesawat, serta average selling price (ASP), yang menunjukkan rata-rata harga tiket optimal yang dijual.
model pada percobaan 1 ini dilakukan dengan nilai overbooking penalty yang berbeda-beda. Akan dilihat bagaimana pengaruh perubahan overbooking penalty ini terhadap overbooking limit yang optimal, serta hasil total expected revenue, ROS dan ASP dalam kondisi overbooking limit yang optimal tersebut. Tabel 5.2 menunjukkan perhitungan untuk mencari overbooking limit yang optimal untuk parameter overbooking penalty = 200% dari harga tiket penuh. Nilai total expected revenue mengalami penurunan ketika overbooking limit penerbangan A ditambah menjadi lima tiket. Maka keadaan optimal adalah menetapkan batas 4 tiket overbooking untuk penerbangan A. Demikian juga untuk penerbangan B, ketika batas overbooking ditambah menjadi lima tiket, terjadi penurunan total expected revenue. Maka batas 4 tiket overbooking merupakan kondisi optimal untuk penerbangan B. Tabel 5.2 Perhitungan Optimal Overbooking Limit untuk Parameter Overbooking Penalty = 200% dari Harga Tiket Penuh
5.1 Percobaan Tanpa Overbooking, Cancellations, dan No-Shows Berikut ini dilakukan percobaan pengujian model tanpa adanya overbooking, cancellations maupun no-shows. Ini merupakan kondisi yang sama dengan model dasar yang disusun oleh Xiao, dkk. Hasil dari percobaan ini akan digunakan sebagai pembanding dengan percobaan lain ketika menerapkan overbooking, cancellations, maupun no-shows. Berikut ini tabel 5.1 yang menunjukkan hasil percobaan ini. Tabel 5.1 Hasil Percobaan Tanpa Overbooking, Cancellations dan No-Shows
Tabel 5.3 Hasil Percobaan 1 (Expected Revenue)
5.2 Percobaan Numerik 1 Pada percobaan 1 ini dilakukan running model dengan parameter awal yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, pengujian
7
Total Expected Revenue (juta Rp)
Tabel 5.4 Hasil Percobaan 1 (ROS dan ASP)
28.45 28.40 28.35 28.30 28.25 28.20 28.15 28.10 28.05 28.00 120.00%
140.00%
160.00%
180.00%
200.00%
Overbooking Penalty (x Full Fare Price) Total Expected Revenue (Optimal Overbooking)
Expected ROS
Gambar 5.1 Grafik Total Expected Revenue pada Percobaan 1 100.00% 99.00% 98.00% 97.00% 96.00% 95.00% 94.00% 93.00% 92.00% 91.00% 90.00% 120.00%
140.00%
160.00%
180.00%
200.00%
Overbooking Penalty (x Full Fare Price) Expected ROS (Optimal Overbooking)
Gambar 5.2 Grafik Expected ROS Dua Penerbangan pada Percobaan 1 414.00
ASP (ribu Rp)
412.00 410.00 408.00 406.00 404.00 402.00 400.00 120.00%
140.00%
160.00%
180.00%
200.00%
Overbooking Penalty (x Full Fare Price)
120% dari harga tiket penuh, didapatkan bahwa batas overbooking yang optimal untuk kedua penerbangan bertambah menjadi 5 tiket. Ini menunjukkan bahwa batas overbooking lebih rendah saat biaya overbooking penalty tinggi. Karena dengan semakin tingginya biaya overbooking penalty, batas overbooking yang banyak akan beresiko untuk menimbulkan biaya overbooking penalty yang lebih besar. Terdapat tradeoff dalam keputusan menetapkan harga tiket, terkait dengan biaya overbooking penalty. Harga tiket yang rendah, dapat menyebabkan banyaknya permintaan dari kustomer, namun hal ini dapat memiliki resiko untuk terkena biaya overbooking penalty yang tinggi ketika jumlah penumpang melebihi kapasitas kursi pesawat. Sebaliknya, harga tiket yang tinggi, mengurangi jumlah permintaan dari kustomer, namun dapat mengurangi resiko untuk terkena biaya overbooking penalty. Karena tradeoff inilah maka penetapan harga tiket harus dioptimalkan dengan melihat biaya overbooking penalty yang dapat terjadi. Keputusan harga yang optimal akan memaksimalkan pendapatan bagi maskapai penerbangan. Dari percobaan 1 didapatkan bahwa semakin tinggi biaya overbooking penalty, maka total expected revenue yang didapatkan menurun, ROS juga menurun, sedangkan ASP nilainya meningkat, namun peningkatan atau penurunan tersebut tidak signifikan. Hal ini dapat disebabkan karena pada model akan ditetapkan harga tiket kedua penerbangan yang optimal. Sehingga dengan sendirinya harga tiket yang optimal tersebut akan mengurangi resiko terjadinnya bumped passenger, agar total expected revenue tetap optimal. Hal ini juga dapat dilihat dari meningkatnya ASP. Dengan peningkatan ASP dapat mengurangi jumlah permintaan agar kemungkinan terjadinya bumped passengers dapat dikurangi. ASP yang meningkat diikuti dengan menurunnya ROS dan juga menurunnya total expected revenue.
Expected ASP (Optimal Overbooking)
Gambar 5.3 Grafik ASP Dua Penerbangan pada Percobaan 1
Pada nilai overbooking penalty 200% hingga 140% dari harga tiket penuh, ternyata batas overbooking yang optimal untuk kedua penerbangan sama, 4 tiket. Namun ketika overbooking penalty ini lebih rendah, yaitu saat
6.
Kesimpulan
Pada penelitian ini telah dilakukan pengembangan model joint dynamic pricing untuk dua penerbangan paralel dengan mempertimbangkan overbooking, cancellations, serta no-show customers. Overbooking penalty yang tinggi akan mengurangi pendapatan, menurunkan utilisasi kapasitas kursi pesawat
8
(ROS), serta menyebabkan tingginya rata-rata harga tiket (ASP) yang dijual kepada kustomer. 7.
Revenue Management. European Journal of Operational Research 197 : 848-861
Daftar Pustaka
Bazargan, Massoud. (2004). Airline Operations and Scheduling. Ashgate. USA Becher, Michael. (2008). Integrated Capacity and Price Control in Revenue Management. Gabler Edition Wissenschaft. Germany Belobaba, Peter P. (1987) Airline Travel Demand and Airline Seat Inventory Management. Ph.D thesis, Flight Transportation Laboratory, Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, MA. Belobaba, Peter P. (1987) Airline Yield Management an Overview of Seat Inventory Control. Transportation Science. Vol 21(2). Chopra, S., Meindl, P. (2001). Supply Chain Management: Strategy, Planning, and Operations. London: Prentice Hall. Hellermann, Rolf. (2006). Capacity Options for Revenue Management. Berlin : Springer. Hillier, Frederick S., and Lieberman, Gerald J. (1990). Introduction to Operations Research. Singapore : McGraw-Hill Book Co. Luo, Li, and Peng, Ji-Hua. (2007) Dynamic Pricing Model for Airline Revenue Management under Competition. System Engineering-Theory & Practice. Vol 27(11) : 15-25 Subramanian, J., Stidham JR. S., Lautenbacher, C. J.. (1999). Airline Yield Management with Overbooking, Cancellations, and No-Shows. Transportation Science. Vol. 33, No2. Tallury, Kalyan T, Van Ryzin, G. (2004). The Theory and Practice of Revenue Management. Boston : Kluwer Academic Publishers. Varma, Gopal Das, and Vettas, Nikolaos. (2001). Optimal Dynamic Pricing with Inventories. Economics Letters 72 : 335-340 Xiao, Y. B., Chen, J., and Liu, X. L. (2008). Joint Dynamic Pricing for Two Parallel Flights based on Passenger Choice Behavior. System Engineering-Theory & Practice. Vol 28(1): 46-55. Zhang, Dan, and Cooper, William L. (2005). Revenue Management for Parallel Flight with Customer-Choice Behavior. Operations Research. Vol 53(3) : 415-431 Zhang, Dan, and Cooper, William L. (2006). Pricing Substitutable Flights in Airline
9