SKRIPSI
PENGEMBANGAN MINUMAN FRUITMILK DI PT. SANGHIANG PERKASA, JAKARTA
YAYAH HOERIYAH F24102057
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SKRIPSI
PENGEMBANGAN MINUMAN FRUITMILK DI PT. SANGHIANG PERKASA, JAKARTA
Oleh : YAYAH HOERIYAH F24102057
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Yayah
Hoeriyah.
F24102057.
Pengembangan
Minuman
Fruitmilk
di
PT. Sanghiang Perkasa, Jakarta. Di bawah bimbingan: Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS. 2006 RINGKASAN
PT. Sanghiang Perkasa merupakan perusahaan yang menghasilkan produk makanan dan minuman yang berbasis kesehatan (Health Food). Produk yang saat ini sedang dikembangkan adalah minuman fruitmilk dengan kandungan protein tinggi yang diproses dengan cara sterilisasi. Minuman fruitmilk selain memiliki protein tinggi yang berasal dari whey protein susu juga mengandung mineral kalsium, fosfat, magnesium, dan besi. Penelitian dilakukan dalam rangka mengembangkan formulasi dan proses pembuatan minuman fruitmilk. Kegiatan yang dilakukan meliputi enam tahap yaitu proses pembuatan minuman fruitmilk, pemilihan sumber protein, pemilihan konsentrat sari buah, pemilihan acidulant, penambahan mineral, dan pemilihan stabilizer. Pengamatan yang dilakukan meliputi analisis organoleptik dengan metode kesukaan dan analisis fisik terhadap produk fruitmilk yang meliputi pH, viskositas dan total padatan terlarut produk. Produk fruitmilk merupakan produk berbasis whey protein susu yang dicampur konsentrat sari buah. Pengembangan pada produk yang berbasis whey protein susu telah banyak dilakukan, salah satunya adalah penelitian oleh Djuric et al. (2004), yaitu pengembangan produk yang berbasis whey protein susu dengan penambahan konsentrat sari buah jeruk, apel, peach dan pear. Proses pembuatan fruitmilk terdiri atas tiga tahap yaitu pencampuran, homogenisasi, dan sterilisasi. Sumber protein yang digunakan adalah kombinasi WPC (whey protein concentrate) dan WPI (whey protein isolate) dengan perbandingan 4:1 %B/B. Konsentrat sari buah yang digunakan adalah konsentrat stroberi dengan konsentrasi 1 %B/B yang memiliki pH 4.39 dengan total padatan terlarut 19 °Brix. Konsentrasi asam yang digunakan untuk mencapai pH 4.2-4.3 untuk asam sitrat dan asam malat adalah sebesar 0.35 %B/B, sedangkan untuk asam laktat adalah 0.4 %B/B. Produk fruitmilk memiliki kandungan protein yang
cukup tinggi dan diproses secara HTLT (High Temperature Long Time). Hal ini mengakibatkan protein memiliki risiko yang tinggi terhadap denaturasi, oleh karena itu perlu dilakukan penambahan stabilizer. Stabilizer yang terpilih adalah pektin B dengan konsentrasi 0.1 %B/B menghasilkan produk stabil dengan viskositas 160 centipoise. Dari hasil analisis kesukaan untuk atribut warna dan aroma diketahui bahwa produk fruitmilk yang dibuat telah disukai panelis dengan persentase kesukaan lebih dari 70%, sedangkan untuk atribut rasa dan tekstur masih dalam taraf biasa sampai suka. Produk fruitmilk yang dibuat dibandingkan dengan produk yang dikembangkan oleh Djuric et al. (2004), ternyata produk fruitmilk memiliki karakteristik organoleptik yang tidak jauh berbeda untuk atribut warna, rasa dan aroma. Dengan demikian secara umum produk fruitmilk untuk ketiga atribut tersebut telah dapat diterima. Sedangkan untuk atribut tekstur produk fruitmilk memiliki persentase kesukaan untuk dapat diterima lebih rendah daripada produk yang dikembangkan oleh Djuric et al. (2004). Selanjutnya dilakukan penambahan mineral pada formula asam. Asam malat dan laktat memiliki rasa asam yang lembut dibandingkan dengan asam sitrat (Doores, 1990), sehingga kedua formula asam tersebut diberi perlakuan penambahan mineral. Dibandingkan persentase kesukaan untuk dapat diterima antara formula asam tanpa penambahan mineral dengan dengan formula asam dengan penambahan mineral pada atribut warna, aroma, rasa dan tekstur mengalami penurunan <5%. Semua formula baik formula asam (sitrat, malat, laktat) maupun formula asam dan mineral (malat dan mineral, laktat dan mineral), setelah dianalisis secara statistik tidak memiliki perbedaan yang nyata antara formula untuk tiap atribut warna, aroma, rasa dan tekstur. Karakteristik fisik produk fruitmilk berdasarkan percobaan yaitu memiliki pH pada kisaran 4.2-4.3, memiliki total padatan terlarut sekitar 25 °Brix, dan viskositas sebesar 160 centipoise. Secara umum produk ini masih perlu pengembangan dalam hal tekstur dengan memperhatikan konsentrasi protein, pektin, total padatan terlarut, asam dan proses pemanasan.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PENGEMBANGAN MINUMAN FRUITMILK DI PT. SANGHIANG PERKASA, JAKARTA Oleh : YAYAH HOERIYAH F24102057
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Dilahirkan pada tanggal 7 Mei 1984 Di Bogor Tanggal Lulus : 6 September 2006 Menyetujui, Bogor, 15 September 2006
Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS Dosen Pembimbing Akademik Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 Mei 1984. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan H. M. Supri dan Hj. Siti Mariam. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Bantar Kemang 7 Bogor (19901996), SLTP Negeri 3 Bogor (1996-1999), dan SMU Negeri 1 Bogor (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Jalur USMI (Undangan Saringan Masuk IPB) dan terdaftar sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selam masa perkuliahan penulis aktif dalam beberapa kegiatan akademis dan non akademis, diantaranya menjadi asisten praktikum Biokimia Pangan, Prinsip Teknik Pangan, dan Teknologi Hasil Hortikultura. Selain itu penulis juga menjadi anggota FPC (Food Processing Club) pada tahun 2003 dan anggota di Departemen Profesi dan Internal HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) pada tahun 2004. Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan, diantaranya sebagai bendahara HACCP (Hazard Analytical Critical Control Point) II pada tahun 2004 dan menjadi seksi acara pada acara LCTIP (Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan) Tingkat Nasional pada tahun 2004. Pada tahuna 2004, penulis melakukan praktek lapang di PT. Indolakto dengan tema ”Mempelajari Teknologi Proses Produksi Susu UHT di PT. Indolakto, Sukabumi.” Penulis melakukan kerja magang di bagian Product Development PT. Sanghiang Perkasa, Kalbe Farma Health Food Division dibawah bimbingan Ibu Juli dan Ibu Kuntari. Dalam kegiatan magang tersebut, penulis melakukan penelitian dengan tema ”Pengembangan Minuman Fruitmilk di PT. Sanghiang Perkasa, Jakarta” yang kemudian ditulis untuk skripsi ini dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR…………………………………………….
i
DAFTAR ISI……………………………………………………...
iii
DAFTAR TABEL………………………………………………...
v
DAFTAR GAMBAR……………………………………………..
vi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………...
vii
I.
PENDAHULUAN…………………………………………..
1
A. LATAR BELAKANG…………………………………...
1
B. TUJUAN………………………………………………....
2
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………….
3
A. PROTEIN………………………………………………...
3
1. Fungsi Dan Karakteristik.................……………….....
3
2. Whey Protein Susu………..…………………………..
4
3. Denaturasi Protein……….....………………………....
7
B. KONSENTRAT SARI BUAH…………………………...
9
C. SUKROSA…………………………………………….....
10
D. BAHAN TAMBAHAN PANGAN………………………
10
1. Asam Sitrat................…………………………………
11
2. Asam Malat...........……………………………………
11
3. Asam Laktat............………………………………......
12
4. Stabilizer...............……………………………………
13
5. Pewarna..........………………………………………...
14
6. Flavor.........…………………………………………...
14
E. MINERAL .................................…………………………
15
F. PROSES PEMANASAN ......………………………….....
16
III. METODOLOGI PENELITIAN…………………………......
19
A. BAHAN DAN ALAT…………………………………....
19
B. METODE………………………………………………...
19
II.
1. Penelitian Pendahuluan.................................................
21
a. Proses Pembuatan Fruitmilk..............…………........
21
b. Pemilihan Sumber Protein.............……………….....
24
c. Pemilihan Konsentrat Sari Buah....................………
24
d. Pemilihan Stabilizer...................................................
25
2. Penelitian Lanjutan........................................................
25
a. Pemilihan Jenis Pengasam.............………………….
25
b. Penambahan Mineral..........………………………..
25
C. METODE ANALISIS…………………………………...
26
1. Nilai pH ...……………………………………………
26
2. Viskositas...…………………………………………..
26
3. Total Padatan Terlarut………………………………...
27
4. Analisis Organoleptik………...……………...............
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………….
27
A. PENELITIAN PENDAHULUAN……………………….
28
1. Proses Pembuatan Fruitmilk………………….............
28
2. Pemilihan Sumber Protein……….…….……………..
32
3. Pemilihan Konsentrat Sari Buah.………....…………..
35
4. Pemilihan Stabilizer....................................…………..
37
B. PENELITIAN LANJUTAN..............................................
40
1. Pemilihan Jenis Pengasam ...........…………………...
40
2. Penambahan Mineral.....................................................
48
C. PEMBAHASAN UMUM..................................................
55
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………….
59
A. KESIMPULAN……………………………………….....
59
B. SARAN………………………………………………….
61
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….
63
LAMPIRAN……………………………………………………...
67
V.
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Batas maksimum penggunaan asam sitrat pada pangan...
11
Tabel 2.
Batas maksimum penggunaan asam malat pada pangan..
12
Tabel 3.
Spesifikasi mutu pektin kering..........................................
13
Tabel 4.
Jenis analisis untuk tiap-tiap tahap perlakuan...................
20
Tabel 5.
Hubungan pH dan suhu pada proses sterilisasi.................
23
Tabel 6.
Kandungan mineral fruitmilk............................................
26
Tabel 7.
Formulasi berdasarkan literatur........................................
29
Tabel 8.
Spesifikasi WPC dan WPI yang dipakai pada produk minuman fruitmilk.............................................................
Tabel 9.
33
Karakteristik fungsi whey yang penting pada produk Minuman...........................................................................
34
Tabel 10. Hasil perlakuan jumlah WPC dan WPI.............................
34
Tabel 11. Hasil percobaan penggunaan beberapa jenis konsentrat sari buah pada produk minuman fruitmilk........................
36
Tabel 12. Hasil perlakuan perbedaan konsentrasi konsentrat apel pada Produk minuman fruitmilk................................................
36
Tabel 13. Hasil perlakuan jenis dan konsentrasi pektin.....................
37
Tabel 14. Jenis-jenis pektin dan aplikasi penggunaannya.................
38
Tabel 15. Perbandingan produk fruitmilk yang stabil dan tidak stabil ..........................................................................................
39
Tabel 16. Hasil analisis fisik dan kimia fruitmilk.............................
52
Tabel 13. Karakteristik fisik produk yang sudah beredar dipasaran..
53
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Kerangka penelitian pengembangan fruitmilk…………. 20
Gambar 2.
Proses pembuatan minuman fruitmilk tahap 1................. 21
Gambar 3.
Proses pembuatan minuman fruitmilk tahap 2.................. 23
Gambar 4a. Bagan alir pembuatan fruitmilk………………………… 31 Gambar 4b. Bagan alir pembuatan Long Life Whey Drink …............. 31
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Komposisi produk whey (%w/w)……………………….
67
Lampiran 2.
Formulir analisis hedonik................................................
68
Lampiran 3a. Rekapitulasi analisis hedonik formula asam.....................
69
Lampiran 3b. Persentase kesukaan formula asam............................ ......
69
Lampiran 4a. Analisa sidik ragam warna formula asam.........................
70
Lampiran 4b. Analisis duncan terhadap atribut warna formula asam ………………………………………………….……….
70
Lampiran 5a. Analisa sidik ragam aroma formula asam.........................
71
Lampiran 5b. Analisis duncan terhadap atribut aroma formula asam ………………………………………………….……….
71
Lampiran 6a. Analisa sidik ragam rasa formula asam............................
72
Lampiran 6b. Analisis duncan terhadap atribut rasa formula asam ………………………………………………..…..……..
72
Lampiran 7a. Analisa sidik ragam tekstur formula asam........................
73
Lampiran 7b. Analisis duncan terhadap atribut tekstur formula asam …………………………………………………....……..
73
Lampiran 8a. Rekapitulasi analisis hedonik formula asam dan mineral ..........................................................................................
74
Lampiran 8b. Persentase kesukaan formula asam dan mineral...............
74
Lampiran 9.
Analisa sidik ragam warna formula asam dan mineral.....
75
Lampiran 10. Analisa sidik ragam aroma formula asam dan mineral.....
75
Lampiran 11. Analisa sidik ragam rasa formula asam dan mineral........
76
Lampiran 12. Analisa sidik ragam tekstur formula asam dan mineral....
76
BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengembangan produk merupakan kegiatan yang harus terus dilakukan oleh industri pangan untuk kelangsungan dan kemajuan industri tersebut. Kegiatan pengembangan produk dapat dilakukan untuk menciptakan produk yang benar-benar baru ataupun hanya sebatas penyempurnaan dan modifikasi produk yang sudah ada. Setiap produk akan mengalami suatu siklus hidup (life cycle) yaitu fase pengenalan produk, fase pertumbuhan, fase kejenuhan (stationer) dan fase penurunan penjualan. Oleh karena itu kegiatan pengembangan produk harus terus dilakukan khususnya saat produk telah mencapai fase kejenuhan sehingga saat produk tersebut mencapai fase penurunan, perusahaan telah memiliki produk lain yang dapat menggantikan produk yang telah mencapai fase penurunan ataupun merevitalisasi produk yang sudah beredar dipasaran. Dengan demikian produk tersebut tetap exist dan memiliki jangkauan pasar yang lebih luas. Setiap tahap dalam proses pengembangan produk baru harus dilakukan dan dianalisis secara seksama dengan tujuan untuk menciptakan produk yang sesuai dengan standar mutu yang diharapkan. Saat ini produk berbasis susu banyak dikembangkan oleh industri, hal ini dikarenakan susu merupakan bahan pangan yang hampir sempurna kandungan gizinya. Kandungan gizi pada susu sapi yaitu protein 3.5%, lemak 3.7%, total kasein 2.8%, karbohidrat 4.8%, whey protein 0.7%, dan mineral 0.7% (Bylund, 1995). Sebagai bahan pangan, susu dapat digunakan baik dalam bentuk aslinya sebagai satu kesatuan maupun dari bagian-bagiannya. Salah satu bagian susu yang banyak diaplikasikan dalam industri pangan adalah whey protein susu. Whey protein susu memiliki fungsi nutrisi yang tinggi dan telah dikenal sebagai produk yang menyehatkan. Whey protein adalah sumber yang baik untuk vitamin dan mineral serta protein. Whey protein merupakan protein berkualitas tinggi karena mengandung asam amino bersulfur. Kandungan asam amino bersulfur dalam whey protein susu dilaporkan oleh Djuric et al. (2004) memiliki aktivitas antikanker.
Minuman yang menyegarkan dan bernutrisi dapat dihasilkan dari whey protein dan konsentrat whey protein yang dikombinasikan dengan buah. PT. Sanghiang Perkasa mencoba mengembangkan produk yang berbasis pada whey protein susu yaitu produk minuman fruitmilk. Fruitmilk merupakan produk minuman yang berbasis pada whey protein susu yang dicampur dengan komponen buah yaitu konsentrat sari buah. Bagi
perusahaan,
pengembangan
produk
minuman
fruitmilk
merupakan suatu inovasi baru dengan pemanfaatan whey protein susu dan proses sterilisasi, sehingga diharapkan memiliki nilai jual tinggi. Sedangkan untuk konsumen, produk minuman fruitmilk yang akan dikembangkan diharapkan dapat diterima sebagai minuman yang menyehatkan. Minuman merupakan media yang baik guna menambahkan komponen zat gizi untuk memperkaya diet (Kuhn, 1998 diacu dalam Temelli, 2004). Dimana minuman yang dikonsumsi sebagai bagian dari diet sehari-hari dapat meningkatkan status gizi konsumen tanpa mempengaruhi kebiasaan makan dari konsumen sehari-hari. Penelitian dalam pengembangan minuman berbasis whey yang dikombinasikan dengan komponen buah telah banyak dilakukan. Penelitian pertama yaitu pada tahun 1976 oleh Bangert didalam Djuric et al. (2004) yang mengkombinasikan whey protein dengan jeruk. Sejak saat itu minuman berbasis
whey
yang
paling
populer
adalah
minuman
whey
yang
dikombinasikan dengan jeruk. Selain itu kombinasi lain yang memiliki penerimaan yang baik bila dicampur dengan whey protein adalah anggur, mangga, pisang, nanas, jambu dan stroberi (Branger et al., 1999).
B. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan formulasi dan proses pembuatan minuman fruitmilk. Parameter mutu yang dimonitor adalah parameter organoleptik, fisik dan kimia. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan oleh PT. Sanghiang Perkasa untuk pengembangan produk minuman fruitmilk lebih lanjut.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PROTEIN 1. Fungsi Dan Karakteristik Protein adalah senyawa organik terdiri atas karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), dan nitrogen (N). Keberadaan nitrogen (N) membedakan protein dengan zat gizi lain. Fungsi protein bagi tubuh adalah untuk pemeliharaan, penggantian jaringan yang rusak serta pertumbuhan sel-sel baru. Sedangkan fungsi spesifiknya antara lain untuk mensintesa protein struktural (otot, kulit, rambut), sintesa hormon peptida (seperti growth hormone (GH), insulin-like growth factor 1 (IGF-1), insulin dan glukagon), dan sintesa protein transport (seperti albumin yang digunakan untuk transportasi senyawa lain dalam aliran darah). Protein tersusun atas sub-unit yang dikenal dengan asam amino. Setiap hari tubuh manusia memecah protein dan mensintesa yang lain, proses ini disebut pergantian protein (protein turn over). Pada keadaan diet normal, seseorang rata-rata mengganti 300 g protein dalam 24 jam, tapi tubuh tidak membutuhkan 300 g protein sehari. Hal ini disebabkan karena sebagian besar protein yang dipecah akan digunakan kembali dalam sintesa protein. Kebutuhan protein wajib manusia dewasa didefinisikan sebagai jumlah protein yang diperlukan untuk mengimbangi protein yang hilang setiap hari, sehingga seseorang tetap berada dalam keseimbangan N. Kebutuhan protein manusia dewasa menurut RDA (Recommended Dietary Allowance) adalah sebesar 0.8 g/Kg BB/hari yang dapat mencukupi kebutuhan protein manusia dewasa bagi 95% populasi (RDA, 1980). Protein
memiliki
beberapa
karakteristik
yaitu
kelarutan
dan
kekentalan. Menurut Wolf (1969), sifat kelarutan protein dipengaruhi oleh kekuatan ion, pH, ukuran partikel dan proses produksi. Sedangkan kekentalan atau viskositas merupakan salah satu sifat fisik dari bahan pangan. Nilai kekentalan dinyatakan dengan centipoise yang menunjukkan sifat hidrodinamik dari molekul protein dalam larutan.
Kelarutan protein sangat dipengaruhi oleh pH, hal ini didasarkan pada perbedaan muatan antara asam-asam amino yang menyusun protein. Pada pH tertentu perbedaan tersebut dapat mencapai nol atau terjadi keseimbangan. Hal ini dikenal sebagai titik isoelektrik. Pada pH tersebut protein memiliki daya tarik-menarik yang paling kuat antara sesamanya (Lehninger, 1982). Adanya perubahan muatan pada protein menyebabkan menurunnya daya tarik-menarik antara molekul protein sehingga molekul lebih mudah terurai. Semakin jauh perbedaannya dari titik isoelektrik maka kelarutan protein semakin meningkat (Lehninger, 1982). Kekentalan suatu protein dipengaruhi oleh diameter molekul protein yang terdispersi. Diameter molekul protein dipengaruhi oleh karakteristik intrinsik molekul protein, interaksi antara protein dan pelarut yang berpengaruh terhadap pembengkakan, serta interaksi protein-protein yang menentukan ukuran agregat molekul protein. Selain itu faktor lingkungan juga mempengaruhi diameter molekul protein dengan mengubah karakteristik intrinsik molekul protein melalui proses pembukaan lipatan atau unfolding. Faktor lingkungan itu diantaranya pH, kekuatan ion, dan suhu (Cheftel et al. 1985). Suhu berpengaruh terhadap kekentalan dispersi protein. Pemberian panas yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan kekentalan tetapi kekentalannya akan meningkat setelah didinginkan (Kinsella, 1979). Faktor lain yang juga mempengaruhi kekentalan larutan adalah konsentrasi protein, dimana kekentalan protein meningkat secara eksponensial dengan meningkatnya konsentrasi protein (Shen, 1981). Meningkatnya konsentrasi protein menyebabkan molekul protein yang terdispersi tidak lagi bebas dan interaksi protein-protein menjadi lebih dominan sehingga terjadi peningkatan kekentalan (Huang dan Kinsella, 1979). 2. Whey Protein Susu Whey protein susu adalah campuran protein susu yang heterogen dan merupakan 20% dari total fraksi protein susu, sedangkan 80% fraksi protein merupakan kasein. Fraksi whey protein merupakan fraksi protein yang tetap larut ketika kasein terkoagulasi oleh enzim atau asam. Whey
protein susu terdiri beberapa bagian yaitu α-laktalbumin, β-laktoglobulin, albumin, imunoglobulin, pecahan protease pepton, dan protein lainnya. α-laktalbumin adalah molekul yang memiliki 123 residu asam amino dan 4 jembatan disulfide. Kandungan α-laktalbumin dalam whey protein adalah 1.5 g/l. β-laktoglobulin adalah molekul yang terdiri dari 9 β-sheet dan 2 jembatan sulfida, kandungan β-laktoglobulin dalam whey protein adalah 1.5 g/l. Struktur β-laktoglobulin yang kompak membuatnya tahan terhadap proteolisis oleh protease Whey alami memiliki pH 3.9 dan memiliki berat kering 5.4% (Von Bockelman dan Bockelman, 1998). Komposisi produk whey dapat dilihat pada Lampiran 1. Whey memiliki berbagai karakteristik fungsional sehingga sangat potensial untuk dimanfaatkan bagi kesehatan tubuh. Kualitas nutrisi yang tinggi dari whey protein telah diketahui sejak lama, whey protein adalah salah satu komponen dalam diet atlet untuk meningkatkan massa otot. Menurut Renner (1989), whey protein susu paling efektif dibandingkan kasein dalam hal proteksi melawan kanker dengan cara meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Salah satu studi di Australia pada tahun 1998, menyebutkan bahwa diet yang kaya akan whey protein memiliki efek yang signifikan dalam menurunkan koloni tumor yang berkembang menjadi kanker pada tikus dibandingkan protein dari kasein, daging dan kedelai. Efek ini terkait dengan konsentrasi glutathione yang secara signifikan meningkat (Mazza, 1998). Dimana glutathione dalam WPC menurut Harper (2000) diperkirakan berfungsi sebagai antioksidan dan berperan dalam perbaikan DNA. Efek antikarsinogenik juga dilaporkan oleh Bounous et al (1991). McIntosh et al. (1995) dalam Temelli et al. (2004) melaporkan bahwa whey protein melalui induksi kimia secara signifikan mampu menurunkan koloni tumor pada kolon tikus. Selain itu diet kaya akan whey protein menurunkan LDL (Low Density Lipo-protein) dan meningkatkan sistem imun.
Studi lainnya yang memperkuat hal tersebut adalah dengan ditemukan efek meningkatkan kekebalan tubuh dari whey protein terutama bila dikombinasikan dengan whey fosfolipid. Dimana serum imunoglobulin (IgM) meningkat dua kali pada tikus yang diberi diet yang kaya akan whey protein. Efek meningkatkan sistem imun dari whey protein terkait dengan penurunan kolesterol LDL yang merupakan kolesterol jahat dan peningkatan produksi kolesistokinin yang berpengaruh pada peningkatan nafsu makan sehingga kekebalan tubuh akan meningkat (Mazza, 1998). Komponen-komponen dari whey protein masing-masing memiliki efek fisiologis bagi tubuh. α-laktalbumin berperan dalam sintesa laktosa, dimana sintesa laktosa secara langsung dikontrol oleh α-laktalbumin dibawah pengaruh hormonal. Konsentrasi laktosa susu secara langsung terkait dengan konsentrasi α-laktalbumin. Laktosa berperan dalam tekanan osmotik, sehingga pembentukannya harus dikontrol secara ketat dan hal itu
merupakan
fungsi
fisiologi
dari
α-laktalbumin.
Selain
itu
α-laktalbumin sebagai protein pengikat kalsium atau metallo-protein dapat mengikat satu kalsium per mol dalam satu bagian yang mengandung empat residu aspartat. α-laktalbumin juga merupakan sumber triptofan yang penting untuk sel-sel saraf (Renner, 1989). α-laktalbumin bifidogenik
karena
bersama
dengan
laktoferin
memiliki
dapat
memacu
pertumbuhan
aktivitas
Bifidobacterium.
Laktoferin sendiri dapat mengikat kuat besi, sehingga memiliki fungsi untuk absorpsi besi dan proteksi terhadap penyakit. β-laktoglobulin secara in vivo berperan sebagai pengikat retinol, karena bisa mengikat retinol pada bagian hidrofobiknya, melindunginya dari oksidasi dan mengantarkan melewati lambung sampai ke usus halus, dimana retinol akan ditransfer ke retinol binding protein, yang memiliki struktur sama dengan β-laktoglobulin (Fox dan Sweeney, 1998). β-laktoglobulin juga mengikat asam lemak dan menstimulasi lipolisis (lipase dihambat oleh asam lemak bebas). Penggunaan whey protein berkembang dengan pesat karena adanya produksi komersial Whey Protein Concentrates (WPC) dan Whey Protein
Isolate
(WPI).
Sifat
fungsional
dari
whey
protein
susu
dapat
dikembangkan dari reaksi proteolisis terbatas. Proteolisis terbatas dari konsentrat protein whey mengurangi sifat emulsifikasi, meningkatkan volume busa tetapi menurunkan stabilitas busa dan meningkatkan stabilitas panas (Damodaran dan Paraf, 1997). Proses-proses untuk menghasilkan WPC dan WPI adalah dengan menggunakan
teknologi
membran,
elektrodialisa,
kristalisasi,
dan
kromatografi (Smith, 2000). Teknologi membran dilakukan dengan cara mengalirkan whey cair menggunakan tekanan dari pompa, sedangkan elektrodialisa menggunakan tekanan dari arus listrik. Sehingga cairan tersebut melalui membran, dimana molekul whey dapat melalui membran (disebut permeat) sedangkan molekul lebih besar tidak dapat melaluinya (disebut rententat). Kristalisasi dilakukan dengan mengkonsentrasikan whey atau permeat dengan proses evaporasi kemudian laktosa dijenuhkan hingga mengkristal saat permeat didinginkan. Sedangkan proses kromatografi menggunakan resin bermuatan untuk memisahkan protein dalam whey dengan komponen lain. Aplikasi dari WPI dibandingkan dengan WPC masih kurang. Menurut Nakai dan Modler (1996) hal ini dikarenakan sebagai berikut: -
biaya produksi WPI yang lebih mahal dibandingkan dengan WPC
-
kebanyakan WPC lebih mudah untuk dimanipulasikan guna memenuhi fungsi-fungsi
tertentu
seperti
defatted
(penghilangan
lemak),
demineralized (penghilangan mineral) -
rasio α-laktalbumin dan β-laktoglobulin yang dimodifikasi pada WPI mengakibatkan ketidak konsistenan rasio protein dari isolat protein whey.
3. Denaturasi Protein Definisi dari denaturasi protein adalah proses atau rangkaian proses perubahan pada rantai polipeptida sehingga terjadi perubahan molekul dari bentuk
aslinya
menjadi
rangkaian
tidak
beraturan.
Sedangkan
Cheftel et al. (1989) mendefinisikan denaturasi protein dengan lebih
spesifik yaitu modifikasi pada konformasi ikatan peptida (sekunder, tersier, atau kuartener) tanpa merubah konformasi ikatan peptida primer. Definisi yang lebih ekstrem yaitu kehilangan satu atau lebih karakteristik dari protein seperti kehilangan kelarutan (pada pelarut yang biasanya protein larut), kehilangan aktivitas enzimatik, atau perubahan dari berat molekul protein. Menurut Damodaran dan Paraf (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi denaturasi protein antara lain: a) Panas, adalah agen fisik utama yang mengakibatkan denaturasi protein. Laju denaturasi tergantung pada suhu dan untuk protein lajunya meningkat 600 kali dengan peningkatan suhu sebesar 10 oC. Hal ini dikarenakan rendahnya energi pada interaksi yang menstabilkan struktur
sekunder,
tersier,
dan
kuartener.
Harwalkar
(1980),
melaporkan denaturasi protein dari β-laktoglobulin terdeteksi mulai suhu sekitar 75 oC dan terbagi menjadi dua tingkat yaitu tingkat pertama muncul pada lima menit pertama pemanasan dan akan lebih cepat pada fase berikutnya. b) pH. Pada umumnya protein stabil pada rentang pH netral (6-7) dan pada pH ekstrem akan terdenaturasi. pH yang ekstrem yaitu pada saat muatan molekul protein mencapai keseimbangan atau tidak bermuatan yang dikenal dengan pH isoelektrik. Pada pH isoelektrik (sekitar 4.5), kekurangan energi repulsif menghambat pelipatan dari molekul protein. Hal ini mengakibatkan ikatan sekunder, tersier dan kuartener dari molekul protein menjadi rusak. c) Ion metal, kemampuan elektrolit untuk mempengaruhi konformasi dan stabilitas dari protein tergantung pada konsentrasi dan kekuatan ion dari garam. Pada konsentrasi tinggi dari garam netral (>1M), terjadi penurunan kelarutan protein. Hal ini disebabkan terjadi persaingan antara protein dan ion dari molekul air (salting-out). Dimana interaksi antar protein lebih dominan dibandingkan interaksi protein dengan pelarut yang mengakibatkan agregasi dan presipitasi molekul protein (Morrisey et al., 1987).
c) Gula dan poliol, sama seperti garam, gula mempengaruhi konformasi protein melalui efek tidak langsung dari interaksi hidrofobik (Arntfield, et al., 1990). Boye et al. (1996), mempelajari denaturasi dan agregasi dari β-laktoglobulin dengan adanya konsentrasi tinggi dari sukrosa dan glukosa menggunakan spektroskopi infrared. Hasilnya gula menstabilisasi sebagian denaturasi protein dan menghambat agregasi protein. Dimana sukrosa memiliki efek lebih besar dibandingkan dengan glukosa. B. KONSENTRAT SARI BUAH Definisi konsentrat sari buah menurut Depkes (1998) adalah produk yang mengandung sari buah satu atau lebih jenis buah yang dipekatkan dengan cara menghilangkan airnya sehingga diperoleh produk yang mempunyai padatan yang jumlahnya tidak kurang dari dua kali jumlah padatan sari buah. Jumlah sari buah semula disaring atau tidak dengan atau tanpa penambahan gula dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Proses pemekatan sari buah mengakibatkan komponen aroma yang volatil atau essence yang hilang dari sari buah. Hal ini memberi ketidakseimbangan flavor sehingga setelah proses pemekatan komponen tersebut ditambahkan kembali pada konsentrat sari buah. Produk sari buah dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu ready to drink (RTD) dan concentrated (frozen concentrated juices/FCJ). RTD adalah minuman sari buah yang bisa langsung dikonsumsi (tanpa perlu pengenceran lagi), sedangkan FCJ memerlukan pengenceran sebelum dikonsumsi. Macam-macam FCJ antara lain: - FCJ dengan total padatan terlarut 65-66°Brix yang merupakan standar untuk produk sari buah. FCJ ini dikonsentrasikan sekitar 5.5 kali. - FCJ dengan total padatan terlarut 55 °Brix biasa digunakan untuk produk susu. FCJ dijual dalam kondisi beku tapi pumpable atau pada kondisi ruang jika dikemas secara aseptik. °Brix yang merupakan besaran total padatan terlarut pada FCJ digunakan untuk mendefinisikan berapa banyak sari buah siap
minum yang bisa direkonstitusi dari sejumlah tertentu konsentrat sari buah (Tetra Pak, 1998). Suhu penyimpanan konsentrat sari buah pada suhu -8 °C sampai -10 °C, hal ini untuk mencegah reaksi pencoklatan non enzimatis (Tetra Pak, 1998). C. SUKROSA Sukrosa merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat, memiliki rasa manis, berwarna putih, bersifat anhidrous, dan larut air (Nicol, 1979). Rumus molekul sukrosa adalah C12H22O11. Secara komersial, sukrosa diproduksi dari gula tebu atau gula bit dan didapat dalam bentuk gula pasir atau sirup. Sukrosa mempunyai berat molekul 342,30 terdiri dari gugus glukosa dan fruktosa. Sukrosa merupakan senyawa gula yang paling disukai (Sudarmadji, 1982). Sukrosa memiliki peranan penting dalam teknologi pangan karena fungsinya beraneka ragam, yaitu sebagai pemanis, pembentuk tekstur, pengawet, pembantu cita rasa, bahan pengisi, pelarut, dan sebagai pembawa trace element (Nicol, 1979). Fungsi utama sukrosa sebagai pemanis memegang peranan penting karena dapat meningkatkan penerimaan dari suatu makanan yaitu dengan menutupi cita rasa yang tidak menyenangkan. Rasa manis sukrosa bersifat murni karena tidak ada aftertaste yang merupakan cita rasa kedua yang timbul setelah cita rasa yang pertama. Disamping itu sukrosa juga memperkuat cita rasa pada makanan, karena menyeimbangkan rasa asam, pahit, dan asin atau melalui reaksi kimia seperti karamelisasi. Sukrosa umum digunakan sebagai standar tingkat kemanisan bagi pemanis lainnya (Nicol, 1979). Sukrosa merupakan pemanis karbohidrat yang biasa digunakan dalam produk pangan cair dalam konsentrasi tinggi dan mengakibatkan peningkatan dalam densitas, kandungan energi, viskositas, dan flavor. D. BAHAN TAMBAHAN PANGAN Menurut SNI 01-0222-95, Bahan Tambahan Pangan didefinisikan sebagai bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredient khas pangan, mempunyai atau tidak mempunyai
nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk maksud teknologi (organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. 1. Asam Sitrat Asam sitrat termasuk dalam bahan pengasam (acidulants) yang ditambahkan pada proses pengolahan pangan dengan berbagai tujuan (Winarno, 1992). Asam sitrat merupakan asam organik yang banyak digunakan dalam industri pangan karena mudah dicerna, mempertahankan rasa asam yang menyenangkan, tidak beracun, dan mudah larut dalam air (Furia, 1981). Asam sitrat berfungsi menurunkan pH medium, menghambat pertumbuhan mikroba, menstabilkan warna, pemberi cita rasa dan tekstur, serta dapat mengikat logam-logam divalen seperti Mg, Mn, dan Fe yang dibutuhkan sebagai katalisator dalam reaksi-reaksi biologis.
Batas
maksimum
penggunaan
asam
sitrat
berdasarkan
SNI 01-0222-95 untuk berbagai produk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Batas Maksimum Penggunaan Asam Sitrat Pada Produk Pangan Jenis Produk Pangan Batas Penggunaan 15 g/kga • Makanan bayi kalengan 25 g/kgb • Makanan bayi, bubuk instan 5 g/kga • Coklat, coklat bubuk Secukupnyaa • Minuman ringan Secukupnya hingga pH<4.3a • Pasta tomat Secukupnya hingga pH 2.8 – 3.5a • Jam dan Jelly, marmalad Sumber: a)SNI 01-0222-1995 b) SNI 01-7111.1-2005 Asam sitrat memiliki rumus molekul C6H8O7 yang larut dalam air dan alkohol. Asam sitrat ditemukan dalam jaringan hewan sebagai senyawa antara pada siklus krebs sehingga relatif aman sebagai bahan tambahan pangan untuk manusia (Doores, 1990).
2. Asam Malat Asam malat adalah asam yang digunakan untuk berbagai keperluan antara lain sebagai penguat cita rasa dan pengontrol pH (buffer). Sejumlah besar asam malat dapat digunakan dalam berbagai makanan kecuali makanan bayi dan penggunaannya harus dalam taraf GMP (Good Manufacturing Practises). Pada industri pangan yang sudah menerapkan GMP dengan baik maka penggunaan bahan tambahan pangan disesuaikan dengan fungsi bahan tersebut pada produk dan penggunaannya tidak boleh berlebihan. Asam malat memiliki rumus molekul C4H6O5 dan larut dalam air dan alkohol (Doores, 1990). Batas maksimum penggunaan asam malat berdasarkan SNI 01-0222-95 untuk berbagai produk dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Batas Maksimum Penggunaan Asam Malat Pada Produk Pangan Jenis Produk Pangan Batas Penggunaan Secukupnya hingga pH 2.8-3.5 • Jam, jelly dan marmalad • Sayur dan buah kalengan Secukupnya 34 g/L • Minuman ringan Secukupnya hingga pH<4.3 • Pasta tomat • Sari buah anggur dan Secukupnya pekatannya Secukupnya • Es krim dan sejenisnya Sumber: SNI 01-0222-95 Level maksimum asam malat untuk berbagai kategori produk pangan adalah sebesar 3.4-3.5 %B/B. Bentuk L (+) asam malat merupakan bentuk umum asam malat yang ada pada pangan, sedangkan DL (-) asam malat bukan merupakan produk antara pada siklus krebs. Oleh karena itu penggunaan DL (-) asam malat untuk asupan manusia dibatasi yaitu sebesar 100 mg/kg BB (Doores, 1990). 3. Asam Laktat Asam laktat memiliki rumus molekul C3H6O3 dan larut dalam air dan alkohol (Doores, 1990). Asam laktat diperoleh dari hasil fermentasi, dimana glukosa diubah menjadi D-asam laktat atau L-asam laktat yang banyak digunakan sebagai bahan tambahan dalam industri makanan. Asam
laktat dan turunannya umum digunakan sebagai bahan tambahan dalam produk pangan yaitu sebagai bahan pengasam makanan dan minuman, meningkatkan aroma dan rasa pada saus dan bumbu, serta mengurangi resiko bakteri patogen pada produk daging. Asam laktat bisa digunakan pada produk pangan kecuali untuk makanan bayi, hal ini dikarenakan kelompok bayi yang diberi susu yang diasamkan dengan D (-) atau DL asam laktat mengalami asidosis, kehilangan berat, dehidrasi, dan muntah-muntah (Doores, 1990). Asam laktat memiliki rasa asam yang lebih lembut dan memiliki keasaman yang lebih rendah dibanding sitrat dan malat sehingga untuk mencapai pH yang sama memerlukan jumlah yang lebih banyak dibanding sitrat dan malat. Selain itu asam laktat juga memiliki aroma creamy yang menyenangkan. 4. Stabilizer Philips (1981) menyatakan bahwa penstabil pada minuman berfungsi untuk meningkatkan kestabilan dari komponen minuman, meningkatkan kejernihan produk, tidak berbau dan meningkatkan kelarutan air dingin. Stabilizer yang digunakan pada produk fruitmilk adalah pektin. Hal ini karena pektin merupakan stabilizer ionik yang stabil pada rentang pH 1.0-4.5 (Danischo, 2005). Pektin yang digunakan adalah High Ester Pectin dengan derajat esterifikasi>70. Minuman berprotein tinggi tanpa penambahan pektin akan mengalami pemisahan (separasi dalam dua fase) jika dipanaskan pada suhu 60 ºC selama 10 menit (Nussinovitch, 1997). Spesifikasi mutu pektin kering dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.Spesifikasi Mutu Pektin Kering Karakteristik Kadar air Kadar abu Pektin bermetoksil tinggi (minimum) Pektin bermetoksil rendah Asam galakturonat (minimum) Logam berat Sumber: Anonim (1979)
Nilai (Maks) 12 % 10 % 7% 7% 35 % 40 mg/kg
Menurut Kertesz (1951), pektin didefinisikan sebagai asam pektinat yang larut air dengan kandungan metal-ester yang bervariasi dan memiliki derajat kenetralan yang mampu membentuk gel dengan adanya gula, asam dan kalsium. Pektin komersial biasanya diekstrak dari kulit jeruk yang mengandung pektin 25% (Keller, 1983) atau apel kering (15-18% pektin) (Hang dan Walter, 1989). 5. Pewarna Berdasarkan sumbernya pewarna untuk makanan terbagi menjadi dua yaitu pewarna alami dan pewarna sintetik atau buatan. Pewarna alami umumnya diperoleh dari ekstraksi pigmen yang berasal dari tanaman atau bahan pangan. Contoh bahan pewarna alami antara lain klorofil, antosianin, karotenoid, dan sebagainya. Sedangkan pewarna buatan dibuat dari bahan-bahan kimia. Beberapa pewarna sintetik untuk makanan diantaranya adalah tartrazine, carmoisine, sunset yellow, ponceau 4R dan lain sebagainya. Penggunaan pewarna sintetik sebagai Bahan Tambahan Pangan telah diatur dalam SNI 01-0222-95 mengenai bahan tambahan makanan. Batas penggunaan pewarna untuk minuman adalah 5-200 ppm (CCIC, 1968). 6. Flavor Menurut Hall (1968), flavor didefinisikan sebagai komponen yang memiliki karakteristik yang dapat menimbulkan sensasi sensori. Ostendorf (1978) menyatakan flavor dalam minuman dapat berasal dari buah, minuman buah atau flavor buatan (sintetik). Meskipun dalam jumlah yang kecil, flavor sangat berarti bagi cita rasa produk minuman. Dalam industri minuman, flavor yang digunakan adalah flavor sintetik. Keuntungan menggunakan flavor sintetik adalah ekonomis, konsentrasi tinggi, penyimpanan yang mudah, lebih stabil dan lebih tahan lama (Philips, 1981). Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh senyawa flavor sintetik yang baik adalah harus larut air, tidak meninggalkan aftertaste, tahan asam, murni, tahan panas dan digunakan dalam jumlah yang tepat (Herzberg, 1978).
E. MINERAL Penambahan vitamin, mineral, asam amino dan zat gizi yang lain ke dalam bahan pangan dengan tujuan meningkatkan kesehatan dan kenyamanan hidup masyarakat. Informasi yang penting dalam kegiatan penambahan zat gizi adalah informasi bioavailabilitas, stabilitas, dan interaksi fortifikan-karier. Informasi ini penting untuk menentukan titik penambahan dari fortifikan. Secara umum penambahan zat gizi disarankan pada titik dalam rangkaian proses yang akan menyebabkan: (1) memungkinkan pengadukan yang cukup untuk menjamin fortifikan terdistribusi seragam, (2) produk diketahui jumlahnya baik secara total atau rata-rata untuk menghasilkan rasio yang diinginkan antara karier dan fortifikan, (3) mudah dalam proses penambahannya, (4) menghindari sebanyak mungkin kondisi proses yang merusak fortifikan (Palupi, 1995). Menurut American Medical Association/ Food&Nutrition Board, syarat zat gizi yang akan difortifikasikan secara umum adalah zat yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh, cukup stabil selama penyimpanan, tidak menimbulkan keracunan apabila bahan pangan dikonsumsi secara berlebihan serta penambahannya tidak mengganggu keseimbangan zat gizi esensial lainnya (Palupi, 1995). Efek penambahan mineral pada produk pangan menurut Clysdale (1985) adalah sebagai berikut: 1. Perubahan warna, akibat reaktivitas mineral yang digunakan dan jumlah mineral yang digunakan. Penggunaan Ca dan Mg yang tidak larut pada produk strawberi dan coklat cair steril membuat warna lebih cerah dari yang dikehendaki akibat ”diluent like effect”. Penambahan besi ke produk susu membuat warnanya menjadi abu-abu. Pada minuman sari buah dengan pH yang rendah cenderung melarutkan garam mineral tetapi meningkatkan potensi dan reaktivitas serta perubahan warna Dilain pihak hal tersebut dapat meningkatkan bioavailabilitas. Perubahan warna dapat dicegah dengan mengganti sumber fortifikan atau menambahkannya pada saat yang tepat. 2. Perubahan flavor. Penambahan garam Ca dan Mg yang berlebihan mengakibatkan chalky flavor dan astringency (sepat) sedangkan
elektrolitnya akan mempunyai rasa pahit dan off flavor. Chalky flavor dapat direduksi dengan menambahkan garam mineral diawal proses sebelum homogenisasi. 3. Perubahan kualitas lainnya yaitu interaksi Ca/Mg dengan protein akan mengakibatkan sedimentasi atau gelasi. Penambahan mineral pada produk cair berprotein juga akan mengakibatkan pengendapan protein. Hal ini dapat diatasi dengan kombinasi mineral larut dan tidak larut tetapi dapat menurunkan bioavailabilitas. 4. Toksisitas, untuk mineral RDA besar seperti Ca, Mg, dan P keracunan tidak perlu dikhawatirkan. Konsumsi yang berlebihan pada mineral tersebut mengakibatkan sandiness atau chalkiness. Untuk mineral RDA kecil seperti Fe, penambahan yang berlebihan mengakibatkan keracunan. Kelebihan
asupan
zat
besi
dapat
mengakibatkan
hemosiderosis
(peningkatan pemecahan sel darah merah) dan hemochromatosis (penyakit genetik yang dapat mengakibatkan kerusakan hati (Williams, 1985). F. PROSES PEMANASAN Pengolahan dengan panas (thermal processing) memiliki dua tujuan yaitu untuk pemasakan dan untuk pengawetan. Terdapat tiga metode pemanasan pada produk susu yaitu termalisasi, pasteurisasi dan sterilisasi. Termalisasi susu merupakan proses perlakuan panas dengan suhu yang relatif lebih rendah dibandingkan suhu pasteurisasi dan sterilisasi. Termalisasi bertujuan untuk merusak sebagian enzim lipase alami dan membuat susu lebih resisten terhadap kerusakan mekanik (misalnya pemompaan). Selain itu termalisasi juga bertujuan untuk menstimulasi spora tahan panas untuk untuk bergerminasi menjadi sel vegetatif sehingga mudah dibunuh pada proses pasteurisasi. Proses pasteurisasi dilakukan pada sari buah yang baru diekstrak untuk dijadikan konsentrat. Sari buah dipasteurisasi dua kali sebelum sampai pada konsumen, pasteurisasi pertama dilakukan sesaat setelah proses ekstraksi. Pasteurisasi bertujuan membunuh mikroba patogen dan menginaktifasi enzim pectin methyl esterase (PME). PME umumnya aktif pada suhu 5-65 °C dan memiliki aktivitas maksimum pada suhu 60 °C. Pada suhu -18°C laju
reaksinya memungkinkan gelasi konsentrat selama penyimpanan (Tetra Pak, 1998). Sedangkan proses pasteurisasi kedua dilakukan sebelum pengemasan untuk membunuh mikroba yang mengkontaminasi sari buah setelah proses pasteurisasi pertama dan bertahan pada penyimpanan, dimana mikroba tersebut dapat mengkontaminasi sari buah rekonstitusi. Proses sterilisasi terdiri dari dua operasi yaitu pemanasan (sterilisasi komersial) dan pengemasan. Proses ini terbagi menjadi tiga cara yaitu 1) produk dipanaskan kemudian dikemas dalam keadaan panas (contoh:saos, selai), 2) produk dikemas kemudian dipanaskan (contoh: pengalengan), dan 3) produk dan kemasan dipanaskan secara terpisah kemudian produk dikemas dalam ruang steril atau proses aseptik, (contohnya produk UHT). Menurut Bylund (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi suhu dan lama sterilisasi adalah a) keasaman produk, Ph ≤4.6 suhu 90-100 °C; pH ≥4.6 suhu ≥116 °C; b) jenis dan jumlah mikroba, jenis mikrobanya yaitu Clostridium botulinum (patogen tahan panas), Bacillus stearothermophilus (pembusuk tahan panas aerobik), dan Clostridium sporogenes (pembusuk tahan panas anaerobik) selain itu jumlah mikroba tinggi memerlukan suhu lebih tinggi atau waktu pemanasan lebih lama pada proses sterilisasi, c) kecepatan perambatan panas,jika panas merambat lebih cepat maka proses sterilisasi lebih singkat. Proses sterilisasi pada industri pangan dilakukan hingga mencapai sterilisasi komersial. Sterilisasi komersial yaitu suatu proses sterilisasi untuk membunuh semua jasad renik yang dapat menyebabkan kebusukan makanan pada kondisi suhu ruang. Dalam sterilisasi komersial terdapat konsep 12D artinya proses pemansan dapat menurunkan jumlah mikroba sebesar 12 siklus logaritmik. Jika proses sterilisasi diberikan pada 109 kaleng dimana masing-masing kaleng terdapat 103 spora bakteri, maka setelah proses sterilisasi hanya ada 1 spora bakteri yang berpeluang hidup dalam 1 kaleng. Kontaminasi berasal dari spora bakteri yang bertahan, yang dinamakan process survivor. Untuk produk dengan keasaman tinggi, tujuan dari proses sterilisasi yaitu untuk membunuh kamir, kapang dan beberapa sel vegetatif bakteri.
Parameter mikrobiologi dari proses sterilisasi yaitu parameter proses, jumlah mikroba, kualitas bahan baku, level infeksi, multiplikasi dan sporulasi sebelum proses pemanasan, serta jenis dan resistensi spora bakteri (Von Bockelman dan Bockelman, 1998). Sehingga perlu diperhatikan spesifikasi bahan baku baik dari segi fisik, kimia maupun mikrobiologi. Sedangkan untuk proses pemanasan tergantung pada waktu dan suhu. Efektifitas mikrobiologi dari proses UHT dapat ditingkatkan dengan peningkatan suhu dan waktu penahanan. Produk UHT memiliki keunggulan yaitu mempunyai masa simpan ±6 bulan dalam suhu ruang dan kondisi proses UHT yang tidak tergantung pada ukuran dan bentuk kemasan produk. Keterbatasan dari sistem ini adalah biaya dan kompleksitas alat yang akan semakin meningkat dengan kebutuhan akan sterilitas bahan pengemas. Hal ini terkait dengan jalur pipa dan tangki, perawatan udara steril dan permukaan dari mesin filling serta membutuhkan tenaga ahli untuk operator dan staff pemeliharaan (Fellows, 2000).
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan minuman fruitmilk adalah whey protein (Whey Protein Isolate (WPI) dan Whey Protein Concentrate (WPC)) diperoleh dari PT. Ultrajaya Milk and Trading Company, air, konsentrat sari buah (stroberi, apel, jeruk, jambu, blackcurrant), sukrosa, asam sitrat, asam malat, asam laktat, pewarna, mineral (Ca, Mg, Fe, P), stabilizer (pektin) dan flavor yang tersedia di PT. Sanghiang Perkasa. Sedangkan bahan yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia yaitu aquades, alkohol, dan larutan buffer 7, 4, dan 10. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan minuman fruitmilk adalah mixer tangan, timbangan, neraca analitik, kompor gas, homogenizer double stage, hot plate, panci, dan pressure cooker. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk analisis yaitu pH meter, refraktometer, viskometer, dan alat-alat gelas. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini meliputi penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan meliputi proses pembuatan minuman fruitmilk, pemilihan sumber protein, pemilihan konsentrat sari buah, dan pemilihan stabilizer. Pada penelitian pendahuluan dilakukan analisis organoleptik dengan metode deskripsi. Penelitian lanjutan meliputi pemilihan jenis pengasam dan penambahan mineral. Pada penelitian lanjutan dilakukan analisis organoleptik yang dilakukan menggunakan metode hedonik. Selain pengamatan secara organoleptik pada penelitian pendahuluan dan lanjutan juga dilakukan analisis fisik dan kimia seperti dapat dilihat pada Tabel 4. Kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Mulai Tahap 1: Formula dasar 1→
↓ Pemilihan sumber protein(a)
Tahap 2: Formula dasar 2→
↓ Pemilihan konsentrat sari buah(a) →
Tahap 3; Formula dasar 3→
↓ Pemilihan stabilizer(a)
→
Tahap 4: Formula dasar 4→
↓ Pemilihan jenis pengasam(b)
→
Tahap 5: Formula dasar 5→
↓ Penambahan mineral(b)
→
→
Analisis
Evaluasi
Selesai Keterangan: (a)Penelitian Pendahuluan (b) Penelitian Lanjutan Gambar 1. Kerangka Penelitian Pengembangan Fruitmilk Tabel 4. Jenis Analisis untuk Tiap-tiap Tahap Perlakuan Perlakuan Pemilihan sumber protein Pemilihan konsentrat sari buah
Karakteristik Organoleptik Aroma dan kekentalan(a) Aroma dan rasa(a)
Pemilihan konsentrasi konsentrat sari buah apel Pemilihan stabilizer Pemilihan jenis pengasam
rasa(a)
Penampakan dan tekstur(a) warna, aroma, rasa dan tekstur(b) Penambahan mineral warna, aroma, rasa dan tekstur(b) Keterangan: (a)Dilakukan oleh 3 orang panelis terlatih (b) Dilakukan oleh 20 orang panelis agak terlatih
Fisik dan Kimia pH dan total padatan terlarut (TPT) Viskositas pH, TPT, dan viskositas pH, TPT, dan viskositas
1. Penelitian Pendahuluan a. Proses Pembuatan Fruitmilk Proses pembuatan fruitmilk dapat dibedakan menjadi dua jenis proses. Proses pertama meliputi pemilihan sumber protein dan konsentrat sari buah. Proses kedua meliputi pemilihan stabilizer, pemilihan jenis pengasam, dan penambahan mineral. Kedua proses tersebut secara rinci adalah sebagai berikut: i. Proses pertama dalam pembuatan minuman fruitmilk menggunakan bahan air, gula, asam sitrat, flavor, protein, dan konsentrat sari buah. Pada tahap ini bahan dicampur sampai homogen kemudian dianalisa oeh tiga orang panelis terlatih. Proses pertama untuk pembuatan minuman fruitmilk dapat dilihat pada Gambar 2. sukrosa ←
Air
Asam sitrat, dan Flavor Perlakuan protein
(a)
Diaduk
(b)
Perlakuan konsentrat sari buah
Protein
Konsentrat sari buah
Fruitmilk Dianalisis Keterangan: (a)Tahap 1: Pemilihan sumber protein (b) Tahap 2: Pemilihan konsentrat sari buah Gambar 2. Proses Pertama Pembuatan Fruitmilk
ii. Proses kedua dalam pembuatan minuman fruitmilk menggunakan bahan air, gula, pengasam, protein, konsentrat sari buah, stabilizer, pewarna, flavor dan mineral. Pada proses ini dilakukan pencampuran bahan (mixing), homogenisasi dua tahap (p1=20 bar; p2=160 bar), dan sterilisasi. Pencampuran pertama yaitu pektin dan sukrosa dilarutkan dengan air bersuhu 70 °C, pencampuran dilakukan dengan menggunakan mixer yang berskala 3. Mixer yang digunakan memiliki 3 skala dimana skala 1 merupakan kecepatan terendah dan skala 3 merupakan kecepatan tertinggi. Kemudian ditambahkan protein kedalam larutan pektin dan sukrosa, pencampuran dilakukan dengan mixer berskala 1. Setelah homogen dilakukan penurunan suhu larutan menjadi < 10°C. Penurunan suhu dilakukan dengan cara merendamnya dalam air dingin. Proses selanjutnya adalah pencampuran pengasam, konsentrat sari buah, stabilizer, pewarna, flavor dan mineral kedalam larutan protein, pektin dan gula. Setelah homogen dilakukan pemanasan larutan hingga mencapai suhu 60-70 °C, pemanasan larutan menggunakan hot plate. Kemudian larutan dihomogenisasi dengan tekanan total 180 bar menggunakan homogenizer double stage. Larutan kemudian diisikan ke dalam botol gelas tahan panas yang selanjutnya akan disterilisasi. Proses kedua dalam pembuatan minuman fruitmilk dapat dilihat pada Gambar 3.
Pektin(a)+sukrosa
Air bersuhu±70 °C
↓ Dilakukan mixing dengan mixer skala 3 ↓ Protein
→ Dilakukan mixing dengan mixer skala 1 (b) Konsentrat sari buah, ↓ Perlakuan pengasam Dilakukan penurunan suhu <10 °C ← Flavor, dan Pewarna (c) ↓ Penambahan mineral Diaduk Diaduk ↓ Dilakukan Pre-Heating sampai mencapai suhu 60-70 °C ↓ Dilakukan homogenisasi dua tahap (P1=20 bar dan P2=160 bar) ↓ Dilakukan proses sterilisasi (suhu dan waktu sterilisasi sesuai Tabel 5.) ↓ Fruitmilk
Keterangan: (a)Tahap 3: Pemilihan stabilizer (b) Tahap 4: Pemilihan pengasam (c) Tahap 5: Penambahan mineral Gambar 3. Proses Kedua Pembuatan Fruitmilk Tabel 5. Hubungan pH dan Suhu pada Proses Sterilisasi pH Waktu 40 detik 20 menit 4.6 140 °C 115 °C 4.5 130 °C 110 °C 4.4 120 °C 105 °C 4.3 110 °C 100 °C 4.2 100 °C 95 °C 4.1 98 °C 90 °C 4.0 94 °C 85 °C 3.9 90 °C 75 °C Sumber: Von Bockelmann dan Von Bockelmann, 1998
Pada Tabel 5. terlihat bahwa kondisi pH rendah maka suhu sterilisasi lebih rendah dibandingkan dengan kondisi pH yang lebih tinggi untuk waktu yang sama. b. Pemilihan Sumber Protein Penelitian pada tahap ini untuk memilih sumber protein dan formula dasar yang digunakan adalah air, sukrosa, asam sitrat, konsentrat stroberi, dan flavor.
Sumber protein yang digunakan adalah konsentrat whey
protein (WPC) dan isolat whey protein (WPI). Jumlah protein yang digunakan disesuaikan dengan target produk fruitmilk. Dimana jumlah protein dihitung dengan melihat persentase protein WPC dan WPI pada spesifikasi bahan baku, sehingga produk fruitmilk yang dihasilkan diharapkan mengandung protein sebesar 7 gram dalam 200 g minuman fruitmilk. Konsentrasi protein dalam WPC dan WPI masing-masing sebesar 80 dan 90%, untuk mendapatkan produk dengan kandungan protein sebesar 7 gram dalam 200 g minuman digunakan perhitungan dengan menggunakan neraca keseimbangan massa. Perlakuannya meliputi formula WPC, WPI, kombinasi WPC dan WPI dengan perbandingan 1:1 dan 4:1 %B/B. Parameter untuk memilih sumber protein yang paling sesuai untuk produk fruitmilk adalah karakteristik organoleptik yaitu kekentalan dan aroma dengan menggunakan tiga orang panelis terlatih. c. Pemilihan Konsentrat Sari Buah Penelitian pada tahap ini untuk memilih konsentrat sari buah dan formula dasar yang digunakan adalah protein terpilih (pada penelitian pendahuluan tahap 1), air, sukrosa, asam sitrat, flavor, dan pewarna. Konsentrat sari buah yang digunakan pada penelitian ini adalah stroberi, blackcurrant,
jambu,
apel
dan
jeruk
masing-masing
dengan
konsentrasi 1 %B/B. Kemudian dilakukan pengamatan terhadap konsentrat apel dengan meningkatkan konsentrasinya menjadi 5, 10 dan 15 % B/B. Parameter untuk memilih jenis konsentrat sari buah yang paling sesuai untuk produk fruitmilk adalah karakteristik organoleptik
yaitu aroma dan rasa dengan menggunakan tiga orang panelis terlatih. Selain itu diamati nilai pH dan total padatan terlarut dari produk fruitmilk. Sedangkan untuk pengamatan konsentrasi konsentrat sari buah apel diamati karakteristik organoleptik rasa saja. d. Pemilihan Stabilizer Penelitian pada tahap ini untuk memilih jenis dan konsentrasi stabilizer. Sebagai formula dasar adalah protein terpilih (pada penelitian pendahuluan tahap 1), konsentrat sari buah terpilih (pada penelitian pendahuluan tahap 2), air, sukrosa, asam sitrat, flavor, pewarna dan mineral. Perlakuan pada penelitian ini yaitu menggunakan pektin A dan B dengan konsentrasi masing-masing 0.1, 0.3 dan 0.5 % B/B. Parameter untuk memilih jenis dan konsentrasi sari buah yang paling sesuai untuk produk fruitmilk adalah karakteristik organoleptik yaitu penampakan dan tekstur dengan menggunakan tiga orang panelis terlatih. Selain itu diamati nilai viskositas dari produk fruitmilk. 2. Penelitian Lanjutan a. Pemilihan Jenis Pengasam Penelitian pada tahap ini untuk memilih jenis pengasam dan formula dasar yang digunakan adalah protein terpilih (pada penelitian pendahuluan tahap 1), konsentrat sari buah terpilih (pada penelitian pendahuluan tahap 2), stabilizer (pada penelitian pendahuluan tahap 3), air, sukrosa, flavor, dan pewarna. Pengasam yang digunakan adalah asam sitrat (0.35 %B/B), asam malat (0.35 %B/B), dan asam laktat (0.4 %B/B). Jenis dan konsentrasi asam tersebut didasarkan pada pH High Acid Liquid Food yaitu ≤4.6 dan memiliki rasa yang enak. Parameter untuk memilih jenis asam yang paling sesuai untuk produk fruitmilk
adalah
karakteristik
organoleptik
dengan
metode
kesukaan/hedonik terhadap atribut warna, rasa, aroma, dan tekstur dengan menggunakan 20 orang panelis agak terlatih.
b. Penambahan Mineral Penelitian pada tahap ini untuk melakukan penambahan mineral pada produk fruitmilk. Penambahan mineral dilakukan untuk meningkatkan nilai gizi produk. Unsur mineral yang ditambahkan adalah kalsium, fosfor, magnesium dan besi. Sebagai formula dasar adalah protein terpilih (pada penelitian pendahuluan tahap 1), konsentrat sari buah terpilih (pada penelitian pendahuluan tahap 2), stabilizer (pada penelitian pendahuluan tahap 3), bahan pengasam terpilih (pada penelitian lanjutan tahap 1), air, sukrosa, flavor, dan pewarna. Penambahan mineral mengakibatkan kenaikan pH produk. Kenaikan pH produk mengakibatkan konsentrasi asam yang ditambahkan pada produk semakin besar untuk bisa mencapai pH ≤4.6. Konsentrasi asam laktat yang ditambahkan adalah 0.6% B/B sedangkan untuk asam malat sebesar 0.4% B/B. Konsentrasi mineral disesuaikan dengan target kandungan mineral pada produk yang dapat dilihat pada Tabel 6. Selanjutnya diamati mutu organoleptik produk fruitmilk dengan penambahan mineral menggunakan metode kesukaan/hedonik terhadap atribut warna, rasa, aroma, dan tekstur dengan menggunakan 20 orang panelis agak terlatih. Tabel 6. Kandungan Mineral Fruitmilk Mineral Kandungan per 200 ml Kalsium 350 mg Fosfor 233 mg Magnesium 50 mg Besi 5 mg
C. METODE ANALISIS 1. Nilai pH (Apriyantono et al., 1989). Pengukuran derajat keasaman menggunakan alat pH meter. Sebelum digunakan, alat dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 7, 4 dan 10. Formula minuman diambil 25 ml dalam gelas kecil, kemudian elektroda pH meter dicelupkan ke dalam minuman dan dilakukan pembacaan pH minuman setelah dicapai nilai konstan yang ditandai dengan tulisan ready pada pH meter. 2. Viskositas (Muchtadi dan Sugiyono, 1989) Spindel viskometer dipasang terlebih dahulu pada viskometer. Fruitmilk kira-kira 150-200 ml dimasukkan ke dalam gelas, kemudian spindel viskometer dimasukkan ke dalam wadah yang berisi fruitmilk, setelah itu tombol on pada viskometer ditekan. Setelah stabil nilai viskositas dapat dilihat pada skala yang ada di viskometer. Kecepatan yang dipakai pada pengukuran adalah 60 rpm sedangkan spindel yang dipakai adalah spindel nomor 1, 2 dan 3. 3. Total Padatan Terlarut (TPT) (Apriyantono et al., 1989). Pengukuran total padatan terlarut sampel dilakukan dengan menggunakan refraktometer. Sebanyak dua tetes sampel diteteskan pada refraktometer lalu dilihat batas terang-gelapnya dan dibaca skalanya. TPT dinyatakan dalam °Brix. 4. Analisis Organoleptik (Rahayu, 2001) Analisis organoleptik yang dilakukan dibedakan menjadi dua yaitu metode deskripsi yang bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik produk dan metode hedonik bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap produk minuman
fruitmilk yang dihasilkan. Metode
deskripsi produk dilakukan pada pemilihan sumber protein, pemilihan konsentrat sari buah, dan pemilihan stabilizer dengan menggunakan tiga orang panelis terlatih yaitu dua orang formulator dan satu orang staff Bussiness Development dari PT. Sanghiang Perkasa. Sedangkan metode
hedonik dilakukan pada pemilihan jenis pengasam dan penambahan mineral dengan menggunakan 20 orang panelis agak terlatih yang merupakan karyawan PT. Sanghiang Perkasa. Atribut produk yang diamati adalah warna, aroma, rasa, dan tekstur sesuai dengan perlakuannya. Skala hedonik yang digunakan adalah 1-5, dimana angka 1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=biasa,
4=suka, dan 5=sangat suka. Formulir analisis
organoleptik dengan metode hedonik dapat dilihat pada Lampiran 2. Data analisis organoleptik selanjutnya dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam. Selain itu dihitung persentase kesukaan untuk dapat diterima terhadap produk, produk diterima apabila memiliki persentase kesukaan >70%. Cara penghitungannya adalah sebagai berikut:
Persentase kesukaan (%) = nilai rata-rata kesukaan X untuk dapat diterima skala hedonik yang digunakan
100%
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Proses Pembuatan Minuman Fruitmilk Minuman fruitmilk merupakan minuman yang berbasis pada whey protein susu. Formulasi yang sudah beredar dipasaran dapat dilihat pada Tabel 7. Pengembangan produk berbasis whey protein susu yang dilakukan Djuric et al. (2004), menggunakan bahan diantaranya, fresh whey, sukrosa, air, asam sitrat, konsentrat jeruk, apel, peach, dan pear. Sedangkan formulasi dasar minuman fruitmilk yang sedang dikembangkan tidak dapat dituliskan karena merupakan hak cipta dari perusahaan.
Tabel 7. Formulasi Fruitmilk Berdasarkan Literatur Komponen Fresh whey Whey konsentrat Pektin Gula Asam sitrat Sodium sitrat Konsentrat buah Air
0.7%protein 3.0%protein 75.50 8.50 0.1 0.3 6.00 6.00 0.65 0.65 0.55 0.55 15.00 15.00 69.40 100.00 100.00 Sumber: Von Bockelman dan Von Bockelman, 1998
Proses pembuatan minuman fruitmilk terbagi menjadi tiga proses utama yaitu tahap pencampuran, homogenisasi dan sterilisasi. Proses pencampuran dilakukan untuk menghasilkan larutan yang homogen. Pencampuran pertama antara gula, pektin dan air bersuhu 70 °C dengan mixer berkecepatan tinggi. Pektin dapat terdispersi secara merata pada larutan gula dengan pengadukan kecepatan tinggi. Suhu air 70 °C dipilih berdasarkan karakteristik pektin yang tidak larut dalam air dingin tetapi larut sempurna dalam air panas (Danischo, 2005).
Kemudian ditambahkan whey protein dengan kecepatan mixer yang rendah agar tidak terbentuk banyak busa. Hal ini disebabkan karakteristik whey protein yang digunakan memiliki daya busa yang relatif tinggi. Pembentukan busa pada produk mengakibatkan proses homogenisasi kurang efektif karena busa memerangkap udara yang dapat menghambat penghomogenan dari partikel-partikel dalam produk. Selain itu busa juga mengurangi efektivitas sterilisasi karena mikroba yang terperangkap dalam udara tidak terkena efek letal sterilisasi dan mengakibatkan produk tidak steril. Tahap selanjutnya adalah penurunan suhu larutan menjadi <10°C, lalu dicampurkan konsentrat sari buah, pengasam, flavor, dan mineral. Suhu rendah dimaksudkan agar protein tidak menggumpal ketika terjadi penurunan pH dan selama penurunan suhu stabilizer bisa bekerja optimal dalam melindungi protein. Setelah proses pencampuran dilakukan pemanasan awal hingga produk mencapai suhu 60-70 °C. Suhu tersebut merupakan suhu terbaik untuk homogenisasi produk susu. Suhu yang relatif tinggi pada proses homogenisasi digunakan agar pembentukan membran partikel baru menjadi lebih cepat sehingga menghambat clustering (pengelompokan) dalam katup homogenisasi (Widodo, 2003). Proses homogenisasi ini sangat penting untuk menghancurkan agregat protein dan memastikan pektin menempel pada protein, sehingga pada proses pemanasan protein tidak mengalami penggumpalan (Danischo, 2005). Homogenisasi yang dilakukan pada produk fruitmilk adalah homogenisasi dua tahap dengan tekanan total 180 bar, dimana tekanan pertama sebesar 20 bar dan tekanan kedua sebesar 160 bar. Homogenisasi jenis double stage dilakukan untuk mencapai efisiensi homogenisasi yang optimal. Homogenisasi dua tahap biasa dilakukan pada produk dengan kandungan lemak tinggi, produk dengan kandungan dry matter yang tinggi serta bahan dengan viskositas rendah. Homogenisasi bertujuan untuk memperkecil ukuran globula lemak agar tidak terjadi cream line, menjadikan warna lebih putih, mengurangi oksidasi lemak dan menghasilkan citarasa yang lebih baik (Bylund, 1995). Setelah proses
homogenisasi dilakukan pengisian produk ke dalam botol gelas yang tahan panas, setelah itu produk dimasukkan kedalam panci berisi air (sebagai medium pemanas) untuk disterilisasi. Simulasi proses sterilisasi untuk produk fruitmilk berdasarkan Von Bockelmann dan Von Bockelmann (1998), produk dengan pH 4.2 disterilisasi pada suhu 95 °C selama 20 menit untuk mencapai sterilisasi komersial. Proses ini dikenal dengan istilah High Temperature Long Time (HTLT). Proses pembuatan minuman fruitmilk yang sedang dikembangkan dan dibandingkan dengan proses yang sudah ada dapat dilihat pada Gambar 4.
Pektin+sukrosa+air Protein
↓ Konsentrat → Mixing← sari buah ↓
Pektin+sukrosa+air Whey powder
whey
↓ → Mixing ↓
Fruit juices
whey Flavor dan Pewarna,
Mineral
Asam sitrat → Pengaturan pH 4.2-4.3 ↓ Pre-Heating suhu 60-70 °C ↓ Homogenisasi ↓ Pengisian dalam botol gelas ↓ Sterilisasi 95 °C selama 20 menit
Pengasam
→Pengaturan pH 3.8-4.1 ↓
Pre-Heating suhu 60-70 °C ↓ Homogenisasi
Sterilisasi 90 °C selama 30 detik ↓ Pendinginan sampai suhu 20 °C ↓ Aseptic packaging
Fruitmilk
a
Long Life Whey Drink
b
Keterangan: a) Bagan Alir Pembuatan Fruitmilk dan, b) Bagan Alir Pembuatan Long Life Whey Drink (Von Bockelman dan Von Bockelman, 1998) Gambar 4. Bagan Alir Pembuatan Whey Based Drink
Fruitmilk termasuk dalam kelompok makanan berasam tinggi (High Acid Liquid Food) dengan pH kurang ≤4.6 (Von Bockelman dan Von Bockelman, 1998). Produk High Acid Liquid Food merupakan kelompok pangan yang relatif aman secara mikrobiologis karena bakteri patogen dan spora bakteri pembusuk tidak dapat tumbuh. Oleh karena itu proses pemanasan untuk mencapai efisiensi sterilisasi lebih rendah daripada Low Acid Liquid Food. Dimana tipikal proses untuk Low Acid Liquid Food adalah
130-150
°C
dengan
waktu
penahanan
(Holding
Time)
selama 4 detik, sedangkan High Acid Liquid Food adalah 85-95°C dengan waktu penahanan (Holding Time) selama 30-15 detik atau beberapa menit (Von Bockelman dan Von Bockelman, 1998). Perbedaan mendasar pada kedua proses tersebut terletak pada proses sterilisasinya. Produk yang sudah beredar dipasaran menggunakan metode sterilisasi High Temperature Short Time (HTST) yang merupakan proses sterilisasi dengan menggunakan suhu tinggi dalam waktu yang singkat yaitu 90 °C selama 30 detik. Sedangkan produk fruitmilk yang sedang dikembangkan menggunakan metode sterilisasi High Temperature Long Time (HTLT) yang merupakan proses sterilisasi dengan menggunakan suhu tinggi dalam waktu yang lama yaitu 95 °C selama 20 menit. Kedua macam metode sterilisasi mampu memberikan kerusakan spora yang sama tetapi metode HTST menghasilkan produk dengan kualitas yang lebih baik. Hal ini disebabkan HTST memiliki waktu penahanan yang singkat dimana pengaruh pemanasan terhadap produk menjadi lebih minimal dibandingkan pengaruh pemanasan pada metode HTLT. Pada penelitian ini digunakan metode HTLT karena adanya keterbatasan alat. 2. Pemilihan Sumber Protein Sumber protein yang dipakai dalam minuman fruitmilk adalah WPC dan WPI, dengan spesifikasi yang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Spesifikasi Fruitmilk Karakteristik Kandungan protein Penampakan Flavor dan bau Sifat spesifik
WPC dan WPI yang Dipakai dalam Minuman WPC 80% Bubuk berwarna krem Typical dairy flavor Memiliki penampakan bening, stabil dalam larutan dalam proses pemanasan.
Minuman fruitmilk
WPI 90% Bubuk berwarna kuning Mild flavor Memiliki 9% total solid larutan stabil setelah dipanaskan pada suhu 90 °C selama 8 menit
merupakan minuman berprotein tinggi dengan
berbasis pada whey protein susu yang tergolong dalam High Acid Liquid Food, selanjutnya produk ini akan diproses dengan cara sterilisasi. Sehingga sumber protein yang dipakai harus memiliki karakteristik fungsional yaitu kandungan protein yang tinggi, stabilitas asam dan stabilitas panas yang baik. Protein terdiri dari dua fraksi yaitu kasein dan whey. Berbeda dengan kasein, whey protein tidak terlalu sensitif terhadap koagulasi asam, sehingga cocok digunakan untuk produk yang bersifat asam. Sedangkan sifat tahan panas dari whey protein disebabkan proses proteolisis terbatas dari konsentrat whey protein. Menurut Damodaran dan Paraf (1997), proteolisis terbatas mengurangi sifat emulsifikasi, meningkatkan volume busa tetapi menurunkan stabilitas busa dan meningkatkan stabilitas panas. Jenis-jenis whey protein susu dan karakteristik fungsionalnya dapat dilihat pada Tabel 9 yang dapat membantu formulator untuk memilih whey yang digunakan dalam pembuatan produk minuman. Sesuai Tabel 9 sumber protein yang sesuai dengan karakteristik produk fruitmilk adalah Whey Protein Concentrate (WPC) dan Whey Protein Isolate (WPI). WPC yang digunakan adalah WPC80 karena produk ini merupakan WPC dengan kandungan protein tertinggi yaitu 80%, dibandingkan produk WPC lainnya yang memiliki kandungan protein yang lebih rendah. Begitupula WPI dipilih karena kandungan proteinnya yang tinggi yaitu 90%.
Tabel 9. Karakteristik Fungsi Whey yang Penting pada Produk Minuman Karakteristik fungsional
Macam-macam Whey Whey deWPC WPC WPC WPC mineralisasi 34 50 75 80
WPI
Solubilitas/stabilitas koloidal Stabilitas asam
•
Stabilitas panas Pengikatan air
•
• • •
Emulsifikasi Rasa produk susu
•
•
•
•
•
• • • •
• • • •
• • • •
• • • •
•
•
•
•
•
Nutrisi Sumber: Burrington, 2000.
Keterangan: • = memiliki karakteristik fungsi yang baik. Whey demineralisasi=whey yang telah dihilangkan mineralnya WPC34=konsentrat whey protein dengan kandungan protein 34% WPC50=konsentrat whey protein dengan kandungan protein 50% WPC75=konsentrat whey protein dengan kandungan protein 75% WPC80=konsentrat whey protein dengan kandungan protein 80% WPI=isolat whey protein Produk fruitmilk dengan perlakuan WPC memiliki karakteristik seperti susu dengan rasa dan aroma yang menyenangkan. Akan tetapi penggunaan WPC secara keseluruhan sebagai sumber protein akan membuat produk cenderung kearah milky, hal ini tidak diinginkan karena target konsumen yaitu orang-orang yang tidak terlalu menyukai susu tetapi memerlukan asupan protein tinggi. Pada Tabel 10 dapat dilihat hasil dari perlakuan terhadap sumber protein yang digunakan yaitu WPC (Whey Protein Concentrate), WPI (Whey Protein Isolate) serta kombinasi WPC dan WPI dengan perbandingan 1:1 dan 4:1 %B/B.
Tabel 10. Hasil Perlakuan Penambahan WPC dan WPI Perlakuan sumber protein WPC WPI WPC:WPI = 1:1 WPC:WPI = 4:1
Karakteristik organoleptik (aroma dan kekentalan) Aroma susu kuat, kekentalan tinggi Aroma powdery, kekentalan rendah Aroma powdery, kekentalan rendah Aroma enak, dan kekentalan sedang
Produk fruitmilk dengan perlakuan WPI memiliki aroma powdery yang kurang enak. Hal ini dikarenakan WPI memiliki karakteristik aroma powdery yang dominan dan tidak tertutupi dengan penambahan konsentrat sari buah dan flavor. Selain itu aroma kurang menyenangkan (off flavor) terbentuk akibat reaksi Maillard antara protein dan gula pereduksi. Reaksi Maillard juga mengakibatkan warna susu menjadi agak coklat. Selain itu pada pembuatan french fries terbentuk senyawa akrilamida yang merupakan senyawa karsinogen bagi tubuh (Ismunandar, 2003). WPI memiliki kandungan protein tinggi mencapai 90% dan memiliki kekentalan yang rendah. Sehingga penambahan WPI dikombinasikan dengan WPC. Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa sumber protein yang memiliki penerimaan organoleptik yang bisa diterima adalah kombinasi WPC dan WPI dengan perbandingan 4:1 % B/B. Kombinasi tersebut menghasilkan aroma dan kekentalan yang bisa diterima, sehingga untuk selanjutnya digunakan kombinasi tersebut. Produk fruitmilk memiliki kandungan protein (yang diharapkan) sebesar 3.5 %B/V atau 7 gram dalam 200 ml. Kebutuhan protein orang dewasa sebesar 0.8 kg/BB/hari, untuk orang dewasa dengan berat badan 50 kg
kebutuhan proteinnya perhari adalah sebesar 40 gram.
Konsumsi fruitmilk dua kali (2x200ml) dapat memenuhi kebutuhan protein orang tersebut sebesar 35% per hari. 3. Pemilihan Konsentrat Sari Buah Konsentrat sari buah disimpan dalam kondisi beku untuk mencegah reaksi pencoklatan non enzimatis. Biasanya konsentrat sari buah disimpan dalam kemasan besar (minimum satu liter) pada suhu -8 °C sampai -10 °C dan memiliki masa simpan selama satu tahun (Tetra Pak, 1998). Konsentrat sari buah memiliki total padatan terlarut 65 °Brix dengan kisaran pH <4.0. Pada penelitian dilakukan pembuatan produk dengan menggunakan lima macam konsentrat sari buah yaitu stroberi, blackcurrant, jambu, apel dan jeruk dengan konsentrasi 1 %B/B. Hasil dari perlakuan itu dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil Percobaan Penggunaan Beberapa Jenis Konsentrat Sari Buah pada Produk Fruitmilk Perlakuan konsentrat pH TPT Karakteristik organoleptik sari buah (aroma dan rasa) (°Brix) Stroberi 4.39 19 Diterima secara aroma dan rasa 4.00 18.75 Tidak dapat diterima secara rasa Blackcurrant Jambu 4.19 19.5 Tidak dapat diterima secara aroma Apel 4.49 18.75 Diterima secara aroma dan rasa Jeruk 4.18 18.5 Tidak dapat diterima secara rasa
Produk dengan kelima macam konsentrat buah memiliki nilai pH ≤4.6 dengan total padatan terlarut antara 18.5-19.5 °Brix. Produk dengan penambahan konsentrat jeruk dan blackcurrant tidak dapat diterima karena rasa produk yang terlalu asam. Sedangkan produk dengan penambahan konsentrat jambu memiliki aroma yang kurang enak sehingga tidak dapat diterima secara organoleptik. Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa produk yang dapat diterima secara rasa dan aroma adalah produk dengan penambahan konsentrat stroberi dan apel. Sehingga selanjutnya konsentrat sari buah yang dipakai adalah stroberi dan apel. Produk dengan konsentrat apel memiliki pH yang tinggi sehingga dilakukan penurunan pH dengan cara penambahan konsentrasi konsentrat apel yaitu menjadi 5, 10, dan 15 %B/B. Hasil dari perlakuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Perlakuan Perbedaan Konsentrasi Konsentrat Apel pada Produk Minuman Fruitmilk Perlakuan konsentrasi (%B/B) Karakteristik organoleptik konsentrat sari buah apel (rasa) 5 Asam dan sepat 10 Asam dan sepat 15 Asam dan sepat Semakin tinggi konsentrasi konsentrat apel rasa sepat semakin kuat dan juga memiliki rasa asam yang semakin kuat sehingga tidak dapat
diterima secara organoleptik. Penggunaan konsentrat apel tidak digunakan lagi sehingga untuk selanjutnya dipilih konsentrat buah yang memiliki pH yang rendah yang tidak menimbulkan rasa sepat dan memiliki rasa manis yaitu konsentrat stroberi dengan konsentrasi 1% B/B. 4. Pemilihan Stabilizer Hasil dari perlakuan pemilihan stabilizer dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Perlakuan Jenis dan Konsentrasi Pektin Jenis Pektin Pektin A
Pektin B
Konsentrasi (%B/B)
Penerimaan penampakan dan tekstur
Viskositas (centipoise)
0.1
Menggumpal
-
0.3
Menggumpal
-
0.5
Stabil dan kekentalan tinggi Stabil dan kekentalan tinggi Stabil dan kekentalan tinggi Stabil dan kekentalan tinggi
350
0.1 0.3 0.5
160 750 1500
Penggumpalan pada pektin A dengan konsentrasi 0.1 dan 0.3 %B/B disebabkan konsentrasi pektin tidak dapat menstabilkan sistem protein dalam produk fruitmilk. Terlihat dari Tabel 13 untuk pektin A konsentrasi untuk
bias
menstabilkan
sistem
protein
bisa
dicapai
pada
konsentrasi 0.5% B/B. Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa pektin A dan B bisa menstabilkan protein dalam produk dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 0.5 %B/B untuk pektin A dan 0.1 %B/B untuk pektin B. Pektin B menghasilkan produk dengan kekentalan yang lebih rendah (sebesar 160 cps) dibandingkan pektin A (dengan kekentalan 350 cps). Sehingga untuk selanjutnya digunakan pektin B dengan konsentrasi 0.1 %B/B. Produk fruitmilk memiliki kandungan protein tinggi dan mempunyai pH pada titik isoelektrik protein. Pada pH tersebut protein memiliki daya tarik-menarik yang paling kuat antara sesamanya (Lehninger, 1982). Selain
itu proses pemanasan juga mempertinggi risiko denaturasi protein. Laju denaturasi tergantung pada suhu dan untuk protein lajunya meningkat 600 kali dengan peningkatan suhu sebesar 10 oC (Fox dan Sweeney, 1998). Proses denaturasi menghasilkan produk dengan tekstur kurang bagus yang terlihat dengan adanya pemisahan whey protein. Sehingga perlu ditambahkan stabilizer untuk menghasilkan produk fruitmilk yang stabil. Stabilizer berfungsi untuk meningkatkan kestabilan pada produk makanan. Macam-macam stabilizer adalah gum arab, pektin, agar-agar, karagenan, dan metil selulosa. Stabilizer yang digunakan pada produk fruitmilk adalah pektin. Menurut Burrington (2000), pektin bisa menstabilisasi whey protein pada produk RTD ber-pH rendah yaitu 3.0-5.5. Aplikasi pektin dalam industri pangan dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Jenis-jenis Pektin dan Aplikasi Penggunaannya Klasifikasi
Aplikasi penggunaan
Jenis Pektin dan Derajat Esteri-fikasi (%) High Ester 80
Rapid set (a)
Produk susu asam, Jam
70
Slow set (a)
Jellies,Rerotian, Konfeksionary
60 Low Ester 50
Special use (a)
Jelly (industri rumah)
Rendah (b)
Reduced sugar product
40
Rendah (b)
Reduced sugar product
30
Sedang (b)
Low sugar/low acid product
20
Tinggi (b)
Low sugar/low acid product
10 Tinggi (b) Low sugar/low acid product Pektat Non acid food, clarifying agent Sumber: Nussinovitch, 1997. Keterangan: (a)= klasifikasi berdasarkan kecepatan pembentukan jel (b)=klasifikasi berdasarkan reaktifitasnya terhadap ion Ca
Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa jenis pektin yang cocok untuk produk fruitmilk adalah High Ester Pectin (HE pektin) dengan derajat esterifikasi sekitar 70-80 %. Low Ester Pectin (LE pektin) merupakan pektin yang diperoleh dari proses lanjutan dari HE pektin yang mengalami perlakuan asam, alkali atau enzim. HE Pektin cocok digunakan untuk produk dengan kisaran pH 3.6-4.5. Mekanisme stabilisasinya adalah stabilisasi sterik, dimana terjadi interaksi elektrostatik antara stabilizer dengan protein (Danischo, 2005). Stabilisasi sterik mencegah protein dari agregasi dengan pelepasan flavor yang cepat den kesan mouthfeel yang bagus. Selain jenis stabilizer, konsentrasi stabilizer yang digunakan juga penting dalam pembuatan produk fruitmilk. Keefektifan konsentrasi stabilizer dapat dilihat setelah proses pemanasan. Konsentrasi stabilizer dikatakan efektif bila setelah proses pemanasan produk yang dihasilkan stabil tidak terjadi penggumpalan protein dan pemisahan whey protein yang dapat diamati secara visual. Kestabilan sistem protein pada produk sangat penting, hal itu dapat terlihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Perbandingan Produk Fruitmilk yang Stabil dan Tidak Stabil Karakteristik Kualitas produk Cemaran mikroba pembusuk Penampakan Kesan mouthfeel kekentalan Sumber: Danischo, 2005.
Produk Stabil tinggi risiko rendah tidak ada pemisahan lapisan lembut konsisten
Produk Tidak Stabil rendah risiko tinggi pemisahan lapisan berpasir tidak terkontrol
Dari Tabel 15 kestabilan sistem protein dalam pangan sangat penting karena kestabilan sistem protein mempengaruhi mutu produk baik dari segi fisik dan kimia dan mikrobiologi. Mutu fisik dan kimia akan mempengaruhi penampakan produk, sedangkan mutu mikrobiologi akan berpengaruh pada masa simpan dan kesterilan produk.
B. PENELITIAN LANJUTAN 1. Pemilihan Jenis Pengasam Proses asidifikasi pada high acid liquid food ada tiga cara yaitu menggunakan bakteri (fermentasi asam laktat), penambahan sari buah dan asam (asidifikasi langsung) (Danischo, 2005). Acidulant atau pengasam bertindak sebagai penegas rasa dan warna atau menyelubungi after taste yang tidak disukai. Sifat asam senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan bertindak sebagai pengawet. Pada fruitmilk penambahan bahan pengasam perlu dilakukan karena penambahan konsentrat sari buah tidak cukup untuk bisa mencapai pH ≤4.6. Setiap bahan pengasam memiliki karakteristik asam yang berbeda, asam sitrat memiliki intensitas asam yang lebih tinggi dibanding asam malat dan sama laktat. Rekapitulasi analisis organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 3a sedangkan persentase kesukaan untuk bisa diterima dapat dilihat pada Lampiran 3b. Rincian penerimaan organoleptik terhadap atribut warna, aroma, rasa dan tekstur produk fruitmilk adalah sebagai berikut: a. Warna Warna WPC (Whey Potein Concentrate) dan WPI (Whey Potein Isolate) adalah putih sampai krem muda. Penambahan konsentrat stroberi sebesar 1% membuat produk fruitmilk menjadi merah pucat, sehingga perlu ditambahkan pewarna pada produk. Pewarna yang digunakan adalah carmoisine dengan konsentrasi 0.0007 %B/B (7 ppm). Konsentrasi tersebut masih dalam batas aman, dimana batas penggunaan pewarna menurut CCIC (1968) adalah sebesar 5-200 ppm. Pewarna carmoisine memiliki kelarutan dalam air sebesar 8 g/100ml pada suhu 16 °C. Secara kimia, pewarna ini sangat mudah terreduksi oleh reduktor kuat. Reduktor kuat dalam pangan yaitu monosakarida, aldehid, keton, dan asam askorbat. Reaksi pewarna dengan pereduktor kuat mengakibatkan pemudaran warna pada pewarna sintetik ini. Kondisi lain yang menyebabkan hal itu yaitu reaksi dengan logam bebas, pemaparan cahaya, pemanasan yang berlebihan, dan perlakuan asam dan basa.
Karakteristik pewarna ini karena pengaruh cahaya, panas, senyawa SO2, pengaruh pH asam (3.5-4.0), dan pH basa (8.0-9.0) berturut-turut adalah 5, 5, 4, 4, dan 3. Dimana skala 1 menunjukan pemudaran warna yang mencolok dan skala 6 menunjukkan tidak adanya perubahan warna. Dapat diketahui bahwa carmoisine lebih sensitif terhadap kondisi basa dibanding kondisi asam. Dan pewarna cukup stabil terhadap pengaruh cahaya, panas dan senyawa SO2 (Von Elbe dan Schwartz, 1985). Produk fruitmilk sebelum penambahan pewarna berwarna merah pucat, setelah penambahan pewarnanya fruitmilk berwarna merah keunguan dan memiliki penampakan keruh. Setelah pemanasan berwarna merah keunguan pucat dan keruh. Analisis sidik ragam pada tiga formula terhadap atribut warna menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) yang dapat dilihat pada Lampiran 4a. Hasil yang tidak berbeda nyata pada atribut warna disebabkan konsentrasi pewarna yang ditambahkan pada setiap formula sama yaitu sebesar 0.0007 %B/B. Selain itu interaksi pewarna dan asam tidak menyebabkan perbedaan pada persentase kesukaan untuk bisa diterima oleh panelis. Nilai rata-rata atribut warna pada masing-masing formula fruitmilk berdasarkan analisis duncan (Lampiran 4b) yaitu untuk sitrat 3.75, untuk malat 3.8 dan untuk laktat 3.75. Persentase kesukaan untuk bisa diterima terhadap atribut warna pada tiap-tiap formula adalah untuk sitrat 75%, malat 76%, dan laktat 75%. Hal itu menunjukkan bahwa warna produk telah disukai oleh panelis karena memiliki persentase kesukaan untuk bisa diterima ≥ 70%. Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Djuric et
al.
(2004),
yaitu
pengembangan produk yang berbasis whey protein susu dengan penambahan konsentrat sari buah jeruk, apel, peach dan pear memiliki nilai rata-rata kesukaan terhadap warna (skala hedonik 0-2) adalah 1.67; 1,5; 2; 1,07. dengan persentase kesukaan untuk bisa diterima sebesar 78%.
Produk fruitmilk dengan penambahan konsentrat sari buah stroberi memiliki nilai rata-rata 3.77 (skala hedonik 1-5) dengan persentase kesukaan untuk bisa diterima sebesar 75%. Dari hasil itu dapat diketahui bahwa warna dari produk fruitmilk memiliki persentase kesukaan untuk bisa diterima yang tidak jauh berbeda dengan produk berbasis whey yang dikembangkan oleh Djuric et al. (2004). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Temelli et al. (2004) tentang penambahan
WPI
pada
minuman
fungsional
barley
β-glucan,
menyebutkan bahwa penambahan WPI meningkatkan kekeruhan pada produk tersebut. Semakin banyak WPI yang ditambahkan, maka produk akan semakin keruh. Hal ini penting karena kekeruhan juga akan mempengaruhi warna dari produk. Penerimaan organoleptik untuk penampakan produk dengan penggunaan WPI sebesar 1%, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Temelli et al. (2004) adalah 6.5 (skala hedonik 1-7), dengan persentase kesukaan untuk bisa diterima 92%. Jika dibandingkan dengan produk fruitmilk yang juga menggunakan WPI sebesar 1%, persentase kesukaan untuk bisa diterimanya masih berbeda jauh yaitu sekitar 17%. b. Aroma Analisis sidik ragam pada tiga formula terhadap atribut aroma menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) yang dapat dilihat pada Lampiran 5a. Hal ini disebabkan konsentrasi flavor yang ditambahkan pada setiap formula sama yaitu sebesar 0.1 %B/B. Selain itu interaksi flavor dan asam tidak menyebabkan perbedaan pada persentase kesukaan untuk bisa diterima untuk bisa diterima oleh panelis. Campuran konsentrat sari buah dan flavor buah memberi
kontribusi terhadap aroma produk, dimana
konsentrat sari buah sebagai basisnya dan flavor buah berfungsi untuk meningkatkan intensitas aroma pada produk stroberi. WPC
memiliki
aroma
yang
mendekati
aroma
susu
yang
menyenangkan sedangkan WPI memiliki aroma powdery yang kurang enak. Pada penelitian yang dilakukan oleh Temelli et al. (2004) tentang
penambahan
WPI
pada
minuman
fungsional
barley
β-glucan,
menyebutkan bahwa intensitas flavor jeruk menurun secara signifikan dengan peningkatan konsentrasi WPI. Hal itu disebabkan WPI memiliki aroma yang cukup dominan, seperti bau powdery sehingga hal tersebut cukup berpengaruh terhadap terhadap aroma dari minuman. Sedangkan WPC memiliki flavor cheesy, dimana flavor tersebut akan meningkat dengan peningkatan konsentrasi WPC. Penelitian oleh Vojnovic et al. (1993), dalam Branger et al. (1999, menyebutkan flavor cheesy mengurangi penerimaan minuman yang dicampur dengan komponen buah cherry, apel, anggur, jeruk dan stroberi. Kombinasi penggunaan WPC dan WPI pada produk fruitmilk memiliki persentase kesukaan yang sudah dapat diterima oleh panelis. Nilai rata-rata kesukaan terhadap atribut aroma berdasarkan analisis duncan (Lampiran 5b) untuk tiap-tiap formula yaitu untuk sitrat 3.65, malat 3.85, dan laktat 3.8. Persentase kesukaan untuk bisa diterima terhadap atribut aroma pada tiap-tiap formula adalah untuk sitrat 73%, malat 77%, dan laktat 75%. Hal itu menunjukkan bahwa aroma produk telah disukai oleh panelis karena memiliki persentase kesukaan untuk bisa diterima >70%. Penelitian yang dilakukan oleh Djuric et al. (2004), yaitu pengembangan produk yang berbasis whey protein susu dengan penambahan konsentrat sari buah jeruk, apel, peach dan pear memiliki nilai rata-rata kesukaan terhadap aroma (skala hedonik 0-2) adalah 0.8; 1.51; 1.95; 0.82. dengan persentase kesukaan untuk bisa diterima sebesar 63%. Produk fruitmilk dengan penambahan konsentrat sari buah stroberi memiliki nilai rata-rata 3.77 (skala hedonik 1-5) dengan persentase kesukaan untuk bisa diterima sebesar 75%. Dari hasil itu dapat diketahui bahwa aroma dari produk fruitmilk memiliki persentase kesukaan untuk bisa diterima yang lebih tinggi daripada produk berbasis whey yang dikembangkan oleh Djuric et al. (2004).
c. Rasa Dalam bentuk murni, whey protein memiliki rasa yang tawar. Penambahan whey pada produk yang berbasis buah menyebabkan rasa buah semakin menonjol. Dibandingkan dengan kasein, protein whey memberikan rasa yang tidak terlalu milky. Hal ini membuat konsumen bisa menikmati campuran asam dan gula. Ketika asam organik (asam sitrat, malat, dan laktat) dan rasa buah digunakan banyak rasa khas whey yang hilang. Pada produk fruitmilk rasa yang muncul adalah kombinasi asam dan manis, dimana rasa khas dari whey protein sudah tertutupi oleh konsentrat sari buah dan asam organik yang digunakan. Dari analisis organoleptik diperoleh hasil analisis sidik ragam pada tiga formula terhadap atribut rasa, dimana formula tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) yang dapat dilihat pada Lampiran 6a. Nilai rata-rata atribut rasa berdasarkan analisis duncan (Lampiran 6b) untuk tiap-tiap formula yaitu sitrat 3.35, malat 3.65 dan laktat 3.3. Sedangkan persentase kesukaan untuk bisa diterima terhadap atribut rasa pada tiap-tiap formula adalah untuk sitrat 67%, malat 73%, dan laktat 66%. Dari hasil tersebut rasa produk yang telah disukai dan diterima oleh panelis adalah formula malat yang memiliki persentase kesukaan untuk bisa diterima >70%. Penelitian yang dilakukan oleh Djuric et al. (2004), yaitu pengembangan produk yang berbasis whey protein susu dengan penambahan konsentrat sari buah jeruk, apel, peach dan pear memiliki nilai rata-rata kesukaan terhadap rasa (skala hedonik 0-12) adalah 7.58; 8.66; 9.3; 6.12 dengan persentase kesukaan untuk bisa diterima sebesar 66%. Produk fruitmilk dengan penambahan konsentrat sari buah stroberi memiliki nilai rata-rata 3.43 (skala hedonik 1-5) dengan persentase kesukaan untuk bisa diterima sebesar 69%. Dari hasil itu dapat diketahui bahwa rasa dari produk fruitmilk memiliki persentase kesukaan untuk bisa diterima sedikit lebih tinggi daripada produk yang sudah ada. Tetapi menurut pandangan panelis produk fruitmilk masih dalam taraf biasa
sampai suka, walaupun persentase kesukaan untuk bisa diterima hampir sama dengan produk berbasis whey yang dikembangkan oleh Djuric et al. (2004) Rasa dari produk fruitmilk yang asam menjadi kendala bagi penerimaan rasa produk. Skor kesukaan produk masih dalam taraf biasa samapi suka. Pengurangan intensitas rasa asam pada produk dapat dilakukan dengan mengurangi konsentrasi asam atau menggunakan asam fosfor sebagai agen penurun pH. Asam fosfor memiliki intensitas asam yang rendah tetapi efektif untuk menurunkan pH pada produk minuman. Penelitian yang dilakukan oleh Temelli et al. (2004) tentang penambahan WPI pada minuman fungsional barley β-glucan, membagi penerimaan rasa produk menjadi dua yaitu kemanisan dan keasaman. Dari penelitiannya, berdasarkan penerimaan panelis terlatih penambahan WPI tidak meningkatkan kemanisan pada minuman tetapi dapat menurunkan intensitas keasaman. Sedangkan berdasarkan penerimaan konsumen, kemanisan meningkat dengan peningkatan WPI. Hal itu karena konsumen lebih menyukai formulasi minuman yang lebih manis yaitu formulasi dengan konsentrasi WPI tertinggi. Untuk keasaman, konsumen dan panelis terlatih lebih menginginkan rasa yang lebih asam dengan ataupun tanpa penambahan WPI. Menurut Djuric et al. (2004), peningkatan baik komponen buah maupun konsentrasi sukrosa dapat meningkatkan karakteristik dari campuran minuman berbasis whey yang dicampur dengan komponen buah. Kemanisan merupakan karakteristik produk yang perlu mendapat perhatian, hal ini terkait dengan kebiasaan sebagian besar konsumen yang lebih menyukai rasa manis. Sehingga untuk produk fruitmilk pengembangan lebih lanjut untuk penerimaan rasa yaitu dengan meningkatkan kemanisan produk. Hal itu bisa dilakukan dengan penambahan WPI, komponen buah ataupun penambahan sukrosa untuk mengimbangi rasa asam pada produk. Akan tetapi penambahan WPI dapat mengurangi intensitas flavor produk. Selain itu penambahan sukrosa dapat menyebabkan gelasi pada pektin.
Sehingga untuk WPI dan sukrosa perlu diperhatikan konsentrasi penambahannya sehingga tidak menimbulkan efek tersebut. d. Tekstur Tekstur pada produk pangan antara lain kekerasan, kelembutan, konsistensi, kekentalan, kekenyalan dan kerenyahan. Tekstur itu sendiri lebih mengarah pada pangan solid dan semi solid, dimana definisi tekstur itu sendiri ada dua yaitu reaksi dari stress, sifat mekanis yang diukur dengan indera kinestetik pada otot tangan, jari, lidah, geraham atau bibir. Definisi kedua yaitu sifat tactile, sifat geometris partikel atau kelembaban (basah, berminyak, lembab, kering) oleh saraf tactile yang ada dipermukaan kulit tangan, bibir, dan lidah. Pada produk minuman fruitmilk, tekstur minuman yaitu kekentalannya yang merupakan resistensi terhadap pengaliran produk. Kekentalan terbagi menjadi dua yaitu aliran newtonian dan non newtonian. Kekentalan pada aliran newtonian disebut viskositas, sedangkan pada non newtonian disebut konsistensi. Dan untuk produk fruitmilk tekstur yang dimaksud adalah kekentalan produk. Analisis sidik ragam pada tiga formula terhadap atribut tekstur menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) yang dapat dilihat pada Lampiran 7a. Hal ini disebabkan konsentrasi pektin yang ditambahkan pada setiap formula sama yaitu sebesar 0.1 %B/B. Selain itu interaksi pektin dan asam tidak menyebabkan perbedaan persentase kesukaan untuk bisa diterima oleh panelis. Nilai rata-rata atribut tekstur berdasarkan analisis duncan (Lampiran 7b) untuk tiap-tiap formula yaitu sitrat 3.2, malat 3.35, dan laktat 3.2. Sedangkan persentase kesukaan untuk bisa diterima terhadap atribut tekstur pada tiap-tiap formula adalah untuk sitrat 64%, malat 67%, dan laktat 64%. Dari hasil tersebut tekstur produk belum bisa diterima oleh
panelis karena
memiliki persentase kesukaan untuk bisa
diterima < 70%. Tekstur produk fruitmilk masih dalam taraf biasa sampai suka karena memiliki kekentalan yang tinggi. Hal ini disebabkan konsentrasi protein
yang relatif tinggi, penggunaan pektin dan proses pemanasan. Meningkatnya konsentrasi protein menyebabkan molekul protein yang terdispersi tidak lagi bebas dan interaksi protein-protein menjadi lebih dominan sehingga terjadi peningkatan kekentalan produk. Whey protein juga mengikat sejumlah air secara fisik dan kimia maupun kimia, hal ini cenderung meningkatkan viskositas campuran. Ketika whey protein dipanaskan, ikatan yang bertanggung jawab untuk struktur globularnya terpisah. Saat molekul protein terlepas protein mengikat air sehingga terjadi peningkatan kekentalan. Menurut Hugunin (2000) faktor kritis stabilitas panas dari konsentrat whey protein adalah suhu >75 ºC, kondisi pH
antara 3.5-6.0, kandungan protein >5%, dan adanya mineral Ca dan
Mg, laktosa serta lemak. Penelitian yang dilakukan oleh Djuric et al. (2004), yaitu pengembangan produk yang berbasis whey protein susu dengan penambahan konsentrat sari buah jeruk, apel, peach dan pear memiliki nilai rata-rata kesukaan terhadap tekstur produk (skala hedonik 0-1) adalah 0.82; 0.94; 1; 0.65 dengan persentase kesukaan untuk bisa diterima sebesar 85%. Produk fruitmilk dengan penambahan konsentrat sari buah stroberi memiliki nilai rata-rata 3.35 dengan persentase kesukaan untuk bisa diterima sebesar 65%. Dari hasil itu dapat diketahui bahwa tekstur produk fruitmilk memiliki persentase kesukaan untuk bisa diterima jauh lebih rendah daripada produk yang sudah ada. Artinya produk fruitmilk belum bisa diterima dibandingkan produk berbasis whey yang dikembangkan oleh Djuric et al. (2004) Penelitian yang dilakukan oleh Temelli et al. (2004) tentang penambahan
WPI
pada
minuman
fungsional
barley
β-glucan,
menyebutkan bahwa skor viskositas pada penerimaan organoleptik oleh panelis terlatih meningkat sekitar 7% dengan penambahan konsentrasi WPI. Sedangkan pada konsumen, kekentalan produk tidak dipengaruhi oleh
penambahan
WPI.
Produk
fruitmilk
masih
memerlukan
pengembangan lebih lanjut mengenai teksturnya yaitu pengurangan kekentalan produk. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah konsentrasi
protein, penggunaan pektin (baik jenis dan jumlahnya) serta proses pemanasan yang juga turut mempengaruhi kekentalan produk. Dimana terjadi gelasi protein dan pektin dengan kondisi asam, total padatan terlarut yang tinggi serta proses pemanasan. Dari keempat atribut organoleptik (warna, aroma, rasa dan tekstur) pada produk fruitmilk dengan penambahan asam dapat diketahui bahwa atribut warna dan aroma produk telah disukai. Untuk atribut rasa, formula malat telah disukai. Sedangkan atribut tekstur produk tidak disukai, sehingga perlu pengembangan lebih lanjut untuk atribut tekstur. Ketiga formula fruitmilk dengan penambahan asam (sitrat, malat, dan laktat) secara statistik tidak berbeda nyata dalam keempat atribut produk yaitu warna, aroma, rasa dan tekstur. Sehingga untuk tahap selanjutnya yaitu penambahan mineral, berdasarkan karakteristik asam malat dan asam laktat yang memiliki karakteristik asam yang lebih lembut dibandingkan sitrat (Doores, 1990). Maka dipilihlah kedua formula asam tersebut untuk dilakukan penambahan mineral. 2. Penambahan Mineral Senyawa mineral yang ditambahkan adalah kalsium laktat, magnesium laktat, natrium pirofosfat dan besi pirofosfat. Jumlah senyawa mineral yang ditambahkan diperhitungkan sehingga memenuhi kandungan mineral pada produk yang dapat dilihat pada Tabel 6. Kebutuhan unsur mineral bagi orang dewasa setiap hari menurut RDA (1980) untuk kalsium sebesar 800 mg, fosfor sebesar 800 mg, magnesium sebesar 350 mg, dan besi sebesar 10 mg. Konsumsi fruitmilk dua kali sehari (2x200ml) dapat memenuhi kebutuhan kalsium, fosfor, magnesium, dan besi berturut-turut sebesar 88, 58, 29, dan 100 % perhari. Sedangkan total asupan mineral tersebut setiap harinya antara lain kalsium 968-1308 mg, fosfor 1637-2054 mg, magnesium 434 mg, dan besi 9.9-14.4 mg (Renner, 1989). Penambahan mineral mengakibatkan kenaikan pH produk, serta perubahan warna, aroma, rasa dan tekstur produk. Kenaikan pH produk mengakibatkan konsentrasi asam yang ditambahkan pada produk semakin
besar untuk bisa mencapai pH <=4.6. Selanjutnya dilakukan analisis organoleptik dengan menggunakan metode hedonik. Rekapitulasi analisis organoleptik terhadap formula asam dan mineral dapat dilihat pada Lampiran 8a. Sedangkan persentase kesukaan untuk bisa diterima dapat dilihat pada Lampiran 8b. Selain analisis organoleptik dilakukan pula analisis fisik dan kimia terhadap produk minuman fruitmilk yang dihasilkan. Rincian hasil analisis organoleptik dan fisik dan kimia dapat dilihat sebagai berikut: a. Hasil Analisis Organoleptik 1. Warna Nilai rata-rata atribut warna untuk tiap-tiap formula yaitu laktat dan mineral 3.65, malat dan mineral 3.7. Analisis sidik ragam terhadap warna menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata pada selang
kepercayaan 95% (α=0.05) yang dapat dilihat pada Lampiran 9. Hal ini disebabkan konsentrasi pewarna yang ditambahkan pada setiap formula sama yaitu sebesar 0.0007 %B/B. Selain itu interaksi pewarna, asam, dan mineral tidak menyebabkan perbedaan persentase kesukaan untuk bisa diterima oleh panelis. Persentase kesukaan untuk bisa diterima terhadap atribut warna produk fruitmilk dengan penambahan mineral untuk malat sebesar 74%, dan laktat sebesar 73%. Warna produk telah disukai oleh panelis karena memiliki persentase kesukaan untuk bisa diterima >70%. Jika dibandingkan dengan formula tanpa mineral persentase kesukaan untuk bisa diterima terhadap warna mengalami penurunan sekitar 2%. Senyawa mineral yang ditambahkan pada produk mengakibatkan pemudaran warna dari produk. Karena senyawa mineral yang bersifat basa bereaksi dengan carmoisine yang cenderung labil terhadap perlakuan basa. Perubahan warna ini dapat dicegah dengan mengganti jenis mineral ataupun waktu penambahan mineral. Jenis senyawa mineral yang dapat digunakan adalah jenis mineral yang mudah larut air, dimana reaksi mineral dengan pewarna menjadi minimal.
Sedangkan waktu penambahan terbaik yaitu sebelum homogenisasi karena pada proses tersebut produk akan dihomogenkan. Hal itu mengakibatkan senyawa mineral yang terlarut didalamnya akan terdistribusi secara merata pada produk dan meminimalisasi reaksinya dengan pewarna. Pada produk fruitmilk senyawa mineral yang ditambahkan yaitu Ca-laktat, Mg-Laktat, Fe-pyrophospat, dan Na-pyrophospat. Dan penambahannya dilakukan sebelum proses homogenisasi. 2. Aroma Nilai rata-rata atribut aroma untuk tiap-tiap formula yaitu laktat dan mineral 3.7, malat dan mineral 3.5. Analisis sidik ragam terhadap aroma menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata pada selang
kepercayaan 95% (α=0.05) yang dapat dilihat pada Lampiran 10. Hal ini disebabkan konsentrasi flavor yang ditambahkan pada setiap formula sama yaitu sebesar 0.1 %B/B. Selain itu interaksi flavor, asam, dan mineral tidak menyebabkan perbedaan panelis terhadap aroma produk. Persentase kesukaan untuk bisa diterima terhadap aroma produk fruitmilk dengan penambahan mineral untuk malat sebesar 70%, dan laktat sebesar 74% Aroma produk telah disukai oleh panelis karena memiliki persentase kesukaan untuk bisa diterima >70%. Jika dibandingkan dengan formula tanpa mineral persentase kesukaan untuk bisa diterima terhadap aroma mengalami penurunan sekitar 5%. Hal ini dikarenakan mineral memiliki aroma khas yang kurang menyenangkan. Penambahan unsur Ca dan Mg yang berlebihan dapat menimbulkan chalky flavor atau aroma kapur. Hal ini dapat dikurangi dengan melakukan penambahan mineral sebelum proses homogenisasi. Pada produk fruitmilk, chalky flavor tidak dominan karena penambahan senyawa mineral dilakukan sebelum homogenisasi. Proses homogenisasi meminimalisasi aroma khas dari mineral karena proses pengadukan yang mengakibatkan distribusi yang merata dari mineral pada produk fruitmilk.
3. Rasa Nilai rata-rata atribut rasa untuk tiap-tiap formula yaitu laktat dan mineral 3.3, malat dan mineral 3.2. Berdasarkan analisis sidik ragam terhadap rasa menunjukkan hasil yang selang
kepercayaan
95%
(α=0.05)
tidak berbeda nyata pada yang
dapat
dilihat
pada
Lampiran 11. Persentase kesukaan untuk bisa diterima terhadap rasa produk fruitmilk dengan penambahan mineral untuk malat sebesar 66%, dan laktat sebesar 64% Rasa produk belum bisa diterima oleh panelis karena memiliki persentase kesukaan untuk bisa diterima <70%. Skor kesukaan produk berada pada taraf biasa sampai suka. Dibandingkan dengan formula tanpa mineral persentase kesukaan untuk bisa diterima terhadap atribut rasa mengalami penurunan sekitar 5%. Hal ini dikarenakan penambahan mineral dalam jumlah cukup besar menimbulkan rasa sepat. Garam Ca dan Mg yang berlebihan dapat mengakibatkan rasa sepat. 4. Tekstur Analisis sidik ragam terhadap tekstur menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) yang dapat dilihat pada Lampiran 12. Hal ini disebabkan konsentrasi pektin yang ditambahkan pada setiap formula sama yaitu sebesar 0.1 %B/B. Interaksi pektin, asam, dan mineral tidak menyebabkan perbedaan kesukaan terhadap tekstur produk. Nilai rata-rata atribut tekstur untuk tiap-tiap formula yaitu laktat dan mineral 3.15, malat dan mineral 3.3. Persentase kesukaan untuk bisa diterima terhadap tekstur produk fruitmilk dengan penambahan mineral untuk malat sebesar 66%, dan laktat sebesar 63%. Tekstur produk tidak disukai oleh panelis karena memiliki persentase kesukaan untuk bisa diterima <70%. Jika dibandingkan dengan formula tanpa mineral persentase kesukaan untuk bisa diterima terhadap rasa mengalami penurunan sekitar 1%. Persentase kesukaan untuk bisa diterimanya tidak berbeda jauh, dimana tekstur produk dengan ataupun tanpa penambahan mineral
masih belum disukai. Tekstur produk belum disukai karena memiliki kekentalan yang tinggi. Senyawa mineral mempengaruhi tekstur produk fruitmilk dengan mempengaruhi pembentukan gel dari pektin dan whey protein. Interaksi mineral kalsium dengan pektin dan whey protein dapat meningkatakan kekenatalan produk karena terjadinya gelasi pada produk. Dari keempat atribut organoleptik (warna, aroma, rasa dan tekstur) pada produk fruitmilk dengan penambahan mineral dapat diketahui bahwa atribut warna dan aroma produk telah disukai. Sedangkan atribut rasa dan tekstur belum disukai, sehingga perlu pengembangan lebih lanjut untuk atribut rasa dan tekstur. Produk fruitmilk dengan penambahan
mineral
bila
dibandingkan
dengan
produk
tanpa
penambahan mineral mengalami penurunan persentase kesukaan untuk bisa diterima dibawah 5%. Hal itu menunjukkan penambahan mineral tidak berpengaruh signifikan terhadap kesukaan panelis pada produk fruitmilk. Sehingga untuk peningkatan nilai gizi produk maka penambahan mineral dapat menjadi alternatif yang sangat baik. Kedua formula fruitmilk dengan penambahan mineral (malat dan laktat) secara statistik tidak berbeda nyata dalam keempat atribut produk yaitu warna, aroma, rasa dan tekstur. b. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Hasil pengembangan produk fruitmilk diperoleh karakteristik fisik dan kimia produk fruitmilk pada Tabel 16. Sedangkan karakteristik fisik dan kimia produk yang sudah beredar dipasaran dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 16. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Fruitmilk Perlakuan Sitrat Sitrat dan Mineral Malat Malat dan Mineral Laktat Laktat dan Mineral Rata-rata
pH 4.24 4.27 4.24 4.21 4.26 4.23 4.24
Viskositas (centipoise) 160 180 150 160 150 170 161.67
TPT (ºBrix) 23 29 19.5 26 22 27 24.42
Tabel 17. Karakteritik Fisik dan Kimia Produk yang Sudah Beredar Dipasaran Produk pH Viskositas TPT Kandungan (centipoise) (ºBrix) protein (%) Wamp 3.83 26.9 16 1 Milkuat 4.05 10.42 11 0 3.76 20 18.75 0 Jungle Juice 4.09 6.88 14 0 FruMilk ISAM 0.25 Rata-rata 3.89 16.05 14.94 Produk berbasis susu yang sudah beredar dipasaran memiliki kandungan protein yang rendah yaitu sekitar 0-1%, sedangkan produk fruitmilk yang dikembangkan memiliki kandungan protein 7 gram dalam 200 ml atau sekitar 3.5%. Dari Tabel 16 dan Tabel 17 dapat dilihat terdapat perbedaan terutama pada viskositas produk. Perbedaan kandungan
protein
dan
proses
pemanasan
berpeluang
dalam
meningkatkan kekentalan produk fruitmilk. Selain itu interaksi pektin, sukrosa, dan asam (yang dapat membentuk gel pada kondisi tersebut) dapat meningkatkan kekentalan produk. Proses pemanasan produk fruitmilk menggunakan metode High Temperature Long Time (HTLT) sedangkan produk yang beredar dipasaran diproses dengan cara High Temperature Short Time (HTST). Metode HTST memiliki efek pemanasan lebih sedikit dibandingkan metode HTLT karena waktu penahanan produk lebih singkat, sehingga perubahan kimia komponen nutrisi pada produk lebih minimal.
1. pH Nilai pH pada produk pangan seringkali dihubungkan dengan kualitas produk secara organoleptik dan mikrobiologi. Selain mempengaruhi rasa, nilai pH juga mempengaruhi tingkat keawetan dan perlakuan panas yang akan diterapkan selama proses pembuatan produk pangan. Produk dengan pH rendah relatif aman dari bakteri patogen sehingga suhu pemanasan (untuk mencapai sterilitas komersial) yang diberikan lebih rendah daripada suhu pemanasan untuk produk dengan pH tinggi. Nilai rata-rata pH produk fruitmilk seperti tertera pada Tabel 16. adalah 4.24, nilai pH produk fruitmilk masih lebih tinggi daripada nilai pH produk yang ssudah beredar dipasaran yang rata-rata memiliki pH dibawah 4.0. Perbedaan yang cukup jauh karena pada pembuatan produk fruitmilk penurunan pH mengakibatkan rasa produk yang terlalu asam apalagi penurunan pH menjadi <4.0. Hal ini tidak terlalu bermasalah karena pH produk fruitmilk masih berada pada kisaran pH High Acid Liquid Food yaitu dibawah 4.6. Sehingga produk tetap aman dari bakteri patogen yang tidak dapat tumbuh pada produk dengan keasaman tinggi (High Acid Food). 2. Viskositas Pada percobaan diperoleh hasil produk fruitmilk memiliki viskositas yang tinggi yaitu 160 centipoise seperti tertera pada Tabel 16. Viskositas produk fruitmilk bila dibandingkan dengan produk yang sudah beredar dipasaran memiliki perbedaan yang cukup jauh yaitu sekitar 10 kali. Hal ini mengakibatkan produk memiliki penampakan seperti yoghurt yang kental. Hal itu disebabkan kandungan protein yang tinggi pada produk fruitmilk, meningkatnya konsentrasi protein menyebabkan molekul protein yang terdispersi tidak lagi bebas dan interaksi antar protein menjadi lebih dominan sehingga terjadi peningkatan kekentalan. Selain itu stabilizer yang digunakan juga turut mempengaruhi viskositas produk.
3. Total Padatan Terlarut (TPT) Total padatan terlarut mengukur padatan yang terlarut pada suatu larutan. Pada produk sari buah menurut Dupaigne (1961) total padatan terlarutnya terdiri dari asam organik, gula, garam mineral, pektin dan protein. Pada produk fruitmilk TPT dipengaruhi oleh jumlah sukrosa, protein, pektin dan mineral. Sukrosa yang dilarutkan dalam air dan dipanaskan akan terurai menjadi gula invert yang akan meningkatkan TPT produk. Produk fruitmilk memiliki nilai rata-rata TPT adalah sekitar 25ºBrix. TPT tersebut bila dibandingkan dengan produk yang ada dipasaran lebih tinggi. Hal ini disebabkan kandungan protein produk yang lebih tinggi, penggunaan stabilizer yang berbeda, adanya penambahan mineral dan juga kandungan gula yang berbeda. Tetapi perbedaan itu tidak terlalu signifikan sehingga secara umum produk fruitmilk masih masuk dalam kisaran TPT produk yang sudah beredar dipasaran. Dari hasil analisis fisik dan kimia dapat dilihat bahwa nilai pH dan TPT produk fruitmilk memiliki perbedaan yang tidak signifikan dengan produk yang sudah beredar dipasaran. Akan tetapi viskositas produk fruitmilk memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan produk yang sudah beredar dipasaran. Dari keenam formula yang dianalisis secara fisik dan kimia tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam atribut fisik dan kimia yang diamati, hal ini terlihat dari nilai atribut fisik dan kimia (pH, viskositas, dan total padatan terlarut) yang relatif sama. C. PEMBAHASAN UMUM Produk fruitmilk yang dihasilkan memiliki tekstur yang kurang disukai. Tekstur produk terkait dengan viskositas dan total padatan terlarut pada produk. Dari hasil organoleptik, perbedaan yang cukup signifikan yaitu pada nilai viskositas yang tinggi. Hal ini disebabkan antara lain oleh gelasi protein maupun pektin. Produk minuman fruitmilk merupakan minuman berbasis whey protein susu dengan kandungan protein pada produk akhir (yang diharapkan)
sekitar
3.5%.
Kandungan
protein
yang
relatif
tinggi
mengakibatkan karakteristik protein menjadi penting. Dimana stabilisasi protein dan karakteristik fungsional protein menjadi faktor yang kritis. Stabilisasi protein dalam minuman dapat diatasi dengan penambahan stabilizer yang tepat, akan tetapi permasalahan lain yang muncul adalah terkait dengan karakteristik dari stabilizer yang digunakan dalam hal ini pektin terutama kemampuannya dalam membentuk gel pada kondisi yang sesuai. Hal-hal ini yang mengakibatkan terjadinya gelasi pada produk fruitmilk. Selain itu produk minuman fruimilk mengalami perlakuan asam dan proses pemanasan yang mengakibatkan terjadinya perubahan karakteristik dari bahan baku yang digunakan terutama protein dan pektin. Gelasi protein bisa terjadi karena penambahan garam atau enzim pada larutan protein dan juga perlakuan pH dan panas yang ekstrem. Pada produk fruitmilk gelasi protein terjadi dikarenakan pemanasan. Gelasi whey protein karena panas adalah reaksi polimerisasi dari protein yang menghasilkan ikatan kovalen (ikatan disulfida). Gelasi dari whey protein karena pemanasan melalui dua tahap yaitu pembukaan awal (initial unfolding) yang diikuti dengan agregasi molekul protein. Tahap pertama adalah pelemahan dan perusakan dari ikatan hidrogen dan ikatan disulfida serta perusakan struktur asli dari protein. Tahap kedua adalah polimerisasi dari molekul protein yang tidak terlarut dan pembentukan struktur tiga dimensi dari protein dengan imobilisasi sejumlah pelarut melalui interaksi intermolekul disulfida, interaksi hidrofobik dan ikatan ionik (Damodaran dan Paraf, 1997). Komponen whey protein yang berpengaruh pada karakteristik gelasi protein adalah β-laktoglobulin. β-laktoglobulin mengandung dua group disulfida dan satu group SH bebas. Residu asam amino bersulfur dapat membentuk ikatan kovalen intermolekul selama pemanasan. Karakteristik gel dari β-laktoglobulin tergantung pada kemampuan pengikatan air dari matriks gel selama sentrifugasi. β-laktoglobulin dengan kandungan sulfur yang tinggi bertanggung jawab terhadap karakteristik gelasi karena ikatan S-S. Stabilitas gel dari WPI dan WPC terkait dengan adanya ikatan disulfida dan group sulfhydryl (Zayas, 1997).
Pada produk minuman fruitmilk gel yang terbentuk keruh, hal ini dikarenakan larutan protein mengandung group SH yang tinggi dan juga suhu pemanasan yang ekstrem sekitar 95 °C. Gel yang bening dan lemah terbentuk pada suhu rendah (55-70°C), sedangkan gel yang keruh dan kuat terbentuk pada suhu yang lebih tinggi 90°C (Damodaran dan Alain, 1997). Titik penting dari proses pembentukan gel protein adalah suhu pemanasan yang tinggi, sehingga faktor suhu pemanasan harus dikontrol untuk meminimalisasi terjadinya gelasi protein. Pada pH 3.0, nilai rata-rata pH minuman, denaturasi whey protein bisa terhindarkan sampai suhu 87 °C, dimana whey protein masih dalam bentuk aslinya (native structure). Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi dan mengeliminasi denaturasi dan agregasi protein karena panas, serta menyediakan fungsionalitas whey protein yang lebih baik dalam solubilitas maupun kekentalan (Temelli, 2004). Oleh karena itu untuk meminimalisasi efek pemanasan terhadap gelasi protein, pH minuman fruitmilk dapat diturunkan (menjadi sekitar 3.9-4.0) untuk mencapai suhu pemanasan yang lebih rendah sekitar 75-85°C selama 20 menit. Whey protein umumnya larut dalam berbagai kondisi, baik sweet whey maupun sour whey. Akan tetapi pada proses pemanasan, whey akan mengalami denaturasi tergantung pada tingkat pemanasan, dan karena itu whey menjadi tidak larut. Hal ini mengakibatkan koagulasi dan pengendapan yang tidak diinginkan dalam menghasilkan minuman berbasis whey yang diproses secara pemanasan. Pektin memiliki pengaruh positif terhadap ketahanan panas dari whey protein, oleh karena itu pektin dapat digunakan untuk menstabilisasi minuman berbasis whey yang diproses dengan panas guna mencapai masa simpan yang cukup lama. Minuman yang dihasilkan tanpa penambahan pektin mengalami penggumpalan pada suhu 60 °C selama 10 menit. Sedangkan minuman dengan penambahan pektin sampai suhu 90 °C masih tetap stabil (Anonim, 2000). Selain efek stabilisasi, pektin juga dapat digunakan untuk meningkatkan viskositas dari minuman whey, untuk mencapai mouthfeel yang diinginkan.
Pektin dapat membentuk gel dengan adanya gula dan asam dan dengan kondisi yang sesuai, juga termasuk terbentuknya gel dengan adanya kalsium. Gelasi pektin tergantung pada struktur kimia pektin, jumlah padatan terlarut, pH dan kalsium. HEP (High Ester Pectin) membentuk gel lebih cepat dibandingkan LEP (Low Ester Pectin). Terbentuknya gel HEP terjadi dengan adanya air, gula dan asam. Tekstur gel pektin dipengaruhi oleh jumlah pektin, pH, jumlah padatan terlarut (gula), kalsium. Makin banyak pektin, padatan terlarut dan kalsium, maka gel yang terbentuk menjadi makin keras (Kertesz, 1951). Produk minuman fruitmilk memiliki semua syarat yang dapat menyebabkan terjadinya gelasi pektin. Dimana kandungan padatan terlarut dan kalsium yang tinggi dengan kondisi asam, mengakibatkan pektin dapat membentuk gel dan meningkatkan viskositas dari minuman. Konsentrasi optimal penggunaan pektin dalam minuman fruitmilk masih perlu dicari, sehingga penggunaan pektin hanya memiliki efek stabilisasi terhadap protein dan meminimalisasi efek peningkatan viskositas pada produk. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah jumlah sukrosa yang ditambahkan, kondisi asam, dan adanya mineral yang dapat menyebabkan gelasi pektin. Produk minuman fruitmilk memiliki rasa yang tidak disukai, karena rasanya yang asam. Untuk mendapat rasa terbaik pada minuman whey protein dengan pH yang rendah, sebuah larutan asam fosfor 85% mampu bekerja baik sebagai pengasam (Burrington, 2000). Hal itu disebabkan asam fosfor memberi intensitas asam yang lebih ringan dibanding asam lainnya tetapi mampu memberikan penurunan pH yang cukup signifikan. Sehingga asam fosfor dapat digunakan sebagai kombinasi dengan bahan pengasam lain yang digunakan dan berfungsi untuk menurunkan pH produk. Asam fosfor sering digunakan pada minuman ringan berkarbonasi, selain itu digunakan pada fruit jellies yang berfungsi sebagai agen buffer dan untuk adjusting pH. Asam fosfor merupakan asam anorganik yang paling banyak digunakan dalam industri pangan sekitar 25% dari total bahan pengasam yang digunakan dalam industri pangan.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Produk fruitmilk merupakan produk berbasis whey protein susu yang dicampur konsentrat sari buah. Proses pembuatan fruitmilk terdiri dari tiga tahap yaitu pencampuran, homogenisasi dan sterilisasi. Untuk membuat fruitmilk dengan bahan dasar protein dan sari buah dapat digunakan kombinasi WPC (whey protein concentrate) dan WPI (whey protein isolate) dengan perbandingan 4:1 %B/B dan konsentrat sari buah stroberi dengan konsentrasi 1 %B/B yang menghasilkan produk fruitmilk
dengan pH 4.39 dan total
padatan terlarut 19 °Brix. Untuk mengatur agar fruitmilk memiliki pH 4.2-4.3 dapat ditambahkan asam malat sebesar 0.35 %B/B. Produk fruitmilk memiliki kandungan protein yang cukup tinggi (±3.5 %B/B) dan diproses secara HTLT /High Temperature Long Time( 95ºC selama 20 menit), hal ini mengakibatkan protein memiliki risiko yang tinggi terhadap denaturasi. Stabilizer yang digunakan untuk menstabilkan fruitmilk adalah pektin B dengan konsentrasi 0.1 %B/B. Produk yang dihasilkan memiliki viskositas sebesar 160 centipoise. Hasil analisis kesukaan untuk atribut warna dan aroma menunjukkan produk telah dapat diterima dengan persentase kesukaan untuk bisa diterima ≥70%, sedangkan untuk atribut rasa dan tekstur masih belum bisa diterima (<70%). Hal ini disebabkan skor kesukaan untuk atribut warna dan aroma sudah dalam taraf suka, sedangkan untuk atribut rasa dan tekstur masih dalam taraf biasa sampai suka. Penambahan mineral menyebabkan penurunan persentase kesukaan untuk bisa diterima terhadap atribut warna, aroma, rasa dan tekstur sebanyak <5%. Semua formula baik formula asam (sitrat, malat, laktat) maupun formula asam dan mineral (malat dan mineral, laktat dan mineral) setelah dianalisis secara statistik tidak memiliki perbedaan yang nyata antara formula untuk tiap atribut warna, aroma, rasa dan tekstur. Karakteristik fisik dan kimia produk fruitmilk berdasarkan percobaan yaitu memiliki pH pada kisaran 4.2-4.3, memiliki total padatan terlarut sekitar 25 °Brix, dan viskositas sebesar 160 centipoise. Atribut rasa dan tekstur produk fruitmilk masih belum
dapat diterima sehingga untuk pengembangan lebih lanjut perlu dilakukan perbaikan atribut rasa dan tekstur. B. SARAN Saran yang dapat diberikan antara lain: 1. Meningkatkan penerimaan atribut rasa dengan menggunakan asam fosfor dikombinasikan dengan asam organik yang digunakan. Asam fosfor memiliki intensitas asam yang lebih sedikit dibanding asam organik dan efektif untuk menurunkan pH. 2. Meningkatkan penerimaan atribut tekstur yaitu dengan mengurangi kekentalan produk. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah protein, pektin total padatan terlarut, asam dan proses pemanasan yang mempengaruhi kekentalan produk. Gelasi protein terjadi pada konsentrasi protein lebih dari 1% dan suhu pemanasan lebih dari 75 ºC. Sedangkan gelasi pektin terjadi pada kondisi asam dengan total padatan terlarut (kandungan sukrosa) yang tinggi dan proses pemanasan. 3. Formulasi pengembangan produk dapat dilakukan dengan menggunakan Factorial Design dan program Design Expert. 4. Penggunaan whey protein yang lactose free untuk klaim gizi produk dan meningkatkan nilai jual produk.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1979. Kodeks Makanan Indonesia Tentang Bahan Tambahan Makanan. DEPKES RI, Jakarta. Anonim. 2000. Stabilization of Whey and Whey Mix Products With Pectin. www.herbstreith-fox. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N., L., Puspitasari, Sedarnawati, dan Slamet Budijanto. 1989. Analisis Pangan Petunjuk Laboratorium. Pusat Antar Universitas Pangan dan gizi. IPB, Bogor. Arntfield, S. D., M. A. H. Ismond, dan E. D. Murray. 1990. Thermal Analysis of Food Proteins in Relation to Processing Effects. Didalam: . R. Harwalkar dan C. Y. Ma (Eds.) Thermal Analysis of Foods. Elsevier Applied Science. London. pp:51 Bounous, G., G. Batist dan P. Gold. 1991. Whey Proteins in Cancer Prevention, Cancer Letter 57:91-94. Boye, J. I., A. I. Ismail dan I. Alli. 1996. Effect of Physic-chemical Factors on The Secondary Structure of β-Laktoglobulin. J. Dairy Res 63:97 Branger, E. B., C. A. Sims, R. H. Schmidt, S. F. O’Keefe, dan J. A. Cornell. 1999. Sensory Characteristic of Cottage Cheese Whey Grapefruit Juice Blend and Changes During Processing. Journal of Food Science Vol 64, No. 1 Burrington, K. 2000. Properti Fungsional dari produk Whey. Di dalam: J. Page, B. Hayes, D. Meyer (Eds.) Manual Referansi untuk Produk Whey dan Laktosa A. S. Pacrim Associates Ltd. Thailand. pp:88-100 Bylund, G. 1995. Dairy Procesing Handbook: Tetra Pack Processing System AB. S-22189 Lund. Teknotext, Sweden. Cheftel, J. C., Cuq, J. l., dan Lorient, D. 1985. Amino Acid, Peptides and Proteins. Di dalam: Fennema, O. R. (ed). Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc., New York. pp:321-424 Certified Color Industry Committee. 1968. Guidelines for Good Manufacturing Practises: Use of Certified FD&C Colors in Food. Food Technol 22(8):14 Clysdale, F., M. 1991. Mineral Additives. Di dalam: Bauernfeind, J., C. dan Lachance, P., A., (Eds.) Nutrients Additions to Food. Food and Nutrition Press, Inc. Trumbull, Connecticut, USA. pp:156-185 Committee on Dietary Allowances. 1980. Recommended Dietary Allowances 9th Revised Edition. Tempo, Jakarta.
Damodaran, S. dan A. Paraf. 1997. Food Protein and Their Applications. Marcel Dekker, New York. Danischo. 2005. Dairy Knowledge. Danischo Publishing, New York. Depkes RI, 1998. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Bidang Makanan dan minuman Direkorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. BPPOM, Jakarta. Djuric, M., M. Caric, S. Milanovic, M. Tekic, M. Panic. 2004. Development of Whey Based Beverages. Eur Food Res Technol 219 : 321-328 Dupaigne, p. 1961. analytical Methode for Routine and Research Use. Di dalam: Tressler, D. K. dan M. A. Joslyn(Eds) Fruit and Vegetable and Nuts Products. Te AVI Publ. Inc., West Port, Connecticut. pp:143-167 Doores, S. 1990. pH Regulator and Agent. Didalam: A. Larry Branen, P. Michael Davidson, Seppo Salminer (Eds). Food Additives. Marcel Dekker, New York. pp:477-510 Fellows. 2000. Food Processing Technology. CRC Press, New York. Furia, T. E. 1981. Handbook of Food Additives. Vol 1.2nd ed. CRC Press, Florida. Fox, F. X. dan P. L. H. Sweeney. 1998. Dairy Chemistry and Biochemistry. Chapman and Hall, New York. Hall, C., W. 1968. Processing Equipment for Agricultural Products. Consulting Associates Inc., Reynold, Ohio. Hang, Y. O. dan Walter, R. H. 1989. Treatment and Utilization of Apple Processing Waste. Di dalam: Downing, D. L. (Ed). Process Apple Products, p. 370. AVI Von Nostrand Reinhold, New York. pp:100-115 Harwalkar, V. K.. 1980. Kinetics of Thermal Denaturation of β-Laktoglobulin at pH 2.5, J. Dairy Sci. 63:1052. Harper, W. J. 2000. Properti Biologis dari Komponen Whey. Di Dalam: J. Page, B. Hayes, D. Meyer (Eds.) Manual Referansi untuk Produk Whey dan Laktosa A. S. Pacrim Associates Ltd. Thailand. pp:61-63 Herzberg, T. 1978. Non-Alcoholic Food Science Beverages Handbook. The AVI Publishing., Co., West Port, Connecticut. Huang, Y., T., dan J., E., Kinsella.1989. Functional Properties of Phosphorylated Yeast Protein: Solubility, WHC and Viscosity. J. Agr. Food. Chem 34 (6):70.
Hugunin, A. 2000. Stabilitas Panas dari Protein Whey. Di dalam: J. Page, B. Hayes, D. Meyer (Eds.) Manual Referansi untuk Produk Whey dan Laktosa A. S. Pacrim Associates Ltd. Thailand. pp:157-159 Ismunandar. 2003. Pembentukan Karsinogen dalam Makanan. www.chem-sttry.org. Kinsella, J. E. 1979. Functional Properties of Soy Proteins. J. Am Oil Chem Soc: 56:242. Keller, J. 1983. Pectins. Di dalam: Gum and Starch Technology 18th Annual Symposium, Special Report No. 53. Cornell University Geneva Campus, New York. pp:145-153 Kertezt, Z. I. 1951. Pectic Substances. Interscience, New York. Lehninger. 1982. Biokimia Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Mazza, G. 1998. Functional Foods, Biochemical and Processing Aspects. Technomic Publ, USA. Morrisey, P. A., D. M. Ulvihill, dan E. M. O’Weill. 1987. Didalam: B. J. F. Hudson, (Ed) Functional Properties of Muscle Proteins, Development in Food Proteins, Vol.5. Elsevier Applied Sci. London. p. 237 Muchtadi, T. dan Sugiyono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Depdikbud, Dirjen DIKTI, PAU-IPB. Nakai, S. dan W. Modler. 1996. Food Protein: Processing Application. WidleyVCH. New York. Nicol, W. M. 1979. Sucrose and Food Technology. Di dalam: G.G. Birch dan K. J. parker (Eds). Sugar: Science of Technology. Applied Science Publ., London. pp:423-543 Nussinovitch. 1997. Hydrocolloid Application: Gum Technology in The Food and Other Industries. Blackie Academic and Profesional, Chapman and Hall, New York. Ostendorf, J. P. 1978. Flavours. Di dalam: L. F. Green (ed). Development in Soft Drink Technology. Applied Science Pub. Ltd. London. Pp:45-57 Palupi, N. S. 1995. Pengaruh Fortifikasi Zat Besi Pada Berbagai Bumbu Mi Instan Terhadap Ketersediaan Zat Besi In Vitro. Tesis. IPN, IPB, Bogor. Philips, G. F. 1981. Immitation Fruit Flavoured Carbonated Beverages dan Fruit Juices Bases. Di dalam: D. K. Tressler dan M. A. Joslyn (Eds) Fruit and
Vegetables Juices Processing Technology. The AVI. Publishing, West Port. pp:186-195 Rahayu, W P. 2001. Penuntun Penilaian Organoleptik, Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, Bogor. Renner, C. 1989. Micronutrient in Milk and Milk Based Food Product. Elsevier Applied Science, London. Shen, J. L. 1981. Solubility and Viscosity. Di dalam: Cherry, J. P. (Ed). Protein Functionality in Foods. ACS Symposium series 147. American Chem, Soc. Washington. pp:67-75 Smith, K. 2000. Teknologi untuk Proses Whey. Di dalam: James Page, Bill Hayes, Dan Meyer (Eds.) Manual Referansi untuk Produk Whey dan Laktosa A. S. Pacrim Associates Ltd. Thailand. pp:22-25 Sudarmadji, S. 1982. Bahan-bahan Pemanis. Penerbit Agritech, Yogyakarta. SNI. 1995. SNI 01-0222-95. Bahan Tambahan Makanan. Badan Stdanardisasi Nasional, Jakarta SNI. 2005. SNI 01-7111.1-2005. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI): Bubuk Instan. Badan Stdanardisasi Nasional, Jakarta Temelli, F., C. Bansen, K. Stobbe. 2004. Development of an Orange-Flavored Barley β-glucan Beverage with Added Whey Protein Isolate. Journal of Food Science Vol 69 : 7 Tetra Pak Processing System AB. 1998. The Orange Book. Tetra Pak Company, Reuter Press, Sweden. Von Bockelman, B. dan I. Von Bockelman. 1998. Long Life Products: Heat Treated, Aseptically Packed: A Guide to Quality. Faith&Hassler, Varnamo, Sweden. Von Elbe dan Schawrtz. 1985. Colorants. Di dalam : Fennema, O., R. (Ed.) Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York. pp:651-723 Widodo. 2003. Teknologi Proses Susu Bubuk. Lacticia Pres, Yogyakarta. Williams, S. R. 1985. Nutrition and Diet Therapy, Fifth Edition. The Mirror, Mosby College Publishing. USA. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wolf, W. J. 1970. Soybean Proteins: Their Functional, Chemical and Physical Properties. J. Agri. Food Chem. 18:969 Zayas, J. F. 1997. Functionality of Proteins in Food. Springer, New York.
Lampiran 1. Komposisi Produk Whey (% w/w) α-laktalbumin
β-laktoglobulin
Konsentrat Whey
Air
Laktosa
Lemak
Mineral
Nitrogen
• Cair
93.5
4.5
0.3
0.6-0.8
1.0
0.45
0.2
• Serbuk
4.0
70
-
9-12
13.0
-
-
• Curd
42.0
36.0
-
8.0
9.0
-
-
9.5
6.0
3.0
75.0
32.0
15
• Konsentrat
UF 4.0
(ultra filtration) Sumber: Cayot dan Lorient, 1996 didalam Damodaran dan Alain, 1997
Lampiran 2. Formulir uji Hedonik
Formulir Panel Nama Produk: Fruitmilk Nama Panelis: Tanggal: Status:sampel tidak cek mikro Instruksi:dihadapan saudara tersedia 2 sampel. Saudara diminta memberikan penilaian dengan mengisi jawaban dibawah ini 532 warna 1.sangat tidak suka 2. tidak suka 3. biasa 4. suka 5.sangat suka aroma 1.sangat tidak suka 2. tidak suka 3. biasa 4. suka 5.sangat suka Rasa 1.sangat tidak suka 2. tidak suka 3. biasa 4. suka 5.sangat suka Tekstur 1.sangat tidak suka 2. tidak suka 3. biasa 4. suka 5.sangat suka
734 warna 1.sangat tidak suka 2. tidak suka 3. biasa 4. suka 5.sangat suka aroma 1.sangat tidak suka 2. tidak suka 3. biasa 4. suka 5.sangat suka Rasa 1.sangat tidak suka 2. tidak suka 3. biasa 4. suka 5.sangat suka Tekstur 1.sangat tidak suka 2. tidak suka 3. biasa 4. suka 5.sangat suka
Komentar:
67
Lampiran 3a. Rekapitulasi Hasil Uji Hedonik Formula Asam
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 RATA2
SITRAT warna 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 2 4 3 4 4 4 4 3 3,75
aroma 2 4 4 4 4 5 3 4 4 4 4 4 3 2 4 4 4 3 3 4 3,65
rasa 3 3 3 3 4 5 2 4 4 4 2 2 2 4 3 4 3 4 4 4 3,35
tekstur 2 2 4 3 4 4 3 4 4 4 3 2 3 3 2 3 3 4 4 3 3,2
MALAT warna 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 3 4 4 4 4 4 3,8
aroma
rasa
4 4 4 4 4 5 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 3 4 3 3,85
4 3 4 3 4 5 2 4 4 4 3 4 2 4 4 4 4 4 4 3 3,65
tekstur 2 2 4 3 3 4 3 4 4 4 4 4 3 3 3 3 2 4 4 4 3,35
LAKTAT warna 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 2 4 4 2 4 4 4 4 3,75
aroma
rasa
3 4 4 4 4 4 2 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 3,8
3 3 2 4 3 2 2 4 4 4 3 3 4 4 3 2 4 4 4 4 3,3
tekstur 4 3 2 4 2 3 2 4 4 4 4 3 4 3 4 2 3 3 3 3 3,2
Lampiran 3b. Persentase Kesukaan Formula Asam SITRAT Persentase (%) sangat suka suka biasa tidak suka sangat tidak suka Total
warna 0 80 15 5 0 100
aroma 5 65 20 10 0 100
rasa 5 45 30 20 0 100
tekstur 0 40 40 20 0 100
MALAT warna 0 85 10 5 0 100
aroma 5 75 20 0 0 100
rasa 5 65 20 10 0 100
tekstur 0 50 35 15 0 100
LAKTAT warna 0 85 5 10 0 100
aroma 0 85 10 5 0 100
rasa 0 50 30 20 0 100
tekstur 0 40 40 20 0 100
68
Lampiran 4a. Analisis Sidik Ragam Warna Formula Asam
Sumber Model
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
864,700(a)
22
39,305
281,806
,000
panelis
13,400
19
,705
5,057
,000
sampel
,033
2
,017
,119
,888
Error
5,300
38
,139
Total
870,000
60
a R Squared = ,994 (Adjusted R Squared = ,990)
Lampiran 4b. Uji Duncan Terhadap Atribut Warna Formula Asam
Subset sampel 1
N
1 20
3,75
3
20
3,75
2
20
3,80
Sig.
,694 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,139. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000. b Alpha = ,05
69
Lampiran 5a. Analisis Sidik Ragam Aroma Formula Asam
Sumber Model
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
863,100(a)
22
39,232
167,507
,000
panelis
11,400
19
,600
2,562
,007
sampel
,433
2
,217
,925
,405
Error
8,900
38
,234
Total
872,000
60
a R Squared = ,990 (Adjusted R Squared = ,984)
Lampiran 5b. Uji Duncan Terhadap Atribut Aroma Formula Asam
Subset sampel 1
N
1 20
3,65
3
20
3,80
2
20
3,85
Sig.
,226
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,234. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000. b Alpha = ,05.
70
Lampiran 6a. Analisis Sidik Ragam Rasa Formula Asam
Jumlah Kuadrat 721,400(a)
Derajat Bebas 22
Kuadrat Tengah 32,791
F 63,574
Sig. ,000
panelis
19,250
19
1,013
1,964
,038
sampel
1,733
2
,867
1,680
,200
19,600
38
,516
Sumber Model
Error Total
741,000 60 a R Squared = ,974 (Adjusted R Squared = ,958)
Lampiran 6b. Uji Duncan Terhadap Atribut Rasa Formula Asam
Subset sampel 3
N
1 20
3,25
1
20
3,35
2
20
3,65
Sig.
,104 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,516. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000. b Alpha = ,05.
71
Lampiran 7a. Analisis Sidik Ragam Tekstur Formula Asam
Jumlah Kuadrat 648,633(a)
Derajat Bebas 22
Kuadrat Tengah 29,483
F 61,000
Sig. ,000
panelis
14,583
19
,768
1,588
,111
sampel
,300
2
,150
,310
,735
18,367
38
,483
Sumber Model
Error Total
667,000 60 a R Squared = ,972 (Adjusted R Squared = ,957)
Lampiran 7b. Uji Duncan Terhadap Atribut Tekstur Formula Asam
Subset sampel 1
N
1 20
3,20
3
20
3,20
2
20
3,35
Sig.
,526 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,483. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000. b Alpha = ,05
72
Lampiran 8a. Rekapitulasi Hasil Uji Hedonik Formula Asam dan Mineral
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 RATA2
LAKTAT+MINERAL warna aroma 4 4 2 4 4 4 3 3 4 4 4 4 3 2 3 3 4 4 3 3 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3,65 3,7
rasa 3 4 4 2 4 3 2 4 2 3 4 2 3 4 4 4 3 3 4 4 3,3
tekstur 3 4 3 2 2 3 3 3 3 2 4 4 2 4 3 4 3 3 4 4 3,15
MALAT+MINERAL warna aroma 4 4 4 4 4 4 3 4 3 2 2 4 3 2 4 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 3 4 3 4 3 4 4 3,7 3,5
rasa 3 3 4 3 4 2 2 4 4 3 4 3 3 2 4 4 3 3 4 2 3,2
tekstur 3 3 3 4 3 4 2 3 4 3 4 4 4 3 4 4 3 2 4 2 3,3
Lampiran 8b. Persentase Kesukaan Formula Asam dan Mineral LAKTAT+MINERAL persentase warna sangat suka 0 suka 70 biasa 25 tidak suka 5 sangat tidak suka 0 total 100
aroma 0 75 20 5 0 100
rasa 0 50 30 20 0 100
tekstur 0 35 45 20 0 100
MALAT+MINERAL warna aroma rasa 0 0 0 75 60 40 20 30 40 5 10 20 0 0 0 100 100 100
tekstur 0 45 40 15 0 100
73
Lampiran 9. Analisis Sidik Ragam Warna Formula Asam dan Mineral
Sumber Model
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
554,000(a)
21
26,381
83,540
panelis
6,400
19
,337
1,067
,445
sampel
,000
1
,000
,000
1,000
6,000
19
,316
Error
,000
Total
560,000 40 a R Squared = ,989 (Adjusted R Squared = ,977)
Lampiran 10. Analisis Sidik Ragam Aroma Formula Asam dan Mineral
Sumber Model
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
528,400(a)
21
25,162
85,371
,000
panelis
9,600
19
,505
1,714
,125
sampel
,400
1
,400
1,357
,258
Error
5,600
19
,295
Total
534,000
40
a R Squared = ,990 (Adjusted R Squared = ,978)
74
Lampiran 11. Analisis Sidik Ragam Rasa Formula Asam dan Mineral
Sumber Model panelis sampel
Jumlah Kuadrat 438,100(a)
Derajat Bebas 21
Kuadrat Tengah 20,862
F 50,174
Sig. ,000
15,500
19
,816
1,962
,075
,241
,629
,100
1
,100
Error
7,900
19
,416
Total
446,000
40
a R Squared = ,982 (Adjusted R Squared = ,963)
Lampiran 12. Analisis Sidik Ragam Tekstur Formula Asam dan Mineral
Sumber Model
Jumlah Kuadrat 426,725(a)
Derajat Bebas 21
Kuadrat Tengah 20,320
F 37,575
Sig. ,000
sampel
,225
1
,225
,416
,527
panelis
10,475
19
,551
1,019
,483
Error
10,275
19
,541
Total 437,000 40 a R Squared = ,976 (Adjusted R Squared = ,950)
75