PENGEMBANGAN METODA ALOKASI DANA UNTUK PENANGANAN JALAN PROPINSI1
Ofyar Z. Tamin2, Rizal Z. Tamin3, Muhammad Isnaeni4 Departemen Teknik Sipil ITB, Jalan Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstrak Dalam era otonomi daerah, proses pendanaan jalan akan mengalami perubahan seiring dengan penyerahan sebagian besar urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Jalan sebagai prasarana dasar bagi kegiatan ekonomi masyarakat harus mendapatkan perhatian khusus dan pembiayaan yang memadai agar fungsi primernya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sumber keuangan daerah selain dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sumber lokal lainnya, juga diperoleh dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Bagaimana daerah menyisihkan dana dari APBD untuk jalan dan bagaimana pemerintah pusat memberikan bantuan sektoralnya melalui DAK jalan kepada pemerintah propinsi yang membutuhkan, merupakan bahasan pokok dari makalah ini. Dari hasil kajian diperoleh kesimpulan bahwa dalam siklus pengelolaan jalan, kegiatan pemeliharaan jalan harus dipisahkan dari kegiatan investasi. Dan sesuai dengan kebutuhan jumlah dana dan dampaknya bagi masyarakat, maka kegiatan pemeliharaan jalan harus diprioritaskan oleh pemerintah propinsi untuk didanai dalam rangka menjaga fungsinya sebagai prasarana dasar. Variabel indeks aksesibilitas, indeks mobilitas, dan kemampuan keuangan daerah merupakan variabel terpenting sebagai parameter bagi pemerintah pusat untuk mendistribusikan DAK jalan. Dengan melakukan perangkingan terhadap setiap propinsi sesuai dengan variabel tersebut akan dapat ditentukan propinsi mana saja yang layak mendapatkan DAK sekaligus skema pendanaannya. Abstract In the era of autonomy, funding scheme for road would significantly changed as well as the authority distribution to the local government. However, as the basic infrastructure, government should give a special concern to the road which requires a proper funding in order to keep the primary function of road for the community. Besides the PAD and other local sources, funding sources for the local government could also be obtained from national funding schemes of block-grant (called DAU) and sector-specific-grant (called DAK). The concern of this paper was to find the conceptual method on how the local government allocates the budget for the road under their responsibility and how the national government distributes the DAK for the road in each province. The study concluded that in the road management cycle, maintenance activities should be separated from the investment activities. Based on the cost requirement and the expected community-benefit, it is reasonable that the road maintenance activities put the highest-priority on the provincial government budget allocation. For the DAK distribution, 3 (three) variables are proposed, such as: accessibility index, mobility index, and budgetting capability. Based on an orderly listing of provinces by those 3 (three) variables, we could conclude the provinces that fairly proper to receive the DAK and also the funding schemes of the grant.
1 2 3 4
Disampaikan pada Seminar FT-UI 2001 ‘Quality in Research‘, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, 22-23 Agustus 2001, Kampus Depok UI. Staf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil, ITB, Wakil Ketua Program Magister Transportasi – ITB, dan Ketua Forum Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi (FSTPT). Staf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil, ITB Staf Peneliti, Jurusan Teknik Sipil, ITB
1
1.
PENDAHULUAN
Sejalan dengan disahkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka mulai tahun 2001 otonomi daerah telah digulirkan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah tersebut terdapat penyerahan sebagian urusan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, yang juga diikuti dengan adanya perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam era otonomi daerah, pengalokasian dana akan lebih banyak ditentukan sendiri oleh daerah, karena dana perimbangan keuangan akan lebih banyak yang berupa block-grant bukan sektoral lagi. Dalam kaitan ini, kemampuan daerah untuk mengelola keuangan dan merencanakan anggaran sesuai dengan kebutuhan, prioritas pembangunan, dan kemampuan pendanaan yang ada menjadi sangat penting. Jalan sebagai prasarana dasar bagi perekonomian wilayah, bagaimanapun juga harus mendapat perhatian dan alokasi dana yang mencukupi. Kebutuhan daerah untuk sektor jalan (baik untuk pemeliharaan, peningkatan, maupun pembangunan jalan baru) sangatlah bervariasi tergantung dari kondisi jaringan jalan yang ada dan karakteristik setiap wilayahnya. Dalam aplikasi pengelolaan jalan selama ini, dana untuk jalan berasal dari berbagai sumber, yakni: APBN, Bantuan Pembinaan Jalan Kabupaten/Propinsi, Bantuan Luar Negeri, dan APBD. Dana untuk jalan biasanya dimasukkan sebagai anggaran pembangunan yang diusulkan oleh Departemen/Dinas terkait. Pada kenyataannya, APBD hanya memberikan kontribusi minor untuk sektor jalan, dan sebagian besar dana APBD tersebut diperuntukkan bagi pemeliharaan rutin (Nojorono et al, 2000). Melihat perbedaan konsep alokasi dana yang sangat jauh antara praktek selama ini dengan era otonomi daerah, maka sangatlah mendesak adanya suatu pedoman kebijakan untuk mengalokasikan dana ke sektor jalan, baik untuk jalan nasional, propinsi maupun daerah. 2.
KAJIAN MENGENAI OTONOMI DAERAH
2.1 Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah Pada Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999 tersirat bahwa setiap usulan daerah dan program pengembangan wilayah maupun jaringan infrastruktur yang dicanangkan oleh daerah harus tetap dalam kerangka dan koridor pembangunan nasional secara utuh. Dalam hal ini kebijakan nasional merupakan payung dan benchmark bagi daerah dalam mengembangkan potensinya masing-masing. Secara umum tugas dan wewenang pemerintah Daerah Propinsi akan mengalami penciutan jika dibandingkan dengan yang berlaku saat ini. Pemerintah Daerah Propinsi nantinya akan berfungsi sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah dan mengkoordinasikan beberapa urusan lintas Kabupaten dan Kota serta urusan yang belum dapat dilaksanakan oleh daerah. Lebih spesifik untuk pengelolaan jalan propinsi, maka penyediaan, pembinaan, dan pengoperasiannya, merupakan tanggung jawab propinsi. Namun demikian, melihat dari potensi PAD propinsi yang rendah, maka ketergantungan propinsi terhadap dana dari pusat dan sumber lainnya kemungkinan akan sangat besar. 2.2 Struktur Keuangan Daerah Dalam UU No. 25 tahun 1999 telah terlihat adanya semangat untuk melaksanakan otonomi daerah secara sempurna dengan tetap mengacu kepada konsep pembangunan 2
nasional yang adil dan merata. Hal ini ditunjukkan melalui mekanisme pemerataan bagi daerah minus dengan skema DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus). DAU adalah block-grant yang wajib disediakan oleh pemerintah pusat bagi daerah daerah, sedangkan DAK adalah dana sektoral yang alokasinya didasarkan atas usulan daerah dan ketersediaan dananya pada APBN. DAU adalah dana APBN yang dialokasikan ke daerah dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. DAU merupakan bentuk bantuan umum (block grant) yang tidak dikaitkan dengan program/pengeluaran tertentu. DAU dapat dipandang sebagai mekanisme transfer daya beli (purchasing power) dari satu tingkat pemerintah ke tingkat yang lain. Ciri khusus dari bantuan umum ini adalah dapat meningkatkan sumber daya lokal sekaligus mempertahankan pilihan fiskal (fiscal choice) yang ada dalam kewenangan pemerintah daerah. DAK dialokasikan untuk memenuhi keperluan khusus (specific grant) yang merupakan jenis transfer yang memiliki persyaratan tertentu yang terkait dengan bantuan tersebut. Secara umum, bantuan khusus dialokasikan untuk mendorong pemerintah daerah dalam menambah barang dan jasa publik tertentu. Secara spesifik DAK penanganan jalan propinsi ditujukan untuk membantu propinsi tertinggal dalam memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM) di bidang jalan. Kedua model alokasi dana tersebut secara global didasari kepada kenyataan bahwa kemampuan keuangan daerah sangat bervariasi tergantung dari potensi dana yang ada dan beban dana yang harus disediakan. Dengan kata lain DAU dan DAK dialokasi ke daerah dalam rangka intervensi pusat untuk menyeimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan bagi masyarakat. Metoda alokasi DAU secara eksplisit telah disampaikan pada UU No. 25 tahun 1999, di mana mekanisme distribusinya untuk setiap propinsi didasarkan bobot daerah yang dihitung berdasarkan hasil kajian empiris dengan memperhitungkan variabel-variabel yang relevan. Sedangkan untuk DAK tidak ada rumusan baku yang dapat diacu untuk mengalokasikannya. Dalam hal ini terdapat beberapa petunjuk dalam distribusi DAK, antara lain: -
-
DAK dialokasikan untuk membiayai keperluan khusus yang tidak sama kebutuhannya di setiap daerah, misalnya kebutuhan daerah transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer. Sesuai sifatnya, ketersedian DAK per tahun sangat tergantung dari ketersediaan dana di APBN Untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawab daerah dalam pembiayaan program-program yang merupakan kebutuhan khusus tersebut, maka perlu penyediaan dana dari sumber APBD sebagai pendamping atas DAK dari APBN.
Gambar 1 memberikan sintesa terhadap proses pendanaan dari UU No. 25 Tahun 1999 khusus untuk wilayah propinsi yang menjadi topik dalam makalah ini.
3
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana sektoral
Dana regional/DAU (block grant)
90% untuk Kab/Kota
Minimum 25% APBN
10% untuk Propinsi
APBD Propinsi
Dana Perimbangan Keuangan
Pendapatan Asli Daerah Pinjaman Daerah
Dana sektoral
Gambar 1: Struktur Pendanaan Wilayah Otonom Propinsi 3.
PENGELOLAAN JALAN DI ERA OTONOMI DAERAH
3.1 Perubahan Paradigma dalam Pengelolaan Jalan di Era Otonomi Daerah Jalan sebagai prasarana transportasi merupakan suatu sistem prasarana yang kemampuan operasinya sangat ditentukan oleh kontinuitasnya dalam jaringan yang terintegrasi dengan sistem jaringan transportasi lainnya. Jaringan jalan secara fungsional tidak menganut sistem spasial per wilayah administrasi, meskipun dalam pengelolaannya tetap dilakukan dengan pendekatan kewilayahan. Permasalahan pengelolaan jalan di era otonomi daerah adalah bagaimana mendistribusikan kewajiban pendanaan antara pemerintah pusat dan daerah secara adil dan proporsional, sehingga fungsi menerus dari jaringan jalan dapat dipertahankan. Secara umum kemampuan keuangan daerah akan berbeda, dan kebutuhan akan prasarana jalan juga berbeda. Pengalaman di era sentralisasi, hampir semua keputusan alokasi dana jalan dilakukan di pusat dan daerah hanya mengimplementasi dana yang dikucurkan dari pusat. Dengan mekanisme ini, pola pendanaan sedikit banyak tergantung dari selera pusat. 3.2 Pengelolaan Jalan berdasarkan Tinjauan Manajemen Apapun sistem pemerintahan yang dijalankan, konsep manajemen dalam pengelolaan jalan merupakan kunci bagaimana suatu sistem jaringan jalan dapat dipelihara dan ditingkatkan kinerjanya. Secara umum pada tinjauan manajemen dalam proyek konstruksi terdiri dari rangkaian kegiatan mulai dari proses perencanaan, perancangan, pelaksanaan, supervisi konstruksi, pengoperasian dan pemeliharaan. Siklus tersebut membedakan secara nyata proses investasi (perencanaan, perancangan, dan pelaksanaan) dari proses pemanfaatan (operasi dan pemeliharaan). Dengan asumsi bahwa proses investasi telah dilakukan dengan benar maka kegiatan pemeliharaan harus dilaksanakan dengan tepat agar investasi yang dilakukan tidak sia-sia dan dapat memberikan pelayanan sesuai dengan rencana.
4
Demikian juga dalam pengelolaan jalan perlu dibedakan antara kegiatan investasi (pembangunan jalan baru) dan kegiatan pemeliharaan (peningkatan, pemeliharaan berkala, dan pemeliharaan rutin). Dengan kata lain, kegiatan pemeliharaan harus lebih diprioritaskan untuk menjaga fungsi jalan, sedangkan jika terdapat dana yang tersisa maka baru dipikirkan bagaimana membangun jalan baru untuk menambah kapasitas dan jangkauan jaringan jalan secara keseluruhan. 4.
KONSEP PENYELENGGARAAN DAN PENANGANAN JALAN PROPINSI
4.1 Fungsi Jalan Propinsi Secara konseptual jalan propinsi sesuai dengan draft RUU tentang Jalan (edisi tahun 2000) adalah jalan umum yang menghubungkan Ibukota Propinsi dengan Ibukota Kabupaten atau Kota, atau antar Ibukota Kabupaten, atau Ibukota Kabupaten dengan Kota, atau jalan yang bersifat strategis regional. Tanggung jawab penyelenggaraan jalan propinsi ada pada Pemerintah Propinsi. Secara jaringan, jaringan jalan propinsi disediakan untuk menjamin pergerakan antar kota di dalam propinsi secara efisien dan efektif untuk menunjang ekonomi wilayah. Pengembangan jalan propinsi berada dalam kerangka visi sebagai sistem prasarana yang digunakan untuk mengintegrasikan tujuan pengembangan potensi ekonomi daerah dan perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat. Adapun sasaran pengelolaan jalan propinsi adalah untuk mencapai target kondisi jalan 100% baik, sehingga fungsinya dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan. 4.2 Analisis Kepentingan Jalan Propinsi Jalan propinsi merupakan suatu prasarana dasar wilayah di mana penyediaannya merupakan suatu keharusan, karena prasarana ini merupakan prasyarat bagi berjalannya seluruh kegiatan di wilayah yang dilayaninya. Termasuk dalam prasarana dasar wilayah antara lain: drainase, jaringan listrik, air minum, dan telekomunikasi. Posisi jalan sebagai prasarana dasar berimplikasi kepada keharusan bagi pemerintah Propinsi untuk menjaga kinerja jalan propinsi yang menjadi kewenangannya. Dengan kata lain, jaringan jalan propinsi yang ada harus dipelihara dengan baik sehingga dapat berfungsi sesuai dengan rencana. Meskipun beberapa pembangunan jalan propinsi ataupun peningkatan status jalan kabupaten menjadi jalan propinsi tidak didasari oleh perencanaan yang benar (katakanlah cenderung project oriented), namun harus diasumsikan bahwa jalan propinsi yang ada adalah prasarana dasar yang telah melayani kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat. 4.3 Distribusi dan Kondisi Jalan Propinsi Distribusi penyediaan jaringan jalan di setiap propinsi di Indonesia masih timpang, di mana hampir 31,23% dari jalan yang ada berada di pulau Jawa. Dengan demikian percepatan pembangunan jalan propinsi baru perlu lebih diarahkan ke luar Jawa agar ketimpangan pelayanan masyarakat dapat diperkecil. Upaya ini harus dapat direfleksikan dengan tegas dalam kebijakan nasional dalam pengalokasian dana untuk jalan propinsi, khususnya melalui skema DAK. Kondisi jalan propinsi di Indonesia +43% berada dalam kondisi baik, 24,8% dalam kondisi sedang, dan sisanya dalam kondisi rusak dan rusak berat. Dengan demikian 5
kegiatan pemiliharaan untuk 43% jalan yang baik perlu diprioritaskan dan demikian juga dengan peningkatan 57% kondisi jaringan jalan yang sedang dan buruk agar menjadi baik. 4.4 Jenis Penanganan Jalan Propinsi dan Perbandingan Biayanya Merujuk kepada kondisi jalan yang ada terdapat 4 (empat) jenis penanganan jalan yang dapat dilakukan, yakni: (1) pemeliharaan rutin, (2) pemeliharaan berkala, (3) peningkatan jalan, dan (4) pembangunan jalan baru. Pemeliharaan rutin dan berkala merupakan bagian dari program penanganan untuk memelihara jaringan jalan propinsi yang ada agar dapat berfungsi sesuai rencana. Peningkatan jalan merupakan usaha memperbaiki stuktur perkerasan dan tingkat pelayanan jalan untuk mengakomodir arus lalu lintas yang melalui ruas jalan tersebut, termasuk didalamnya adalah perbaikan kondisi jalan dari rusak menjadi baik. Adapun pembangunan jalan baru, termasuk di dalamnya peningkatan status jalan kabupaten menjadi jalan propinsi, adalah suatu kegiatan investasi yang besar bagi pemerintah propinsi, sehingga perlu didahului studi kelayakan (feasibility study) yang lengkap mengkaji dampak dan manfaatnya bagi propinsi. Untuk setiap jenis penanganan jalan diperlukan jumlah dana yang berbeda tergantung jenis penanganan dan kondisi wilayahnya. Tabel 1 menyampaikan gambaran umum perbandingan besaran biaya yang diperlukan dalam penanganan jalan propinsi. Secara umum biaya pembangunan jalan baru jauh lebih besar dibandingkan dengan pemeliharaan rutin dan berkala pada jaringan jalan. Katakanlah efisiensi dan efektifitas biaya penanganan jalan akan lebih besar jika dana yang ada diprioritaskan untuk memelihara jaringan jalan yang ada, jika dibandingkan dengan pembangunan jalan baru. Tabel 1: Estimasi Kebutuhan Dana Penanganan Jalan Jenis penanganan Pemeliharaan rutin Pemeliharaan berkala Peningkatan jalan Pembangunan jalan baru
Biaya satuan tahun 1997 (Rp/km) 11.000.000 25.500.000 222.000.000 735.000.000
Rasio terhadap biaya pemeliharaan rutin ,,,,-
1 2,3 20,2 66,8
Catatan: Estimasi biaya dilakukan secara kasar sebagai sebuah ilustrasi perbandingan dengan beberapa asumsi penyederhanaan. Untuk kuantifikasi lebih lanjut sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan kondisi setempat
5.
KEBIJAKAN NASIONAL DALAM PENDANAAN JALAN PROPINSI
5.1 Sumber Pendanaan Jalan Propinsi Dalam era otonomi daerah, kemampuan keuangan daerah diharapkan meningkat sehingga mampu memenuhi kewajibannya dalam menyelenggarakan pelayanan bagi masyarakat, termasuk jaringan jalan. DAU, PAD, dana perimbangan, pinjaman dan sumber dana lainnya yang sah akan masuk ke dalam APBD sebagai dana dasar bagi penjalanan roda pemerintahan dan pembangunan daerah. Mempertimbangkan fungsi jalan propinsi sebagai infrastruktur dasar dan dikaitkan dengan kewajiban pemerintah propinsi untuk menyediakan jalan propinsi secara baik bagi masyarakat, maka hendaknya sumber dana yang ada digunakan semaksimal mungkin untuk menjaga fungsi jalan. Dengan kata lain, DAU propinsi yang secara relatif telah meningkat jumlahnya, sebaiknya dalam jumlah yang memadai digunakan untuk menjamin terpeliharanya jalan propinsi.
6
Sumber dana lain yang dapat digunakan untuk menangani jalan propinsi adalah DAK yang diberikan oleh pemerintah pusat dari APBN kepada daerah pengusul dengan beberapa persyaratan tertentu. Karena sifatnya yang khusus dan ketersediannya setiap tahunnya sangat tergantung kondisi keuangan negara, maka DAK hanya dapat digunakan untuk keperluan yang sifatnya tidak rutin, misalnya peningkatan jalan propinsi ataupun pembangunan jalan baru. Selain itu terdapat pula kemungkinan untuk mendanai jalan propinsi adalah melalui pinjaman, namun hal ini harus dibarengi oleh kemampuan propinsi untuk mengembalikannya atau setidaknya secara finansial jalan yang dibangun mampu memberikan tingkat pengembalian yang mencukupi. Sementara ini pinjaman daerah untuk pembangunan jalan hanya memungkinkan untuk mengembangkan jaringan jalan tol. Namun demikian mekanisme pinjaman, khususnya pinjaman luar negeri, nampaknya sampai saat ini masih menjadi perdebatan dalam hal tingkat campur tangan pemerintah pusat, khususnya dalam rangka menjamin pengembalian dan menjaga stabilitas moneter dalam negeri. 5.2 Strategi Pendanaan Nasional Merujuk kepada kebijakan pendanaan nasional (lihat bagian 2.2), maka strategi pendanaan jalan secara nasional, khususnya untuk membantu propinsi yang kemampuan keuangannya terbatas, harus dilandasi kepada pengertian bahwa alokasi dana harus mencerminkan keadilan dan mendorong daerah untuk secara bertahap mampu mandiri dalam membiayai penyediaan prasarana yang menjadi tanggung jawabnya. Alokasi DAU sudah terspesifikasi dengan jelas formula dan variabelnya, sedangkan DAK masih memerlukan kajian lebih lanjut untuk menetapkannya. Khusus untuk pengembangan jalan, mekanisme alokasi DAK didasarkan atas usulan daerah yang dinilai oleh departemen teknis dengan beberapa kriteria tertentu. Kriteria ini setidaknya harus mencerminkan keadilan dan keberpihakan bagi daerah minus untuk mengembangkan sistem prasarananya. Untuk sektor jalan, DAK yang diberikan kepada propinsi sebaiknya dilakukan dalam kerangka tujuan sebagai berikut: -
-
Mencapai 100% jalan propinsi baik (pemberian DAK digunakan sebagai insentif yang mengkondisikan daerah untuk selalu memelihara jaringan jalan yang ada dengan baik). Untuk tujuan ini diberikan DAK peningkatan jalan yang dapat digunakan untuk mengubah kondisi jalan dari rusak menjadi baik. Untuk membantu propinsi terbelakang dalam meningkatkan kualitas pelayanan jalan propinsinya, khususnya yang berkaitan dengan aspek aksesibilitas dan mobilitas. Untuk tujuan ini diberikan DAK pembangunan jalan propinsi baru yang dapat terdiri dari kegiatan peningkatan jalan kabupaten menjadi jalan propinsi (peningkatan status) atau pembangunan jalan baru.
5.2.1 Kategorisasi Propinsi dalam mendapatkan DAK Kategorisasi propinsi ini harus dilakukan dengan sebaik mungkin dengan variabel yang representatif sehingga alokasi DAK efektif sesuai yang diharapkan. Kriteria yang digunakan hendaknya sederhana agar dapat diterapkan dengan mudah, adil, dan sesuai dengan prinsip pemerataan. Penentuan kategori propinsi untuk mendapatkan DAK secara mendasar dapat ditetapkan berdasarkan 2 (dua) variabel utama, yaitu: 7
(a) (b)
Kondisi jaringan jalan yang ada, dan Kemampuan pendanaan propinsi yang bersangkutan
Indikator yang menunjukkan kebutuhan propinsi akan DAK jalan propinsi diusulkan sebagai berikut: (1)
(2)
Kondisi penyediaan jaringan jalan dapat dilihat dari indeks aksesibilitas dan indeks mobilitas jaringan jalan di wilayah studi, variabel yang digunakan adalah total panjang jalan per luas wilayah (km/km2) dan total panjang jalan per jumlah penduduk (km/1000 penduduk). Formulasinya sebagai berikut: Indeks Aksesibilitas
=
Indeks Mobilitas
=
Total panjang jalan yang ada
(1)
Luas wilayah Total panjang jalan yang ada
(2)
Jumlah penduduk
Kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dengan menggunakan variabel sebagai berikut: Variabel 1
=
Variabel 2
=
Total (PAD + Dana Perimbangan + DAU)
(3)
Luas wilayah Total (PAD + Dana Perimbangan + DAU) Jumlah penduduk
(4)
Indeks mobilitas dan variabel 2 yang memasukkan variabel jumlah penduduk mungkin perlu dikaji lebih seksama penggunaannya, karena konsentrasi pembangunan di daerah maju (bagian barat Indonesia) selama orde baru telah mengakibatkan konsentrasi penduduk yang tinggi pula di daerah tersebut. Dengan demikian diusulkan bahwa sebaiknya digunakan parameter indeks aksesibilitas dan variabel 1 dalam menentukan tingkat kebutuhan dana ini. Distribusi frekuensi terhadap nilai variabel tersebut akan memberikan kategorisasi daerah yang berhak menerima DAK, katakanlah 30% propinsi yang nilainya tinggi (high category) tidak berhak mendapat DAK (harus mengurus sendiri semua kebutuhan pengembangan jaringan jalannya), 40% propinsi di tengah (middle category) hanya berhak mendapat DAK untuk peningkatan jalan propinsi, dan 30 % sisanya (low category) berhak mendapatkan DAK untuk peningkatan dan pembangunan jalan propinsi. Diperkirakan propinsi yang masuk ke dalam high category, dengan variabel kemampuan pendanaan yang tinggi dan kondisi indeks aksesibilitas yang baik antara lain adalah propinsi di Pulau Jawa, Bali, dan propinsi kaya di luar Pulau Jawa seperti Riau dan Kalimantan Timur. Sedangkan propinsi yang termasuk ke dalam low category, dengan variabel kemampuan pendanaan yang rendah dan biasanya kondisi indeks aksesibilitas juga kurang baik, antara lain adalah propinsi Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan kemungkinan termasuk di dalamnya adalah propinsi Bengkulu dan Jambi. Gambar 2 menyajikan visualisasi distribusi kondisi dan/atau kemampuan daerah yang digunakan untuk menentukan kategori propinsi yang berhak mendapatkan DAK. Pada 8
gambar 3 disampaikan distribusi indeks aksesibilitas dari propinsi yang ada di Indonesia (sebelum 1997). 30% low category: berhak mendapatkan DAK pembangunan & peningkatan jalan propinsi
Frekuensi
40% middle category: hanya berhak mendapatkan DAK peningkatan jalan propinsi 30% high category: tidak berhak mendapatkan DAK jalan propinsi Nilai
Gambar 2: Visualisasi Distribusi Propinsi yang berhak Menerima DAK Jalan Dari gambar 3 dapat disimpulkan bahwa 8 (delapan) propinsi berada pada high category (DKI Jakarta. DI Yogyakarta, Bali, Jawa tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Timor Timur, dan Sulawesi Selatan), 11 (sebelas) propinsi pada middle category (Sumatera Utara, Sulawesi Utara, NTB, NTT, Lampung, Sumatera Barat, Bengkulu, DI Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Jambi), dan 8 (delapan) propinsi pada low category (Sumatera Selatan, Riau, Sulawesi Tengah, Maluku, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Irian Jaya dan Kalimantan Timur). Untuk variabel 1 yang mewakili kemampuan keuangan daerah, sampai saat ini belum dapat dihitung mengingat terbatasnya informasi yang diperoleh dan di beberapa propinsi bahkan APBD-nya masih direvisi. Setidaknya gambaran distribusi yang telah disampaikan dapat digunakan sebagai petunjuk awal. Pekerjaan selanjutnya yang harus dipersiapkan adalah bagaimana memproporsikan antara variabel ketersediaan jalan dengan kemampuan daerah, sehingga diperoleh distribusi DAK yang adil. 10 9
Indeks aksesibilitas (m/km2) Distibusi kumulatif (10%)
8 7 6
High category
Middle category
5 4 3 2 1 0
Gambar 3: Distribusi Kumulatif Indeks Aksesibilitas 9
Low category
Untuk mengevaluasi efektifitas alokasi DAK diperlukan beberapa indikator yang mampu menyatakan manfaat dari bantuan tersebut. Efektifitas alokasi DAK untuk penanganan jalan propinsi dapat dimonitor atau dinilai dengan menggunakan dua parameter yang diusulkan sebagai berikut: -
% jumlah jalan yang baik yang meningkat dari tahun ke tahun, dan Indikator aksesibilitas propinsi tersebut yang meningkat dari tahun ke tahun.
5.2.2 Ketentuan dasar alokasi DAK peningkatan jalan propinsi Strategi alokasi DAK peningkatan jalan propinsi sebaiknya dilengkapi dengan kriteria-kriteria, yang antara lain yang diusulkan adalah sebagai berikut: -
-
-
Propinsi yang berhak menerima DAK untuk peningkatan jalan propinsi adalah propinsi yang termasuk ke dalam low category dan middle category. Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam mendanai peningkatan jalan tersebut maka propinsi perlu menyediakan dana pendamping dari APBD misalnya dengan perbadingan 60% pusat: 40% propinsi untuk propinsi yang termasuk middle category dan untuk propinsi yang termasuk low category misalnya dengan perbandingan 80% pusat : 20% propinsi. Untuk setiap tahunnya, panjang jalan yang ditangani dengan DAK peningkatan dibatasi (misalnya 10%) sehingga propinsi benar-benar harus melakukan pemeliharaan rutin dan berkala dengan baik agar jalan tidak cepat rusak dan perlu ditingkatkan. Untuk daerah yang menerima DAK, maka pada tahun anggaran berikutnya jumlah jalan propinsi yang rusak tidak boleh bertambah.
5.2.3 Ketentuan dasar alokasi DAK pembangunan jalan propinsi Alokasi DAK untuk pembangunan jalan propinsi sebaiknya diperlakukan secara terpisah mengingat tujuannya berbeda dengan tujuan DAK peningkatan jalan propinsi. Dengan konsep ini maka alokasi DAK pembangunan jalan harus didasari kepada konsep bahwa investasi jalan baru harus terintegrasi dengan kepentingan program pembangunan propinsi dan harus didahului dengan studi kelayakan. Adapun ketentuan dasar pemberian DAK pembangunan jalan propinsi diusulkan antara lain adalah: -
-
-
Tidak semua propinsi berhak mendapatkan DAK tersebut, hanya propinsi propinsi yang tertinggal dalam pelayanan jalan propinsi yang berhak mendapatkan DAK pembangunan jalan propinsi baru. Hal ini dikarenakan tujuannya adalah mendorong propinsi terbelakang dengan tingkat aksesibilitas rendah untuk mengejar ketertinggalannya. Proporsi pendanaan antara Pusat (DAK dari APBN) dengan Daerah (dari APBD) idealnya lebih besar peban pusatnya, karena sifatnya mengurangi kesenjangan, misalnya 80% : 20% Propinsi yang berhak mendapatkan DAK dari APBN maksimal memiliki jalan yang rusak maksimum 20% (jika angka ini terlampaui maka sebaiknya daerah/propinsi diarahkan untuk mendapatkan DAK untuk peningkatan jalan).
10
6.
KONSEPSI DASAR METODA ALOKASI DANA UNTUK JALAN DI TINGKAT PROPINSI
Metoda yang diusulkan diarahkan untuk tidak terlalu rumit, namun lebih bersifat umum dengan memberikan point-point yang perlu diperhatikan dalam menyusun program penangan jalan propinsi. Untuk mengalokasikan dana sektor jalan seefektif dan seefisien mungkin diperlukan adanya pemetaan masalah, untuk kemudian diidentifikasi urgensi dan manfaat dari setiap program yang diajukan. Untuk melakukan pemetaan masalah, diperlukan penyusunan langkah-langkah kerja sesuai dengan konsep sistem jaringan jalan propinsi dan struktur pendanaan jalan propinsi dalam era otonomi daerah. Tiga langkah berikut dapat dijadikan sebagai pedoman, yakni: (1) (2) (3)
Dalam konsepsi penyelenggaraan sistem jaringan jalan, apa sebenarnya fungsi dari jalan propinsi? Dalam pengelolaan jaringan jalan, jenis kegiatan penanganan jalan apa saja yang ada dan diprioritaskan untuk ditangani? Untuk keperluan penanganan jalan pada nomor (2) di atas, sumber apa saja yang dapat digunakan?
Pertanyaan (1) akan menspesifikasi jalan ruas jalan mana saja yang menjadi kewenangan propinsi dan lebih spesifik lagi ruas mana saja yang strategis untuk propinsi tersebut sesuai dengan konsep jaringan jalan propinsi. Pertanyaan (2) akan menspesifikasi ruas yang memerlukan penanganan dan jenis penanganan apa yang diperlukan (pemeliharaan rutin/berkala, peningkatan). Sedangkan pertanyaan (3) akan memberikan spesifikasi mengenai ketersediaan sumber dan jumlah dana yang mungkin dapat dialokasikan untuk kegiatan yang direncanakan sebelumnya. Gambar 4 memberikan visualisasi proses identifikasi kebutuhan dan propiritas pendanaan untuk jalan propinsi. Data jalan propinsi: - Nama ruas - Panjang & lebar ruas - Arus lalu lintas - Kondisi perkerasan - Fungsi jalan
Kondisi jalan: (1) Baik/sedang/rusak (2) IRI (m/km) (3) Kondisi fasilitas jalan
Kebutuhan penanganan jalan: - pemeliharaan rutin - pemeliharaan berkala - peningkatan jalan - pembangunan jalan
Fungsi penghubung jalan: (1) Antar ibukota kabupaten/kota? (2) Antara ibukota kab/kota dgn ibukota propinsi? (3) Strategis propinsi?
Klasifikasi jalan menurut peran jalan terhadap proponsi
Kriteria prioritas: Fungsi jalan Biaya Manfaat
Dana yang tersedia
Alokasi dana sesuai prioritas
Gambar 4: Proses Identifikasi Kebutuhan dan Prioritas Alokasi Dana Penanganan Jalan Propinsi 11
7. 7.1
STUDI KASUS: ALOKASI DANA PENANGANAN JALAN PROPINSI DI JAWA BARAT Pemetaan Masalah
Langkah pemetaan masalah dilakukan dengan sistematika sebagai berikut: Tahap (1) : Menyeleksi ruas jalan propinsi yang menghubungkan antar ibukota kabupaten/kota dan/atau dengan ibukota propinsi, selanjutnya ruas jalan strategis propinsi. Tahap (2) : Mengidentifikasi jenis penanganan di setiap ruas jalan yang diseleksi pada tahap (1) apakah: pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, dan peningkatan jalan. Tahap (3) : Mengidentifikasi kebutuhan pembangunan jalan propinsi jika terdapat ibukota kabupaten/kota dan/atau dengan ibukota propinsi, atau wilayah strategis propinsi yang belum terhubungkan. Tahap (4) : Menyusun program penanganan ruas jalan yang terseleksi pada tahap (1) dan kebutuhan penanganannya diidentifikasi pada tahap (2) dan tahap (3) sesuai dengan urutan prioritas sebagai berikut: Prioritas 1: pemeliharaan rutin, Prioritas 2: pemeliharaan berkala, Prioritas 3: peningkatan jalan, dan Prioritas 4: pembangunan jalan baru. Tahap (5) : Mengidentifikasi sumber dan ketersediaan dana untuk penanganan jalan sesuai dengan susunan dan prioritas program yang dilakukan pada tahap (4). 7.2 Pengambilan Keputusan Dengan metoda pemetaan masalah pengalokasian dana untuk jalan seperti yang disampaikan pada bagian 7.1, maka ruas-ruas jalan yang diseleksi sebagai ruas jalan propinsi yang menghubungkan antar ibukota kabupaten/kota atau dengan ibukota propinsi, sedangkan fungsi jalan strategis propinsi telah dicakup mengingat beberapa pusat pengembangan wilayah propinsi semuanya berada di dalam koridor jalan antar ibukota kabupaten/kota dan atau dengan ibukota propinsi. Tabel 2 menyajikan hasil seleksi ruas jalan berikut estimasi kebutuhan biayanya. Untuk ruas jalan yang memerlukan pemeliharaan rutin dan berkala diusahakan dananya dari APBD Propinsi. Sedangkan untuk peningkatan jalan diseleksi ruas jalan yang lebih banyak memberikan kontribusi arus lalu lintas dan strategis, dalam hal ini dipilih koridor Majalengka−Sumber−Ciracas dan Cagak−Purwakarta. Sesuai dengan RTRW Propinsi Jawa Barat daerah selatan merupakan prioritas untuk dikembangkan sebagai core business pariwisata dan agroindustri, usulan pembangunan jalan di lokasi tersebut sangat mendesak untuk ditindaklanjuti. Kemungkinan besar APBD Jawa Barat tidak akan mencukupi untuk menangani semua kebutuhan penanganan jalan propinsi yang besarnya mencapai Rp. 31 milyar dengan asumsi perhitungan sebelum krisis tahun 1997 (angka tersebut belum termasuk pembangunan jalan baru dan penanganan jembatan). Pada tahun 2001, Dinas Bina Marga Jawa Barat merencanakan anggaran sekitar Rp. 164 milyar (dengan catatan belum tentu semuanya disetujui), dari jumlah tersebut hanya sekitar Rp. 35 milyar (angka ini hanya untuk target 40% baik atau sekitar 83% jalan dalam kondisi baik atau sedang) yang diusulkan untuk digunakan pada pemeliharaan jalan. Jika perbedaan angka biaya Tahun 2001 dan 1997 dan 12
telah disesuaikan dengan kondisi Jawa Barat katakanlah sekitar 3 kali lipat, maka hanya sekitar 30% dari kebutuhan pemeliharaan jalan di Jawa Barat yang dapat ditangani untuk mencapai target 100% baik. Kejadian ini kemungkinan besar terjadi juga di propinsi lainnya di Indonesia. Dana pembangunan jalan untuk Koridor Selatan Jawa Barat dapat diusulkan melalui dana alokasi khusus (DAK) sektoral dari APBN sebagai koridor strategis propinsi untuk pengembangan wilayah. Namun hal ini hanya dimungkinkan jika Jawa Barat masih termasuk dalam kategori propinsi yang berhak mendapat DAK pembangunan jalan (lihat bagian 5). Tabel 2: Identifikasi Ruas Jalan Propinsi dan Kebutuhan Biaya Penanganannya No Ruas 29 30 031 (1) 16 18 47 75 75 77 106 50 54 68 65 69 72 73 12 67 101 71 92 91 031(2) 64 70 107 109 110
Nama Ruas Serang-Pandeglang Pandeglang-Rangkasbitung Rangkasbitung-Cipanas Ciawi-Cianjur Jalan Kopo Kopo-rancabali Bandung-Cagak Cagak-Subang Subang-Sadang Sumedang-Cagak Nagreg-Garut Garut-Tasikmalaya Cikijing-majalengka Cikijing-Kuningan Majalengka-Kadipaten Lohbener-Indramayu Indramayu-Karangampel Karangampel-Cirebon Ciracas-Cirebon Tangerang- Serpong-Parung Parung-Bogor Cibinong-Citeurep-Cileungsi Cileungsi-Bekasi Cipanas-Bogor Ciamis-Cikijing Kadipaten-Jatibarang Cagak-Purwakarta Majalengka-Sumber Sumber-Ciracas
Rekapitulasi
Kebutuhan penanganan Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin Pemeliharaan berkala Pemeliharaan berkala Pemeliharaan berkala Peningkatan jalan Peningkatan jalan Peningkatan jalan Pemeliharaan rutin Pemeliharaan berkala Peningkatan jalan Total
Panjang 25,560 21,000 41,030 49,060 21,415 39,300 45,930 36,620 42,100 44,000 21,190 52,060 32,750 22,510 13,017 9,090 23,100 28,470 28,250 34,840 36,340 27,870 14,320 56,870 49,260 42,110 42,540 30,000 15,000 709,822 148,240 87,540 945,602
Biaya penanganan* 281.160.000 231.000.000 451.330.000 539.660.000 235.565.000 432.300.000 505.230.000 402.820.000 463.100.000 484.000.000 233.090.000 572.660.000 360.250.000 247.610.000 143.187.000 99.990.000 254.100.000 313.170.000 310.750.000 383.240.000 399.740.000 306.570.000 157.520.000 1.450.185.000 1.256.130.000 1.073.805.000 9.443.880.000 6.660.000.000 3.330.000.000 7.808.042.000 3.780.120.000 19.433.880.000 31.022.042.000
Catatan: *) dihitung atas harga berlaku Tahun 1997
Alternatif lainnya adalah dana dari pinjaman, namun perlu ditetapkan bagaimana proses untuk mendapatkannya? Demikian juga dengan beberapa ruas jalan propinsi yang lokasinya 13
tepat berada di tengah kota apakah dapat diusulkan diturunkan statusnya menjadi jalan kabupaten/kota? Kedua hal tersebut masih membutuhkan adanya mekanisme penetapan proses permohonan pinjaman daerah serta tata cara penetapan status jalan yang baru. Untuk menyiasati hal ini kemungkinan diperlukan adanya dana yang committed untuk digunakan bagi penanganan jalan, misalnya dari sumber-sumber pajak daerah yang terkait dengan pengoperasian kendaraan di jalan, seperti: pajak BBM, pajak jual/beli maupun pajak tahunan kendaraan, pajak kelebihan beban, serta persentase dari pajak yang diperoleh secara tidak langsung namun tetap dapat diperkirakan memanfaatkan keberadaan jalan. Mekanisme ini di beberapa negara maju dikenal dengan Road User Tax (RUT) yang dipakai untuk pembiayaan jalan (road funding). 8.
KESIMPULAN
Berlakunya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah berimplikasi kepada proses pengalokasian dana yang akan lebih banyak ditentukan sendiri oleh daerah, karena dana perimbangan keuangan akan lebih banyak yang berupa block-grant bukan sektoral lagi. Dalam kaitan ini, kemampuan daerah untuk mengelola keuangan dan merencanakan anggaran sesuai dengan kebutuhan, prioritas pembangunan, dan kemampuan pendanaan yang ada menjadi sangat penting. Jalan sebagai prasarana dasar bagi perekonomian wilayah, bagaimanapun juga harus mendapat perhatian dan alokasi dana yang mencukupi. Kebutuhan daerah untuk sektor jalan (baik untuk pemeliharaan, peningkatan, maupun pembangunan jalan baru) sangatlah bervariasi tergantung dari kondisi jaringan jalan yang ada dan karakteristik wilayahnya masing-masing. Dalam siklus pengelolaan jalan, kegiatan pemeliharaan jalan harus dipisahkan dari kegiatan investasi, karena keduanya memiliki tujuan dan besaran investasi. Secara umum dengan berdasarkan kebutuhan jumlah dana dan efektifitas dampak alokasi dananya bagi masyarakat, maka kegiatan pemeliharaan jalan harus diprioritaskan oleh Pemerintah Propinsi untuk didanai melalui APBD dalam rangka menjaga fungsi jaringan jalan sebagai prasarana dasar. Distribusi DAK oleh pemerintah propinsi untuk peningkatan dan pembangunan jalan propinsi harus dilakukan dalam kerangka untuk mencapai target 100% jalan dalam kondisi baik dan memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk bidang jalan. Pemberian DAK kepada propinsi sebaiknya disertai dengan proporsi dana pendamping dari daerah yang mencukupi untuk menunjukkan adanya komitmen daerah terhadap program penanganan jalan yang diusulkan. Sejumlah variabel dapat digunakan untuk menyeleksi propinsi mana yang berhak memperoleh DAK jalan, dan diusulkan bahwa sebaiknya digunakan variabel indeks aksesibilitas dan kemampuan keuangan daerah sebagai variabel penentu. Perangkingan terhadap variabel tersebut akan mendistribusikan propinsi yang anda ke dalam low, middle, dan high category yang selanjutnya akan menentukan skema DAK apa yang layak diterima oleh suatu propinsi. Dari studi kasus yang dilakukan di Propinsi Jawa Barat, terdapat kemungkinan bahwa untuk kebutuhan penanganan jalan Propinsi, beberapa propinsi di Indonesia akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dananya. Dengan demikian sangatlah diperlukan adanya suatu kebijakan yang memberikan kepastian dana (committed fund) untuk jalan 14
sebagai sebuah prasarana dasar, khususnya dari pajak terkait dengan jalan (road user tax dan pajak dari obyek lain yang memanfaatkan jalan). 9.
DAFTAR PUSTAKA
[1] [2]
BPS Pusat, Statistik Indonesia, Jakarta, Indonesia, (1997) Nojorono et al, Konsep laporan Akhir Penyusunan Konsep Pembinaan Jaringan Jalan Propinsi berdasarkan Kebutuhan Pengembangan Wilayah, Unit Studi Transportasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia, (2000) PP No. 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, (2000) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, (1999) UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, (1999)
[3] [4] [5]
15