1
PENGEMBANGAN KURIKULUM LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI ISLAM BERBASIS KKNI Ahmad Syarifuddin STAI Istiqlal, Patas, Buleleng Bali.
[email protected] Abstrak Dari sekian banyak elemen penting dalam dunia pendidikan. Kurikulum adalah point yang paling sulit diatur dan disistematisasi rentang waktu yang lama. Pasalnya, kurikulum memiliki sifat yang harus selalu disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan yang ada di sebuah negara tertentu. Oleh sebab itulah, hampir dalam hitungan tahun, model kurikulum pendidikan selalu berubah-ubah, baik sebagian – dalam wujud penyempurnaan, atau keseluruhan – karena ada pandangan revolusioner dari pemangku kebijakan. Tulisan ini merupakan penelitian konseptual, bagaimana kurikulum pendidikan ‘diwajibkan’ oleh kebijakan pemerintah dengan kebutuhan industri atau pasar kerja. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia merupakan produk kebijakan bersama Kemenakertrans dan Kemendikbud untuk menyeragamkan keterampilan para peserta didik. Di anataranya, keterampilan pekerjaan bagi lulusan SMA, SMK, S1 dan lain sebagainya. Kebijakan ini, mungkin saja, tidak banyak mempengaruhi kerangka kualifikasi lulusan di Kemendikbud. Pasalnya, cakupan nomenklaturnya cenderung mengedepankan Ilmu Pengetahuan Umum. Sedikit problematis apabila disusun dan didesain di perguruan tinggi Islam. Tulisan ini akan memeberikan penawaran konseptual tersebut. Tanpa harus menghilangkan identitas keislamannya. Keyword: Pengembangan Kurikulum, KKNI. Pendahuluan Secara umum, yang melatarbelakangi penelitian ini adalah kebutuhan dan tujuan khusus, yang khas bagi Indonesia untuk menyelaraskan sistem pendidikan dan pelatihan dengan sistem karir di dunia kerja. Sedangkan dalam kontek penelusuran sejarah, sebagaimana termaktub dalam kajian para ahli kurikulum maka disebutkan bahwa termenologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani. Dimana pada awalnya terminologi ini digunakan untuk sebuah ajang olah raga yakni sebuah jarak yang harus ditempuh oleh para pelari. Istilah ini juga menunjukkan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang pelari dalam even lari estafet. Istilah kurikulum ini mulai dikenal di Amerika Serikat sejak tahun 1920, ditinjau dari asal katanya kurikulum berasal dari bahasa latin dari kata curere yang artinya lari. 1 Dengan demikian maka kurikulum pada awalnya mempunyai pengertian course of race (arena pacuan) Secara tradisional kurikulum mempunyai pengertian yaitu mata pelajaran atau arena pelatihan untuk suatu produksi pendidikan.2 Terbitnya Perpres No. 08 tahun 2012 dan UU PT No. 12 Tahun 2012 Pasal 29 ayat (1), (2), dan (3) telah berdampak pada kurikulum dan pengelolaannya di setiap program. Kurikulum yang pada P0F
P1F
1 2
Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan (Jakarta : GP Press, 2010), 2. S. Nasution , Asas-Asas Kurikulum (Jakarta : Bumi Aksara, 1994), 5.
P
2
awalnya mengacu pada pencapaian kompetensi menjadi mengacu pada capaian pembelajaran (learning outcomes).3 Kepala Subdit Kelembagaan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam yaitu Bapak Mastuki juga menulis artikel setelah mendapatkan undangan dari beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam seperti yang kita kenal PTAI. Dari berbagai PTAI yang telah mengundangnya secara tidak sengaja ingin merombak kurikulumnya dengan acuan perkembangan masyarakat dan persaingan antar perguruan tinggi semakin keras dalam hal pengelolaan Perguruan Tinggi. 4 Pada saat sekarang sedang hangat-hangatnya perubahan kurikulum 2013 dengan profil lulusan scientivic vision, univercity velues dan market signal. Hingga terbentuk capaian pembelajaran (learning outcomes) sikap dan tata nilai, kemampuan dibidang kerja, pengetahuan yang dikuasai, hak dan tanggung jawab sesuai level pendidikan. 5 Kurikulum memang perlu dirombak, perlu pembaharuan dan penyesuaian. Karena kurikulum PTAI harus lebih melihat kebutuhan internal dan kebutuhan eksternal yang berubah sangat dinamis. PTAI tidak bisa menjadi menara gading yang lepas dari ‘dunia luar’. PTAI adalah bagian dari institusi sosial (social institutions) yang saling memengaruhi satu sama lain. Perubahan pada satu institusi, misalnya perkembangan politik atau ekonomi mengakibatkan perubahan pada institusi pendidikan. PTAI juga merupakan bagian komunitas dunia yang terus bergerak. Globalisasi berikut dampak iringannya (nurturant effect) sedikit banyak ‘menggoyang’ pertahanan PTAI. Pada aras inilah perombakan kurikulum menemukan titik terangnya. Kualifikasi Nasional Indonesia atau selanjutnya disebut KKNI adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. KKNI dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 08 Tahun 2012 serta merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional (Sislatkernas). 6 Di perguruan tinggi kurikulum memang bukan satu-satunya faktor pendidikan. Ada komponen pendidik/dosen, mahasiswa, materi pembelajaran, metodologi, sumber belajar, dan komponen lainnya. Kurikulum juga hanyalah tools untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yakni tujuan pendidikan itu sendiri. Namun, pentingnya updating atau perombakan kurikulum karena melalui tools inilah proses-proses pendidikan dapat dinilai, dievaluasi, diukur, difahami, dicandera, direvisi jika perlu, atau diperbaiki. Kurikulum merupakan masalah yang sangat fundamental bagi dunia pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi. Pembaharuan kurikulum semua program studi di PTAI akan mengimbangi perkembangan ilmu, teknologi, seni, budaya, agama, politik, ekonomi, dan perubahan global yang sangat dinamis. Sudah lama kurikulum PTAI tidak di-update, jangan sampai hanya mengkonservasi ilmu agama yang sesungguhnya ketinggalan jaman alias kedaluarsa. Pendidikan Agama Islam memiliki tujuan atau arah sebagai mata pelajaran atau mata kuliah yang bersifat mendidikkan agama Islam yaitu berupa materi-materi yang sudah ada lalu kemudian disampaikan dan dipelajari untuk diamalkan. Atau PAI ini hanya dalam tataran amali bukan filosofis. Sementara Pendidikan Islam sebagai materi kajian ialah suatu pembahasan yang bersifat pemikiran dan filosofis. Meski materi kajiannya sama dengan PAI, namun PI lebih mendalam dan sampai kepada landasan filosofis yang menjadi acuan mengapa materi-materi dalam PAI mesti ada. Oleh karena itu, diperlukan kajian yang mendalam terhadap pembahasan ini yang berfokus kepada 3
Ibid,. 54 Mastuki, Catatan Refleksi: Merombak Kurikulum Perguruan Tinggi Islam. http://diktis.kemenag.go.id/index.php?artikel=lihat&jd=161 diakses tgl 3 Januari 2014 jam 3.08 5 Liliana Sugiharto,. Alternatif penyusunan Kurikulum mengacu pada KKNI. 2013. 7-8 6 KKNI merupakan sistem yang berdiri sendiri dan merupakan jembatan antara sektor pendidikan dan pelatihan untuk membentuk sumber daya manusia nasional berkualifikasi (qualified person) dan bersertifikasi (certified person) melalui skema pendidikan formal, non formal, informal, pelatihan kerja atau pengalaman kerja. 4
3
pengembangan kurikulum di Perguruan Tinggi Isla, Oleh sebab itu, penulis memiliki kesimpulan, bahwa lembaga pendidikan Perguruan Tinggi Agama Islam, selain bisa menjadi otak dari lembaga, namun juga bisa dijadikan sebagai alat anstisipatif dalam menjaga ajaran Islam. Pengembangan Kurikulum Perguraun Tinggi Dalam pengembangan kurikulum pada hakikatnya sangat komplek karena itu banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaanya, dan tiap kurikulum didasarkan atas asas-asas tertentu, yakni : 1. Asas filosofis, yakni pada hakikatnya menentukan tujuan umum pendidikan 2. Asas sosiologis, yang memberikan dasar untuk menentukan apa yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi 3. Asas organisatoris yang memberikan dasar-dasar dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran disusun, bagaimana luas dan urutannya. 4. Asas psikologis yang memberikan prinsip-prinsip tentang perkembangan anak dalam berbagai aspek serta caranya belajar agar bahan yang disediakan dapat dicernakan dan dikuasai oleh anak sesuai dengan taraf perkembangannya. 7
Pada umumnya pengembangan kurikulum secara teoritis dimulai dengan perumusan tujuan kurikulum, diikuti oleh penentuan atau pemilihan bahan pelajaran, proses belajar mengajar, dan alat penilaianya, sebagaimana figure diatas. Sementara itu tahapan pengembangan kurikulum juga dapat digambarkan sebagai berikut :
7
S. Nasution, Pengembangan Kurikulum (Bandung; Citra Aditya Bakti, 2003),1- 2
4
Proses pengembangan kurikulum dimulai dari kegiatan perencanaan kurikulum. Dalam menyusun perencaan ini didahului oleh ide-ide yang akan dituangkan dan dikembangkan dalam program. Ide kurikulum bisa berasal dari: a. Visi yang direncanakan Visi (vision) adalah the statement of ideas or hopes, yakni pernyataan tentang cita-cita atau harapan-harapan yang ingin dicapai oleh suatu lembaga pendidikan dalam jangka panjang. b. Kebutuhan stakeholders (siswa, masyarakat, pengguna lulusan), dan kebutuhan studi lanjut. c. Hasil evaluasi kurikulum sebelumnya dan tuntutan perkembangan ipteks dan zaman. d. Pandangan-pandangan para pakar dengan berbagai latar belakangnya. e. Kecenderungan era globalisasi, yang menuntut seseorang untuk memiliki etos belajar f. sepanjang hayat, melek sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi. 8 Dalam prakteknya semua unsur itu dipertimbangkan tanpa urutan yang pasti. Sekalipun telah dimulai dengan perumusan tujuan, masih ada kemungkinan perubahan atau tambahan setelah mempelajari bahan yang dianggap perlu diberikan. Jadi dalam proses pengembangannya tampak proses interaksi menuju perpaduan dan penyempurnaan. Dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan UIN dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada mahasiswanya, maka kurikulum UIN haruslah didesain ulang, terutama distribusi mata kuliah keagamaan (keislaman), yang selama ini mendominasi. Karena itu, desain kurikulum UIN haruslah dirancang sedemikian rupa untuk melayani semua fakultas dan jurusan umum, di samping memperhatikan kompetensi dasar pengetahuan keagamaan yang harus dimiliki. Dengan kata lain, desain kurikulum UIN menerima semua substansi pengetahuan umum yang ditawarkan oleh fakultas dan jurusan sebagaimana layaknya perguruan tinggi umum, tetapi khusus mata kuliah keagamaan (keislaman) didesain secermat mungkin sesuai dengan kompetensi dasar umum dan khusus jurusan yang harus dikuasai oleh mahasiswa. Desain kurikulum, dengan memperhatikan kompetensi dasar umum dan khusus jurusan akan memberikan peluang untuk mengakomodasikan nilai-nilai keislaman yang dibutuhkan untuk
8
,1991), 29
Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum (Solo; Ramadani
5
mendukung program penjurusan. Dengan desain tersebut, akan diperoleh beberapa manfaat, antara lain : 9 a. Pengetahuan umum sebagai spesialisasi akan tercerahkan oleh nilai-nilai keislaman sehingga akan lahir sarjana plus (dengan pengetahuan umum dan keislaman). b. Akan diperoleh daya tahan (feability) dan daya hidup (elan vital) UIN. c. Luasnya ruang gerak dan harapan peran yang akan dimainkan oleh lulusan UIN. d. Akomodatifnya UIN dalam menampung lulusan pendidikan menengah. e. Meningkatkan gairah keilmuan yang luas, melalui research university. f. Berperannya UIN sebagai social agent dan social building. Dengan terbentuknya UIN, diharapkan juga komposisi mata kuliah yang dibangun sebagai bagian penting dari proses dan kinerja UIN tersebut dapat lebih ramping, dan menjurus sesuai dengan spesialisasi jurusan. Sistem penyampaian dan penawaran mata kuliah kepada mahasiswapun harus dapat diarahkan kepada adanya kompetensi spesialisasi jurusan, jangan justru semakin ke ujung, mata kuliah yang ditawarkan kepada mahasiswa semakin mengambang dan bersifat umum. Karena hal ini akan menyebabkan kurang komprehensifnya tingkat pemahaman ,ahasiswa dalam menyikapi spesialisasi jurusan yang diambil. Di sisi lain, komposisi mata kuliah dasar umum, haruslah memiliki perbandingan paling tidak 10-20 % dari mata kuliah jurusan yang ditawarkan. Komposisi mata kuliah tersebut dimaksudkan agar mahasiswa dapat lebih mendalami materi mata kuliah jurusan yang ditawarkan kepadanya. Dari segi kurikulum, UIN akan memformulasikan kurikulum ideal yang diinginkan dengan memasukkan pengetahuan umum, sehingga akan kelihatan menjadi lebih hidup dan tidak terkesan kaku, hal ini akan semakin memperluas kurikulum UIN, yang tidak hanya terbatas pada pengetahuan-pengetahuan Islam saja. Dari segi kurikulum, UIN sudah pada waktunya melihat pengetahuan umum sebagai bagian integral dari pendidikan Islam sehingga UIN haruslah mampu mengintegrasikan pengetahuan umum tersebut ke dalam bingkai pendidkan Islam. Akan tetapi, dalam bingkai pendidikan Islam di UIN, atribut keIslaman hendaknya tidak dimunculkan ke permukaan, baik pada tingkat fakultas, jurusan, maupun gelar akademik, tetapi justru atribut (label) Islam, hanya dimunculkan pada tingkatan universitas dan kurikulum. Pada tingkat universitas, label Islam perlu dimunculkan untuk memberikan perbedaan khas dengan universitas negeri lainnya yang tidak mencantumkan atribut Islam di dalamnya. Sementara, pada tingkat kurikulum, atribut Islam dimaksudkan untuk memberikan spirit bagi penguasaanpenguasaan berbagai pengetahuan umum melaluu sejumlah fakultas dan jurusan sehingga kurikulum Islam dipersyaratkan sebagai mata kuliah yang wajib lulus dengan nilai yang tinggi, minimal dengan nilai baik. Ketatnya perolehan nilai ini, dimaksudkan untuk memberi nuansa islami di dalamnya, sehingga meskipun tidak semua mata kuliah yang ditawarkan kepada mahasiswa, akan cukup mempengaruhi nuansa Islam di dalamnya. Untuk mencapai perolehan nilai yang tinggi minimal baik tersebut, mata kuliah keagamaan (keislaman) yang diasuh oleh dosen bersangkutan, haruslah dirancang sesuai dengan kompetensi dasar minimal yang dicapai oleh mahasiswa. Apabila hal itu tercapai, maka mahasiswa baru dapat lulus dalam suatu mata kuliah. Sebaliknya, jika hal tersebut tidak tercapai, maka mahasiswa harus menguasai kompetensi dasar minimal tersebut sampai lulus. Kompetensi yang seharusnya dikembangkan oleh UIN haruslah memenuhi standar kualitas minimal yang ditetapkan. Tanpa pemenuhan standar kualitas minimal tersebut, maka UIN akan memberikan tingkat pelayanan yang rendah, yang pada akhirnya, kualitasnya pun akan dipertanyakan. Kompetensi dasar yang dimaksud adalah: (a) penguasaan bahasa 9
Mukhtar., Merambah Manajemen Baru Pendidikan Islam (Jakarta, Misaka Galiza, 2003), 267
6
asing, (b) kemampuan analitis, (c) karya ilmiah, (d) sanksi akademis, (e) spesialisasi dosen dan mata kuliah, dan (f) kompetensi manajerial. Kompetensi dasar berupa penguasaan bahasa asing, kemampuan analitis dan karya ilmiah, dimaksudkan untuk membekali mahasiswa dengan keunggulan-keunggulan kompetitif untuk dapat mengembangkan dan menggunakannya secara lebih luas yang pada akhirnya menumbuhkan sikap kemandirian dan dapat melepaskan diri dari ketergantungan. Kompetensi dasar berupa sanksi akademis meliputi penghargaan dan penegakan hukum akademis, spesialisasi dosen dan mata kuliah, sampai kepada kompetensi manajerial yang dimaksudkan untuk memberikan kemampuan UIN sebagai center of exellence for Islamic integrated (pusat keunggulan kajian integrasi pengetahuan Islam dan umum). Dalam memenuhi pencapaian nilai seperti ini, mahasiswa dipersyaratkan untuk menempuh pendidikan tambahan yang diselenggarakan oleh pihak UIN. Untuk ke arah ini, UIN hendaknya mengupayakan pusat-pusat studi di lingkungan kampus yang meliputi studi keagamaan dan bahasa terutama bahasa Arab. Akan tetapi, pendidikan tambahan melalui pusat studi keagamaan dan bahasa seperti ini, tidak masuk ke dalam SKS, jadualnya diatur sendiri, pembiayaan diatur sedemikian rupa dengan rasionalisasi kepada mahasiswa. Setelah lulus mata kuliah keagamaan dan bahas tersebut, barulah mahasiswa tersebut berhak untuk memperoleh nilai yang tinggi minimal baik. Dengan lulusnya mata kuliah keagamaan dan bahasa tersebut, barulah mahasiswa tersebut dapat menempuh ujian terakhir (ujian). Di samping persyaratan lulus mata kuliah keagamaan yang ketat, juga harus diupayakan beban-beban materi kuliah keagamaan, memuat materi keagamaan secara padat, sehingga memungkinkan mahasiswa untuk menguasai secara teoritis dan praktis. Tanpa usaha ke arah ini, maka tidak mustahil pengetahuan keagamaan (keislaman) akan termarjinalkan, yang juga berarti terjadi sekulerisasi pendidikan tinggi (UIN). Sisi lain yang perlu dicermati, adalah kurikulum UIN jangan terlalu banyak berorientasi kepada studi masa lalu (historical studies), tetapi diharapkan lebih banyak berorientasi pada masa depan (for tomorrow). Agus Maimun sendiri mengungkapkan dalam menghadapi compititienes di masa kini dan masa depan, PTAI harus mengembangkan pendidikan kualitas total (total quality education/TQE). Menurut Semiawan TQE memfokuskan pada dua persoalan mendasar, yaitu: pertama stimulasi dari koherensi proses belajar mengajar, sehingga tidak terjadi disintegrasi kurikulum. Kedua, unsur dasar yang lain adalah analisis kebutuhan berbagai kelompok mahasiswa. Mahasiswa perlu perhatian khusus, karena kelak akan memasuki dunia kerja atau realitas sosial yang sangat problematis. Untuk itu, orientasi terhadap mahasiswa adalah kunci utama untuk TQE. Hal ini mencakup penghargaan,kepedulian, dan penilaian terhadap nilai-nilai fundamental lembaga pendidikan. 10 Sikap seperti ini, bukan berarti menafikan peran studi sejarah (historical studies) tersebut, tetapi justru lebih ditekankan kepada adanya kebutuhan UIN yang semakin kompleks dan mendesak, disamping tawar-menawar (bargaining) atas adanya desain kurikulum UIN seperti ini. Hal yang lebih menarik lagi adalah manakala dihadapkan kepada persoalan perluasan misi UIN untuk memenuhi kebutuhan stakeholder-nya, yakni adanya dinamka kehidupan masyarakatyang tidak hanya meliputi aspek kehidupan keagamaan, tetapi menyangkut semua nilai kehidupan, sehingga pada akhirnya, UIN nantinya diharapkan mampu menghasilkan sarjana-sarjana yang tidak hanya kental dengan nuansa-nuansa Islam dan sejarah, tetapi justru kering dari keilmuan, teknologi, dan sumber daya. Pada akhirnya, dengan penguasaan keislaman yang diintegrasikan ke dalam pengetahuan umum, teknologi dan sumber daya, harapan peran (role expectation) yang dilakukan oleh UIN akan sesuai dengan yang diharapkan, di samping untuk mewarnai ruang gerak keilmuan yang dibangun itu 10
Arief Furchan, Pengembangan Kurikulum, 56
7
sendiri. Tawar-menawar atas adanya kemungkinan desain kurikulum UIN seperti ini, akan lebih menarik manakala dihadapkan kepada persoalan perluasan misi UIN untuk menjaring calon mahasiswa baru dengan label perguruan tinggi Islam. Masalah lain yang mungkin dapat timbul dari komposisi mata kuliah seperti ini adalah kurang tersedianya tenaga dosen yang spesialis. Untuk itu, UIN harus mampu mendatangkan dosen-dosen tamu, baik dari dalam maupun luar negeri untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara berkala. Dosen-dosen tamu yang didatangkanpun, harus dapat merata bagi UIN di daerah, sehingga kualitas yang diharapkan juga akan merata bagi UIN baik di kota-kota besar maupun di daerah. Untuk menjamin ke arah ini, pihak pemimpin UIN harus merencanakan secara matang kemungkinan mendatangkan dosen-dosen tamu, dengan mengusulkan sendiri atau meminta kepada pemerintah. Strategi Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi Perguruan tinggi tidak diposisikan sebagai pemain tunggal yang harus memikul sendiri tangung jawab besar dalam peran yang diembannya, akan tetapi seluruh elemen yang ada dalam masyarakat harus memberikan konstribusi dan ambil bagian dalam membangun kapasitas bangsa demi memenuhi harapan bangsa dan negara serta tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, salah satunya adalah dengan menciptakan mitra hubungan yang strategis dengan industri dan perusahaan, hubungan segi tiga antara ilmu pengetahuan, industri, dan universitas (triple helix of knowledge-industry-university) menjadi tak terelakkan. Selain menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi, perguruan tinggi menyediakan tenaga profesional yang diperlukan dunia industri, perguruan tinggi juga dapat melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan yang memberikan manfaat bagi perkembangan industri dan pertumbuhan ekonomi, sedangkan industri dapat mengalokasikan dananya untuk menopang kegiatan penelitian dan pengembangan di universitas, dinamika hubungan segi tiga ini diharapkan dapat memberi kontribusi yang signifikan pada peningkatan produktivitas nasional dan daya saing bangsa. Pola hubungan segitiga antara ilmu pengetahuan, industri dan universitas mendorong terciptanya jalinan komunikasi yang kuat dalam ketiganya dan menuntut langkah seiring sejalan, sehingga perkembangann ilmu pengetahuan, kebutuhan industri dengan sumber daya manusia yang dihasilkan oleh universitas semestinya mencirikan hubungan dengan konsep mutualisme, maka perancangan kurikulum di perguruan tinggi kurikulum Perguruan Tinggi seharusnya kurikulum yang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan mampu menghasilkan lulusan yang berkompeten sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Persoalan yang dihadapi perguruan tinggi di Indonesia secara umum tidak terlepas dari tiga isu pokok yaitu persoalan mutu, persoalan relevansi dan persoalan akses, secara khusus Dewan Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional mengungkapkan kondisi perguruan tinggi di Indonesia adalah: 11 1. Perguruan Tinggi masih merupakan (dianggap) sumber ilmu pengetahuan , etika dan nilai -nilai kebijakan 2. Gaji profesor atau dosen masih sangat rendah sehingga membutuhkan penghasilan tambahan dari berbagai sumber dan aktivitas lain yang menyita waktunya sebagai pendidik 3. Perguruan Tinggi masih diselimuti oleh berbagai masalah sekaligus menjadi masalah bangsa secara keseluruhan
11
Dikti, Direktorat., Pengembangan Akademis dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Diknas . (2002). Panduan Penyusunan Kurikulum dan Penilaian Hasil Belajar Pendidikan Tinggi Berbasis Kompetensi. Jakarta. Ditjen Dikti Depdiknas). 8
8
4. PTN ( terutama ) beroperasi dengan sangat tidak efektif dan tidak efisien (kehadiran dosen rendah, pengangguran sarjana, kurikulum yang tidak responsif terhadap kebutuhan pasar kerja , dll ) 5. Biaya sekolah semakin mahal dan D.O. semakin tinggi 6. Tata pelaksanaan PBM tidak sesuai dengan standar mutu 7. Kredibilitas perguruan tinggi belum memuaskan stakeholders atau masyarakat umumnya a. Mutu Perguruan Tinggi Mutu perguruan tinggi merupakan sebuah jaminan (garansi) yang diberikan kepada calon mahasiswa, sehingga calon mahasiswa akan mendapatkan sebuah kepastian prospek masa depan mereka melalui perguruan tinggi yang telah dipilih. Sangat banyak indikator yang dijadikan sebagai tolak ukur mutu sebuah perguruan tinggi seperti kualifikasi pendidikan dosen, sarana dan prasaran belajar, jumlah karya ilmiah yang dihasilkan dosen, lulusan, peringkat dalam rangking perguruan tinggi yang dikeluarkan oleh lembaga resmi, pelayanan yang diberikan, dan lain sebagainya. Seluruh indikator mutu ini dijadikan sebagai dasar oleh beberapa lembaga resmi dalam menetukan peringkat perguruan tinggi itu dalam berbagai kawasan. b. Akses dan pemerataan Disamping persoalan mutu, persoalan akses dan pemerataan juga menjadi dilema tersendiri dalam pendidikan tinggi di Indonesia, banyak pemuda/i usia 19-24 tahun yang notabene merupakan usia produktif dalam pendidikan tinggi tidak dapat menikmati dan mengikuti pendidikan di perguruan tinggi dengan alasan yang beragam seperti tidak ada biaya, tidak ada motivasi untuk melanjutkan, tidak memiliki bakat dan minat untuk meneruskan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi dan merasa sudah cukup dengan bekal ilmu yang dimilki dan berbagai alasan yang lain. c. Relevansi Relevansi dapat dimaknai sebagai kesesuaian apa yang dihasilkan perguruan tinggi dengan respon dunia kerja, artinya dengan melihat seberapa besar daya serap dunia kerja terhadap lulusan perguruan tinggi dapat dikatakan bahwa adanya kesesuaian antara keduanya, apabila daya serap dunia kerja terhadap lulusan perguruan tinggi sangat kecil sehingga menjadi penyumbang angka pengangguran yang semakin tinggi berarti terjadi persoalan relevansi antara pendidikan dengan dunia kerja, artinya kriteria dan kualifikasi kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja tidak terpenuhi oleh para lulusan perguruan tinggi. Banyaknya pengangguran yang terjadi bahkan memperlihatkan angka yang mengkhawatirkan terutama mereka yang menganggur dalam strata pendidikan S1 atau D3 apabila dilihat dari persoalan relevansi berarti dunia kerja tidak memberikan kesempatan kepada lulusan ini karena berbagai alasan mendasar diantaranya kualifikasi dan kompetensi yang tidak memenuhi persyaratan yang diinginkan. Tiga persoalan pokok di atas yang terjadi pada hampir semua perguruan tinggi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari aspek sosial, ekonomi dan budaya. Secara langsung maupun tidak langsung tiga aspek ini (sosial, ekonomi dan budaya) turut andil dan berkontribusi dalam persoalan yang terjadi dan aspek ekonomi menjadi bagian pokok dari tiga persoalan yang ada untuk dikaji secara mendalam. Persoalan mutu dan daya saing kalau dilihat dari sisi ekonomi akan memperlihatkan korelasi positif dimana keadaan ekonomi sebuah Negara yang sehat diserta kebijakan yang proporsional untuk sektor pendidikan akan menjadikan perguruan tinggi sebagai sektor primadona dalam memacu peningkatan kualitas dan daya saing bangsa, Malaysia dengan berani memberikan porsi anggaran pendidikan lebih besar dari sektor lain bahkan menjadikan pendidikan sebagai prime sector untuk menggerakkan perekonomian Negara disamping sektor lain sehingga sekarang dari sisi pendidikan
9
dan peringkat perguruan tinggi Malaysia meninggalkan Indonesia cukup jauh, Jepang pun menjadikan pendidikan sebagai sektor unggulan dalam memacu pertumbuhan ekonomi negaranya sehingga dalam waktu yang relative cepat dan singkat menjelma menjadi salah satu Negara ekonomi terkuat di dunia. Dua contoh ini cukup memberikan ilustrasi betapa pendidikan dan ekonomi Negara akan berjalan bersama membentuk hubungan yang saling mempengaruhi dan akan mempercepat penciptaan daya saing bangsa. Pencapaian-pencapaian kinerja kurikulum secara nasional hendaknya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dan pengelola pendidikan agar segera memperbaiki kurikulum yang ada untuk kemudian dapat memperbaiki kinerjanya kedepan, karena hasil yang diperoleh sebagai bentuk kinerja kurikulum merupakan sebuah dampak kurikulum yang telah dioperasionalkan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hasan “kurikulum haruslah memperlihatkan hasilnya dalam bentuk dampak pada masyarakat dan pada kualitas lulusan setelah beberapa waktu berada di masyarakat”, 12 artinya kurikulum haruslah memberikan pengaruh positif dalam kehidupan masyarakat bukan sebaliknya, apabila yang terjadi perguruan tinggi berkontribusi dengan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat seperti tingkat penggangguran yang sangat besar dari kelompok lulusan perguruan tinggi berarti menjadi bahagian masalah, seharusnya perguruan tinggi menjadi bahagian solusi untuk mengurangi tingkat pengangguran yang semakin tinggi. Memperbaiki dan atau melakukan peyempurnaan kurikulum adalah sebagai bahagian pengembangkan kurikulum yang harus dilakukan khususnya di Perguruan Tinggi dalam menyikapi hasil yang ada dan dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat, dampak yang tidak menguntungkan akan menjadi keluhan masyarakat untuk segera ditangani dan dicarikan solusi tepat oleh perguruan tinggi dalam rangka memperbaiki kurikulumnya, disamping itu tuntutan dan kebutuhan yang lahir dari dampak yang terjadi haruslah dipikirkan dan ditindaklanjuti dengan segera dalam kerangka pengembangan kurikulum, melakukan perbaikan dan penyempurnaan kurikulum adalah bahagian penting dalam pengembangan kurikulum seperti yang diungkapkan oleh Seller dan Miller bahwa: 13 “proses pengembangan kurikulum adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus menerus yang dimulai dari menetukan orientasi kurikulum kemudian dikembangkan menjadi pedoman pembelajaran untuk kemudian dilaksanakan dalam proses belajar mengajar dan terakhir dilaksanakannya evaluasi.” Dalam pandangan yang lain Collin Marsh and George Wills menekankan bahwa 14 ‘pengembangan kurikulum berkenaan dengan pengumpulan prosedur untuk kemudian menghasilkan sejumlah perubahan pada kurikulum itu sendiri terutama pada materi yang diinginkan’, sedangkan Dakir mengatakan bahwa 15 “pada era pambangunan seperti sekarang ini pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan link and match serta out put dengan lapangan kerja yang dibutuhkan”. Artinya upaya melakukan pengembangan kurikulum tidak dapat melepaskan dari kebutuhan masyarakat. Dari beberapa pakar penddikan sepakat menyatakan pengembangan kurikulum tidak bisa melepaskan diri dari sisi sosial kemasyarakatan, artinya kebutuhan masyarakat menjadi salah satu alasan dan dasar pertimbangan dalam pengembangan sebuah kurikulum, secara khusus kurikulum menempatkan pada analisis situasi dan diagnosa kebutuhan sebagai langkah pertama dalam model desain pengembangan kurikulumnya. Secara teoritis Sukmadinata mengatakan bahwa 12
Hasan, S.H., Kurikulum berbasis kompetensi berdasarkan SK Mendiknas 232/U/2000 dan Alternatiif Pemecahannya. (Bandung: UPI 2008). 67 13 Wina Sanjaya., Kurikulum dan Pembelajaran. (Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI 2007). 32 14 Ornstein & Hunkins, Curriculum Foundation Principles, and Issues. (Fifth Edition. United States of America. Pearson 2009). 211 15 Dakir., Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. (Jakarta. PT. Asdi Mahastya 2004) 85
10
“pengembangan kurikulum harus memperhatikan beberapa prinsip penting yaitu (1) prinsip relevansi, (2) prinsip fleksibelitas, (3) prinsip kontinuitas, (4) prinsip praktis dan (5) prinsip efektifitas”. 16 Lebih lanjut Sukmadinata menjelaskan: “untuk prinsip relevansi maka harus dikaitkan dengan relevansi internal dan relevansi eksternal. Relevansi internal menunjukkan keutuhan sutua kurikulum yaitu terjalinnya relevansi antara komponen-komponen kurikulum dimana terjadinya keserasian antara tujuan yang harus dicapai, isi, materi atau pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa, strategi atau metode yang digunakan serta alat penilaian untuk melihat ketercapaian tujuan. Relevansi eksternal terkait dengan keserasian tujuan, isi, proses belajar mengajar yang tercakup dalam kurikulum relevan dengan lingkungan hidup peserta didik, relevan dengan perkembangan zaman sekarang dan masa yang akan datang, relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan sehingga peserta didik mampu menyiapkan peserta didiknya untuk siap menghadapi kehidupannya di masa datang”. Berbicara kurikulum dalam kontek nasional yang penting menjadi perhatian utama kita adalah tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang tertera dalam UU No 20 tahun 2003, yang menyebutkan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq muli, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. “ Untuk bergerak menuju tujuan ini khususnya di lingkungan perguruan tinggi maka pemerintah mengeluarkan PP No 60 tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dan pada Bab II pasal 2 ayat 1 dinyatakan secara jelas tujuan pendidikan tinggi sebagai bentuk langkah konkrit dalam pencapaian tujuan nasional yaitu: 1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan,. 2. mengembangkan dan/ataumemperkaya khasanah ilmu pengetahuan teknologi dan/atau seni 3. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaanya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkuat kebudayaan nasional Ditjen Dikti Depdiknas mengidentifikasikan pengembangan kurikulum di Perguruan Tinggi setidaknya diarahkan pada empat sasaran paradigmatis yaitu: 17 “pertama mengembangkan mutu dan relevansi penyelenggaraan program studi kedua pemberdayaan perguruan tinggi untuk mandiri-bermasyarakat dalam penyelenggaraan program studi pilihannya secara santun dan bertanggungjawab ketiga mewujudkan akuntabilitas proses penyelenggaraan pendidikan tinggi yang terbuka oleh masyarakat keempat mengembangkan kebudayaan saling dapat dipercaya di kalangan masyarakat
16
Nana Syaodih Sukmadinata., Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002)., 150-151 17 Dikti, Direktorat Pengembangan Akademis dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Diknas. (2002). Panduan Penyusunan Kurikulum dan Penilaian Hasil Belajar Pendidikan Tinggi Berbasis Kompetensi. Jakarta. Ditjen Dikti Depdiknas). 2
11
perguruan tinggi melalui proses evaluasi diri yang tersistem sebagai kebutuhan dalam menjaga eksistensinya.” Sedangkan sasaran strategis yang ingin dicapai dalam pengembangan kurikulum di perguruan tinggi adalah: “pertama mampu mengakses kebutuhan tenaga kerja yang tersedia di masyarakat sesuai dengan persyaratan kompetensi yang diberlakukan secara internasional kedua dapat berperan sebagai modal intelektual (intellectual capital), yang bercirikan kemampuannya sebagai: (1) human capital, (2) structural capital, (3) relational or customer capital, dan ketiga mempunyai mobilitas tinggi ke arah vertikal dan horizontal untuk dapat mengakses lapangan kerja yang bersifat volatile, kompetitif, dan tidak menentu keberadaannya.” Dengan demikian apa yang diungkapkan oleh para pakar kurikulum dengan tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan tinggi serta rumusan sasaran paradigmatis dan strategis yang diidentifikasikan oleh Ditjen Dikti seperti gayung bersambut artinya terwujud secara nyata konsepsi yang lahir dari landasan keilmuan dengan langkah yang ingin dilaksanakan. Dengan begitu terintegrasikannya ilmu pengetahuan umum ke dalam Islam melalui desain kurikulum UIN, tidak akan dapat menjamin tercapainya manfaat yang diperlukan, manakala tidak dibarengi dengan strategi pembelajaran, yaitu: 1. Penggunaan metodologi yang tepat. 2. Pembelajaran berbasis mahasiswa (student based learning). 3. Berdasarkan pada tujuh pilar pembelajaran UNESCO, yaitu: a. Learning how to know/learning how to think (belajar mengetahui/belajar berpikir), b. Learning how to learn (belajar bagaimana belajar), c. Learning how to do (belajar berbuat), d. Learning how to live together (belajar hidup bersama), e. Learning how to be (belajar menjadi diri sendiri), f. Learning how to have a mastery of local (belajar menyesuaikan diri dengan kebutuhan lokal), g. Learning how to understand the nature/God made (belajar memahami lingkungan sekitar). Untuk mendukung strategi pembelajaran tersebut, perlu pula dikembangkan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan supportif, evidentif, dan rasionalistik. 1. Pendekatan Supportif Pendekatan rasionalistik melihat bahwa proses pendidikan di UIN, merupakan konsekuensi prinsip idealis dan eksternalisasi diri mahasiswa, dengan sejumlah harapan peran yang dicita-citakan. Karena itu, UIN harus mampu melihat kondisi seperti ini sebagai sebuah kebutuhan alami. Jaminan masa depan yang lebih baik dan jaminan kepastian hidup, merupakan konsekuensi lain yang perlu dicermati oleh UIN, agar mampu mengantarkan mahasiswanya menuju gerbang kemandirian dan cita-cita yang dinginkan. Misi utama dari pendekatan rasionalistik ini adalah melihat bahwa mahasiswa UIN sebagai suatu ikatan yang saling bertanggung jawab atas perubahan masa depan yang lebih baik. 18 2. Pendekatan evidentif Pendekatan evidentif melihat bahwa ilmu pengetahuan itu selalu berkembang menuju titik kesempurnaan. Karena itu, mahasiswa haruslah ditantang untuk lebih meningkatkan potensi dirinya melalui pencarian bukti-bukti dan fakta-fakta ilmiah yang 18
Mukhtar, , Merambah Manajemen Baru Pendidikan Islam (Jakarta, Misaka Galiza, 2003), 272
12
dapat dipertanggungjawabkan, sebagai penemuan dan hak paten. Pendekatan evidentif seperti ini akan melahirkan mahasiswa yang compatible dan marketable, bahkan go international. Pendekatan ini mencari format-format baru yang lebih manusiawi dan lebih berperadaban menuju terbentuknya UIN sebagai research university. Karakteristik yang diharapkan dari pendekatan ini adalah: a. Mahasiswa tertantang untuk mencari penemuan-penemuan sebagai ciri keilmuan. b. Mahasiswa akan aktif dan sibuk melakukan aktivitas dan kajian-kajian khusus. c. Akan lahir mahasiswa yang inovatif. 3. Pendekatan rasionalistik Pendekatan rasionalistik yaitu melihat bahwa proses pendidikan di UIN, merupakan konsekuensi prinsip idealis dan eksternalisasi diri mahasiswa, dengan sejumlah harapan peran yang dicita-citakan. Karena itu, UIN harus mampu melihat kondisi seperti ini sebagai sebuah kebutuhan alami. Jaminan masa depan yang lebih baik dan jaminan kepastian hidup, merupakan konsekuensi lain yang perlu dicermati oleh lembaga, agar mampu mengantarkan mahasiswanya menuju gerbang kemandirian dan cita-cita yang dinginkan. Misi utama dari pendekatan rasionalistik ini adalah melihat bahwa mahasiswa sebagai suatu ikatan yang saling bertanggung jawab atas perubahan masa depan yang lebih baik. 19 . Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Indonesia memiliki berbagai keunggulan untuk mampu berkembang menjadi negara maju. Keanekaragaman sumberdaya alam, flora dan fauna, kultur, penduduk serta letak geografis yang unik merupakan modal dasar yang kuat untuk melakukan pengembangan di berbagai sektor kehidupan yang pada saatnya dapat menciptakan daya saing yang unggul di dunia internasional. Dalam berbagai hal, kemampuan bersaing tersebut tidak hanya membutuhkan keunggulan dalam hal mutu akan tetapi juga memerlukan upaya‐upaya pengenalan, pengakuan, serta penyetaraan sektor‐sektor yang relevan baik secara bilateral, regional maupun internasional. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) adalah salah satu rujukan nasional untuk meningkatkan mutu dan daya saing bangsa Indonesia di sektor sumberdaya manusia melalui pencapaian kualifikasi sumberdaya manusia Indonesia yang dihasilkan oleh system pendidikan dan sistem pelatihan kerja nasional, serta sistem penilaian kesetaraan capaian pembelajaran. Peningkatan mutu dan daya saing bangsa akan sekaligus memperkuat jatidiri bangsa Indonesia. Tantangan dan persaingan global pasar tenaga kerja nasional maupun internasional yang semakin terbuka. Pergerakan tenaga kerja dari dan ke Indonesia tidak lagi dapat dibendung dengan peraturan atau regulasi yang bersifat protektif. Ratifikasi yang telah dilakukan Indonesia untuk berbagai konvensi regional maupun internasional, secara nyata menempatkan Indonesia sebagai sebuah Negara yang semakin terbuka dan mudah tersusupi oleh banyak sector termasuk sector tenaga kerja atau sumberdaya manusia pada umumnya. Oleh karena itu, agar dalam jangka pendek dan jangka panjang bangsa Indonesia mampu bertahan tetapi tetap bergerak maju di arena ekonomi global, maka pengakuan timbal balik dan setara antara kualifikasi dan capaian pembelajaran yang dimiliki tenaga kerja Indonesia dengan negara asing menjadi butir-butir yang kritis dalam pengembangan suatu kerangka kualifikasi tenaga kerja nasional. Berkaitan dengan hal tersebut maka peran yang proaktif antara penghasil tenaga kerja (Kementerian Pendidikan Nasional/ KEMDIKNAS), pengguna tenaga kerja (asosiasi industri) serta pengelola tenaga kerja (Kementerian 19
Ibid
13
Tenaga Kerja dan Transmigrasi/ KEMNAKERTRANS), asosiasi profesi, lembaga pelatihan dan pendidikan berkelanjutan) di tingkat nasional sangat diperlukan untuk secara terpadu mengembangkan kerangka kualifikasi tersebut. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) : kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dg struktur pekerjaan di berbagai sektor . 20 KKNI merupakan sistem yang berdiri sendiri dan merupakan jembatan antara sektor pendidikan dan pelatihan untuk membentuk SDM nasional berkualitas (qualified person) dan bersertifikat (certified person) melalui skema pendidikan formal, non formal, in formal, pelatihan kerja atau pengalaman kerja. KKNI juga merupakan bagian dari perwujudan jati diri Bangsa Indonesia terkait dengan system pendidikan dan pelatihan nasional yang dimiliki oleh Negara Indonesia. KKNI sendiri memiliki 9 (Sembilan) jenjang kualifikasi dimulai dari kualifikasi 1 yaitu kualifikasi terendah hingga kualifikasi 9 yaitu sebagai kualifikasi tertingi. KKNI sebagai acuan dari semua lembaga-lembaga di Indonesia seperti yang tergambar dibawah ini: Penyusunan KKNI mempunyai landasan legal yang tercakup didalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi, dan Undang‐Undang Nomor 30 tentang Ketenagakerjaan. Disamping itu KKNI ini juga disusun untuk memenuhi amanat UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan system terbuka dan multimakna. KKNI juga disusun sebagai respons dari ratifikasi yang dilakukan Indonesia pada tanggal 16 Desember 1983 dan diperbaharui tanggal 30 Januari 2008 terhadap konvensi UNESCO tentang pengakuan pendidikan diploma dan pendidikan tinggi (the international convention on the recognition of studies, Diplomas and Degrees in Higher Education in Asia and the Pasific). Konvensi tersebut disahkan dcengan peraturan Presiden nomor 103 tahun 2007 (16 November 2007). KKNI juga merupakan bagian dari perwujudan jati diri Bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan dan pelatihan nasional yang dimiliki oleh Negara Indonesia. KKNI sendiri memiliki 9 (Sembilan) jenjang kualifikasi dimulai dari kualifikasi 1 yaitu kualifikasi terendah hingga kualifikasi 9 yaitu sebagai kualifikasi tertingi. KKNI sebagai acuan dari semua lembaga-lembaga di Indonesia seperti yang tergambar dibawah ini: Gambar 1: KKNI Sebagai Acuan
20
2013), 2
POKJA 4, Rakornas APTIKOM, Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (Samarinda 1 November
14
Peran KEMENDIKBUD dalam peningkatan mutu SDM Nasional berbasis KKNI yaitu: a. Akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan melalui Penyetaraan Jenis dan Strata Pendidikan Nasional dengan KKNI b. Pengakuan Pembelajaran Lampau c. Perpindahan antara jenis dan strata pendidikan tinggi d. Sistem Penjaminan Mutu berbasis KKNI KKNI sebagai perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia dalam system pendidika nasional, system pelatihan kerja nasional serta system pengakuan kompetensi nasional, KKNI diaksudkan sebagai pedoman untuk : 21 a. Menetapkan kualifikasi capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, informal pelatihan atau pengalaman kerja; b. Menetapkan skema pengakuan kualifikasi capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, informal pelatihan atau pengalaman kerja c. Menyertakan kualifikasi antara capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, informal pelatihan atau pengalaman kerja d. Mengembangkan metode dan system pengakuan kualifikasi sumberdaya manusia dari Negara lain yang akan bekerja di Indonesia. Sebagai salah satu institusi sumber, maka KEMDIKNAS selain mempunyai tanggung jawab dalam melaksanakan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, juga mengemban tugas menghasilkan sumberdaya manusia yang bermutu bagi sector-sektor industry, dunia usaha atau pemerintahan. Oleh Karen itu kontribusi KEMDIKNAS dalam usaha meningkatkan daya saing bangsa menjadi sangat penting baik ditinjau dari sisi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni maupun pengembangan keahlian yang berbasiskan ilmu pengetahuan, teknoologi dan seni tersebut. Bersama-sama perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang berjumlah 3.016 dengan 15.364 prodi (data tahun 2009), KEMENDIKNAS secara berkelanjutan harus dapat mendorong peningkatan kapabilitas dan kapasitas setiap perguruan tinggi mengembangkan, mengelola serta menyelenggarakan kegiatan akademik yang bermutu tinggi. Walaupun demikian, sampai saat ini, disparitas mutu penyelenggaraan maupun capaian pembelajaran perguruan tinggi di Indonesia masih cukup besar. Evaluasi secara terukur terhadap penyelenggaraan dan pengelolaan kegiatan akademik sampai saat ini dilakukan secara internal oleh unit-unit system penjaminan mutu yang dikembangkan sendiri oleh masing-masing perguruan tinggi serta secara eksternal dilakukan oleh BAN PT melalui skema akreditasi. Sedangkan deskripsi kualifikasi KKNI dirumuskan dalam capaian pembelajaran diantaranya; Pertama, llmu pengetahuan (science): suatu sistem berbasis metodologi ilmiah untuk membangun pengetahuan (knowledge) melalui hasil-hasil penelitian di dalam suatu bidang pengetahuan (body of knowledge). Penelitian berkelanjutan yang digunakan untuk membangun suatu ilmu pengetahuan harus didukung oleh rekam data, observasi dan analisa yang terukur dan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman manusia terhadap gejala-gejala alam dan sosial. Kedua, Pengetahuan (knowledge): penguasaan teori dan keterampilan oleh seseorang pada suatu bidang keahlian tertentu atau pemahaman tentang fakta dan informasi yang diperoleh seseorang melalui pengalaman atau pendidikan untuk keperluan tertentu. Ketiga, Pengetahuan praktis (knowhow): penguasaan teori dan keterampilan oleh seseorang pada suatu bidang keahlian tertentu atau pemahaman tentang metodologi dan keterampilan teknis yang diperoleh seseorang melalui pengalaman atau pendidikan untuk keperluan tertentu. Keempat, Keterampilan (skill): kemampuan psikomotorik (termasuk manual dexterity dan penggunaan metode, bahan, alat dan instrumen) yang 21
Pedoman KKNI edisi Juli 2010
15
dicapai melalui pelatihan yang terukur dilandasi oleh pengetahuan (knowledge) atau pemahaman (knowhow) yang dimiliki seseorang mampu menghasilkan produk atau unjuk kerja yang dapat dinilai secara kualitatif maupun kuantitatif. Kelima, Afeksi (affection): sikap (attitude) sensitif seseorang terhadap aspek-aspek di sekitar kehidupannya baik ditumbuhkan oleh karena proses pembelajarannya maupun lingkungan kehidupan keluarga atau mayarakat secara luas. Keenam, Kompetensi (competency): akumulasi kemampuan seseorang dalam melaksanakan suatu deskripsi kerja secara terukur melalui asesmen yang terstruktur, mencakup aspek kemandirian dan tanggung jawab individu pada bidang kerjanya. Sesuai dengan ideologi Negara dan budaya Bangsa Indonesia, maka implementasi sistem pendidikan nasional dan sistem pelatihan kerja yang dilakukan di Indonesia pada setiap level kualifikasi mencakup proses yang menumbuhkembangkan afeksi sebagai berikut : 1) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 2) Memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik di dalam menyelesaikan tugasnya 3) Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air serta mendukung perdamaian dunia 4) Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat dan lingkungannya 5) Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, kepercayaan, dan agama serta pendapat/temuan orisinal orang lain 6) Menjunjung tinggi penegakan hukum serta memiliki semangat untuk mendahulukan kepentingan bangsa serta masyarakat luas. Level-level yang terbagi dalam rencana KKNI terbagi menjadi Sembilan level diantaranya: 22 Level 1 (satu); pertama, mampu melaksanakan tugas sederhana, terbatas, bersifat rutin, dengan menggunakan alat, aturan dan proses yang telah ditetapkan, serta dibawah bimbingan, pengawasan dan tanggung jawab atasanya. Kedua, memiliki pengetahuan factual, Ketiga, bertanggung jawab atas pekerjaan sendiri dan tidak bertanggung jawab atas pekerjaan orang lain. Level dua, pertama, mampu melaksanakan satu tugas spesifik decngan menggunakan alat dan informasi dan prosedur kerja yang lazim dilakukan serta menunjukkan kinerja denan mutu yang terukur dibawah pengawasan langsung atasannya. Kedua, memiliki pengetahuan operasional dasar dan pengetahuan factual di bidang kerja yang spesifik, sehingga mampu memilih pemecahan yang tersedia terhadap masalah yang lazim timbul. Ketiga, bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab membimbing orang lain. Level tiga yaitu; 1) mampu melaksanakan serangkaian tugas spesifik dengan menerjemahkan informasi dan menggunakan alat, berdasarkan sejumlah pilihan prosedur kerja, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kualitas yang terukur, yang sebagian merupakan hasil kerja sendiri dengan pengawasan tidak langsung. 2) memiliki pengetahuan operasional yang lengkap, prinsip-prinsip serta konsep umum yang terkait dengan fakta bidang keahlian tertentu, sehingga mampu menyelesaikan berbagai masalah yang lazim dengan metodce yang sesuai. 3) mampu kerjasama dan melakukan komunikasi dalam lingkup kerjanya: bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas hasil kerja orang lain. Level empat; 1) mampu menyelesaikan tugas berlingkup luas dan kasus spesifik dengan menganalisis informasi secara terbatas, memiliki metode yang sesuai dari 22
Pedoman KKNI edisi Juli 2010
16
beberapa pilihan yang baku, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur. 2) menguasai beberapa prinsip dasar bidang keahlian tertentu dan mampu menyelaraskan dengan permasalahn factual dibidang kerjanya. 3) mampu bekerja sama dan melakukan komunikasi, menyusun laporan tertulis dalam lingkup terbatas, dan memiliki inisiatif; bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas kuantitas dan mutu hasil kerja orang lain. Sedangkan level lima; 1) mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas memilih metode yang sesuai dari beragam pilihan yang sudah maupun belum baku dengan menganalisis data sertta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur. 2) menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum serta mampu memformulasikan penyelesaikan masalah procedural. 3) mampu mengelola kelompok kerja dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif; bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja kelompok. Level enam; 1) mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan IPTEKS pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi. 2) menguasai konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah procedural. 3) mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternative solusi secara mandiri dan kelompok; bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi. Level tujuh; 1) mampu merencanakan dan mengelola sumberdaya dibawah tanggung jawabnya, dan mengevaluasi secara komprehensif kerjanya dengan memanfaatkan IPTEKS untuk menghasilkan langkah-langkah pengembangan strategis organisasi. 2) mampu memcahkan permasalahan sains, teknologi dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan monodisipliner. 3) mampu melakukan riset dan mengambil keputusan strategis dengan akuntabilitas dan tanggung jawab penuh atas semua aspek yang berada di bawah tanggung jawab bidang keahliannya. Level delapan; 1) Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya atau praktek profesionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karya inovatif dan teruji. 2) Mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan inter atau multidisipliner. 3) Mampu mengelola riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi masyarakat dan keilmuan, serta mampu mendapat pengakuan nasional dan internasional. Level Sembilan; 1) Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan atau seni baru di dalam bidang keilmuannya atau praktek profesionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karya kreatif, original, dan teruji. 2) Mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan inter, multi, dan transdisipliner. 3) Mampu mengelola, memimpin, dan mengembangkan riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat manusia, serta mampu mendapat pengakuan nasional dan internasional. Penutup: Desain Kurikulum PTAI Berbasis KKNI Azyumardi Azra berpendapat bahwa desain kurikulum dapat dilihat dari perspektif perkembangan nasional dan global, maka konsep paradigma baru bagi Perguruan Tinggi Islam di
17
Indonesia sudah merupakan sebuah keharusan. 23 Hal ini akan mendukung eksistensi Perguruan Tinggi Islam (UIN, IAIN, STAIN) di masa yang akan datang. Perubahan IAIN menjadi UIN dan perubahan STAIN menjadi IAIN/UIN diharapkan mampu memberi peluang bagi rekonstruksi atau reintegrasi bangunan keilmuan, yang menjembatani ilmu-ilmu agama dan umum yang selama ini dipandang secara dikotomis. Dengan demikian lulusan UIN, IAIN dan STAIN mampu bersaing dengan perguruan tinggi umum lainnya. Selain itu para alumni adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya dan masyarakat. Membanjirnya ilmu-ilmu dan dosen ke UIN, IAIN dan STAIN sebagai konsekwensi yuridis formal atas pengembangan atau peningkatan status dengan terbukanya berbagai jurusan yang baru. Pengembangan melalui pembukaan jurusan atau fakutas baru seperti yang terdapat di perguruan tinggi umum bisa memberikan pengaruh terhadap jati diri Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, terutama untuk juusan atau fakultas ilmu agama jika tidak dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Dalam proses awal penyusunan KKNI, berbagai pembelajaran (lesson learned) telah dilakukan untuk menemukenali semua ranah permasalahan serta praktik-praktik baik (good practices) tentang inter‐relasi pendidikan dengan ketenagakerjaan melalui berbagai referensi baik yang dipublikasikan oleh KEMDIKNAS, KEMNAKERTRANS, atau sumber-sumber lain di dalam maupun di luar negeri. Pembelajaran tersebut dilengkapi pula dengan pertemuan, diskusi, seminar dan pertukaran informasi dengan berbagai pihak yang terkait, di dalam maupun diluar negeri, yang dianggap dapat memperkaya khasanah dan perbendaharaan data, informasi, regulasi atau praktikpraktik baik yang telah diimplementasikan. Pihak-pihak terkait tersebut mencakup badan-badan sertifikasi profesi, berbagai asosiasi profesi, KADIN, LPJK, pengguna langsung di lapangan seperti industry, dll. Sedangkan pembelajaran, diskusi dan petukaran informasi dengan badan kualifikasi di berbagai Negara telah pula dilakukan antara lain dengan Australia, Selandia Baru, Jerman, United Kingdom, Perancis, Jepang, dan Thailand. Proses pengembangan KKNI juga perlu membangun kesepahaman dengan badan-badan penjaminan mutu yang telah ada saat ini, seperti BAN dan BSNP di lingkungan pendidikan serta LSP/BNSP di lingkungan ketenagakerjaan. Hasil pembelajaran yang dilakukan secara intensif dan komprehensif tersebut telah memberikan beberapa landasan penting dalam pengembangan KKNI selanjutnya. Beberapa landasan penting tersebut, antara lain : 1. KKNI menganut strategi kesetaraan kualifikasi seseorang yang diperoleh dari dunia pendidikan formal, nonformal, dan informal, bahkan dari pengalaman bekerja. Hal ini sejalan dengan upaya implementasi Pasal 4 ayat (2) UU Sisdiknas tentang Pendidikan dengan Sistem Terbuka: yaitu pendidikan yang diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan tempat dan waktu penyelesaian program lintas satuan atau jalur pendidikan (multi entry‐multi exit system). Peserta didik dapat belajar sambil bekerja, atau mengambil program‐program pendidikan pada jenis dan jalur pendidikan yang berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap muka atau jarak jauh; 2. KKNI mengakui kualifikasi pemegang ijasah yang akan bekerja maupun melanjutkan pendidikan di luar negeri, pertukaran pakar dan mahasiswa lintas negara. Sebaliknya KKNI juga memberikan pengakuan kualifikasi yang sesuai bagi pemegang ijasah dari luar negeri yang akan bekerja, melanjutkan studi atau riset di Indonesia, 3. KKNI mengakui kesetaraan kualifikasi capaian pembelajaran berbagai bidang keilmuan pada tingkat pendidikan tinggi, baik yang berada pada jalur pendidikan akademik, vokasi, profesi, serta melalui pengembangan karir yang terjadi di strata kerja, industry atau asosiasi profesi. Hal ini merefleksikan sasaran yang diharapkan oleh UU SISDIKNAS 23
Azyumardi Azra, IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi. Dalam “OASIS” Jurnal Pascasarjana STAIN Cirebon Volume 1 No. 2 Juli-Desember 2008, (Cirebon: Program Pascasarjana, 2008),. 240
18
Pasal 12 ayat (1) huruf e dan huruf f, dimana setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak (e) untuk pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; dan (f) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. DAFTAR PUSTAKA Azyumardi Azra, IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi. Dalam “OASIS” Jurnal Pascasarjana STAIN Cirebon Volume 1 No. 2 Juli-Desember 2008, (Cirebon: Program Pascasarjana, 2008),. 240 Dakir., Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. (Jakarta. PT. Asdi Mahastya 2004) 85 Dikti, Direktorat., Pengembangan Akademis dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Diknas . (2002). Panduan Penyusunan Kurikulum dan Penilaian Hasil Belajar Pendidikan Tinggi Berbasis Kompetensi. Jakarta. Ditjen Dikti Depdiknas). 8 Hasan, S.H., Kurikulum berbasis kompetensi berdasarkan SK Mendiknas 232/U/2000 dan Alternatiif Pemecahannya. (Bandung: UPI 2008). 67
Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan (Jakarta : GP Press, 2010), 2. Liliana Sugiharto,. Alternatif penyusunan Kurikulum mengacu pada KKNI. 2013. 7-8 Mastuki, Catatan Refleksi: Merombak Kurikulum Perguruan Tinggi Islam. http://diktis.kemenag.go.id/index.php?artikel=lihat&jd=161 diakses tgl 3 Januari 2014 jam 3.08 Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum (Solo; Ramadani ,1991), 29 Mukhtar., Merambah Manajemen Baru Pendidikan Islam (Jakarta, Misaka Galiza, 2003), 267 Nana Syaodih Sukmadinata., Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002)., 150-151 Ornstein & Hunkins, Curriculum Foundation Principles, and Issues. (Fifth Edition. United States of America. Pearson 2009). 211 Pedoman KKNI edisi Juli 2010 POKJA 4, Rakornas APTIKOM, Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (Samarinda 1 November 2013), 2
S. Nasution , Asas-Asas Kurikulum (Jakarta : Bumi Aksara, 1994), 5. S. Nasution, Pengembangan Kurikulum (Bandung; Citra Aditya Bakti, 2003),1- 2 Wina Sanjaya., Kurikulum dan Pembelajaran. (Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI 2007). 32