Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan Sylvia Tiwon
Penulis Sylvia Tiwon adalah staf pengajar dii Berkeley University, California, USA. Editor Sri Yunanto Papang Hidayat Mufti Makaarim A. Wendy Andhika Prajuli Fitri Bintang Timur Dimas Pratama Yudha Tim Database Rully Akbar Keshia Narindra R. Balya Taufik H. Munandar Nugraha Febtavia Qadarine Dian Wahyuni Pengantar Insitute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang menjadi kontributor Tool ini, yaitu Ikrar Nusa Bhakti, Al-A’raf, Beni Sukadis, Jaleswari Pramodhawardani, Mufti Makaarim, Bambang Widodo Umar, Ali. A Wibisono, Dian Kartika, Indria Fernida, Hairus Salim, Irawati Harsono, Fred Schreier, Stefan Imobersteg, Bambang Kismono Hadi, Machmud Syafrudin, Sylvia Tiwon, Monica Tanuhandaru, Ahsan Jamet Hamidi, Hans Born, Matthew Easton, Kristin Flood, dan Rizal Darmaputra. IDSPS juga menyampaikan terima kasih kepada Tim pendukung penulisan naskah Tools ini, yaitu Sri Yunanto, Papang Hidayat, Zainul Ma’arif, Wendy A. Prajuli, Dimas P Yudha, Fitri Bintang Timur, Amdy Hamdani, Jarot Suryono, Rosita Nurwijayanti, Meirani Budiman, Nurika Kurnia, Keshia Narindra, R Balya Taufik H, Rully Akbar, Barikatul Hikmah, Munandar Nugraha, Febtavia Qadarine, Dian Wahyuni dan Heri Kuswanto. Terima kasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Geneva Center for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) atas dukungannya terhadap program ini, terutama mereka yang terlibat dalam diskusi dan proses penyiapan naskah ini, yaitu Philip Fluri, Eden Cole dan Stefan Imobersteg. IDSPS juga menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman atas dukungan pendanaan program ini.
Tool Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan Tool Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan ini adalah bagian dari Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit. Toolkit ini dirancang untuk memberikan pengenalan praktis tentang RSK di Indonesia bagi para praktisi, advokasi dan pembuat kebijakan disektor keamanan. Toolkit ini terdiri dari 17 Tool berikut : 1. Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar 2. Peran Parlemen Dalam Reformasi Sektor Keamanan 3. Departemen Pertahanan dan Penegakan Supremasi Sipil Dalam Reformasi Sektor Keamanan 4. Reformasi Tentara Nasional Indonesia 5. Reformasi Kepolisian Republik Indonesia 6. Reformasi Intelijen dan Badan Intelijen Negara 7. Desentralisasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah 8. Hak Asasi Manusia, Akuntabilitas dan Penegakan Hukum di Indonesia
9. Polisi Pamongpraja dan Reformasi Sektor Keamanan 10. Pengarusutamaan Gender di Dalam Tugas-Tugas Kepolisian 11. Pemilihan dan Rekrutmen Aktor-Aktor Keamanan 12. Pasukan Penjaga Perdamaian dan Reformasi Sektor Keamanan 13. Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan 14. Komisi Intelijen 15. Program Pemolisian Masyarakat 16. Kebebasan Informasi dan Reformasi Sektor Keamanan 17. Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor Keamanan
IDSPS Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) didirikan pada pertengahan tahun 2006 oleh beberapa aktivis dan akademisi yang memiliki perhatian terhadap advokasi Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform) dalam bingkai penguatan transisi demokrasi di Indonesia paska 1998. IDSPS melakukan kajian kebijakan pertahanan keamanan, resolusi konflik dan hak asasi manusia (policy research) mengembangkan dialog antara berbagai stakeholders (masyarakat sipil, pemerintah, legislatif, dan institusi lainnya) terkait dengan kebijakan untuk mengakselerasi proses reformasi sektor keamanan, memperkuat peran serta masyarakat sipil dan mendorong penyelesaian konflik dan pelanggaran hukum secara bermartabat. DCAF Pusat Kendali Demokratis atas Angkatan Bersenjata Jenewa (DCAF, Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces) mempromosikan tata kelola pemerintahan yang baik dan reformasi sektor keamanan. Pusat ini melakukan penelitian tentang praktek-praktek yang baik, mendorong pengembangan norma-norma yang sesuai ditingkat nasional dan internasional, membuat usulan-usulan kebijakan dan mengadakan program konsultasi dan bantuan di negara yang membutuhkan. Para mitra DCAF meliputi para pemerintah, parlemen, masyarakat sipil, organisasi-organisasi internasional dan para aktor sektor keamanan seperti misalnya polisi, lembaga peradilan, badan intelijen, badan keamanan perbatasan dan militer. Layout Nurika Kurnia Foto Sampul © Teddy, 2009 Ilustrasi cover Nurika Kurnia © IDSPS, DCAF 2009 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dicetak oleh IDSPS Press Jl. Teluk Peleng B.32, Komplek TNI AL Rawa Bambu Pasar MInggu, 12520 Jakarta-Indonesia. Telp/Fax +62 21 780 4191 www.idsps.org
i
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
Kata Pengantar Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forced (DCAF) Tool Pelatihan untuk Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Kajian Reformasi Sektor Keamanan ini ditujukan khususnya untuk membantu mengembangkan kapasitas OMS Indonesia untuk melakukan riset, analisis dan monitoring terinformasi atas isu-isu kunci pengawasan sector keamanan. Tool ini juga bermaksud untuk meningkatkan efektivitas aksi lobi, advokasi dan penyadaran akan pengawasan isu-isu keamanan yang dilakukan oleh institusi-institusi demokrasi, masyarakat sipil, media dan sektor keamanan. Kepentingan mendasar aktivitas OMS untuk menjamin peningkatan transparansi dan akuntabilitas di seluruh sektor keamanan telah diakui sebagai instrumen kunci untuk memastikan pengawasan sektor keamanan yang efektif. Keterlibatan publik dalam pengawasan demokrasi adalah krusial untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi diseluruh sektor keamanan. Keterlibatan OMS di ranah kebijakan keamanan memberi kontribusi besar pada akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik: OMS tidak hanya bertindak sebagai pengawas (watchdog) pemerintah tapi juga sebagai pedoman kepuasan publik atas kinerja institusi dan badan yang bertanggungjawab atas keamanan publik dan pelayanan terkait. Aktivitas seperti memonitor kinerja, kebijakan, ketaatan pada hukum dan HAM yang dilakukan pemerintah semua memberi masukan pada proses ini. Sebagai tambahan, advokasi oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil mewakili kepentingan komunitaskomunitas lokal dan kelompok-kelompok individu bertujuan sama yang membantu memberi suara pada aktoraktor termarjinalisasi dan membawa proses perumustan kebijakan pada jendela perspektif yang lebih luas lagi. Konsekuensinya, OMS memiliki peran penting untuk dijalankan, tak hanya di negara demokratis tapi juga di negaranegara paskakonflik, paskaotoritarian dan non demokrasi, dimana aktivitas OMS masih mampu mempengaruhi pengambilan keputusan para elit yang memonopoli proses politik. Tapi kemampuan aktor-aktor masyarakat sipil untuk berpartisipasi secara efektif dalam pengawasan sektor keamanan bergantung pada kompetensi pokok dan juga kapasitas institusi organisasi mereka. OMS harus memiliki kemampuan-kemampuan inti dan alat-alat untuk terlibat secara efektif dalam isu-isu pengawasan keamanan dan reformasi peradilan. Sering kali, kapasitas OMS tidak seimbang dan terbatas, karena kurangnya sumber daya manusia, keuangan, organisasi dan fisik yang dimiliki. Pengembangan kapasitas relevan pada kelompok-kelompok masyarakat sipil biasanya melibatkan peningkatan kemampuan, pengetahuan dan praktik untuk melakukan analisa kebijakan, advokasi dan pengawasan, seiring juga dengan kegiatan manajemen internal, manajemen keuangan, penggalangan dana dan penjangkauan keluar. OMS dapat berkontribusi dalam reformasi sektor keamanan dan pemerintahan melalui banyak cara, antara lain: • Memfasilitasi dialog dan debat mengenai masalah-masalah kebijakan • Mendidik politisi, pembuat kebijakan dan masyarakat mengenai isu-isu spesifik terkait • Memberdayakan kelompok dan publik melalui pelatihan dan peningkatan kesadaran untuk isu-isu spesifik • Membagi informasi dan ilmu pengetahuan khusus mengenai kebutuhan dan kondisi local dengan para pembuat kebijakan, parlemen dan media • Meningkatkan legitimasi proses kebijakan melalui pencakupan lebih luas akan kelompok-kelompok maupun perspektif-perspektif sosial yang ada • Mendukung kebijakan-kebijakan keamanan yang representatif dan responsif akan komunitas lokal • Mewakili kepentingan kelompok-kelompok dan komunitas-komunitas yang ada di lingkungan kebijakan • Meletakkan isu keamanan dalam agenda politik • Menyediakan sumber ahli, informasi dan perspektif yang independen • Melakukan riset yang relevan dengan kebijakan • Menyediakan informasi khusus dan masukan kebijakan • Mempromosikan transparansi dan akuntabilitas institusi-institusi keamanan • Mengawasi/memonitor reformasi dan implementasi kebijakan • Menjaga keberlangsungan pengawasan kebijakan • Mempromosikan pemerintah yang responsif
Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
ii
• Menciptakan landasan yang secara pasti mempengaruhi kebijakan dan legitimasi badan-badan di level eksekutif sesuai dengan kepentingan masyarakat
• Memfasilitasi perubahan demokrasi dengan menjaga pelaksanaan minimal standar hak asasi manusia dalam rejim demokratis dan non demokratis
• Menciptakan dan memobilisasi oposisi publik sistematis yang besar terhadap pemerintahan lokal dan nasional yang non demokratis dan non representatif Menjamin dibangun dan dikelola secara baik sektor keamanan yang akuntabel, responsif dan hormat akan segala bentuk hak asasi manusia adalah bagian dari kehidupan yang lebih baik. Pengembangan kapasitas OMS untuk memberi informasi dan mendidik publik akan prinsip-prinsip pengawasan dan akuntabilitas sektor keamanan, serta norma-norma internasional akan akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik hádala satu cara untuk membangun dukungan dan tekanan di bidang ini. Sejak 1998, demokrasi Indonesia yang semakin berkembang dan kebangkitannya sebagai aktor kunci ekonomi Asia telah memberi latar belakang pada debat reformasi sektor keamanan paska-Suharto. Fokus dari perdebatan reformasi sektor keamanan adalah kebutuhan akan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam hal kebijakan, praktik di lapangan dan penganggaran. Beberapa inisiatif yang terjadi berjalan tanpa mendapat masukan dari comunitas OMS Indonesia. Institute for Defence, Security and Peace Studies (IDSPS) telah mengelola pembuatan, implementasi dan publikasi dari Tool Pelatihan ini sebagai sebuah komponen dari pekerjaan yang terus berjalan di bidang hak asasi manusia dan tata kelola sektor keamanan yang demokratis di Indonesia. Tool ini merupakan kerangka kunci permasalahan dalam pengawasan sektor keamanan yang mudah dipahami sehingga OMS di luar Jakarta dapat mempelajari dan memiliki akses pada konsep-konsep kunci dan sumber daya relevan untuk menjalankan tugas mereka di tingkat lokal. Proyek ini adalah satu dari tiga proyek yang ditangani antara IDSPS dan Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), sementara proyek lainnya berfokus pada membangun kapasitas OMS di seluruh kawasan Indonesia untuk bekerja sama dalam isu-isu tata kelola sektor keamanan melalui berbagai pelatihan (workshop) dan pembuatan Almanak Hak Asasi Manusia dalam Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia. Tool ini menggambarkan kapasitas komunitas OMS Indonesia untuk menganalisa isu-isu pengawasan sektor keamanan dan mengadvokasi reformasi jangka panjang, tool ini juga mengindikasikan kepemilikan lokal yang menjadi pendorong internal dari proses reformasi sektor keamanan Indonesia. Akhirnya, DCAF berterimakasih pada dukungan Kementrian Luar Negeri Republik Jerman yang mendanai keseluruhan proyek ini sebagai bagian dari program dua tahun untuk mendukung pengembangan kapasitas dari reformasi sektor keamanan di Indonesia di seluruh institusi demokrasi, masyarakat sipil, media dan sektor keamanan.
Jenewa, Agustus 2009
Eden Cole Deputy Head Operations NIS and Head Asia Task Force
iii
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
Kata Pengantar Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) Penelitian Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) tentang Efektivitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Advokasi Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1998-2006 (Jakarta: IDSPS, 2008), IDSPS menyimpulkan bahwa kalangan masyarakat sipil telah melakukan pelbagai upaya untuk mendorong, mempengaruhi dan mengawasi proses-proses reformasi sektor keamanan (RSK), terutama paska 1998. Upayaupaya tersebut dilakukan seiring dengan transisi politik di Indonesia dari Rezim Orde Baru yang otoriter menuju satu rezim yang lebih demokratis dan menghargai Hak Asasi Manusia. Pelbagai upaya yang telah dilakukan kelompok-kelompok Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) tersebut antara lain berupa: (1) pengembangan wacana-wacana RSK, (2) advokasi reformulasi dan penyusunan legislasi atau kebijakan strategis maupun operasional di sektor keamanan, (3) dorongan akuntabilitas dan transparansi dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan keamanan, dan (4) pengawasan dan komplain atas penyalahgunaan dan penyimpangan kewenangan serta pelanggaran hukum yang melibatkan para pihak di level aktor keamanan, pemerintah dan parlemen, serta memastikan adanya pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran-pelanggaran tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, IDSPS mencatat bahwa peran-peran OMS dalam mengawal RSK pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono umumnya bergerak dalam orientasi yang tersebar, parsial, tanpa konsensus dan distribusi peran yang ketat, serta terkesan lebih pragmatis bila dibanding dengan perannya dalam 2 periode pemerintahan sebelumnya —pemerintahan B. J. Habibie dan pemerintahan Abdurrahman Wahid. Kecenderungan ini di satu sisi menunjukkan bahwa tantangan advokasi RSK seiring dengan perjalanan waktu, dimana konsentrasi dan kemauan politik pemerintah cenderung menurun sehingga strategi dan pola advokasi OMS berubah. Di sisi lain, seiring dengan tumbangnya Rezim Soeharto sebagai musuh bersama, kemungkinan terjadi kegamangan dalam hal isu dan strategi advokasi juga muncul. Ini ditunjukkan dalam temuan IDSPS lainnya perihal fakta bahwa OMS belum dapat menindaklanjuti opini dan wacana yang telah dikembangkannya hingga menjadi wacana kolektif pemerintah, DPR dan masyarakat sipil. Strategi advokasi yang dijalankan OMS belum diimbangi dengan penyiapan perangkat organisasi yang kredibel, jaringan kerja yang solid, komunikasi dan diseminasi informasi kepada publik yang kontinyu, serta pola kerja dan jaringan yang konsisten. Mengingat OMS merupakan salah satu kekuatan sentral dalam mengawal transisi demokrasi dan RSK sebagaimana terlihat dalam perubahan rezim politik Indonesia tahun 1997-1998, maka OMS dipandang perlu melakukan konsolidasi dan reformulasi strategi advokasinya seiring perubahan politik nasional dan global serta dinamika transisi yang kian pragmatis. Paling tidak OMS dapat memulai upaya konsolidasi dan reformasi strategi advokasinya dengan mengevaluasi dan mengkritik pengalaman advokasi yang telah dilakukannya sembali melihat efektivitas dan persinggungan stretegis di lingkungan OMS dalam memastikan tercapainya tujuan RSK. Penelitian IDSPS menyimpulkan setidaknya ada tiga pola advokasi RSK yang bisa dilakukan lebih lanjut oleh OMS. Pertama, menguatkan pengaruh di internal pemerintah dan pengambil kebijakan. Kedua, menjaga konsistensi peran kontrol dan kelompok penekan terhadap kebijak-kebijakan strategis di sektor keamanan. Ketiga, memperkuat wacana dan pemahanan tentang urgensi RSK yang dikembangkan. Berdasarkan pada temuan dan rekomendasi penelitian IDSPS di atas, muncul serangkaian inisiatif untuk menyusun agenda kerja penguatan OMS dalam mengadvokasi RSK, antara lain berupa diseminasi wacana, pelatihan-pelatihan serta upaya-upaya advokasi lainnya.
Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
iv
Buku Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan Untuk Organisasi Masyarakat Sipil; Sebuah Toolkit, merupakan serial Tool yang terdiri dari 17 topik isu-isu RSK yang relevan di Indonesia, yang disusun dan diterbitkan untuk menunjang agenda kerja penguatan OMS dalam mengadvokasi RSK di atas. Seluruh topik dan modul disusun oleh sejumlah praktisi dan ahli dalam isu-isu RSK yang selama ini terlibat aktif dalam advokasi agenda dan kebijakan strategis di sektor keamanan. Penulisan dan penerbitan Tools ini merupakan kerjasama antara IDSPS dengan Geneva Center for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), dengan dukungan pemerintah Republik Federal Jerman. Dengan adanya buku Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan Untuk Organisasi Masyarakat Sipil; Sebuah Toolkit ini, seluruh pihak yang berkepentingan melakukan advokasi RSK dan mendorong demokratisasi sektor keamanan dapat memiliki tambahan referensi dan informasi, sehingga upaya untuk mendorong kontinuitas advokasi RSK seiring dengan upaya mendorong demokratisasi di Indonesia dapat berjalan maksimal.
Jakarta, 8 September 2009
Mufti Makaarim A Direktur Eksekutif IDSPS
v
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
Daftar Isi Akronim
vii
1. Pengantar-Keamanan Sebagai “Public Good”
1
2. Beberapa Aktor Reformasi Sektor Keamanan
5
3. Pengawasan dan Pemantauan: Pentingnya Anggaran
6
4. Peran yang Dapat dimainkan oleh Organisasi Masyarakat Sipil
7
5. Catatan Tambahan untuk Pengawasan Anggaran
12
6. Daftar Pustaka
15
7. Bacaan Lanjutan
15
8. Lampiran
16
Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
vi
vii
Akronim
ABRI
Angkatan Bersenjata Republk Indonesia
ASEAN
Association of South East Asia Nation
Bappenas
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BIN
Badan Intelijen Indonesia
BPS
Badan Pusat Statistik
Brimob
Brigadir Mobile
DPRD
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
HAM
Hak Asasi Manusia
HDI
Human Development Index ata Index Pembangunan Manusia
Kapolri
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Mabes
Markas Besar
OSM
Organisasi Masyarakat Sipil
Pol. PP
Polisi Pamong Praja
Polri
Kepolisian Negara Republik Indonesia
RSK
Reformasi Sektor Keamanan
SPN
Sekolah Pegawai Negeri
TNI
Tentara Nasional Indonesia
UNDP
United Nations Development Program
UUD
Undang Undang Dasar
WTC
World Trade Center
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan 1. Pengantar-Keamanan sebagai “Public Good” Secara umum dapat dikatakan bahwa ada tiga jenis
pengawasan sektor keamanan, jenis pendekatan yang
pendekatan pada reformasi sektor keamanan: yang
dipilih serta pemahaman akan implikasi-implikasinya
pertama
akan sangat menentukan.
memusatkan
perhatian
pada
institusi
negara yang berwenang menggunakan kekuatan (force), seperti militer, polisi paramiliter (di Indonesia
Pendekatan pertama akan menuntut pemantauan
terutama Brimob), intellijen.
Pendekatan kedua
dan analisis anggaran untuk masing-masing institusi
menempatkan RSK dalam konteks yang lebih luas
sektor keamanan, dengan penekanannya yang
dengan menambahkan keamanan swasta serta
berbeda-beda. Untuk Indonesia, hal ini sudah tentu
sistem peradilan, termasuk penuntut umum serta
akan membawa persoalannya tersendiri mengingat
pengadilan.
RSK didefinisikan sebagai penyediaan
ketegangan yang masih tersisa antara TNI dengan
layanan keamanan di dalam negara dengan cara
POLRI akibat penghapusan ABRI sebagai institusi
yang efektif dan efisien, dalam kerangka kontrol sipil
pemersatunya.3
demokratis (“provision of security within the state in an
dimasukkan juga pemantauan atas fungsi intelijen,
effective and efficient manner, and in the framework
terutama BIN. Namun, umumnya dalam pendekatan
of democratic civilian control”).
Pendekatan
pertama, peran sipil lebih diutamakan pada fungsi-
ketiga meletakkan RSK sebagai unsur kunci dalam
fungsi pengawas yang dilaksanakan oleh institusi-
pembangunan untuk mencapai keamanan insani
institusi kenegaraan seperti menteri/departemen yang
(“human security”) dan berpendapat bahwa RSK perlu
bersangkutan untuk pengawasan internal dan untuk
dipahami dan ditangani secara holistik.
pengawasan dan kendali eksternal dari parlemen.
1
2
Tingkat kesulitan bertambah jika
Perlu diingat juga bahwa pendekatan pertama ini Tentu saja, setiap pendekatan ada titik-titik temu
lebih banyak berkembang karena kepedulian negara-
dengan pendekatan yang lain, dan masing-masing
negara lain untuk memfasilitasi reformasi militer
pendekatan tersebut juga mengalami perkembangan
bagi negara-negara yang baru memasuki proses
dengan
bertambahnya
demokratisasi setelah keluar dari pemerintahan
pengalaman dalam bidang yang relatif baru ini.
otoritarian berkepanjangan, terutama di negara-
Namun, adanya penekanan yang berbeda-beda masih
negara Eropa Timur setelah runtuhnya Uni Soviet, dan
menuntut supaya organisasi masyarakat sipil (OSM)
berbagai konflik yang merebak sesudahnya. Dapat
membahas dan menentukan pilihan pendekatan
dikatakan bahwa dalam pengertian tertentu, RSK
yang sesuai dengan posisi/peran yang dibayangkan
merupakan bagian integral dari penanganan kondisi
serta kapasitas yang (akan) dikembangkan. Terutama
keamanan dunia pasca-Perang Dingin.
bergulirnya
waktu
dan
dalam menggarap segi penganggaran dan monitoring/
1 2 3
Lihat Timothy Edmunds, “Security Sector Reform: Concepts and Implementation” Report for Geneva Centre for Democratic Control of Armed Forces. Workshop November 2001. Untuk kritik atas pelaksanaan RSK di Eropa, lihat misalnya Heiner Hanggi dan Fred Tanner, “Promoting Security Sector Governance in the EU’s Neighbourhood,” Chaillot Paper no. 80, Juli 2005. Walaupun perlu dicatat juga bahwa dalam tubuh ABRI pun cukup banyak ketegangan antar-matra yang tertanam, terutama dengan adanya dominasi Angkatan Darat.
Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
1
Pendekatan kedua meletakkan RSK dalam kerangka
hak yang dijamin konstitusi (pasal 28A, 28B [2], 28
yang lebih luas, dengan antara lain memasukkan
G UUD 45/amandemen) dan mempunyai kaitan erat
reformasi sistem peradilan, mekanisme pengawasan
dengan—bahkan merupakan unsur menentukan bagi—
sipil,
legal drafting untuk pengaturan anggaran
pembangunan. Sebagai contoh dikemukakan kondisi
militer, dan mencakup unsur-unsur keamanan non-
di Maluku, di mana pada masa konflik, GDP turun
negara seperti perusahaan keamanan dan intelijen
22% di Maluku Tengah dan 40% di Maluku Tenggara.
swasta.
Pendekatan kedua ini timbul antara lain
Karena itu, walaupun keamanan tidak dihitung dalam
sebagai
kritik
pertama
menentukan HDI (Human Development Index, atau
seperti yang diimplementasi atas dorongan negara-
Index Pembangunan Manusia), tanpa keamanan
negara luar (donor) yang terlihat terfragmentasi dan
(bebas dari rasa takut, bebas dari kekerasan)
walaupun didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi
masyarakat sulit memperoleh hak-hak dasarnya yang
dan menyebut pelayanan keamanan sebagai layanan
lain, seperti hak atas pendidikan, layanan kesehatan,
publik, kurang memperhatikan penanganan yang
dsb., dan Millenium Goals hampir mustahil akan
menggunakan prinsip-prinsip tersebut.
tercapai.
terhadap
pendekatan
Dengan kerangka pembangunan manusia
civil
ini, maka peran OMS menjadi sedikit lebih jelas:
society actors)—atau katakan, publik dalam negara
OMS merupakan bagian dari masyarakat sipil yang
demokratis—belum terlalu nampak.
kepentingannya
masyarakat
sipil
non-negara
(“non-state”
Peran
juga
menyangkut
keamanan yang memadai.
penyediaan
Ia tidak lagi bertindak
Pendekatan ketiga dapat dikatakan lebih “holistik”
sebagai pihak luar, melainkan sebagai pihak yang
atau utuh karena mengakui keamanan sebagai “public
langsung berkepentingan pada sesuatu yang langsung
good” dalam negara demokratis dan menempatkan
berkaitan dengan hak dasarnya.
RSK sebagai bagian integral dari proses pembangunan manusia, sehingga keamanan (atau rasa aman) tidak
Lebih jauh lagi, RSK cenderung mempunyai wawasan
hanya terpusatkan pada institusi-institusi keamanan
keamanan transnasional (lintas negara) yang semakin
(negara dan swasta) melainkan pada rasa aman
diperkuat setelah peristiwa WTC di New York tahun
warga dalam masyarakat dan komunitas. Salah satu
2001, dan kemudian di Indonesia setelah bom
dokumen penting untuk pendekatan ini di Indonesia
Bali I (dan selanjutnya hingga saat ini).
adalah The Economics of Democracy: Financing
sebagai wadah utama penjagaan, pengendalian dan
Human Development in Indonesia, yang dikeluarkan
pengawasan atas keamanan dan institusi keamanan
oleh BPS, Bappenas dan UNDP tahun 2004.4
(atau atas penggunaan kekerasan) juga mengalami
Dalam dokumen ini, sektor keamanan dimasukkan
pergeseran, baik karena kepentingan transnasional
sebagai bagian kunci dari pembangunan, terutama
tersebut, tetapi juga karena ancaman dari pengguna
pembangunan manusia, tidak hanya karena keamanan
kekerasan non-negara yang tidak hanya transnasional
yang baik akan menjamin bahwa investor luar akan
tetapi dapat dikatakan tidak mengakui negara sebagai
masuk dan modal domestik tidak lari ke luar negeri,
wadah yang legitim. Dengan demikian, terjadi juga
seperti pernah dialami Indonesia pada tahun-tahun
pergeseran pada identitas dan posisi warganegara
awal reformasi. “Security” di sini dimaknai sebagai
serta pada haknya atas keamanan sebagai “public
keamanan fisik (physical security) yang merupakan
good” dalam wadah negara. Dalam tulisan berjudul
4
2
Negara
BPS, Bappenas, UNDP, The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. National Human Development Report 2004 (dapat diperoleh dari website UNDP).
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
“Locating the Public Interest in Transnational Policing,”
sosial yang paling tebal.
Loader dan Walker berpendapat bahwa walaupun
menjawab
gerakan sosial global yang sedang berkembang
aman—yang penyebabnya juga merupakan hal sosial.
merupakan semacam penyeimbang bagi tekanan-
Keamanan tidak hanya merupakan sesuatu (good)
tekanan akibat globalisasi (pasar bebas), dibandingkan
yang disediakan oleh negara bagi warganya melainkan
dengan “tingkat negara, argumen transnasional untuk
memiliki dimensi subyektif yang kental, yaitu rasa
sebagian besar masih bersifat aspirasi ketimbang
bebas dari keresahan, kecemasan, ketakutan dalam
berpijak dalam konfigurasi penataan dan budaya
lingkungan sosial. Rasa aman (atau sebaliknya rasa
yang konkrit” (113). Dan sejauh ini, negara, sebagai
tak aman) membentuk relasi-relasi sosial yang paling
wadah bagi keterikatan demokratis warga negara
dalam. Dengan demikian, keamanan bukan sekedar
(“democratic attachment”, atau sifat afektif dan
sesuatu yang dapat dipenuhi dengan penyediaan fisik
budaya) dan penataan (“ordering”), masih merupakan
seperti pangan, infrastruktur, transportasi, pendidikan
wadah utama (walau memang bukan satu-satunya)
dsb., tetapi menjangkau dimensi kemanusiaan
bagi upaya untuk menjalankan pengawasan dan
ontologis (atau seperti dikatakan oleh Farhadian:
pengendalian terhadap penyelenggaraan keamanan.
keamanan ontologis, “ontological security” yakni, rasa
Karena itu, setiap upaya RSK (yang di Indonesia juga
aman dalam diri manusia sebagai manusia dan dalam
masih banyak disokong pihak internasional), selalu
relasinya dengan komunitasnya).6
akar
Dimensi keamanan
permasalahan—yaitu
rasa
tak
perlu diperhatikan simbiose antara sifat afektif (dimensi rasa dan budaya) dengan penataan. Posisi dan peran sebagai warganegara karenanya, harus menjadi faktor utama dalam wacana reformasi sektor keamanan, baik dari dimensi legitimasi maupun dari dimensi kepemilikan.
Tanpa memperhatikan hal ini, maka
upaya reformasi sektor keamanan mengalami apa yang oleh Loader dan Walker5 disebut sebagai “defisit legitimasi” (“legitimacy deficit”) yang berujung pada berkurangnya efektivitas dalam menyelenggarakan keamanan demi kepentingan publik. Dalam menentukan posisi dan peran organisasi masyarakat sipil maka pengertian “public good” perlu dipahami sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar hal ekonomis, atau layanan yang diberi negara kepada warganya. “Public goods” mempunyai dimensi sosial yang menonjol, dan karena keamanan mempunyai sifat yang sangat mendasar, maka di antara semua public goods lain, keamanan mempunyai dimensi
5 6
Ian Loader dan Neil Walker, 2007, dalam Crafting Transnational Policing Police Capacity-Building and Global Policing Reform, Andrew Goldsmith dan James Sheptycki, eds. Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, hal. 111-145. Charles E. Farhadian, 2001. “Reflexive Communities: The Non-Western Church as Healing Community,” Pastoral Psychology, Vol. 49, No. 3, hal. 241-250.
Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
3
Kotak 1
Bagaimana Membuat Anggaran yang Ideal?
Buku Putih Pertahanan Indonesia menyatakan bahwa jumlah anggaran ideal harusnya ”didasarkan pada rasio kebutuhan pertahanan dengan memperhatikan tingkat risiko yang dihadapi.” Namun ada faktor-faktor terkait lainnya yang harus dipertimbangkan lebih lanjut, yakni: • kondisi geopolitik negara • kondisi ekonomi nasional • skala prioritas kebutuhan • doktrin pertahanan • postur pertahanan yang sudah ada sebelumnya Dari semua itu barulah dilihat bagaimana pemerintah dapat memberikan pemenuhan anggaran pertahanan pada rasio yang proporsional. Sebagai fakta, rata-rata anggaran pertahanan di dunia, jika ini dijadikan patokan anggaran ideal, adalah 2% dari PDB, sementara Indonesia hanya mengalokasikan sekitar 1% dari PDBnya. Menambah pesimisme, ahli postur pertahanan Indonesia, Connie Rahakundini, menyatakan bahwa anggaran pertahanan Indonesia masih kurang karena inflasi. Namun tak bisa dipungkiri bahwa anggaran pertahanan Indonesia naik dari tahun 2000-2007 senilai hampir 300%, begitu juga dengan anggaran polisi. Yang perlu ditekankan adalah bukan mengejar porsi persentasi alokasi anggaran pertahanan keamanan seperti negara lain, tapi membangun kemampuan pertahanan yang berdaya tangkal, membawa stabilitas, yang pada akhirnya mendorong pembangunan nasional di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial. Anggaran Polri dalam Milyar Rupiah
Anggaran Dephan dalam Milyar Rupiah
Sumber: Buku Putih Pertahanan Indonesia 2003 & 2008, S. Yunanto, ”Reformasi Kepolisian Republik Indonesia: Baru Janji, Belum Bukti”, (Jakarta: Lesperssi, 2009), dan Connie R. Bakrie
4
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
K
2. Beberapa Aktor Reformasi Sektor Keamanan. Dalam menjalankan peran kontrol dan pengawasan
Pendekatan tersebut juga sering terlalu mengutamakan
penyelenggaraan keamanan, ada beberapa asumsi
kepentingan negara-negara mendukung. Hanggi dan
dasar, yaitu: adanya publik yang dapat diketahui
Tanner, misalnya, menunjuk pada kepentingan negara-
dan memiliki kepentingan bersama, yang bersedia
negara Eropa Barat dalam RSK bagi negara-negara
melakukan upaya bersama. Dalam hal ini, keamanan
Eropa Tengah-Timur dan Selatan yang lebih didorong
mempunyai kemiripan dengan persamaan bahasa
oleh kepentingan menjaga keamanan internal mereka,
dan budaya dalam pembentukan komunitas dan
misalnya dengan menekankan penjagaan perbatasan.
solidaritas berdasarkan rasa saling percaya. Mudah
Zygmunt Bauman bahkan menyatakan pesimismenya
dibayangkan bahwa tanpa rasa aman dan rasa saling
akibat marginalisasi peran negara berkembang yang
percaya yang merupakan dasar kehidupan bersama
seakan-akan hanya menjadi semacam “polsek” bagi
akan hilang dan komunitas itu sendiri terancam. Di
kepentingan modal/investor global.7 Sebagai upaya
Indonesia, pengalaman seperti ini sudah terlalu
menyeimbangi dominasi pendekatan negara/regional
sering dialami, dan pemulihan rasa aman tidak
RSK ini maka defisit partisipasi perlu diatasi dengan
mudah dan membutuhkan waktu yang panjang.
partisipasi utuh dari masyarakat sipil.
Namun, dimensi sosial (bahkan kemanusiaan dasar) dari “sektor keamanan” ini dalam wadah negara
Namun, masyarakat sipil juga mempunyai kelemahan
apabila tidak disertakan dengan demokratisasi (dan
yang oleh Loader dan Walker disebut sebagai
penyelenggaraan pemerintahan yang baik) mudah
“negative capacity” (atau “kapasitas negatif”), yaitu:
dialihkan kepada pendekatan keamanan seperti yang
kemungkinan terjadinya kooptasi, permasalahan
terjadi pada masa Orde Baru. Inilah sisi gelap negara
legitimasi—terutama bagi organisasi masyarakat sipil,
yang belum terlalu lama ditinggalkan di Indonesia.
dan kecenderungan untuk hanya melontarkan kritik yang bersifat umum/tidak spesifik dan normatif/
Loader dan Walker membagi pendekatan reformasi
ideal dan kurang membumi, dalam pengertian kurang
sektor keamanan dalam tiga jenis: pendekatan negara,
mampu menerjemahkan kritik menjadi kebijakan
pendekatan regional, dan pendekatan masyarakat sipil.
dan regulasi untuk melaksanakan penyelenggaraan
Menurut mereka, RSK umumnya berjalan menurut
keamanan.
pendekatan negara atau regional (seperti misalnya,
bagi OMS di Indonesia, kurangnya pengetahuan dan
Eropa atau ASEAN), dan pada umumnya pendekatan
kapasitas untuk menangani pengawasan terhadap
seperti itu membawa apa yang mereka sebut sebagai
sektor keamanan.
Dapat ditambahkan juga, khususnya
“defisit partisipasi” (“participation deficit”).
7
“Dalam dunia keuangan global, negara hanya memiliki sedikit kewenangan seperti polisi lokal: kuantitas dan kualitas dari polisi di daerahnya, efisiensi untul membersihkan jalan dari peminta-minta dan hak untuk mempenjarakan untuk pengamanan demi untuk mendapatkan ‘kepercayaan investor’ merupakan pertimbangan untuk membuat dan memberlakukan suatu kebijakan” (terjemahan bebas), dalam Goldsmith dan Sheptycki, 2007, hal. 33.
Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
5
3. Pengawasan dan Pemantauan: Pentingnya Anggaran. Mengingat
kuatnya
warisan
otoritarianisme
di
Indonesia, di mana dapat dikatakan masyarakat
dan upaya mempengaruhi keputusan-keputusan anggaran berikut.8
sipil mengalami keterpinggiran yang mendalam, maka
kurangnya
pengetahuan
dan
kapasitas
Anggaran juga merupakan pernyataan pemerintah
tidaklah mengherankan, walaupun kegigihan untuk
mengenai prioritas-prioritas utamanya. Dari anggaran
memperjuangkan demokrasi di hadapan kekuasaan
dapat diketahui pendapatan negara dari berbagai
eksekutif yang disokong oleh kekuasaan bersenjata
sumber, seperti pajak; dari pengeluarannya dapat
tak dapat dipungkiri sebagai aset awal yang penting.
diketahui pilihan-pilihan mana yang dianggap penting.
Terpulihkannya kekuasaan parlemen dan peran
Dalam proses penyusunan dan pengesahan anggaran
partai sebagai wadah perwakilan bagi kedaulatan
selalu akan terjadi gesekan kepentingan antara
rakyat—dengan segala kekurangan yang masih sangat
berbagai pihak/segmen publik mengenai prioritas, yang
kentara—merupakan langkah awal yang kemudian
diharapkan akan diselesaikan dengan kesepakatan
melahirkan pemisahan fungsi kepolisian (keamanan
yang lahir dari perdebatan yang bermakna. Khusus
internal) dari fungsi TNI (pertahanan terhadap
bagi anggaran penyelengaraan keamanan,
ancaman eksternal). Namun, fungsi pengawasan dan pemantauan sektor keamanan masih sangat lemah. Salah satu unsur kunci dalam pengawasan adalah anggaran berbagai aktor penyelenggara keamanan negara (dan swasta). Dalam
literatur
mengenai
peran
organisasi
masyarakat sipil dalam pengawasan, ada pendapat yang cukup umum bahwa perhatian pada anggaran negara merupakan hal kunci dalam partisipasi yang bermakna. Anggaran merupakan bentuk substantif dari perencanaan pemerintah sesuai dengan kebijakankebijakan yang telah dikeluarkan.
Dalam negara
demokratis, kebijakan-kebijakan tersebut merupakan produk proses partisipatif, dan analisis, pemantauan dan pengawasan terhadap anggaran merupakan cara yang baik untuk menjaga akuntabilitas pemerintah
8
6
Sumber yang baik untuk kegiatan pemantauan dan pengawasan anggaran adalah Bab 8, “Budget Analysis” oleh Teodora Fuior, dalam manual berjudul Public Oversight of the Security Sector, Eden Cole, Kerstin Eppert, Katrin Kinzelbach, eds., yang diterbitkan oleh DCAF dan UNDP, 2008.
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
4. Peran yang Dapat Dimainkan Oleh Organisasi Masyarakat Sipil. Di
Indonesia,
walaupun
berbagai
organisasi
masyarakat sipil sudah mulai mengikuti perdebatan
• Berapa persen dari anggaran negara dialokasikan pada keseluruhan sektor keamanan?
tersebut dan memberi sumbangan kepadanya, dalam
• Kompromi-kompromi antar-sektor apa yang terjadi,
hal anggaran sektor keamanan, peran ini masih terasa
dan bagaimana dampaknya pada keamanan
sangat kurang, dan sebagian besar segi anggaran
insani (human security)?
penyelenggaraan
keamanan
masih
merupakan
perbincangan yang relatif tertutup.
• Bagaimanakah
dampak
alokasi
anggaran
keamanan tersebut? Buku panduan DCAF/UNDP
9
mengakui sulitnya mengukur dampak alokasi Pada dasarnya, sistem penganggaran mempunyai
anggaran keamanan karena kurang jelasnya
daur/siklus berjalan sebagai berikut:
kebijakan/
indikator-indikator kinerja yang dapat digunakan.
legitimasi—> pendapatan—> alokasi—>pemantauan—>
Di samping itu, karena berbagai pertimbangan,
pengawasan/akuntansi dan audit —>pengesahan/
transparansi sangat berkurang dalam perumusan
legitimasi.
(Daur anggaran yang lebih singkat
anggaran sektor keamanan (terutama bagi TNI dan
dapat dibuat sebagai berikut: 1. Perumusan —> 2.
berbagai fungsi intelijen, termasuk BIN). Karena
Pengesahan—> 3. Pelaksanaan—>4. Evaluasi, yang
itu, kegiatan analisis dan pengawasan terhadap
untuk tahun berikut kembali ke permusan, lihat buku
anggaran sektor keamanan menuntut kerja yang
panduan DCAF/UNDP, 2008).
lebih berat dibandingkan dengan sektor-sektor lain (hal. 161-162). Kegiatan pengumpulan data
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan pada
faktual sering berhadapan dengan hambatan-
tingkat yang paling fundamental ialah:
hambatan besar. Salah satu cara mengupayakan
• Kebijakan mana yang dijawab oleh rancangan
penerobosan ialah mengidentifikasi pihak-pihak
anggaran (atau anggaran yang telah disahkan)?
yang dapat diajak berbicara secara informal.10
• Apakah anggaran/rancangan anggaran tersebut
Menentukan indikator dampak bagi fungsi intelijen
memadai untuk mencapai tujuan-tujuan yang
tentu lebih sulit lagi, mengingat kerahasiaan yang
telah digariskan dalam kebijakan?
perlu dijaga yang sangat menyulitkan pengawasan
• Sejauh mana prioritas diberikan kepada salah satu sektor dibandingkan dengan sektor-sektor lain?
9 10
11
dan pengendalian yang efektif.
• Bagaimana pembagian alokasi antara institusiinstitusi penyelenggara keamanan?
Prioritas-
Rancangan UU Rahasia Negara dapat berakibat semakin tertutupnya ruang partisipasi publik dalam berdebatan mengenai anggaran keamanan dan pertahanan. Membangun relasi-relasi informal dengan berbagai aktor/narasumber menjadi bagian penting dari pekerjaan pengawasan anggaran keamanan. Sangat mungkin terjadi bahwa narasumber yang bersangkutan hanya bersedia memberi keterangan “off the record” atau secara anonim. Ini tidak berarti bahwa data yang diperoleh tidak dapat digunakan, tetapi menuntut kehati-hatian dalam melakukan verifikasi dan perlindungan identitas sumber. Adanya undang-undang yang mengatur hak atas informasi (Freedom of Information Act) tentu akan sangat membantu kegiatan ini, dan mungkin merupakan upaya penting bagi OMS yang bergerak di bidang legislasi dan sektor keamanan. Namun, undang-undang seperti itu tidak juga bisa membuka tabir kerahasiaan secara keseluruhan. Analisis kebijakan walau merupakan bagian integral dari analisis anggaran tidak dibahas dalam tulisan ini secara rinci, namun penulis berpendapat bahwa pendekatan holistik yang berpegang pada nilai-nilai dan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan menitikberatkan keamanan insani merupakan dasar untuk melakukan analisis kritis terhadap kebijakan penyelenggaraan keamanan di Indonesia.
Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
7
prioritas apa yang tercermin dalam alokasi?
juga sebaiknya disertakan dengan analisis seluruh
Dalam konteks ini, salah satu pembagian alokasi
perangkat kebijakan penyelenggaraan keamanan
terpenting bagi Indonesia pasca-militerisme ialah
baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka
pembagian alokasi untuk pertahanan (menjaga
panjang.11 Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan
keamanan terhadap pihak eksternal) dengan
sebagai panduan ialah:
keamanan internal dan penegakan hukum. Sejak
penyelenggaraan keamanan menjamin rasa aman
terpisahnya POLRI dan TNI, terkesan adanya
dan rasa adil warga masyarakat?
“perebutan” baik jurisdiksi dan anggaran antara
kebijakan tersebut lebih menjamin keamanan pihak
keduanya, yang juga mudah menjadi sumber
investor (termasuk investor luar)? Walaupun investasi
ketegangan dan rasa tak aman. Bahkan di antara
merupakan bagian penting dari pengembangan
matra-matra TNI pun dapat terjadi ketegangan,
kehidupan ekonomi—juga bagi komunitas lokal—
terutama dalam hal pengadaan alutsista yang
kedua
tepat untuk pertahanan negara kepulauan,
dipertentangkan, dan sering melahirkan berbagai
regenerasi alutsista yang sudah mendesak, dan
bentuk ketegangan dan rasa tak aman yang mudah
penentuan alokasi personil bagi masing-masing
terpicu menjadi konflik terbuka.
matra yang diatur dalam kebijakan.
kelompok
sejauh mana kebijakan
kepentingan
Sejauh mana
tersebut
sering
Alokasi
anggaran bagi intelijens juga seharusnya tercermin
Beberapa pertanyaan khusus:
dalam anggaran.
Dalam buku panduan DCAF/UNDP, 2008, hal. 173, diberikan daftar unsur-unsur khusus yang termasuk
Mengingat pentingnya keamanan sebagai public good
dalam anggaran pertahanan (dengan beberapa
utama (oleh Fuior, 2008 disebut sebagai “primus inter
penyesuaian):
pares” di antara semua public goods, hal. 161), dan
Pengeluaran yang biasanya termasuk dalam anggaran
mengingat warisan militerisme yang masih cukup
pertahanan:
berbekas di Indonesia, maka analisis anggaran
Kotak 2
Sumber Anggaran TNI & Polri
Sumber anggaran TNI berdasarkan UU Pertahanan No. 3/2002 dan UU TNI no. 34/2004 hanya berasal dari APBN. Sementara dalam UU Polri No. 22/2002 tidak dijelaskan darimana sumber anggaran institusi ini, sehingga membuka peluang bagi praktek pengumpulan dana dari masyarakat yang tidak akuntabel dan transparan. Perbedaan sumber dana ini menyebabkan adanya kecemburuan TNI kepada Polri dalam masalah anggaran, belum lagi menyangkut jumlah besarannya. Jumlah anggaran yang diberikan pemerintah kepada TNI pada tahun 2009 adalah sebesar 35 triliun rupiah yang harus dibagi kedalam 5 pos (Dephan, Mabes TNI, AD, AL, dan AU). Sementara untuk Polri anggarannya sebesar 25 triliun, selain itu Polri bisa mendapat bantuan anggaran dari pemerintah daerah bagi Polda maupun Polwil. Sehingga ada kasus dimana terjadi perebutan anggaran antara TNI dan Polri. Misalnya pada tahun anggaran 2001, TNI menagih Polri sebesar Rp 95 milyar sebagai klaim pengerahan tentara pada berbagai bantuan pengamanan. Sebelumnya pada tahun anggaran 2000, Polri juga harus menyetor pada TNI Rp 75 milyar. Sumber: Nawawi Bahrudin, APBN dan Sumber Lain Biaya Pertahanan, Infid, 22 Januari 2008
8
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
• Personil (termasuk personil militer dan sipil: gaji, makanan, jaminan sosial untuk personil dan
tentu masuk anggaran pertahanan)
• Bantuan asing untuk militer (tidak masuk dalam
keluarga)
• • • •
Operasi dan pemeliharaan
anggaran negara penerima bantuan)
• Pendapatan dari kegiatan ekonomi angkatan
Pengadaan persenjataan Riset dan pengembangan
bersenjata
• konversi fasilitas pertahanan melalui privatisasi,
Bantuan militer (unsur ini terdapat dalam anggaran negara donor)
penjualan atau penyewaan
• akses pada dan eksploitasi sumberdaya alam
• Unsur-unsur terkait militer yang sering tidak dimasukkan dalam anggaran pertahanan:
• Pertahanan sipil • pertahanan ekonomi (objek vital) • pertahanan psikologis (terhadap propaganda
oleh militer
• kegiatan komersial militer (kadang tidak dikenakan pajak)
• Utang untuk belanja militer (bunga dan pengurangan nilai/amortisasi peralatan militer
musuh)
• Pengeluaran sekarang untuk kegiatan militer
yang dibiayai utang luar negeri)
• Pertukaran/barter (komoditas yang ditukar
lalu (bisa terdapat dalam anggaran berbagai departemen di luar pertahanan)
dengan sistem barter dengan peralatan militer)
• Dana kontinjensi dan dana darurat (adakalanya
• jaminan untuk veteran • program demobilisasi dan reintegrasi (di Indonesia misalnya, di Aceh)
• perubahan penggunaan fasilitas produksi senjata • penghancuran senjata • Pengeluaran untuk pertahanan di luar departemen
hanya terdapat pada suplemen atau amandemen anggaran)
• “Anggaran Hitam” – identitas, maksud dan biaya operasi rahasia tidak dirinci atau tidak diidentifikasi secara jelas dalam dokumen anggaran.
•
pertahanan (untuk satuan-satuan paramiliter; di
Yang belum termasuk dalam daftar di atas adalah
Indonesia Brimob berada di bawah Kepolisian
alokasi anggaran untuk pendidikan dan pelatihan baik
Negara);
melalui sekolah-sekolah (kodiklat) maupun berbagai
• Gaji untuk personil militer yang dipekerjakan pada
pelatihan-pelatihan khusus lain.
proyek pembangunan (seperti membangun jalan/ jembatan)
• Pembangunan/konstruksi militer (unsur ini belum
12 13 14
Juga protap untuk dalmas. Misalnya AK 47 yang dikonversi khusus untuk tugas kepolisian, revolver, dsb. Salah satu hambatan dalam penganggaran untuk polmas mungkin juga bersumber pada kurangnya pemahaman anggota legislatif mengenai prinsip dan metode polmas. Konsep mengenai “policing budget” untuk melengkapi “police budget” merupakan hal yang baru: “policing budget” juga mencakup kebutuhan untuk mendukung kegiatan komunitas dalam bermitra dengan polisi, dan mungkin lebih cocok dikembangkan di tingkat DPRD. Peraturan Kapolri no. 7, 2008 cukup membantu dalam mendalami pemahaman mengenai polmas. Salah satu masalah yang juga merupakan hambatan adalah mekanisme internal kepolisian, yang kadang-kadang kurang mengutamakan sinkronisasi institusional. Untuk keperluan polmas, perencanaan dan alokasi anggaran menuntut perubahan pendekatan dari top-down menjadi bottom-up. Alokasi anggaran harus dapat mencerminkan kebutuhan riil di lapangan, dan mengingat keragaman komunitas di Indonesia, tidak dapat dilakukan secara seragam. Desentralisasi kewenangan dari Mabes POLRI ke Polda dan terutama Polres sebagai kesatuan operasi dasar (basic command unit) sudah berjalan tetapi masih terdapat berbagai hambatan yang disebabkan, antara lain, oleh sistem manajemen yang belum secara tuntas mendukung perencanaan bottom-up, serta sistem penganggaran dan pengawasan yang masih terkesan kaku. Bagi kepolisian Indonesia, gabungan antara struktur sentral dengan desentralisasi merupakan pendekatan yang paling tepat dan diharapkan dapat memberi kelenturan yang cocok dengan keadaan lokal sambil menghindari fragmentasi yang terjadi seperti, misalnya, di Amerika Serikat. Diharapkan juga bahwa sistem pengawasan dan pengendalian sentral dapat mengurangi korupsi yang mudah terjadi dengan tekanan pada pemolisian lokal.
Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
9
Anggaran
kepolisian
juga
memuat
unsur-unsur
persentase pembiayaan pendidikan dan pelatihan
seperti biaya personil, biaya operasional, pengadaan
yang berasal dari bantuan donor luar?
Apakah ada
senjata dan peralatan khusus kepolisian, penelitian
indikator-indikator khusus untuk mengukur dampak
dan pengembangan, material dan logistik, ditambah
berbagai program pendidikan tersebut?
dengan tugas khusus kepolisian seperti Intelkam, Reskrim, Samapta, Lalu-lintas (termasuk lalu-lintas
Di samping itu, sistem manajemen dan akuntabilitas
perairan), Densus 88, Brimob, serta pendidikan
internal juga membutuhkan pembenahan. Apakah
kepolisian dari SPN hingga pendidikan lanjut dan
alokasi penganggaran memberi perhatian pada unsur
SESPIM/SESPATI.
penting ini?
Khususnya untuk peralatan
dengan spesifikasi kepolisian perlu dilihat sejauh mana pengadaan peralatan menunjang kebijakan
Penelitian dan pengembangan merupakan fungsi
POLRI
penting bagi penyelenggara keamanan maupun
dalam
pelaksanaan
prosedur-prosedur
yang sesuai dengan HAM (hal ini sekarang lebih
pertahanan.
dimungkinkan sejak dikeluarkannya Peraturan Kapolri
pengembangan menjadi sangat krusial untuk menjawab
no. 8, 2009).12
Ini menyangkut baik peralatan/
perubahan lingkungan dan berbagai pendekatan,
senjata yang tidak mematikan (non-lethal) dari yang
metodologi dan teknologi terbaru. Dalam beberapa
paling sederhana seperti borgol, tongkat polisi dan
hal kunci (misalnya, bagi kepolisian, pengembangan
alat dan pakaian pelindung sampai yang lebih canggih
metode-metode pencegahan kejahatan terbaru untuk
seperti water-cannon, dsb., serta senjata api khusus
menjawab berbagai jenis kejahatan mutakhir) juga
spesifikasi polisi13 serta pelatihan-pelatihan khusus
memerlukan kerjasama yang baik dengan masyarakat
untuk implementasi dan penggunaannya. Tidak kalah
sipil, seperti akademisi yang memiliki pengetahuan
pentingnya adalah fasilitas penahanan yang sesuai
tersebut dan dapat memberi dukungan sebagai analis
dengan standar HAM dan kepolisian internasional.
khusus. Apakah anggaran mencerminkan pentingnya
Program
unsur ini?
pemolisian
masyarakat
juga
memberi
Bagi penegak hukum, penelitian dan
peluang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat/ warga komunitas dalam penyelenggaraan keamanan
Segi kesetaraan gender juga sangat membutuhkan
dan merupakan langkah penting dalam membangun
perhatian dalam analisis anggaran dan pengawasan.
kepolisian sipil dan demokratis yang mampu menjawab
Bagi kepolisian, gender bukan sekedar ideal abstrak
kebutuhan rasa aman dan rasa adil di tingkat lokal.
yang dituntut karena adanya peraturan mengenai
Sejauh mana alokasi anggaran mencerminkan adanya
pengarusutamaan gender:
dukungan riil bagi pemolisian masyarakat?14
terhadap perempuan, baik korban maupun pelaku,
selama ini perlakuan
sangat jauh di bawah standar dilihat dari segi
10
Mengingat warisan Orde Baru yang sangat kental di
penanganan dan fasilitas seperti unit khusus untuk
sektor keamanan, dan tidak adanya transparansi
penanganan perempuan dan anak, walaupun sudah
selama itu, maka ada seperangkat unsur khusus yang
ada peraturan kapolri. Jumlah polwan sangat kurang
sangat membutuhkan perhatian. Untuk pemantapan
dibandingkan dengan warga perempuan dan anak
upaya
keamanan
yang memiliki hak akses pada keamanan. Semua ini
pendidikan dan pelatihan merupakan unsur kunci
berarti bahwa bagi perempuan—yang sering masih
bagi perubahan kultural dan mental yang diharapkan.
dilihat sebagai insan domestik di ranah privat—
Apakah anggaran memberi alokasi yang cukup untuk
keamanan sebagai public good utama masih sangat
pelatihan/pendidikan yang tepat?
jauh dari jangkauannya. Karena masih ada pemisahan
reformasi
penyelenggara
Berapa besar
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
gender yang ketat di dalam kepolisian, maka bagi
mudah merebak menjadi keresahan dan konflik
sekian banyak perempuan di seluruh Indonesia,
yang lebih tajam di kalangan masyarakat. Setidak-
hanya ada satu sekolah kepolisian (Sepolwan),
tidaknya, pendapatan dari perusahaan-perusahaan
yang tempatnya di Jakarta, sementara SPN-SPN di
swasta untuk pengamanan perlu pengawasan dan
seluruh Indonesia hanya merupakan sekolah bagi
pengendalian publik dan tidak dirahasiakan.15 Tetapi
laki-laki. Alokasi anggaran yang tepat akan sangat
lebih jauh dari itu, pendapatan-pendapatan tambahan
membantu mendobrak diskriminasi gender sistemik
bahkan pada skala yang paling kecil (termasuk
ini yang sangat merugikan lebih dari setengah warga
pungutan ilegal oleh polisi lalulintas) dan “sumbangan-
Indonesia (dengan menghitung anak laki-laki maupun
sumbangan” yang tak terkendali, juga memperdalam
perempuan yang masih membutuhkan pengasuhan
rasa kurang percaya warga kepada penyelenggara
ibu). Keterlibatan perempuan dalam fungsi intelijen
keamanan, memperbesar defisit legitimasinya, dan
tentu ada, walaupun data mengenai itu belum
menguras karakter keamanan sebagai public good
diperoleh untuk keperluan tulisan ini. Tetapi budaya
utama dalam negara demokratis: keamanan yang
maskulinis-kekerasan yang mewarnai institusi-institusi
ditopang—walau sebagian—oleh kontribusi swasta
penyelenggara keamanan memerlukan perubahan.
(legal maupun ilegal) menjadi “good” seperti komoditas lain yang diperebutkan (melawan sifat non-rival), dan
Di Indonesia, masalah yang barangkali paling
sebagian warga (biasanya yang tidak memiliki uang)
menghambat
terkucilkan dari akses kepadanya. Untuk pengawasan
auditabilitas
transparansi,
akuntabilitas
institusi-institusi
dan
penyelenggara
atas
penganggaran
sektor
keamanan,
apalagi
keamanan adalah pendapatan-pendapatan “off budget”
berkaitan dengan reformasi dan prinsip-prinsip dasar
(di luar anggaran). Pada dasarnya, dapat dikatakan
demokrasi, barangkali unsur off-budget inilah yang
bahwa ketergantungan pada penghasilan “off budget”
menjadi tantangan yang paling besar. Ikutserta OMS
cenderung “menswastakan” keamanan dan dengan
dalam melaksanakan pengawasan,
demikian mengingkari sifatnya sebagai public good,
analisis anggaran dan pemberian masukan alternatif
apalagi sebagai primus inter pares di antara semua
mengenai prioritas-prioritas alokasi bagi penyelenggara
public goods. Ketergantungan pada pendapatan di luar
keamanan merupakan tugas yang cukup berat, tetapi
anggaran merupakan warisan budaya militeristik Orde
makna akuntabilitas dan auditabilitas publik perlu
Baru yang sangat sulit diberantas dan menyebabkan
secara bertahap diperkuat dan diperdalam dengan
penyelenggara keamanan terlalu akrab dengan
menangani permasalahan yang berkaitan dengan
korupsi, ekstorsi dan berbagai usaha gelap (seperti
unsur-unsur anggaran yang sifatnya “off-budget.”
pemantauan,
misalnya perjudian, prostitusi dan human trafficking terselubung),
yang
pada
gilirannya
membuka
peluang bagi berbagai praktek gelap lain seperti yang berdampak pada keamanan penyelundupan senjata, manajemen perbatasan yang buruk, dan sebagainya. Pendapatan off-budget juga sering ditengarai sebagai pemicu ketegangan, bahkan konflik, antara institusiinstitusi penyelenggara keamanan sendiri, yang 15
Pengeluaran untuk jasa kemananan seperti itu dapat diperoleh dari laporan perusahaan kepada pemegang sahamnya, tetapi kalau perusahaan tersebut tidak menjual saham ke publik, melacak pengeluaran tersebut akan sulit sekali. Pengeluaran seperti ini tidak hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar tetapi juga pada skala yang lebih kecil, yang oleh publik sering disebut sebagai “backing” yang diberi oleh penyelenggara keamanan dalam berbagai bentuk.
Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
11
5. Catatan Tambahan untuk Kegiatan Pengawasan Penganggaran Institusi-institusi penyelenggara keamanan mana yang akan dijadikan fokus?
• Sistem pendidikan
(misalnya: pengembangan
kurikulum dasar, pengembangan manajemen, litbang)
• Pembenahan
Tingkat Nasional: TNI, BIN, POLRI. Tingkat Daerah: Pol. PP, dsb.
pembenahan
Swasta: ?
manajemen)
sistem sistem
internal
(misalnya
pengawasan
internal,
Walaupun akan memusatkan perhatian pada satu
• Penguatan Unit-Unit PPA yang ada di tingkat Polres,
institusi, wawasan yang juga mencakup institusi-
penyampaian layanan PPA ke tingkat Polsek, di
institusi penyelenggara keamanan (dan mungkin
mana kebanyakan perempuan dan anak berada.
peradilan) tetap dibutuhkan.
2. Apakah alokasi anggaran menjawab permasalahan tersebut?
Siapakah aktor-aktor kunci dalam penyusunan anggaran dan pengawasan institusi-institusi penyelenggara keamanan?
3. Bagaimana alokasi tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu? (apakah menunjukkan kecenderungan ke arah lebih baik? Atau sebaliknya terjadi
Eksekutif:
Menteri Pertahanan dan Keamanan,
Sektretaris Negara
pemotongan alokasi?) 4. Adakah bagian yang tidak memperoleh alokasi
Legislatif: Komisi I, Komisi III, Panitia Anggaran.
atau
Yudikatif: Apabila terjadi penyimpangan penggunaan
Bagaimana seharusnya?
anggaran, apakah ada mekanisme untuk melakukan koreksi
(karena
anggaran
sebagai
undang-undang,
negara
maka
disahkan
penyimpangan/
alokasinya
terlaku
kecil?
Kenapa?
5. Pemantauan: bagaimana proses pengeluaran? Apakah sesuai dengan target? Apakah ada alokasi yang tidak terpakai atau dialihkan?
Kenapa?
penyalahgunaan merupakan pelanggaran hukum).
(karena kendala internal, misalnya kelemahan
Tingkat daerah: Gubernur, Bupati, DPRD
manajemen? Kendala eksternal?)
Berkaitan dengan aktor keamanan swasta: lembaga mana
yang
menjalankan
fungsi
pengendalian,
pengawasan dan penjaga mutu?
6. Apakah penyerapan dana efisien? (alokasi dipakai tetapi tidak efisien untuk mencapai tujuan yang diinginkan) 7. Bagaimana
Beberapa pertanyaan konkrit awal untuk membantu analisis anggaran:
mekanisme
perencanaan
dan
pengawasan internal? 8. Apakah sistem audit sudah cukup dan efektif? 9. Apakah proses pemeriksaan, pengesahan dan
1. Permasalahan apa yang perlu dijawab? Misalnya:
dan memahami persoalan yang berkaitan dengan
• Alutsista • Kesejahteraan personil
penyelenggaraan keamanan?
• Pelatihan-pelatihan khusus (misalnya: Hak Asasi Manusia)
12
pengawasan oleh DPR dilakukan dengan baik Adakah komisi
khusus yang bertanggungjawab untuk mengawasi hal-hal yang dianggap sebagai rahasia? Apakah mereka sudah memperoleh “security clearance”
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
yang memadai?
(keseluruhan atau dengan fokus pada satu atau beberapa unsur)
Peran OMS dalam pemantauan penganggaran:
2. Dalam legalisasi anggaran:
• Mengingat beratnya pekerjaan dan keahlian yang dibutuhkan maka sebaiknya dilakukan semacam analisis kapasitas sendiri dan arah pengembangan yang realistis sebelum menentukan pilihan.
pengesahan anggaran
• menyusun rangkuman anggaran yang analitis dan kritis. 3. Implementasi:
Mengingat keamanan sebagai public good berkenaan dengan rasa aman dan rasa adil komunitas setempat, perlu dilakukan analisis keadaan keamanan pada komunitas tempat OMS berada/bergerak. Apa yang mengganggu rasa aman dan rasa adil?
mengupayakan keterbukaan dalam proses
Apa saja
• melakukan advokasi anggaran • memantau dampak 4. Audit:
• mengukur dampak • meneliti input dan output • menyusun rekomendasi untuk tahun berikut.
ancaman-ancaman pada rasa aman dan rasa adil? Alangkah baiknya jika dapat dilakukan pemetaan lokal
Untuk melakukan kegiatan pengawasan anggaran
untuk membantu menentukan prioritas-prioritas yang
penyelengaraan keamanan dibutuhkan:
kemudian tercermin pada tingkat yang lebih tinggi/ nasional.
• riset faktual (tentu di tingkat nasional, tetapi di tingkat lokal/komunitas ini sangat perlu dan sering terlupakan)
Dibutuhkan peembagian kerja menurut pengetahuan/ keahlian dan lokasi. Lakukan dentifikasi kebutuhan OMS:
pelatihan
khusus, pendidikan lanjut sesuai dengan kegiatan yang akan dilakukan.
• perumusan tujuan yang realistis • mengupayakan solusi yang positif • membangun kemitraan/aliansi, juga dengan narasumber
• merumuskan pesan yang jelas baik bagi penyelenggara negara, institusi-institusi keamanan dan perangkat pengawasnya,
Monitoring:
tetapi juga jelas bagi warga komunitas dan memperoleh persetujuan dari warga.
Memantau pengeluaran: (misalnya:
pada titik-titik mana?
pengadaan alutsista, penyelengaraan
pendidikan dasar, lanjutan. Untuk tingkat komunitas: misalnya jumlah personil polisi dengan pendidikan HAM dan polmas yang memadai, yang juga memiliki dukungan yang memadai sehingga tidak perlu minta kepada masyarakat.) Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh OMS: 1. Dalam perumusan anggaran:
• melakukan identifikasi kebutuhan • menyusun usulan anggaran alternatif Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
13
Kotak 3
Ketika Aktor-Aktor Sektor Keamanan Berbisnis
Terdapat tiga jenis bisnis yang berjalan di lingkungan aktor keamanan di Indonesia; koperasi, yayasan dan perorangan yang biasanya mempunyai kaitan dengan institusi keamanan. Bisnis polisi maupun militer sudah berlangsung sejak Orde Baru berkuasa. Di lingkungan Polri, bisnis itu ada yang sejalan dengan wewenang yang dimiliki, seperti bisnis di bidang pengadaan sarana administrasi SIM, STNK, BPKB, plat nomor kendaraan dan asuransi kecelakaan lalulintas. Sementara di lingkungan TNI, terdapat yayasan milik AD, AL, AU yang bergerak di berbagai bidang mulai dari transportasi, logging, hingga perbankan. Penanganan bisnis Polri berbeda dengan pengananan bisnis militer. Saat ini persoalan yang berkaitan dengan bisnis militer sudah mendapatkan pehatian kalangan OMS yang luas dan kerangka hukum yang jelas dalam pasal 76 UU TNI No.34/2004, walaupun implementasinya belum berjalan karena hingga Juli 2009 belum ada satu bisnis militer pun yang diambil alih pemerintah. Hingga saat ini kajian tentang bisnis Polri masih sangat minim. Kerangka hukumnya pun belum jelas. UU tentang Polri tidak menyebutkan arah yang jelas tentang bisnis Polri ini. Keterlibatan aktor keamanan dalam bisnis akan mempengaruhi profesionalitas, independesi dan asas keadilan dalam memberikan pelayanan. Selain itu, belum adanya kerangka penanganan bisnis Polri juga menimbulkan kecemburuan di kalangan Militer yang keterlibatannya dalam bisnis juga telah diusik melalui beberapa kajian dan bahkan UU. Sumber: S. Yunanto, ”Reformasi Kepolisian Republik Indonesia: Baru Janji, Belum Bukti”, (Jakarta: Lesperssi, 2009), Tesis Fitriani, Study of Indonesian Government’s Policy Implementation in Separating Military from Business, ITB 2009
14
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
6. Daftar Pustaka
7. Bacaan Lanjutan
Buku Putih Pertahanan Indonesia 2003 & 2008
Connie R. Bakrie. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007
S. Yunanto. ”Reformasi Kepolisian Republik Indonesia: Baru Janji, Belum Bukti”. Jakarta: Lesperssi, 2009 Connie R. Bakrie. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007 Timothy Edmunds. “Security Sector Reform: Concepts and Implementation” Report for Geneva Centre for Democratic Control of Armed Forces. Workshop November 2001 Heiner Hanggi dan Fred Tanner. “Promoting Security Sector Governance in the EU’s Neighbourhood”. Chaillot Paper. No. 80, Juli 2005 BPS, Bappenas, UNDP. The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. National Human Development Report Andrew Goldsmith dan James Sheptycki, eds. Crafting Transnational Policing Police Capacity-Building and Global Policing Reform, Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2007 Charles E. Farhadian. “Reflexive Communities: The Non-Western Church as Healing Community,” Pastoral Psychology, Vol. 49, No. 3, 2001 Teodora Fuior. Oversight of the Security Sector, Eden Cole, Kerstin Eppert, Katrin Kinzelbach, eds. DCAF dan UNDP, 2008
Michael E. O’Hanlon. Budgeting for Hard Power: Defense and Security Spending Under Barack Obama. Brooking Institution Press, 2009 Gary Schmitt. Of Men and Materiel: The Crisis in Defense Spending. London: AEI Press, 2007. Departemen Pertahanan RI. Mempertahankan Tanah Air Abad 21, 2008 Marpaung, Rusdi. et al. (ed). Dinamika Reformasi Sektor Keamanan. Jakarta: Pro Patria, 2005. Nurhasim, Moch. (ed). Praktek-praktek Bisnis Militer: Pengalaman Indonesia,Burma, Filipina, dan Korea Selatan. Jakarta: The RIDEP Institute-FES, 2003. Stanley (ed). Indonesia di Tengah Transisi. Jakarta: Propatria, 2000 Sukadis, Beni. Eric Hendra (ed). Menuju TNI yang Profesional: Restrukturisasi Bisnis TNI. Lesperssi, 2005 Widjajanto, Andi (ed). Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia. Jakarta: Pro Patria, 2004. Widoyoko, Danang, et. al. Bisnis Militer Mencari Legitimasi. Jakarta: ICW & NDI, 2003.
Peraturan Kapolri No. 7/2008
Yunanto, Sri. Et al. Evaluasi Kolekstif Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia: TNI dan Polri. Jakarta: The RIDEP Institute-FES, 2005.
Indonesia Human Development Report 2004, Economics of Democracy. BPS, Bappenas, UNDP, 2004
Reiffel, Lex and Jaleswari Pramodhawardani, Menggusur Bisnis Militer: Tantangan Pembiayaan TNI Melalui APBN. Bandung: Mizan, 2007.
Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
15
8. Lampiran PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 80 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dipandang perlu menyesuaikan beberapa ketentuan dan istilah di dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005 agar selaras dengan kedua undang-undang dimaksud; b. bahwa untuk lebih meningkatkan transparansi dan kompetisi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah serta untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan negara, dipandang perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai tata cara pengumuman dalam rangka pengadaan barang/jasa pemerintah; c. bahwa untuk lebih memperoleh hasil yang maksimal dalam pelaksanaan sertifikasi bagi Pejabat Pembuat Komitmen dan panitia/pejabat pengadaan dalam rangka meningkatkan kompetensi keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah, dipandang perlu mengatur kembali batas waktu kewajiban syarat sertifikasi bagi Pejabat Pembuat Komitmen dan panitia/pejabat pengadaan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah; d. bahwa sehubungan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu mengubah Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3956); 3. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212), sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4418); 4. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 80 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH.
16
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
Pasal I Beberapa ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4330) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005, diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 8 dan angka 9 diubah, dan ditambah 3 (tiga) angka baru yakni angka 23, angka 24 dan angka 25, serta diantara angka 1 dan angka 2 disisipkan 3 (tiga) angka baru yakni angka 1a, angka 1b, dan angka 1c, dan diantara angka 8 dan angka 9 disisipkan 1 (satu) angka baru yakni angka 8a, serta ketentuan angka 2, angka 4, angka 5, angka 6, dan angka 7 dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: ”Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini, yang dimaksud dengan: 1. Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa; 1a. Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI)/Pemimpin Badan Hukum Milik Negara (BHMN)/Direksi Badan Usaha Negara Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pemilik pekerjaan, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. 1b. Pengguna Anggaran adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 1c. Kuasa Pengguna Anggaran adalah pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Anggaran untuk menggunakan anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah. 2. Dihapus. 3. Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang/layanan jasa; 4. Dihapus. 5. Dihapus. 6. Dihapus. 7. Dihapus. 8. Panitia pengadaan adalah tim yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran/ Dewan Gubernur BI/ Pimpinan BHMN/ Direksi BUMN/ Direksi BUMD, untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/ jasa. 8a. Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit) adalah satu unit yang terdiri dari pegawaipegawai yang telah memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah, yang dibentuk oleh Pengguna Anggaran/Gubernur/Bupati/Walikota/Dewan Gubernur BI/Pimpinan BHMN/Direksi BUMN/Direksi BUMD yang bertugas secara khusus untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa di lingkungan Departemen/Lembaga/Sekretariat Lembaga Tinggi Negara/Pemerintah Daerah/Komisi/BI/BHMN/BUMN/BUMD. 9. Pejabat pengadaan adalah 1 (satu) orang yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur BI/Pimpinan BHMN/Direksi BUMN/Direksi BUMD untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 10. Pemilihan penyedia barang/jasa adalah kegiatan untuk menetapkan penyedia barang/jasa yang akan ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan. 11. Barang adalah benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yang meliputi bahan baku, barang setengah jadi, barang jadi/peralatan, yang spesifikasinya ditetapkan Pejabat Pembuat Komitmen sesuai penugasan Kuasa Pengguna Anggaran. 12. Jasa Pemborongan adalah layanan pekerjaan pelaksanaan konstruksi atau wujud fisik lainnya yang perencanaan teknis dan spesifikasinya ditetapkan Pejabat Pembuat Komitmen sesuai penugasan Kuasa Pengguna Anggaran dan proses serta pelaksanaannya diawasi oleh Pejabat Pembuat Komitmen. Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
17
13. Jasa Konsultansi adalah layanan jasa keahlian profesional dalam berbagai bidang yang
14. 15.
16.
17. 18. 19. 20.
21.
22. 23. 24. 25.
meliputi jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi, dan jasa pelayanan profesi lainnya, dalam rangka mencapai sasaran tertentu yang keluarannya berbentuk piranti lunak yang disusun secara sistematis berdasarkan kerangka acuan kerja yang ditetapkan Pejabat Pembuat Komitmen sesuai penugasan Kuasa Pengguna Anggaran. Jasa lainnya adalah segala pekerjaan dan/ atau penyediaan jasa selain jasa konsultansi, jasa pemborongan, dan pemasokan barang. Sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah adalah tanda bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan profesi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah yang diperoleh melalui ujian sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa nasional dan untuk memenuhi persyaratan seseorang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen atau panitia/pejabat pengadaan atau anggota Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit). Dokumen pengadaan adalah dokumen yang disiapkan oleh panitia/pejabat pengadaan/ Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit) sebagai pedoman dalam proses pembuatan dan penyampaian penawaran oleh calon penyedia barang/jasa serta pedoman evaluasi penawaran oleh panitia/pejabat pengadaan atau Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit). Kontrak adalah perikatan antara Pejabat Pembuat Komitmen dengan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Usaha kecil termasuk koperasi kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Surat jaminan adalah jaminan tertulis yang dikeluarkan bank umum/lembaga keuangan lainnya yang diberikan oleh penyedia barang/jasa kepada Pejabat Pembuat Komitmen untuk menjamin terpenuhinya persyaratan/kewajiban penyedia barang/jasa. Kemitraan adalah kerjasama usaha antara penyedia barang/jasa dalam negeri maupun dengan luar negeri yang masing-masing pihak mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab yang jelas, berdasarkan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam perjanjian tertulis. Pakta integritas adalah surat pernyataan yang ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen /panitia pengadaan/pejabat pengadaan/ Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit)/ penyedia barang/jasa yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Pekerjaan kompleks adalah pekerjaan yang memerlukan teknologi tinggi dan/atau mempunyai resiko tinggi dan/atau menggunakan peralatan didesain khusus dan/atau bernilai di atas Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Surat kabar nasional adalah surat kabar yang beroplah besar dan memiliki peredaran luas secara nasional, yang tercantum dalam daftar surat kabar nasional yang ditetapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika. Surat kabar provinsi adalah surat kabar yang beroplah besar dan memiliki peredaran luas di daerah provinsi, yang tercantum dalam daftar surat kabar yang ditetapkan oleh Gubernur. Website pengadaan nasional adalah website yang dikoordinasikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas untuk mengumumkan rencana pengadaan barang/jasa di Departemen/Lembaga/Komisi/BI/Pemerintah Daerah/BHMN/BUMN/BUMD dan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.”
2. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: ”Pasal 4 Kebijakan umum pemerintah dalam pengadaan barang/jasa adalah: a. meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri, rancang bangun dan perekayasaan nasional yang sasarannya adalah memperluas lapangan kerja dan mengembangkan industri dalam negeri dalam rangka meningkatkan daya saing barang/jasa produksi dalam negeri pada perdagangan internasional;
18
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
b. meningkatkan peran serta usaha kecil termasuk koperasi kecil dan kelompok masyarakat
dalam pengadaan barang/jasa;
c. menyederhanakan ketentuan dan tata cara untuk mempercepat proses pengambilan
keputusan dalam pengadaan barang/jasa;
d. meningkatkan profesionalisme, kemandirian dan tanggung jawab pengguna barang/jasa, e. f. g. h. i.
panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang/jasa; meningkatkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan; menumbuhkembangkan peran serta usaha nasional; mengharuskan pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa dilakukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; mengharuskan pengumuman secara terbuka rencana pengadaan barang/jasa kecuali yang bersifat rahasia, pada setiap awal pelaksanaan anggaran kepada masyarakat luas; mengumumkan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah secara terbuka melalui surat kabar nasional dan/atau surat kabar provinsi.”
3. Diantara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut: ”Pasal 4A (1) Pemilihan surat kabar nasional dan surat kabar provinsi sebagai dimaksud dalam Pasal 4 huruf i, dilakukan sesuai tata cara pemilihan penyedia barang/jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini. (2) Pemilihan surat kabar nasional dan surat kabar provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas untuk surat kabar nasional dan Gubernur untuk surat kabar provinsi. (3) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Gubernur melaksanakan pemilihan surat kabar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan daftar surat kabar yang beroplah besar dan memiliki peredaran luas yang dikeluarkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika. (4) Segala biaya yang timbul dalam rangka pemilihan surat kabar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.” 4. Ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6), sehingga berbunyi sebagai berikut: ”Pasal 9
(1) Pejabat Pembuat Komitmen harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki integritas moral; b. memiliki disiplin tinggi; c. memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan
tugas yang dibebankan kepadanya;
d. memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah; e. memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, bertindak tegas dan keteladanan
dalam sikap dan perilaku serta tidak pernah terlibat KKN.
(2) Pejabat Pembuat Komitmen diangkat dengan surat Keputusan Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BHMN/ Direksi BUMN/BUMD.
(3) Tugas pokok Pejabat Pembuat Komitmen dalam pengadaan barang/jasa adalah:
a. menyusun perencanaan pengadaan barang/jasa; b. menetapkan paket-paket pekerjaan disertai ketentuan mengenai peningkatan penggunaan produksi dalam negeri dan peningkatan pemberian kesempatan bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil, serta kelompok masyarakat; c. menetapkan dan mengesahkan harga perkiraan sendiri (HPS), jadual, tata cara pelaksanaan dan lokasi pengadaan yang disusun oleh panitia pengadaan/ pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan; d. menetapkan dan mengesahkan hasil pengadaan panitia/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan sesuai kewenangannya; Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
19
e. menetapkan besaran uang muka yang menjadi hak penyedia barang/jasa sesuai ketentuan yang berlaku; f. menyiapkan dan melaksanakan perjanjian/kontrak dengan pihak penyedia barang/jasa; g. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian pengadaan barang/jasa kepada pimpinan instansinya; h. mengendalikan pelaksanaan perjanjian/kontrak; i. menyerahkan aset hasil pengadaan barang/jasa dan aset lainnya kepada Menteri/Panglima TNI/Kepala Polri/Pimpinan Lembaga/Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara/ Pimpinan Kesekretariatan Komisi/Gubernur/ Bupati/Walikota/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BHMN/ Direksi BUMN/BUMD dengan berita acara penyerahan; j. menandatangani pakta integritas sebelum pelaksanaan pengadaan barang/jasa dimulai. (4) Pejabat Pembuat Komitmen dilarang mengadakan ikatan perjanjian dengan penyedia barang/jasa apabila belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran yang akan mengakibatkan dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan/proyek yang dibiayai dari APBN/APBD. (5) Pejabat Pembuat Komitmen bertanggung jawab dari segi administrasi, fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang dilaksanakannya. (6) Pejabat Pembuat Komitmen dapat melaksanakan proses pengadaan barang/jasa sebelum dokumen anggaran disahkan sepanjang anggaran untuk kegiatan yang bersangkutan telah dialokasikan, dengan ketentuan penerbitan surat penunjukan penyedia barang/jasa (SPPBJ) dan penandatangan kontrak pengadaan barang/jasa dilakukan setelah dokumen anggaran untuk kegiatan/proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disahkan.” 5. Judul Paragraf Kedua Bagian Kedua Bab II diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: ”Paragraf Kedua Pembentukan, Persyaratan, Tugas Pokok dan Keanggotaan Panitia/Pejabat Pengadaan/Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit)” 6. Ketentuan Pasal 10 ayat (8) diubah, dan di antara Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) disisipkan satu ayat, yakni ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 10 (1) Panitia pengadaan wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Untuk pengadaan sampai dengan nilai Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dilaksanakan oleh panitia atau pejabat pengadaan. (2a) Pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilaksanakan oleh Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit). (3) Anggota panitia pengadaan/pejabat pengadaan/anggota unit layanan pengadaan berasal dari pegawai negeri, baik dari instansi sendiri maupun instansi teknis lainnya. (3a) Dalam hal pengadaan barang/jasa dilakukan oleh Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, anggota panitia pengadaan berasal dari instansinya sendiri atau instansi teknis Pemerintah, dan dapat menyertakan pihak lain yang ditunjuk oleh Kepala Badan pelaksana. (4) Panitia/pejabat pengadaan/anggota unit layanan pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) di atas harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki integritas moral, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas; b. memahami keseluruhan pekerjaan yang akan diadakan; c. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas panitia/pejabat pengadaan/ unit layanan pengadaan yang bersangkutan; 20
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
(5)
(6)
(7) (8)
d. memahami isi dokumen pengadaan/metode dan prosedur pengadaan berdasarkan Keputusan Presiden ini; e. tidak mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat yang mengangkat dan menetapkannya sebagai panitia/pejabat pengadaan/anggota unit layanan pengadaan; f. memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah. Tugas, wewenang, dan tanggung jawab pejabat/panitia pengadaan/Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit) meliputi sebagai berikut: a. menyusun jadual dan menetapkan cara pelaksanaan serta lokasi pengadaan; b. menyusun dan menyiapkan harga perkiraan sendiri (HPS); c. menyiapkan dokumen pengadaan; d. mengumumkan pengadaan barang/jasa di surat kabar nasional dan/atau provinsi dan/atau papan pengumuman resmi untuk penerangan umum, dan diupayakan diumumkan di website pengadaan nasional; e. menilai kualifikasi penyedia melalui pascakualifikasi atau prakualifikasi; f. melakukan evaluasi terhadap penawaran yang masuk; g. mengusulkan calon pemenang; h. membuat laporan mengenai proses dan hasil pengadaan kepada pejabat pembuat komitmen dan/atau pejabat yang mengangkatnya: i. menandatangani pakta integritas sebelum pelaksanaan pengadaan barang/jasa dimulai. Panitia berjumlah gasal beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang yang memahami tata cara pengadaan, substansi pekerjaan/kegiatan yang bersangkutan dan bidang lain yang diperlukan, baik dari unsur-unsur di dalam maupun dari luar instansi yang bersangkutan. Pejabat pengadaan hanya 1 (satu) orang yang memahami tata cara pengadaan, substansi pekerjaan/kegiatan yang bersangkutan dan bidang lain yang diperlukan, baik dari unsurunsur di dalam maupun dari luar instansi yang bersangkutan. Dilarang duduk sebagai panitia/pejabat pengadaan/anggota Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit): a. Pejabat Pembuat Komitmen dan bendahara; b. Pegawai pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)/Inspektorat Jenderal Departemen/Inspektorat Utama Lembaga Pemerintah Non Departemen/Badan Pengawas Daerah Propinsi/ Kabupaten/Kota, Pengawasan Internal BI/BHMN/BUMN/BUMD kecuali menjadi panitia/pejabat pengadaan/anggota unit layanan pengadaan untuk pengadaan barang/jasa yang dibutuhkan instansinya; c. Pejabat yang bertugas melakukan verifikasi surat permintaan pembayaran dan/atau pejabat yang bertugas menandatangani surat perintah membayar.”
7. Ketentuan Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 17 (1) Dalam pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya, pada prinsipnya dilakukan melalui metoda pelelangan umum. (2) Pelelangan umum adalah metoda pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional dan/atau satu surat kabar provinsi. (3) Dalam hal jumlah penyedia barang/jasa yang mampu melaksanakan diyakini terbatas dan untuk pekerjaan yang kompleks, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan metoda pelelangan terbatas dan diumumkan secara luas sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional dan/atau satu surat kabar provinsi dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang mampu, guna memberi kesempatan kepada penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi. (4) Dalam hal metode pelelangan umum atau pelelangan terbatas dinilai tidak efisien dari segi biaya pelelangan, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan metoda pemilihan langsung, yaitu pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 (tiga) Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
21
penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta harus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bila memungkinkan melalui internet. (5) Dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.” 8. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan satu pasal, yakni Pasal 20A yang berbunyi sebagai berikut: “Pasal 20A Pengumuman pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dengan metode pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan metode pelelangan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) wajib dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk pengadaan dengan metode pelelangan umum yang bernilai sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) diumumkan sekurang-kurangnya di: 1) satu surat kabar provinsi di lokasi kegiatan bersangkutan; 2) satu surat kabar nasional, dalam hal jumlah penyedia barang/jasa yang mampu melaksaanakan kegiatan tersebut yang berdomisili di provinsi setempat kurang dari 3 (tiga) penyedia barang/jasa. b. untuk pengadaan dengan metode pelelangan umum/terbatas yang bernilai sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) diumumkan sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional dan satu surat kabar provinsi di lokasi kegiatan bersangkutan.” 9. Ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 22 (1) Pemilihan penyedia jasa konsultansi pada prinsipnya harus dilakukan melalui seleksi umum, dan dalam keadaan tertentu pemilihan penyedia jasa konsultansi dapat dilakukan melalui seleksi terbatas, seleksi langsung atau penunjukan langsung. (2) Seleksi umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan metode pemilihan penyedia jasa konsultansi yang daftar pendek pesertanya dipilih melalui proses prakualifikasi yang diumumkan secara luas sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional dan/atau satu surat kabar provinsi. (3) Seleksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan metode pemilihan penyedia jasa konsultansi untuk pekerjaan yang kompleks dan diyakini jumlah penyedia jasa yang mampu melaksanakan pekerjaan tersebut jumlahnya terbatas, dan diumumkan secara luas sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional dan/atau satu surat kabar provinsi dengan mencantumkan penyedia jasa yang mampu guna memberi kesempatan kepada penyedia jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi. (4) Dalam hal metode seleksi umum atau seleksi terbatas dinilai tidak efisien dari segi biaya seleksi, maka pemilihan penyedia jasa konsultansi dapat dilakukan dengan seleksi langsung, yaitu metode pemilihan penyedia jasa konsultansi yang daftar pendek pesertanya ditentukan melalui proses prakualifikasi terhadap penyedia jasa konsultansi yang dipilih langsung dan diumumkan sekurang-kurangnya di papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan diupayakan diumumkan di website pengadaan nasional. (5) Dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia jasa konsultansi dapat dilakukan dengan menunjuk satu penyedia jasa konsultansi yang memenuhi kualifikasi dan dilakukan negosiasi baik dari segi teknis maupun biaya sehingga diperoleh biaya yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.” 10. Di antara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 25A, sehingga berbunyi sebagai berikut: 22
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
“Pasal 25A (1) Untuk pengadaan jasa konsultansi dengan metode seleksi umum/seleksi terbatas dengan nilai diatas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) wajib diumumkan sekurangkurangnya di satu surat kabar nasional dan satu surat kabar provinsi di lokasi kegiatan bersangkutan. (2) Untuk pengadaan jasa konsultansi dengan metode seleksi umum yang bernilai sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), wajib diumumkan sekurang-kurangnya di satu surat kabar provinsi di lokasi kegiatan bersangkutan atau sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional dalam hal untuk kegiatan dimaksud tidak dapat dipenuhi oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) penyedia jasa konsultasi di kabupaten/kota/provinsi yang bersangkutan.” 11. Ketentuan Pasal 44 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 44 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 44 (1) Pengadaan barang/jasa supaya mengacu pada daftar inventarisasi barang/jasa yang termasuk produksi dalam negeri yang didasarkan pada kriteria tertentu, menurut bidang, subbidang, jenis, dan kelompok barang/jasa. (2) Pengaturan mengenai daftar inventarisasi dan penyebarluasan informasi barang/jasa produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikeluarkan oleh departemen yang membidangi perindustrian.” 12. Di antara ayat (5) dan ayat (6) Pasal 48 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a), sehingga keseluruhan Pasal 48 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 48 (1) Pejabat Pembuat Komitmen segera setelah pengangkatannya, menyusun organisasi, uraian tugas dan fungsi secara jelas, kebijaksanaan pelaksanaan, rencana kerja yang menggambarkan kegiatan yang harus dilaksanakan, bentuk hubungan kerja, sasaran yang harus dicapai, tata laksana dan prosedur kerja secara tertulis, dan disampaikan kepada atasan langsung dan unit pengawasan intern instansi yang bersangkutan. (2) Pejabat Pembuat Komitmen wajib melakukan pencatatan dan pelaporan keuangan dan hasil kerja pada setiap kegiatan/proyek, baik kemajuan maupun hambatan dalam pelaksanaan tugasnya dan disampaikan kepada atasan langsung dan unit pengawasan intern instansi yang bersangkutan. (3) Pejabat Pembuat Komitmen wajib menyimpan dan memelihara seluruh dokumen pelaksanaan pengadaan barang/jasa termasuk berita acara proses pelelangan/seleksi. (4) Instansi pemerintah wajib melakukan pengawasan terhadap Pejabat Pembuat Komitmen dan panitia/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan di lingkungan instansi masingmasing, dan menugaskan kepada aparat pengawasan fungsional untuk melakukan pemeriksaan sesuai ketentuan yang berlaku. (5) Unit pengawasan intern pada instansi pemerintah melakukan pengawasan kegiatan/proyek, menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan masalah atau penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, kemudian melaporkan hasil pemeriksaannya kepada menteri/pimpinan instansi yang bersangkutan dengan tembusan kepada Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). (5a) dalam hal berdasarkan tembusan laporan hasil pemeriksan yang disampaikan oleh unit pengawasan intern sebagaimana dimaksud pada ayat (5), BPKP menilai terdapat penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa, maka BPKP dapat menindaklanjutinya. (6) Pejabat Pembuat Komitmen wajib memberikan tanggapan/informasi mengenai pengadaan barang/jasa yang berada di dalam batas kewenangannya kepada peserta pengadaan/masyarakat yang mengajukan pengaduan atau yang memerlukan penjelasan. (7) Masyarakat yang tidak puas terhadap tanggapan atau informasi yang disampaikan oleh Pejabat Pembuat Komitmen dapat mengadukan kepada Menteri/Panglima TNI/Kapolri/Pemimpin Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BHMN/Direksi BUMN/BUMD.” Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
23
13. Lampiran I Bab I Bagian D angka 1 huruf b diubah, sehingga Lampiran I Bab I Bagian D angka 1 huruf b seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “b. Pelelangan umum dengan pascakualifikasi: 1) Ketentuan alokasi waktu dalam penyusunan jadual adalah sebagai berikut: a) Penayangan pengumuman lelang sekurang-kurangnya dilaksanakan selama 7 (tujuh) hari kerja di website pengadaan nasional. Penayangan pengumuman lelang yang dilaksanakan melalui surat kabar nasional/provinsi minimal dilakukan 1 (satu) kali tayang pada awal masa pengumuman. b) Pendaftaran dan pengambilan dokumen penawaran dilakukan 1 (satu) hari setelah pengumuman sampai dengan satu hari sebelum batas akhir pemasukan dokumen penawaran. c) Penjelasan (aanwijzing) dilaksanakan paling cepat 4 (empat) hari kerja sejak tanggal pengumuman; d) Pemasukan dokumen penawaran dimulai satu hari setelah penjelasan (aanwijzing). Batas akhir pemasukan dokumen penawaran sekurang-kurangnya 2 (dua) hari kerja setelah penjelasan. Penetapan waktu pemasukan dokumen penawaran harus memperhitungkan waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan dokumen penawaran sesuai dengan jenis, kompleksitas, dan lokasi pekerjaan. Contoh: waktu pemasukan dokumen penawaran untuk pengadaan ATK cukup 2 (dua) hari kerja, waktu pemasukan dokumen penawaran untuk pengadaan untuk peningkatan jalan kabupaten/kota 14 (empat belas) hari kerja, waktu pemasukan dokumen penawaran untuk pengadaan pekerjaan kompleks dapat lebih dari 30 (tiga puluh) hari kerja. e) Evaluasi penawaran dapat dilakukan dalam waktu 1 (satu) hari atau sesuai dengan waktu yang diperlukan. Contoh: evaluasi penawaran pengadaan sederhana, misal ATK dapat diselesaikan dalam waktu 1 (satu) hari, waktu evaluasi penawaran pekerjaan peningkatan jalan provinsi diperlukan selama kurang lebih 5 (lima) hari, waktu evaluasi penawaran pekerjaan pembangunan bendungan serbaguna (multi purpose dam) diperlukan selama dapat lebih 15 (lima belas) hari. 2) Pengalokasian waktu di luar proses butir a) sampai dengan butir d) di atas, diserahkan sepenuhnya kepada Pejabat Pembuat Komitmen, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Presiden ini. 3) Berikut ini contoh tabel jadwal pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dengan pascakualifikasi: No
Uraian kegiatan
1.
Pengumuman lelang Pendaftaran dan pengambilan dokumen
2.
3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
24
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Hari Kerja Ke14 15
16
17
18
19
20
Penjelasan (Aanwijzing) Pemasukan penawaran Pembukaan dokumen penawaran Evaluasi dokumen penawaran Penilaian dan pembuktian kualifikasi Usulan calon pemenang Penetapan pemenang Pengumuman pemenang Masa sanggah Penunjukan pemenang (SPPBJ) Penanda tanganan kontrak
Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit
21
22
23
Keterangan 1 hari surat kabar dan minimal 7 hari untuk di internet 1 hari setelah pengumuman s.d. 1 hari sebelum batas akhir pemasukan dokumen paling cepat 4 hari sejak tanggal pengumuman batas akhir pemasukan min. 2 hari setelah penjelasan hari terakhir pemasukan dok. penawaran Maksimal 7 hari setelah pembukaan penawaran/ pembukaan penawaran harga (dua sampul) tidak diatur paling lambat 7 hari setelah pembukaan penawaran harga tidak diatur maks. 2 hr setelah surat penetapan maks. 5 hr sejak pengumuman paling lambat 6 hr sejak pengumuman paling lambat 14 hr sejak SPPBJ
14. Lampiran I Bab II Bagian A angka 1 huruf l butir 7) diubah, sehingga Lampiran I Bab II Bagian A angka 1 huruf l butir 7) seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “7) Dalam hal tidak ada sanggahan, SPPBJ harus diterbitkan paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah pengumuman penetapan pemenang lelang dan dalam hal terdapat sanggahan, SPPBJ harus diterbitkan paling lambat 1 (satu) hari setelah jawaban atas semua sanggahan tersebut dijawab serta segera SPPBJ tersebut disampaikan kepada pemenang lelang.” Pasal II
1. Sebelum pelaksanaan sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa dapat dilakukan sesuai
2.
3.
4.
5.
6.
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka pelaksanaan sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa dikoordinasikan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Dalam hal Pejabat Pembuat Komitmen dan panitia/pejabat pengadaan belum memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah sampai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), maka panitia/pejabat pengadaan tetap dapat melakukan pengadaan barang/jasa pemerintah sampai dengan tanggal 31 Desember 2007, sepanjang telah memiliki bukti keikutsertaan dalam pelatihan pengadaan barang/jasa pemerintah. Pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen/panitia/pejabat pengadaan yang belum memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini, dinyatakan tetap sah, sepanjang pada saat kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dimaksud dilaksanakan, yang bersangkutan telah memiliki bukti keikutsertaan dalam pelatihan pengadaan barang/jasa pemerintah. Sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa yang telah diterbitkan oleh Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini, dinyatakan berlaku sebagai sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005. Sebelum Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Gubernur menetapkan surat kabar nasional dan surat kabar provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A, pengumuman kegiatan pengadaan barang/jasa pemeriksaan dilakukan sekurang-kurangnya di satu surat kabar yang mempunyai oplah besar dan memiliki peredaran luas secara nasional dan/atau wilayah provinsi. Peraturan Presiden ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Maret 2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan
25