Reformasi Sektor Keamanan dan Media Massa Ahmad Taufik (Jurnalis) Setelah pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jawa Barat yang dimenangkan oleh pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf beberapa waktu lalu beredar joke : “Perang Bintang **** (Jenderal Agum Gumelar), dan Bintang ** ( Mayor Jenderal Iwan Sulanjana) dimenangkan oleh Bintang Sinetron, Pasukan Siliwangi, kalah oleh pasukan Bodrex.”
Boleh dikata Pilkada Jawa Barat itu menjadi alert bagi purnawirawan atau petinggi militer “aktif”yang ditunjuk untuk “mengambil” posisi jabatan yang selayaknya untuk sipil (non combatan). “Kegagalan” Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengelola negara ini bisa pula menjatuhkan calon-calon bekas militer yang akan bertarung dalam pemilihan presiden 2009 nanti. Para bekas militer yang pernah berada dalam kekuasaan masa lalu dan masih berambisi karena berbagai kepentingannya, jangan berharap banyak bisa memenangkan “pertarungan” pemilihan presiden nanti. Apalagi upaya-upaya negatif menghimpun “massa” dalam bebagai isu untuk menjatuhkan presiden yang menjabat saat ini, juga bukan perbuatan mulia dan mencederai demokrasi yang sudah dibangun. Bisnis, Politik dan Kriminalitas Dalam pengamatan media massa ada tiga hal penting yang selalu disoroti dalam menilai tindak tanduk Tentara Nasional Indonesia (TNI) : Bisnis, Politik dan Kriminalitas. Bisnis bisa berkaitan pengelolaan ekonomi di lingkungan militer, maupun penyimpangan karena tender pengadaan alat-alat utama sistem keamanan (alutsista). Penyelesaian pengalihan aktivitas bisnis TNI terbilang lambat, bahkan lebih lelet dari urusan politik. Sejak reformasi yang menjatuhkan rezim otoriter (yang didukung militer dan politisi boneka), baru enam tahun kemudian diterbitkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang itu. Janji panglima TNI dalam lima tahun urusan bisnis di lingkungan militer bisa dibereskan ternyata tak sampai hingga yang menyatakan tersebut tak lagi menjabat. Akhirnya untuk mengatasi kebuntuan tersebut Presiden mengeluarkan keputusan (Keppres) Nomor 7 Tahun 2008 tentang Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI, yang pelaksana dipimpin oleh seorang sipil yang biasa bergerak di bidang tersebut. Mudahmudahan di tangan Erry Riyana Hardjapakemas cita-cita pengalihan bisnis TNI bisa terwujud, seperti direncanakan pada Oktober 2009 nanti.Harapan ini tentu berkait dengan keinginan adanya TNI profesional dan bermartabat. Tentunya sebagai anak bangsa, kita akan bangga, bila memiliki tentara profesional yang bermartabat, yang mampu menempatkan diri dalam unsur masyarakat lain untuk mempertahankan keutuhan bangsa. Bersama dengan itu sudah selayaknya dipikirkan, kesejahteraan yang memadai bagi para tentara yang berada di lapangan dan keluarganya. Menurut peneliti The Indonesian Institute, Jaleswari Pramodhawardani, untuk kesejahteraan keluarga prajurit, jalan keluar antara lain membentuk koperasi-koperasi baru, yang fungsinya benar-benar untuk memenuhi kebutuhan prajurit TNI. ’’Tidak seperti koperasi atau yayasan yang ada sekarang,” ujar Jaleswari. (Kompas, 9 Mei 2008). Diharapkan terjaminnya, pendidikan dan kesehatan anak-anak tentara, tanpa harus “kucing-kucingan” dengan bisnis yang biasanya dinikmati di kalangan elitnya saja, atau “bisnis” lain untuk kepentingan individu atau kelompoknya yang sering dapat dilihat kasat mata di lapangan. Memang 1
langkah drastis seperti itu tak mudah, karena dapat dan akan memicu ”perlawanan”, terutama dari kalangan TNI sendiri, yang selama ini merasa diuntungkan dengan posisi atau jabatan mereka, baik di koperasi maupun di yayasan yang ada selama ini. Ketua Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI, Said Didu berharap bisa menyelesaikan persoalan carut marut bisnis TNI sesuai jadwal yang direncanakan. Menurutnya, ada enam aspek yang harus menjadi perhatian utama terkait upaya penertiban dan pengambil alihan bisnis TNI ; sosialpolitik, perbandingan dan opini internasional, anatomi bisnis TNI yang ada, penafsiran Undang-undang, dan akseptabilitas dari TNI. (Kompas, 5 Feb 2008). Sejarah bisnis di lingkungan militer memang sudah menjadi sejarah panjang di negeri ini. Bahkan diduga, bisnis sudah ada dalam otak militer Indonesia sejak kemerdekaan, tentara sudah merasa memiliki negeri yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono TNI terlibat dalam bisnis dimulai sejak 1952. Pada saat itu, pemerintah melakukan rasionalisasi terhadap intitusi tentara. "Sejak saat itu, komandan mulai dari Pangdam bahkan sampai Babinsa, boleh mencari pemasukkan sendiri," ujarnya ketika memberi sambutan dalam peluncuran buku "Menggusur Bisnis Militer: Tantangan Pembiayaan TNI Melalui APBN, di Jakarta. Pada waktu itu, menurut Juwono, pemerintah tidak mampu membiayai tentara. Institusi ini kemudian diserahkan untuk mengelola hasil nasionalisasi dari aset negara penjajah. Waktu itu pemerintah harus menanggung hutang 3 miliar gulden ke Belanda. "Jadi sejak awal pemerintah tidak memberikan uang yang memadai untuk pertahanan dan keamanan," ujarnya. Mulai tahun itu, TNI terlibat dalam bisnis yang kemudian disebut-sebut gurita bisnis tentara. Termasuk di dalamnya terjadi berbagai penyelundupan, mulai dari kebutuhan pokok, sembilan bahan pokok, sandang sampai peralatan perang. Bahkan, perebutan kekuasaan pada 1965, sebelum terjadi perpindahan kekuasaan politik, diawali dengan persinggungan bisnis antar petinggi militer (Jenderal Achmad Yani, Nasution dan Soeharto). Kenyataan itu tampak ketika Soeharto, berkuasa sejak Maret 1966. Semua bisnis vital dipegang oleh militer koncokonconya. Misalnya Pertamina. Perusahaan minyak milik negara di pegang oleh Ibnu Sutowo Deputi Operasi/Peperpu KSAD, pada masa itu. Namun, menurut Juwono, bisnis yang dikelola TNI kemudian mulai menurun sejak 1985, ketika banyak perusahaan swasta naik daun. Soeharto hanya menjadikan militer sebagai centeng untuk perusahaan anak-anak, keluarga dan kawan-kawannya. Sampai dia tergusur, pada 1998, dan tuntutan reformasi terhadap TNI terutama di bidang bisnis dan politik. Masalah lain yang menjadi soroton media massa dalam bisnis TNI berkait dengan tender pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista). Selama ini dengan sistem yang ada, rezim otoriter yang ditunjang militer dan politisi busuk, pengadaan alutsista (senjata, alat komunikasi dll), memberi peluang petinggi militer untuk korup dan teman-temannya menikmati uang negara. Memang tak bisa TNI disalahkan seluruhnya. Karena pemborosan anggaran negara itu bermula dari kebijakan pemerintah. Pengadaan alutsista selama ini, Departemen Keuangan hanya menyetujui anggarannya, sedangkan TNI disuruh mencari duit sendiri. Akhirnya semua dibebankan kepada rekanan. Nah, rekanan inilah yang menggelembungkan (mark-up) harga, karena menambahkan semua pengeluarannya ; mulai dari perbedaan bunga pinjaman, ongkos mencari alutsista, mencari pinjaman, uang pelicin dan fee-fee lainnya. *** Militer masuk ke politik juga menjadi sorotan media massa. Misalnya saat Agustus 2007 lalu, calon wakil Gubernur DKI Jakarta militer aktif Mayor Jenderal TNI Prijanto. Di lihat dari latar belakangnya Prijanto pernah menjabat Komandan Komando Resor Militer2
051/Wijayakarya Daerah Militer Jakarta Raya tahun 1999 sampai 2000. Kemudian Prijanto menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya tahun 2005 sampai 2006, sebelum menjabat Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat mulai 5 Mei tahun 2006. Pilihan itu bukan saja menyakiti, para calon dari pensiunan militer yang sudah lama berkecimpung di partai politik dan institusi sipil, tetapi juga menodai reformasi TNI yang pernah dicita-citakan, tak terjun di bidang politik. Apa komentar calon Gubernur DKI, Fauzi Bowo, “Dia (Prijanto) tahu semua proyek vital di Jakarta." Semua yang berkaitan dengan militer tak lepas dari proyek rupanya. Peristiwa itu langsung ditonjolkan media massa di Indonesia, dan mencap reformasi TNI ternyata cuma pura-pura. Memang politik yang disoroti selalu berkaitan dengan kekuasaan yang seharusnya diduduki pejabat-pejabat sipil. Juga terkait dengan peng-gol-an perundang-undangan yang mendukung kekuasaan, maupun teritorial yang berusaha dihidupkan. Dalam hal kaitan politik dan militer Kompas tahun lalu pernah menurunkan hasil penelitian. Isinya antara lain ; Pelaksanaan hak politik TNI pun disikapi mendua oleh masyarakat. Separuh (49,2 persen) publik jajak pendapat ini tidak keberatan prajurit TNI diberi kembali hak untuk memilih seperti pada Pemilu 1955, sementara separuh yang lain (48,8 persen) menolaknya. Di sisi yang lain, kekhawatiran publik diam-diam merebak. Jika TNI diberi hak pilih untuk memberikan suara dalam pemilihan umum, dikhawatirkan TNI akan sulit menjaga netralitasnya. Tidak kurang dari 62,1 persen responden menyatakan kekhawatiran mereka akan hal tersebut. Terlebih, di mata 65,5 persen, selama ini TNI lebih berpihak kepada penguasa ketimbang rakyat. Pernyataan Presiden Yudhoyono agar TNI tidak berpolitik sangat beralasan. Setidaknya, bagi mayoritas (67,9 persen) responden yang memang menilai TNI masih berpengaruh sangat kuat dalam perpolitikan di negeri ini. Namun, keterlibatan politis TNI saat ini diinginkan atau ditolak publik, tampaknya masyarakat pun masih gamang memutuskan. Untuk kegiatan politik praktis dengan tujuan memperoleh kekuasaan daerah, misalnya, publik cenderung menginginkan figur sipil lebih tampil ketimbang figur militer. Tidak kurang dari 61,7 persen dengan tegas menyatakan tidak setuju jika ada anggota TNI yang terjun berpolitik untuk memperebutkan kursi kekuasaan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Tampaknya, sebagian besar publik tak ingin kembali ke masa lalu ketika jajaran kepala daerah didominasi oleh militer. Tak heran jika di Jawa Barat, masyarakat yang melek lebih memilih calon, tanpa unsur militer. Memang kekuasaan amat menggoda. Lord Acton 120 tahun lalu pernah mengingatkan, kekuasaan cenderung menjadi korup, kian besar kekuasaan, kian besar pula kecenderungan untuk korup. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Politik juga berkaitan dengan penggolan beberapa rancangan undang-undang (RUU). Antara lain RUU Pertahanan dan Keamanan Negara (Hankamneg), Intelejen, Rahasia Negara dan Komponen Cadangan. Dalam RUU Hankamneg, yang draftnya diajukan oleh Departemen Pertahanan, seperti memutar balik reformasi TNI yang telah membagi persoalan keamanan kepada polisi sedangkan pertahanan kepada TNI. Apalagi Menteri Pertahanan, kepada situs Tempo Interaktif secara jelas menyatakan, pemisahan TNI-Polri adalah bentuk kebablasan reformasi TNI 1998-1999. RUU itu membutuhkan pengaturan tugas perbantuan TNI dalam masalah keamanan. Tugas perbantuan TNI merupakan tugas-tugas yang diberikan kepada TNI selain tugas pokoknya, menjaga pertahanan negara. Hampir semua negara yang menganut prinsip supremasi sipil 3
memiliki regulasi perbantuan militer. Untuk memperjelas, karena tugas pertahanan dan keamanan memiliki concern yang berbeda. Kerangka tugas keamanan dan ketertiban Polri kini adalah pelayanan dan pengayoman. Melayani masyarakat dalam hal ketertiban dan keamanan. Melindungi masyarakat dalam hal ketertiban dan keamanan pula. Cara dan pendekatannya bukan ancaman dan represi, melainkan informasi, komunikasi, persuasi. Dapat kita bayangkan, betapa tidak sederhananya pekerjaan itu. Di samping mendorong Polri terus-menerus secara sungguh-sungguh mereformasi diri, masyarakat tidak bisa tinggal diam atau bersikap terima beres. Ketertiban dan keamanan, apalagi rasa aman sekaligus, merupakan tanggung jawab masyarakat. Bahkan, reformasi prodemokrasi dan hukum dan hak-hak asasi manusia, juga memberikan ruang, kesempatan, tantangan dan tugas lebih besar kepada masyarakat. Membangun ruang, kesempatan dan tugas lebih besar kepada masyarakat, agar diterima dan dipahami oleh publik serta para eksponennya sebagai bagian dari membangun masyarakat madani, civil society.Pembagian tugas itu, sebagai konsekuensi dari konsep military operations other than war (MOOTW) Konsep MOOTW lahir dan muncul sebagai akibat mulai berkurangnya ancaman perang yang bersifat militer (konvensional) dan kian beragamnya ancaman negara yang bersifat nonmiliter. Menurut Amien Rais ide penyatuan TNI-Polri seperti yang diisyaratkam Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, menandakan dasar lonceng keterpurukan demokrasi. Jika kekuatan militer sudah mengkooptasi kekuatan polisi, sebenarnya salah satu sendi demokrasi, menurut guru besar Ilmu Politik Fisipol UGM Yogyakarta sudah mulai patah. “Jika itu terjadi, sistem Orde Baru yang ditinggalkan akan kembali lagi,”katanya.Dalam UU No 34/2004 tentang TNI disebutkan 14 macam operasi militer selain perang, tetapi hingga kini belum dilengkapi mekanisme dan tata cara pelaksanaannya. Sebagai prinsipnya, tugas perbantuan TNI ini dilakukan berdasarkan keputusan-keputusan politik pemerintah. *** Tindak kriminalitas juga sering menjadi sorotan media massa. Lihat koran-koran yang bernafaskan kriminalitas sebagai leluatan beritanya, saat terjadi kejadian yang menyangkut “oknum” militer muncul dengan headline dan kata-kata yang mencolok mata. Ini tentu saja, “militer” termasuk menjadi daya tarik untuk berita dan dikritisi. Mulai dari beking di tempat hiburan sampai penggunaan narkoba.Kriminalitas tersebut berkaitan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat militer, baik yang dilakukan secara terstruktur (perintah komando) maupun tindak kriminalitas lainnya. Dalam tindak kekerasan terstruktut misalnya pada kejadian di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, 30 Mei 2007 lalu, tewas empat petani oleh pasukan khusus Angkatan Laut, Marinir sempat menjadi sorotan utama. Kasus penembakan petani di Alas Tlogo itu mengejutkan publik, mengingat konteks zaman yang sudah berubah. Pasca orde baru, institusi militer berulang kali berusaha meyakinkan publik, bahwa telah dilakukan dengan sekuat tenaga kultur dan karakter institusi tersebut, dari yang dikenal sebagai institusi represif di masa lalu menjadi militer modern profesional. Insiden di Solok terjadi ketika lima anggota Kodim Solok diduga melakukan penganiayaan Man Robert hingga tewas. Mayatnya ditemukan mengambang di Danau Singkarak pada setelah dikabarkan hilang sejak Minggu (20/5/2007) malam. Dugaan sementara, Man Robert diculik oknum TNI setelah terlibat pertengkaran dengan seorang penumpang Kijang Innova hitam, yang merupakan komandan Kodim 0309 Solok, Letkol Untung Sunanto. Saat itu, korban dan empat temannya yang berprofesi sebagai 'Pak Ogah' itu, mengatur arus lalu lintas 4
di ruas jalan yang ambrol akibat gempa di pinggir Danau Singkarak. Sempat merupakan berita yang mencuat ke publik. Tewasnya pejuang hak asasi manusia Munir, yang diracun di atas pesawat, yang diduga operasi intelejen. Memunculkan dugaan terkaitnya unsur militer, karena bekas pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum ini terkenal cukup kritis terhadap militer.Penolakan para purnawirawan TNI saat dipanggil Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam kasus kejadian masa lalu (Lampung, Tanjung Priok, Semanggi dll) juga berefek negatif terhadap berita tentang reformasi TNI. Memang proses reformasi memerlukan saling kontrol dan saling mengingatkan. Tetapi, proses reformasi juga memerlukan saling percaya dan saling memberikan kesempatan. Proses reformasi memerlukan waktu dan karena itu juga memerlukan suasana yang kondusif Menurut pakar militer Salim Said, salah satu tantangan reformasi keamanan adalah menarik tentara masuk dan bisa menempatkan diri dalam 'agama baru', yakni the religion of democracy. Termasuk dalam konteks ini adalah mencegah polisi termiliterisasikan dan badan-badan intelijen didominasi oleh tokoh dan wacana militer. Tanpa kesediaan militer untuk masuk ke era baru, sulit bisa diwujudkan konsep keamanan yang lebih menyeluruh dan berpusat pada manusia. Salim melihat ada dua kendala besar. Pertama adalah keengganan tentara untuk bisa mempercayai sipil dan mengakui supremasi sipil. Kedua adalah kesiapan dan keberanian di kalangan sipil sendiri. *** Mengutip “dewa”nya jurnalisme saat ini Bill Kovach, tujuan utama semua tujuan jurnalisme adalah menyediakan informasi yang diperlukan orang agar bebas dan bisa mengatur dirinya sendiri. Untuk memenuhi tugas tersebut, ada sembilan elemen yang terkenal ; 1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran (benar atau nyata gak berita itu). 2. Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga (untuk kepentingan publik). 3. Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verivikasi. 4. Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita. 5. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan. 6. Jurnalismem harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. 7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan. 8. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional. 9. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka. Kesembilan unsur itu adalah beberapa pegangan, yang tentu, nantinya berkaitan sekali dengan kenyataan di lapangan. Namun, jangan sampai karena ingin menyelam seperti kurakura. Informasi yang disajikan kepada publik, malah membuat keliru. Baik keliru bagi pengambil kebijakan, maupun ditataran masyarakat umum. Ahmad Taufik, jurnalis Bahan bacaan :Koran Tempo, Kompas, Kantor Berita Antara, Tempo Interaktif, Mediab Indonesia Online, Kompas cyber Media, laporan sementara Kontras, Buku Sembilan Elemen Jurnalisme (Bill Kovach & Tom Rosenstiel), Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2008 (Lesperssi).
5