Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan Oleh: Mufti Makaarim A. Pengantar Paska 1998, ungkapan ‘reformasi’, ‘transisi demokrasi’ atau ‘demokratisasi’ menjadi kosa kata yang terdengar dimana-mana, baik dari kalangan politisi, akademisi maupun masyarakat umum. Ketiga kata tersebut bak mantra yang menyihir kesadaran publik bahwa perubahan yang positif dalam suatu negara dari rezim yang otoriter menujur rezim yang demokratis identik dengan jargon dan agenda ‘reformasi’, ‘transisi demokrasi’ dan ‘demokratisasi’. Dengan mudah siapapun menunjuk Orde Baru dengan segala konsepnya sebagai ‘yang buruk’ dan menyatakan pemerintahan-pemerintahan paska 1998 dengan gagasan-gagasan besar di atas sebagai ‘yang baik’. Selama 10 tahun terakhir, gema mantra-mantra tersebut belum juga hilang dalam agenda pemerintah, gagasan politik partai, kajian akademisi dan bahkan tekanan organisasi masyarakat sipil. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah ungkapan-ungkapan tersebut merupakan uthopia demokrasi, konsepsi yang terlalu abstrak dan mengawang-awang, atau justru sebaliknya, merupakan citac-cita politik yang berkelanjutan dan terus menerus paska segala daya dan upaya yang dicurahkan untuk meruntuhkan rezim Orde Baru, serta mungkin untuk diwujudkan? Saat ini kita berhadapan dengan realitas yang kontras, antara fenomena tumbuhnya beragam gerakan, kebijakan dan konsep yang diklaim sebagai bagian dari reformasi, transisi dan demokratisasi, dengan fakta stagnasi proses-proses demokratisasi dan kemungkinan munculnya arus balik demokrasi yang ditandai dengan dominasi kompromi politik pro-status quo dan kontra-reformasi, krisis politik dan ekonomi akibat inkonsistensi dan miskinnya keberpihakan kebijakan pemerintah pada kepentingan rakyat, serta liberalisasi ekonomi dan praktek bernegara yang lebih berpihak pada kepentingan modal dan asing yang lambat laun menggerogoti sumber daya alam dan harga diri sebagai negara berdaulat dengan cita-cita kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya. Pada akhirnya, pertanyaan akan capaian dari perubahan rezim terusmenerus muncul di benak publik. Pemerintah berbangga pada capaian-capaian normatif dan ukuran-ukuran statistik, sementara mayarakat dengan logika yang pragmatis kecewa lantaran kebijakan-kebijakan normatif tersebut tidak terimplementasi sesuai harapan –dengan indikator yang sederhana, pulihnya profesionalitas aparat pemerintah dan terjaminnya kesejahteraan dan keamanan publik. Negara dengan permisif menyatakan bahwa reformasi tidaklah semudah membalikkan tangan dan membutuhkan tahapan dan waktu yang panjang, sembari mempertontonkan praktik-praktek yang menyabotase proses demokratisasi itu sendiri –dengan berlanjutnya praktek-praktek kotor warisan Orde Baru. Pada akhirnya, publik seperti berhadapan pada pilihan antara terus menerus berhadap dan mengawal dorongan agenda reformasi di tangan birokrasi dan aktor yang belum sepenuhnya reformis, atau menjadi lebih apatis dan tidak peduli pada apapun yang dilakukan pemerintah yang sudah kehilangan legitimasi politik dan kepercayaan publik tersebut.
Di sektor keamanan, kegelisahan dan dilema serupa juga menyeruak. Ungkapan-ungkapan konsisten sejumlah organisasi masyarakat sipil (OMS) mendorong reformasi sektor keamanan (RSK) dalam konteks transisi demokrasi Indonesia memang masih bergema dalm ruang wacana, diseminasi dan advokasi berbagai kelompok-kelompok masyarakat sipil, namun berbarengan dengan kelelahan, semi-frustasi dan bahkan kegamangan untuk terus mendorong atau larut dalam permainan kompromi dan toleransi atas stagnasi dan disorientasi reformasi di sektor ini. Kondisi ini pada satu sisi menjadi hal yang wajar mengingat besarnya energi yang dicurahkan sejak 1998 dan tingginya ekspektasi yang diharapkan dari ‘komitmen politik’ yang disampaikan setiap rezim yang berkuasa paska Soeharto. Terlebih dalam 3 tahun pertama reformasi, titik terang dan harapan akan agenda reformasi yang menyeluruh dan berkelanjutan terlihat –mulai dari amandemen UUD 1945, perubahan kebijakan di tingkat MPR, DPR dan Pemerintah serta penghentian sejumlah kebijakan Orde baru, pengaturan ulang fungsi, peran dan tugas pokok dari institusi-institusi pemerintah dan perangkat negara, serta digelarnya upaya-upaya penegakan hukum, tata pemerintahan yang baik serta akuntabilitas publik. Sebagai akibat dari tekanan yang begitu kuat, mau tidak mau sejumlah institusi pemerintah terutama ABRI yang identik sebagai ‘otak’ rezim Orde Baru yang secara tiba-tiba kehilangan pengaruh politiknya mengumumkan paradigma baru terkait redefenisi, reposisi dan reaktualisasi perannya paska jatuhnya rezim Soeharto. Di sisi lain, momentum tersebut juga ditandai dengan hilangnya kekangankekangan politik terhadap hak dan kebebasan masyarakat sipil, terutama untuk mendorong agenda-agenda politik demokratis di sektor keamanan. Paling tidak, gerakan reformasi 1998 mendesakkan tiga agenda penting terkait dengan institusi keamanan, yaitu: 1). Penghentian peran politik dan ekonomi ABRI yang meluas di masa Orde Baru; 2). Pertanggungjawaban dan akuntabilitas hukum ABRI, terutama terkait dengan pelanggaran HAM di bawah rezim Orde Baru; dan 3). Penguatan supremasi otoritas politik sipil atas militer untuk mendorong profesionalisme mereka. Walau dengan beragam keterbatasan di tingkat konsep dan operasionalisasinya, desakan ini merupakan satu bentuk kongkretkeikutsertaan masyarakat sipil dalam mendorong RSK, sekaligus menunjukkan kesederhanaan persepsi indikator mereka. Seiring perjalanan waktu, masalah terbesar dari hilangnya momentum RSK dan stagnasi agenda penuntasan RSK berkaitan erat dengan gagalnya kalangan masyarakat sipil merebut ruang politik dan kekuasaan. Beragam wacana baru yang demokratis bermunculan, namun kandas di tangan para politisi lama dan elit yang pro-status quo ketika harus diwujudkan dalam satu kebijakan atau diimplementasikan. Yang terjadi hanya euporia demokrasi, dimana masyarakat sipil seolah-olah berhasil menguasai panggung politik, namun secara faktual gagal memastikan bahwa arah reformasi tetap dalam kendali mereka. RSK bukan lagi merupakan proses yang dipengaruhi arahan kelompok masyarakat sipil, namun
sepenuhnya tergantung pada seberapa besar gagasan-gagasan masyarakat sipil tersebut dapat dikompromikan dengan kepentingan elit dan aktor keamanan. Desakan Reformasi dan Demokratisasi; Pintu Masuk Partisipasi Masyarakat Sipil Dengan menggunakan pendekatan Ulf Sundhaussen dalam memandang motivasi militer menarik diri dari ruang politik praktis, setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi ketundukan militer pada apa yang disebut dengan RSK, khususnya yang terkait dengan desakan yang diajukan kepada institusi mereka pada 1997-1998. Pertama, munculnya desakan kuat dari elit politik yang didukung oleh massa. Kedua, terjadinya perubahan dukungan di tingkat koalisi negara, dimana mereka sudah tidak bisa menerima dominasi militer dalam politik atau memberikan legitimasi bagi rezim militer. Dan ketiga, munculnya kesadaran internal militer akan profesionalisme mereka dan pentingnya ketundukan pada otoritas politik sipil. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini pada tingkat tertentu mencerminkan kombinasi dari ketiga faktor di atas. Resistensi terhadap rezim Orde Baru tumbuh seiring dengan usia rezim tersebut. Puncak dari resistensi tersebut terjadi bersamaan dengan pertautan krisis politik dan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir menjelang jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Krisis politik ditandai dengan membabi-butanya tindakan rezim mengatasi gejolak delegitimasi dan tumbuhnya kelompok oposisi serta gejolak disintegrasi di Timor Timur, Papua dan Aceh dalam bentuk tindakan-tindakan pelanggaran HAM dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan. Kondisi ini diperparah badai krisis ekonomi yang dipicu kekhawatiran rezim ekonomi internasional atas dampak buruk kebijakan represif rezim dan lemahnya fondasi ekonomi indonesia yang kolutif dan korup, sehingga mendorong mereka melakukan percepatan pembusukan rezim. Hutang yang menumpuk dan pengelolaan negara yang kleptokatik menjadi lahan subur bagi keterpurukan Indonesia, dimana Soeharto tidak berdaya untuk menolak agenda paket penyesuaian struktural IMF yang diantaranya berupa penghentian subsidi minyak dan pangan yang langsung berdampak pada berreaksinya rakyat kebanyakan yang kian miskin. Rakyat berduyun-duyun turun ke jalan, memaksa Soeharto mundur setelah 32 tahun masa pemerintahannya. Keberhasilan gerakan reformasi paska jatuhnya rezim Orde Baru mendorong TNI melakukan reformasi internal dan mendesak pemerintah melakukan penataan ulang atas peran, fungsi dan tugas pokok TNI, bisa jadi juga dikarenakan dukungan kalangan reformis di lingkungan petinggi militer sendiri. Upaya penghapusan ‘hakhak istimewa’ kalangan militer oleh pemerintah melalui pemisahan TNI dan Polri (Tap MPR No.VI/2000), pengaturan peran TNI dan peran Polri (Tap MPR No.VII/2000), Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Undang Undang No 34 tentang TNI berjalan mulus, meskipun dari sisi substansi belum maksimal. Sayangnya, apa yang kemudian dimaksud dengan RSK dipandang final bahkan oleh sejumlah kalangan minoritas militer reformis.
Masyarakat sipil yang merupakan representasi seluruh aktor, institusi atau organisasi non pemerintah yang independen, yang mempromosikan ide-ide demokratisasi dalam RSK melalui advokasi kepada pengambil kebijakan, mulai dari institusi keamanan, pembuat undang-undang (legislator/DPR) dan lembaga pemerintah lainnya seperti Departemen Pertahanan, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya-upaya demokratis di atas. Bahkan lebih jauh, kalangan masyarakat sipil bergerak dalam tiga ranah advokasi yang tidak terpisahkan, yaitu: 1). Pengembangan konsep RSK (yang meliputi landasan, kerangka kerja, agenda, tahapan, sektor, mekanisme evaluasi dan pengawasan, serta kebijakan pendukung seperti peningkatan anggaran, kesejahteraan serta perubahan kurikulum pendidikan); 2). Legislasi di sektor keamanan (meliputi legislasi induk, legislasi pendukung dan peraturan pelaksanaan); dan 3). Montoring dan pengawasan terhadap pelaksanaan dan penyimpangannya. Bagi kebanyakan masyarakat, apa yang dibayangkan sebagai reformasi awalnya adalah tuntutan kepada pemerintah untuk mengatasi krisis moneter, suatu hal yang tidak mungkin dilakukan mengingat keterikatan Indonesia pada perjanjianperjanjian dengan World Bank dan IMF yang menguntungkan korporasi internasional dan kroni-kroni ‘melayu’nya. Dalam rangka mengukuhkan kebijakan – yang berpihak korporasi transnasional, modal dan rezim internasional tersebut— ABRI dihadapkan untuk mengatasi resistensi dan oposisi. Sebagai reaksi atas kebijakan represif pemerintah, tuntutan publik di penghujung 1997 hingga pertengahan 1998 masuk pada tiga isu mendasar, yaitu Turunkan Soeharto, Cabut Dwifungsi ABRI dan Penghapusan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Dari tiga tuntutan mendasar tersebut, berkembang beberapa tuntutan agenda mendesak yang jauh lebih sektoral. Tuntutan pencabutan Dwifungsi ABRI misalnya, telah memunculkan rekomendasi penghapusan segala bentuk peran politik dan ekonomi aktor keamanan (TNI, POLRI dan belakangan mulai juga disinggung BIN), akuntabilitas terhadap kekerasan, pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum lainnya yang dilakukan aktor keamanan dan pemerintah Orde Baru, serta pengembangan aktor keamanan profesional yang tunduk pada otoritas politik sipil. Agenda-agenda mendesak inilah yang notabene mewarnai diskursus aktor keamanan paska lengsernya Soeharto menjelang penghujung Mei 1998 dan menjadi cikal bakal munculnya isu RSK di Indonesia, paling tidak menjadi sangat kuat dan dominan sepanjang 1998 hingga 2000. Dari sini dapat dilihat bahwa tuntutan RSK dengan tujuan mentransformasi institusi keamanan dari sistem lama yang otoritarian menuju sistem baru yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi, supremasi sipil, profesionalisme, akuntabilitas dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), sesungguhnya berawal dari tuntutan sederhana soal ekonomi. Bertahannya kekuasaan rezim Orde Baru hingga 32 tahun bukan semata-mata menunjukkan kekuatan militer yang didukung rezim ekonomi internasional, namun juga dipengaruhi karakter pragmatis dari masyarakat Indonesia. Karenanya, bukan tidak mustahil lambannya proses RSK
daapat memunculkan kembali pragmatisme yang berakar pada frustasi atas ketidakseriusan pemerintah memastikan terwujudnya RSK dan reformasi di sektor lain. Status Advokasi Reformasi Sektor Keamanan Secara sederhana dapat digambarkan bahwa Indonesia telah melewati 3 periode pemerintahan dengan tiga corak advokasi RSK oleh masyarakat sipil atau pemerintah yang berbeda-beda. Di masa Orde Lama, baik pemerintah maupun elit sipil berupaya menempatkan tentara di bawah garis politik negara. Artinya, disamping menjadi kekuatan militer profesional dalam rangka menghadapi gangguan-gangguan dari luar dan dalam negeri terhadap eksistensi negara yang baru merdeka, tentara juga dipersiapkan untuk menopang agenda politik pemerintah, seperti operasi pembebasan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Di kalangan militer sendiri tumbuh faksi-faksi yang bersikap pro-kontra dengan upaya ini. Sementara, di masa Orde Baru, terdapat dua persimpangan ekstrim terkait reposisi militer. Bagi pemerintahan Orde Baru seluruh sumber daya militer hendaknya diarahkan pada upaya pemberantasan komunisme, pembangunan serta pengukuhan rezim militer itu sendiri. Pemantapan peran ganda sebagai aktor keamanan dan birokrat dilakukan melalui pengembangan doktrin dwifungsi ABRI. Awalnya, gagasan ini tidak mendapat reaksi penolakan, mengingat bahwa rezim yang baru berdiri menjadi tumpuan harapan bagi stabilitas politik dan ekonomi yang memburuk di masa-masa akhir pemerintahan Soekarno. Namun seiring perjalan waktu, peran militer sebagai pemain kunci di panggung politik terus menguat di bawah kendali Soeharto. Hal ini tentu mengundang reaksi masyarakat, memunculkan kritik dan perlawanan terhadap dominasi rezim militer. Baik pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru telah menempatkan militer sebagai kekuatan penyeimbang atas oposisi sipil yang dihadapi pemerintah yang berkuasa. Kepentingan pemerintah untuk membangun kemapanan kekuasaan mendorong militer mendapat ruang untuk dirangkul sebagai kroni kekuasaan yang secara langsung mencampuri urusan politik praktis, bahkan kebijakan ekonomi. Presiden Soekarno telah menempatkan militer sebagi bagian dari tritunggal kekuasaan bersama dengan Partai Komunis Indonesia dan dirinya sendiri yang didukung kekuatan Partai Nasionalis Indonesia. Di masa Soeharto, militer menjadi bagian dari kekuatan pendukungnya bersama Partai Golongan Karya. Pada periode Orde Reformasi, agenda RSK yang diajukan masyarakat sipil menjadi paket yang integral dalam agenda transisi demokrasi, yang pokok-pokok isunya adalah delegitimasi kekuasaan rezim Soeharto, penghapusan peran politik ABRI (Dwifungsi), pertanggungjawaban hukum atas ‘kejahatan’ di masa lalu, payung hukum demokratis untuk aktor keamanan (TNI, Polri, dan BIN), pemisahan TNI dan Polri, profesionalitas Aktor Keamanan (termasuk penghapusan kegiatan ekonomidan bisnis), pengembangan proyeksi pertahanan dan keamanan yang komprehensif (gagasan konsep Keamanan Nasional), serta penguatan supremasi otoritas politik sipil.
Pengaruh dan Tantangan Peran Masyarakat Sipil Sepanjang 1999-2007 bermunculan advokasi-advokasi strategis terkait dengan rancangan legislasi, perumusan kebijakan dan pencabutan legislasi dan kebijakan yang bertentangan dengan demokrasi, nilai-nilai HAM dan good governance yang dikeluarkan kalangan Masyarakat Sipil. Terjadi pula persinggungan kerja antar aktor-aktor masyarakat sipil dan perubahan secara bertahap dalam relasi advokasi RSK menjadi kian konstruktif. Munculnya keterbukaan negara terhadap aspirasi publik dan adanya ruang ekspresi yang cukup memadai mempengaruhi berkembangnya corak advokasi RSK yang elegan, melalui rekomendasi, usulan rancangan undang-undang dan kebijakan, audiensi dengan DPR, Departemen pertahanan, Markas Besar TNI dan Polri, gugatan class action atau judicial review atas satu kebijakan yang dianggap mengancam demokrasi, sampai dengan debat publik tentang konsep dan persepsi RSK kalangan masyarakat sipil vis a vis pemerintah dan aktor keamanan. Namun umumnya Strategi promosi dan advokasi RSK masih konvensional dan bersifat mempengaruhi dari luar (pengembangan wacana, aksi dan loby terhadap pemerintah, parlemen dan institusi keamanan, serta pengorganisiran komunitas). Strategi yang lebih maju seperti menjadi mitra pemerintah dalam penyusunan legislasi dan kebijakan RSK serta pengawasan dan pengembangan institusi keamanan masih terbatas dan dilakukan oleh sedikit Komunitas Masyarakat Sipil. Setidaknya sejauh ini muncul tiga kelompok advokasi masyarakat sipil, yaitu: 1). Think Thank: yaitu kemunitas yang dimotori akademisi, policy maker dan pensiunan militer; dengan agenda advokasi formal formulasi legislasi dan kebijakan, seperti lobby, hearing dan penyusunan naskah akademik dan rancangan legislasi; 2). Kelompok motivator yang berasal dari kalangan akademisi dan aktivis kampus, dengan aktivitas mendorong keberlanjutan wacana RSK dalam ruang diskursus publik. Aktor-aktor ini tidak langsung bersinggungan dan mempengaruhi legislasi dan kebijakan RSK; dan 3). Pressure groups yang terdiri dari komunitas sektoral (buruh, petani, nelayan, kelompok miskin kota), korban pelanggaran HAM dan organisasi pendamping. Kelompok ini secara kontinyu mendorong akuntabilitas dan keadilan atas kejahatan dan pelanggaran HAM oleh aktor keamanan dan melakukan pengawasan terhadap penyimpangan dan ketidakseriusan negara dalam melakukan RSK. Sejauh ini advokasi RSK yang dilakukan masyarakat sipil menghadapi dua tantangan utama, yaitu: 1). Persoalan dan hambatan berasal dari resistensi dan respons pengambil kebijakan dan aktor keamanan; serta 2). Persoalan dan hambatan dari dalam komunitas Masyarakat Sipil sendiri. Resistensi aktor keamanan tampak dalam upaya mereka merespon tuntutan reformasi, dimana TNI mengembangkan tafsir sendiri akan konsep demokrasi dan peran yang mereka akan jalankan, termasuk mencakup peran politik dan penegakan keamanan. Konsep paradigma baru TNI menyatakan bahwa peran
mereka di masa depan tetap tidak dapat dipisahkan dari keterpaduan peran pertahanan keamanan negara dan pembangunan bangsa. Dalam ’paradigma baru’nya, pandangan-pandangan konservatif tersebut muncul dalam pernyataanpernyataan seperti, ”…(s)ikap dan komitmen TNI sangat jelas bahwa pilihan bentuk Negara Kesatuan sudah final, dan menolak bentuk negara federasi karena dapat menjadikan disintegrasi bangsa. …(m)emarjinalkan TNI dengan back to barracks, berarti mengeliminasi hak politik anggota TNI sebagai warga negara, sekaligus memisahkan TNI dari rakyat yang menjadi tumpuan kekuatan dan basis jati diri TNI.” Tafsir tersebut kemudian dikembangkan dalam rumusan Peran Sosial Politik TNI
yang
tidak
selalu
harus
didepan,
berubah
dari
menduduki
menjadi
mempengaruhi, berubah dari mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung dan bersedia melakukanpolitical and role sharring dengan komponen bangsa lainnya. Beberapa manifestasi resistensi pemerintah dan aktor keamanan ini juga muncul dalam persoalan dan hambatan yang berasal dari internal kelompok atau organisasi masyarakat sipil (OMS) sendiri, yaitu: 1.
Masyarakat masyarakat
Sipil
sipil
dan
yang
Konsolidasi
ada
masih
Internal:
bersifat
tentatif,
Aliansi
dan
koalisi
belum
solid
dalam
merumuskan dan mengawal satu isu strategis RSK, sebagai impact dari aktivitas berbasis program/isu, sehingga kemampuan untuk melakukanfollow up dan pengembangan sangat tergantung pada ketersediaan kapasitas dan sumber daya. Konsolidasi juga belum bisa terjadi karena sebagian organisasi atau kelompok tidak bisa menjalankan prinsip demokrasi dan kesepakatan aturan main. Secara umum masing-masing OMS masih mengelola isu berdasarkan kepentingan masing-masing dan belum ada kerjasama permanen dan konsisten, dengan melepas ‘dikotomi’think tank dan advokasi. 2.
Masyarakat Sipil dan Profesionalisme: beberapa OMS yang bekerja di ranah advokasi RSK hanya mengerti masalah mikro alias kurang menguasai aspek
makro.
Ketika
melakukan
advokasi,
ditemukan
pula
fakta
data,
argumentasi dan substansi gugatan lemah. Di lain sisi belum terbentuk koalisi kuat yang melibatkan unsur-unsur NGO, media, universitas dan Ormas sekaligus. Dalam perjalanan advokasi, ada yang berubah-ubah strateginya, ada yang cooling
down,
dan
ada
juga
yang
berkompromi.
Sejauh
ini
organisasi watch dog yang beroposisi dengan pemerintah dipandang masih lebih efektif untuk menaikkan isu, tanpa dikaitkan dengan diterima tidaknya masukan atau protes yang dilakukannya.
3.
Masyarakat Sipil dan Jaringan: Organisasi Masyarakat Sipil di daerah tidak merasa terintegrasi, tersosialisasi dan kurang mengetahui perkembangan isu maupun advokasi di level nasional. Perlu ada kerjasama dengan Organisasi daerah yang bergerak di luar isu RSK.
4.
Masyarakat Sipil dan Pencitraan: DPR-RI memandang Masyarakat Sipil masih sebagai penggembira dalam prosedur penyusunan legislasi dan kebijakan serta
sekadar
dilibatkan
pada
aktivitas-aktivitas
formal
ketimbang
menjadikannya sebagai refresentasi kepentingan publik. Sementara pemerintah masih menempatkan Masyarakat Sipil sebagai ancaman reintegrasi dalam analisa ancaman karena pengaruh persepsi tuntutan penegakan HAM dan penegakan hukum terhadap aparat TNI dan Polri oleh OMS dinilai sebagai ‘pesanan’ barat untuk memecah belah persatuan. Sebagai reaksi atas pencitraan ini, masyarakat Sipil terutama Ornop HAM bersikap resisten terhadap setiap tindakan negara yang dianggap mengancam eksitensi kerja mereka.