Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali
MUJAHID
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Pengaruh Variasi Penyusunan Jarak Buku Bambu Terhadap Karakteristik Balok Laminasi Bambu Tali
MUJAHID E24103079
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN MUJAHID. Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali. Dibimbing oleh Ir. T.R Mardikanto, MS dan Dr.Ir Naresworo Nugroho, MS Secara umum masyarakat Indonesia telah mengenal bambu, untuk dipakai sebagai bahan bangunan, perabot rumah tangga dan bahan makanan. Komponen bangunan dari bambu utuh yang biasa dijumpai adalah dalam bentuk tiang, balok, lantai, dinding atau sekat. Sedangkan sebagai perabot rumah tangga bambu banyak dipakai untuk meja, kursi, dipan, dekorasi serta peralatan dapur, hal tersebut dapat menjadikan bambu sebagai alternatif subtitusi bagi produk yang berbahan kayu. Namun belum optimalnya pemanfaatan bambu menunjukkan perlu adanya pengembangan teknologi pengolahan bambu. Dalam hal ini teknologi yang potensial dilakukan adalah laminasi bambu, dengan penyusunan batang bambu dengan ruas yang bervariasi menggunakan perekat epoxy. Bambu yang dipakai adalah bambu tali (Giganthocloa apus Bl. Ex (Schult. F) Kurz). Pembuatan balok laminasi bambu diawali dengan pemotongan batang bambu menjadi ukuran panjang dengan menyertakan bukunya. Kemudian potongan bambu dibelah menjadi bilah yang siku untuk bagian atas dan bawah balok laminasi sedangkan bagian tengah adalah bambu yang dipotong sehingga membentuk 3 sisi yang lurus dan satu sisi lengkung. Bilah-bilah mentah tersebut dikeringkan dengan oven selama 3-4 hari dengan suhu maksimal 40°C. Setelah kering masing-masing sisi diratakan dengan mesin penyerut (planner). Perekat yang digunakan adalah perekat Epoxy dengan berat labur 175 2 gr/m . Untuk penggunaan perekat Epoxy, pencampuran antara resin dan hardener dilakukan dengan perbandingan 1:1. Pelaburan perekat dilakukan dengan metode double spread (dua permukaan). Setelah dilakukan perekatan maka dilakukan pengkleman selama ±16 jam. Setelah proses pengkleman, balok laminasi yang dihasilkan dikondisikan untuk menyeragamkan kadar air dan melepaskan tegangan yang terjadi pada saat pengempaan dilakukan. Ukuran balok laminasi yang akan di buat adalah 6 cm (tebal) x12 cm (lebar) x 140 cm (panjang). Hasil pengujian menunjukan bahwa sifat fisis bambu tali bagian ruas memiliki nilai tertinggi yaitu 15.37% (kadar air), 0.63 g/cm3 (kerapatan), 0.55 (berat jenis). Untuk sifat fisis balok laminasi bambu tali bagian ruas juga memiliki nilai tertinggi yaitu 13.04% (kadar air), 0.51 g/cm3 (kerapatan), 0.45 (berat jenis). Kemudian untuk sifat mekanis, balok laminasi bambu tali variasi dua ruas bambu memiliki nilai tertinggi yaitu 6672.67 kg/cm2 untuk nilai kekakuan (MOE) dan 227.99 kg/cm2 untuk nilai keteguhan lentur (MOR). Sedangkan nilai keteguhan geser rekat balok laminasi bambu tali adalah 25.56 kg/cm2. Berdasarkan perbandingan kelas kuat kayu utuh menurut PKKI (Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia), maka dilihat dari berat jenisnya, balok laminasi bambu termasuk dalam kelas kuat III. Sedangkan dari keteguhan lentur mutlaknya, balok laminasi bambu termasuk kelas kuat V. Dikarenakan keteguhan lentur mutlak balok laminasi bambu yang masuk dalam kelas kuat V maka balok laminasi bambu tali dengan variasi ruas bambu belum dapat digunakan untuk keperluan struktural. Kata kunci: balok laminasi bambu, variasi ruas bambu, balok structural
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2008
MUJAHID NRP E24103079
Judul Penelitian
: Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali
Nama
: Mujahid
Nrp
: E24103079
Departemen
: Hasil Hutan
Fakultas
: Kehutanan
Menyetujui Dosen Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Ir. T.R. Mardikanto, MS NIP. 130 422 174
Dr.Ir. Naresworo Nugroho, MS NIP. 131 849 385
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 November 1984 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Zainuddin Saifulloh Nainggolan dan Dedah Suhedah. Pada tahun 2003 penulis lulus dari SMU PU Al Bayan Sukabumi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis pernah menjadi staf Kewirausahaan DKM Ibadurrahman, Fakultas Kehutanan, IPB tahun 2003-2004, Kepala Biro Kemahasiswaan, Badan Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Kehutanan, IPB tahun 2004-2005 dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB tahun 2006-2007. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum program sarjana untuk mata kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan tahun ajaran 2006-2007. Selain itu penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di CV. Rimba Sentosa, Sukoharjo, Jawa Tengah. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali dibimbing oleh Ir.T.R. Mardikanto, MS dan Dr.Ir. Naresworo Nugroho, MS.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat, karunia, dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada: 1. Ayah tercinta Prof. Dr. Zainuddin Saifulloh Nainggolan, MA, Ibu tersayang Dedah Suhedah, Kakak tercinta Ayatullah Nainggolan, SPd dan dr. Nurul Wahdah Nainggolan serta keluarga besar di Jakarta atas kasih sayang, doa, dukungan dan bantuan baik spiritual maupun material. 2. Ir. T.R Mardikanto, MS dan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberi arahan, bimbingan, dan dukungan selama penelitian sampai penulisan skripsi ini selesai. 3. Bapak Amin dan Mas Irfan di Laboratorium Keteknikan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB atas bantuannya selama penelitian. 4. Adam Bahtiar, Abdullah Fauzi Assegaf dan Dedi Sulaiman Rambe, serta teman-teman THH 40 atas bantuan dan semangat yang telah diberikan. 5. Sahabat-sahabat Vilbad terbaik dan terhebat yang selalu memberi semangat serta bantuan. 6. Teman-teman Badan Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Kehutanan, IPB dan Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB atas kerja samanya. 7. Keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB serta pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Bogor, Maret 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iii DAFTAR TABEL ........................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... v I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Tujuan .............................................................................................. 2 1.3 Manfaat............................................................................................. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Balok Laminasi ................................................................................. 3 2.2 Sifat-Sifat Umum Bambu .................................................................. 3 2.3 Sifat-Sifat Bambu Tali ...................................................................... 4 2.4 Perekat dan Perekatan ....................................................................... 5 2.5 Sifat Fisis dan Mekanis ..................................................................... 6 2.5.1 Sifat Fisis .................................................................................... 6 2.5.2 Sifat Mekanis .............................................................................. 8 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian ............................................................ 10 3.2 Bahan dan Alat ................................................................................. 10 3.3 Pembuatan Contoh Uji ..................................................................... 11 3.3.1 Pembuatan dan Pengeringan Bilah Bambu .................................. 11 3.3.2 Pembuatan Balok Laminasi Bambu ............................................. 13 3.3.3 Pengempaan ................................................................................ 13 3.3.4 Pengkondisian ............................................................................. 15 3.4 Prosedur Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis ...................................... 15 3.4.1 Pengujian Sifat Fisis .................................................................... 16 3.4.2 Pengujian Sifat Mekanis .............................................................. 16 3.5 Analisis Data dan Rancangan Percobaan ........................................... 18 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Balok Laminasi Bambu Tali ............................................. 20
4.2 Sifat Mekanis Balok Laminasi Bambu Tali ....................................... 21 4.2.1 Keteguhan Lentur Statis .............................................................. 21 4.2.2 Pola Kerusakan Balok Laminasi Bambu ...................................... 25 4.2.2 Keteguhan Geser Rekat ............................................................... 26 4.3 Klasifikasi Kekuatan Balok Laminasi Bambu.................................... 27 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 29 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 30 LAMPIRAN .................................................................................................... 31
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Ikatan yang terjadi antara perekat dalam bilah bambu ............................... 5 2. Pembuatan bilah-bilah bambu dengan dua ruas bambu .............................. 11 3. Pembuatan bilah-bilah bambu dengan satu ruas bambu ............................. 12 4. Penyusunan dua ruas bambu menjadi balok laminasi bambu ..................... 13 5. Penyusunan satu ruas bambu menjadi balok laminasi bambu..................... 13 6. Proses Pengempaan ................................................................................... 14 7. Pengujian MOE dan MOR pada UTM merk Balwin.................................. 16 8. Diagram MOE Balok Laminasi Bambu Tali .............................................. 22 9. Balok laminasi bambu dengan variasi sambungan satu ruas bambu ........... 23 10. Balok laminasi bambu dengan variasi sambungan dua ruas bambu .......... 23 11. Diagram MOR Balok Laminasi Bambu Tali............................................ 24 12. Diagram Keteguhan Geser Rekat............................................................. 26 13. Contoh uji geser rekat yang dibuat khusus ............................................... 27 14. Contoh uji geser rekat yang diambil dari balok laminasi sebelum pengujian MOE dan MOR....................................................................... 27
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Analisys of Varians (Anova) Percobaan Balok Laminasi Bambu Tali ........ 18 2. Bagan rancangan percobaan dengan ulangan 3 kali ................................... 18 3. Nilai Rata-rata Sifat Fisis Bambu Tali ....................................................... 19 4. Nilai Rata-rata Sifat Fisis Balok Laminasi Bambu Tali.............................. 19 5. Analisis Sidik Ragam Nilai MOE .............................................................. 23 6. Analisis Sidik Ragam Nilai MOR ............................................................. 24 7. Kelas Kuat Kayu ....................................................................................... 26
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Data Sifat Fisis Bambu Tali dan Balok Laminasi Bambu Tali ................. 30 2. Rekapitulasi Data MOE dan MOR .......................................................... 31 3. Rekapitulasi Data Keteguhan Geser Rekat............................................... 32 4. Analisis Sidik Ragam Nilai MOE ............................................................ 33 5. Analisis Sidik Ragam Nilai MOR............................................................ 34
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat di Indonesia mengakibatkan peningkatan jumlah kebutuhan kayu untuk perumahan serta perabot rumah tangga. Hal tersebut mengakibatkan penebangan kayu hutan yang berlebihan. Penebangan kayu hutan yang kurang terkendali dapat membahayakan kelestarian hutan. Agar kelestarian hutan dapat terpelihara, maka perlu dilakukan upaya untuk mencari bahan alternatif selain kayu sebagai bahan bangunan maupun perabot rumah tangga. Secara umum masyarakat di Indonesia telah mengenal bambu, untuk dipakai sebagai bahan bangunan, perabot rumah tangga dan bahan makanan. Bambu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang cepat tumbuh, mudah tumbuh di mana-mana, buluhnya panjang dan mudah diolah serta harganya pun relatif murah dibandingkan kayu. Selain itu, bambu mempunyai daur tebang yang relatif singkat, yaitu sekitar 4-5 tahun. Komponen bangunan dari bambu utuh yang biasa dijumpai adalah dalam bentuk tiang, balok, lantai, dinding atau sekat. Sedangkan sebagai perabot rumah tangga bambu banyak dipakai untuk meja, kursi, dipan, dekorasi serta peralatan dapur. Hal tersebut dapat menjadikan bambu sebagai alternatif subtitusi bagi produk yang berbahan kayu. Namun belum optimalnya pemanfaatan bambu menunjukkan perlu adanya pengembangan teknologi pengolahan bambu dengan perlakuan tertentu. Dalam hal ini teknologi yang potensial dilakukan adalah laminasi bambu. Diharapkan dengan laminasi bambu ini akan memberikan teknologi yang lebih efektif melalui produk-produk turunan dari bambu berupa panel dan balok laminasi yang memiliki dimensi yang lebih besar dan diharapkan memiliki kekuatan yang lebih besar pula. Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan produk dalam bentuk balok laminasi bambu untuk keperluan struktural. Metode yang digunakan adalah dengan penyusunan batang bambu dengan ruas yang bervariasi menggunakan perekat epoxy. Melalui pengaturan ruas bambu ini diharapkan kekuatan lentur dan
tekan balok laminasi bambu menjadi lebih besar. Jenis bambu yang dipakai adalah bambu tali (Giganthocloa apus Bl. Ex (Schult. F) Kurz). Produk ini diharapkan dapat menjadi alternatif selain kayu untuk keperluan struktural dan dapat mengoptimalkan pemanfaatan bambu.
1.2 Tujuan 1. Mengetahui pengaruh variasi jumlah ruas bambu terhadap sifat fisis dan mekanis balok laminasi bambu tali. 2. Mengetahui pengaruh pemberian perekat epoxy terhadap kekuatan balok laminasi bambu tali.
1.3 Manfaat 1. Pemanfaatan bambu sebagai alternatif pengganti kayu dapat mengurangi tingkat eksploitasi hutan alam. 2. Meningkatkan kualitas bambu dengan pengembangan teknologi laminasi sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi. 3. Sebagai salah satu upaya pemanfaatan bambu tali untuk bahan baku pembuatan balok laminasi.
1.4 Hipotesis Perlakuan variasi jumlah ruas bambu sebagai penyusun balok laminasi diduga akan memberikan pengaruh terhadap kekuatan balok laminasi bambu tali.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat-Sifat Umum Bambu Bambu termasuk ke dalam keluarga Graminae, suku Bambuceae, dan sub famili Bambusoideae, memiliki karakteristik seperti kayu. Bambu terdiri dari batang, akar rhizome yang komplek dan mempunyai sistem percabangan, mempunyai tungkai daun yang menyelubungi batang (Dransfield dan Widjaya 1995). Batang bambu tersusun dari buku dan ruas. Berbentuk tabung dengan diameter antara 20-30 cm dan panjangnya 3-35 m. Batang bambu umumnya berongga, terbagi atas ruas yang dibatasi oleh buku dan rongga antar buku dipisahkan oleh diafragma.
Panjang garis tengah dan ketebalan dinding
tergantung jenis bambu itu sendiri (Lembaga Biologi Nasional 1997). Bambu sebagai bahan bangunan dapat berbentuk buluh utuh, buluh belahan, bilah dan partikel.
Bahan ini dapat dipergunakan untuk komponen
kolom, kuda-kuda, kaso, reng rangka, jendela dan pintu serta balok laminasi. Adapun jenis bambu yang digunakan sebagai bahan bangunan adalah bambu betung
(Dendrocalamus
asper),
bambu
Gombang
(Gigantochloa
pseudoarundinaceae), bambu ater (Gigantochloa ater), bambu duri (Bambusa bambos dan Bambusa blumeana), bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae), dan bambu tali (Gigantochloa apus). Dari keempat bambu ini, bambu betunglah yang paling serba guna namun tidak mudah didapat di pasaran bahan bangunan. Bambu gombong, ater, duri biasanya digunakan untuk berbagai elemen struktur bangunan, bambu hitam dipakai sebagai unsur dekoratif, sedangkan bambu tali digunakan sebagai bahan anyaman dinding dan langit-langit, reng, dan lis (Surjokusumo dan Darmawan 1996). Lebih lanjut Jassen (1981) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu yaitu : 1. Jenis dan umur bambu 2. Kondisi bambu (kondisi segar atau sudah mendapatkan perlakuan) 3. Kadar air 4. Bentuk dan ukuran spesimen
5. Node dan internode 6. Jarak dari ujung KA (Kadar Air) bambu ditentukan oleh berat air yang terkandung dalam batang. KA batang bambu yang segar berkisar 50-99% dan pada bambu muda 80150%, sementara pada bambu kering bervariasi antara 12-18% (Dransfield dan Widjaya 1995). Semua nilai sifat-sifat kekuatan bambu meningkat seiring dengan menurunnya KA dan berkolerasi positif dengan berat jenis.
MOE bambu
berhubungan secara langsung dengan jumlah serat, oleh karena itu pada batang nilai parameter ini menurun dari sisi luar menuju bagian dalam. Kisaran normal MOE untuk batang bambu kering udara adalah 17000-20000 N/mm2 dan untuk batang segar 9000-10100 N/mm2 (Dransfield dan Widjaya 1995).
2.2 Sifat-Sifat Bambu Tali Bambu apus dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1000 m di atas permukaan air laut. Tinggi batang 8-11 m, ruas 45-65 cm, diameter 5-8 cm, tebal 3-15 mm (Morisco 1999) Bambu Tali (G.apus) tumbuh di daerah tropis yang lembab dan juga di daerah yang kering, berumpun simpodial, rapat dan tegak, tersebar di seluruh Jawa, tetapi selain itu juga tumbuh meliar di Taman Nasional Alas Purwo dan Meru Betiri. Jenis bambu ini mempunyai nama daerah : Bambu Tali (Indonesia), Pring Tali, Pring Apus (Jawa), Awi Tali (Sunda) (Widjaja 2001).
2.4 Perekat dan Perekatan Perekat adalah suatu substansi yang mempunyai kemampuan untuk menggabungkan bahan-bahan melalui ikatan permukaan. Perekatan adalah peristiwa merekatnya dua benda yang disebabkan adanya gaya tarik menarik antara perekat dengan benda yang direkatnya bersamaan dengan gaya tarik menarik antar molekul pereket itu sendiri (Houwink dan Solomon, 1965).
Menurut Aenudin (1995), ikatan yang terjadi dalam penggabungan bilah bambu dengan perekat diilustrasikan dalam Gambar 1.
4 2 1 3 5 Keterangan : (1) (2) dan (3) (4) dan (5)
: Ikatan dalam perekat. : Ikatan yang dibentuk antara perekat dengan permukaan dan terjadinya perekatan mekanis yang spesifik. : Ikatan di dalam bilah bambu, terjadi perekatan mekanis dimana kekuatannya ditentukan oleh gaya adhesi.
Gambar 1. Ikatan yang terjadi antara perekat dalam bilah bambu Yap (1984), menjelaskan bahwa berdasarkan cara pengerasannya, maka perekat dibagi 2 golongan yaitu : 1. Thermoplastic Perekat ini mempunyai sifat menjadi lunak jika kena panas dan menjadi keras apabila temperatur rendah, yaitu pada Polyvinil Acetat (PVAc) dan Butyrate. 2. Thermosetting Perekat ini mempunyai sifat tidak dapat lunak kembali dan menjadi keras apabila diberi panas, adanya reaksi kimia dengan hardener atau keduanya, contohnya yaitu UF, Melamin Formaldehida dan Resorsinol Formaldehida. Perekat epoxy merupakan jenis perekat yang bersifat thermosetting. Perekat epoxy berbentuk cair dan merupakan sistem dua komponen yang terdiri atas resin dan hardener yang dicampur saat akan digunakan dengan rasio masingmasing 50 %. Waktu simpan epoxy sekitar 3 bulan sampai 1 tahun. Berat labur yang dipakai 175 g/m2 sampai 225 g/m2. Cara penyimpanannya adalah pada suatu tempat/wadah tertutup, dihindarkan dari lingkungan yang basah dan dilindungi dari sinar matahari secara langsung dengan temperatur tempat penyimpanan 15-
30 0C. Dengan cara penyimpanan di atas, epoxy akan tahan selama satu tahun (Justus 2003 dalam Suryansyah 2005). Kelebihan-kelebihan dari perekat epoxy, yaitu : a. Mudah dalam pengerjaannya. b. Praktis dan ekonomis. c. Mempunyai efisiensi yang tinggi dalam kekuatan. d. Tahan terhadap air. e. Kontak antara perekat dan sirekat (adherend) yang baik serta daya rekat yang permanen (Myal 1989). Pemakaian perekat epoxy sangat luas pada bahan-bahan logam, gelas, keramik, beton, plastik thermosel (polyster, fenolik).
Jenis epoxy yang
dimodifikasi antara lain : epoxy nilon, epoxy polisulfida, dan epoxy poliuretan. Epoxy tergolong perekat tahan lembab untuk pemakaian eksterior. Beberapa keuntungan penggunaan perekat ini adalah mudah dikerjakan, ekonomis, praktis, tahan air, tahan minyak, tahan BBM, tahan alkali, tahan alkohol, tahan panas atau cuaca dingin serta daya rekatnya yang permanen (Myal 1989).
2.4 Balok Laminasi Balok laminasi (laminated beam) adalah balok yang dihasilkan dari pengikatan bersama sejumlah lapisan atau papan kayu di mana seluruh lapisan, arah serat kayunya sejajar.
Balok laminasi adalah balok yang dibentuk oleh
papan-papan tipis dengan arah sejajar serat dengan menggunakan perekat sebagai bahan pengikat serta balok tersebut menggantikan fungsi kayu utuh.
Balok
laminasi dapat memberikan kesan indah dan dekoratif dalam arsitektur bangunan (Surjokusumo dan Darmawan 1996). Berdasarkan penelitian Wahyuni (2005), jenis perekat dan jenis pengawetan berpengaruh nyata terhadap nilai keteguhan tekan sejajar serat balok laminasi bambu pada tingkat kepercayaan 99%. Secara umum perekat epoxy menghasilkan balok laminasi dengan keteguhan tekan yang relatif tinggi dibandingkan perekat PVAc. Hal tersebut disebabkan perekat PVAc mempunyai
beberapa kelemahan diantaranya daya tahan yang rendah terhadap air maupun temperatur. Rahmawati (2005) pada penelitiannya menyebutkan bahwa permukaan laminasi bambu yang tidak merata akibat dari pengerjaan yang kurang sempurna sehingga kerjasama antar bambu ketika menerima gaya kurang bagus.
2.5 Sifat Fisis dan Mekanis 2.5.1 Sifat Fisis Balok Laminasi Kadar air didefinisikan sebagai banyaknya air yang terdapat di dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kayu tanur. Kadar air balok laminasi umumnya sama atau lebih besar dari berat kering kayu. Kadar air balok laminasi yang terbentuk tergantung pada kadar air lapisan pembentuknya (Hansen 1960 dalam Alben 1992) Sifat fisis kayu laminasi banyak ditentukan oleh sifat fisis kayu pembentuknya, seperti kadar air dan berat jenis (Wirjomartono 1958 dalam Suryansyah 2005). Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan bahwa sifat fisis kayu yang terpenting adalah kadar air, kerapatan dan berat jenis. Faktor lain yang memepengaruhi sifat fisis kayu laminasi adalah perekat yang digunakan dalam pembuatannya. Menurut Yap (1967) dalam Rushandiana (2004) menyatakan bahwa bagian buku mengandung kadar air lebih kecil dibanding bagian ruas. Berat jenis bambu kering udara adalah 0,6-1,0. Fang dan Metha (1978) dalam Aenudin (1995) menyatakan bahwa bambu sangat mudah meyerap air dan melepaskannya saat mengering.
Penyerapan
bambu terhadap air dapat mencapai 25 % pada 24 jam pertama. Kadar air bambu bervariasi berdasarkan umur, ketinggian batang dan musim. Kadar air ini akan menurun ketika bambu berumur tua. Batang bambu yang berumur 6 bulan sampai 1 tahun mempunyai kadar air yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar air bambu berumur 3 sampai 4 tahun. Ruas pada bambu mengandung kadar air 2 % hingga 7 % lebih tinggi daripada kadar air pada buku (Siopongco, 1987 dalam Aenudin, 1995). Siopongco (1987) dalam Aenudin (1995) mengemukakan bahwa penyusutan dalam bambu dimulai ketika bambu mulai mengering. Kadar air
berpengaruh terhadap derajat penyusutan. Batang yang belum dewasa derajat penyusustannya lebih besar dibandingkan dengan bambu dewasa pada jenis yang sama. Pengkondisian bambu yang belum dewasa akan meningkatkan pecah dan collapse. Pada bambu dewasa penyusutan dari keadaan segar hingga kadar air 20 % bervariasi antara 4-6 % untuk tebal dinding dan 3-12 % untuk diameter.
2.5.2 Sifat Mekanis Balok Laminasi Menurut Wirjomartono (1977) dalam Aenudin (1995) yang dimaksud balok laminasi adalah balok yang dibentuk dari papan-papan tipis dengan menggunakan perekat yang disusun dengan arah serat sejajar, dapat dibentuk lurus, melengkung atau gabungan keduanya. Kelebihan balok laminasi dibandingkan dengan balok utuh adalah dapat dibuat lengkungan panjang, dapat dibuat dari potongan kayu berukuran kecil, dapat dibuat penampang lintang dan panjang lebih besar, dapat direncanakan pembuatan balok dengan kekuatan lebih besar dan penggunaan balok laminasi member kesan dekoratif dan penampilan yang baik (Brown et all., 1952) Bodig dan Jayne (1982) mengemukakan bahwa prinsip yang harus dipegang dalam menentukan model dan bentuk laminasi adalah memaksimumkan penggunaannya dan meminimukan pemakaian bahan baku
serta biaya
pembuatannya. Sehingga dalam pembuatannya prinsip-prinsip ekonomi dan keteknikan harus diikutsertakan. Menurut Yap (1984) Kelemahan dari penggunaan balok laminasi adalah perlu adanya peralatan dan pengawasan yang khusus dalam pembuatannya. Pelaksanaan pembuatan kayu laminasi harus mempunyai peralatan yang baik untuk mencampur dan melaburkan perekat serta untuk memelihara suhu dan tekanan pengempaan. Sifat mekanis kayu adalah sifat yang berhubungan dengan kemampuan kayu untuk menahan gaya dari luar yang bekerja padanya (Haygreen dan Bowyer, 1989). Sifat mekanis ini mencakup sifat yang berhubungan dengan tegangan dan perubahan bentuk/deformasi yang terjadi akibat beban/gaya dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi sifat mekanis.
a. Keteguhan Lentur Statik (Static Bending Strength) Keteguhan lentur adalah kekuatan untuk menahan gaya-gaya yang berusaha melengkungkan batang bambu atau menahan muatan mati atau hidup. Karena bambu merupakan bahan yang elastis, maka lendutan yang terjadi sesuai kekuatan bahan menjadi agak tinggi (rata-rata 1/20). Hal ini perlu diperhatikan pada pembangunan gedung, dimana lendutan konstruksi biasanya tidak boleh melebihi 1/300 dari lebar bentang. Di Indonesia tegangan lentur yang diijinkan adalah 9.80 N/mm2 (Frick 2004) Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), keteguhan lentur statis merupakan sifat yang digunakan untuk menentukan beban yang dipikul suatu gelagar. Apabila suatu gelagar dibengkokkan, separuh bagian atas mengalami tegangan tekan dan separuh bagian bawah mengalami tegangan tarik, sedangkan sumbu netral tidak mengalami tegangan tarik maupun tegangan tekan. Dalam pengujian keteguhan lentur statis akan diperoleh nilai keteguhan kayu pada batas proporsi dan keteguhan maksimum. Di bawah batas proporsi terdapat hubungan garis lurus antar besarnya tegangan dan regangan, perbandingan antara regangan dan tegangan ini disebut Modulus of Elasticity (MOE). Nilai MOE menunjukkan nilai kekakuan bukan kekuatan. Modulus of Rupture (MOR) dihitung dari beban maksimum atau beban pada saat patah dengan menggunakan pengujian yang sama untuk penentuan MOE. b. Keteguhan Tekan Sejajar Serat (Compression Strength Parallel to the Grain) Menurut Frick (2004) kekuatan tekan bambu untuk menahan gaya-gaya tekan berbeda-beda pada bagian ruas dan bagian di antara ruas batang bambu. Bagian batang tanpa ruas memiliki kekuatan terhadap gaya tekan yang 8 - 45% lebih tinggi daripada batang bambu yang beruas. Di Indonesia tegangan tekan yang diijinkan sejajar arah serat adalah 7.85 N/mm2. Mardikanto (1979) menyatakan bahwa pada pengujian tegak lurus serat, nilai yang dicari adalah tegangan pada batas proporsi, karena setelah melewati batas tersebut akan terjadi pemadatan sel (sel rusak). Sedangkan pada pengujian tekan sejajar serat, beban tekan yang bekerja dapat mengakibatkan lenturan sebelum tiang patah (pada tiang panjang), kerusakan terjadi sebelum tiang mencapai kekuatan tekan maksimum akibat adanya lenturan. Tahapan kerusakan
yang terjadi pada uji batang pendek berawal dari timbulnya patahan pada dinding sel, patahan ini selanjutnya membesar membentuk garis yang semakin nyata pada permukaan kayu yang selanjutnya akan mengalami pelipatan atau pengerutan. c. Keteguhan Geser Rekat (Shearing Strength) Kekuatan geser adalah ukuran kekuatan bambu dalam hal kemampuannya menahan gaya-gaya yang membuat suatu bagian bambu bergeser dari bagian lain di dekatnya. Kekuatan geser berbeda-beda pada tebalnya dinding batang bambu (kekuatan geser pada dinding 10 mm menjadi 11% lebih rendah daripada dinding bambu setebal 6 mm), dan pada bagian ruas dan bagian di antara ruas batang bambu. Bagian batang tanpa ruas memiliki kekuatan terhadap gaya geser yang 50% lebih tinggi daripada batang bambu yang beruas. Di Indonesia kekuatan geser yang diijinkan searah serat adalah 2.45 N/mm2 (Frick 2004). Mardikanto (1979) menyatakan bahwa ada empat kemungkinan geser yang biasa terjadi pada kayu diantaranya adalah sejajar serat (parallel), tegak lurus (perpendicular), miring serat (obligue shear) dan geser antar serat (rolling shear). Geser sejajar serat adalah dua bidang saling bergeseran dengan bidang geseran sejajar serat. Cacat yang sangat mempengaruhi keteguhan geser sejajar serat adalah retak-retak (checks dan shakes) dan pecah yang mengarah ke arah longitudinal (mengurangi bidang kontak penahan gaya geser).
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2007 sampai bulan Maret 2008 di Laboratorium Keteknikan Kayu dan Laboratorium Kayu Solid Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
3.2 Bahan dan Alat 1. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Bambu Tali (Gigantochloa apus Bl. Ex (schult.F.) Kurz) yang berumur 3-5 tahun diperoleh dari toko bangunan Pidoa Sepuh, Bogor yang asal bambunya dari daerah Rumpin, Tanggerang. b. Perekat yang digunakan adalah Epoxy yang dipasarkan oleh Bratachem dengan berat labur 175 g/m2 2. Alat-alat yang digunakan meliputi peralatan untuk menyiapkan bahan baku, pembuatan papan laminasi dan alat penguji dengan uraian sebagai berikut : a. Alat untuk menyiapkan bahan, yaitu: 1) Gergaji untuk memotong bambu. 2) Golok, untuk membelah bambu dan membuat bilah bambu. 3) Mesin penyerut (planner) dan circular saw. b. Alat untuk membuat papan laminasi bambu, yaitu : 1) Kape, untuk melaburkan perekat. 2) Lempeng (plat) besi ukuran 1 m x 40 cm dan klem untuk kempa dingin. 3) Circular saw, untuk memotong. c. Alat untuk menguji sifat-sifat mekanis, Modulus of Elasticity (MOE). Modulus of Rupture (MOR) dan keteguhan tekan sejajar serat yaitu alat uji Universal Testing Machine (UTM) merk Baldwin. Alat-alat pendukung lain seperti penggaris, amplas, timbangan, oven, desikator, bak air dan kaliper.
3.3 Pembuatan Contoh Uji 3.3.1 Pembuatan dan Pengeringan Bilah Bambu Batang bambu dipotong-potong menjadi ukuran panjang dengan menyertakan bukunya. Ukuran panjang tersebut sesuai dengan jarak antar buku bambu. Potongan bambu-bambu tersebut kemudian dibelah dengan golok menjadi bilah yang siku untuk bagian atas dan bawah balok laminasi sedangkan bagian tengah adalah bambu yang dipotong sehingga membentuk 3 sisi yang lurus dan satu sisi lengkung, hal ini dimaksudkan agar dapat serasi apabila direkatkan dengan bagian atas dan bawahnya. Bilah-bilah mentah tersebut dikeringkan dengan oven selama 3-4 hari dengan suhu maksimal 40°C. Bilah-bilah bambu yang masih kasar tersebut dihaluskan pada setiap sisinya tanpa membuang kulit bambu yang masih merekat. Bagian kulit bambu dipertahankan untuk memunculkan nilai seni dan estetik dari balok bambu laminasi. Sedangkan bagian sisi yang dihaluskan berguna untuk mempermudah proses penyerutan bilah bambu dengan menggunakan mesin Planner menjadi bilah-bilah halus yang siap untuk dilaminasi.
buku bambu
Bagian atas dan bawah ruas bambu
Bagian tengah
Gambar 2. Pembuatan bilah-bilah bambu dengan dua ruas bambu
buku bambu
Bagian atas dan bawah
ruas bambu
Bagian tengah
Gambar 3. Pembuatan bilah-bilah bambu dengan satu ruas bambu
3.3.2 Pembuatan Balok Laminasi Bambu Perekat yang digunakan adalah perekat Epoxy dengan berat labur 175 gr/m2. Untuk penggunaan perekat Epoxy, pencampuran antara resin dan hardener dilakukan dengan perbandingan berat 1:1 Pelaburan perekat dilakukan dengan metode double spread (dua permukaan). Proses pelaburan perekat dilakukan satu per satu antara sisi-sisi pada masing-masing bilah dengan menggunakan kape secara perlahan-lahan. Sisi-sisi bilah bambu yang sudah dilaburi perekat segera direkatkan satu sama lain. Setelah dilakukan perekatan antara permukaan dan mencapai ukuran diinginkan, maka dilakukan pengkleman selama ± 16 jam. Tekanan kempa yang digunakan adalah tekanan manual atau dengan tangan, yaitu hingga perekat meleleh keluar atau sampai tuas klem sulit untuk diputar. Ukuran balok laminasi yang akan di buat adalah 6 cm (tebal) x12 cm (lebar) x 140 cm (panjang).
3.3.3 Pengempaan Bilah-bilah bambu yang telah direkatkan bersama tersebut kemudian diklem dengan lempeng/plat besi. Proses pengempaan/pengkleman berlangsung selama kurang lebih 16 jam. Setelah dilakukan pengempaan, maka didapatkan bambu dalam bentuk balok laminasi.
Dua ruas bambu
Buku bambu
Sambungan 140 cm
Gambar 4. Penyusunan dua ruas
12 cm
bambu menjadi balok laminasi bambu. 6 cm
Satu ruas bambu Buku bambu Sambungan
140 cm
12 cm
Gambar 5. Penyusunan satu ruas bambu 6 cm
menjadi balok laminasi bambu.
Gambar 6. Proses Pengempaan 3.3.4 Pengkondisian Setelah proses pengempaan, balok laminasi yang dihasilkan dikondisikan selama ± 1 minggu untuk menyeragamkan kadar air dan melepaskan tegangan yang terjadi pada saat pengempaan dilakukan. 3.4 Prosedur Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis 3.4.1 Pengujian Sifat Fisis Bambu dan Balok Laminasi a. Kadar air Pengujian kadar air digunakan contoh uji dengan ukuran yang disesuai dengan dimensi bambu, hal tersebut dikarenakan dimensi bambu yang saling berbeda satu sama lain. Ukuran bambu diusahakan mendekati 2 cm (panjang) x 2 cm (lebar) x 1 cm (tebal). Sedangkan ukuran balok laminasi diusahakan mendekati 5 cm (panjang) x 2 cm (lebar) x 1 cm (tebal). Contoh uji ditimbang untuk mengetahui berat awal (kondisi basah). Volume contoh uji diukur dengan pengukuran biasa menggunakan kaliper, kemudian contoh uji dibiarkan pada udara terbuka, sehingga didapatkan berat dan volume pada kondisi kering udara. Selanjutnya contoh uji dimasukkan ke dalam oven pada temperatur 103±2
0
C
selama 24 jam, sehingga didapat berat kering tanur. Besarnya nilai kadar air dihitung berdasarkan persamaan berikut :
KAbasah =
BB − BKT x100%...............................................................................(1) BKT
KAKU =
BKU − BKT x 100%............................................................................(2) BKT
Dimana :
KA = Kadar air
BKT = Berat kering tanur
KU = Kering udara
BKU = Berat kering udara
BB = Berat awal
b. Kerapatan Untuk mendapatkan nilai kerapatan yang sesuai dengan kondisi pemakaian maka digunakan contoh uji pada kondisi kering udara. Parameter yang diukur adalah berat dan volume. Dengan urutan sebagai berikut : a. Contoh uji ditimbang (w) b. Contoh uji diukur volumenya (v) Besarnya nilai kerapatan dihitung berdasarkan persamaan berikut : D=
W .................................................................................................................(3) V
Dimana :
D = kerapatan V = Volume (cm3) W = Berat contoh uji (gram)
c. Berat Jenis Pembuatan contoh uji untuk berat jenis berukuran 2 cm x 2 cm x 0.5 cm yang diambil dari bagian buku dan ruas sebanyak 3 ulangan. Nilai berat jenis dapat dihitung dengan persamaan : 3 BJ = Kerapatan bambu / balok laminasi( g / cm ) .................................................(4) Kerapatan benda standar( g / cm3 )
Dimana : BJ = Berat Jenis
3.4.2 Pengujian Sifat Mekanis Pada pengujian sifat mekanis ini yang diuji adalah MOE, MOR dan Keteguhan Geser Rekat. Pengujian MOE dan MOR dengan center point loading, rumus yang dipakai berdasarkan pada ASTM D-198(1999). Contoh uji dibuat
sebanyak 3 ulangan. Contoh uji beraturan dengan jarak bentang 120 cm diuji pada UTM merk Baldwin.
Gambar 7. Pengujian MOE dan MOR pada UTM merk Baldwin
Perhitungan MOE dan MOR pada contoh uji diasumsikan sama dengan perhitungan MOE dan MOR pada balok biasa, dimana I (Inersia) nya menggunakan inersia fiktif dalam bentuk segi empat tidak dalam bentuk lingkaran terpancung (secara aktual). a. Keteguhan Lentur Statis Pada pengujian keteguhan lentur statis (static bending), akan diperoleh modulus elastisitas/ MOE dan modulus patah/ MOR. Pengamatan defleksi akibat pembebanan dilakukan setiap pertambahan pembebanan 20 kg pada jumlah titik yang ditetapkan. Perhitungannya dilakukan dengan menggunakan persamaan linier sederhana dengan model persamaan Y = a + bx dimana Y merupakan besarnya defleksi, sedangkan a dan b adalah konstanta. Besarnya MOE dan MOR dihitung dengan rumus : MOE =
∆PL3 ....................................................................................................(5) 4∆Ybh 3
MOR =
3Pmax L .....................................................................................................(6) 2bh 2
Dimana : MOE = Modulus of Elasticity (kg/cm2) MOR = Modulus of Rupture (kg/cm2) P
= Selisih beban (kg)
Pmax
= Beban maksimum pada saat contoh uji mengalami kerusakan (kg)
L
= Panjang bentang/jarak sangga (cm)
b
= Lebar penampang contoh uji (cm)
h
= Tebal penampang contoh uji (cm) Y
= Defleksi karena beban (cm)
b. Keteguhan Rekat Pengujian keteguhan geser rekat antara dua permukaan yang telah dihubungkan dengan perekat dilakukan untuk mengetahui besarnya beban atau gaya maksimal yang dapat ditahan oleh contoh uji pada kedua ujung. Pengujian dilakukan dengan membebani contoh uji berukuran (5x5x5) cm, kemudian diberi beban pada arah yang telah ditentukan secara perlahan-lahan. Gaya geser maksimal didefinisikan sebagai gaya atau beban maksimal yang dapat menyebabkan kerusakan pada contoh uji. Nilai keteguhan geser dapat dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut :
δ ss =
P .................................................................................................................(7) A
Dimana :
δ ss
= Keteguhan geser sejajar serat (kg/cm2)
P
= Beban maksimal yang menyebabkan kerusakan pada contoh uji (kg)
A
= Luas penampang contoh uji (cm2)
3.5 Analisis Data dan Rancangan Percobaan Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan ulangan sebanyak 3 (tiga) kali. Model rancangan yang digunakan adalah : Yij =
+ Ai + ij
Keterangan : Yij
: Respon perlakuan A (perlakuan terhadap bambu) taraf ke-i pada pengamatan ke-j : Nilai rata-rata umum
Ai ij
: Pengaruh perlakuan A taraf ke-i : Galat percobaan ke-k akibat kombinasi perlakuan (ij)
i
: 1,2 (jumlah ruas penyusun : satu dan dua)
j
: 1,2,3 (ulangan)
Tabel 1. Analisys of Varians (Anova) Percobaan Balok Laminasi Bambu Tali Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah
Kuadrat
(DB)
Kuadrat (JK)
Tengah (KT)
Perlakuan
ab-1
JKP
KTP
A
a-1
JK (A)
KT (A)
Galat
ab(n-1)
JKG
KTG
Total
abn-1
JKT
Tabel 2. Bagan rancangan percobaan dengan ulangan 3 kali Faktor A
Ulangan (R)
satu (a1) ruas
1 2 3 Jumlah
dua (a2) ruas
1 2 3 Jumlah Jumlah
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap sifat-sifat balok laminasi bambu maka dilakukan analisis keragaman. Analisis keragaman tersebut menggunakan kriteria uji sebagai berikut : apabila F hitung > F tabel, berarti pengaruh perlakuan terhadap nilai pengamatan memberikan pengaruh nyata pada tingkat kepercayaan tertentu dan sebaliknya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sifat Fisis Balok Laminasi Bambu Tali Seperti halnya balok laminasi kayu, sifat fisis balok laminasi bambu tali juga ditentukan oleh sifat fisis bambu pembentuknya. Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan bahwa sifat fisis kayu terpenting adalah kadar air, kerapatan, dan berat jenis. Berdasarkan hal tersebut, maka nilai kadar air, kerapatan dan berat jenis balok laminasi bambu tali tidak terlalu berbeda nilainya dengan bambu tali sebagai pembentuk balok laminasi tersebut. Pada Tabel 3 dan Tabel 4 disajikan sifat fisis bambu tali dan sifat fisis balik laminasi bambu.
Tabel 3. Nilai Rata-rata Sifat Fisis Bambu Tali Contoh Uji
Kadar Air (%)
Kerapatan (g/cm3)
Berat Jenis
Bagian Buku
14,78
0,54
0,47
Bagian Ruas
15,37
0,63
0,55
Tabel 4. Nilai Rata-rata Sifat Fisis Balok Laminasi Bambu Tali Contoh Uji
Kadar Air (%)
Kerapatan (g/cm3)
Berat Jenis
Bagian Buku
12,80
0,46
0,40
Bagian Ruas
13,04
0,51
0,45
Pada tabel yang disajikan dapat terlihat bahwa kadar air bagian buku bambu memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan pada bagian ruasnya. Menurut Yap (1967) dalam Rushandiana (2004), bagian buku mengandung kadar air lebih kecil dibanding bagian ruas. Berat jenis bambu kering udara adalah 0,6-1,0. Dalam hal ini sifat higroskopis bambu sama seperti kayu, yaitu dapat menyerap dan melepaskan air tergantung pada kondisi lingkungan. Bagian ruas dan buku samasama mudah menyerap air, tetapi pada bagian ruas lebih lambat dalam mengeluarkan air jika dibandingkan dengan bagian buku. Hal tersebut terlihat pada saat dilakukan pengeringan dengan oven, bagian buku lebih cepat kering dan lebih cepat berubah warnanya menjadi lebih tua.
Rata-rata nilai kadar air balok laminasi bambu tali tidak jauh berbeda dengan nilai rata-rata kadar air bambu tali baik pada bagian buku maupun pada bagian ruas. Kadar air balok laminasi dipengaruhi oleh perekat dan teknik perekatannya, karena pori-pori bambu menyerap perekat sehingga menyebabkan kemampuan bambu dalam menyerap dan melepaskan air menurun. Teknik perekatan yang tidak seragam antara bambu yang satu dengan lainnya juga bisa menyebabkan kadar air yang tidak seragam pula. Nilai kerapatan rata-rata dari sifat fisis bambu tali dan sifat fisis balok laminasi bambu tali berbanding lurus dengan nilai kadar airnya. Semakin tinggi kadar air maka nilai kerapatan akan semakin tinggi pula. Balok laminasi bambu memiliki nilai kerapatan yang lebih rendah dibandingkan kerapatan bambu tali, hal tersebut diduga karena ada pengaruh dari mesin planner pada saat perataan bilah bambu. Pada pengujian sifat fisis ada yang menjadi catatan bahwa dimensi bambu tidak berbanding lurus dengan Berat Kering Udara (BKU) data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Hal ini dapat terjadi karena bertambah besarnya diameter bambu tidak selalu dibarengi dengan peningkatan tebal bambu.
4.2 Sifat Mekanis Sifat mekanis yang diuji adalah MOE, MOR dan keteguhan geser rekat. Untuk pengujian MOE dan MOR dilakukan pada dua variasi yaitu pada variasi sambungan satu dan dua ruas bambu. Sifat mekanis balok laminasi bambu dipengaruhi oleh jenis, umur, tempat tumbuh, perekat yang digunakan, dan variasi dalam laminasi bambu.
4.2.1 Keteguhan Lentur Statis Pada pengujian keteguhan lentur statis balok laminasi bambu tali akan diperoleh nilai keteguhan balok pada batas proporsi dan keteguhan maksimum. Nilai MOE menunjukkan nilai kekakuan, sedangkan MOR dihitung dari beban maksimum atau beban pada saat patah dengan menggunakan pengujian yang sama untuk penentuan MOE.
4.2.1.1 Kekakuan (MOE) Nilai kekakuan atau MOE untuk variasi sambungan ruas bambu pada balok laminasi bambu tali dapat dilihat pada Gambar 8.
Keterangan : B1 = Balok laminasi bambu tali dengan variasi sambungan satu ruas bambu. B2 = Balok laminasi bambu tali dengan variasi sambungan dua ruas bambu.
Gambar 8. Diagram MOE Balok Laminasi Bambu Tali
Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa nilai MOE dengan variasi sambungan dua ruas bambu (B2) memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu 6672.67 kg/cm2. Hal ini diduga karena tidak terlalu banyaknya potongan bambu yang direkatkan, sehingga dampak dari tidak teraturnya bentuk masing-masing bambu tidak terlalu signifikan. Oleh karena itu, perekatan akan lebih merata dibandingkan pada variasi sambungan satu ruas bambu. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10. Pada gambar tersebut variasi dua ruas bambu maksimal terdapat tiga potongan pada satu lapisan, sedangkan untuk variasi sambungan satu ruas bambu akan terdapat lebih dari tiga potongan dalam satu lapisan.
Dampak dari tidak meratanya lebar sisi yang akan direkatkan pada masing-masing bambu akan berakibat pada tidak meratanya perekat yang akan direkatkan pada permukaan bambu. Jadi semakin banyak potongan yang direkatkan, maka akan semakin banyak pula lebar sisi yang berbeda. Hal tersebut yang mengakibatkan variasi sambungan dua ruas bambu lebih tinggi nilai kekakuannya dibandingkan variasi sambungan satu ruas bambu. Apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya mengenai balok laminasi bambu utuh, maka nilai MOE yang diperoleh dari variasi sambungan dua ruas bambu memiliki nilai MOE yang lebih tinggi yaitu 6672.67 kg/cm2. Pada penelitian Rahmawati (2005) diperoleh nilai MOE rata-rata untuk balok laminasi bambu sebesar 3973 kg/cm2.
Gambar 9. Balok laminasi bambu dengan variasi sambungan satu ruas bambu
Gambar 10. Balok laminasi bambu dengan variasi sambungan dua ruas bambu
Kemudian dari analisis keragaman perlakuan variasi sambungan ruas bambu tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata pada tingkat kepercayaan 95% terhadap kekakuan bahan.
Tabel 5. Analisis Sidik Ragam Nilai MOE Sumber Keragaman
DB
JK
KT
F hitung
F tabel
Perlakuan
1
6765662
6765662
2.41
7.71
Galat
4
11206185
2801546
Total
5
17971847
4.2.1.2 Keteguhan Lentur Pada Gambar 11 di bawah ini disajikan nilai MOR balok laminasi bambu tali dengan perlakuan variasi sambungan ruas bambu.
300
MOR (kg/cm2)
250
220.04
227.99
B1
B2
200 150 100 50 0 Variasi Ruas Bambu
Keterangan : B1 = Balok laminasi bambu tali dengan variasi satu ruas bambu. B2 = Balok laminasi bambu tali dengan variasi dua ruas bambu
Gambar 11. Diagram MOR Balok Laminasi Bambu Tali
Berdasarkan diagram di atas, dapat diketahui bahwa nilai MOR yang lebih tinggi adalah pada variasi sambungan dua ruas bambu. Hal ini diduga sama halnya pada
nilai kekakuan, yaitu akibat tidak meratanya perekat yang akan direkatkan pada permukaan bambu yang disebabkan berbedanya lebar sisi bambu yang akan direkatkan pada masing-masing potongan. Ada yang menjadi satu catatan pada saat pengujian, yaitu nilai beban maksimum terjadi dua kali, hal ini dapat disebabkan patah yang terjadi pada lapisan bawah tidak berarti patah pada lapisan tengah dan atas, sehingga nilai pembebanan yang tadinya berkurang akan naik kembali.
Tabel 6. Analisis Sidik Ragam Nilai MOR Sumber Keragaman
DB
JK
KT
F hitung
F tabel
Perlakuan
1
94.6
94.6
2.57
7.71
Galat
4
147.1
36.8
Total
5
241.8
Kemudian dari hasil analisis keragaman nilai MOR, perlakuan variasi sambungan ruas bambu tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekuatan lenturnya pada tingkat kepercayaan 95%.
4.2.2 Pola Kerusakan Balok Laminasi Bambu Pola kerusakan pada contoh uji pasca pengujian umumnya pada bagian rekatnya bukan pada bagian bambunya. Menurut Wirjomartono (1977) dalam Nugraha (2000) Balok yang terbebani oleh beban lentur akan mengalami kerusakan pertama kali pada zona tekannya berbentuk retak-retak kecil kemudian diikuti turunnya garis netral balok pada berikutnya timbul retak-retak pada zona tarik hingga balok akhirnya patah. Terjadinya kerusakan pada bagian rekat diduga karena lebar sisi yang tidak sama antara buluh bambu yang akan direkatkan sehingga permukaan bambu tidak seluruhnya dapat direkatkan. Pola sambungan diduga juga mempengaruhi tidak meratanya perekat pada bagian permukaan bambu, pola sambungan yang dipakai adalah pola sambungan biasa tanpa perlakuan pada bagian ujung sambungan. Kerusakan pertama kali terjadi pada bagian bawah yaitu pada bagian sambungan yang dimulai dari arah samping.
4.2.3 Keteguhan Geser Rekat Keteguhan geser rekat bambu adalah kekuatan yang dimiliki oleh perekat yang merekatkan masing-masing bambu pada luas permukaan tertentu dalam menahan beban yang bekerja padanya. Keteguhan geser pada balok laminasi bambu berupa keteguhan geser pada lamina dan keteguhan geser pada garis rekat (keteguhan rekat). Pengujian keteguhan geser rekat dilakukan dengan menggunakan uji geser tekan dengan memberikan beban pada arah sejajar serat. Pembebanan dilakukan secara perlahan sampai terjadi kerusakan contoh uji. Nilai keteguhan geser rekat disajikan pada Gambar 12, dan data hasil pengujian keteguhan geser rekat
Keteguhan Geser Rekat (kg/cm 2)
disajikan pada Lampiran 3.
40 35
34.02
30
25.56
25 20 15 10 5 0 G1
G2
Contoh Uji Keteguhan Geser Rekat
Keterangan : G1= Contoh uji geser rekat yang dibuat khusus G2= Contoh uji geser rekat yang diambil dari balok laminasi sebelum pengujian MOE dan MOR
Gambar 12.Diagram Keteguhan Geser Rekat
Dari diagram pada Gambar 12 diketahui bahwa nilai keteguhan geser rekat contoh uji geser rekat yang diambil dari balok laminasi sebelum pengujian MOE dan MOR lebih rendah dibandingkan contoh uji geser rekat dengan bambu yang dibuat khusus untuk pengujian geser rekat. Hal ini sedikit banyaknya dapat membuktikan bahwa pengaruh tidak meratanya perekat yang akan direkatkan pada luas bidang rekat bambu akibat lebar sisi yang akan direkatkan berbeda pada setiap potongan bambu berpengaruh nyata terhadap nilai pengujian sifat mekanis. Contoh uji geser rekat dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14.
Gambar 13. Contoh uji geser rekat yang dibuat khusus
Gambar 14. Contoh uji geser rekat yang diambil dari balok laminasi sebelum pengujian MOE dan MOR
4.3 Klasifikasi Kekuatan Balok Laminasi Bambu Balok laminasi bambu dapat dibandingkan dengan kayu utuh berdasarkan kelas kuat. Kelas kuat kayu utuh menurut PKKI (Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia) dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kelas Kuat Kayu Kelas Kuat
Berat Jenis
Keteguhan
Lentur Keteguhan Tekan
Mutlak (kg/cm2)
Mutlak (kg/cm2)
I
0.90
1100
650
II
0.90-0.60
100-725
650-425
III
0.60-0.40
725-500
425-300
IV
0.40-0.30
500-360
300-215
V
0.30
360
215
Sumber (PKKI, 1961) Berdasarkan perbandingan kelas kuat kayu, maka dilihat dari berat jenisnya yaitu dengan nilai 0.42, balok laminasi bambu termasuk dalam kelas kuat III. Sedangkan dari keteguhan lentur mutlaknya dengan nilai 227.99 kg/cm2, balok laminasi bambu termasuk kelas kuat V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Berdasarkan Tabel kelas kuat kayu utuh PKKI maka balok laminasi bambu tali dengan variasi sambungan ruas bambu belum dapat di manfaatkan sebagai balok struktural, karena nilai keteguhan lentur mutlaknya masuk dalam kelas kuat V. 2. Hasil pengujian balok laminasi bambu antara variasi sambungan satu dan dua ruas bambu memiliki sifat mekanis yang berbeda dan berdasarkan analisis sidik ragam tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata. 3. Variasi ruas bambu yang terbaik adalah variasi sambungan dua ruas bambu karena memiliki nilai MOE dan MOR yang lebih tinggi, yaitu 6672.67 kg/cm2 dan 227.99 kg/cm2, sedangkan untuk satu ruas bambu yaitu 4548.67 kg/cm2 dan 220.04 kg/cm2. 4. Perekat epoxy tidak menempel secara maksimal pada balok laminasi bambu sehingga pengaruh perekat epoxy tidak terlihat nyata pada kekuatan balok laminasi bambu.
B. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut bagaimana penggunaan bambu jenis lain untuk pembuatan balok laminasi bambu. 2. Selain jenis perlu juga dilakukan penelitian dengan menggunakan sambungan lain untuk pembuatan balok laminasi bambu, seperti baut dan pasak. 3. Apabila dilihat dari tidak meratanya perekat pada proses pelaburan perekat maka perlu diperhatikan keseragaman bambu yang akan dilaminasi sehingga kekuatan balok laminasi dapat meningkat. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perlakuan sambungan yang digunakan, salah satunya adalah dengan finger joint. Diharapkan dengan perlakuan sambungan tersebut mendapatkan kekuatan balok laminasi bambu yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Aenudin. 1995. Beberapa Sifat Rekayasa Balok Bentukan Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.F) Backer ex. Heyne). Tesis Program Psca Sarjana. Tidak diterbitkan. Alben, A. 1992. Pengaruh Penempatan Lapisan yang Disambung dan Arah Pembebanan Terhadap Kekakuan dan Keteguhan Lentur Balok Laminasi Konvensional. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Dipublikasikan. ASTM. 1999. Standard Test Methods of Static Tests of Lumber in Structural Sizes (D 198-99). Book of ASTM Standards. Philladelphia. Bodig, J. dan B.A. Jayne. 1982. Mechanics of Wood and Wood Composites. Van Nostrand Reinhal Company, New York. Brown, H.P., A.J.Panshin and C.C Forsaith. 1952. Text Book of Wood Technology. Vol I. Mcgraw Hill book Co.Inc, New York. Dransfield S, dan E. A. Widjaya (Editor). 1995. Plant Resources of South-East Asia No.7 : Bamboos. Backhuys Publishers. Leyden. Frick, H. 2004. Ilmu Konstruksi Bangunan Bambu. Seri Konstruksi Arsitektur 7. Kanisius : Yogyakarta. Haygreen JG, dan JL Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Terjemahan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Houwink, R and G. Solomon. 1965. Adhesion and Adhesive. Vol.I&II. Elseiver Publishing Company. Amsterdam. Janssen JJA. 1981. The Importance of Bamboo as Building Material. Bamboo Current Research. KFRI, India and IDRC. Chocin, India. Lembaga Biologi Nasional, Proyek Sumber Daya Ekonomi. 1997. Beberapa Jenis Bambu. Bogor : Lembaga Biologi Nasional. Mardikanto, TR. 1979. Sifat Mekanik Kayu. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan. Morisco. 1999. Rekayasa Bambu. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Myal, MC.1989. The Ultimate Glue In Wood Aircraft Building Techniques. The EAA Aviation Fondation Inc. Oskhos, WI.
Nugraha, S. 2000. Studi Hubungan Sifat Kekakuan Bahan dan Kekuatan Lentur Balok Laminasi Kayu Damar (Agathis loranthifolia Salibs.) Pada Berbagai Ketebalan Lamina. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pizzi, A. 1983. Wood Adhesive : Chemistry and Technology. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel. PKKI. 1961. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia. NI-5. Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. Bandung. Rahmawati, I. 2005. Karakteristik Balok Laminasi Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz) Dengan Penampang Yang Dimodifikasi. Skripsi. Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Tidak diterbitkan. Ruhendi S, dan YS Hadi. 1997. Perekat dan Perekatan. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Rushandiana, A. 2004. Hubungan Pertumbuhan Rebung Terhadap Pemanenan Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) dan Bambu Tali (Gigantochloa apus (Bl. Ex Schult.f.)Kurz). Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak diterbitkan. Surjokusumo S, dan W.Darmawan. 1996. Pengembangan Bambu Laminasi Sebagai Bahan Dasar Furniture dan komponen Bangunan. Laporan Akhir Kegiatan Pelaksanaan Penelitian dan Teknologi Tepat Guna Pada Industri Kecil oleh Perguruan Tinggi. Suryansyah, MF. 2005. Pengaruh Jumlah Lamina Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.F) Backer ex. Heyne) dan Posisi Pengujian Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Balok Laminasi Kayu Sengon. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan. Wahyuni, AY. 2005. Sifat Balok Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult. F) Backer ex. Heyne) Yang Diberi Beberapa Jenis Perlakuan Pengawetan. Skripsi. Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Tidak diterbitkan. Widjaja, Elizabeth A. 2001. Identikit Jenis-Jenis Bambu di Jawa. Bogor : Balai Penelitian Botani. Yap KHF. 1967. Bambu Sebagai Bahan Bangunan. Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan Bandung.
Lampiran 1. Data Sifat Fisis Bambu Tali dan Balok Laminasi Bambu Tali
Data Sifat Fisis Bambu Tali Tanpa Buku Contoh BKU BKT Panjang Lebar Uji (g) (g) (cm) (cm) 1 2.74 2.37 2.28 2.16 2 3.80 3.28 2.20 2.39 3 3.95 3.43 2.46 2.34 Ratarata
Data Sifat Fisis Bambu Tali Dengan Buku Contoh BKU BKT Panjang Lebar Uji (g) (g) (cm) (cm) 1 2.04 1.78 2.46 2.09 2 1.64 1.44 2.16 2.07 3 1.20 1.04 2.51 2.08 Ratarata
Tebal (cm) 0.78 1.27 1.14
KA (%) 15.55 15.66 14.91 15.37
Tebal (cm) 0.73 0.75 0.39
KA (%) 14.99 14.01 15.33 14.78
Data Sifat Fisis Balok Laminasi Bambu Tali Tanpa Buku Contoh BKU BKT Panjang Lebar Tebal KA Uji (g) (g) (cm) (cm) (cm) (%) 1 4.53 4.02 5.25 1.88 0.74 12.59 2 4.99 4.43 4.96 2.06 0.98 12.72 3 5.11 4.49 5.35 1.98 1.16 13.81 Rata13.04 rata
Data Sifat Fisis Balok Laminasi Bambu Tali Dengan Buku Contoh BKU BKT Panjang Lebar Tebal KA Uji (g) (g) (cm) (cm) (cm) (%) 1 4.98 4.44 4.88 2.12 1.12 12.20 2 4.60 4.09 4.86 1.96 1.06 12.45 3 4.90 4.30 4.39 2.02 1.14 13.75 Rata12.80 rata
BJ 0.62 0.49 0.53 0.55
BJ 0.47 0.43 0.51 0.50
BJ 0.54 0.43 0.37 0.45
BJ 0.38 0.40 0.42 0.40
Kerapatan (g/cm3) 0.72 0.57 0.60 0.63
Kerapatan (g/cm3) 0.54 0.49 0.59 0.58
Kerapatan (g/cm3) 0.62 0.50 0.42 0.51
Kerapatan (g/cm3) 0.43 0.46 0.48 0.46
Lampiran 2. Rekapitulasi Data MOE dan MOR
Contoh Uji
MOE (kg/cm2)
B1a B1b B1c B2a B2b B2c
3.348,44 5.089,63 5.209,85 5.379,28 9.126,22 5.513,76
Rata-rata MOE (kg/cm2)
4.548,67
6.672,67
MOR (kg/cm2) 213,40 218,26 228,47 225,56 226,04 232,36
Rata-rata MOR (kg/cm2)
220,04
227,98
Lampiran 3. Rekapitulasi Data Keteguhan Geser Rekat Data Keteguhan Geser Rekat Contoh Panjang Lebar Uji (cm) (cm)
Luas (cm2)
Beban (P)max (kg)
1 2 3 4 5 6
29.39 28.94 28.92 27.39 28.50 34.04
992 986 990 720 768 798
8.35 8.34 8.31 8.78 8.31 8.64
3.52 3.47 3.48 3.12 3.43 3.94
Keteguhan Rata-rata Keteguhan Geser Geser (kg/cm2) (kg/cm2) 33.75 34.07 34.23 34.02 26.29 26.95 23.44 25.56
Lampiran 4. Analisis Sidik Ragam Nilai MOE One-way ANOVA: MOE versus Variasi Jarak Buku Bambu Sumber Keragaman
DB
JK
KT
F hitung
Perlakuan
1
6765662
6765662
2.41
Galat
4
11206185
2801546
Total
5
17971847
Source Perlakuan Error Total
DF 1 4 5
S = 1674
R-Sq = 37.65%
Level B1 B2
N 3 3
Mean 4549 6673
SS 6765662 11206185 17971847
StDev 1042 2126
Pooled StDev = 1674
MS 6765662 2801546
F 2.41
P 0.195
R-Sq(adj) = 22.06%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+-------(-------------*------------) (------------*-------------) -+---------+---------+---------+-------2000 4000 6000 8000
Lampiran 5. Analisis Sidik Ragam Nilai MOR One-way ANOVA: MOR versus Variasi Jarak Buku Bambu Sumber Keragaman
DB
JK
KT
F hitung
Perlakuan
1
94.6
94.6
2.57
Galat
4
147.1
36.8
Total
5
241.8
Source Perlakuan Error Total
aS = 6.065
DF 1 4 5
SS 94.6 147.1 241.8
MS 94.6 36.8
R-Sq = 39.15%
F 2.57
P 0.184
R-Sq(adj) = 23.93%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level B1 B2
N 3 3
Mean 220.04 227.99
StDev 7.69 3.80
Pooled StDev = 6.06
+---------+---------+---------+--------(-------------*-------------) (-------------*-------------) +---------+---------+---------+--------210.0 217.0 224.0 231.0