PENGARUH TATA LETAK INSTRUMEN GAMELAN JAWA DI PANGGUNG PENDHAPA ISI SURAKARTA TERHADAP PARAMETER AKUSTIK BAGI PENGENDANG (EFFECT OF LAYOUT JAVANESE GAMELAN INSTRUMENS ON STAGE IN PENDHAPA ISI SURAKARTA WITH ACOUSTIC PARAMETERS FOR PENGENDANG) Suyatno 1, 2, Harijono A. Tjokronegoro 1, IGN Merthayasa1, R. Supanggah3 1)
Teknik Fisika ITB Bandung Fisika FMIPA ITS Surabaya 3) Jurusan Karawitan ISI Surakarta Email:
[email protected] 2)
Intisari- Dalam paper ini dibahas analisa parameter akustik tataletak instrumen Gamelan Jawa bagi salah satu pemain Gamelan, yaitu Pengendang (pemain kendang). Pada permainan atau pagelaran Gamelan Jawa, pemain kendang adalah seniman yang seringkali bertindak seolah-olah sebagai konduktor. Sebagai pemimpin, pengendang bertugas mengatur ritme dan tempo permainan didasarkan pada respon yang diterima oleh telinga kiri dan kanan (IACC). Berdasarkan persepsi nada-nada yang didengarnya, pemain kendang memberikan komando melalui nadanada kendang yang dimainkan. Nada-nada yang dihasilkan oleh instrumen gamelan menyebabkan medan suara dengan karakteristik tertentu. Karena sifatnya, secara teoritis medan suara yang dihasilkan oleh masing-masing instrumen untuk sampai ke pemain sangat dipengaruhi oleh karakter ruang dimana permainan dilakukan. Dalam penelitian ini, sebagai panggung pagelaran adalah Pendhapa ISI Surakarta. Pendhapa ISI Surakarta merupakan ruang pagelaran semi terbuka yang menghasilkan lebih banyak bunyi langsung untuk sampai pada pendengar terutama bagi pemain. Dari penelitian ini diperoleh nilai parameter akustik yang didengarkan oleh Pengendang pada permainan gending “Gambyong Pareanom” adalah Listening Level sebesar 98 dB, Tau-e sebesar 24.9 ms, tau-1 sebesar 2 ms serta IACC sebesar 0,81. Nilai ini menunjukkan bahwa pagelaran Gamelan Jawa pada Pendhapa ISI Surakarta menghasilkan karakter akustik tertentu. Namun karakteristik tersebut ‘belum’ menunjukkan preferensi optimum yang dibutuhkan oleh pemain kendang. Untuk itu, diperlukan pengujian lebih lanjut berbasis psiko dan phisio akustik agar dapat menjamin komunikasi antar pemain melalui nada-nada. Kata kunci: Gamelan Jawa, tataletak instrumen, pendhapa, Pengendang, Listening Level, Tau-e, tau-1, IACC. Abstract -This paper is discussed an analysis of the acoustics parameters of Javanese Gamelan instruments layout at position of performer namely Pengendang (drummer). This is of importance as in the Gamelan concert, Pengendang is a performer who frequently acts as 'a conductor' (leader) of the performance. As a leader, Pengendang has a duty to maintain the rhythm and tempo of the performance based on the perceived tones as result of Pengendang’s left and right ear response (IACC). Pengendang realizes such a duty by giving a direction through tones produced by the “kendang”. The tones produced by the gamelan lead to particular characteristics of the sound field. Theoretically, the sound field produced by each instrument of the gamelan that is affected by the space properties where the performance is being conducted. In this research, Pendhapa ISI Surakarta was considered as the stage in which the Javanese Gamelan was performed. The Pendhapa 'ISI Surakarta' is a semi-outdoor concert hall. Therefore, this produces a direct sound to the receiver particularly for the performers. It is found that the acoustics parameters measured at Pengendang position for gending "Gambyong Pareanom" is 98 dB for Listening Level (LL) while Taue and tau-1 are 24.9 ms and 2 ms respectively. IACC of 0.81 is also pronounced. These values indicate that the Javanese gamelan performed in Pendhapa ISI Surakarta has particular acoustic characteristic. However, this acoustic charactertics has not yet been “optimum acoustics preference” as expected by a drummer. Therefore, it is instructive to investigate this further based on fisio- and physio- acoustic aspecs in order to ensure communication among the performers through the tones can be maintained. Keywords: Javanese Gamelan, instruments layout, Pendahpa, Pengendang, Listening Level, Tau-e, Tau-1, IACC.
Pengaruh tata letak…..33
I. PENDAHULUAN Pagelaran Gamelan Jawa merupakan salah satu upaya untuk mengekspresikan hasil karya seniman kepada masyarakat.Berbeda halnya dengan musik barat, permainan Gamelan Jawa tidak memiliki konduktor khusus yang bertugas memandu berlangsungnya pagelaran. Komunikasi antar seniman dilakukan melalui nada-nada yang dihasilkan oleh instrumen gamelan yang dimainkannya, yang sekaligus berperan menentukan nada penyambung antara satu nada dengan nada yang berikutnya, pada masingmasing dari seluruh instrumen gamelan yang dimainkan, sehingga membingkai sajian gending yang harmonis. Komunikasi yang dilakukan oleh seniman melalui nada-nada tersebut akan memunculkan ruh (jiwa) dari setiap instrumen gending yang dimainkan. Guna menghadirkan jiwa (ruh) dari setiap instrumen gending yang dimainkan, maka perlu adanya dialog (komunikasi) serta interaksi antar seniman melalui nada-nada yang dimainkannya. Dimana, keharmonisan dialog yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kesan ruang (penyatuan dengan ruang) dimana instrumen gending dimainkan. Dengan latar belakang tersebut maka terdapat keterkaitan antara karakter sumber bunyi (dalam hal ini adalah instrumen gending yang dimainkan) dengan karakter ruang dimana instrumen gending dimainkan. Dalam sebuah pagelaran Gamelan Jawa, untuk tujuan membangun “komunikasi” antar pemain, peranan masing-masing instrumen berbeda-beda tergantung pada jenis gending dan garap yang dimainkan. Hal ini berkaitan dengan ritme, tempo serta power (level suara) dari masing-masing instrumen.
dalam struktur ini antara lain adalah demung, seruling, gender, dan bonang. b. Time / tempo Tempo dalam sebuah pagelaran berperan mengatur irama permainan. Dalam sebuah pagelaran Gamelan Jawa, unsur tempo dimiliki oleh kendang. Dinamika dan level yang dihasilkan oleh kendang akan menentukan tempo dari (pagelaran). c. Struktur. Struktur dalam pagelaran Gamelan Jawa,terbangun oleh nada-nada yang dihasilkan oleh instrument-instrumen gamelan dengan frekuensi rendah sampai menengah dengan reverb yang cukup besar (sound envelope yang lama).Nada-nada yang dihasilkan oleh instrumen ini rata-rata menghasilkan nada dengan kesan kuat dan megah seperti gong, kenong slentem dan kempul. Secara ilustrasi struktur gamelan digambarkan pada Gambar 1.
Jawa
dapat
II. Waktu/ Tempo Kendang
I. Melodi
Rebab Gender Barung Sinden (vokal) Seruling Gender penerus Celempung
Bonang Barung Bonang enerus Sron Peking
Slenthem Saron Demung Saron Barung
III. Struktur
Seperti halnya musik modern, masing-masing instrumen dalam Gamelan Jawa memiliki fungsi (tugas) yang berbeda-beda dalam menyusun suatu permainan atau “garap”.Secara garis besar, struktur Gamelan Jawa dalam pagelaran Gamelan terbagi menjadi tiga unsur, yaitu [1]: a. Melodi Unsur melodi dalam sebuah pagelaran Gamelan membuat warna dari bunyi yang dihasilkan. Unsur ini bisanya dihasilkan oleh instrumen yang memiliki komponen nada dengan frekuensi tinggi dan sound envelope yang rendah (reverb cenderung kecil). Instrumen yang tergolong
Gong Kenong Kempul Kethuk-kempyang
Gambar 1. Skema struktur fungsi (tugas) Gamelan Jawa [1] Berdasarkan Gambar 1 diatas terlihat bahwa kedudukan pengendang merupakan pemimpin yang mengatur tempo permainan. Keberhasilan sebuah pagelaran gamelan jawa terjadi apabila pesan yang ingin disampaikan oleh seniman dapat dirasakan serta dinikmati oleh masyarakat Pengaruh tata letak…..34
sesuai dengan pesan dan tujuan yang terkandung dalam pagelaran tersebut. Misalnya lirik dan syair yang terkandung dalam pagelaran, makna dari tari yang ditampilkan serta irama yang dihasilkan oleh suara-suara (nada-nada) gamelan.
majemuk Gamelan menjadi sumber titik. Gambar 2 menunjukkan salah satu lay out (tata letak) instrumen Gamelan Jawa dalam sebuah pagelaran.
Guna menghadirkan ruh (jiwa) dari setiap instrumen gending yang dimainkan, maka selain komunikasi antar seniman juga dipengaruhi oleh kesan ruang (penyatuan dengan ruang) dimana instrumen gending dimainkan. Dengan latar belakang tersebut maka adalah jelas ada keterkaitan antara karakter sumber bunyi (dalam hal ini adalah instrumen gending yang dimainkan) dengan karakter ruang dimana instrumen gending dimainkan. II. TATA LETAK INSTRTUMEN GAMELAN JAWA DAN PARAMETER AKUSTIK II.1. Tata letak instrumen Gamelan Jawa Dalam sebuah pagelaran musik, tata letak instrumen berperan penting dalam menjaga komunikasi di antara pemaian selain untuk membangun harmonisasi nada yang dihasilkan. Sepertihalnya pagelaran musik barat, tata letak instrumen Gamelan Jawa dalam sebuah pagelaran memiliki maksud dan tujuan tertentu. Terdapat hubungan antara tata letak instrumen Gamelan Jawa terhadap preferensi akustik ruang pagelaran. Kondisi akustik yang tepat sangat diperlukan agar bunyi dapat didengarkan oleh semua orang yang hadir (penonton) selain juga amat penting bagi pemain (seniman)sebagai pelaku seni sekaligus pendengar. Setiap instrumen dalam sebuah ansemble Gamelan (seperangkat musik Gamelan) mempunyai fungsi dan kontribusi yang berbeda dalam pagelaran.Hal ini diakibatkan oleh adanya perbedaan diantaranya: intensitas bunyi, arah suara serta kandungan frekuensi bunyi yang dihasilkan oleh masing-masing instrumen. Sebuah pagelaran Gamelan yang mempertahankan kemurnian bunyi, tidak menggunakan peralatan pendukung sistem tata suara elektronik. Kondisi ini berakibat pada kualitas sumber bunyi (instrument Gamelan Jawa dan seniman) termasuk didalamnya adalah tata letak instrumen. Jumlah instrumen gamelan jawa yang bisa mencapai 75 buah berakibat pada tata ltak yang menyebar diatas panggung. Kondisi ini berakibat pada sumber bunyi yang diterima oleh pendengar merupakan sumber majemuk. Sensasi sumber majemuk yang dihasilkanoleh masing-masing instrumen Gamelan akan mengisi ruang dan memberikan respon tertentu bagi seniman dalam setiap melakukan pagelaran. Penambahan sistem tata suara berakibat pada sumber
Gambar 2.Salah satu skema tataletak instrumen GamelanJawa. Gambar 2 menunjukkan posisi instrumen gamelan jawa diatas panggung yang memiliki keteraturan tertentu. Secara umum, terdapat beberapa alasan dalam menentukan tata letak instrumen Gamelandalam sebuah pagelaran [2, 3], antara lain a. b. c. d. e. f. g.
Kualitas suara yang dihasilkan (intensitas/level suara) Fungsi instrumen Volume ruang Jumlah instrumen Kemiripan jenis instrumen Jenis komposisi lagu yang dimainkan Komunikasi antar pemain (seniman)
II.2. Parameter Akustik Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ando [4], Baranek [5], terdapat beberapa parameter akustik untuk menilai kualitas ruang pagelaran (concert hall) antara lain adalah 1. Tingkat Kekerasan bunyi (Listening Level, LL) dalam dBA Yang dimaksud tingkat kekerasan bunyi dalam pagelaran Gamelan adalah kuat lemahnya bunyi yang dihasilkan oleh instrumen Gamelan baik secara tunggal maupun gabungan untuk sampai pada jarak tertentu. 2. Waktu tunda pantulan awal (Δt1) dalam ms Waktu tunda pantulan awal (Δt1) adalah waktu tunda yang terjadi antara suara langsung dan Pengaruh tata letak…..35
suara pantulan. Dari nilai Δt1 dapat diketahui keluasan medan bunyi dalam ruang (seberapa jauh jangkauan bunyi atau coverage area. 3. Waktu dengung sub-sekuen (Tsub) dalam detik. Waktu dengung sub-sekuen menyatakan waktu dengung efektif untuk medan suara dalam suatu ruang. Waktu dengung sendiri menggambarkan respon impuls ruang yang berkaitan dengan lamanya bunyi untuk hidup dalam ruang. 4. Korelasi sinyal antar kedua telinga (inter-aural cross correlation, IACC ) IACC merupakan besaran korelasi silang dari respon akustik yang diterima telinga kiri dan kanan. IACC juga dapat menggambarkan keterarahan sebuah sumber bunyi.
Dimana p(t) = persamaan gelombang suara (N/m2)
= waktu tunda (s)
2T = interval integrasi (s) Sementara untuk fungsi normalisasi dari fungsi otokorelasi di rumuskan sebagai
p p 0
(2)
Gambar 3 menggambarkan grafik dari sebuah fungsi otokorelasi sebagai fungsi waktu tunda (delay time).
Dari ke-empat parameter diatas, maka parameter 1, 2 dan 3 adalah parameter yang berdimensi waktu (temporal/spektral) sedangkan parameter yang ke-4 berdimensi ruang (spatial). Meski demikian, keempat parameter diatas akan saling berhubungan (saling mendukung). Berdasarkan parameter diatas juga nantinya dapat diterjemahkan kedalam besaran yang kaitannya dengan desain ruang pagelaran.
II.3. Durasi effektif fungsi otokorelasi e Fungsi otokorelasi adalah korelasi silang suatu sinyal dengan sinyal itu sendiri. Fungsi otokorelasi merupakan model matematika untuk mencari pola berulang dari sinyal periodik yang tertutup oleh noise, atau mengidentifikasi frekuensi fundamental yang hilang dalam sebuah sinyal yang tersirat oleh frekuensi harmoniknya. Fungsi otokorelasi sering digunakan dalam pemrosesan sinyal untuk menganalisa fungsi atau deret dari suatu nilai, seperti sinyal domain waktu. Komponen (besaran) yang terkait dengan karakter temporal sumber suara yang akan difasilitasi oleh ruang adalah waktu dengung sebagian setelah pantulan dini dan waktu tunda awal setelah pantulan dini yang dapat didekati nilainya dengan menggunakan durasi efektif dari fungsi otokorelasi sumber suara [4].
p
lim 1 2T
T
pt pt dt
T
(1)
Gambar 3. Nilai 𝜏e berasal dari fungsi otokorelasi. Durasi efektif fungsi otokorelasi (𝜏e) didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh nilai logaritmis dari sebuah fungsi otokorelasi untuk meluruh sebesar 10 dB atau turun nilainya hingga sebesar 0.1 kali dari nilai awal (Gambar 3). Durasi efektif ini menjelaskan fitur pengulangan atau dengung yang terdapat didalam sumber sinyal itu sendiri. Besarnya nilai 𝜏e dipengaruhi oleh komponen frekuensi yang terkandung dalam suatu sinyal. Semakin banyak komponen frekuensi yang terdapat dalam sinyal akan menyebabkan nilai 𝜏e yang makin kecil. Sebagai contoh nilai 𝜏e yang diberikan oleh pada sinyal sinusoidal murni adalah tak terhingga (𝜏e=∞). Sementara nilai 𝜏e yang diberikan oleh sinyal white noise yang merupakan sinyal random yang mengandung semua frekuensi akan menghasilkan hasil fungsi otokorelasi yang bernilai nol. Nilai 𝜏e juga bisa menggambarkan tempo sebuah musik, nilai 𝜏e besar bila tempo yang dimainkan lambat dan nilai 𝜏e kecil ketika tempo yang dimainkan cepat. Secara teoritis, untuk musik klasik diketahui bahwa Pengaruh tata letak…..36
hubungan antara nilai fungsi otokorelasi (𝜏e) dengan Tsub dapat dinyatakan dengan persamaan (3):
Tsub 23 e
(3)
Sementara hubungan antara
e dengan Δt1 adalah (4)
[t1 ] p e Gambar 4 menunjukkan nilai parameter beberapa musik modern.
e untuk
II.4. Ruang Pagelaran Semi Terbuka Pendhapa ISI Surakarta
Ruang pagelaran semi terbuka merupakan ruang pagelaran yang didesain tanpa dinding di setiap sisinya kecuali sebagian dari bagian belakang, namun memiliki atap (langit-langit) dengan bentuk tertentu [9]. Karena semi terbuka maka pantulan bunyi hanya berasal dari langit-langit dan lantai serta papan yang terdapat di bagian belakang. Gambar 5 menunjukkan situasi ruang Pendhapa ISI Surakarta serta denah (posisi Gamelan Jawa di Pendhapa).
Musik moder/klasik
(a) Gambar 4. Rekomendasi nilai Tsub untuk beberapa jenis sumber suara [4] Berdasarkan Gambar 4 diatas, maka nilai tau-e untuk musik moder/klasik adalah berada pada rentang 40 ms – 130 ms, sementara untuk Gamelan Jawa (termasuk musik tradisional Indonesia lainnya) belum diketahui. Sehingga perlu adanya pengkajian lebih lanjut tentang hal tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sarwono [6,7], nilai preferensi akustik ITDG (Δt1) Pendhapa untuk area penonton adalah 24 ms. Sementara berdasarkan hasil penelitian yang lain, Sarwono [8] melaporkan bahwa nilai parameter akustik untuk Gamelan Jawa pada ruang tertutup (area penonton) hasil simulasi adalah LL sebesar adalah 75 – 77 dB dan waktu dengung sebesar 500 – 650 ms. Nilai parameter tersebut mengindikasikan bahwa perlunya pengkondisian ruang penonton sehingga respon ruang (hubungannya dengan dengung) yang dihasilkan tidak terlalu besar. Sehingga dominasi bunyi yang diterima oleh pendengar merupakan bunyi langsung, namun untuk area pemain belum dilakukan.
(b) Gambar 5. (a) situasi Pendhapa ISI Surakarta, (b) denah posisi Gamelan Jawa di Pendhapa ISI Surakarta Pada Gambar 5a diatas, terlihat ruang Pendhapa ISI Surakarta telah dirancang sebagai ruang pagelaran semi terbuka dengan gamelan sebagai salah satu instrumen yang dipakai termasuk didalamnya pagelaran tari. Gambar 5b menunjukkan posisi instrumen gamelan yang ditempatkan pada bagian belakang. Tujuannya agar gamelan dapat terlihat oleh penonton termasuk penari. Sehingga penonton dapat Pengaruh tata letak…..37
menikmati pagelaran yang berlangsung baik secara audio maupun secara visual. III. PENGUKURAN Seperti yang telah disampaikan pada sub-bab sebelumnya, penelitan ini bertujuan untuk mengetahui parameter akustik Gamelan Jawa bagi pengendang di ruang Pendhapa ISI Surakarta. Posisi instrumen Gamelan dalam pagelaran akan sangat menentukan respon yang diterima oleh penonton (pendengar) serta bagi seniman. Gambar 5(b) menunjukkan posisi ansambel Gamelan Jawa pada pagelaran di ISI Surakarta. Tata letak instrumen Gamelan Jawa yang menyamping berakibat pada sumber bunyi yang dihasilkan oleh setiap instrumen Gamelan memberikan respon yang berbeda terhadap seniman terutama bagi pengendang sebagai center/titik pusat (Gambar 2). Bagi pengendang yang posisinya sebagian besar sebagai pemimpin, respon ini berguna untuk mengatur irama, tempo serta kekerasan dalam memainkan alat musik Gamelan. Untuk mengetahui besarnya medan suara (respon) yang diterima oleh pengendang, maka pengukuran dilakukan dengan meletakkan mikropon pada titik ukur di telinga pengendang (binarural microphone) yang menggambarkan medan suara yang dirasakan oleh pengendang (Gambar 6).
level suara yang diubah menjadi besaran elektrik kemudian dihubungkan dengan audio interface untuk direkam oleh komputer. Sinyal hasil perekaman kemudian dilakukan analisa untuk mendapatkan parameter akustik dari pagelaran yang berlangsung. Analisa dilakukan dengan menggunakan audio analyser untuk mendapatkan parameter akustik berupa LL, tau-e (𝜏e), tau-1 serta nilai IACC. IV. ANALISIS Seperti telah disampaikan pada sub-bab sebelumnya, Pendhapa ISI Surakarta merupakan sebuah ruang pagelaran semi terbuka tanpa dinding disemua sisi dan atap yang berbentuk limasan. Kondisi ini memungkinkan bunyi yang dihasilkan oleh masingmasing instrumen akan mengalami merambat secara bebas dan mengalami atenuasi (pelemahan) secara cepat. Hal ini terjadi karena pantulan hanya berasal dari langit-langit dan tidak adanya pantulan dari sisi dinding Pendhapa. Akibatnya medan suara yang diterima oleh seniman di panggung merupakan bunyi langsung seperti terlihat pada Gambar 7. Karena bunyi langsung maka setiap posisi dari seniman akan mengalami perbedaan respon, baik dari segi kekerasan (level) maupun arah suara.
Gambar 7. Tampak samping proses penjalaran gelombang bunyi di Pendhapa ISI Surakarta Gambar 6.Tata letak instrumen Gamelan dan set-up pengukuran. Berdasarkan Gambar 6 diatas, microphone sebagai sensor yang berfungsi untuk mengetahui respon pengendang sebagi pelaku seni dan pendengar dalam permainan. Jenis microphone yang digunakan adalah omn-idirectional microphone dan dengan respon mendekati linier (flat) pada rentang frekuensi 40 Hz sampai dengan 15 kHz. Pemakaian microphone jenis ini bertujuan agar mampu merespon sinyal suara dari segala arah dengan intensitas yang sama, sehingga ketika terdapat perbedaan level dapat diketahui arah sumber suara tersebut. Respon yang diterima berupa
Gambar 7 diatas menunjukkan ilustrasi bunyi yang dihasilkan oleh instrumen Gamelan Jawa pada area panggung akan merambat ke segala arah dan mengalami pantulan oleh langit-pangit, sementara pada bagian tengah bunyi akan terdifusi oleh bentuk langit-langit yang berundak. Berdasarkan Gambar 7 terlihat pula bahwa bunyi yang didengar oleh seniman di area panggung merupakan bunyi langsung, sementara bunyi pantul akan mengarah ke area pendengar/penonton. Berdasarkan data perekaman audio yang kemudian dilakukan analisa menggunakan audio analyser untuk Pengaruh tata letak…..38
diperoleh parameter akustik seperti LL, tau-e ( e ), tau-1 ( 1 ) serta nilai IACC. Pada pengukuran untuk gending “Gambyong Pareanom” diperoleh data audio sinyal (spektral) untuk channel kiri dan kanan untuk titik ukur pada pemain kendang seperti tampak pada Gambar 8.
24,9 ms. Fluktuasi tau-e trejadi karena adanya jumlah instrumen yang dimainkan.
Gambar 9. Grafik nilai tau-e dari pagelaran
Gambar 8. Contoh data audio hasil pengukuran dari gending “Gambyong Pareanom” di pengendang. Dari data rekaman suara (Gambar 8) juga diperoleh parameter akustik di area pengendang, untuk pagelaran ‘gending Gambyong Pareanom’, diperoleh parameter sebagai berikut: a. b. c. d.
LL : 98 dBA Tau-e : 24.9 ms Tau-1 : 2.00 ms IACC : 0,81
Nilai listening level (LL) 98 dBA menunjukkan bahwa level kekerasan suara yang menggambarkan daya (power) yang dihasilkan oleh Gamelan Jawa cukup besar, sehingga para seniman di area panggung dapat mendengar dengan jelas nada-nada yang dihasilkan oleh setiap instrumen serta arah suara. Gambar 9 menunjukkan fluktuasi nilai e , namun nilai rata-rata dari tau-e (𝜏e) untuk pagelaran sebesar
Berdasarkan Gambar 4 nilai tau-e (𝜏e) keseluruhan sebesar 24,9 ms berarti kandungan frekuensi dalam Gamelan Jawa lebih banyak dari musik klasik dalam sebuah pagelaran. Hal ini terjadi karena kandungan frekuensi dari Gamelan Jawa yang memiliki kandungan frekuensi tidak tunggal (adanya komponen in-harmonik) untuk setiap jenis instrumen. Untuk musik klasik/ modern nilai τe adalah 50 – 130 ms (Gambar 4). Nilai ini menunjukkan bahwa Gamelan Jawa memiliki dengung (reverb) atau sound envelope yang cukup besar. Secara teoritis, besarnya nilai waktu dengung sub sekuen dari pagelaran itu bedasarkan (Pers. 2) adalah 0,573 s. Namun hubungan antara 𝜏e dengan nilai Tsub untuk musik tradisional perlu dilakukan pengujian lebih lanjut, sehingga dapat diketahui sejauh mana nilai dari T sub yang sebenarnya. Sementara berdasarkan penelitian Ando [4], nilai Δt1 dapat didekati dengan nilai e sehingga untuk kondisi ini nilai Δt1 adalah sebesar 24,9 ms, yang merupakan waktu tunda pantul awal (Initial Time Delay Gap/ITDG). Nilai tau-1 (τ1) merupakan parameter akustik yang nilainya menyatakan kandungan frekuensi dominan yang dihasilkan dalam permainan Gamelan Jawa sebesar:
f 1000
1
1000 500 Hz 2
Nilai frekuensi dominan sebesar 500 Hz ini diakibatkan pada permainan gending “gambyong pareanom” suara yang dominan adalah kendang, saron dan demung. Sementara nilai korelasi kesamaan sinyal yang diterima oleh telinga kiri dan kanan pada pemain kendang (IACC) adalah 0, 81 yang menunjukkan adanya kesamaan sinyal yang cukup besar (mendekati sama). Nilai korelasi antara Pengaruh tata letak…..39
sinyal (kesamaan) yang diterima oleh telinga kiri dan kanan pada pengendang adalah seperti pada Gambar 9.
Gambar 10.Grafik hubungan antara sinyal kiri dan kanan pada pengendang. Berdasarkan Gambar 10 diatas terlihat bahwa korelasi sinyal yang diterima oleh telinga kiri dan kanan pada pengendang sebesar 0,8337, yang artinya “kesamaan intensitas (level)” antara sinyal yang diterima oleh telinga kiri dan kanan sangat baik (mempunyai koefisen korelasi yang tinggi yaitu 0,85). Hal ini terjadi karena posisi pengendang yang berada ditengah tata letak instrumen (Gambar 6). Pada lokasi demikian, respon yang diterima cenderung sama dalam hal level (kekerasan suara). Dengan latar belakang tersebut, posisi pengendang yang ditengah, selain guna mendapatkan informasi yang baik dari seluruh pemain, juga dimaksudkan agar perintah yang diberikan kepada pemain lain memiliki intensitas (level) yang cukup. Dengan demikian, isyarat suara kendang yang dimainkan oleh pengendang dapat diterjemahkan oleh pemain lain sebagai acuan untuk menentukan nada yang dimainkan. Nilai IACC juga menggambarkan kondisi panggung yang dalam keadaan difuse sehingga bunyi yang diterima merupakan bunyi dengan arah suara tertentu. Kondisi panggung yang difuse memungkinkan bunyi yang diterima merupakan bunyi langsung sehingga melalui pendekatan kondisi panggung yang baik maka komunikasi antar pemain melalui nada dapat terjalin. V. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengkuran serta analisisnya, dengan tata-letak instrumen gamelan serta gending
yang dimainkan (dalam penelitian ini), karakteristik sumber (Gamelan Jawa) di area panggung (seniman) memiliki daya suara cukup kuat untuk sampai ke seniman lain dengan jelas tanpa perlu penguatan. Situasi ruang pagelaran dan tata letak instrumen di pendhapa ISI Surakarta menjadikan dominani suara langsung yang diterima oleh seniman dengan level dan arah yang dapat dibedakan terutama bagi pengendang, sehingga komunikasi antar pemain dapat terjaga dengan baik. Namun kondisi ini belum merupakan kondisi preferen bagi pemain terutama Pengendang, sehingga perlu pengujiuan lebih lanjut baik melalui aspek pisio- dan psiko-akustik. DAFTAR PUSTAKA. [1]. Sumarsam, “Gamelan, Ineraksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa”, Pustaka Pelajar, 2003. [2]. Supanggah R., “Bothekan - Garap Karawitan”, ISI Pers Surakarta, 2011. [3]. Roth, Alec,”New Composition for Javanese Gamelan”, Durham E-Thesis, Durham University, 1986. [4]. Ando Yoichi, “Architectural Acoustics”, Springer, Japan, 1998 [5]. Baranek, L. “Concert Hall Acoustics—2008”, J. Audio Eng. Soc., Vol. 56, No. 7/8, 2008 [6]. Joko Sarwono, Y. W. Lam, “The Preferred Initial Time Delay gap and Inter-aural Cross Correlation For javanese Gamelan Performance Hall”, Journal Sounds and Vibration., 2002 [7]. Joko Sarwono, Y.W. Lam, “Subjective Preference of Initial Time Delay Gap in a Javanesse Gamelan Concert Hall”, Proc of ISSM 2000, Paris, 2000. [8]. Joko Sarwono, Y. W. Lam, “Prefered scattering Level for Javanesse Gamelan Performance Hall”, Procceding ISRA, Japan, 2004 [9]. Iwan Budi Santosa, “Perekaman Gamelan Jawa dengan Teknik Stereofonik”, Tesis Magister, ISI Surakarta, 2010. [10]. Palgunadi B., “Serat Kendha Karawitan Jawi”, ITB, 2002 [11]. Ando Yoichi, “Theory of Auditory Temporal and Spatial Primary Sensation”, Jurnal Temporal Design Architecture Environment, 2008. [12]. IGN. Merthayasa and B. Pratomo, “The Temporal and Spectral characteristics of Gamelan Sunda Musik”, Euro noise Forum, Paris, 2008. Pengaruh tata letak…..40
[13]. Jin Yong Jeon and Jin You , “ Effect of sound
strength and IACC on perception of listener envelopment in concert halls”, Proceedings of 20th International Congress on acoustics, ICA 2010 [14]. Amir Avni, Boaz Rafaely, “Interaural Cross Correlation and Spatial Correlation in A Sound Field Represented By Spherical Harmonics”, Ambisonics Symposium, 2009.
Pengaruh tata letak…..41