THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
PENGARUH PSIKOEDUKASI KELUARGA TERHADAP KEMAMPUAN PERAWATAN DIRI TOILETINGPADA ANAK RETARDASI MENTAL DI SDLB PURWOSARI KUDUSTAHUN 2015 Anny Rosiana1, Riska Arini12 Progam Studi S1 Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Kudus Email :
[email protected]
Abstrak Retardasi mental merupakan suatu keadaan (IQ dibawah 70) disertai dengan keterbatasan dalam area fungsi adaptif, seperti kemampuan komunikasi, perawatan diri (Videbeck, 2008). Dinas sosial Kudus, penderita retardasi mental tahun 2011-2012 sebanyak 342 orang. Perawatan diri pada anak retardasi mental rendah, yaitu 40 (61,6%), sedangkan sisanya tinggi sebanyak 25 (38,4%) (Ramawati, 2011). Untuk mengetahui pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan perawatan diri toileting pada anak retardasi mental di SDLB Purwosari Kudus Tahun 2015. Penelitian quasy experimental dengan metode pretest-posttest group design menggunakan kelompok kontrol. Subyek penelitian adalah keluarga anak retardasi mental yang berjumlah 22 orang ditentukan dengan total sampling. Dalam penelitian ini 11 orang sebagai kelompok kontrol dan 11 orang sebagai kelompok intervensi. Psikoedukasi keluarga dilakukan pada kelompok intervensi. Metode analisa data yang digunakan adalah statistic non parametric dengan menggunakan uji wilcoxon test untuk membandingkan skor subyek pada pretest dan posttest dari kelompok kontrol dan intervensi. Hasil penelitian tentang pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan perawatan diri toileting pada anak retardasi mental di SDLB purwosari Kudus menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi p value < 0,05 yakni sebesar p = 0,003. Ada pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap perawatan diri toileting pada anak retardasi mental di SDLB Purwosari Kudus Tahun 2015 uji wilcoxon test (p= 0,003). Kata Kunci : Psikoedukasi Keluarga, Perawatan Diri Toileting, Retardasi Mental
PENDAHULUAN Menurut data dari Dinas Sosial Kabupaten Kudus pada tahun 2008 jumlah penderita retardasi mental sebanyak 350 orang. Dan jumlah penderita retardasi mental pada tahun 2009 dan 2010 mengalami penurunan menjadi 256 orang, kemudian pada tahun 2011 dan 2012 jumlah penderita retardasi mental mengalami kenaikan yaitu tercatat sebanyak 342 orang. Retardasi mental merupakan suatu keadaan fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ dibawah 70) yang disertai dengan keterbatasan dalam area fungsi adaptif, seperti kemampuan komunikasi, perawatan diri, tinggal di rumah, ketrampilan interpersonal atau sosial, pengguanaan sumber masyarakat, penunjukan diri,
THE 5TH URECOL PROCEEDING
ketrampilan akademik, pekerjaan, waktu senggang dan kesehatan serta keamanan (Videbeck, 2008). Salah satu keterbatasan anak retardasi mental yaitu perawatan diri. Perawatan diri merupakan salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan. Perawatan diri meliputi kemampuan melakukan aktivitas yang terdiri dari mandi atau kebersihan diri, berpakaian, berhias, makan, dan toileting secara mandiri (Nanda, 2006). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ramawati (2011) mengenai kemampuan perawatan diri anak tuna grahita/retardasi mental berdasarkan faktor eksternal dan internal anak yang dilakukan pada 65 anak didapatkan hasil bahwa
373
ISBN 978-979-3812-42-7
sebagian besar kemampuan perawatan diri pada anak tuna grahita dalam kategori rendah, yaitu 40 (61,6%), sedangkan sisanya dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 25 (38,4%). Kurang perawatan diri toileting adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah, 2004). Kemampuan toileting meliputi kemampuan dalam mendapatkan jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil. Dalam melakukan perawatan diri toileting, anak retardasi mental masih mengalami kesulitan, sehingga mereka memerlukan latihan dan bantuan yang lebih banyak serta pengajaran yang berulangulang. Psikoedukasi keluarga merupakan salah satu bentuk terapi keluarga yang dapat diberikan kepada anak retradasi mental dan keluarga untuk membantu mengatasi masalah mengenai perawatan diri (Suerni, 2013) Berdasarkan survey awal yang di lakukan secara acak pada tanggal pada 10 orangtua (keluarga) dari siswa penderita retardasi mental di SDLB Purwosari Kudus berdasarkan kemampuan perawatan diri toileting, didapatkan hasil 3 ibu mempunyai anak dengan kemampuan toileting yang kurang (selalu membantu anaknya dalam melakukan perawatan diri toileting) dan 7 ibu mempunyai anak dengan kemampuan toileting yang cukup (kadang-kadang membantu anaknya dalam melakukan perawatan diri toileting). KAJIAN LITERATUR Retardasi mental merupakan suatu keadaan fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ dibawah 70) yang disertai dengan keterbatasan dalam area fungsi adaptif, seperti kemampuan komunikasi, perawatan diri, tinggal di rumah, ketrampilan interpersonal atau sosial, penggunaan sumber masyarakat, penunjukan diri, ketrampilan akademik, pekerjaan, waktu senggang dan kesehatan serta keamanan. Beberapa orang yang mengalami retardasi mental bersikap
THE 5TH URECOL PROCEEDING
pasif dan tergantung, sedangkan yang lain bersikap agresif dan impulsive. (Videbeck, 2008) Menurut Depkes (2010) perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya. Klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri. Psikoedukasi keluarga merupakan salah satu bentuk terapi keluarga yang dapat diberikan kepada anak retradasi mental dan keluarga untuk membantu mengatasi masalah mengenai perawatan diri (Suerni, 2013) METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pretestposttest control group design yang terdapat dua kelompok sampel yakni kelompok intervensi dan kelompok kontrol (Notoadmodjo, 2005). Sampel dalam penelitian ini sebanyak 22 responden dengan tehnik sampling total sampling. Dari 22 responden, 11 responden sebagai kelompok intervensi dan 11 responden sebagai kelompok kontrol. Analisa univariat dilakukan pada variable usia, jenis kelamin, perawatan diri toileting sebelum dan setelah diberi psikoedukasi. Analisa bivariat yang digunakan adalah analisis Uji Wilcoxon Test. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Usia Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Di SDLB Purwosari Kudus Tahun 2015 (N=22)
374
ISBN 978-979-3812-42-7
Umur Responden < 11 tahun 11-12 tahun >12 tahun Total
Frekuensi 6 13 3 22
Persentas e (100%) 27,3 59,1 13,6 100
. Sumber : Data Primer, 2015
3. Perawatan Diri Toileting Sebelum dan Setelah Diberi Psikoedukasi Keluarga Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Mean, Median dan Modus Perawatan Diri Toileting Sebelum dan Setelah Diberi Psikoedukasi Keluarga di SDLB Purwosari Kudus Tahun 2015 (N=22)
Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar umur siswa adalah 11-12 tahun dengan jumlah 13 responden (59,1%), umur < 11 tahun sejumlah 6 responden (27,3%) dan > 12 tahun sejumlah 3 responden (13,6%) 2. Jenis Kelamin Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di SDLB Purwosari Kudus Tahun 2015 (N=22) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Frekuensi
Total
22
Perawatan Diri Toileting
Pre
Po st
kelomp ok interve nsi kelomp ok kontrol kelomp ok interve nsi kelomp ok kontrol
12 10
Mea n
27,9 1 27,3 6 32,6 4 27,7 3
Me dia n
Mo dus
29
16
28
34
28
Sumber : Data Primer, 2015. Pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi sebelum psikoedukasi, Perawatan Diri Toileting ratarata nilai intervensi 27,91, nilai median 29, nilai modus 16, standart deviasi 6,77 dan nilai minimum 16 serta nilai maximum adalah 36. Dan pada kelompok kontrol, perawatan diri toileting rata-rata nilai kontrol 27,36, nilai median 28, nilai modus 26, standart deviasi 5,10, dan nilai minimum 19 serta nilai maximum adalah 35. Sedangkan pada kelompok Presentase intervensi setelah psikoedukasi, Perawatan (%) Diri Toileting rata-rata nilai intervensi 54,5 toileting rata-rata nilai intervensi 32,64, 45,5 nilai median 34, nilai modus 28, standart 100 deviasi 5,87 dan nilai minimum 24 serta nilai maximum adalah 43. Dan pada kelompok kontrol perawatan diri toileting rata-rata nilai kontrol 27,73, Std M M nilai median 28, nilai modus 26, standart Devia in ax deviasi 5,14 dan nilai minimum 19 serta si nilai maximum adalah 35. 6,77
16
36
26
5,10
19
35
28
5,87
24
43
26
5,14
19
35
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Perawatan Diri Toileting Sebelum dan Setelah Diberi Psikoedukasi Keluarga di SDLB Purwosari Kudus
Sumber : Data Primer, 2015. Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 15 responden (62,5%), dan sisanya adalah perempuan sebanyak 9 responden (37,5%).
THE 5TH URECOL PROCEEDING
375
ISBN 978-979-3812-42-7
Tahun 2015 (N=22) Perawatan Diri Toileting
kelompok intervensi Variabel
Frekuensi Baik (%)
Cukup (%)
0 (0)
7 (63,6)
Pre kelompok Sebelum setelah kontrol dan 0 (0) diberi Psikoedukasi Keluarga pada Kelompok Intervensi kelompok Sebelum setelah intervensidan 2 (18,2) Diberi Psikoedukasi Post Keluarga pada Kelompok Kontrol kelompok kontrol
Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap Kemampuan Perawatan Diri Toileting Pada Anak Retardasi Mental di SDLB Purwosari Kudus Tahun 2015 Berdasarkan Uji Wilcoxon (N=22)
0(0)
Z 6 (54,5) -2,944
Kurang (%)
11 4 (36,4) (100 Wilcoxon ) Test P Value 5 (45,5) 11N (100 0,003 ) 11 2 (18,2)
7 (63,6) -1,342
0,180 5 (45,5)
6 (54,5)
Tota l (%)
11 (100 ) 11 11 (100 )
Sumber : Data Primer, 2015. Pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa frekuensi perawatan diri toileting sebelum psikoedukasi dalam kelompok intervensi adalah cukup sebanyak 7 responden (63,6%), dan perawatan diri toileting kurang sebanyak 4 responden (36,4%). Dan dalam kelompok kontrol frekuensi perawatan diri toileting cukup sebanyak 6 responden (54,5%), dan perawatan diri toileting kurang sebanyak 5 responden (45,5%). Sedangkan pada frekuensi perawatan diri toileting setelah psikoedukasi dalam kelompok intervensi adalah baik sebanyak 2 responden (18,2%), perawatan diri toileting cukup sebanyak 7 responden (63,6%), dan perawatan diri toileting kurang sebanyak 2 responden (18,2%). Dan dalam kelompok kontrol, frekuensi perawatan diri toileting cukup sebanyak 6 responden (54,5%), dan perawatan diri toileting kurang sebanyak 5 responden (45,5%). 4. Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap Kemampuan Perawatan Diri Toileting Table 4.5
Sumber : Data Primer, 2015. Dari hasil uji Wilcoxon Test didapatkan bahwa variabel sebelum dan setelah diberikan psikoedukasi pada kelompok intervensi p value < 0,05 yakni sebesar p = 0,003. Sedangkan pada variabel sebelum dan setelah diberikan psikoedukasi pada kelompok kontrol p value > 0,05 sebesar p = 0,180. 1. Perawatan Diri Toileting Anak Sebelum Diberikan Psikoedukasi Keluarga Hasil penelitian kategori frekuensi perawatan diri toileting anak retardasi mental sebelum psikoedukasi menunjukkan bahwa perawatan diri toileting pada kelompok intervensi adalah cukup sebanyak 7 responden (63,6%), dan perawatan diri toileting kurang sebanyak 4 responden (36,4%). Sedangkan pada kelompok kontrol, frekuensi perawatan diri toileting cukup sebanyak 6 responden (54,5%), dan perawatan diri toileting kurang sebanyak 5 responden (45,5%). Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perawatan diri toileting anak retardasi mental dalam kategori cukup pada tiap-tiap kelompok. Ini menunjukan bahwa anak retardasi mental belum dapat melakukan perawatan diri toileting secara mandiri. Menurut Sandra (2010) karakteristik anak tunagrahita atau retardasi mental salah satunya adalah mengalami kesulitan dalam melakukan perawatan diri dan hidup bermasyarakat. Dan anak dengan disabilitas yang parah dapat menjadi sangat tergantung pada orang tua atau pengasuh. 2. Perawatan Diri Toileting Anak Sestelah Diberikan Psikoedukasi Keluarga
THE 5TH URECOL PROCEEDING
376
ISBN 978-979-3812-42-7
Hasil penelitian setelah diberikan psikoedukasi, menunjukkan bahwa perawatan diri toileting pada kelompok intervensi adalah baik sebanyak 2 responden (18,2%), perawatan diri toileting cukup sebanyak 7 responden (63,6%), dan perawatan diri toileting kurang sebanyak 2 responden (18,2%). Dan dalam kelompok kontrol frekuensi perawatan diri toileting cukup sebanyak 6 responden (54,5%), dan perawatan diri toileting kurang sebanyak 5 responden (45,5%). Pada kelompok intervensi setelah diberikan psikoedukasi keluarga menunjukkan hasil perawatan diri toileting yang semula kurang menjadi cukup, dan yang semula cukup menjadi lebih baik. Adanya peningkatan perawatan diri toileting anak retardasi mental ini dipengaruhi oleh keluarga yang mampu menjalankan perannya dengan baik serta dengan latihan dan bantuan yang lebih banyak serta pengajaran yang berulang-ulang oleh keluarganya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ramawati (2011) yang menyatakan bahwa anak retardasi mental masih membutuhkan adanya bimbingan dan pelatihan yang berkesinambungan khususnya dari orang tua yang dapat membantu anak retardasi mental meningkatkan dan mengembangkan kemampuan perawatan dirinya. 3. Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap Perawatan Diri Toileting Pada Anak Retardasi Mental Hasil uji terapi psikoeduksi keluarga terhadap kemampuan perawatan diri toileting pada anak retardasi mental menunjukkan bahwa dengan analisis statistic uji wilcoxon test diperoleh p value = 0,003 yaitu lebih kecil dari α = 0,05. Sesi pertama, pada kelompok intervensi 11 (100%) peneliti mendiskusikan tentang masalah pribadi anggota keluarga, masalah dalam merawat anak retardasi mental dan perubahan peran dan fungsi keluarga serta masalah perawatan diri toileting yang dialami anak retardasi mental.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
Keluarga perlu mengenal keadaan kesehatan, masalah dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga (Friedman, 2010). Sebanyak 10 responden mampu mengatasi masalah yang ada dalam keluarga tersebut dengan baik dan mampu merencanakan serta mengajarkan bagaimana cara perawatan diri toileting anak retardasi mental. Sedangkan 1 responden masih belum mampu merencanakan dan mengajarkan perawatan diri toileting sehingga perlu diberikan penjelasan dan pemahaman yang lebih baik Sesi kedua, peneliti memberikan keluarga strategi dukungan, informasi, dan manajemen. Peneliti mendiskusikan tentang masalah perawatan diri toileting yang dialami salah satu anggota keluarga dan menyampaikan tentang konsep, pengertian tentang masalah perawatan diri toileting serta bagaimana cara melakukan perawatan diri toileting yang tepat. Setelah mendapatkan pemahaman, mampu mengenal masalah, dan dapat mengambil keputusan, keluarga dapat memulai untuk merawat anak retardasi mental dengan membantu dalam perawatan diri toileting serta mengajarkan secara kontinue dengan harapan agar anak dapat melakukan perawatan diri toileting secara mandiri, dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada 11 responden pada kelompok intervensi sebelum dilakukan terapi psikoedukasi keluarga 7 responden pada kategori cukup dalam perawatan diri toileting dan 4 responden pada kategori kurang, setelah dilakukan terapi psikoedukasi keluarga perawatan diri toileting mengalami peningkatan yaitu terdapat 2 responden pada kategori baik, 7 responden kategori cukup dan sisanya 2 responden pada kategori kurang. Sesuai dengan tugas keluarga dalam kesehatan yaitu memberikan perawatan anggota keluarga yang sakit
377
ISBN 978-979-3812-42-7
atau yang tidak dapat membantu dirinya sendiri dalam perawatan diri (Friedman, 2010). Sesi ketiga, peneliti melakukan diskusi dengan responden menanyakan tentang kecemasan yang dihadapi keluarga dalam merawat anak dengan retardasi mental dan mengajarkan cara mengatasi kecemasan dengan deep breathing. Dari diskusi yang dilakukan 7 responden mengatakan sudah tidak cemas dalam merawat anak dengan retardasi mental dan sudah menerima keadaan anaknya, serta membantu dan mengajarkan cara melakukan perawatan diri toileting secara tepat dan berbagi peran dengan anggota keluarga lain, 2 responden mengatakan cemas dengan keadaan anaknya dan khawatir anaknya tidak dapat melakukan perawatan diri toileting hingga beranjak dewasa dan 2 responden mengatakan terkadang marahmarah jika anaknya tidak mau diajari perawatan diri toileting dan merasa capek jika harus selalu membantu anaknya. Peneliti melakukan diskusi antar peserta terapi yang bertujuan agar dapat saling memberi masukan dan bertukar pikiran tentang bagaimana mengurangi kecemasan dalam merawat anak retardasi mental serta menerima keadaan anaknya dan mengajarkan cara merawat diri toileting yang tepat agar anak dapat mandiri dalam melakukan perawatan diri toileting. Peneliti juga mengajarkan relaksasi napas dalam yang bertujuan untuk membantu mengurangi kecemasan dan stress yang dialami seseorang, dengan relaksasi napas dalam dapat megurangi stress baik secara fisik maupun emosional dan menurunkan kecemasan yang memberi manfaat dapat menentramkan hati dan mengurangi rasa cemas (Smeltzer dan Bare, 2002). Pada sesi keempat peneliti menanyakan kepada responden tentang tanda dan cara mengatasi beban yang dialami keluarga akibat adanya keluarga yang menyandang retardasi mental. Peneliti dan responden mendiskusikan cara mengatasi beban yang dirasakan dengan berkomunikasi terbuka dengan
THE 5TH URECOL PROCEEDING
anggota keluarga yang lain mengenai cara merawat anak retardasi mental khususnya dalam perawatan diri toileting sehingga semua anggota keluarga mampu mengurangi beban dalam keluarga dan merawat anak retardasi mental, membantu dan mengajarkan perawatan diri toileting. Komunikasi yang ada dalam keluarga diharapkan terbuka antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lain, selalu menyelesaikan konflik dengan musyawarah mufakat, selalu berfikir positif terhadap anggota keluarga lain sehingga peran keluarga setiap anggota keluarga juga dapat berfungsi dengan baik (Friedman 2010). Dari 11 responden yang diberikan terapi psikoedukasi pada kelompok intervensi setelah melakukan terapi sebagian besar mengatakan berkomunikasi terbuka dengan anggota keluarga yang lain mengenai cara merawat anggota keluarga yang menyandang retardasi mental, dapat mengatasi beban akibat salah satu anggota keluarganya yang menyandang retardasi mental dan mampu membantu serta mengajarkan perawatan diri toileting dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan perawatan diri toileting anak retardasi mental. Pada sesi kelima peneliti menanyakan tentang hambatan dan peran setiap anggota keluarga selama merawat anggota keluarga yang menyandang retardasi mental. Setelah diberikan psikoedukasi, keluarga mengatakan mampu membagi peran dengan anggota keluarga yang lain dalam merawat anak retardasi mental dan membantu serta mengajarkan perawatan diri toileting. Dengan pemberdayaan keluarga sesuai peran, maka anak akan terbimbing dan terarah dalam meningkatkan kemampuan perawatan diri toileting. Dengan pembagian peran dalam merawat anggota keluarga yang sakit dapat membantu meningkatkan status sosial dalam keluarga (Friedman, 2010). Menurut Varcarolis dalam Suerni (2013) psikoedukasi keluarga merupakan terapi yang ditujukan untuk
378
ISBN 978-979-3812-42-7
berbagi informasi tentang perawatan kesehatan jiwa memberi dukungan terhadap anggota keluarga yang lain dalam mengurangi beban keluarga (fisik, mental, dan financial) dalam merawat pasien gangguan jiwa untuk waktu yang lama. Dari hasil uji Wilcoxon Test didapatkan bahwa variable sebelum dan setelah diberikan psikoedukasi pada kelompok intervensi p value < 0,05 yakni sebesar p = 0,003. Sedangkan pada variable sebelum dan setelah diberikan psikoedukasi pada kelompok kontrol p value > 0,05 sebesar p = 0,180. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kelompok intervensi sebelum dan setelah diberikan psikoedukasi dan kelompok kontrol sebelum dan setelah karena pada kelompok intervensi sebelum dan setelah diberikan psikoedukasi p value < 0,05 sedangkan pada kelompok kontrol sebelum dan setelah diberikan psikoedukasi p value > 0,05. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Asra (2013) dengan judul “ Efektifitas Psikoedukasi Pada Orang Tua Dalam Meningkatkan Pengetahuan Seksualitas Remaja Retardasi Mental Ringan dengan menggunakan uji Mann U Whitney dan uji Wilcoxon Test untuk membandingkan skor subyek pada pretest dan posttest dari kelompok kontrol dan eksperimen menunjukkan hasil bahwa pada kelompok eksperimen psikoedukasi keluarga efektif untuk meningkatkan pengetahuan seksualitas pada remaja retardasi mental ringan Mann U Whitney (p= 0,024) dan uji Wilcoxon Test (p= 0,012). Keterbatasan penelitian adalah dalam pembagian kelompok kontrol dan kelompok intervensi dilakukan secara acak dan tidak mengguanakan rumus tertentu.
frekuensi perawatan diri pada kelompok intervensi adalah cukup sebanyak 7 responden (63,6%), dan perawatan diri toileting kurang sebanyak 4 responden (36,4%). Sedangkan pada kelompok kontrol, frekuensi perawatan diri toileting cukup sebanyak 6 responden (54,5%), dan perawatan diri toileting kurang sebanyak 5 responden (45,5%). 2. Setelah diberikan psikoedukasi keluarga, frekuensi perawatan diri toileting pada kelompok intervensi adalah baik sebanyak 2 responden (18,2%), perawatan diri toileting cukup sebanyak 7 responden (63,6%), dan perawatan diri toileting kurang sebanyak 2 responden (18,2%). Sedangkan pada kelompok kontrol frekuensi perawatan diri toileting cukup sebanyak 6 responden (54,5%), dan perawatan diri toileting kurang sebanyak 5 responden (45,5%). 3. Ada pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan perawatan diri toileting dengan p value < 0,05 yakni sebesar 0,003. SARAN 1.
2.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Sebelum keluarga
diberikan psikoedukasi perawatan diri toileting,
THE 5TH URECOL PROCEEDING
379
Bagi Sekolah Luar Biasa Karena masih banyaknya anak retardasi mental yang belum mampu melakukan kegiatan perawatan diri khususnya toileting, pihak sekolah diharapkan dapat terus mengembangkan program pengajaran di sekolah mengenai perawatan diri pada anak retardasi mental dan bekerja sama dengan orang tua dan tenaga kesehatan sehingga anak retardasi mental mendapatkan bimbingan dan dukungan yang dibutuhkan terkait pemenuhan kebutuhan perawatan diri. Bagi Orang Tua/Keluarga Dengan Anak Retardasi Mental Orang tua/keluarga anak retardasi mental diharapkan terus meningkatkan pengetahuan terkait kondisi dan kebutuhan anak retardasi mental dengan mengikuti penyuluhan, diskusi, atau pelatihan tentang usia yang tepat untuk mulai melatih anak retardasi mental ketrampilan perawatan diri dan latihan peningkatan
ISBN 978-979-3812-42-7
kekuatan motorik pada anak retardasi mental sehingga anak mampu mandiri dalam melakukan perawatan diri khususnya toilleting. 3.
Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan di bidang keperawatan khususnya dalam memberikan psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan perawatan diri toileting anak retardasi mental serta menambah kepustakaan di instansi terkait.
4. Bagi Penelitian Lebih Lanjut a. Hasil penelitaian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut pada anak dengan kebutuhan khusus dengan memperluas area penelitian pada anak disabilitas lainnya. b. Perlunya penelitian-penelitian lebih lanjut terkait kemampuan perawatan diri pada anak retardasi mental pada setiap area kegiatan perawatan diri serta penelitian untuk mendapatkan metode latihan motorik yang tepat untuk anak dengan disabilitas. REFERENSI Asra, Yulita. ((2013). Efektifitas Psikoedukasi Pada Orang Tua Dalam Meningkatkan Pengetahuan Seksual Remaja Retardasi Mental Ringan Volume 9 Nomor 1. Dinas Sosial Kudus. (2011). Profil Kesehatan Jawa Tengah. Jateng : Dinkes
Pada Anggota Keluarga Dengan Penyakit Kusta Di Kabupaten Pekalongan. Ramawati, Dian. (2011). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kemampuan Perawatan Diri Anak Tuna Grahita di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Sandra, M. (2010). Anak Cacat Bukan Kiamat : Metode Pembelajaran Terapi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Katahati Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 266-271 Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. (2002).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2). Alih bahasa oleh AgungWaluyo, dkk. Jakarta : EGC Suerni, dkk.(2013). Penerapan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Harga Diri Rendah Di Ruang Yudistira Rumah Sakit Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013. Videbeck, Sheila L.(2008).Buku Ajar Keperawatan Jiwa .(Renata Komalasari, dkk, penerjemah). Jakarta : EGC Varcarolis, E.M. (2006). Psychiatric Nursing Clinical Guide; Assesment Tools and Diagniosis. Philadelphia:W.B Saunders Co
Lestari, Arena. (2011). Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarag Terhadap Pengetahuan Dan Tingkat Ansietas Keluaraga Dalam Merawat Anggota Keluarga Yang Mengalami Tuberculosis Paru Di Kota Bandar Lampung Rahayu, Desi. (2011). Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap Dukungan Psikososial Keluarag
THE 5TH URECOL PROCEEDING
380
ISBN 978-979-3812-42-7