Proposal Seminar Tugas Akhir
Pengaruh Peran Guru dan Sosialisasi Peer Group terhadap Perilaku Menyontek Siswa Sebuah Studi Perbandingan: Sekolah Berbasiskan Agama “X” dan Sekolah Non-Agamis “Y”
Disusun oleh: Yuliana Marta Tresia (0906523441)
Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2012
1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Pendidikan di Indonesia mengalami dinamika dari waktu ke waktu – perubahan kurikulum dan metode serta arah pengajaran. Sampai saat ini, pemerintah Indonesia di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih terus mencoba mengupayakan bagaimana agar pendidikan di Indonesia terus ditingkatkan menjadi lebih baik lagi. Pendidikan di Indonesia masih membutuhkan banyak pembenahan, apalagi dalam tujuannya untuk melahirkan siswa-siswi, sumber daya manusia yang bukan hanya dilihat dari banyaknya kuantitas, tetapi juga kualitasnya. 1 Salah satu upaya ini terlihat dalam hal perancangan kurikulum untuk sekolah-sekolah di Indonesia. Pendidikan anti-korupsi yang direncanakan masuk ke dalam kurikulum sekolah merupakan salah satu fenomena yang sedang hangat akhir-akhir ini dalam pendidikan Indonesia. Pendidikan anti-korupsi ini diprakarsai oleh Menteri Pendidikan, Mohammad Nuh yang bekerja sama dan bersinergi dengan KPK, dengan tujuan untuk pemberantasan dan pencegahan perilaku korupsi di Indonesia sejak dini, sejak bangku sekolah. Pendidikan antikorupsi ini akan diterapkan kepada siswa-siswa di setiap jenjang pendidikan. Pendidikan antikorupsi ini akan diberikan kepada siswa melalui mata pelajaran tertentu, seperti Pendidikan Kewarganegaraan dan Agama. Sampai saat ini, beberapa provinsi dan kota sudah menerapkan kurikulum anti-korupsi ini, di antaranya Manado, Bekasi, dan Riau. Di Manado, Dinas Pendidikan Manado sudah menerapkan pendidikan antikorupsi di semua sekolah, yang dilakukan melalui desiminasi pada mata pelajaran Pendidikan Kewarnegaraan, IPS dan Agama. Penerapan pendidikan antikorupsi secara dini ini, seperti yang dikemukakan oleh Kepala Dinas Pendidikan Manado, Dante Tombeg, di Manado, diharapkan akan membentuk karakter siswa yang lebih baik dan mencintai kejujuran. 2 Sedangkan Dinas Pendidikan Kota Bekasi, Jawa Barat, akan menerapkan pendidikan antinarkoba dan antikorupsi kepada seluruh siswa di wilayah setempat mulai tahun ajaran 2012/2013.3
1
“Teropong Pendidikan Kita: Antologi Artikel 2006-2007” (Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional, Desember 2007) hlm.229. 2 http://www.antaranews.com/berita/308831/disdik-manado-terapkan-kurikulum-antikorupsi, diunduh pada 22 Mei 2012, 23:07 WIB. 3 http://www.antaranews.com/berita/304664/bekasi-terapkan-pendidikan-antikorupsi, diunduh pada 22 Mei 2012, 23:09 WIB.
2
Munculnya pendidikan atau kurikulum anti-korupsi sebagai salah satu upaya pendidikan karakter atau pendidikan moralitas di Indonesia menjadi suatu hal yang perlu mendapat perhatian khusus. Pendidikan moralitas yang mulai diangkat oleh kebijakan pendidikan nasional pemerintah bisa jadi merupakan sebuah pertanda bahwa Indonesia sedang menghadapi masalah moralitas dalam generasi ini. Berdasarkan data Transparency International Ranking 2010 yang disampaikan Asian Forum for Human Rights and Development, Indonesia berada di peringkat 110 indeks persepsi korupsi, dari 200 negara di seluruh dunia. 4 Dalam kaitannya dengan kurikulum pendidikan antikorupsi, korupsi sepertinya menjadi sesuatu yang dikait-kaitkan dengan kebiasaan dan perilaku ―tidak-jujur‖ siswa selama di sekolah. Di dalam ruang-ruang kelas sekolah di Indonesia sendiri, yang terjadi justru tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai dan moral yang seharusnya dikembangkan di sekolah.5 Perilaku menyontek siswa misalnya, dianggap sebagai awal mula lahirnya perilaku korupsi di masa depan dari siswa-siswa yang melakukannya tersebut. Hal ini dianggap sebagai suatu masalah besar, apalagi ketika melihat kasus kecurangan dalam UN (Ujian Nasional) di Indonesia.
Tabel 1. Data Jenis Masalah/Kecurangan UN di Indonesia, Perbandingan Antara Tahun 2010 dan 2011
Jenis kecurangan/masalah UN
2010 (kasus)
2011 (kasus)
Isu kebocoran soal
198
33
Praktik jual-beli soal
11
1
Beredarnya kunci jawaban
42
11
Pungutan UN
52
-
Kerusakan soal UN
6
1
Soal UN yang tertukar
2
1
Kekurangan naskah soal UN
6
-
Sumber : data Mendiknas dalam http://edukasi.kompas.com/read/2011/04/21/19245345/Mendiknas.Kecurangan.Itu.Wajar.6
4
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/12/11/151515-ini-dia-peringkat-korupsiindonesia- diunduh 24 Mei 2012, 09:41 WIB. 5 Ibid, hlm.213. 6 diunduh Rabu, 6 Juni 2012, 07:48 WIB.
3
Banyak jenis kasus kecurangan yang terjadi di dalam UN, sebagaimana yang terdata dalam angka di atas, itupun baru yang terdata. Bisa jadi mungkin ada lebih banyak kasus kecurangan, terutama di daerah-daerah pedalaman Indonesia, yang tidak terdata. Kasus kecurangan ini mulai dari kecurangan yang bersifat individual yang dilakukan oleh siswa secara pribadi, misalnya jual-beli soal-jawaban UN, kerja sama ketika proses ujian antarsiswa, membuat atau menyimpan contekan, menanyakan jawaban atau bekerja sama dengan media handphone, maupun yang secara massal dilakukan oleh seluruh pihak yang ada di satu sekolah tersebut. Salah satu kasus kecurangan UN ―massal‖ yang paling hangat terjadi di Indonesia adalah kasus Ujian Nasional (UN) di SD Negeri 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta, dan SDN Gadel II Kota Surabaya, di tahun 2011 lalu. Kasus ini benar-benar merupakan sebuah gambaran krisis pendidikan Indonesia, dimana kecurangan UN sudah direncanakan secara terorganisir bahkan oleh seluruh pihak penyelenggara pendidikan terkait, termasuk guru dan kepala sekolah.7 Alasan yang mendasari tindakan kecurangan ini dilakukan secara ―massal‖ dan bersama-sama pada umumnya adalah masalah kekhawatiran akan rusaknya citra sekolah, jika banyak anak-anak didik yang tidak lulus UN nantinya. Tindakan kecurangan akademis atau academic dishonesty, seperti menyontek, sebenarnya merupakan salah satu tindakan yang melanggar nilai sosial masyarakat ini, yaitu nilai kejujuran. Nilai kejujuran ini juga penting peranannya dalam institusi pendidikan, sebagaimana yang dikatakan oleh Pakar Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Arief Rachman, ―tidak boleh ada kompromi terhadap kecurangan. Dalam pendidikan, kejujuran adalah segalanya.‖8 Kemdikbud memang mengakui ingin menggugah secara moral terlebih dahulu dalam proses trust-building di dunia pendidikan.9 Hal ini juga sejalan dengan Tap. MPRS XXVII/1966 yang menegaskan bahwa tujuan pendidikan kita ialah untuk membentuk manusia Pancasila sejati dan isi pendidikannya yang terutama adalah mempertinggi mental – moral budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama.10 Dalam hal ini, pendidikan moralitas sebenarnya mendapat tempat penting dalam sistem pendidikan di Indonesia. Keberhasilan pendidikan di Indonesia berkaitan sangat erat dengan bagaimana peran sekolah-sekolah di Indonesia dalam mengupayakan tujuan pendidikan tersebut. Sekolah memang merupakan salah satu agen sosialisasi yang paling mempengaruhi nilai-nilai yang 7
http://edukasi.kompas.com/read/2011/06/15/09254293/Kronologi.Nyontek.Massal.di.SD.Pesanggrahan, diunduh pada Rabu, 11 April 2012. 8 http://edukasi.kompas.com/read/2011/06/15/13261685/Dalam.Pendidikan.Kejujuran.adalah.Segalanya, diunduh pada Rabu, 11 April 2012. 9 Ikrar UN Jujur dan Berprestasi: Bertekad Terapkan Nilai Kejujuran dalam Pendidikan, http://118.98.223.68/kemdikbud/berita/123, diunduh pada Rabu, 11 April 2012. 10 Drs. Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), hlm.95
4
akan dipegang oleh seorang individu dalam masyarakat. Sekolah juga merupakan salah satu institusi pendidikan, yaitu pendidikan formal, yang bertujuan untuk mempersiapkan individuindividu untuk menghadapi kehidupan selanjutnya, seperti dunia kerja. Namun, tidak hanya berfungsi untuk ‗mengajar‘ individu-individu mengenai materi-materi pelajaran tertentu, pihak sekolah juga memiliki fungsi untuk ‗mendidik‘. Fungsi ‗mendidik‘ ini berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai moralitas. Drs. S. Nasution, M.A. mengatakan bahwa sekolah memang memberikan pendidikan intelektual kepada anak, tetapi selain itu, sekolah juga memberikan pendidikan moral melalui pendidikan agama dan moral Pancasila, walau pendidikan sosial seperti ini masih belum mendapat tempat yang menonjol. 11 Pendidikan moralitas ini diwujudkan sekolah melalui kurikulum formal, maupun kurikulum terselubung (hidden curricullum), dimana guru mengambil peran penting dalam proses internalisasi nilai dan norma moral tersebut. Pendidikan moralitas yang diperankan oleh guru ini terjadi di dalam interaksi sosialnya dengan siswa-siswi sehari-hari, baik di luar terutama di dalam ruang kelas. Pendidikan moral ini mentransmisi kebudayaan, yaitu sejumlah nilai dan norma sosial sesuai dengan konteks masyarakat setempat kepada para siswa. 12 Salah satu dari nilainilai yang disosialisasikan di sekolah dan di dalam sistem pendidikan Indonesia, termasuk nilai kejujuran. Pendidikan moral di Indonesia sendiri tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut Pendidikan Moral Pancasila. 13 Objek Pendidikan Moral Pancasila ini pada hakikatnya adalah nilai-nilai yang dijabarkan dari Pancasila sebagaimana yang termuat di dalam Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila. Nilai-nilai tersebut mencakup empat macam nilai, seperti yang dikemukakan oleh APEID-NEIR Regional Project dalam salah satu publikasinya, Moral Education in Asia (1980), yaitu:14 a) Nilai-nilai
sosial,
meliputi kerja
sama,
kebersihan
lingkungan,
kebajikan,
persaudaraan, keadilan sosial, menghormati orang lain, tanggung jawab sosial, persaudaraan yang mondial, menghormati martabat manusia, menghormati hak asasi manusia, dan lain-lain; b) Nilai-nilai personal, meliputi rendah hati, dapat dipercaya, displin, toleran, tertib, kebersihan, suka perdamaian (tenang), dan lain-lain;
11
Drs. S. Nasution, Sosiologi Pendidikan (Bandung: Penerbit Jemmars, 1983), hlm.147. Ibid, hlm.19-20. 13 Drs. Cheepy Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm.397. 14 Ibid, hlm.403. 12
5
c) Nilai-nilai kenegaraan-mondial, meliputi kesadaran nasional, patriotisme, ketaatan kepada
pemerintah,
suka
damai,
persaudaraan,
kemanusiaan,
kesadaran
ketergantungan antar bangsa, dan lain-lain; d) Nilai-nilai prosesual, meliputi pendekatan ilmiah terhadap kenyataan, mencari kebenaran, penangguhan pengadilan, dan lain-lain.
Walaupun begitu, pendidikan moral di Indonesia merupakan suatu sejarah panjang, dimana posisinya di dalam sistem pendidikan di Indonesia masih harus terus dikaji ulang. Sebelum menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri seperti sekarang ini, ―pendidikan moral‖ sebenarnya sudah diintegrasikan ke dalam aktivitas pendidikan lainnya, misalnya pendidikan pesantren, yang sudah mengintegrasi pendidikan moral ini ke dalam pendidikan agama, pemberian keteladanan, ataupun pembiasaan kepada hal-hal yang baik (Suyitno, 1985:22; Daroeso, 1987:54; dalam Haricahyono, 1995:399). Pendidikan moralitas ini juga diajarkan kepada siswa melalui beberapa mata pelajaran, seperti mata pelajaran Civics di tahun 1957an, pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, dan Pendidikan Kewargaan Negara (PKN), yang kemudian berkembang lagi menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).15 Menurut Durkheim, sekolah merupakan salah satu agen sosialiasi nilai moral yang utama, setelah keluarga bagi seorang individu. 16 Kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah, seharusnya mendorong para pemerhati pendidikan untuk mempertanyakan dan mengkaji kembali mengenai pendidikan moralitas di lingkup yang lebih mikro, yaitu di ruang-ruang kelas sekolah Indonesia. Ketika sekolah tidak dapat menjalankan fungsi pendidikan moralnya dengan baik, maka ada hal-hal yang perlu untuk dievaluasi kembali oleh pemerintah maupun pihak penyelenggara pendidikan. Pendidikan moral sebenarnya bukan sesuatu hal yang dapat dikesampingkan dalam proses pendidikan di sekolah, dan seharusnya dianggap sama pentingnya dengan pendidikan intelektual yang mempersiapkan para siswa peserta didik untuk terjun ke dunia kerja. Apalagi, ketika pendidikan moral erat kaitannya dengan pencapaian cita-cita untuk melahirkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas dan berkarakter, yang nantinya dapat memperbaiki dan memajukan kondisi bangsa Indonesia.
15
Ibid, hlm.397-409. Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1973). 16
6
Dalam pembahasan mengenai pendidikan moral, Durkheim juga mengatakan bahwa pendidikan moralitas tidak selalu berkaitan dengan perihal agama. Agama memang mengajarkan mengenai moralitas, tetapi tidak semua moralitas berkaitan dengan agama. Pendidikan moralitas dapat dilakukan di luar kaitannya dengan agama, sebagaimana yang diinternalisasi dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Indonesia. Hal ini berarti sebuah sekolah berlandaskan nilai-nilai keagamaan menerapkan dua tipikal pendidikan moralitas sekaligus, yaitu: pendidikan moralitas sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianut, dan pendidikan moralitas umum, seperti kurikulum yang ditetapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karena itu, menjadi menarik untuk melihat bagaimana pendidikan moralitas dilakukan di sebuah sekolah agamis, sekolah yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan tertentu. Durkheim juga membahas pendidikan moral dalam kaitannya dengan displin, sebagai salah satu unsurnya. Dalam kaitan antara perilaku tidak jujur di sekolah dan displin sekolah, menjadi menarik untuk mengkaji salah satunya mengenai sekolah Katolik. Sekolah-sekolah Katolik, pada umumnya dikenal di dalam masyarakat Indonesia sebagai sekolah yang menerapkan peraturan dan kebiasaan displin yang ketat. Siswa benar-benar diatur dan diarahkan untuk konformis dengan peraturan sekolah dan nilai-nilai moralitas yang diajarkan. Namun, di dalam tindakan ketidakjujuran – ketidakdisplinan dalam ujian – menjadi menarik untuk melihat apakah sekolah katolik tetap menerapkan displin seketat itu juga dan sejauh mana peran guru dan peer group siswa dalam mempengaruhi perilaku tidak jujur siswa dalam ujian.
I.2. Permasalahan Jika masalah korupsi di Indonesia dikaitkan dengan perilaku tidak jujur siswa selama mengikuti proses pendidikan di sekolah, kita harus kembali melihat lingkup yang lebih mikro di dalam ruang kelas di sekolah-sekolah Indonesia. Perilaku tidak jujur atau kecurangan ini memang harus disosialisasikan dan didisplinkan untuk tidak dilakukan oleh siswa semenjak siswa masih menjalani proses pendidikan di sekolah sehari-harinya. Pada kenyataannya, academic dishonesty seperti tindakan menyontek di sekolah ini juga bukanlah sebuah hal yang bisa dikesampingkan begitu saja, karena dapat mempengaruhi perilaku siswa di masa depan. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan Eric G. Lambert, Nancy Lynne Hogan, dan Shannon M. Barton (2003), menyatakan bahwa pengalaman atau kebiasaan menyontek di jenjang akademis sebelumnya (SMA) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku menyontek mahasiswa ketika kuliah. Hal ini menjadi sebuah permasalahan jika nilai 7
ketidakjujuran terus membudaya dalam perilaku siswa, sampai ketika para siswa akhirnya memasuki dunia kerja. Di pemerintahan misalnya, perilaku ketidakjujuran dapat berpotensi mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi. Hal ini juga sebagaimana pendapat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mohammad Nuh, yang mengatakan ―kalau ujian saja nyontek, kalau sudah besar pasti korup‖.17 Masalah perilaku ketidakjujuran dan perilaku korupsi di kemudian hari ini terkait dengan peran guru dalam memberikan pendidikan moralitas, yang juga sangat penting dalam peran sekolah sebagai agen sosialisasi moral terpenting kedua bagi seorang individu setelah keluarga, menjadi hal yang harus benar-benar diperhatikan dengan saksama. Dalam kaitannya dengan pendidikan moral, sekolah berbasis keagamaan menjadi penting. Walaupun hal moralitas, seperti kata Durkheim, tidak selalu berhubungan dengan agama atau hal-hal keagamaan, tetapi agama juga tidak lepas dari hal moralitas. Sekolah berbasis keagamaan, seperti sekolah-sekolah islami, sekolah katolik, ataupun sekolah kristen, pada umumnya akan mendasarkan pendidikan mereka kepada nilai-nilai keagamaan. Hal ini dapat dilihat tercermin dalam visi dan misi, atau norma dan aturan-aturan yang dijalankan di dalam sekolah. Jika dikaitkan dengan perilaku menyontek, sebagai salah satu yang pada umumnya dan seharusnya disosialisasikan pihak sekolah untuk tidak dilakukan dalam proses pendidikan moralnya, menjadi menarik untuk melihat apakah memang ada perbedaan antara pendidikan moral yang dilakukan oleh sekolah berbasis keagamaan dibandingkan dengan pendidikan moral yang dilakukan oleh sekolah non-agamis. Selain itu, dirasa perlu juga untuk melihat bagaimana tingkat pengaruh yang diberikan peer group siswa di sekolah terhadap kecenderungan perilaku menyontek siswa, sebagaimana peer group juga menjadi salah satu significant others dalam perkembangan kepribadian seseorang. Karena seringkali nilai dan norma yang dianut dan disosialisasikan di dalam peer group berbeda dan berbenturan dengan nilai dan norma yang dianut dan disosialisasikan oleh keluarga atau sekolah. Pada saat pemenuhan sub kultur dilakukan ternyata berbeda dengan budaya ideal yang dimiliki oleh keluarga dan sekolah, maka pada saat itulah dimungkinkan munculnya ketertiban dan ketidakdisplinan yang dilakukan para murid. 18 Dapat disimpulkan, penelitian ini mencoba melihat dua faktor utama yang mendorong terjadinya tindakan menyontek, seperti yang dikemukakan Prof. Dr. Damsar, bahwa suatu ruang kelas dapat mengalami kondisi tidak tertib dan displin disebabkan karena dua pihak, 17
raih kelulusan 100% dengan kejujuran, http://118.98.223.68/kemdikbud/berita/145, diunduh pada Rabu, 11 April 2012. 18 Prof. Dr. Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.115.
8
yaitu guru dan murid. Pertama, dari pihak guru dimana terdapat beberapa hal yang menyebabkan sosialisasi tidak seperti yang diharapkan, yaitu kegagalan memainkan peranguru, memahami konsep displin, atau ketiadaan dukungan kelembagaan. Kedua, dari pihak siswa dimana adanya persiapan peran yang tidak memadai dan tarikan kelompok rujukan (reference group), atau peer group.19 Karena itu, menjadi menarik untuk melihat hubungan antara peran guru terhadap perilaku menyontek siswa dan juga hubungan antara sosialisasi peer group terhadap perilaku menyontek siswa. Penelitian ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut. 1. Bagaimana hubungan antara tingkat peran guru dalam menanamkan nilai kedisplinan untuk tidak menyontek dan sosialisasi peer group, dengan kecenderungan sikap untuk menyontek siswa di Sekolah Berbasis Agama ―X‖ dan di Sekolah Non-Agamis ―Y‖? 2. Apakah terdapat perbedaan kecenderungan perilaku menyontek siswa menurut tingkat kelas di Sekolah Berbasis Agama ―X‖ dan di Sekolah Non-Agamis ―Y‖? 3. Faktor-faktor apa saja yang membedakan kecenderungan perilaku menyontek siswa di Sekolah Berbasis Agama ―X‖ dan Sekolah Non-Agamis ―Y‖?
I.3. Tujuan Penelitian Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, antara lain : 1. Untuk mendeskripsikan hubungan antara tingkat peran guru dalam menanamkan nilai kedisplinan untuk tidak menyontek dengan kecenderungan sikap untuk menyontek siswa di sekolah. 2. Untuk
mendeskripsikan
hubungan
antara
sosialisasi
peer
group
dengan
kecenderungan sikap untuk menyontek siswa di sekolah. 3. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor apa yang membedakan kecenderungan perilaku menyontek siswa di Sekolah Berbasis Agama ―X‖ dan Sekolah Non-Agamis ―Y‖.
I.4. Signifikansi Penelitian Signifikansi dari penelitian ini antara lain : 1. Signifikansi akademik, yaitu memberikan sumbangan data empiris mengenai faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi kecenderungan siswa untuk melakukan perilaku menyontek di sekolah.
19
Ibid, hlm.112-115.
9
2. Signifikansi praktis, yaitu memberikan masukan terhadap institusi-insitusi pendidikan terkait dalam evaluasi proses penyelenggaraan pendidikan yang selama ini telah dilakukan, dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di institusi pendidikan terkait.
1.5. Kerangka Pemikiran 1.5.1. Tinjauan Pustaka Ada beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan, terkait dengan permasalahan yang sama yang diangkat dalam penelitian ini. Yang pertama, penelitian skripsi Andrini Adevita Wardani (2003) yaitu ―Pengaruh Peran Guru Terhadap Pembentukan Tingkat Critical Thinking Siswa: Studi Perbandingan antara SMUN 70 Bulungan Jakarta Selatan dan SMU (Plus) Muthahhari, Bandung.‖ Penelitian tersebut memiliki persamaan dengan penelitian ini dalam kajian pengaruh peran guru terhadap siswa. Namun, dalam penelitian tersebut, peneliti melihat peran guru dalam teori Inkeles mengenai ―reward and punishment, exemplification, generalization, dan modelling‖. Hasil penelitian memperlihatkan hubungan signifikan antara keempat dimensi peran guru ini terhadap pembentukan tingkat critical thinking siswa. Kedua, penelitian skripsi Frankie R.E. Waleleng (1996), mengenai ―Pengaruh Sosialisasi Terhadap Displin Anak Usia Remaja Dalam Mengatur Waktu Belajar (Kasus Pada Siswa-Siswi SMUN 81 Jakarta).‖ Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini ada dalam kajian bagaimana melihat pengaruh agen-agen sosialisasi terhadap siswa remaja. Hasil penelitian ini menemukan adanya pengaruh yang tidak signifikan dari bentuk sosialisasi terhadap displin waktu belajar anak. Ketiga, penelitian skripsi Yoseph Hilarius (2005), mengenai ―Pengaruh Peran Guru Terhadap Sikap Siswa Pada Peraturan Displin Sekolah: Studi Perbandingan: Peran Guru Awam dan Biarawati di SLTPK Maria Mediatrix, Tangerang‖. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah dalam melihat peran guru terhadap sikap siswa. Namun, penelitian tersebut lebih luas mencakup banyak perilaku displin sekolah, tidak hanya dalam perilaku menyontek, dan hanya melihat peran guru sebagai variabel independen. Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang cenderung lemah dan positif antara peran guru dan sikap displin siswa. Keempat, penelitian ―Collegiate Academic Dishonesty Revisited: What Have They Done, How Often Have They Done It, Who Does It, And Why Did They Do It?‖ oleh Eric G. Lambert, Nancy Lynne Hogan, dan Shannon M. Barton (2003). Penelitian ini juga melihat mengenai perilaku menyontek, namun pada mahasiswa, bukan pada siswa. Hasil penelitian 10
ini hanya variabel ―college level‖, ―membership to a fraternity or sorority‖, ―cheating to graduate”, ―cheating to get a better grade‖, dan variabel ―past cheating in high school” yang memiliki dampak signifikan terhadap perilaku academic dishonesty mahasiswa.
1.5.2. Kerangka Teori 1.5.2.1. Sosialisasi Sosialisasi seperti didefenisikan oleh Peter Berger adalah ―a process by which a child learns to be a participant member of society‖ – proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Berger, 1978:116).20 Sosialisasi ini dilakukan oleh agen-agen sosialisasi. Agen-agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang membantu seorang individu menerima nilai-nilai atau tempat dimana seorang individu belajar terhadap segala sesuatu yang kemudian menjadikannya dewasa. 21 Fuller dan Jacobs (1973:168-208) mendefenisikan empat agen sosialisasi utama yaitu: keluarga, kelompok bermain (peer group), media massa, dan sistem pendidikan. 22 Dalam melihat perilaku menyontek atau academic dishonesty pada siswa di sekolah, dua agen sosialisasi yaitu sistem pendidikan dan peer group menjadi penting. Hal ini disebabkan karena kedua agen sosialisasi ini yang lebih tinggi intensitas frekuensi bertemu dan mempengaruhi siswa di sekolah. 1.5.2.1.1. Agen Sosialisasi Peer Group 23 Peer group atau kelompok bermain – baik yang berasal dari kerabat, tetangga maupun teman sekolah – merupakan agen sosialisasi yang pengaruhnya besar dalam membentuk pola-pola perilaku seseorang. Di dalam kelompok bermain individu mempelajari norma nilai, kultural, peran, dan semua persyaratan lainnya yang dibutuhkan individu untuk memungkinkan partisipasinya yang efektif di dalam kelompok permainannya. Singkatnya, kelompok bermain ikut menentukan dalam pembentukan sikap untuk berperilaku yang sesuai dengan perilaku kelompoknya.
1.5.2.1.2. Agen Sosialisasi Sistem Pendidikan, Sekolah, dan Guru
20
Dalam Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004), hlm.21. 21 Soetandyo Wignjosoebroto & Bagong Suyanto, “Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian” dalam “Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan” (Jakarta: Prenada Media Group, Cetakan ke-4 2010), hlm.92. 22 Op.cit., hlm.24. 23 Op.cit., hlm.94.
11
Pendidikan, menurut UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 Ayat 1 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. 24 Pendidikan merupakan transfer pengetahuan, baik secara formal maupun informal. 25 Pendidikan dapat dikategorikan menjadi tiga, antara lain: pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 26 Dalam pendidikan formal, sekolah menjadi salah satu lembaga yang penting. Sekolah juga dapat dikategori menjadi beberapa jenis, di antaranya sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah negeri merupakan sekolah yang dikelola oleh pemerintah setempat dan sekolah swasta merupakan sekolah yang dikelola oleh pihak non-pemerintah. Ada juga yang disebut sekolah keagamaan, yaitu sekolah
yang
berbasiskan
nilai-nilai
agama
tertentu
dalam
menjalankan proses
pendidikannya, seperti sekolah-sekolah berbasiskan nilai-nilai agama Islam, atau sekolahsekolah Katolik. Dalam fungsi sosialisasi di sekolah, guru memegang peranan penting. Hal ini disebabkan karena guru langsung berinteraksi dengan siswa di dalam kelas sehari-hari. Intensitas dan frekuensi pertemuan antara siswa dan guru juga cukup tinggi. Guru didefenisikan sebagai orang-orang yang bekerja di dalam suatu institusi sekolah yang bertanggung-jawab dalam mendidik anak didik mereka. 27 Menurut Farley, agen sosialisasi membentuk pikiran dan perilaku orang yang disosialisasikan melalui proses-proses berikut:28 1. Penjelasan yang selektif (Selective Exposure) Anak diberikan penjelasan mengenai sikap dan perilaku yang diharapkan dan dilindungi dari hal yang tidak diharapkan, diberikan penjelasan mengenai pengaruh 24
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Indonesia (Jakarta: PT Kloang Klede Putra Timur dan Koperasi Primer Praja Mukti I Departemen Dalam Negeri, 2003), hlm. 3. 25 Michael S. Bassis, Richard J. Galles, dan Ann Levin, Sociology: an Introduction, Fourth Edition: 1991, hlm.397. 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Indonesia. 27 Thommas Jean, Teachers for Tomorrow (UNESCO, 1968), hlm.64, dalam Yoseph Hilarius (2005) “Pengaruh Peran Guru Terhadap Sikap Siswa Pada Peraturan Displin Sekolah: Studi Perbandingan: Peran Guru Awam dan Biarawati di SLTPK Maria Mediatrix, Tangerang”, hlm.13. 28 Dalam Yoseph Hillarius (2005), hlm.16-17.
12
yang baik dan dilindungi dari pengaruh yang buruk. Agen melakukan hal ini dengan berbicara di depan anak, membaca atau menonton, kemudian menyampaikannya kepada anak. 2. Modelling Modelling adalah sebuah proses dimana anak meniru perilaku yang seringkali diulangi (repeatedly) dan ditunjukkan secara sistematis (systematically exposed). Modelling adalah suatu proses dimana individu menirukan cara berpikir, berperasaan, bertabiat dari orang lain yang dianggapnya paling berarti dan berkuasa di lingkungannya. Modelling diawali dengan perhatian anak terhadap perilaku significant other dan mengingatnya dalam memori. Tahap selanjutnya adalah imitasi perilaku tersebut. Perilaku diulangi terus-menerus sehingga menjadi kebiasaan. 3. Imbalan dan Sanksi (Reward and Punishment) Ketika anak meniru dan mengulangi perilaku significant others, significant others tersebut merespon dengan memberi persetujuan. Persetujuan tersebut secara vervak maupun non verbal, kadang-kadang berupa ganjaran yang konkrit seperti permen, uang, maupun bentuk lainnya. Imbalan dan sanksi merupakan displin yang dijalankan sekolah dalam melaksanakan aturan tata tertib secara konsekuen serta akibat yang dikenakan kepada siswa. 4. Pemeliharaan dan Identifikasi (Nurturance and Identification) Proses-proses sosialisasi yang telah disebutkan di atas akan lebih efektif bila anak mengidentifikasikannya dengan orang yang bertindak sebagai agen sosialisasi mereka. Yang dimaksud dengan identifikasi adalah perasaan positif yang membuat anak menginginkan untuk menjadi seperti orang tersebut. Perasaan ini sebagian besar dibangun oleh pemeliharaan perilaku yang diarahkan agen sosialisasi kepada anak. Agen sosialisasi memperhatikan, dan membantu anak, dan dalam kasus orang tua memberikan dukungan utama kepada anak. Selain mengajari dan menguatkan perilaku yang diyakini dan diharapkan, agen sosialisasi juga memberikan kesan penting tentang bagaimana mereka memainkan peranannya, sebaik apa yang dipikirkan orang tentang mereka. Peran guru, sebagaimana mengikuti pemikiran Farley di atas, merupakan salah satu bagian dari apa yang disebut hidden curricullum atau kurikulum terselubung. Hidden curriculum atau kurikulum yang tersembunyi ini, yaitu kurikulum yang tidak disadari tetapi meskipun
13
demikin berfungsi pula untuk menanamkan pengetahuan, keterampilan atau nilai tertentu. 29 Lois Weis yang mendefenisikan kurikulum terselubung sebagai apa yang diajarkan pada siswa-siswa oleh keteraturan institusional oleh rutinitas dan ritual-ritual dalam kehidupan guru/siswa selama kurang lebih 180 hari setahun dan hal ini berlangsung dari tahun ke tahun. 30 Sebagai suatu lembaga terpusat yang ditentukan secara nasional, pendidikan formal juga memiliki suatu kurikulum, jadwal, jurusan, jenjang, dan bidang tertentu (Evy Klara, 2000). Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.31 Dalam melihat atau menyusun kurikulum, ada beberapa model yang dikenal. Salah satunya adalah model kurikulum rasionalis. Salah satu tokoh model kurikulum rasionalis ini adalah J.F. Bobbit (1876-1956) yang menganjurkan penggunaan prinsip-prinsip manajemen ilmiah dalam perencanaan sekolah, termasuk kurikulum. Menurut Bobbit, ada beberapa hal yang penting dalam penyusunan kurikulum ini: 32 1. Analisa yang dibutuhkan masyarakat (tujuan) 2. Tentukan program (content) untuk mencapai tujuan tersebut 3. Terapkan metode untuk mentransimisikan program 4. Buat grafik pengontrol mutu (evaluasi) sebagai alat penilai sampai dimana tujuantujuan telah dicapai.
1.5.2.2. Pendidikan Moral Pendidikan moral adalah salah satu yang juga penting dilakukan oleh sekolah sebagai institusi pendidikan dan agen sosialisasi norma dan nilai masyarakat. Bertindak secara moral menurut Durkheim, berarti menaati suatu norma, yang menetapkan perilaku apa yang harus diambil pada suatu saat tertentu, bahkan sebelum kita dituntut untuk bertindak. Ruang lingkup moralitas adalah ruang lingkup kewajiban. 33 Paul Suparni, dkk. (2002) mengemukakan ada empat model penyampaian pembelajaran moral, yaitu; 1) model sebagai 29
Kamanto Sunarto, hlm. 66. Lois Weiss, ‘Educational Outcomes and School Processes’, dalam Philip G. Batch, et.al (ed), ‘The Critical Perspectives, Comparative Education’, (NY: Macmillan Publishing Co. Inc, 1982) hlm. 492, dalam Andrini Adevita Wardani (2003) “Pengaruh Peran Guru Terhadap Pembentukan Tingkat Critical Thinking Siswa: Studi Perbandingan antara SMUN 70 Bulungan Jakarta Selatan dan SMU (Plus) Muthahhari, Bandung.”, hlm.24 31 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Indonesia. 32 Philip Robinson, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Penerbit CV. Rajawali, 1986), hlm.220. 33 Emile Durkheim, hlm. 17. 30
14
mata pelajaran tersendiri, 2) model terintegrasi dalam semua bidang studi, 3) model di luar pengajaran, dan 4) model gabungan. 34 Dapat dikatakan, pendidikan moral sangat erat kaitannya dengan peran guru dan bentuk kurikulum di suatu sekolah. Salah satu yang diajarkan dalam pendidikan moral adalah nilai-nilai kejujuran. Hal ini terkait dengan perilaku menyontek siswa di sekolah yang menjadi fokus penelitian ini.
1.5.2.3. Perilaku menyontek Siswa Sosialisasi yang dilakukan agen sosialisasi berkaitan erat dengan nilai dan norma sosial. Nilai dan norma sosial ini tergantung kepada kelompok sosial atau institusi sosial, yang menjadi agen sosialisasi tersebut. Dalam sekolah formal sebagai institusi pendidikan, menyontek atau yang lebih luas dikenal sebagai academic dishonesty, merupakan salah satu perilaku yang berusaha dihindarkan agar tidak terjadi di kalangan para siswa dan pengajar. Hal ini dapat dikatakan termasuk ke dalam perilaku menyimpang (deviant behaviour), yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang telah disosialisasikan dan diharapkan untuk dilakukan. Dalam hal ini, perilaku menyontek siswa dapat dilihat dari sudut pandang normatif, dimana penyimpangan adalah suatu pelanggaran dari suatu norma sosial. Norma dalam hal ini adalah suatu standar tentang ―apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dipikirkan, dikatakan, atau dilakukan oleh warga masyarakat pada suatu keadaan tertentu‖. 35 Namun, jika dilihat dari sudut pandang anggota kelompok peer group siswa, belum tentu perilaku menyontek menjadi sebuah perilaku menyimpang (deviant behaviour). Hal ini bisa terjadi karena nilai dan norma sosial yang dianut dan disosialisasikan dalam kelompokkelompok sosial merupakan nilai dan norma sosial yang tidak selalu sama dan saling mendukung satu sama lainnya. Justru bisa jadi ketika seorang siswa berperilaku tidak menyontek, ia akan menjadi non-konformis dari teman-teman kelompok peer-group-nya. Teori Belajar atau Teori Sosialisasi menjelaskan perbedaan ini. Teori ini menyebutkan bahwa penyimpangan perilaku adalah hasil dari proses belajar. Edwin H. Sutherland dalam teori Asosiasi Diferensial-nya mengatakan penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang, terutama dari subkultur atau di antara teman-teman sebaya yang menyimpang.36 Tuti Budirahayu (2004) menambahkan, di tingkat kelompok, perilaku menyimpang adalah suatu konsekuensi dari terjadinya konflik normatif. Artinya, 34
C. Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hlm.2. Tuti Budirahayu, “Perilaku Menyimpang” dalam “Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan” (Jakarta: Prenada Media Group, Cetakan ke-4 2010), hlm.105. 36 Ibid, hlm.112. 35
15
perbedaan aturan sosial di berbagai kelompok sosial, seperti: sekolah, lingkungan tetangga, kelompok teman sebaya atau keluarga, bisa membingungkan individu yang masuk ke dalam komunitas-komunitas tersebut. Situasi itu dapat menyebabkan ketegangan yang berujung menjadi konflik normatif pada diri individu. Jadi seandainya di sekolah seorang murid diajarkan nilai-nilai kejujuran, tetapi di luar sekolah, entah itu di keluarga, organisasi sosial, atau lingkungan masyarakat yang lebih luas, nilai-nilai kejujuran telah ditinggalkan, maka perbedaan norma di antara berbagai kelompok sosial yang dialami murid tersebut dapat saja melunturkan nilai-nilai kejujuran yang diajarkan di sekolahnya. 37 Perilaku academic dishonesty ini mencakup defenisi yang cukup luas. Beberapa penelitian telah mencoba mendefenisikan academic dishonesty ini, seperti Pavela (1978) yang memberikan empat area umum dari academic dishonesty, yaitu: 1) academic dishonesty dengan menggunakan materi yang tidak sah dalam aktivitas akademik seperti dalam tugas, tes, dan sebagainya; 2) pemalsuan informasi, rujukan, atau hasil; 3) plagiarism; 4) membantu siswa lain terlibat dalam academic dishonesty misalnya, seperti mengizinkan siswa lain menyalin pekerjaannya, dan sebagainya. Perilaku academic dishonesty siswa juga termasuk, tetapi tidak terbatas pada, berbohong, menyontek ketika ujian, menyalin atau menggunakan pekerjaan orang lain tanpa izin, mengubah atau menempa dokumen, ‗membeli‘ paper, plagiarism, secara terencana sengaja tidak mengikuti aturan, mengubah hasil penelitian, memberikan alasan yang tidak benar untuk ujian dan tugas yang tidak diikuti, ‗menambahnambahkan‘ sumber, dan sebagainya (Arent, 1991; Moore, 1988; Packer, 1990; Pratt & McLaughlin, 1989).38 1.5.2.4. Rational Choice Theory, Coleman 39 Teori pilihan rasional Coleman tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Aktor memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. Sumber daya adalah sesuatu yang juga menarik perhatian mereka dan dapat mereka kontrol. Dalam kehidupan nyata, orang tak selalu berperilaku rasional, namun itu dipandang tak berpangaruh terhadap teori ini. Ramalan
37
Ibid, hlm.112-113. Dalam penelitian Eric G. Lambert, Nancy Lynne Hogan, dan Shannon M. Barton, Collegiate Academic Dishonesty Revisited:What Have They Done, How Often Have They Done It, Who Does It, And Why Did They Do It? (Electric Journal of Sociology, 2003) 39 Wrihatnolo, Randy R., dan Riant Nugroho Dwidjowijoto, Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007), hlm.111. 38
16
teoretis yang dibuat disini sebenarnya akan sama saja apakah aktor bertindak tepat menurut rasionalitas seperti yang biasa dibayangkan atau menyimpang dari cara-cara yang telah diamati. Aktor juga dilihat berupaya memaksimalkan utilitas mereka sebagian dengan menggerakkan hak untuk mengendalikan diri sendiri dan sebagian lagi untuk mengendalikan aktor lain. Karena pemindahan pengendalian itu tidak terjadi secara sepihak, dalam kasus norma ini terdapat keseimbangan. Tetapi, adapula keadaan ketika norma berperan dalam menguntungkan orang tertentu dan merugikan orang lain. Dalam kasus tertentu, aktor menyerahkan hak untuk mengendalikan (mellaui norma) tindakan orang lain. Selanjtunya, keefektifan norma bergantung pada kemampuan melaksanakan konsensus tersebut. Konsensus dan pelaksanaannyalah yang mencegah tanda-tanda ketakseimbangan perilaku kolektif. Baik aktor kolektif maupun aktof individual mempunyai tujuan. Dalam struktur kolektif, seperti sebuah organisasi, aktor individual dapat mengejar tujuan pribadi mereka yang mungkin berbeda dari tujuan kolektif. Konflik kepentingan ini membantu kita memahami sumber pemberontakan terhadap otoritas perusahaan. Hubungan dari mikro ke makro disini meliputi berbagai cara; dalam hubungan ini, orang melepaskan otoritas dari struktur kolektif dan memberikan legitimasi kepada orang yang terlibat dalam pemberontakan. Tetapi, hubungan dari makro ke makro dalam kondisi tingkat makro tertentu juga ada yang menyebbakan orang bertindak seperti melepaskan dan menanam modal. 1.5.2.5. Teori Anomie, Robert K. Merton40 Dalam teori anomie-nya, Merton mengaji bagaimana struktur sosial dapat menciptakan keadaan pelanggaran terhadap aturan sosial; menekan orang tertentu ke arah perilaku nonkonformis. Di dalam struktur sosial dan budaya, ada yang disebut tujuan (ends) dan cara mencapai tujuan tersebut (means). Tujuan budaya tersebut merupakan hal yang ―pantas diraih‖ dan melalui institusi dan aturan struktur budaya mengatur cara (means) yang harus ditempuh untuk meraih tujuan tersebut. Aturan tersebut bersifat membatasi; cara tertentu seperti menipu atau memaksa, misalnya, tidak dibenarkan. Hipotesis merton ialah bahwa perilaku menyimpang merupakan pencerminan tidak adanya kaitan antara aspirasi yang ditetapkan kebudayaan dan cara yang dibenarkan struktur sosial untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Merton, struktur sosial menghasilkan tekanan ke arah anomie (strain
40
Kamanto Sunarto, hlm.180-181.
17
toward anomie) dan perilaku menyimpang. Merton mengidentifikasi lima cara adaptasi inidividu terhadap situasi tertentu; empat di antaranya merupakan perilaku menyimpang.
Cara Adaptasi
Tujuan Budaya
Cara Yang Diinstitusionalisasikan
I. Conformity
+
+
II. Innovation
+
-
III. Ritualism
-
+
IV. Retreatism
-
-
V. Rebellion
+
+
Cara adaptasi pertama, conformity, merupakan cara yang paling banyak dilakukan. Disini perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat, dan mengikuti cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut. Cara adaptasi kedua, innovation, merupakan cara dimana perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat tetapi memakai cara yang dilarang oleh masyarakat. Cara adaptasi ketiga, ritualism, merupakan bentuk adaptasi dimana perilaku seseorang telah meninggalkan tujuan budaya namun masih tetap berpegang pada cara yang telah digariskan masyarakat. Cara adaptasi keempat, retreatism, merupakan bentuk adaptasi dimana perilaku seseorang tidak mengikuti tujuan budaya dan juga tidak mengikuti cara untuk meraih tujuan budaya. Misalnya, pada orang yang menderita gangguan jiwa dan pemabuk. Cara adaptasi terakhir, rebellion, merupakan bentuk adaptasi dimana orang tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada dan berupaya menciptakan suatu struktur sosial yang lain. Tujuan budaya yang ada dianggap sebagai penghalang bagi tujuan yang didambakan. Cara yang tersedia untuk mencapai tujuan pun tidak diakui.
I.6. Identifikasi Variabel Penelitian 1.6.1. Variabel Dependen Penelitian Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel dependen, atau variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain adalah academic dishonesty, yang dibatasi ruang lingkupnya pada perilaku menyontek siswa dalam ujian. Perilaku menyontek disini didefenisikan sebagai perilaku untuk melakukan kecurangan baik hanya ditujukan untuk diri sendiri maupun untuk/dengan siswa lain, menggunakan cara dan media apapun, ketika ujian di dalam kelas. Variabel ini dicoba untuk dilihat dari tiga unsur dalam pendidikan moral, yaitu pengertian atau pemahaman moral, perasaan moral, dan tindakan moral dimana ketiga unsur ini saling 18
berkaitan (Lickona, dalam Paul Suparno, dkk. 2002, dalam Asri Budiningsih, 2004). Penjelasan dari ketiga unsur tersebut sebagai berikut: 41 1. Pengertian atau pemahaman moral (segi kognitif) adalah kesadaran moral, rasionalitas moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu pengambilan keputusan didasarkan nilai-nilai moral. Segi kognitif ini perlu diajarkan kepada para siswa. Siswa dibantu untuk mengerti mengapa suatu nilai perlu dilakukan. 2. Perasaan moral, lebih kepada kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak baik. Perasaan moral ini sangat mempengaruhi seseorang untuk berbuat baik. Oleh sebab itu, perasaan moral perlu diajarkan dan dikembangkan dengan memupuk perkembangan hati nurani dan sikap empati. 3. Tindakan moral, yaitu kemampuan untuk melakukan keputusan dan perasaan moral ke dalam perilaku-perilaku nyata. Lingkungan sosial yang kondusif untuk memunculkan tindakan-tindakan moral, ini sangat diperlukan dalam pembelajaran moral. Dalam penelitian ini, perilaku menyontek siswa dilihat dari bagaimana pemahaman siswa tersebut terhadap perilaku menyontek, bagaimana perasaan moralnya terkait dengan perilaku tersebut, dan bagaimana tindakan nyata ‗menyontek‘ yang telah dilakukannya.
1.6.2. Variabel Independen Penelitian Ada dua variabel independen dalam penelitian ini, yaitu: tingkat peran guru dalam sosialisasi perilaku academic honesty dan tingkat sosialisasi peer group. 1.6.2.1. Tingkat Peran Guru Tingkat peran guru dalam penelitian ini diukur berdasarkan teori Farley, yaitu ada empat jenis proses sosialisasi dari agen sosialisasi. Namun, tingkat peran guru dalam penelitian ini hanya dilihat dari dua proses dari empat proses tersebut dalam relevansinya dengan perilaku menyontek siswa, yaitu : 1. Peran Guru Dalam Selective Exposure Peran guru dalam selective exposure yang ingin dilihat dalam penelitian ini seperti bagaimana guru memberikan penjelasan mengenai sikap dan perilaku yang diharapkan (tidak menyontek) dan dilindungi dari hal yang tidak diharapkan (menyontek), serta memberikan penjelasan mengenai pengaruh yang baik dan
41
C. Asri Budiningsih, hlm.6-7.
19
dilindungi dari pengaruh yang buruk (guru menjelaskan apa konsekuensi dan akibat dari perilaku menyontek). 2. Peran Guru Dalam Reward and Punishment Peran guru dalam reward dalam penelitian ini dilihat sebagai tindakan guru untuk menghargai setiap perilaku kejujuran siswa yang tidak menyontek, dan peran guru dalam punishment dilihat sebagai tindakan guru untuk displin menanggapi, menghukum atau memberikan konsekuensi terhadap setiap perilaku kecurangan atau tindakan menyontek yang dilakukan siswa-siswanya. 1.6.2.2. Tingkat Sosialisasi Peer Group Tingkat sosialisasi peer group diukur berdasarkan ada tidaknya sosialisasi peer group mengenai perilaku academic dishonesty, lebih khusus juga melihat apakah peer group justru mengajarkan anggotanya untuk melakukan academic dishonesty di dalam kelompok, seperti teori asosiasi diferensial. Ada dua ukuran tingkat sosialisasi peer group dalam penelitian ini, yaitu berdasarkan intensitas sosialisasi dan isi sosialisasi. Dua ukuran ini ingin melihat apakah peer group atau reference group siswa sekedar ‗mengajak‘ untuk menyontek, atau sudah sampai tahap ‗memaksa‘ untuk ikut menyontek atau memberikan contekan.
1.6.3. Variabel Kontrol Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah jenis sekolah siswa. Jenis sekolah yang dimaksudkan disini merujuk kepada apakah sekolah siswa tersebut adalah sekolah agamis, yang berdasarkan nilai-nilai keagamaan, atau sekolah non-agamis. Jenis sekolah siswa menjadi variabel kontrol dalam penelitian ini karena diasumsikan ada perbedaan antara sekolah agamis dan non-agamis dalam hal pendidikan moralitas, dimana sekolah agamis seharusnya memberikan pendidikan moralitas yang ganda kepada para siswa—yaitu, pendidikan moralitas yang berdasarkan nilai keagamaan yang melandasi proses pembelajaran di sekolah, dan pendidikan moralitas umum seperti yang juga diberikan oleh sekolah nonagamis.
1.7. Hubungan Antar Variabel (HAV) Kecenderungan perilaku menyontek siswa merupakan suatu sikap sosial. Sikap sosial ini dipengaruhi oleh proses sosialisasi dari agen-agen sosialisasi di sekeliling siswa atau individu tersebut. Agen-agen sosialisasi tersebut antara lain keluarga, peer group, institusi sekolah, dan media massa. Agen sosialisasi ini mensosialisasikan sejumlah nilai dan norma tertentu kepada setiap individu. Di sekolah, dalam kaitannya dengan perilaku siswa, guru dan peer 20
group merupakan dua agen sosialisasi nilai dan norma yang secara intens bertemu dan berinteraksi dengan siswa. Selain itu, pembentukan perilaku atau sikap seorang siswa juga dipengaruhi oleh bagaimana bentuk kurikulum dari sekolah, bagaimana nilai-nilai dalam kurikulum tersosialisasikan dengan baik kepada para siswa, dalam kaitannya dengan pendidikan moral sekolah tersebut. Dalam hal ini, kurikulum menjadi penting untuk dilihat – dalam dimensi tujuan, content, transmission, dan evaluasinya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bobbit.
1.8. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini antara lain : 1. Semakin rendah peran guru terhadap perilaku menyontek siswa, semakin tinggi kecenderungan perilaku siswa untuk menyontek (academic dishonesty). 2. Semakin tinggi tingkat sosialisasi peer group, semakin tinggi kecenderungan perilaku siswa untuk menyontek (academic dishonesty). 3. Ada perbedaan kecenderungan perilaku menyontek di antara siswa dari sekolah berbasiskan agama ―X‖ dan sekolah non-agamis ―Y‖. 4. Ada hubungan antara kurikulum pendidikan agama dan moral dengan kecenderungan perilaku siswa untuk menyontek.
1.9. Model Analisis Tingkat Peran Guru Terhadap Perilaku Tidak Menyontek
Kecenderungan Perilaku Menyontek Siswa Sosialisasi Peer Group Variabel Kontrol
Jenis Sekolah
21
1.10. Operasionalisasi Konsep Konsep
Dimensi
Variabel
Indikator
Kategori
Skala
konsep Peran guru42
Reward
Tingkat peran reward
1) intensitas insentif pada murid yang mematuhi aturan
1. Rendah
displin sekolah untuk tidak menyontek ketika ujian di kelas
2. tinggi
Ordinal
2) jenis insentif pada murid yang mematuhi aturan displin sekolah untuk tidak menyontek ketika ujian di kelas Punishment
Tingkat peran
1) intensitas hukuman pada murid yang menyontek ketika
1. Rendah
punishment
ujian di kelas
2. tinggi
Ordinal
2) jenis hukuman pada murid yang menyontek ketika ujian di kelas Selective
Tingkat peran
Isi penjelasan
1. Rendah
exposure
selective exposure
Menjelaskan isi peraturan sekolah untuk tidak menyontek
2. Tinggi
Ordinal
ketika ujian di kelas Menjelaskan manfaat dan arti penting peraturan sekolah untuk tidak menyontek ketika ujian di kelas Menjelaskan konsekuensi dari pelanggaran peraturan bagi siswa Intensitas sosialisasi
42
Merujuk kepada penelitian Yoseph Hilarius (2005) “Pengaruh Peran Guru Terhadap Sikap Siswa Pada Peraturan Displin Sekolah: Studi Perbandingan: Peran Guru Awam dan Biarawati di SLTPK Maria Mediatrix, Tangerang”.
22
Intensitas menjelaskan isi peraturan sekolah untuk tidak menyontek ketika ujian di kelas Intensitas menjelaskan manfaat dan arti penting peraturan sekolah untuk tidak menyontek ketika ujian di kelas Intensitas menjelaskan konsekuensi dari pelanggaran peraturan bagi siswa Sosialisasi
-
Peer Group43
Isi sosialisasi peer
Isi Sosialisasi
1. Tinggi
group
Pandangan peer group mengenai perilaku menyontek di
2. Rendah
Ordinal
sekolah Intensitas Sosialisasi Seberapa sering peer group mengajak siswa untuk melakukan tindakan menyontek Perilaku
Kognitif
menyontek
(Pemahaman)
siswa44
Afektif (Perasaan) Konatif (Tindakan)
Kecenderungan sikap
Keyakinan atau pengetahuan siswa yang berkaitan dengan peraturan untuk tidak menyontek di sekolah. Penilaian/perasaan siswa berkaitan dengan peraturan untuk tidak menyontek di sekolah. Kecenderungan perilaku siswa berkaitan dengan peraturan untuk tidak menyontek di sekolah.
1. Negatif
Ordinal
2. Positif 1. Negatif
Ordinal
2. Positif 1. Negatif
Ordinal
2. Positif
43
Merujuk kepada penelitian Nadyana Rahayu (2005) “Pengaruh Sosialisasi Penjurusan SMU Dengan Tingkat Keyakinan Pilihan Jurusan di Perguruan Tinggu (Studi Kasus Mahasiswa UI Angkatan 2004”, hlm.21. 44 Merujuk kepada penelitian Yoseph Hilarius (2005) “Pengaruh Peran Guru Terhadap Sikap Siswa Pada Peraturan Displin Sekolah: Studi Perbandingan: Peran Guru Awam dan Biarawati di SLTPK Maria Mediatrix, Tangerang”, hlm. 30.
23
1.11. Metode Penelitian 1.11.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif karena ingin mendapatkan penjelasan mengenai hubungan antara tingkat peran guru dan tingkat sosialisasi peer group terhadap kecenderungan perilaku menyontek siswa. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat faktor atau variabel mana dari dua variabel independen ini yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan perilaku menyontek siswa. Selain itu, penelitian ini ingin melihat perbedaan pengaruh tersebut di sekolah non-agamis dan sekolah agamis.
1.11.2. Tipe Penelitian Berdasarkan dimensi waktu, maka penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional, dimana peneliti hanya melakukan penelitian dalam sekali waktu. Berdasarkan dimensi tujuan, penelitian ini merupakan penelitian ini termasuk penelitian explanation, karena bertujuan untuk menjelaskan hubungan antar variabel yaitu dua faktor utama yang berpengaruh terhadap perilaku menyontek siswa. Penelitian ini berupaya untuk menjelaskan pengaruh peran guru dan pengaruh sosialisasi peer group (reference group) siswa terhadap perilaku menyontek siswa tersebut. Berdasarkan teknik pengumpulan data, penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dengan teknik pengumpulan data survei, yaitu menggunakan kuesioner. Dari sisi manfaat penelitian, penelitian ini merupakan penelitian terapan karena penelitian ini dilakukan untuk memberikan evaluasi dan masukan kepada pihak terkait mengenai topik yang diangkat, yaitu dalam hal pendidikan moral dan agama, yang berkaitan dengan perilaku academic dishonesty siswa di sekolah.
1.11.3. Populasi Penelitian Populasi adalah (cari sumber). Dalam penelitian ini, yang akan menjadi populasi penelitian adalah seluruh siswa-siswi dari Sekolah Berbasiskan Agama ―X‖ dan Sekolah Non-Agamis ―Y‖. Hal ini ditujukan untuk melihat apakah tingkat peran guru dan tingkat sosialisasi peer group berpengaruh terhadap kecenderungan perilaku menyontek siswa di kedua sekolah tersebut tersebut. Dapat dirumuskan populasi dalam penelitian ini :
24
Isi
Seluruh siswa berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan yang masih bersekolah dan berstatus akademis aktif di sekolah agamis ―X‖ dan sekolah non-agamis ―Y‖
Cakupan
Sekolah Berbasiskan Agama ―X‖ dan Sekolah Non-Agamis ―Y‖
Waktu
2012
1.11.4. Sampel Penelitian dan Teknik Penarikan Sampel Sampel penelitian ini sendiri merupakan siswa-siswi dari Sekolah Berbasiskan Agama ―X‖ dan Sekolah Non-Agamis ―Y‖ dimana penelitian ini menggunakan teknik penarikan sampel stratified. Hal ini dikarenakan penelitian ini juga ingin melihat apakah ada perbedaan tingkat menyontek siswa di antara sekolah yang agamis, dibandingkan dengan sekolah non-agamis.
1.11.5. Teknik Pengumpulan Data 1.11.5.1. Data Primer Data primer akan diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data survey, yaitu metode kuesioner kepada para responden yang masuk ke dalam sampel penelitian, yaitu siswa-siswi dari Sekolah Agamis ―X‖ dan Sekolah Non-Agamis ―Y‖. Selain itu, penulis juga akan mendukung hasil temuan data kuantitatif dengan wawancara mendalam kepada beberapa guru, kepala sekolah, dan beberapa siswa. Pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara mendalam merupakan pertanyaan yang lebih jauh dapat mengkonfirmasi dan menguatkan hasil temuan dari pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner. Penulis juga akan melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian untuk menambah dan memperkuat data hasil temuan. Hasil temuan dari teknik wawancara mendalam dan observasi ini kemudian akan digunakan penulis untuk menjawab pertanyaan penelitian ketiga.
1.11.5.2. Data Sekunder Data sekunder penelitian ini berasal dari tata usaha sekolah-sekolah bersangkutan, seperti untuk mengetahui gambaran umum sekolah yang menjadi objek penelitian. Selain itu, penulis juga melakukan studi kepustakaan dengan mencari referensi, buku-buku, dan penelitian sebelumnya, yang terkait dengan topik penelitian ini.
25
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Bambang Wasito, dkk. 2007. Teropong Pendidikan Kita: Antologi Artikel 2006-2007. Jakarta: Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional. Budiningsih, C. Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta: PT Rineka Cipta. Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Durkheim, Emile. 1973. Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Haricahyono, Cheepy. 1995. Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Semarang Press. Narwoko, J. Dwi & Bagong Suyanto. 2010. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Cetakan Ke-IV. Jakarta: Prenada Media Group. Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali. Suwarno. 1992. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Indonesia. 2003. Jakarta: PT Kloang Klede Putra Timur dan Koperasi Primer Praja Mukti I Departemen Dalam Negeri. Wrihatnolo, Randy R., dan Riant Nugroho Dwidjowijoto, Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat. 2007. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
26