PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG UBI JALAR, NATRIUM TRIPOLIFOSFAT (Na5P3O10) DAN FIBRISOL TERHADAP MUTU FISIKO-KIMIA, DAN GIZI PROTEIN BAKSO SAPI Ade Chandra Iwansyah1) dan Evy Damayanthi2) 1Balai
Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna – LIPI Jl. K. S. Aipda Tubun No.5, Subang 41213; Telp (0260)411478, HP: 08561404289 Email:
[email protected] atau
[email protected] 2Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia - IPB Diterima 31 Juli 2008, disetujui untuk diterbitkan 19 September 2008
ABSTRACT Meatball “bakso” is a very popular meat product. The aim of the research was to identify the effect of adding sweet potato flour, sodium tripolyphosphate (STPP) and fibrisol on physical-chemical, and protein digestibility of meatball. The research was designed by Complete Random Factor of three levels binder on two blocks of filler. The result indicated that adding binder and blocks of filler affected to protein, calories, pH and protein digestibility of meatball (p<0,05), however for moisture, ash and fat content, carbohydrate, texture, shear and water holding capacity was not significant (p>0,05). The best treatment of filler and binder in meatball is adding sweet potato flour and sodium tripoliphosphate : fibrisol with protein content 18,22%, pH 6,51 and protein digestibility 96,64%. Keywords: sweet potatoes flour, sodium tripolyphosphat (STPP), fibrisol, protein digestibility
1. PENDAHULUAN Bakso adalah produk olahan daging yang sangat populer di berbagai lapisan masyarakat. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak dengan kadar daging tidak kurang dari 50% dan pati atau serealia, dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Dalam pembuatannya, jenis bahan baku dan jumlah komposisi yang digunakan mempengaruhi mutu bakso yang diproduksi. Mutu bakso dapat berupa mutu fisik, mutu kimia dan mutu organoleptik. Bahan pengisi (filler) seperti sagu aren dan tapioka sering digunakan dalam pembuatan bakso untuk tujuan tertentu. Ubi jalar merupakan komoditi Indonesia, komoditi ini menurut Biro Pusat Statistik (2005) telah mencapai produksi sebesar 1.799.775 ton per tahun. Komoditi ubi jalar ini memiliki kandungan gizi yang tinggi, khususnya protein. Namun komoditas ini masih sangat belum optimal dalam pemanfaatannya. Oleh karena itu pemanfaatan ubi jalar dalam pembuatan bakso dapat meningkatkan nilai ekonomis dan diversifikasi pangan. Selain itu dalam pembuatan bakso bahan tambahan pangan (BTP) biasa digunakan. BTP menurut PP No 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan didefinisikan sebagai bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat fisik dan bentuk pangan. BTP yang digunakan dalam pembuatan bakso dapat digolongkan berdasarkan fungsinya, yaitu bahan pengikat (sodium tripolifosfat, gluten, fibrisol dan sebagainya) dan pengawet (benzoat, sorbat, dan sebagainya). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang bagaimana pengaruh penambahan tepung ubi jalar, STPP, dan fibrisol terhadap aspek mutu yang meliputi mutu fisiko-kimia, dan mutu protein bakso sapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung ubi jalar, natrium tripolifosfat dan fibrisol terhadap mutu fisiko-kimia, dan gizi protein bakso sapi.
2. METODE PENELITIAN 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Percobaan Makanan dan Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia; Laboratorium Pengolahan Pangan,
Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian; Pilot plant Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret – Agustus 2005. 2.2. Bahan Bahan utama pembuatan bakso adalah daging sapi beku (frozen), tapioka, Na5PO3O10 (STPP) dan fibrisol dari Toko Setia Guna-Bogor; dan tepung ubi jalar putih “Sariumbi” dibeli dari PT. Bogasari Flour Mills. 2.3. Prosedur Penelitian Penelitian ini terbagi ke dalam dua tahap, yaitu: 2.3.1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dalam pembuatan bakso di bagi menjadi 3 tahap, yaitu (i) pembuatan bakso, pada penelitian pendahuluan ini dilakukan trial error terhadap prosedur pembuatan bakso. Trial error dilakukan untuk mengetahui metode cara pembuatan bakso dalam skala pilot plant serta menentukan jumlah es yang ditambahkan dalam pembuatan bakso. Metode cara pembuatan bakso yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram proses pembuatan bakso (ii) penambahan tepung ubi jalar yang optimal dalam pembuatan bakso dengan uji organoleptik terbatas (aroma, warna, rasa, penampakan, kekerasan dan kesukaan), (iii) penentuan karakteristik fungsional dari tapioka, tepung ubi jalar dan perbandingan tapioka : tepung ubi jalar yang optimal (titik gelatinisasi, densitas kamba, derajat kecerahan, dan ukuran tepung). Tabel 1. Perlakuan penambahan tepung ubi jalar, STPP, dan fibrisol No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tapioka (%)
Tepung ubi jalar (%)
100 100 100 80 80 80
0 0 0 20 20 20
STPP (%) 0,3 0,3 0,15 0 0 0,15
Fibrisol (%) 0 0 0,15 0,3 0,3 0,15
Kode A0B0 A0B1 A0B2 A1B0 A1B1 A1B2
2.3.2. Penelitian Lanjutan Penelitian lanjutan dilakukan berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian pendahuluan. Perlakuan pada penelitian lanjutan dapat dilihat pada Tabel 1. Kemudian bakso dianalisis kekerasan dan daya iris secara objektif dengan menggunakan Rheoner, pH dengan pH meter, daya mengikat air dengan kertas saring (<6 cm2 = tinggi, 6-8 cm2 = sedang, >8 cm2 = rendah) rendemen, analisis proksimat (kadar air, protein, lemak, abu), dan daya cerna protein (in vitro). 2.4. Rancangan Penelitian dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Faktorial (RAF) dengan 2 faktor. 1) faktor bahan pengisi (filler) ( α ) dengan taraf, yaitu tapioka dan campuran tapioka : tepung ubi jalar (80 : 20). 2) faktor bahan pengikat (binder) ( β ) dengan taraf yaitu natrium tripolifosfat (STPP) 0,3%, fibrisol 0,3%, dan campuran STPP : fibrisol (0,15% : 0,15%) dengan dua kali ulangan. Pada penelitian ini jumlah unit percobaan ialah 2 x 3 x 2 = 12 unit percobaan Data hasil analisis dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dengan menggunakan program SPSS 11.5 for Windows. Bila sidik ragam menunjukan hasil yang berpengaruh maka akan dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perlakuan yang berbeda. Uji LS Means untuk analisis interaksi menggunakan program SAS versi 6.12.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Penelitian Pendahuluan 3.1.1. Proses pembuatan bakso Berdasarkan hasil penelitian, proses pembuatan bakso dimulai dengan penggilingan daging, kemudian daging giling tersebut disimpan selama 30 menit didalam freezer. Setelah itu daging giling dimasukan kedalam cutter dan dicampurkan dengan es batu (75%berat daging) dan bahan lainnya. Adonan yang terbentuk kemudian disimpan selama 30 menit didalam lemari pendingin (refrigrator). Adonan yang telah kalis kemudian dibentuk menjadi bakso didalam blencher dan dimasak. Penyimpanan daging giling selama 30 menit dimaksudkan untuk meningkatkan dan menjaga daya ikat air (water holding capacity) daging, sedangkan aging adonan yang dilakukan dimaksudkan agar adonan yang diperoleh menyatu “kalis”. Penyimpanan adonan bertujuan untuk meningkatkan jumlah protein larut garam dalam emulsi atau adonan bakso, sehingga dapat memperbaiki sifat fisik bakso1). 3.1.2. Tingkat penambahan tepung ubi jalar dalam pembuatan bakso Penelitian pendahuluan tahap dua dilakukan dengan mensubstitusi tapioka dengan tepung ubi jalar dengan perbandingan, yaitu 100 : 0, 80 : 20, 60 : 40, dan 50 : 50. Berdasarkan hasil organoleptik panelis terbatas terhadap sifat fisik (warna, aroma, rasa, kekerasan, kekenyalan dan kekompakan) didapatkan bahwa perbandingan tapioka : tepung ubi jalar (80 : 20) dari segi aroma masih bisa diterima dan tidak mempunyai bau khas ubi jalar, warna (agak kekuningan), rasa (sedikit manis) dan tekstur (kekerasan, kekenyalan dan kekompakan) bagus dan bentuknya bulat. Oleh karena itu perbandingan tapioka : tepung ubi jalar (80 : 20) yang digunakan pada penelitian tahap lanjutan. 3.1.3. Karakteristik Fisik Bahan Pengisi Hasil pengamatan karakteristik fisik bahan pengisi dapat dilihat pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Karakteristik fisik tapioka, tepung ubi jalar dan campuran Pengamatan
Tapioka
Tepung Ubi Jalar
Suhu Gelatinisasi : Awal (ºC) Maksimum (ºC) Densitas Kamba (g/ml) Kecerahan (visual)
66,7 84,0 0,710±0,05 Putih (+++)
76,5 106,5 0,742± 0,018
Ukuran (mesh)
135-200
135- 200
Putih kekuningan (+)
Campuran (80 : 20) 69,0 78,0 0,726±0,054 Putih agak kekuningan (++) 135- 200
3
Gelatinisasi ialah suatu proses dimana terjadi pembengkakan granula pati yang bersifat tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible)4). Suhu terjadinya gelatinisasi disebut suhu gelatinisasi. suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh konsentrasi pati, pH, jenis pati dan penambahan gula2). Berdasarkan hasil analisis terhadap karakteristik fungsional ketiga bahan pengisi (tepung), tapioka memiliki suhu awal gelatinisasi terendah (66,7ºC), sedangkan suhu gelatinisasi maksimum terendah dimiliki oleh campuran tapioka:tepung ubi jalar (78°C). Hal ini berarti pada proses pembuatan bakso (pembentukan dan perebusan) tapioka mengalami proses gelatinisasi lebih cepat dibandingkan tepung yang lain. Akan tetapi campuran tapioka : tepung ubi jalar dapat mengalami gelatinisasi sempurna (cepat matang) dibandingkan bahan pengisi tapioka atau tepung ubi jalar. 3.2. Penelitian Lanjutan 3.2.1. Sifat fisik Hasil analisis fisik dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengamatan pH, kekerasan, daya iris, rendemen dan DMA bakso sapi
No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kode A0B0 A0B1 A0B2 A1B0 A1B1 A1B2
pH 6,46 6,31 6,39 6,51 6,31 6,44
Kekerasan (gf) 240,00 240,00 236,25 202,50 251,25 243,75
Pengamatan Daya iris (gf) Rendemen (%) 968,75 96,48 956,25 103,70 956,25 99,15 1100,00 106,43 1081,25 108,78 1055,00 99,75
Luasan Air Bebas (cm2) 6,93 9,90 11,25 9,63 14,43 10,53
a. Kekerasan obyektif Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kekerasan objektif bakso memiliki kisaran 202,50-251,25 gf. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung ubi jalar, bahan pengikat dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap kekerasan objektif bakso (p>0,05). Hal ini dikarenakan jumlah bahan pengisi dan pengikat memiliki jumlah yang sama. Pengaruh bahan pengisi dan pengikat umumnya tidak seragam dan banyak bergantung pada bahan yang ditambahkan, jumlah yang ditambahkan, dan interaksinya dalam waktu pengikatan3). b. Daya iris obyektif Daya iris objektif diartikan sebagai kekuatan yang dibutuhkan untuk mengiris atau memotong bakso secara melintang. Pada Tabel 3 dapat dilihat, kisaran daya iris bakso berkisar 956 - 1100 gf. Berdasarkan uji sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung ubi jalar, bahan pengikat (STPP, fibrisol dan STPP : fibrisol) dan interaksi antara perlakuan tidak berpengaruh terhadap daya iris bakso (p>0,05). Hal ini dikarenakan penambahan campuran tepung ubi jalar yang ditambahkan jumlahya sama dan perbandingan daging dan tepung tetap, sehingga tidak mengubah komposisi bakso. c. Derajat keasaman (pH) Pada Tabel 2 didapatkan hasil derajat keasaman (pH) bakso mempunyai kisaran pH 6,31-6,51. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa bakso ditambahkan bahan pengikat dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap derajat keasaman (pH) adonan bakso (p>0,05), sedangkan penambahan tepung ubi jalar berpengaruh terhadap pH adonan bakso (p<0,05). Bakso dengan tepung ubi jalar cenderung memiliki pH yang lebih tinggi dibandingkan bakso dengan pengisi tapioka. Penambahan polifosfat dapat meningkatkan pH pada produk daging atau olahannya. Fosfat ini akan memutuskan ikatan silang miosin dan aktin sehingga akan menyebabkan daya ikat air menjadi meningkat4). d. Rendemen Rendemen bakso pada penelitian berkisar 96,48-108,78%. Rendemen bakso bisa memiliki nilai lebih dari 100%, yang berarti ada penambahan komponen selain bahan baku yang menambah berat bakso yang
dihasilkan. Hal ini dikarenakan bertambahnya jumlah air yang terdapat pada adonan atau bakso yang berasal dari air rebusan yang masuk pada saat perebusan. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar, bahan pengikat dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap rendemen bakso (p>0,05). Bakso dengan daging mutu rendah pada penambahan STPP rendemennya cukup tinggi3). Hal ini dikarenakan pada bakso mutu rendah adonan tidak lengket dan tidak ada yang hilang selama proses. e. Daya mengikat air (DMA)
Nilai DMA didefinisikan sebagai kemampuan produk untuk menahan air bebas yang dikandungnya5). Semakin banyak kandungan air bebas yang hilang selama pemasakan, semakin kecil nilai DMA daging6). Daya mengikat air berhubungan terhadap keempukan, juiciness, dan warna7). Pada Tabel 3 dapat dilihat daya mengikat air (air bebas) bakso berkisar 6,93-14,43 cm2 . Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar, bahan pengikat (STPP dan fibrisol ) dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap daya mengikat air bakso (p>0,05). Bakso pada penelitian ini memiliki daya mengikat air yang rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya mengikat air ialah: 1) karakteristik hewan (spesies, umur, jenis kelamin); 2) pH (derajat keasaman); 3) aging (pelayuan); dan 4) garam8). Pada daging dengan pH lebih rendah atau lebih tinggi dari pI (isolelektrik) akan menyebabkan daya mengikat airnya meningkat3).
3.2.2. Sifat Kimia Hasil analisis kimia bakso dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil analisis kimia bakso berdasarkan berat basah dan berat kering
No Kode 1. 2. 3. 4. 5. 6.
A0B0 A0B1 A0B2 A1B0 A1B1 A1B2
Kadar Air (%) 61.8 59.7 61.8 58.7 63.9 59.6
Kadar Abu %bb 0.96 0.91 0.83 0.85 0.73 1.10
%bk 2.49 2.26 2.16 2.05 2.00 2.74
Kadar Lemak %bb 2.76 5.64 7.31 2.42 7.42 6.21
%bk 7.21 13.75 19.17 5.85 20.66 15.14
Kadar Protein %bb 5.35 5.61 5.34 5.05 6.23 7.36
%bk 14.00a 13.95b 13.99a 12.24b 17.28b 18.22b
Karbohidrat (%) 29.16 28.13 24.70 32.95 21.71 25.75
a. Kadar Air Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air bakso berkisar 59,58%-63,92% (Tabel 5). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar, bahan pengikat (STPP 0,3%, fibrisol 0,3% dan kombinasinya 0,3%) dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap kadar air bakso (p>0,05). Hal ini dikarenakan penambahan tepung ubi jalar tidak merubah komposisi bakso. Selain itu air dalam bakso berasal dari daging, komposisi air es yang terperangkap pada saat penggilingan daging dan air selama pengolahan yaitu saat blanching dan perebusan. Air berada dalam daging sekitar 65-80 %, yang terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu air terikat, air tidak tetap, dan air bebas9). b. Kadar abu Pada Tabel 5 dapat dilihat kadar abu bakso berkisar 2,00-2,74 % bk. Kadar abu tertinggi diperoleh pada bakso dengan penambahan campuran tepung ubi jalar (80 : 20) dan penambahan STPP : fibrisol (0,15% : 0,15%). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar, bahan pengikat (STPP 0,3%, fibrisol 0,3% dan kombinasinya 0,3%) dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap kadar abu bakso (p>0,05). Kadar abu bakso daging umumnya memiliki kadar abu berkisar antara 2,00-3,01%10). Perbedaan kandungan abu bakso dapat disebabkan karena penggunaan bahan tambahan seperti natrium tripolifosfat,
5
fibrisol, MSG dan garam yang merupakan sumber abu selain daging. Kadar abu bakso akan semakin menurun dengan semakin banyaknya tepung yang ditambahkan11). c. Kadar Protein Kadar protein bakso tertinggi dijumpai pada bakso dengan penambahan tepung ubi jalar (80 : 20) dan STPP : fibrisol (0,3%) yaitu 19,73% bk, sedangkan kadar protein pada jenis bakso lainnya berkisar 1416%bk (Tabel 5). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar, bahan pengikat (STPP, fibrisol dan kombinasinya) dan interaksi kedua perlakuan berpengaruh terhadap meningkatnya kadar protein bakso (p<0,01). Hal ini dikarenakan tepung ubi jalar memiliki kandungan protein lebih tinggi dibandingkan tapioka. Tepung ubi jalar memiliki kandungan protein 4g/100g, sedangkan tapioka memiliki kandungan protein 0,5g/100g12). Selain itu sumber protein dapat juga berasal dari bahan pengisi dan pengikat (isolat protein, gluten) yang ditambahkan pada saat pembuatan bakso. d. Kadar Lemak Lemak merupakan zat penghasil energi selain karbohidrat dan protein. Kadar lemak bakso dengan penambahan tepung ubi jalar dan bahan pengikat (STPP dan fibrisol) berkisar 6,48-19,89%bk (Tabel 5). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar, bahan pengikat (STPP, fibrisol dan STPP : fibrisol) dan interaksi antara kedua perlakuan tidak berpengaruh terhadap kadar lemak bakso (p>0,05). Kandungan lemak dalam bakso dipengaruhi oleh jenis daging11). Lemak berperan dalam pembentukan emulsi daging dan memberi rasa keempukan dan kebasahan (juiciness)13). Pada saat terjadi pemanasan terjadi pengikatan lemak oleh protein, protein mengalami koagulasi membentuk suatu matriks sehingga butiranbutiran lemak dapat terperangkap dan terikat oleh matriks protein. 1. Karbohidrat Kadar karbohidrat by different merupakan karbohidrat yang diperoleh dari selisih 100% kandungan zat gizi keseluruhan dikurangi zat gizi lain (protein, air, lemak, dan abu). Karbohidrat bakso berkisar 21,7129,16% (Tabel 5). Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan penambahan tepung ubi jalar, bahan pengikat (STPP, fibrisol dan STPP:fibrisol) dan interaksi antara kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat bakso (p>0,05). Kandungan karbohidrat pada bakso berasal dari bahan pengisi (tepung). Penggunaan tepung dalam pembuatan bakso dalam jumlah relatif banyak, sedangkan kandungan lemak dalam daging sedikit maka kadar air dan protein bakso tersebut akan cukup tinggi3). 3.2.3. .Daya cerna protein (in vitro) Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim-enzim pencernaan dikenal dengan istilah mutu cerna (digestibility). Mutu gizi protein ditentukan oleh daya cerna protein dan kelengkapan asam aminonya2). Daya cerna ialah jumlah fraksi nitrogen dari bahan makanan yang dapat diserap oleh tubuh. Daya cerna menyatakan kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino yang dapat dicerna dan digunakan oleh tubuh15). Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas enzim dalam mencerna protein, yaitu pH saat inkubasi atau lingkungan, suhu, konsentrasi enzim, konsentrasi subtrat, dan adanya inhibitor atau aktivator15). Daya Cerna Protein (%)
120.00 96.00
88.94
92.69 94.69
92.53 93.72 96.64 STTP 0,3% Fibrisol 0,3% Kombinasi 0,3%
72.00 48.00 24.00 0.00 Tapioka
Tapioka+tep. Ubi jalar
Jenis Perlakuan
Gambar 2. Hasil perlakuan bahan pengisi dan pengikat terhadap daya cerna protein bakso
Daya cerna protein bakso dianalisis secara in vitro (enzimatis). Bakso dengan perlakuan penambahan tepung ubi jalar dan bahan pengikat memiliki daya cerna berkisar 88,94%-96,64% (Gambar 2). Bakso dengan penambahan tepung ubi jalar dan STPP : fibrisol (0,15% : 0,15%) memiliki daya cerna tertinggi (96,64%), sedangkan bakso tapioka dan STPP 0,3% memiliki daya cerna terendah (88,94%). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung ubi jalar, berpengaruh nyata terhadap daya cerna protein bakso (p<0,05), sedangkan penambahan bahan pengikat dan interaksi antar kedua perlakuan tidak berpengaruh terhadap daya cerna protein bakso (p>0,05). 3.3. Penentuan Bakso dengan Formula Terpilih Formula bakso yang menghasilkan bakso dengan kualitas fisiko-kimia terbaik, dilihat dari kekerasan objektif, daya iris objektif dan daya mengikat air serta kandungan zat gizinya ialah formula bakso dengan penambahan tepung ubi jalar + STPP : fibrisol 0,3% (A1B2).
4. KESIMPULAN Penambahan tepung ubi jalar yang optimal dalam pembuatan bakso ialah tapioka : tepung ubi jalar = 80 : 20 %. Penambahan tepung ubi jalar sebagai filler, STPP dan fibrisol sebagai binder dalam pembuatan bakso tidak berpengaruh terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak, karbohidrat, kekerasan objektif, daya iris objektif dan daya mengikat air (p>0,05). Akan tetapi penambahan tepung ubi jalar, STPP dan fibrisol berpengaruh terhadap kadar protein, pH dan daya cerna protein. Pemilihan formulasi bakso terbaik dalam penelitian ini ialah bakso dengan penambahan tepung ubi jalar dan campuran STPP : fibrisol (0,15% : 0,15%) dengan kadar protein 18,22%, pH (6,51) dan daya cerna protein (96,64%).
DAFTAR PUSTAKA 1. Indrarmono TP. 1987. Pengaruh Lama Pelayuan dan Jenis Daging Karkas serta Jumlah Es yang Ditambahkan Ke Dalam Adonan Terhadap Sifat Psikokimia Bakso Sapi (Skripsi). Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 2. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta. 3. Sunarlim, R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh Penambahan Natrium Klorida dan Natrium Tripolifosfat Terhadap Perbaikan Mutu. (Disertasi). Bogor, Program Pascasarjan, Institut Pertanian Bogor. 4. Sikorski ZE. 1997. Chemical and Functional Properties of Food Components. Technomic Publishing Company, Inc. USA 5. Ockerman HW. 1978. Sources Book for Food Scientist, Avi Publ. Co. Inc. Westport, Connecticut. 6. Purnomo H. 1990. Kajian Mutu Bakso Daging, Bakso Urat, dan Bakso Aci di Daerah Bogor (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 7. Pomeranz Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Academic Press, Inc.USA. 8 . Whitaker JR & Tannenbaum SR. 1977. Food Proteins. AVI Publishing Company, Inc. USA. 9. Soeparno. 1988. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada Press, Yogyakarta. 10. Elviera G. 1988. Pengaruh Pelayuan Daging Sapi Terhadap Mutu Bakso (Skripsi). Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 11. Pandisurya C. 1983. Pengaruh Jenis Daging dan Penambahan Tepung Terhadap Mutu Bakso (Skripsi). Bogor; Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
7
12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Jenderal Kesehatan Republik Indonesia. 13. Kramlich WE. 1971. Sausage Product. Di dalam J. F. Price & B. S Schweigert (eds). The Science of Meat and Meat Product. W. H. Freeman & Co., San Fransisco. 14. Bender DA. 2002. Protein Nutrition and Metabolism. Taylor and Francis Ltd, London.