Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
PENGARUH FERMENTASI MENGGUNAKAN BEBERAPA STRAIN TRICHODERMA DAN MASA INKUBASI BERBEDA TERHADAP KOMPOSISI KIMIAWI BUNGKIL INTI SAWIT (Effect of Fermentation using some Strains of Trichoderma and Incubation Time on the Chemical Compositions of Palm Kernel Meal) SIMON P. GINTING dan RANTAN KRISNAN Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1 Sei Putih, Galang 20585
ABSTRACT The study was conducted to evaluate the effect of fermentation using three strains of trichoderma, namely Trichoderma koningii, Trichoderma viridae and Trichoderma harzianum.on the chemical compositions of palm kernel meal (PKM). The isolate of each strain was incubated on PDA for three days at 300 C. The inoculum was generated by inoculating the isolate on PKM as substrate. Solid state-fermentation of PKM with each of the inoculum was conducted for 0, 6, 9, 12, 15, 18 and 21 days. Fermentation decreased the DM content of PKM, but the effects was not different among the fungus strains. DM content was lowest at fermentation times of 15 – 21 days. Crude fat content significantly decreased (P > 0.05) by fermentation, but no differences were detected when fermentation was extended beyond six days. T. harzianum and T.viridae utilized fat more intensively than T. koningii. Crude fiber content decreased (P < 0.05) with fermentation. Crude fiber content was lowest when fermentation was conducted for 6 – 15 days and it increased when fermentation time was extended. The content of true protein of PKM increased with fermentation, but was not affected by the strain of the fungus, although numerically the true protein content of PKM fermented with T. harzianum was higher than that fermented with T. koningii or T. viridae. It is concluded that the nutritional quality of PKM could be improved by reducing its crude fiber content and increasing the true protein concentration when fermented with fungus trichoderma. Based on these nutrition composition T. harzianum was likely to be superior than T. koningii and T. viridae, and the optimal fermentation time was achieved at 6 – 9 days. Key Words: Fermentation, Trichoderma, Nutrient Composition, Palm Kernel Meal ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk menganalisis pengaruh fermentasi menggunakan beberapa jenis kapang Trichoderma terhadap komposisi kimiawi bungkil inti sawit (BIS). Digunakan tiga jenis kapang yaitu Trichoderma koningii, Trichoderma viridae dan Trichoderma harzianum. Biakan murni Trichoderma diperbanyak dengan diinokulasikan kedalam tabung reaksi media PDA dan diinkubasikan pada suhu 30°C selama 3 hari. BIS digunakan sebagai media (substrat) untuk pembuatan inokulum Trichoderma. BIS kemudian difermentasi menggunakan ketiga jenis inokulum dengan masa inkubasi 0, 6, 9, 12, 15, 18 dan 21 hari. Rancangan penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap faktorial 3 x 7 dengan faktor pertama jenis kapang (3) dan faktor kedua lama fermentasi (7). Komposisi kimiawi BIS (bahan kering, protein sejati, serat kasar dan lemak kasar) dianalisis secara proksimat. Fermentasi menurunkan kandungan bahan kering, namun tidak terdapat pengaruh jenis strain trichoderma. Kandungan bahan kering paling rendah terjadi pada lama fermentasi 15 – 21 hari. Kandungan lemak kasar menurun akibat fermentasi, tetapi tidak terdapat perbedaan pada lama fermentasi antara 9 – 21 hari. T. harzianum dan T. viridae menggunakan lemak lebih intensif dibandingkan T. koningii. Fermentasi menurunkan kandungan serat kasar (P < 0,05), dan paling rendah pada lama fermentasi 6-15 hari. Terjadi peningkatan serat kasar pada lama fermentasi diatas 15 hari. Kandungan protein sejati pada BIS yang difermentasi nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibandingkan BIS tanpa fermentasi, namun tidak berbeda antar jenis kapang (P > 0,05), walaupun secara numerik kandungan protein BIS yang difermentasi menggunakan T. harzianum lebih tinggi dibandingakan T. viridae maupun T. koningii. Disimpulkan bahwa kualitas nutrisi BIS dapat ditingkatkan dengan menurunkan serat kasar dan meningkatkan protein sejati melalui fermentasi menggunakan kapang Trichoderma. Berdasarkan kompisisi
939
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
nutrisi tersebut, T. harzianum lebih unggul dibandingkan dengan T. koningii atau T. viridae, dan lama fermentasi optimal tercapai antara 6 – 9 hari. Kata Kunci: Fermentasi, Trichoderma, Komposisi Kimiawi, Bungkil Inti Sawit
PENDAHULUAN Harga bahan pakan konvensional sumber protein, seperti tepung ikan dan bungkil kacang kedelei berfluktuasi dan masih harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan industri peternakan dalam negeri. Hal ini mendorong upaya pencarian bahan baku alternatif yang lebih tersedia secara lokal. Bungkil inti sawit (BIS) merupakan salah satu bahan baku pakan lokal yang memiliki peluang sebagai bahan alternatif terutama karena potensi kuantitifnya. Secara kualitatif, BIS mengandung unsur gizi, palatabilitas dan tingkat konsumsi yang baik pada ternak ruminansia. Namun, bagi ternak non-ruminansia atau bagi ternak ruminansia muda dengan fungi rumen yang belum sempurna BIS memiliki keterbatasan nutrisi terutama kandungan karbohidrat bukan pati (non-strach polysaccarides; NSPs) yang tinggi didalam dinding selnya. DUSTERHOFT dan VORAGEN (1991) memperkirakan 73% BIS merupakan materi dinding sel (cell wall), dan dari materi dinding sel ini sekitar 75% merupakanNSPs. NSPs diketahui dapat menekan tingkat kecernaan dan efisiensi penggunaan nutrien didalam bahan pakan, baik akibat langsung melalui mekanisme enkapsulasi nutrien, maupun tidak langsung dengan meningkatkan viskositas isi saluran cerna (intestinum), sehingga menekan laju hidrolisis dan serapan nutrien (CHOCT dan ANNISON, 1992). Upaya untuk meningkatkan ketersediaan nutrien pada BIS, dan pada berbagai bahan pakan lain dengan sasaran menekan kadar NSPs maupun untuk meningkatkan kadar protein kasar telah dilakukan melalui fementasi substrat padat menggunakan berbagai strain kapang, antara lain Aspergillus niger (SUPRIYATI et al., 1998; PURWADARIA et al., 1998; PURWADARIA et al., 1999), Aspergillus flavus (LIM et al., 2001) dan Trichoderma koningii ataupun Trichoderma reesei (CHEAH et al., 1989). T. Koningii dikenal sebagai jenis kapang selulolitik dengan aktivitas selulase yang tinggi (HALLIWELL et al., 1985). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh fermentasi dengan
940
menggunakan beberapa strain Trichoderma terhadap komposisi kimiawi bungkil inti sawit pada masa inkubasi berbeda. MATERI DAN METODE Bungkil inti sawit (BIS) diperoleh dari PT Multimas Nabati Asahan dalam bentuk mesh, kemudian digiling dan disaring untuk mendapatkan partikel yang seragam sebelum difermentasi. Proses fermentasi dilakukan secara substrat padat menggunakan tiga jenis Trichoderma yaitu Trichoderma koningii dan Trichoderma viridae (Puslitbun Karet, Sungai Putih, Sumatera Utara) serta Trichoderma harzianum (Laboratorium Hama Penyakit, Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara). Biakan murni (isolat) diperbanyak dengan inokulasi didalam tabung reaksi menggunakan media PDA pada suhu 30°C selama tiga hari. Sebanyak 50 g BIS sebagai substrat dimasukan kedalam kantong plastik tahan panas (kap. 0,5 kg), lalu diperciki dengan air secara merata sebanyak 20 ml. Ujung kantong plastik diberi potongan paralon (diameter 2 cm dan panjang 3 cm), kemudian ditutup dengan kapas dan dibalut dengan kertas aluminium foil dan disterilkan (autoclave) pada suhu 121°C selama 20 menit. Setelah dingin substrat diinokulasi dengan salah satu dari ketiga jenis inokulum Trichoderma masing-masing sebanyak 0,1% dan diinkubasikan selama 6, 9, 12, 15, 18 dan 21 hari pada suhu ruang dan kondisi anaerob. Untuk mengetahui pertumbuhan kapang pada substrat BIS, maka BIS yang telah difermentasi dengan ketiga jenis kapang dan lama inkubasi yang berbeda masing-masing diambil sebanyak 1,0 g, lalu dilarutkan dengan aquades sebanyak 100 ml didalam gelas erlemeyer. Larutan suspensi BIS kemudian diambil dengan pipet, lalu sebanyak 2 tetes ditempatkan ke alat hitung haemacytometer dan dihitung dengan bantuan alat mikroskop. BIS hasil fermentasi dengan kapang dianalisis menurut AOAC (1995) untuk mengetahui kadar bahan kering, N, lemak
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
dengan ketersediaan nutrisi yang semakin menurun akibat pertumbuhan massa sel kapang. Kandungan bahan kering substrat BIS setelah difermentasi disajikan pada Tabel 2. Fermentasi menurunkan (P < 0,05) kadar bahan kering substrat, namun tidak terdapat pengaruh strain Trichoderma terhadap kadar bahan kering substrat. Lama inkubasi berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kadar bahan kering. Kadar bahan kering substrat antar masa inkubasi 6, 9 dan 12 hari tidak berbeda (P > 0,05), dan terjadi penurunan sebesar 5,7 – 6,5% dibandingkan dengan kontrol (tanpa fermentasi). Penurunan kadar bahan kering paling tinggi (P < 0,05) terjadi pada lama inkubasi 15,18 atau 21 hari yaitu berkisar antara 7,9 – 8,9% dibandingkan dengan kontrol. Terjadinya penurunan kadar bahan kering secara signifikan tersebut mengindikasikan bahwa proses fermentasi telah berlangsung secara baik. Proses fermentasi terjadi melalui serangkaian reaksi biokimiawi yang merubah bahan kering BIS menjadi energi (panas), molekul air (H2O) dan CO2, proses ini menyebabkan terjadinya penurunan kadar bahan kering substrat yang digunakan (FARDIAZ, 1987).
kasar, dan serat kasar. Kandungan protein murni (sejati) dihitung sebagai selisih antara kandungan total N dengan Nitrogen Bukan Protein dikalikan faktor 6,25. Penelitian dilakukan dalam rancangan acak lengkap faktorial 3 x 7 dengan 4 ulangan (GOMEZ dan GOMEZ, 1984). Faktor perlakuan pertama adalah 3 jenis kapang yang diinokulasikan dan faktor perlakuan kedua adalah lama fermentasi. Data dianalisis dengan analisa Sidik Ragam dan untuk membandingkan nilai rataan antar perlakuan digunakan uji jarak Duncan menggunakan prosedur GLM dari SAS (1999). HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah spora pada substrat BIS setelah difermentasi disajikan pada Tabel 1. Perkembangan spora ketiga jenis kapang secara konsisten meningkat menurut lama inkubasi. Secara numerik jumlah spora T. koningii paling tinggi dan berturut-turut diikuti oleh T. harzianum dan T. viridae. Pada ketiga jenis kapang terlihat pelandaian peningkatan jumlah spora dengan lama inkubasi yang semakin panjang. Hal ini dapat berhubungan
Tabel 1. Jumlah spora beberapa strain Trichoderma pada substrat BIS dengan lama inkubasi berbeda (x 106 per g substrat) Lama inkubasi (h)
Jenis kapang
6
9
12
15
18
21
T. koningii
115
457
497
525
535
555
T. viridae
87
140
202
252
300
302
T. harzianum
132
192
250
280
325
320
Tabel 2. Pengaruh fermentasi menggunakan beberapa jenis Trichoderma dan lama inkubasi terhadap kandungan bahan kering (%) pada substrat bungkil inti sawit Jenis Kapang T. koningii
Masa inkubasi (hari) 0
6 a
90,16
84,53
9 cde
a
84,24
a
84,94
T. viridae
90,16
T. harzianum
90,16
84,81
12 cde
d
84,24
de
85,16
84,80
15 cde
d
85,02
de
84,58
18 b
21
82,78
b
82,36
b
b
82,76
b
82,78
b
b
83,02
b
82,90
b
82,87
de
82,03
cde
82,97
Superskrip yang berbeda pada lajur dan baris yang sama menunjukan adanya perbedaan nyata (P < 0,05)
941
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
menunjukan bahwa untuk ketiga strain Trichoderma lemak merupakan sumber energi yang penting bagi perkembangan massa sel. Namun, T. viridae dan T. harzianum memanfaatkan lemak kasar sebagai sumber energi secara lebih intensif dibandingkan dengan T. koningii. Kandungan serat kasar pada substrat BIS setelah difermentasi disajikan pada Tabel 4. Tidak terdapat perbedaan kadar serat kasar BIS setelah difermentasi menggunakan T. koningii atau T. viridae (P > 0,05). Fermentasi menggunakan T. harzianum menghasilkan kadar serat kasar yang lebih rendah dibandingkan dengan T. koningii ataupun T. viridae pada masa inkubasi 6, 9, atau 12 hari, sedangkan kadar serat kasar tidak berbeda pada masa inkubasi 15, 18 atau 21 hari (P > 0,05). Lama inkubasi berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kandungan serat kasar substrat BIS. Pada lama inkubasi 6, 9, 12 atau 15 hari kadar serat kasar BIS menurun sebesar 18,5 – 26,9% setelah difermentasi dengan T. koningii. Akan tetapi, pada lama inkubasi 18 atau 21 hari tidak terlihat adanya penurunan kandungan serat kasar secara nyata (P > 0,05). Pola yang serupa terlihat pada penggunaan T. viridae dengan taraf penurunan kadar serat kasar sebesar 13,7 – 23,2% pada lama inkubasi 6, 9, 12 atau 15 hari. Pada fermentasi menggunakan T. harzianum penururnan kadar serat kasar terjadi secara lebih konsisten. Pada masa inkubasi 6, 9 atau 12 hari serat kasar menurun sebesar 33,2 – 39,0%, sedangkan pada masa inkubasi yang lebih panjang (15,18 atau 21 hari) kandungan serat kasar tetap menurun dengan taraf yang lebih rendah yaitu antara 15,3 – 22,7% (P < 0,05).
Hasil penelitian SUSANTO (1995) juga menunjukkan adanya penurunan kadar bahan kering secara nyata pada ampas nenas setelah melalui proses fermentasi selama 4 atau 6 hari menggunakan kapang A. niger, A. oryzae dan R. oryzae. Akan tetapi, pada masa fermentasi yang lebih singkat (1 – 3 hari), SUPRIYATI et al. (1998) tidak menemukan perubahan secara nyata kadar bahan kering BIS yang difermentasi dengan kapang A. niger. Kandungan lemak kasar pada substrat BIS setelah difermentasi dipengaruhi oleh jenis Trichoderma (Tabel 3). BIS yang difermentasi dengan T. koningii mengandung lemak kasar lebih tinggi (P < 0,05) dibandingkan menggunakan T. viridae pada masa inkubasi 12, 15, 18 dan 21 hari, namun tidak berbeda pada lama inkubasi 6 dan 9 hari. Tidak terdapat perbedaan kandungan lemak kasar BIS yang difermentasi dengan T. viridae atau dengan T. harzianum. Lama inkubasi berpengaruh (P < 0,05) terhadap kadar lemak kasar pada substrat BIS. Fermentasi dengan T. Koningii menyebabkan kadar lemak kasar BIS menurun 60,7 – 67,5% pada masa inkubasi antara 6 – 15 hari, dan sebesar 74,3 – 76,5% pada masa inkubasi antara 18 dan 21 hari dibandingkan dengan tanpa fermentasi. Kadar lemak kasar BIS difermentasi dengan T. viridae pada masa inkubasi 6 dan 9 hari menurun sebesar 55,7 – 71,0%, lebih rendah (P < 0,05) dibandingkan penurunan sebesar 78,8 – 81,9% pada lama inkubasi antara 12 – 21. Fermentasi dengan T. harzianum menyebabkan penurunan kadar lemak kasar berbeda nyata (P < 0,05) antar lama inkubasi 6 hari (48,0%), lama inkubasi 9 atau 12 hari (72,8%) dan lama inkubasi 15,18, atau 21 hari (75,8 – 83,3%). Hal ini
Tabel 3. Pengaruh fermentasi menggunakan beberapa jenis Trichoderma dan lama inkubasi terhadap kandungan lemak kasar (%) bungkil inti sawit Jenis Kapang
Masa inkubasi (hari) 0
6
9
12
15
18
21
T. koningii
13,33a
5,24fgh
4,36efg
4,89fgh
4,94fgh
4,98fgh
4,77fgh
T. viridae
13,33a
5,91hi
3,86def
3,28bcdj
2,50bcj
2,41bj
2,80bcdj
T. harzianum
13,33a
6,79i
3,62cde
3,11cde
2,20j
2,26j
3,21bcdej
Superskrip yang berbeda pada lajur dan baris yang sama menunjukan adanya perbedaan nyata (P < 0,05)
942
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 4. Pengaruh fermentasi menggunakan beberapa jenis Trichoderma dan lama inkubasi terhadap kandungan serat kasar (%) pada substrat bungkil inti sawit Jenis kapang T. koningii
Masa inkubasi (hari) 0
6 a
18,97
T. viridae
18,97
a
T. harzianum
18,97
a
9
12
15,52
cdef
15,30
cdef
15,63
bh
12,69
12,55
cde
14,4
15,46
def bh
15
cdef
16,30
18 bcd
13,91
efg
14,55
h
15,53
11,61
21 ga
17,0
fg
15,95
cd
16,02
17,52
cde
16,75
cdef
14,66
fg efg efg
Superskrip yang berbeda pada lajur dan baris yang sama menunjukan adanya perbedaan nyata (P < 0,05)
peningkatan sebesar 40,1 – 42,6%. Hasi penelitian NG et al. (2003) menunjukkan adanya peningkatan kadar protein kasar pada BIS yang difermentasi dengan T. koningii sebesar 85% yaitu dari 16,9% tanpa fermentasi menjadi 31,3% setelah difermentasi selama 21 hari. Peningkatan kadar protein sejati dengan penggunaan T. viridae terjadi pada inkubasi selama 6, 9 atau 12 hari yaitu sebesar 28,6 – 35,2% dan kadar protein paling tinggi tercapai pada inkubasi selama 15, 18 atau 21 hari yaitu meningkat sebesar 44,2 – 45,8%. Fermentasi dengan T. harzianum mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar protein sejati pada masa inkubasi 6 atau 9 hari sebesar 27,0 – 31,1% dan kadar protein tertinggi dicapai pada masa inkubasi 12, 15,18 atau 21 yaitu sebesar 40,1 – 46,6%. Data ini menunjukkan bahwa untuk ketiga jenis Trichoderma, peningkatan kadar protein sejati secara nyata telah terjadi pada masa inkubasi selama 6 hari. Namun, untuk mencapai kadar protein paling tinggi T. harzianum membutuhkan waktu inkubasi yang lebih singkat (12 hari) dibandingkan dengan T. viridae (15 hari) atau T. koningii (18 hari). Superioritas T. harzianum dalam meningkatkan kandungan protein sejati substrat BIS sejalan dengan lebih intensifnya kapang tersebut dalam menghidrolisis serat kasar maupun lemak untuk perkembangan massa sel.
Data tersebut menunjukan bahwa T. harzianum memiliki aktifitas selulolisis lebih tinggi dibandingkan dengan T. koningii atau T. viridae. Lama inkubasi yang semakin panjang menyebabkan terjadinya peningkatan kandungan serat kasar pada substrat. Hal ini diduga disebabkan oleh menurunnya kadar air pada substrat, sehingga serat kasar semakin terkonsentrasi. Disamping itu, perkembangan kapang yang secara konsisten meningkat menurut masa fermentasi dapat menyumbang serat kasar melalui dinding selnya. Oleh karena itu, lama inkubasi 9 atau 12 hari dapat dianggap sebagai masa inkubasi optimal. Kandungan protein murni atau sejati substrat BIS setelah difermentasi disajikan dalam Tabel 5. Tidak terdapat pengaruh jenis Trichoderma terhadap kadar protein sejati BIS yang difermentasi (P > 0,05), kecuali pada masa inkubasi 12 hari, saat mana kadar protein sejati BIS yang difermentasi dengan T. harzianum lebih tinggi (P < 0,05) dibandingkan dengan penggunaan T. koningii atau T. viridae. Lama inkubasi berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kandungan protein sejati substrat BIS. Kadar protein sejati meningkat pada inkubasi selama 6, 9, 12 atau 15 hari sebesar 23,7 – 33,6% menggunakan T. koningii, dan kadar protein paling tinggi dicapai pada inkubasi selama 18 atau 21 hari dengan
Tabel 5. Pengaruh fermentasi menggunakan beberapa jenis Trichoderma dan lama inkubasi terhadap kandungan protein sejati (%) pada substrat bungkil inti sawit Jenis Kapang
Masa inkubasi (hari) 0
6
9
12,22
a
T. viridae
12,22
a
15,67
T. harzianum
12,22
a
15,53
T. koningii
cd
15,13
bcd bc
12
16,12 16,36
cde
bcd b
16,05
15
16,29
bcd
16,53
bcd ef
17,28
18 bc
15,59
21 f
17,45
f
f
17,63
f
f
17,52
17,19
f
17,78
def
17,90
17,79 17,14
ef
Superskrip yang berbeda pada lajur dan baris yang sama menunjukan adanya perbedaan nyata (P < 0,05)
943
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
KESIMPULAN
FARDIAZ, S. 1987. Fisiologi Fermentasi. PAU IPB dengan LSI IPB, Bogor.
Kapang jenis T. koningii, T. viridae dan T. harzianum dapat tumbuh dan berkembang dengan menggunakan substrat bungkil inti sawit sebagai media tumbuh. Fermentasi menggunakan ketiga strain Trichoderma dapat meningkatkan kualitas nutrisi BIS dilihat dari aspek komposisi nutrisinya. Fermentasi dapat menurunkan kandungan serat kasar dan meningkatkan kandungan protein sejati. Dalam kontek komposisi kimiawi ini T. harzianum memiliki keunggulan dibandingkan kedua strain lainnya. Komposisi nutrisi BIS yang optimal (rendah serat kasar dan tinggi protein sejati) diperkirakan tercapai pada lama fermentasi antara 6 – 9 hari.
GOMEZ, K.A. and A.A. GOMEZ. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. John Wiley and Sons.
UCAPAN TERIMA KASIH Diucapkan terima kasih kepada manajemen PT Multimas Nabati Asahan yang telah membiayai penelitian ini melalui kerjasama penelitian dengan Loka Penelitian Kambing Potong, Sungai Putih. DAFTAR PUSTAKA ASSOCIATION OF OFFICIAL ANALYTICAL CHEMISTS (AOAC). 1995. Official Methods of Analysis, 17th ed. AOAC, Washington, DC. CHEAH, S.C., L.C.L. OOI and A.S.H. ONG. 1989. Improvement in the protein content of palm kernel meal solid state fermentation. Proc. of the World Congress on Vegetable Protein Utilization in Human Foods and Animal Feedstuffs. AOCS, Champaign, IL, USA. pp. 96 – 99. CHOCT, M. and G. ANNISON. 1992. Anti-nutritive effect of wheat pentosans in broiler chickens: role of viscosity and gut microflora. British Poult. Sci. 33: 821 – 834. DUSTERHOFT, E.M. and A.G.J. VORAGEN. 1991. Non-starch polysaccharides from sunflower (Helianthus annuus) and palm kernel (Elaeis guineensis) meal – preparation of cell wall material and extraction of polysaccharides fractions. J. Sci. Food Agric. 55: 411 – 422.
944
HALLIWELL, G., M.N.B.A. and A.H. PATEL. 1985. The contribution of endo-1,4-β-D- glucanase to cellulolysis in Trichoderma koningii. J. Appl. Biochem. 7: 43 – 54. LIM, H.A., W.K. NG, S.L. LIM and C.O. IBRAHIM. 2001. Contamination of palm oil kernel meal with Aspergillus flavus affects its nutritive value in pelleted feed for tilapia Oreochromis mossambicus. Aquaculture Res. 32: 895 – 906. NG, W.K., H.A. LIM, S.L. LIM and C.O. IBRAHIM. 2002. Nutritive value of palm kernel meal pretreated with enzyme or fermented with Trichoderma koningii (Oudemans) as a dietary ingredient for red hybrid tilapia (Oreochromis sp.) Aquaculture Res. 33: 1199 – 1207. PURWADARIA, T., A.P. SINURAT, T. HARYATI, I. SUTIKNO, SUPRIYATI dan J. DARMA. 1998. Korelasi antara aktivitas enzim mananase dan selulase terhadap kadar serat Lumpur sawit hasil fermentasi dengan Aspergillus niger. JITV 4: 230 – 236. PURWADARIA, T., A.P. SINURAT, SUPRIYATI, H. HAMID dan I.A.K. BINTANG. 1999. Evaluasi nilai gizi Lumpur sawit fermentasi dengan Aspergillus niger setelah proses pengeringan dengan pemanasan. JITV 4: 257 – 263. SAS. 1999. Using StatView. Statistical Analytical System. Third edition. SAS Inc. p. 288 SUPRIYATI, T. PASARIBU, H. HAMID dan A. SINURAT. 1998. Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat padat dengan menggunakan Aspergillus níger. JITV 3:165 – 170. SUSANTO, H. 1995. Pengaruh Jenis Kapang dan Lama Fermentasi terhadap Perubahan Komposisi Zat Makanan Limbah Pengalengan Nenas. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.