Penerimaan Negara Sektor Pajak di Bidang Pertambangan Oleh: Indrawati dan Franky Butar Butar1 Indonesia has many natural resources of digging materials which possess highly economic value. State revenue from tax and non- tax has important role for APBN (State expense revenue budgeting) contribution beside other sectors. Tax legislation in mining is still sectoral therefore it is needed a good planning and implementable efforts which are more focused for optimal and beneficial tax outcomes. Key words: State Revenue, Taxation Law, Mining
I.
PENDAHULUAN Indonesia
sebagai negara kepulauan mempunyai potensi sumber daya alam
yang menjanjikan yakni berupa mineral dan bahan tambang sebagai penopang kelanjutan kehidupan bangsa. Indonesia telah menjadi produsen timah kedua terbesar di dunia, eksportir batubara thermal ketiga terbesar di dunia, penghasil tembaga ketiga terbesar di dunia dan berada pada urutan kelima dan ketujuh untuk masing masing produksi nikel dan emas. Indonesia menjadi tuan rumah bagi pertambangan kelas dunia, termasuk tambang tembaga dan emas Grasberg di Irian Jaya, tambang tembaga Batu Hijau di Sumbawa, tambang Nikel di Inco Soroako, Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur dan penambangan Timah dari PT Timah di Bangka.2
Sektor pertambangan sebagai salah satu primadona dari sumber penerimaan negara memainkan peran yang penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Kendati Indonesia mengalami krisis ekonomi dan keuangan yang cukup parah, industri pertambangan tetap dapat menyumbangkan pendapatan yang berarti bagi negara seperti yang dihasilkan oleh Laporan Pricewaterhouse Coopers sebagai berikut: Kontribusi industri pertambangan kpd GDP Indonesia Tahun 2000: Rp 31.385,00 Milyar (1997: Rp 11.121,9 Milyar, 1999: Rp 31.208,50 Milyar); Persentase total GDP Tahun 1999: 2.8%, 1998: 3.7%, 1997: 1.8% Tingkat pertumbuhan kontribusi industri pertambangan Tahun 1999: 14.4%, 1998: 228%, 1997: 22.3%. Pendapatan dari penjualan bersih Tahun 2000: US$4.801.0 juta, 1999: US$ 3.829.7juta, 1998: US$ 3.522.2 juta, 1997: US$ 3.638.8 juta. 1 2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Kuntjoro Dibyo, Kondisi Industri Pertambangan di Indonesia saat ini dalam menunjang pembangunan berkelanjutan Paper dipresentasikan pada Semiloka: Menuju Kegiatan Industri Ekstraktif yang Berwawasan Lingkungan, diselenggaran di UNAS, Jakarta, 24 Oktober 2002.
1
Kontribusi pada ekonomi Indonesia Tahun 2000: Rp.13.572.40 Milyar, 1999: Rp.11.477 Milyar 1998: Rp11.263 Milyar, 1997: Rp 3.745,0 Milyar. Jumlah tenaga kerja langsung Tahun 2000: 32.787, 1999: 37.877, 1998: 33.931, 1997: 33,736. 3
Menurut Penasehat Ahli Pricewaterhouse Coopers Sacha Winzenried penerimaan pemerintah dari royalti dan pajak mencapai 27 miliar US$, dan naik secara signifikan sebesar 62 % dibandingkan tahun 2004.4 Sepanjang tahun 2006 PricewaterhouseCoopers (PWC) melaporkan bahwa total kontribusi pertambangan terhadap perekonomian Indonesia mencapai 51,608 trilyun rupiah, naik 5 persen dibanding tahun 2005 yang hanya 49.119 trilyun rupiah.5 Sejak diundangkannya Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan dan selanjutnya Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sektor pertambangan kita mengalami transformasi yang mengesankan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki iklim investasi dengan menyederhanakan proses perijinan, transparansi, keringanan pajak, penegakan hukum dan pemantapan situasi keamanan dengan harapan meningkatkan sumber penerimaan negara dari sektor pajak. Namun demikian kegiatan pertambangan ilegal, peraturan pajak yang dinilai kurang mendukung serta lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah merupakan kendala yang dihadapi industri pertambangan sehingga menyebabkan arus investasi yang masuk ke Indonesia kurang optimal. Negara telah menjamin pengelolaan sumber daya alam tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 Amandemen keempat, yang dinyatakan bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Atas hal tersebut negara mempunyai hak menguasai atas sumber daya alam sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dinyatakan bahwa : Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
3
Ibid. Rsd, Royalti-Pajak Pertambangan Capai 27 Miliar US$, www.kapanlagi.com, 28 Februari 2007. 5 Ligaligo Abraham, Kejayaan Pertambangan “Darah Segar” Kemakmuran, www.majalahtambang.com, 2008. 4
2
b.
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Namun demikian ketentuan dalam Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan ( selanjutnya disebut UU No. 11 Tahun 1967 ) mempunyai penafsiran yang berbeda mengenai hak menguasai. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum pada bagian penjelasan pokok persoalan yang dinyatakan bahwa : “....Negara menguasai semua bahan-bahan galian dengan sepenuh-penuhnya untuk kepentingan negara serta kemakmuran rakyat, karena bahan-bahan galian tersebut adalah merupakan kekayaan nasional.” Perbedaan penafsiran kedua ketentuan tersebut di atas yang bersumber pada Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke-4 menunjukkan jika ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tersebut tidak memberikan rumusan yang jelas mengenai batasan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh negara. Menurut Bagir Manan menyatakan apabila pengertian hak penguasaan negara dipahami secara umum, termasuk hal-hal di luar bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, maka unsur utama penguasaan negara adalah untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen).6 Oleh karena negara adalah badan hukum publik dan penguasaannya dalam lingkup hukum publik, maka sifat pengalihan hak pengusaan itu tunduk kepada kaidahkaidah hukum publik yang banyak terkait dengan ajaran kewenangan. Sifat pengalihan hak penguasaan adalah pelaksanaan atau penyelenggaaan dalam bentuk penguasaan pertambangan kepada pemegang Kuasa Pertambangan.7 Dengan demikian bentuk pengelolaan dan pemanfaatan pertambangan tidak sepenuhnya berada di tangan negara, namun dapat diserahkan kepada badan hukum atau perseorangan dengan suatu kuasa pertambangan8; kontrak karya9; atau kontrak 6
Saleng Abrar, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 3. Ibid, hal. 57. 8 Pasal 2 huruf i Undang-undang No. 11 Tahun 1967 dinyatakan bahwa kuasa pertambangan : wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Adapun jenis kuasa petambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 PP No. 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 32 Tahun 1969 tentang Pelaksaaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan 9 Pasal 10 UU 11 Tahun 1967 istilah yang lazim digunakan adalah perjanjian karya, namun di dalam penjelasan ketentuan tersebut digunakan istilah kontrak karya. Dalam Pasal 1 Keputusan 7
3
production sharing ( kontrak bagi hasil ).10 Adapun konsekuensi dari pelimpahan tersebut badan hukum atau perseorangan yang telah mempunyai suatu kuasa pertambangan, kontrak karya atau kontrak production sharing ( kontrak bagi hasil ) akan mendapatkan hak kepemilikan yang sifatnya tidak absolut atas pengusahaan pertambangan setelah memenuhi sejumlah persyaratan atau kewajiban sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu kewajiban dari pemilik bahan galian yang sudah ditambang adalah membayar sejumlah pungutan yang berhubungan dengan izin pertambangan, yakni berupa iuran tetap pertambangan, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi, dan/ atau pembayaran-pembayaran lain yang berhubungan dengan kuasa pertambangan yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat ( 1 ) UU No. 11 Tahun 1967. Selanjutnya pungutan tersebut merupakan salah satu komponen dari penerimaan negara. Penerimaan negara diartikan sebagai penerimaan pemerintah dalam arti yang seluas-luasnya yaitu yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan barang dan jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah, pinjaman pemerintah, mencetak uang dan sebagainya.11 Pada hakekatnya sangat susah untuk menarik suatu batas yang jelas dari macam-macam sumber penerimaan negara karena belum adanya suatu pengaturan yang tegas mengenai hal tersebut dalam beberapa literatur. Sumber-sumber penerimaan negara dapat dikelompokkan menjadi penerimaan dari sektor : pajak; kekayaan alam; bea dan cukai; retribusi; iuran; sumbangan; laba dari badan usaha milik negara, sumber-sumber lain.12
Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata cara pengajuan pemrosesan pemberian kuasa pertambangan, izin prinsip, kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara, dijelaskan kontrak karya adalah suatu perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau patungan antara asing dengan nasional ( dalam rangka Penanaman Modal Asing ) untuk pengusahan mineral dengan berpedoman kepada UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta UU No. 11 Tahun 1967. 10 Pasal 1 angka 19 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dinyatakan bahwa Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 35 tahun 1994 tentang syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi, kontrak production sharing adalah kerjasama antara Pertamina dan kontraktor untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi. 11 Zainul Basri Yuswan dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 43. 12 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.11.
4
Di dalam perspektif hukum keuangan negara sumber penerimaan negara terdiri dari 2 ( dua ) yakni penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan penerimaan negara dari sektor pajak. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) merupakan seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dalam kaitannya dengan bidang sektor pertambangan pemungutan yang termasuk dalam kelompok penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yakni berupa iuran tetap pertambangan13, iuran eksplorasi14, iuran eksploitasi15. Pada sisi yang lain penerimaan negara dari sektor pajak meliputi penerimaan yang berasal dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Masuk, Cukai, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan lainnya yang diatur dengan peraturan perundang undangan di bidang perpajakan. Selain itu, penerimaan Negara yang berasal dari minyak dan gas bumi, yang di dalamnya terkandung unsur pajak dan royalti, diperlakukan sebagai penerimaan perpajakan, mengingat unsur pajak lebih dominan. Penerimaan negara dari sektor pajak di bidang pertambangan dewasa ini juga berasal dari: a. Pajak atas deviden, bunga, royalti, sewa; b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan; c. Pajak Penghasilan karyawan; d. Bea materai (atas berbagai dokumen resmi); e. Bea masuk untuk berbagai barang atau peralatan impor; f. Bea Balik Nama untuk kapal dan kendaraan; g. Berbagai Pajak dan pungutan daerah yang syah; h. Pungutan/bea administrasi untuk fasilitas khusus; dan i. Pajak Penghasilan Badan (coorporation tax).16
Pada dasarnya kewajiban untuk membayar pajak sebagaimana tersebut di atas dicantumkan di dalam suatu kontrak karya. Hal tersebut dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 13 Kontrak Karya PT. Newmont Nusa Tenggara yang dinyatakan sebagai berikut : 13
Lihat Pasal 52 huruf a dan Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. 14 Lihat Pasal 52 huruf b dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.. 15 Lihat Pasal 52 huruf c dan Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. 16 Surtaryo Sigit, Analisis Kebijakan Sektor Pertambangan Indonesia, PPS-ITB, Bandung, 1997, hal 7
5
a.
Menyetor pajak penghasilan atas segala jenis keuntungan atau yang diperoleh perusahaan; b. Menyetor pajak penghasilan perorangan; c. Menyetorkan pajak pertambahan nilai ( PPN ) atas pembelian dan barangbarang kena pajak; d. Menyetorkan pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk : 1. Wilayah kontrak karya atau wilayah pertambangan; dan 2. Penggunaan tanah dan ruangan dimana perusahaan membangun fasilitas untuk operasi penambangan. e. Menyetorkan pungutan-pungutan, pajak, pembebanan-pembebanan dan biayabiaya dikenakan oleh pemerintah daerah di Indonesia f. Menyetorkan pajak atas pemindahan hak kepemilikan kendaraan bermotor dan kapal di Indonesia. 17
Pada dasarnya pumungutan pajak sebagaimana tersebut di atas mengurangi “kenikmatan”atau kekayaan individu yang manfaat dari pungutan tersebut tidak bisa langsung dirasakan, namun sebaliknya pungutan tersebut akan dikembalikan kepada masyarakat untuk pembiayaan pembangunan yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas baik yang membayar pajak maupun tidak. Menurut Rochmat Soemitro, dalam bukunya Pengantar Singkat Hukum Pajak, 1992, memberikan definisi tentang pajak sebagai berikut: Pajak merupakan perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang, yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang (tatbetstand), untuk membayar kepada kas negara yang dapat dipaksakan tanpa mendapat suatu imbalan, yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (rutin dan pembangunan) dan yang digunakan sebagai alat (pendorong atau penghambat) untuk mencapai tujuan di bidang keuangan.18
Selanjutnya menurut Erly Suandy mengungkapkan fungsi pemungutan bagi penerimaan negara ada 2 (dua), yaitu : 1. Fungsi budgetair atau finansial, yaitu penerimaan negara sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. 2. Fungsi regulerend atau mengatur, yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur baik masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan tujuan tertentu. 19
Setiap
pemungutan
diharapkan
tidak
menimbulkan
hambatan
atau
perlawanan, maka pemungutan penerimaan negara harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. 2. 3.
Keadilan yaitu sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan penerimaan negara harus adil. Pemungutan penerimaan negara harus berdasarkan undang-undang. Tidak mengganggu perekonomian.
17
Salim, Hukum Pertambangan di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 37. Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1992, hal. 13. 19 Suandy Erly, Hukum Pajak Edisi ketiga, Salemba Empat, Jakarta, 2005, hal. 14-15 18
6
4.
5.
6.
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. Pemungutan keuangan negara harus efisien yaitu sesuai fugsi budgetair, biaya pemungutan penerimaan negara harus dapat ditekan lebih rendah dari hasil pemungutan. Sistem pemungutan penerimaan harus sederhana.20
Menurut Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya Wealth of Nation mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan pajak yang dikenal dengan “four canon taxation” atau The four Maxims, yakni sebagai berikut : 1.
2.
3.
4.
Asas kesamaan/keadilan (equality). Asas ini menekankan bahwa pada warga negara atau wajib pajak negara seharusnya memberikan sumbangannya kepada negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing, yaitu sehubungan dengan kemampuan yang mereka terima di bawah perlindungan negara. Yang dimaksud dengan “ keuntungan” disini adalah besar- kecilnya pendapatan yang diperoleh di bawah perlindungan negara. Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara wajib pajak. Asas kepastian (certainty), artinya pemungutan hendaknya tegas, jelas dan pasti bagi setiap wajib bayar. asas ini menekankan bahwa bagi wajib pajak, harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran pajak. Dalam asas ini kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subyek dan obyek pajak Asas menyenangkan (convenience of Payment ). Pajak seharusnya dipungut pada waktu dengan cara yang paling menyenangkan bagi para wajib pajak, misalnya: pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap para petani, sebaiknya dipungut saat mereka memperoleh uang yaitu pada saat panen Asas efisiensi (low cost of Collection). Asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan anggaran belanja negara. 21
Berdasarkan hal tersebut di atas pajak pertambangan merupakan primadona dari sumber penerimaan negara, yang mana memainkan peran yang penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Untuk itu perlu
didukung dengan perangkat
hukum pajak yang lebih menjamin kenyamanan para investor untuk menanamkan sahamnya di Indonesia serta meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam kerjasama bagi hasil di bidang pertambangan.
II. PERMASALAHAN Adapun isu hukum yang akan dikemukakan dalam tulisan ini adalah apakah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pajak pertambangan telah bertumpu pada asas-asas pemungutan pajak di atas.
20 21
Mardiasmo, Perpajakan, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hal. 2-3. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.11.
7
III. PEMBAHASAN 1. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur pajak pertambangan Pada dasarnya pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara mengurangi “kenikmatan”atau kekayaan individu yang manfaat dari pungutan tersebut tidak bisa langsung dirasakan dan sifatnya memaksa. Oleh karenanya untuk menjamin kepastian hukum dan menghormati hak asasi individu maka ketentuan mengenai pajak tersebut harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah : 1. Pajak peralihan kekayaan dari orang atau badan ke pemerintah. 2. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan 3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah. 22
Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 23 A Undang-undang Dasar 1945 amandemen keempat yang dinyatakan sebagai berikut : “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” Berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan23 tersebut negara melakukan sejumlah pemungutan pajak sebagaimana diatur dalam Undangundang perpajakan yang berlaku.
a.
Pajak Penghasilan (PPh) Adapun ketentuan mengenai pajak penghasilan pertambangan sebagaimana
diatur dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan ( selanjutnya disebut UU No. 17 Tahun 2000 ) yakni sebagai berikut :
Pajak Penghasilan Pasal 21 ( PPh Pasal 21 ) - Pajak penghasilan yang dipungut sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi di dalam negeri adalah pajak atas penghasilan berupa berupa gaji, upah, honorarium,
22 23
Suandy Erly, Op.cit, hal. 11. Pasal 14 UU No. 11 Tahun 1967 dinyatakan bahwa usaha pertambangan bahan-bahan galian dapat meliputi : a. Penyelidikan umum; b. Eksplorasi; c. Eksploitasi; d. Pengolahan dan Pemurnian;e. Pengangkutan; f. Penjualan.
8
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan. - Tarif PPh Pasal 21 diatur dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU 17 Tahun 2000.
Lapisan
Penghasilan
Kena
Pajak
sampai
dengan
Rp 25.000.000,00, tarif pajaknya 5%; di atas Rp 25.000.000,00 s.d. Rp 50.000.000,00 tarif pajaknya 10%; di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000,00 tarif pajaknya 15%; di atas Rp 100.000.000,00 s.d. Rp 200.000.000,00 tarif pajaknya 25%; di atas Rp 200.000.000,00 tarif pajaknya 35%.
Pajak Penghasilan Pasal 23 ( PPh Pasal 23 ) - Pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun
yang
berasal
dari
modal,
penyerahan
jasa,
atau
penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. - Tarif pajak sebesar sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas dividen, bunga, royalti24; tarif pajak sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas: imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 2125.
Pajak Penghasilan Pasal 26 ( PPh Pasal 26 ) - Pajak penghasilan yang dikenakan atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri selaku bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. - Tarif pajak sebesar 20% dari jumlah bruto atas dividen,
bunga, royalti,
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.26 Di dalam Rancangan Undang-undang Pajak Penghasilan dalam rangka untuk mendorong investasi dan menyesuaikan dengan perkembangan tarif pajak di negaranegara di dunia, lapisan tarif pajak penghasilan (PPh) wajib pajak orang pribadi disederhanakan dan ditetapkan tarif tunggal bagi WP badan sehingga tarif PPh Pasal 17 diusulkan menjadi sebagai berikut: Tarif Umum yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) WP orang pribadi: Lapisan Penghasilan sampai dengan Rp50.000.000,00 tarif pajak nya 5%; 24
Lihat Pasal 23 ayat (1) huruf a UU No. 17 Tahun 2000 Lihat Pasal 23 ayat (1) huruf c UU No. 17 Tahun 2000 26 Lihat Pasal 26 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2000 25
9
di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp100.000.000,00 tarif pajaknya 15%; di atas Rp100.000.000,00 s.d. Rp200.000.000,00 tarif pajaknya 25%; di atas Rp200.000.000,00 tarif pajaknya 35%; Tarif tertinggi diturunkan menjadi 33% pada tahun pajak 2007 dan menjadi 30% pada tahun 2010. Sedangkan tarif umum Penghasilan Kena Pajak (PKP) WP badan adalah tarif tunggal, yaitu sebesar 30%. Tarif ini turun menjadi 28% pada pajak 2007 dan menjadi 25% pada tahun 2010. 27
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas jika kita kaji dengan asas-asas umum pemungutan pajak, maka pengaturan mengenai pajak penghasilan tersebut belum menunjukkan perwujudan dari asas equlity dimana pembebanan pajak untuk subjek pajak belum seimbang dengan penghasilan yang diperoleh serta adanya diskriminasi di antara sesama wajib pajak terutama wajib pajak yang berasal dari luar negeri. Hal ini dapat kita lihat dari ketentuan mengenai tarif pajak sebagaimana tersebut di atas jika kita bandingkan dengan ketentuan tarif pajak dalam Rancangan Undang-undang Pajak Penghasilan. Permintaan Kadin Indonesia untuk menurunkan tarif pajak (pajak penghasilan/PPh) menjadi 25% adalah suatu hal yang wajar sebagai pelaku usaha. Alasannya, agar Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. Seperti Singapura 18%, Eropa Timur 15%, Malaysia 26%, China 24%, Thailand 25%, dan Rusia 14% (Harian KONTAN, 6 September 2007).28 Di samping itu asas efisiensi (low cost of Collection) juga sangat jauh dari harapan, nampak bahwa pemungutan pajak tidak dilakukan sehemat atau seefisien mungkin tanpa memperhatikan apakah biaya pemungutan pajak lebih besar dari biaya penerimaan pajak.
b. Pajak
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas
Penjualan Barang Mewah ( PPN dan PPnBM ) Ketentuan mengenai pajak pertambahan nilai barang dan jasa (PPN) dan pajak atas penjualan barang mewah ( PPnBM ) diatur dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ( selanjutnya disebut UU No. 18 Tahun 2000 ) dan Undang-undang No. 28
27
Departemen Keuangan RI, Pokok-Pokok Pikiran Perubahan UU Pajak Penghasilan, hhtp://www. pajak.go.id, 20 Desember 2005.
28
Liberti Pandiangan, Bukan Sekedar Tarif Pajak, www.DannyDarussalam.com Tax Center, 13 September 2007
10
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pajak pertambahan nilai (PPN)29 adalah pajak yang dikenakan terhadap penyerahan atau impor Barang Kena Pajak30 yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak31, dan dapat dikenakan berkali-kali setiap ada pertambahan nilai dan dapat dikreditkan. Alat pendukung kegiatan pertambangan, khususnya panas bumi senilai Rp 76 miliar, tertahan di pelabuhan Tanjung Priok, karena masalah pajak dan bea masuk.32 Pemungutan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah pada sektor pertambangan erat kaitannya dengan pembelian atas barang-barang kena pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-undang No. 18 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2004 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Pemerintah No. 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak.33 Pajak pertambahan nilai (PPN) menganut tarif tunggal yaitu sebesar 10 % ( sepuluh persen ) 34 dari dasar pengenaan pajak. Sedangkan tarif pajak penjualan atas barang mewah ( PPnBM ) paling rendah 10%(sepuluh persen ) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).35 Tarif PPN dan PPnBM atas ekspor barang kena pajak adalah 0% (nol persen)36 hal ini mengingat Undang-undang No. 18 tahun 2000 menganut asas destination principle dalam hal ini dimaksudkan agar dalam harga barang yang diekspor tidak terkandung pajak pertambahan nilai (PPN).
Berdasarkan hal tersebut di atas pada dasarnya terjadi perubahan suatu kebijakan perpajakan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas hasil pertambangan sejak reformasi perpajakan tahun 2000 yakni dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak 29
Lihat Pasal 4 UU No. 18 Tahun 2000 Lihat Pasal 1 A UU No. 18 Tahun 2000 31 Lihat Pasal 1 angka 15 UU No. 18 Tahun 2000 32 Putranto Novan Dwi, Alat Pertambangan Rp 76 Miliar tertahan di Tanjung Priok, Sinar Harapan, 12 September 2007 33 Lihat Penjelasan Pasal 9 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2000 34 Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2000 35 Lihat Pasal 8 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2000 36 Lihat Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2000 30
11
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yang merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 4 A ayat ( 2 ) UU No. 18 Tahun 2000 dimana telah mengubah status barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya menjadi Barang Tidak Kena Pajak (BTKP). Dalam implementasinya, proses kebijakan tersebut menimbulkan perubahan persepsi antara otoritas perpajakan dengan Wajib Pajak sehingga menyulitkan administrasi pajak pertambahan nilai (PPN). Atas hal tersebut keberadaan Peraturan Pemerintah No 144 Tahun 2000 kurang memenuhi asas dalam pemungutan pajak yakni asas certainty ( kepastian ) dimana pemungutan pajak hendaknya tegas, jelas dan pasti bagi setiap wajib pajak. c. Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ) Adapun ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan dan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak negara yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan37. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.38 Tarif Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebesar 5% (lima persen)39, sedangkan untuk mengetahui berapa besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Selanjutnya untuk mengetahui NJKP perlu kiranya kita pahami mengenai dasar perhitungan pajak yakni Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang ditetapkan serendah-rendahnya 20 % (dua puluh persen) dansetinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).40 Berkaitan dengan Pajak Bumi dan Bangunan di sektor pertambangan, penentuan besarnya Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) sebagai perhitungan pajak terutang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 12 37
Lihat Pasal 1 angka 1 dan 2 UU No 12 Tahun 1994 Departemen Keuangan RI., Pajak Bumi dan Bangunan Ketentuan Umum yang Perlu diketahui, http://www.pajak.go.id . 39 Lihat Pasal 5 UU No 12 Tahun 1994 40 Lihat Pasal 6 dan Pasal 7 UU No 12 Tahun 1994 38
12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 adalah 40 % (dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)41. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas jika kita kaji dengan asas-asas umum pemungutan pajak, maka pengaturan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan tersebut telah mengaplikasikan asas equlity dimana pembebanan pajak untuk subjek pajak seimbang dengan objek pajaknya. Di samping itu asas kepastian juga telah dipenuhi dimana ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan telah mengatur secara jelas mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dasar pengenaan dan penghitungan pajak
dan
ketentuan
mengenai
pembayarannya.
d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Ketentuan mengenai bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) diatur dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undangundang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria, Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan, yang selanjutnya disebut sebagai pajak42. Tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah sebesar 5% (lima persen)43, sedangkan untuk mengetahui berapa besarnya bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Kena Pajak (NPOP). Selanjutnya untuk mengetahui Nilai Perolehan Objek Kena Pajak (NPOP) perlu kiranya kita pahami bahwa Nilai Perolehan Objek Kena Pajak (NPOP) adalah Nilai Perolehan Objek Pajak dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Kena Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).44
41
Lihat Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan 42 Lihat Pasal 1 angka 1 UU NO. 20 Tahun 2000 43 Lihat Pasal 5 UU No 20 Tahun 2000 44 Lihat Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2000
13
Berkaitan dengan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) disektor pertambangan erat kaitannya dengan bagaimana orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak memperoleh hak atas tanahnya untuk kegiatan pertambangan. Untuk mengetahui berapa besarnya bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun Nilai Perolehan Objek Kena Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebagai dasar perhitungan pajak terutang secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan Rp 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah) atas waris atau hibah wasiat. Ketentuan ini sebagimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah an Bangunan. Atas hal tersebut di atas, maka pengaturan mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tersebut belum mampu mewujudkan asas kepastian sebagai salah satu dari asas-asas pemungutan pajak dimana ketentuan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan belum mengatur secara jelas dan lengkap mengenai tarif pajak, dasar pengenaan dan penghitungan pajak sehingga hampir mirip dengan ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan. e.
Bea Materai. Ketentuan mengenai Bea Materai sebagaimana diatur dalam Undang-undang
No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai dan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Adapun subjek pajak bea materai adalah pihak yang mendapatkan manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.45 Sedangkan objek bea materai adalah dokumen.46 Tarif bea materai adalah Rp 3.000,- dan Rp 6.000,-.47 Berkaitan dengan bea materai disektor pertambangan perlu kita pahami bahwa keberadaan perusahaan pertambangan yang mempunyai hak pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian tambang erat kaitannya dengan kontrak karya, kuasa 45
Suandy Erly, Op.cit. Hal. 64. Lihat Pasal 2 ayat (1) UU No. 13 Tahun 1985 47 Departemen Keuangan RI., Bea Materai, http://www.pajak.go.id, Selasa, 27 Nopember 2007, hal 1 -2 dan lihat ketentuan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Materai 46
14
pertambangan atau kontrak production sharing antara pemerintah dengan perusahaan tersebut. Di dalam pembuatan kontrak karya, kuasa pertambangan, ataupun production sharing yang notabene dokumen yang dibuat lebih dari satu pihak dimana berisi surat perjanjian, akta-akta perjanjian, surat berharga dan lain sebagainya. Untuk itu tarif bea materai atas kontrak karya, kuasa pertambangan atau kontrak production sharing adalah Rp 3.000,- atau Rp 6.000,- bergantung pada jenis dan isi dari dokumen yang akan disepakati. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pengaturan mengenai bea materai tersebut telah merealisasikan asas equality hal mana dikarenakan pembebanan pajak di antara subjek pajak telah sesuai dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan manfaat yang diterimanya dan tidak adanya diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Pengaturannya secara jelas dan tegas dalam ketentuan
peraturan perundang-
undangan mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dasar pengenaan dan penghitungan pajak, dan ketentuan mengenai pembayarannya menunjukkan implementasi dari asas kepastian pemungutan pajak.
f.
Pajak Daerah Ketentuan mengenai pajak daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang
No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, dan Peraturan Daerah Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung No. 2 Tahun 2006 tentang Pajak Bahan Galian Golongan C. Pajak daerah adalah iuran yang wajib dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.48 Pada hakekatnya Pajak Daerah terdiri dari pajak propinsi dan pajak kabupaten/kota yang pembagiannya telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Dalam kaitannya dengan pajak pertambangan
48
Suady Erly, Op.cit, hal 236
15
ini termasuk dalam pajak kabupaten/kota yakni masuk dalam kategori pajak pengambilan bahan galian golongan c49. Tarif pajak bahan galian golongan C adalah sebesar 20% (dua puluh persen)50 Besarnya pajak pengambilan bahan galian golongan C yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak bahan galian golongan C dengan dasar pengenaan pajak.51 Sebagai salah satu contoh peraturan daerah yang mengatur mengenai pajak pengambilan bahan galian golongan C adalah Peraturan Daerah Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung No. 2 Tahun 2006 tentang Pajak Bahan Galian Golongan C. Di dalam peraturan daerah tersebut membahas mengenai permasalahan yang tidak jauh berbeda dengan Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah yangmana dimuat secara jelas mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, cara pembayaran pajak, cara penagihan pajak, pengurangan, peringanan dan pembebasan pajak. Hal tersebut jelas terlihat jika pengaturan peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah telah merealisasikan asas keadilan (equality), asas kepastian, dan asas convenience of payment. Atas hal tersebut di atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pajak pertambangan bersifat sektoral sehingga banyak terdapat kelemahan yang seharusnya segera diupayakan untuk diminimalisir untuk menghindari tumpang tindih terhadap berbagai pemungutan pajak atas suatu objek pajak. Untuk itu reformasi perpajakan perlu segera dipikirkan guna lebih menjamin kenyamanan para investor untuk menanamkan sahamnya di Indonesia.
KESIMPULAN : 1. Karakteristik pajak di bidang pertambangan adalah multi fungsi dan multi pungutan, halmana dikarenakan atas satu objek pajak dapat dikenakan berupa pungutan antara lain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), pajak pertambahan
49
Lihat Pasal 2 ayat (2) huruf f UU No. 34 Tahun 2000 Lihat Pasal 3 ayat (1) huruf e UU No. 34 Tahun 2000 51 Lihat Pasal 65 PP No. 65 Tahun 2001 50
16
nilai barang dan jasa (PPN) dan pajak atas penjualan barang mewah ( PPnBM ), Bea materai dan pajak daerah. 2. Peraturan pajak di bidang pertambangan yang bersifat lintas bidang/ sektoral sebagaimana tersebut di atas yang mengatur permasalahan objek pajak, subjek pajak dan tarif pajak masih belum mampu mencerminkan asas-asas pemungutan pajak yakni asas kesamaan/keadilan (equality), asas kepastian (certainty), asas menyenangkan (convenience of Payment ), asas efisiensi (low cost of Collection), sehingga banyak terdapat kelemahan yang seharusnya segera diupayakan untuk diminimalisir untuk menghindari tumpang tindih terhadap berbagai pemungutan pajak atas suatu objek pajak.
SARAN : 1. Perlunya reformasi perpajakan yakni dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi mengenai pengaturan khusus di bidang sektor pajak di bidang pertambangan. 2. Perlunya usaha- usaha untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak yaitu melalui perluasan wajib pajak, penyempurnaan tarif pajak, dan penyempurnaan administrasi pemungutan pajak. 3. Pengawasan yang yang efektif dalam hal pemungutan pajak. 4. Perlunya partisipsi publik dari masyarakat dan akuntabilitas publik dari pemerintah dalam rangka penerimaan negara dari sektor pajak di bidang pertambangan.
17
Daftar Pustaka Buku-buku : Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi Tahun 2001, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2002. Saleng Abrar, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004. Salim, Hukum Pertambangan di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. Soemitro Rochmat, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1992. Suandy Erly, Hukum Pajak Edisi ketiga, Salemba Empat, Jakarta, 2005. Zainul Basri Yuswan dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri,RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.
Makalah : Kuntjoro Dibyo, Kondisi Industri Pertambangan di Indonesia saat ini dalam menunjang pembangunan berkelanjutan Paper dipresentasikan pada Semiloka: Menuju Kegiatan Industri Ekstraktif yang Berwawasan Lingkungan, diselenggaran di UNAS, Jakarta, 24 Oktober 2002. Artikel : Departemen Keuangan RI., Bea Materai, http://www.pajak.go.id, Selasa, 27 Nopember 2007, hal 1 -2. Departemen Keuangan RI., Pajak Bumi dan Bangunan Ketentuan Umum yang Perlu diketahui, http://www.pajak.go.id, Departemen Keuangan RI, Pokok-Pokok Pikiran Perubahan UU Pajak Penghasilan, http://www.pajak.go.id,, 20 Desember 2005. Liberti Pandiangan, Bukan Sekedar Tarif Pajak, www.DannyDarussalam.com Tax Center, 13 September 2007 Rsd, Royalti-Pajak Pertambangan Capai 27 Miliar US$, www.kapanlagi.com, 28 Februari 2007.
Majalah : Ligaligo Abraham, Kejayaan Pertambangan “Darah Segar” Kemakmuran, www.majalahtambang.com, 2008. Putranto Novan Dwi, Alat Pertambangan Rp 76 Miliar tertahan di Tanjung Priok, Sinar Harapan, 12 September 2007. Peraturan perundang-undangan : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2. Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; 3. Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; 4. Undang-undang No 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh); 5. Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah ( PPN dan PPnBM ); 6. Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; 18
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
25.
Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah; Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan; Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan; Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai; Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing; Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan; Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria; Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2004 tentang Perubahan kelima atas Peraturan Pemerintah No. 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan; Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah; Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Materai; Peraturan Pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah an Bangunan; Peraturan Pemerintah No 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai; Peraturan Pemerintah No. 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 1994 tentang syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi; Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan; Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata cara pengajuan pemrosesan pemberian kuasa pertambangan, izin prinsip, kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara; Peraturan Daerah Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung No. 2 Tahun 2006 tentang Pajak Bahan Galian Golongan C.
19