Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen dan Aceh Utara
2006
Daftar Isi i Kata Pengantar dari Menteri Kesehatan RI ii Kata Pengantar dari Universitas Syiah Kuala iii Kata Pengantar dari Kedutaan Besar Kanada 1 Ucapan Terima Kasih 2 Ringkasan Eksekutif 2 Rancangan Proyek 3 Temuan-temuan Kunci 5 Rekomendasi 6 Pendahuluan dan Latar Belakang 8 Rancangan Penelitian dan Metodologi 8 Tim Peneliti 8 Rancangan Penelitian 10 Tim Peneliti Lapangan dan Undangan untuk Berpartisipasi 12 Demografi Responden 12 Responden Kuesioner 13 Informan-informan Kunci 15 Peristiwa Traumatik 15 Peristiwa Traumatik Selama Konflik 17 Trauma Gender 19 Perbedaan Berdasarkan Kabupaten 19 Evakuasi Paksa dan Bentuk Pengungsian Lainnya 20 Peristiwa-peristiwa yang Dialami Selama Tsunami 20 Rasa Ketidakpastian Kehidupan Sehari-hari Paska-Konflik 23 Depresi, Kecemasan dan Gangguan Stres Traumatik (Traumatic Stress Disorders) 23 Ukuran-ukuran Distres Psikologis dan Gangguan Neuropsikiatrik 24 Analisa Gejala Psikologis dan Diagnosa Psikiatrik 26 Temuan-temuan Gejala 28 Distribusi Resiko: Kelompok Mana yang Memiliki Resiko Tertinggi? 34 Efek Pengalaman Traumatik Terhadap Distres Psikologis 36 Trauma di Kepala 40 Idiom Setempat untuk Menggambarkan Distres 41 Mimpi dan Arwah 44 Kesehatan Mental dan Psikososial Masyarakat 47 Pengalaman Tokoh/ Pemimpin Masyarakat 48 Dampak dari Tsunami 49 Daya Tahan dan Respon 51 Obat-obatan Tradisional di Aceh 53 Opini Masyarakat: Apa yang Harus Dilakukan? 54 Persepsi Masyarakat Terhadap LSM dan Layanan Kesehatan Umum 55 Persepsi Penyelenggara Kesehatan Umum Tentang Komunitas yang Terkena Dampak Konflik 55 Anak-anak dan Pemuda 56 Menuju Perdamaian 58 Rekomendasi 58 Program Perawatan Kesehatan Jiwa Masyarakat 58 Tim-tim Kunjungan Kesehatan Mental Bagi Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik 60 Program-program Kunjungan ke Keluarga 60 Evaluasi dan Konseling Menyangkut Trauma di Kepala 60 Pengintegrasian Dengan Layanan Kesehatan Lainnya 60 Pengintegrasian Program-program Psikososial dan Pengembangan Mata Pencaharian 61 Pentingnya Inovasi dan Evaluasi 61 Pengimplementasian yang Terlokalisir
daftar tabel 12 12 14 14 15 16 17 18 21 25 26 2 6 27 27 27 29 29 30 31 32 32 33 33 34 34
Tabel 1.1 Demografi Peserta Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin, Tempat Tinggal, Usia Tabel 1.2 Demografi Peserta Penelitian Berdasarkan Status Pernikahan, Pendidikan, dan Rumah Tabel 1.3 Demografi Informan Kunci Berdasarkan Gender, Tempat Tinggal, Usia Tabel 1.4 Demografi Informan Kunci Berdasarkan Status Pernikahan, Pendidikan, dan Jabatan Dalam Masyarakat Tabel 2 Peristiwa Trauma Masa Lalu yang Dialami, berdasarkan Gender dan Kabupaten Tabel 2 (lanj.) Peristiwa Trauma di Masa Lalu Tabel 3.1 Trauma Kepala / Cidera Otak Potensial Berdasarkan Jenis Kelamin dan Daerah Tabel 3.2 Pemerkosaan & Serangan Seksual di Masa Lalu, Kekerasan Gender Saat Kini, & Penghancuran Rumah, Berdasarkan Jenis Kelamin dan Daerah Tabel 4 Faktor Penyebab Stres dan Rasa Ketidakpastian Mengenai Kehidupan Sehari-hari Paska-Konflik Tabel 5.1 Kategori Depresi-HSCL Tabel 5.2 Kategori Inti Kuesioner Trauma Harvard Tabel 6.0 Distres Emosional dan Konflik Tabel 6.1 Depresi berdasarkan Gender dan Distrik Tabel 6.2 Gejala Trauma dan PTSD berdasarkan Gender dan Kabupaten Table 6.3 Gejala Kecemasan, berdasarkan Gender dan Kabupaten Tabel 7.1 Odds Ratio yang Telah Disesuaikan untuk Depresi dan PTSD Berdasarkan Kabupaten Tabel 7.2 Odds Ratio Yang Telah Disesuaikan Untuk Depresi dan PTSD Berdasarkan Gender Tabel 7.3 Odds Ratios yang Telah Disesuaikan Untuk Depresi dan PTSD Berdasarkan Usia Table 8.1 Pidie: Depresi Berdasarkan Gender Berdasarkan Usia Table 8.2 Pidie: PTSD berdasarkan Gender berdasarkan Usia Table 8.3 Bireuen: Depresi Berdasarkan Gender Berdasarkan Usia Table 8.4 Bireuen: PTSD berdasarkan Gender berdasarkan Usia Table 8.5 Aceh Utara: Depresi berdasarkan Gender berdasarkan Usia Table 8.6 Aceh Utara: PTSD berdasarkan Gender berdasarkan Usia Table 9.1 Pengukuran2 Kesehatan Mental (Odds Ratios) bagi Responden Yang Mengalami Peristiwa Traumatik di Masa
35 37 37 38 39 44 46 49 54 56
Lalu – Tidak Disesuaikan Tabel 9.2 Pengukuran2 Kesehatan Mental (Odds Ratios) bagi Responden Yang Mengalami Peristiwa Traumatik di Masa Sekarang – Tidak Disesuaikan Tabel 9.4 Trauma di Kepala/Cidera Otak Potensial: Persentase Responden berdasarkan Gender dan Usia Tabel 9.5 Trauma di Kepala/Cidera Otak Potensial: Persentase Responden berdasarkan Gender dan Usia Untuk Bireuen Tabel 9.6 Trauma di Kepala/Cidera Otak Potensial: Persentase Responden berdasarkan Gender dan Usia Untuk Aceh Utara Tabel 9.7 Resiko Yang Meningkat untuk Depresi atau PTSD bagi Orang Yang Menderita Trauma di Kepala (Odds Ratio disesuaikan) Tabel 10.1 Pandangan Responden Mengenai Penyakit Mental di Masyarakat dan di Keluarga Tabel 10.2 Pilihan Responden Atas Kelompok-kelompok di Dalam Komunitas Mereka yang Paling Menderita Akibat Stres atau Trauma yang Terkait Dengan Konflik Tabel 10.3 Tindakan Mencari Bantuan Selama Enam Bulan Terakhir Tabel 10.4 Opini mengenai Layanan Kesehatan Mental LSM dan Mitra-mitra Pelaksana Tabel 10.5 Sikap Terhadap Proses Perdamaian
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Kata Pengantar Kata Pengantar dari Menteri Kesehatan RI Kata Pengantar dari Universitas Syiah Kuala Kata Pengantar dari Kedutaan Besar Kanada
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
KATA PENGANTAR dari Menteri Kesehatan ri
Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD) adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang mempunyai masalah dengan karakteristik khusus. Beberapa tahun yang lalu dengan beberapa masalah internal berupa konflik yang relatif berkepanjangan dan kemudian menjadi lebih parah dengan adanya bencana tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Hal-hal tersebut memberi dampak yang luas terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat. Salah satu masalah yang mengemuka disamping masalah hukum, keamanan, sosial dan ekonomi, adalah masalah kesehatan, termasuk masalah kesehatan jiwa. Kita sangat bergembira bahwa masa-masa sulit ini sudah terlewati dan menjadi kwajiban kita semua untuk memulihkan segera mungkin hal-hal yang merugikan masyarakat, seperti dampak dari peristiwa tadi. Dibidang kesehatan telah diambil langkah yang komprehensif yang dirumuskan dalam berbagai program jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Dibidang kesehatan jiwa dimana dampaknya terasa cukup besar, Departeman Kesehatan RI telah bekerja sama dengan Pemerintah NAD, Pemerintah Provinsi dan LSM baik Dalam Negeri maupun Luar Negeri. Untuk ini telah dirancang dan dijalankan suatu model pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif tidak hanya untuk daerah yang terkena tsunami, tetapi juga daerah-daerah lainnya diharapkan model ini dapat dijadikan acuan untuk pengembangan kesehatan jiwa di Provinsi lain. Maka kami sangat bergembira dengan adanya kegiatan psychococial need assessment di Pidie, Bireun dan Aceh Utara yang dilakukan bersama-sama oleh International Organization for Migration (IOM), the Department of Social Medicine from Harvard Medical School dan Syiah Kuala University (SKU). Saya percaya bahwa hasil assessment ini sangat sejalan dan memberikan konstribusi yang bermakna kepada program yang sedang kita kembangkan, seperti program peningkatan kapasitas dalam bentuk pelatihan dokter Puskesmas maupun Rumah Sakit Umum (RSU) Kabupaten serta pengembangan konsep CMHN (Community Mental Health Nursing). Mudah-mudahan kerja sama ini dapat dilanjutkan dengan program-program yang lain. Untuk semua pihak yang telah memungkinkan terselenggaranya program ini saya sampaikan penghargaan yang setinggitingginya. Semoga hal ini memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat NAD pada khususnya, dan pada masyarakat Indonesia pada umumnya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkahi kita semua.
DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K) Menteri Kesehatan DepKes RI
ii
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Kata pengantar dari Universitas Syiah Kuala
Laporan ini merupakan survei empirik dan sistematik yang pertama tentang pengalaman anggota masyarakat yang menderita karena konflik sebelum penandatanganan MoU tanggal 15 Augustus 2005 antara Pemerintah RI dan GAM yang mengawali proses perdamaian. Penelitian ini merupakan percobaan pertama untuk mempelajari konsekuensi konflik yang terfokus pada Psychological Needs Assessment Affected by the Conflict. Survei tersebut dilaksanakan oleh sejumlah peneliti yang direkrut oleh Pusat Pengembangan Studi Kawasan Unversitas Syiah Kuala, bekerja sama dengan para Peneliti Senior dari depatemen Kedokteran Sosial, Fakultas Kedokteran Harvard, Amerika Serikat, dan didukung oleh International Organization for Migration (IOM), Indonesia, beserta kantor perwakilannya di Banda Aceh. Penelitian lapangan dilakukan di Kabupaten Pidie, Bireuen dan Aceh Utara selama bulan Februari 2006. Survei ini khusus dirancang untuk mendapatkan dan mengevaluasi keadaan kesehatan psikologi dan mental atau problemaproblema masyarakat yang bayak dipengaruhi oleh konflik bersenjata tersebut. Namun tujuan yang utama dari penelitian ini adalah upaya untuk mempelajari dan memahami sebanyak mungkin tentang isyu-isyu agar dapat menjadi pertimbangan kebijakan. Satu temuan besar dalam penelitian ini ialah bahwa mereka yang selamat dalam konflik ini mengalami trauma, dipresi yang berat, dan masalah-masalah kesehatan mental di samping kekurangan sumber daya. Namun bagaimanapun, konsekuensi konflik ini tidak tersebar secara merata di antara ketiga Kabupaten yang diteliti. Dalam ukuran kuantitatif tertentu, Kabupaten Pidie kampung halaman pemimpin nomor satu GAM, tidak begitu menderita dibandingkan dengan kedua Kabupaten yang lain. Pengalaman orang seorang yang berkait dengan konflik ini berbeda dari seorang ke seorang yang lain. Mayoritas penduduk di daerah penelitian memerlukan penanganan profesional bagi trauma dan kesehatan mental mereka; mereka memerlukan bantuan untuk mengatasi problema kehidupan sosial mereka, dan mereka memerlukan sumber-sumber daya ekonomi. Dalam perkataan lain, orang-orang yang mendapat musibah ini memerlukan penyembuhan atas luka yang dalam di hati mereka yang timbul dari konflik yang tidak mereka ciptakan. Oleh karena itu, manuskrip ini perlu bagi Gubernur, anggota DPRD, Menteri Kesejahteraan Rakyat, dan Menteri Pendidikan untuk dibaca dan dipergunakan sebagai dasar pertimbangan kebijakan dan proses pengambilan keputusan. Seiring dengan itu, temuan-temuan dalam laporan ini seharusnya dapat menjadi perhatian bagi LSM lokal dan internasional, para donor, masyarakat akademik di Aceh, dan bagi siapa saja yang merasa prihatin atas musibah ini.
Prof. Bahrein T. Sugihen Universitas Syiah Kuala
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
iii
KATA PENGANTAR dari kedutaan besar kanada
Satu tahun terakhir ini merupakan masa yang bersejarah bagi Aceh, yang ditandai dengan lahirnya pondasi untuk perdamaian abadi, otonomi khusus, dan institusi-institusi demokrasi baru. Mereka yang merasakan manfaat dari proses perdamaian ini yang kini masih berjalan - adalah banyak pihak, tidak hanya warga Aceh melainkan semua rakyat Indonesia dan juga masyarakat internasional. Selain bantuan kemanusiaan dan pembangunan yang substansial untuk masyarakat Aceh menyusul terjadinya musibah tsunami, Kanada juga dengan cepat menerima tantangan untuk mendukung proses rekonstruksi dan usaha menciptakan perdamaian paska konflik di Aceh. Untuk alasan ini, Pemerintah Kanada, melalui Global Peace and Security Fund dari Departemen Luar Negeri dan Pembangunan Internasional, dan bekerja sama dengan mitra-mitra lainnya, turut mendukung proyek Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen dan Aceh Utara. Rekomendasi yang terdapat di dalam laporan ini menunjukkan bahwa penelitian ini tidak hanya memiliki manfaat yang besar namun juga mampu menjawab kebutuhan yang ada, dengan menyediakan data yang diperlukan untuk membuat keputusan tentang peranan pelayanan kesehatan di dalam mendukung proses re-integrasi. Laporan ini juga menunjukkan pentingnya kemitraan di antara pihak pemerintah, lembaga-lembaga internasional, kalangan akademis, dan juga tokoh-tokoh masyarakat di dalam usaha menciptakan perdamaian. Oleh karena itu, atas nama Pemerintah Kanada, dengan segala kerendahan hati saya mengucapkan selamat kepada para mitra di mana berkat kerja keras mereka, laporan yang sangat berharga ini dapat terselesaikan, sehingga dapat menjadi alat bantu bagi mereka semua yang tengah membangun kembali Aceh yang damai dan demokratis.
Rosalind Coleman Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar Kanada
iv
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Ucapan Terima Kasih Tim peneliti psikososial International Organization for Migration (IOM) di Banda Aceh tidak akan dapat menyelesaikan proyek ini tanpa kontribusi dari pihak-pihak berikut ini:
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
1. Lima ratus sembilan puluh enam responden, 35 informan utama, dan 17 anggota GAM dari kabupaten Pidie, Bireuen dan Aceh Utara yang namanya tidak disebutkan, atas waktu dan kesediaan mereka mengkontribusikan data yang disajikan dalam laporan ini. Untuk itu ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan 2. Pusat Pengembangan Studi Daerah di Universitas Syiah Kuala (USK) yang melaksanakan penelitian di lapangan, pelatihan staf, dan pemasukan data. Profesor Bahrein Sugihen merupakan konsultan utama dalam perancangan penelitian. Ibu Rosnani mengorganisir pelatihan, mengkoordinir kerja lapangan, dan membantu tim Harvard di Aceh. Lembaga ini juga membentuk staf peneliti yang terdiri dari duabelas dosen dari USK. Kami mengucapkan terima kasih kepada Pak Adnan Abdullah, Pak Nazir Basyir, dan Pak Husaini Daud yang mengetuai tim peneliti di Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara, disamping semua pewawancara dalam proyek ini. Kami juga berterima kasih kepada Pak Sofyan dari USK atas kerjanya dalam memasukan data. 3. Departemen Kesehatan RI yang mendukung penelitian psikososial IOM di Aceh, khususnya Dinas Kesehatan Propinsi di Banda Aceh, dan Dinas Kesehatan Kabupaten di Pidie, Bireuen, Aceh Utara dan Lhokseumawe. Rumah sakit jiwa di Banda Aceh menyediakan lima perawat kesehatan mental yang bergabung sebagai staf peneliti, sedangkan Dinas Kesehatan Pidie dan Bireuen masing-masing menyediakan dua perawat kesehatan mental. Kontribusi yang diberikan oleh para perawat terhadap penelitian ini sangat luar biasa. 4. Dewan Perlindungan Masyarakat dan Persatuan Negeri di kantor Gubernur Banda Aceh atas izin serta surat pengantar yang mereka berikan untuk melaksanakan penelitian sosial ilmiah dan kesehatan umum di desa-desa di Aceh. 5. Para mitra riset IOM di Fakultas Kedokteran Harvard yang bertanggung jawab atas keseluruhan rancangan penelitian, pengembangan kuesioner, pengelolaan data, analisa statistik, dan penulisan laporan. Professor Byron Good dan Professor Mary-Jo DelVecchio Good merupakan Peneliti Utama dalam proyek ini. Matthew Lakoma melakukan analisa statistik yang efisien dan kreatif, serta Sharon Abramowitz menghabiskan waktu dua minggu yang sangat sibuk di Aceh guna membantu pengembangan kuesioner, pelatihan staff, dan penyusunan protokol penelitian. 6. Tim Program Paska Konflik IOM di Banda Aceh, yang merupakan rekan kerja yang sangat baik dalam merencanakan dan mendiskusikan materi yang termuat dalam laporan ini. Jesse Grayman bertindak sebagai Manajer Proyek dan koordinator dari penelitian ini. Tim Medis yang berperan sebagai sumber pendukung utama yang dapat diandalkan dalam penyusunan program dan materi. Kami mengucapkan rasa terima kasih kepada Dr. Ibrahim Puteh atas keahliannya di bidang psikiatri dan atas kesediannya memandu kami dalam sistem layanan kesehatan dan universitas di Banda Aceh. Para dokter dari ICRS yakni Dr. Abdul Razak Kelana Ibrahim, Dr. Teuku Arief Dian, dan Dr. Noor Anita Humaira yang memfasilitasi riset lapangan di Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara. Su Lin Lewis yang telah memberikan masukan-masukan penting dan data latar belakang untuk merancang metodologi penentuan sampel. Kesehatan mental merupakan sisi yang baru dalam penyusunan program DDR, dan kami berterima kasih kepada Direktur Program Mark Knight karena telah menyadari pentingnya aspek ini dalam Program Reintegrasi Paska Konflik IOM. Terakhir, Dr. Nenette Motus yang telah menulis proposal awal untuk kegiatan penelitian ini dan memulai proses riset dengan menelpon Fakultas Kedokteran Harvard pada bulan Oktober 2005. Kami mengucapkan terima kasih kepada beliau atas kesabaran dan keyakinannya pada pekerjaan kami. 7. Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Kanada yang mendukung kegiatan medis Paska Konflik IOM di Aceh. Kami berterimakasih kepada mereka atas pendanaan riset lapangan. Dukungan keuangan untuk analisa data dan penulisan laporan diperoleh dari Departemen Kesehatan Sosial, Fakultas Kedokteran Harvard. 8. Byron Good, Mary-Jo DelVecchio Good, Jesse Grayman, dan Matthew Lakoma yang menulis laporan ini
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Ringkasan Eksekutif Antara bulan Desember 2005 sampai dengan bulan Februari 2006, tim peneliti dari International Organization for Migration (IOM) dan Departemen Kesehatan Sosial Fakultas Kedokteran Harvard, melaksanakan Penelitian Kebutuhan Psikososial (PKP) di tiga kabupaten dengan tingkat konflik tinggi di pantai timur laut propinsi Aceh (NAD), dengan dukungan dana dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Kanada melalui kontrak kerja dengan IOM dan Fakultas Kedokteran Harvard. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kebutuhan psikososial dan kesehatan mental masyarakat yang terkena dampak mendalam akibat konflik antara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sehubungan dengan telah berlangsungnya gencatan senjata paska penandatanganan Nota Kesepahaman pada tanggal 15 Agustus 2005. Laporan ini berfokus pada kebutuhan psikososial dan kesehatan mental yang ada saat ini di daerah-daerah konflik tinggi di Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara. Laporan ini secara sengaja tidak mengidentifikasi kelompok-kelompok atau individu-individu yang memainkan peran utama dalam kekerasan yang terjadi di masyarakat Aceh.
Rancangan Proyek Penelitian ini dirancang untuk memperoleh data empiris secara ilmiah yang berfungsi sebagai dasar dalam mengembangkan layanan kesehatan mental dan psikososial guna mendukung upaya-upaya pemulihan diri yang dilakukan oleh masyarakat. Secara khusus, PKP ini bermaksud mengetahui tingkat pengalaman trauma karena konflik yang diderita oleh masyarakat, mengidentifikasi tingkat masalah psikososial dan kesehatan mental serta risiko sub-kelompok yang ada di dalam populasi, mengidentifikasi pola daya tahan dan sumber daya yang dipergunakan oleh masyarakat dan para anggotanya dalam menangani masalah kesehatan jiwa, dan menilai urgensi kebutuhan intervensi kesehatan mental dalam bentuk-bentuk tertentu di daerah-daerah yang selama beberapa dekade terkena dampak kekerasan. Penelitian ini dirancang oleh beberapa peneliti senior dari Fakultas Kedokteran Harvard. Penelitian ini meliputi dua komponen utama. Pertama, penelitian kualitatif yang melibatkan informan-informan kunci guna meneliti bagaimana konflik mempengaruhi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat serta apa yang menurut para tokoh masyarakat perlu diprioritaskan pelaksanaannya dalam merespon dampak psikososial yang muncul akibat konflik. Kedua, survei formal terhadap penduduk dewasa dari kelompok masyarakat terpilih, yang dirancang untuk mengukur tingkat pengalaman trauma karena kekerasan, tingkat distres psikologis yang terkait dengan pengalaman-pengalaman tersebut, serta layanan yang perlu di prioritaskan. Kedua komponen penelitian ini didukung oleh diskusi focus group dengan para anggota GAM termasuk mantan kombatan dan tahanan politik. Para peneliti lapangan dari Pusat Pengembangan Studi Daerah di Universitas Syiah Kuala melakukan interview di 30 desa di kabupaten Pidie, Bireuen dan Aceh Utara, yang dipilih secara acak selama dua minggu pertama bulan Februari 2006. Data kemudian dianalisa secara bersama-sama oleh tim Harvard dan tim IOM. Jumlah sample untuk survei kuantitatif sebanyak 596 orang responden dewasa, berusia 17 tahun atau lebih, yang dipilih secara acak dari 30 desa penelitian. Prosedur pemilihan sampel dilakukan sedemikian sehingga dapat disajikan sample yang terdistribusi secara baik dan representatif. Disamping itu, 75 informan kunci, yang terdiri dari tokoh masyarakat yang terseleksi, telah pula diwawancarai. Temuan yang diperoleh dapat digeneralisir pada masyarakat dengan tingkat konflik tinggi di kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara.
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Temuan-temuan Kunci 1. Temuan pertama dan yang paling berkesan dari survei ini adalah bahwa para anggota masyarakat tersebut telah mengalami peristiwa traumatik yang mengerikan dan terakumulasi dalam tingkat cukup tinggi sebagai akibat kekerasan. Beberapa contoh data menggambarkan dampak besar yang diakibatkan oleh konflik terhadap para penduduk sipil di daerah tersebut sebagai berikut: 78% dari keseluruhan sampel melaporkan telah mengalami pengalaman perang. 38% mengalami peristiwa dimana mereka harus melarikan diri dari bahaya. 8% wanita telah kehilangan suami akibat konflik, dan 5% dari keseluruhan sampel memiliki anak yang terbunuh. 41% sampel melaporkan memiliki anggota keluarga atau teman yang terbunuh, dan 33% melaporkan keluarganya atau temannya diculik atau hilang. 45% melaporkan harta mereka disita atau dimusnahkan, dan 33% mengalami pemerasan atau perampasan. 2. Baik para pria maupun wanita mengalami tingkat kekerasan yang luar biasa, namun tingkatan dan jenis dari peristiwa traumatik yang dialami berbeda-beda berdasarkan jenis kelamin. Para pria melaporkan kekerasan fisik yang secara signifikan lebih tinggi dibanding wanita. 56% pria melaporkan telah mengalami penganiayaan (20% wanita), 36% melaporkan telah diserang dengan mengunakan senjata api atau pisau (14% wanita), 25% pria melaporkan telah disiksa (11% wanita), 19% pria melaporkan telah dikurung (5% wanita), dan 65% pria (dan 45% wanita) melaporkan telah dipaksa menyaksikan kekerasan fisik terhadap orang lain. Walau tingkat kekerasan seksual yang dilaporkan telah dilakukan terhadap wanita rendah, yang sebagian disebabkan oleh stigma, para wanita mengalami serangan fisik dari kombatan pria dalam bentuk kekerasan gender. Disamping itu, pengalaman yang sering terjadi adalah rumah mereka dijarah dan dimusnahkan yang dinilai merupakan serangan yang sangat keras terhadap tempat tinggal wanita. 3. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan dari daerah ke daerah. Para responden di Bireuen dan Aceh Utara melaporkan tingkat peristiwa traumatik maupun gejala psikologis yang jauh lebih tinggi daripada para responden di Pidie. 85% responden di Bireuen dan 87% di Aceh Utara mengalami peperangan, dibanding dengan 66% di Pidie. 66% responden di Bireuen melaporkan telah memiliki anggota keluarga atau teman terbunuh, dibanding dengan 40% di Aceh Utara dan 21% di Pidie. 22% responden di Aceh Utara melaporkan telah ditangkap dan ditahan oleh salah satu pihak pada konflik, 14% di Bireuen, dan 4% di Pidie. 4. Pertanyaan mengenai peristiwa yang mengakibatkan stres atau peristiwa traumatik yang terjadi sejak penandatanganan Nota Kesepahaman Perdamaian menggarisbawahi temuan penting lainnya dalam penelitian ini. Banyak warga menceritakan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya (85%), kesulitan mencari pekerjaan (90%), atau kesulitan dalam memulai kembali aktifitas mata pencaharian mereka selama masa paska-konflik (71%). 72% melaporkan kekhawatiran mengenai cukupnya persediaan makanan, sedangkan 59% melaporkan kekhawatiran mengenai perumahan yang layak. Temuantemuan dalam bentuk angka ini mendukung wawancara kualitatif, yang menunjukkan adanya kekhawatiran mendalam mengenai permasalahan dasar pada mata pencaharian. Konflik yang berlangsung selama hampir 30% tersebut jelas telah memporak-porandakan ekonomi setempat, menghalangi penduduk desa mengolah tanah mereka, memusnahkan hewan mereka, menghancurkan jaringan perdagangan, merusak rumah mereka, dan menghalangi para kaum muda memasuki kelompok tenaga kerja. Oleh karena itu, upaya ‘pemulihan’ akan berhadapan dengan peristiwa-peristiwa traumatik yang dahsyat yang diderita oleh masyarakat, ekonomi yang rusak serta sumber daya masyarakat yang hancur untuk ditangani dengan segera.
Disamping itu, 47% responden melaporkan telah melihat para pelaku kejahatan dan kekerasan sebagai sumber rasa stres yang berkelanjutan, 30% melaporkan mengalami serangan atau ancaman fisik atau psikologis dan 21% mengalami perampokan sejak ditandatanganinya Nota Kesepahaman. Walau dengan berhentinya konflik formal, rasa ketidakamanan yang berkelanjutan tetap merupakan suatu tantangan menuju pemulihan para individu maupun masyarakat.
5. Gejala psikologis pada kelompok penduduk ini luar biasa tinggi, setara dengan penduduk paska-konflik seperti di Bosnia dan Afghanistan. Studi ini mengunakan daftar gejala (symptom checklist), yang diterjemahkan dan diadaptasi khusus untuk warga Aceh dalam mengungkapkan gejala, dan prosedur standar untuk mengestimasi orang yang memenuhi
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
kriteria untuk sebuah diagnosa klinis. Protokol yang diterima secara internasional untuk menentukan apakah seseorang mengalami depresi berat, gangguan kecemasan, atau Gejala Stres Paska Trauma mengindikasikan bahwa 65% dari keseluruhan sampel menduduki peringkat tinggi pada skala gejala depresi, 69% pada skala gejala kecemasan, dan 34% pada skala gejala PTSD. Dengan menggunakan tingkat pengukuran gejala yang sangat tinggi untuk mengidentifikasi kasus-kasus yang paling parah, ditemukan 18% dari sampel memenuhi kriteria mengidap depresi pada tingkat sangat tinggi dan 10% mengidap PTSD pada tingkat yang sangat tinggi. Adalah jelas bahwa kebutuhan agar layanan kesehatan mental menangani konsekuensi kesehatan mental dari konflik ini adalah sangat tinggi pada kelompok penduduk tersebut.
Perlu dicatat bahwa banyak responden menderita efek “trauma kompleks” – bertahun-tahun mengalami peristiwa kekerasan dan ketidakamanan secara berulang-ulang, berhentinya episode trauma, dan kemudian kembali ke situasi aman dan stabil. “Trauma” merujuk pada pengalaman dari individu maupun masyarakat, dan respons kesehatan mental yang efektif akan membutuhkan penanganan klinis bagi individu maupun intervensi psikososial bagi masyarakat.
6. Odds analysis mengindikasikan adanya faktor-faktor yang terkait dengan kemungkinan yang lebih besar untuk mengidap depresi dan penyakit yang berhubungan dengan trauma, disamping kelompok-kelompok dengan resiko tinggi. Pertama, terdapat hubungan yang langsung dan sangat signifikan antara jumlah peristiwa traumatik yang dialami dengan depresi maupun PTSD. Tingginya jumlah pengalaman peristiwa konflik yang dilaporkan meningkatkan kemungkinan bahwa orang tersebut akan mengalami gejala depresi dan PTSD yang sedang maupun sangat tinggi. Kedua, semua kelompok di Bireuen dan Aceh Utara memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami gejala-gejala tersebut dibanding dengan yang di Pidie. Wanita memiliki kemungkinan yang sedikit lebih tinggi dibanding pria, walau jauh lebih rendah dibanding sebagian besar studi yang dilakukan terhadap populasi normal. Ketiga, dengan meneliti secara seksama berdasarkan gender, umur dan kabupaten, maka dapat diidentifikasikan beberapa kelompok dengan tingkat depresi dan PTSD yang sangat tinggi. Kelompok yang paling muda (17-29) dan yang paling tua (54 dan lebih) dari para pria dan wanita memiliki resiko yang paling tinggi. Sebagai contoh, 48% pria muda melaporkan gejala depresi berat yang sangat tinggi; 24% pria muda, 25% pria-pria yang paling tua, dan 33% dari wanita-wanita yang paling tua melaporkan tingkat gejala PTSD yang sangat tinggi. 7. Tingkat trauma terhadap kepala dan potensi kerusakan otak, yang diakibatkan penganiayaan, pencekikan, penenggelaman, dan bentuk penyiksaan atau kekerasan lainnya, adalah luar biasa tinggi dan membutuhkan intervensi klinis dan penelitian lebih lanjut. Para pria, khususnya yang berusia muda, di Bireuen dan Aceh Utara merupakan perseorangan yang beresiko paling tinggi. Cukup menakjubkan, 67% pria muda di Aceh Utara dan 68% di Bireuen melaporkan telah mengalami trauma di kepala. Temuan-temuan ini mengindikasikan sebuah bidang kritis untuk intervensi. 8. Evakuasi secara paksa maupun sukarela merupakan kejadian yang sering terjadi di daerah-daerah konflik. 38% dari responden mengatakan bahwa mereka terpaksa melarikan diri dari bangunan terbakar dan hampir setengah dari sampel (47%) mengatakan mereka terpaksa melarikan diri dari keadaan bahaya pada suatu waktu selama konflik. Data kualitatif mendukung angka-angka tersebut dengan sangat baik. Para responden dalam sampel ini sebagian besar melaporkan pengungsian secara lokal dan sementara, umumnya terbatas di dalam kabupaten mereka, dan seringkali dalam kecamatan yang sama. Evakuasi biasanya merupakan peristiwa kolektif, satu desa secara bersama-sama meninggalkan tanah mereka, dan pindah ke fasilitas milik pemerintah di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Masyarakat desa pada umumnya akan tetap mengungsi selama beberapa minggu hingga beberapa tahun, dan pulang hanya setelah diberikan izin atau setelah perjanjian perdamaian. Para kelompok yang pulang menemukan rumah dan harta mereka seperti ternak, sawah, taman, perkebunan dan peralatan entah dibakar habis atau dijarah habis-habisan. “Kami harus memulai kembali dari nol,” merupakan ungkapan yang sederhana namun akurat yang sering diucapkan kepada tiap pewawancara dalam melakukan penelitian ini. 9. Walau dengan adanya sejarah trauma dan gejala tinggi yang diakibatkannya, masyarakat dan sebagian besar individu yang ada di dalamnya tetap kuat dan bertekad tinggi. Mereka melaporkan telah menanggulangi pengalaman traumatik mereka dengan berdoa dan berkonsultasi pada ahli agama, dengan mencari perawatan medis umum, dan dengan berbicara pada teman atau anggota keluarga dan dengan berusaha melupakan apa yang telah terjadi. Hampir tidak ada yang
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
berkonsultasi dengan konsultan kesehatan mental guna menangani masalah mereka. Para responden sangat bersyukur dengan berakhirnya kekerasan, dan sebagian besar dari mereka berusaha keras untuk membangun kembali masyarakat mereka yang rusak parah dan terus melanjutkan hidup mereka. 10. Masih terdapat rasa ketidakpercayaan yang signifikan terhadap fasilitas kesehatan umum, khususnya di Bireuen dan Aceh Utara, yang merupakan suatu halangan dalam menyediakan perawatan kesehatan melalui sistem kesehatan umum. Sebagai contoh, hanya 35% responden di Bireuen dan 36% di Aceh Utara yang mengatakan bahwa mereka akan menerima bantuan kesehatan mental yang diberikan melalui klinik pemerintah, dibanding dengan 74% di Pidie. Dalam beberapa kasus, puskesmas diduduki oleh kelompok-kelompok kombatan selama konflik. Juga terdapat keterbatasan pengetahuan bahwa beberapa klinik kesehatan masyarakat telah mengembangkan kemampuan baru di bidang kesehatan mental, dan hanya sedikit yang mengetahui mengenai juru-juru rawat kesehatan mental masyarakat (yang telah dilatih sebagai bagian dari upaya yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI, dengan dukungan WHO dan Asian Development Bank). Beberapa kegiatan kunjungan khusus akan diperlukan guna menyentuh sejumlah banyak komunitas yang terisolir yang mengalami paling banyak trauma selama konflik dan untuk menghubungkan komunitas-komunitas tersebut dengan para pekerja kesehatan mental yang baru dilatih di dalam sistem pelayanan kesehatan.
Rekomendasi 1. Pengalaman bersama tim medis keliling IOM, didukung oleh hibah dari pemerintah Kanada, mengindikasikan kemauan tinggi untuk menggunakan layanan kesehatan mental yang disediakan oleh tim-tim medis spesialis keliling. Terdapat peluang besar untuk mengembangkan tim kesehatan mental keliling di tingkat kabupaten, dengan didasarkan pendekatan tim medis keliling yang diprakarsai oleh IOM. Tim-tim seperti itu akan memberikan layanan kesehatan mental secara langsung, pendidikan keluarga dan mendukung pemahaman dan penanganan penyakit jiwa, disamping perawatan medis mendasar, dan akan memberikan kontribusi besar dalam menjembatani jarak antara penduduk dengan para perawat kesehatan mental masyarakat yang bekerja di dalam sistem pelayanan kesehatan umum pokok. 2. Hampir setengah dari keseluruhan sampel melaporkan telah dipaksa untuk melarikan diri dari keadaan bahaya pada suatu waktu selama konflik. Para penduduk yang pulang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus dalam membangun kembali kehidupan mereka yang hancur selama masa penciptaan perdamaian dan reintegrasi di Aceh dan harus dipandang sebagai Pengungsi Internal dan oleh karena itu merupakan target inti dari layanan bantuan IOM. Perlu dicatat bahwa sampel yang digunakan tidak termasuk responden yang masih mengungsi sebagai akibat konflik, sehingga persentase aktual dari pengungsi dari bekas daerah konflik kemungkinan adalah lebih tinggi dibanding daripada yang disebutkan dalam laporan ini. 3. Masyarakat internasional perlu menyadari mendesaknya kebutuhan untuk memberikan layanan kesehatan mental kepada masyarakat yang paling terkena dampak konflik. Mengembangkan layanan kesehatan mental membawa resiko tersendiri. Berbicara mengenai pengalaman kekerasan di masa lalu dapat dianggap ancaman politik terhadap beberapa pihak di dalam konflik, dan akan membutuhkan dukungan dari pihak-pihak yang menduduki posisi tinggi dalam lembagalembaga tersebut. Namun demikian, penyelesaian atas kekerasan yang telah terjadi bertahun-tahun akan membutuhkan upaya psikososial dan kesehatan mental yang terpadu, disamping bantuan ekonomi, dalam rangka menangani trauma individu maupun komunitas dan untuk mendukung serangkaian upaya untuk membangun kembali komunitas-komunitas tersebut. 4. Menangani kesehatan mental dan masalah psikososial yang terkait dengan trauma kompleks dalam daerah-daerah yang terisolir dengan akses terbatas terhadap pelayanan kesehatan mental adalah sangat menantang. Perlu disadari secara jelas bahwa tidak ada satu modalitas tunggal yang pasti efektif dan berkesinambungan. Melainkan, sebuah komitmen perlu diciptakan terhadap pengembangan program terapi inovatif di daerah-daerah terseleksi, terhadap pendokumentasian masing-masing program, dan terhadap pengevaluasian yang seksama atas keefektifan pendekatan-pendekatan terapautik.
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Pendahuluan dan Latar Belakang Gempa bumi berskala 9,1 serta tsunami yang terjadi di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 telah meluluh-lantahkan banyak komunitas pantai di Sumatera Barat dan Sumatera Utara; korban jiwa melebihi 135.000. Rumah, sekolah, pusat kesehatan dan rumah sakit, mesjid dan tempat berusaha telah hanyut, atau tergenang air akibat tsunami dan rusak akibat gempa bumi; beberapa komunitas telah hilang sama sekali. Ribuan anggota angkatan bersenjata dan polisi tewas, sejumlah barak dan kompleks perumahan hanyut seluruhnya. Markas, posko, kantor, peralatan dan kendaraan militer mungkin telah hanyut atau rusak parah. Kegiatan perekonomian perikanan, pertanian dan usaha di sepanjang pesisir pantai hancur. Kegiatan tersebut kemudian digantikan dengan bantuan darurat dan layanan bencana dari pihak LSM Indonesia maupun internasional, mendatangkan banyak warga Indonesia sipil non-Aceh dan asing ke daerah yang terkenal dengan aksesnya yang terbatas, sebuah zona operasi militer, sebuah propinsi yang mengalami kekerasan dan konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan angkatan bersenjata serta polisi Indonesia.
Bencana alam dan besarnya kehancuran kemanusiaan yang disebabkan oleh tsunami memperbaharui tekad politik di pihak Pemerintah RI maupun masyarakat internasional, khususnya Masyarakat Eropa, untuk mencari penyelesaian atas konflik antara GAM dan angkatan bersenjata dan polisi Republik Indonesia.1 Pada tanggal 15 Agustus 2005, sebuah Nota Kesepahaman untuk menciptakan Demobilisasi, Demiliterisasi dan Reintegrasi (DDR) ditandatangani oleh GAM dan Pemerintah RI. International Organization for Migration (IOM) diberi tanggung jawab oleh Pemerintah RI untuk membantu proses DDR sesuai dengan ketentuan perjanjian perdamaian. Kepakaran IOM di bidang paska-konflik telah dikenal dibanyak negara termasuk diantaranya Timor Timur, Kamboja, Afghanistan, dan Kosovo. Kegiatan dalam program DDR yang sering difasilitasi oleh IOM meliputi pendaftaran mantan kombatan dan tahanan politik, transportasi ke komunitas asal, proyek manfaat perdamaian berdampak cepat bagi masyarakat penerima, rekonstruksi layanan kesehatan di daerah bekas konflik, serta intervensi kesehatan darurat bagi korban konflik dan mantan kombatan. Khusus di Aceh, IOM telah mendirikan sepuluh kantor Informasi, Konseling dan Rujukan (ICRS) di berbagai kabupaten/kota di Aceh guna memfasilitasi kebutuhan reintegrasi para mantan tahanan dan kombatan GAM. Para klien ICRS menerima bantuan dana untuk biaya pulang, layanan kesehatan dan fasilitasi rujukan kesehatan, disertai dengan pelatihan kerja dan dukungan mata pencaharian lainnya. Staff ICRS juga memfasilitasi proyekproyek manfaat perdamaian yang dimotori sendiri oleh masyarakat di beberapa desa yang menerima banyak kepulangan mantan tahanan politik dan kombatan dan/atau telah mengalami kegiatan konflik yang tinggi. Sebagai bagian dari program bantuan medis dan psikososial bagi manusia dan masyarakat yang terkena dampak konflik, IOM mengusulkan untuk melaksanakan penelitian kebutuhan psikososial di tiga kabupaten di timur laut Aceh yang telah sangat terkena pengaruh konflik. Tujuan dasar dari penelitian kebutuhan yang diusulkan tersebut adalah untuk mengevaluasi kebutuhan psikososial dan kesehatan mental di komunitas-komunitas yang terkena dampak konflik, memberikan data empiris
1
Perundingan perdamaian terakhir sebelum terjadinya tsunami dilakukan dengan mediasi oleh Henry Dunant Center for Humanitarian Dialogue yang bermarkas di Jenewa. Perundingan-perundingan tersebut gagal pada bulan Mei 2003.
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk mengembangkan layanan dalam rangka mendukung berbagai upaya pemulihan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas tersebut selama masa-masa mengikuti proses berhentinya kekerasan. Secara khusus, IOM mengusulkan untuk mengetahui tingkat pengalaman traumatik yang terkait dengan konflik yang dialami oleh anggota komunitas tersebut, untuk menilai tingkat permasalahan psikososial dan kesehatan mental dan mengidentifikasi subkelompok berisiko tinggi diantara penduduk, untuk menetapkan prioritas layanan kesehatan mental dan psikososial bagi para anggota komunitas, untuk mengidentifikasi pola tekad dan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat dan para anggotanya dalam mengelola permasalahan kesehatan mental, dan untuk menilai mendesaknya kebutuhan akan bentuk-bentuk tertentu layanan kesehatan mental di daerah-daerah yang terkena dampak kekerasan selama bertahun-tahun. Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Kanada sepakat untuk mendukung usulan Penelitian Kebutuhan Psikososial tersebut. Rancangan studi dan pelaksanaannya dilakukan antara bulaan Desember 2005 sampai dengan Februari 2006. Tiga kabupaten daerah studi yang terletak di pantai timur laut propinsi Aceh – Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara – secara geografis saling berhubungan dari barat ke timur. Dampak tsunami di ketiga kabupaten ini tidak separah yang terjadi di sepanjang pesisir barat propinsi Aceh dan di ibu kota propinsi Banda Aceh.2 Namun demikian, secara bersamaan ketiga kabupaten tersebut merupakan daerah di Aceh yang memiliki sejarah konflik terpanjang dan paling intensif sejak akhir tahun 1970an. Ketidakamanan yang disebabkan oleh konflik di kabupaten-kabupaten tersebut seringkali sangat tinggi, menghambat kegiatan sehari-hari, mulai dari sekolah, pertanian, pencarian layanan kesehatan, aktivitas pasar, hingga perjalanan dari kota ke kota dan dari desa ke desa. Peristiwa yang melibatkan kekerasan, serangan terhadap pribadi, pelecehan, pemerasan, dan pembunuhan merupakan pengalaman yang sering dialami oleh kebanyakan penduduk di Aceh, terutama di ketiga daerah ini. Inilah sebabnya, Nota Kesepahaman yang berhasil ditandatangani pada bulan Agustus 2005 antara Pemerintah RI dan pimpinan GAM guna menyelesaikan konflik disambut dengan suka cita dan harapan oleh banyak warga Aceh. Nota Kesepahaman dan masa perdamaian yang tercipta setelahnya, jelas memberi peluang untuk membangun kembali komunitas, ‘pemulihan trauma’ dan layanan kesehatan mental bagi mereka yang selama ini telah mengalami dampak dari trauma kompleks yang telah berlangsung bertahun-tahun.
2
Jumlah pengungsi tsunami di Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara (termasuk kota Lhokseumawe) pada saat dilakukannya penelitian lapangan tersebut adalah 19.906 (4,2% penduduk Pidie), 10.032 (2,9%), dan 11.171 (1,8%) respectively..
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Rancangan Penelitian dan Metodologi Tim Peneliti Penelitian kebutuhan psikososial ini merupakan proyek kerjasama antara staff teknis IOM, tim dari Departemen Kesehatan Sosial, Fakultas Kedokteran Harvard, serta staf pengajar dan peneliti lapangan dari Pusat Pengembangan Studi Kedaerahan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. IOM merupakan kontraktor dan koordinator untuk proyek PKP ini. IOM dan para staff-nya mengkoordinir penelitian dan menyediakan koordinator proyek. Departemen Kesehatan Sosial, Fakultas Kedokteran Harvard, telah menjalin kesepakatan kerjasama dengan IOM untuk memberikan konsultasi teknis dan kolaborasi di bidang kesehatan mental dan proyek-proyek komunitas serta kesehatan lingkungan untuk mendukung upaya pemulihan akibat tsunami dan konflik di Aceh, dan melakukan investasi dalam pengembangan sumber daya manusia untuk kesehatan dan kesehatan mental di NAD. Sebuah tim ilmuwan sosial senior dengan pengalaman panjang di Indonesia, dokter-dokter dengan pengalaman kesehatan internasional, dan para peneliti ilmu sosial memainkan peran aktif dalam merancang proyek penelitian kebutuhan psikososial dan melaksanakan rancangan penelitian kuantitatif. Sebuah tim dari Universitas Syiah Kuala (USK) telah disubkontrak untuk melaksanakan survei masyarakat dan mewawancarai para informan kunci. Koordinator IOM dan tim Harvard secara bersama-sama bertanggung jawab atas analisa keseluruhan data. Tim Harvard dan koordinator IOM mengembangkan rancangan untuk keseluruhan penelitian dan survei di bulan Desember 2005. Para anggota tim IOM, Harvard, dan USK mengembangkan formulir dalam bentuk final, menterjemahkannya dan melakukan penerjemahan balik dan mengujinya (pretesting) di Banda Aceh pada bulan Januari. Bentuk final dari sampel universal, prosedur, dan metode penelitian lapangan dirumuskan melalui konsultasi antara ketiga kelompok tersebut. Koordinator IOM, seorang konsultan spesialis trauma dari Harvard, dan para anggota dari USK menyelenggarakan lokakarya pelatihan di bulan Januari, setelah sebelumnya dilakukan pengrekrutan pewawancara dan ketua tim. Pertanyaan-pertanyaan wawancara telah diuji coba, direvisi dan difinalisasi setelah lokakarya pelatihan selesai Wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap para informan kunci dilakukan oleh tim USK di 30 desa yang diseleksi secara acak dari kecamatan-kecamatan yang paling terkena dampak konflik, masing-masing sepuluh desa dari 3 kabupaten terpilih, antara tanggal 2-12 Februari 2006, sedangkan tim IOM melakukan pengawasan dan penyeliaan lapangan secara umum. Penyeleksian kecamatan yang terkena dampak konflik dilakukan dengan mempergunakan instrumen penilaian (assessment) stres konflik yang telah dipergunakan oleh Bank Dunia, yang didukung dengan laporan-laporan anekdotal dari pejabat pemerintah kecamatan, LSM lokal, pimpinan GAM setempat, serta staf ICRS yang bekerja di area yang bersangkutan. Para anggota senior tim Harvard bergabung pada minggu kedua penelitian lapangan. Seperti halnya dengan staf pengajar USK, mereka bertemu secara informal dengan pimpinan GAM dan mengikuti focus group yang diikuti oleh anggota GAM yang diselenggarakan oleh staff IOM, disamping melakukan diskusi informal dengan sekelompok pria dan wanita warga desa. Setelah penelitian selesai dilakukan, data dari instrumen survei dimasukkan oleh tim USK, dengan menggunakan program SPSS, dan ditransfer ke Harvard untuk pembersihan, pengembangan variabel, analisa deskriptif awal serta analisa statistik yang lebih kompleks, dengan menggunakan program SAS. Semua analisa data kuantitatif dilakukan oleh tim peneliti Harvard, sebagai bagian dari kolaborasi Harvard-IOM. Analisa dirancang secara khusus untuk mengidentifikasi tingkat pengalaman traumatik, tekanan (distres) psikologis dan gangguan psikiatri, faktor-faktor risiko yang terkait dengan gangguan-gangguan tersebut, serta prioritas di dalam masyarakat untuk intervensi kesehatan mental dan psikososial. Jawaban-jawaban yang bersifat open-ended dan kualitatif yang terekam pada formulir wawancara juga dimasukkan ke dalam database, disortir berdasarkan kabupaten dan gender, diberi kode untuk tema-tema yang berkembang, dan digunakan untuk analisa yang terkait dengan faktor budaya. Para ketua tim bertanggung jawab atas wawancara informan kunci. Mereka menulis catatan-catatan ekstensif mengenai masing-masing wawancara, disamping juga rangkuman analisa, dengan menggunakan teknik etnografi standar maupun perangkat analisa data kualitatif (Atlas-TI).
Rancangan Penelitian Penelitian ini menetapkan sembilan tujuan: 1. Untuk memahami bagaimana komunitas-komunitas tertentu di Aceh telah dipengaruhi oleh konflik.
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
2. Untuk memahami sifat trauma yang diderita oleh masyarakat secara umum dan oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. 3. Untuk memahami permasalahan sosial dan psikologis yang disebabkan oleh konflik. 4. Untuk mengamati dan mendokumentasikan cara para anggota masyarakat berbicara mengenai konflik dan proses demiliterisasi dan reintegrasi yang sedang berlangsung. 5. Untuk mengidentifikasi permasalahan psikososial dan kesehatan mental yang paling penting di ketiga kabupaten yang dipilih, yang disebabkan oleh konflik dan, dalam beberapa kasus, oleh tsunami. 6. Untuk menentukan prioritas para anggota dan tokoh masyarakat mengenai permasalahan psikososial dan kesehatan mental yang dipandang membutuhkan penanganan secara langsung. 7. Untuk menentukan kelompok-kelompok berisiko khusus yang mengalami kesehatan mental dan pengalaman trauma yang menimbulkan stres (stresor trauma experiences), dan untuk meneliti kebutuhan akan penyediaan layanan kesehatan mental yang memiliki dasar di dalam masyarakat. 8. Untuk mengidentifikasi dan membandingkan tingkat masalah mental dari stresor trauma experiences, depresi dan PTSD, pada penduduk yang memiliki resiko tinggi. 9. Untuk mengidentifikasi sumber daya di dalam masyarakat yang mungkin berguna untuk disertakan dalam mengembangkan intervensi psikososial khusus. Rancangan penelitian tersebut meliputi dua komponen: wawancara informan kunci dan survei formal terhadap orang dewasa berusia 17 tahun ke atas yang dipilih secara acak. Wawancara kualitatif terhadap informan kunci dirancang untuk menilik konteks historis dari konflik, bagaimana konflik tersebut mempengaruhi komunitas dengan berjalannya waktu, dan apakah beberapa segmen penduduk tertentu lebih rentan daripada segmen lainnya. Para tokoh masyarakat diminta untuk mendiskusikan prioritas untuk layanan psikososial dan kesehatan mental untuk komunitas mereka, dan pandangan mereka mengenai cara-cara terbaik untuk menangani dampak dari konflik. Wawancara survei formal dirancang untuk mengukur pengalaman peristiwa traumatik yang terkait dengan konflik, untuk menilai pengalaman peristiwa-peristiwa penyebab stres, dan untuk mengidentifikasi tingkat distres psikososial yang ada saat ini yang terkait dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Survei ini mengkombinasikan pertanyaan terbuka yang dirancang untuk penduduk Aceh yang telah mengalami konflik selama berpuluh-puluh tahun dan bencana tsunami, serta skala tervalidasi yang telah banyak digunakan yang memungkinkan perbandingan dengan penelitian-penelitian lain di masa lampau terhadap kebutuhan psikososial dari penduduk konflik dan paska-konflik. Wawancara dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan demografi dasar yang diikuti oleh pertanyaan-pertanyaan terbuka. Para responden ditanya apakah mereka terkena pengaruh tsunami, apakah konflik mempengaruhi kehidupan mereka dan kehidupan keluarga mereka, dan apakah ada anggota keluarga, termasuk responden sendiri, yang telah menjadi korban konflik. Pertanyaan-pertanyaan terbuka tersebut diikuti oleh pengukuran-pengukuran kuantitatif dengan megunakan Skala Peristiwa Trauma yang telah tervalidasi dari Harvard dan yang diadaptasi khusus untuk menggambarkan bentuk umum trauma yang dialami masyarakat yang sedang disurvei. Skala tersebut meliputi sebuah daftar pertanyaan ya/tidak (checklist) dari peristiwaperistiwa traumatik yang dialami selama konflik dan sebuah daftar pertanyaan ya/tidak mengenai pengalaman stres serta peristiwa traumatik selama masa paska-konflik. Tingkat distres emosional dan psikologis diteliti dengan sebuah pertanyaan penilaian diri secara umum. Pertanyaan-pertanyaan dasar tersebut diikuti oleh versi 25 butir dari Daftar Pertanyaan Hopkins Tentang Gejala Depresi dan Kecemasan, sebuah skala yang banyak digunakan dalam penelitian distres emosional pada situasi bencana dan masyarakat yang terkena trauma. Kuesioner Trauma Harvard (HTQ) yang terdiri dari 42 butir merupakan pengukuran luas yang meliputi sebuah inti yang terdiri dari 16 butir yang digunakan untuk menilai Gangguan Stres Paska Trauma (PTSD). Disamping itu, butir-butir pertanyaan yang dirancang untuk merekam wacana-wacana populer mengenai berbagai pengalaman yang mengganggu paska-tsunami maupun paska-konflik diintegrasikan ke dalam pengukuran kuantitatif agar responden dapat menceritakan pengalaman mimpi buruk, hantu, arwah, dan terdengarnya suara-suara orang yang telah meninggal.
10
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Sebuah pengukuran yang terdiri dari empat butir pertanyaan dimasukkan dari Kuesioner Trauma Harvard guna menilai adanya dan kerasnya peristiwa-peristiwa yang berkemungkinan mengakibatkan trauma atau kerusakan otak, termasuk pemukulan di daerah kepala, pencekikan, penenggelaman, dan luka fisik lainnya. Survei tersebut diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan tertutup maupun terbuka mengenai persepsi responden terhadap layanan kesehatan mental masyarakat yang paling diperlukan, opini mereka mengenai kelompok mana yang menderita trauma paling berat sebagai akibat konflik atau yang paling berisiko mengidap gangguan kesehatan mental, penilaian mengenai siapa yang memberi pelayanan dan kepada siapa masyarakat dapat berpaling untuk berusaha pulih dari pengalaman-pengalaman buruk yang masih tersisa dari konflik, perasaan mereka terhadap layanan-layanan kesehatan umum, dan komentar serta saran mengenai proses perdamaian paska-konflik dan pembangunan kembali masyarakat. Survei ini dirancang untuk memfasilitasi perbandingan dengan penelitian lainnya terhadap populasi yang terkena dampak konflik dengan tujuan memetik pelajaran mengenai intervensi kesehatan mental yang berguna dari kasus-kasus sebelumnya. Sebagian besar pertanyaan dalam survei dibuat dalam bentuk pertanyaan terbuka guna memungkinkan kekhasan peristiwa di Aceh untuk menentukan interpretasi dan makna dari analisa komparatif serta pelajaran. Secara keseluruhan, wawancara informan kunci dan survei difokuskan pada permasalahan mental dan psikososial yang berkaitan dengan pengalaman konflik di masa lalu. Sebagai sebuah instrumen penelitian kesehatan, pertanyaan yang diajukan tidak menanyakan mengenai kelompok atau individu yang mungkin bertanggung jawab atas kekerasan terhadap masyarakat Aceh. Melainkan, riset ini mengaitkan pengalaman traumatik dengan kebutuhan kesehatan saat ini. Oleh karena itu, hasil dari studi in tidak memenuhi kriteria spesifik yang biasa disyaratkan untuk penyelidikan hak azasi manusia. Melainkan, hasil dari studi ini berguna untuk memberi informasi bagi pengembangan layanan kesehatan mental dan psikososial di dalam masyarakat Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara yang terkena dampak konflik.
Tim Peneliti Lapangan dan Undangan Untuk Berpartisipasi Izin untuk melaksanakan penelitian ilmiah sosial dan kesehatan umum di desa-desa Aceh untuk proyek ini diperoleh dari Dewan Perlindungan Masyarakat dan Persatuan Negara di bawah Kantor Gubernur di Banda Aceh. Staf dari Fakultas Ilmu Pendidikan Sosial Universitas Syiah Kuala bertindak sebagai ketua tim pewawancara untuk Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara. Sejumlah 18 orang pewawancara aktif dalam penelitian, mereka adalah para perawat kesehatan mental dan staf pengajar. Semua pewawancara adalah orang Aceh, empat diantaranya adalah wanita. Para ketua tim mengadakan pertemuan awal dengan para camat dan kepala desa, menyusun daftar nama kepala keluarga, secara acak memilih keluarga, dan menugaskan kepada masing-masing pewawancara tiga sampai empat rumah tangga per desa. Masing-masing pewawancara memulai wawancara mereka dengan kata-kata perkenalan sebagai berikut: “Halo, nama saya adalah … Saya bekerja di Universitas Syiah Kuala untuk mempelajari permasalahan trauma dan kesehatan mental yang terkait dengan konflik. Kami mengumpulkan informasi tentang perasaan dan pengalaman orang-orang dewasa di Aceh sejak MoU ditandatangani. Kami melakukan sebuah survei diantara orang-orang dewasa yang tinggal di masyarakat ini yang berusia 17 tahun atau lebih. Saya ingin mengundang salah satu anggota rumah tangga ini untuk berpartisipasi dalam survei ini. Bolehkah saya lanjutkan?” Pewawancara melanjutkan dengan membuat daftar anggota keluarga berusia 17 tahun ke atas, mencatat nama, dan dengan menggunakan sistem nomor acak mengundang anggota keluarga yang telah ditentukan untuk berpartisipasi dengan mengucapkan kata-kata: “Kami memilih anda karena kami telah memberi angka pada masing-masing anggota rumah tangga ini dan kemudian secara ajak telah memilih angka anda. Setelah kita memilih seseorang dewasa di dalam rumah tangga, tidak ada lagi orang dewasa di rumah tangga ini yang akan diwawancara. Dengan cara demikian kami memastikan bahwa kami memilih responden sesuai metode penelitian yang sah.” Setelah orang tersebut bersedia, keterangan tentang proyek dibacakan kepada orang tersebut, meliputi prosedur, risiko dan manfaat, pertanyaan atau kekhawatiran, kerahasiaan, dan partisipasi sukarela dengan menggunakan bahasa Aceh jika diperlukan. Formulir kemudian ditandatangani dan diberi tanggal oleh pewawancara dan sebuah salinan diberikan kepada
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
11
subyek wawancara termasuk sebuah daftar organisasi yang dapat membantu dalam menangani permasalahan psikososial. Masing-masing kuesioner diberi kode nomor sehingga tidak meninggalkan tanda pengenal pribadi guna memastikan kerahasiaan responden. Para peneliti mengikuti protokol perizinan standar yang telah disetujui oleh Dewan Penilai Internal pada Fakultas Seni dan Ilmu Universitas Harvard. Wawancara yang dilakukan oleh para ketua tim terhadap informan-informan kunci lebih bersifat informal. Setelah persetujuan diperoleh, para ketua tim mengadakan percakapan, biasanya di dalam meunasah – pusat kegiatan warga yang umumnya digunakan oleh anggota masyarakat pria, namun juga wanita ketika menerima tim peneliti dari luar. Para ketua tim melakukan wawancara terhadap 75 informan kunci, 67 diantaranya pria dan delapan lainnya wanita. Diantara ke 75 informan tersebut terdapat kepala desa, tokoh agama, anggota GAM, tokoh wanita dan pemuda, purnawirawan TNI, dan tetua desa. Catatan lapangan untuk tiap wawancara dibuat setiap hari oleh para ketua tim. Topik yang dibicarakan meliputi sejarah konflik, pemahaman penduduk setempat mengenai penyakit jiwa, cerita penyakit jiwa di dalam masyarakat mereka yang berkaitan dengan konflik, sumber daya serta prioritas lokal dalam penanganan penyakit jiwa, dan pendapat mengenai proses perdamaian. Disamping wawancara yang dilakukan oleh para ketua tim tersebut, wawancara informan kunci tambahan dilakukan oleh tim dari Harvard dan USK, koordinator IOM dan asisten teknis IOM. Koordinator IOM mewawancarai dokter, perawat, dan/atau bidan dari puskesmas terdekat dimana para tim peneliti sedang berkunjung dan juga pengobat tradisional. Tim dari Harvard dan USK menyelenggarakan diskusi kelompok di beberapa kelompok masyarakat, khususnya dengan para wanita, dan bersamasama dengan koordinator IOM melaksanakan diskusi focus group dengan sebuah kelompok pria yang heterogen yang berasal dari GAM termasuk pimpinan, mantan kombatan, mantan tahanan politik, dan warga sipil.
12
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Demografi Responden Responden Kuesioner Tim mewawancarai 596 orang dewasa berusia 17 tahun ke atas yang terpilih sebagai responden survei PNA. Para responden cukup tersebar berdasarkan umur, jenis kelamin, status perkawinan dan pendidikan, sehingga memvalidasi nilai pemilihan acak para anggota keluarga. Hanya sedikit pihak yang menolak untuk diwawancara.
Tabel 1.1 Demografi Peserta Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin, Tempat Tinggal, Usia
Jenis Kelamin Pria Wanita Kabupaten Pidie Bireuen Aceh Utara Usia 17-29 30-40 41-53 54-82
% Total Sampel (N=596) 53 47 40 30 30 25 31 24 20
Tabel 1.2 Demografi Peserta Penelitian Berdasarkan Status Pernikahan, Pendidikan dan Rumah
% Pria (N=315) Status Pernikahan Belum menikah Sudah Menikah Cerai atau terpisah Janda/ duda Pendidikan Tidak pernah sekolah Pendidikan dasar (SD) SMP SMA D1/ D2/ D3/ akademi Pendidikan universita Tempat tinggal Tinggal di rumah sendiri Tinggal dengan teman atau saudara Tinggal di rumah yang ditelantarkan atau rusak milik orang lain Menyewa rumah Tinggal di barak atau tenda
20 77 2 2
% Wanita (N=281)
% Total Sampel (N=596)
6 48 23 20 2 2
12 70 3 16 11 48 21 13 5 2
16 74 2 9
8 4 8 4 2 2
8 7 3 2 5 3
8 5 6 3 3 2
9 48 22 17 3 2
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
13
Tabel 1.1 dan 1.2 menggambarkan ciri khas demografi para responden. Mayoritas dari responden sudah menikah, berpendidikan setidaknya sekolah dasar, dan memiliki rumah sendiri yang ditempati. Hanya sedikit komunitas yang diteliti rusak akibat tsunami, dan karenanya hanya dua persen responden yang tinggal di barak yang disediakan untuk korban tsunami. Lebih dari setengah responden adalah pria (53%). Distribusi sampel berdasarkan umur dan jenis kelamin mengindikasikan keberhasilan pemilihan rumah secara acak. Ditemukan 25% responden berada di kelompok umur 17-79 tahun, 31% di kelompok umur 3040 tahun, 24% di kelompok umur 41-53 tahun, dan 20% di kelompok umur 54-82 tahun. Empatpuluh persen sampel (n=237) berasal dari kabupaten Pidie dan masing-masing sebanyak 30% berasal dari kabupaten Bireuen (n=179) dan Aceh Utara (n=180). Ketiga tim peneliti menghabiskan tujuh hingga sepuluh hari di lapangan mengumpulkan data. Analisa kuantitatif berikut ini disajikan berdasarkan dua variabel independen yang signifikan yakni jenis kelamin dan wilayah tempat tinggal. Variabel wilayah tempat tinggal yakni kabupaten dinilai sangat penting dalam memahami variabilitas regional peristiwa konflik traumatik. Responden dari kabupaten Pidie secara konsisten melaporkan mengalami peristiwa konflik, trauma pribadi serta distres psikologis pada tingkat lebih rendah; sedangkan responden darei kabupaten Bireuen dan Aceh Utara melaporkan pengalaman yang lebih tinggi berkaitan dengan konflik, trauma dan distres psikologis, walau jenisjenis trauma sedikit berbeda. Perbedaan antar kabupaten tersebut konsisten dalam sebagian besar aspek yang diteliti, namun perbedaan-perbedaan tersebut terlihat lebih nyata ketika permasalahan keamanan hidup yang ditanyakan. Ditemukannya perbedaan berdasarkan kabupaten tersebut cukup mengejutkan, mengingat kesan yang diperoleh oleh sebagian berar pengamat konflik selama ini bahwa kabupaten-kabupaten yang terletak di timur laut Aceh merupakan suatu kesatuan daerah yang berkesinambungan dengan satu sejarah dan pengalaman yang sama selama konflik, dibanding dengan daerah-daerah lainnya di Aceh seperti kabupaten-kabupaten di dataran tinggi tengah atau pesisir pantai barat daya. Penyelidikan terhadap faktor-faktor lainnya seperti tingkat kepemimpinan setempat di dalam GAM dan TNI selama konflik disamping perekonomian lokal juga dapat membantu memahami perbedaan-perbedaan tersebut. Analisa berdasarkan gender mengindikasikan perbedaan yang cukup signifikan dalam pengalaman kekerasan dan peristiwa traumatik yang dialami pria dan wanita, disamping perbedaan-perbedaan tingkat depresi berdasarkan gender. Dalam beberapa aspek analisa juga disajikan menurut usia, tidak hanya karena usia memprediksi risiko beberapa bentuk penyakit jiwa, tetapi juga karena usia dan gender secara bersama-sama terkait dengan pengalaman peristiwa traumatik tertentu sebagai bagian dari konflik.
Informan-informan Kunci Tabel 1.3 dan 1.4 menunjukkan profil dari informan kunci yang diwawancarai oleh ketua tim peneliti di masing-masing kabupaten. Para ketua tim umumnya mewawancarai dua atau tiga tokoh masyarakat di masing-masing desa yang mereka kunjungi. Distribusi usia bersifat representatif, mengingat pemimpin umumnya muncul setidaknya setelah berumur tiga puluh tahun. Kesenjangan jenis kelamin dari informan kunci merupakan suatu kenyataan yang disayangkan yang merefleksikan tantangan yang dihadapi pewawancara pria dalam menemukan wanita pada suatu percakapan yang bersifat pribadi di dalam masyarakat Islam di pedesaan. Para ketua tim umumnya mewawancarai kepala desa, karena tata tertib bagi pendatang mengharuskan mereka melapor kepada kepala desa. Setelah bertemu dengan kepala desa, para ketua tim minta bertemu dengan para tokoh formal dan informal di desa tersebut yang dapat menceritakan pengalaman yang dialami masyarakat selama konflik dan dapat berbicara mengenai permasalahan yang menyangkut kesehatan mental dan psikososial. Para tetua desa, tokoh agama dan sekretaris desa merupakan informan kunci yang paling sering diwawancarai setelah kepala desa, disamping para tokoh wanita serta anggota GAM.
14
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Tabel 1.3 Demografi Informan Kunci Berdasarkan Gender, Tempat Tinggal, Usia
% Total Sampel (N=75) Jenis kelamin Pria Wanita Kabupaten Pidie Bireuen Aceh Utara Usia 17-29 30-40 41-53 54-82
89 11 43 32 25
7 27 31 35
Tabel 1.4 Demografi Informan Kunci Berdasarkan Status Pernikahan, Pendidikan dan Jabatan Dalam Masyarakat
% Pria (N=67) Status Pernikahan Tidak pernah menikah Sudah menikah Cerai atau terpisah Janda/ duda Pendidikan Tidak sekolah Pendidikan dasar (SD) SMP SMA Diploma (D1) Universitas Jabatan dalam Masyarakat Kepala desa Tokoh agama Sekretaris desa Anggota GAM Tetua desa Tokoh wanita Tokoh pemuda Tokoh masyarakat lainnya Perwira TNI (purnawirawan)
6 92.5 0 1.5 0 26 26 36 9 3
% Wanita (N=8)
12.5 62.5 0 25 0 12.5 37.5 12.5 25 12.5
% Total Sampel (N=75)
7 89 0 4
32 13 12 7 16 7 3 9 1
0 24 27 34 11 4
15
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
peristiwa Traumatik Peristiwa Traumatik Selama Konflik Temuan pertama dan yang paling berkesan dalam survei ini adalah para warga di ketiga kabupaten yang diteliti mengalami peristiwa traumatik dengan tingkat yang cukup tinggi. Beberapa contoh mengilustrasikan efek besar yang diciptakan oleh konflik terhadap penduduk sipil di daerah ini antara lain: 78% sampel melaporkan telah mengalami pengalaman perang. 38% melarikan diri dari rumah yang terbakar di komunitas mereka, dan 47% melarikan diri dari situasi bahaya. Delapan persen wanita mengalami suami yang terbunuh dalam konflik, dan 5% dari seluruh responden memiliki anak yang tewas di dalam konflik. Empat puluh satu persen sampel mempunyai anggota keluarga atau teman yang terbunuh, dan 33% melaporkan memiliki anggota keluarga atau teman yang diculik atau hilang. Empat puluh lima persen responden melaporkan harta kekayaan mereka disita atau dimusnahkan, sedangkan 33% mengalami pemerasan atau perampasan. Banyak responden mengalami pelecehan atau serangan terhadap hak-hak asasi kemanusiaan mereka. 17% responden dilecehkan di depan umum, 8% dipaksa untuk melecehkan orang lain, 7% dipaksa untuk mengkhianati keluarga atau teman, serta 6% dipaksa untuk menyakiti dan menciderai anggota keluarga. Sebagian lainnya dipaksa untuk berperang (22%) mengurus kombatan (27%), dan dipaksa untuk mencari anggota komunitas mereka di hutan (35%). Pengalaman pelecehan tersebut lebih sering dialami oleh pria dibanding wanita, kecuali untuk hal dipaksa memberi makan atau tempat tinggal. Kabupaten Pidie adalah daerah yang memiliki persentase terkecil untuk semua praktek-praktek tersebut. Tabel 2 pada empat halaman di bawah ini digambarkan perbedaan tingkat pengalaman traumatik di masa lalu yang terkait dengan konflik, yang dirinci menurut gender dan daerah. Tabel 2 Peristiwa Trauma Masa Lalu yang Dialami, berdasarkan Gender dan Kabupaten % Pria (N=315) Mengalami perang (pemboman, kontak senjata) Terpaksa melarikan diri dari rumah yang terbakar Terpaksa melarikan diri dari bahaya Terpaksa bersembunyi
83
Pemukulan badan Diserang dengan pisau atau senjata api Disiksa Luka fisik serious akibat perang Menyaksikan hukuman fisik Dilecehkan atau dipermalukan di depan umum
Perkosaan Dipaksa untuk memperkosa anggota keluarga Serangan seksual lainnya Pasangan terbunuh Pasangan hilang, diculik Anak terbunuh Anak hilang, diculik Anggota keluarga atau teman terbunuh
% Wanita (N=281) 73
56 36 25 19 61 22
1 1
3
43 52 20
2 2 5 2 49
% Pidie (N=237)
% Bireuen % Aceh Utara % Total Sampel (N=237) (N=237) (N=596) 78
40 24
53 35 25 17 62 25
39 26 18 13 54 17
1 0
2 1
5
6
85
42 12
66 30 42 4
20 14 11 6 45 11
20 14 7 6 37 4
1 0
4
33
8 3 5 4 31
87
61 25
49 32 25 17 68 26
0 0
0
3 1 4 1 21
59
3 5 4 1 66
28
8 3 9 7 40
38 47 16
1 0.2 3 5 3 5 3 41
16
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Anggota keluarga atau teman hilang Diculik Ditangkap, ditahan oleh TNI/POLRI atau GAM Dipenjara Dipisah secara paksa dari keluarga Isolasi paksa
36 8 19
30 2 5
12 1 4
52 5 14
42 12 22
33 5 12
4 11 10
2 7 4
1 1 1
3 14 12
5 15 11
3 9 7
Penyitaan, pemusnahan harta benda Pemerasan, perampasan Kerja paksa Dipaksa memberi makan, perumahan kepada TNI atau GAM Dipaksa melawan TNI atau GAM Dihukum karena tidak melawan TNI atau GAM Dipaksa mencari jenazah Tidak diizinkan mengubur secara Islam
40 28 11 25
25 16 21 13
45 33 29 27
49 36 44 29
57 44 40 41
59 44 29 33
28 17
16 5
11 1
28 14
33 23
22 11
15 7
8 4
5 1
16 13
17 4
12 5
Dipaksa melukai anggota keluarga Dipaksa melukai bukan anggota keluarga Dipaksa memusnahkan harta orang lain Dipaksa mengkhianati /membahayakan anggota keluarga Dipaksa mengkhianati /membahayakan bukan anggota keluarga Seseorang dipaksa untuk mengkhianati /membahayakan Anda Dipaksa melecehkan orang lain Dipaksa mencari anggota keluarga di hutan
10 11 6 10
2 2 1 3
2 1 1 1
14 15 7 17
3 6 2 4
6 7 3 7
10
4
1
17 16
4
7
11
11 46
5 24
2 18
Tidak memiliki tempat tinggal akibat konflik Kekurangan makanan, minuman akibat konflik Sakit, tidak ada akses terhadap pelayanan kesehatan
22 86
25 77
14 71
34 96
8 39 26 83
8 35 24 82
64
55
33
82
73
60
3
2
16 55
5
7
Tabel di atas memberikan bukti nyata mengenai besarnya penderitaan dan teror yang dialami masyarakat. Dari kisah yang diceritakan dalam menjawab pertanyaan terbuka pada waktu survei maupun wawancara informan kunci, ditemukan bukti bahwa kualitas emosional dan testimonial yang dialami masyarakat tidak dapat terukur oleh angka. Dari data kualitatif terungkap fakta bahwa banyak pria maupun wanita yang diinterogasi secara brutal, diintimidasi, dipaksa memberikan informasi yang tidak mereka ketahui, serta dipukul (atau hal lain yang lebih buruk) kalau tidak menjawab. Beberapa contoh lain yang dialami adalah pencekikan dengan kantong plastik, pelecehan seksual di depan umum, penenggelaman di dalam septik tank dan saluran air kotor, serta dipaksa untuk melukai atau melecehkan teman dan orang-orang yang dicintai. Para wanita menceritakan bahwa mereka dipaksa melihat bersama anak-anak mereka sewaktu suami dan anak lelaki mereka dimutilasi dan dibunuh. Cerita mengenai kerja paksa atau dipaksa untuk menjadi pelindung seseorang adalah lazim terjadi. Disamping itu, banyak komunitas melaporkan sekolah dan bangunan umum ditempat tinggal mereka dibakar atau dihancurkan, atau telah diperas untuk uang. Kesemua ini menjadikan mereka kehilangan sumber daya komunitas. Semua pejabat komunitas dipaksa untuk memberikan informasi dan bertanggung jawab atas tindakan penduduk desa kepada kedua belah pihak, menciptakan perasaan terjebak di tengah-tengah dan keengganan untuk memimpin. (Lihat “Pengalaman Tokoh Masyarakat”)
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
17
Trauma Gender Penganiayaan Fisik Terhadap Pria, Termasuk Luka Kepala “Ada orang yang dipukul sampai hilang ingatan” – orang dituakan di Bireuen Beberapa bentuk trauma jelas berkaitan dengan gender. Walau kekerasan fisik telah dialami secara luas baik oleh pria maupun wanita di segala usia, namun pria melaporkan kekerasan fisik yang dialami lebih banyak daripada wanita 56% pria melaporkan telah dipukuli (20%), 36% pria telah diserang dengan senjata api atau pisau (14% wanita), 25% pria telah disiksa (11% wanita), 19% pria telah ditangkap (5% wanita), dan 65% pria (45% wanita) telah dipaksa menyaksikan kekerasan fisik terhadap orang lain. Perbedaan berdasarkan daerah bersifat konsisten dengan angka-angka tersebut. Satu set pertanyaan spesifik, yang diambil dari Kuesioner Trauma Harvard dan yang disajikan dalam Tabel 3.1 di bawah, mengindikasikan bahwa pada umumnya pria menderita trauma di kepala yang dapat menyebabkan luka di otak atau anoxia (cidera akibat kurangnya oksigen). 36% pria melaporkan telah dipuli di bagian kepala, 19% telah mengalami pencekikan, 7% ditenggelamkan, serta 8% mengalami bentuk trauma kepala lainnya. Ketika diuraikan berdasarkan gender dan usia, ditemukan 48% pria berusia 17 dan 29 telah dipukuli di kepala.
Tabel 3.1 Trauma Kepala / Cidera Otak Potensial Berdasarkan Jenis Kelamin dan Daerah % Pria (N=315) Dipukuli di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma kepala lainnya
36 19 7 9
% Wanita (N=281)
7 7 0.4 2
% Pidie (N=228)
8 7 2 0.5
% Bireuen % Aceh Utara % Total Sampel (N=180) (N=179) (N=596) 29 18 6 9
35 17 5 10
22 13 4 6
Seratus dua puluh empat responden yang diwawancara (103 pria dan 21 wanita) memberikan penjelasan kualitatif mengenai jenis luka kepala yang dialami, konteks dari peristiwa trauma fisik, perubahan perilaku yang terjadi serta kesehatan fisik setelah luka tersebut. Sebagian kecil responden mengalami luka kepala ketika ditahan dan dimintai keterangan, sedangkan sebagian besar lainnya mengalami luka kepala di tempat-tempat umum di tengah masyarakat seperti di rumah, di sawah, di taman, di warung kopi, serta khususnya ketika pergi dan pulang dari pasar. Alasan pemukulan seringkali adalah karena warga dituduh berbohong atau “salah menjawab” ketika diinterogasi. Sebagian besar responden melaporkan telah dipukul di kepala dengan bagian belakang senjata api atau kayu berat, namun luka kepala juga diakibatkan karena diinjak, disetrum, ditenggelamkan di sumur atau septik tank, diseret di jalanan, ditutup dengan plastik, atau dipukul di mata atau telinga. Banyak responden memperlihatkan kepada pewawancara bekas-bekas luka mereka, termasuk luka di leher dan tulang. Ada yang melaporkan hilang ingatan, kebingungan, kesulitan dalam berfikir, napas yang tersengal-sengal, rasa sakit serta sakit kepala yang berkepanjangan. Hanya sebagian kecil responden (signifikan) menyatakam bahwa gejala-gejala tersebut terjadi hanya beberapa minggu dan kemudian sembuh dengan sendirinya. Data ini menyimpulkan bahwa pemeriksaan neuropsikiatri klinis adalah sangat dibutuhkan guna menetapkan tingkat efek neurokognitif dari trauma organik spesifik yang diderita penduduk. Sebuah kasus klinis berikut ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan klinis tersebut. Di awal bulan Desember 2005, staff medis IOM menyelidiki kasus seorang mantan tahanan, seorang klien ICRS yang baru saja dimasukkan lagi ke penjara karena – menurut keterangan keluarga – adalah orang gila. Lainnya mengatakan ia seorang kriminal, tertangkap basah mencuri dari tetangga di desanya dimana ia baru saja pulang. Setelah beberapa kali kunjungan ke penjara, staf medis IOM menemukan kisah ini berubah menjadi sebuah cerita yang lebih kompleks. Di penjara, pria muda tersebut tidak psikotik, namun ekpsresinya menerawang, tubuhnya tidak terawat, kulitnya penuh panu, serta sulit melakukan kontak mata dengan dokter yang memeriksanya. Ia mengaku telah mencuri sebuah sepeda motor dan karenanya ditangkap. Di desa tersebut, keluarga dan tetangganya mengatakan bahwa sejak diberi amnesti, ia memperlihatkan perilaku yang aneh yang meresahkan masyarakat. Ia mengambil barang-barang dan meletakkan di tempat lain; benda-benda kecil seperti kelapa dan ayam, dan benda-benda besar seperti sapi dan sepeda motor. Ia tidak pernah merahasiakan tindakannya, dan biasa tertangkap setiap kali melakukannya.
18
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Ketika seseorang datang untuk menyampaikan berita bahwa ibunya telah meninggal di kabupaten lain di Aceh, ia memanjat sebuah pohon kelapa. Ketika dimarahi karena memanjat dan bukannya langsung berkemas untuk berpergian, ia bertanya kepada pembawa berita apakah ia juga akan membayar ongkos bus. Di malam hari, ia melepas kaosnya, menaruhnya di pundak, mengenakan tas ransel yang diberikan kepadanya saat dilepas dari penjara, dan berjalan-jalan di desa, bolak-balik, biasanya di belakang rumah penduduk, tanpa ada tujuan. Masyarakat menyadari bahwa ia telah berubah secara signifikan ketika di penjara. Sebelum penangkapan, ia merupakan orang yang pendiam namun termasuk anggota masyarakat desa yang berfungsi dengan baik. Sekarang, kata para tetangganya, ia menderita stres yang terjadi ketika di penjara dimana ia dipukuli secara parah setidaknya sekali waktu yang berakibat membengkaknya kepala. Para penduduk berusaha mengerti dan mentolerir perilakunya yang aneh dan mengesalkan tersebut, namun ketika salah satu penduduk desa menemukan sepeda motornya yang “dicuri” di belakang rumah tetangganya yang lain, kesabaran masyarakat habis dan kepala desa memintanya untuk ditahan. Dalam bagian lain laporan ini (Tabel 9.4 – 9.7), dijelaskan secara lebih rinci kalangan yang memiliki risiko khusus mengalami luka kepala yang dapat mengarah pada konsekuensi kesehatan mental jangka panjang, dan bagaimana trauma di kepala terkait dengan depresi dan PTSD.
Kekerasan Seksual Peristiwa serangan seksual dan pemerkosaan, jarang dikemukakan oleh wanita maupun pria dan datanya dapat dilihat dalam Tabel 3.2. Ini mungkin karena adanya rasa malu dan stigma serta karena sebagian besar responden wanita diwawancarai oleh pria. Di lain sisi, wanita di desa yang berbicara dengan anggota wanita tim dari Harvard dan USK bercerita bagaimana mereka diinterogasi dengan menggunakan ular disodorkan di depan muka mereka, atau bagaimana taktik agresif kontak tubuh dan ancaman digunakan sebagai bagian dari interogasi oleh para kelompok kombatan. Walau pria melaporkan agresi fisik yang paling parah, para wanita juga tidak luput dari tindakan tersebut. Satu per lima responden wanita melaporkan telah dipukuli tubuhnya, 14% telah diserang dengan menggunakan pisau atau senjata api, 11% pernah disiksa, 6% menderita luka berat akibat perang, 7% mengalami pemukulan di kepala dan 7% mengalami pencekikan. Hanya 1% responden melaporkan pemerkosaan dan 4% menceritakan kekerasan seksual lainnya. Masa paska-konflik juga tidak luput dari terjadinya pelbagai peristiwa agresif dan penuh kekerasan. 24% wanita melaporkan penyerangan (36% pria); 4% wanita dan pria melaporkan kekerasan terhadap wanita; serta 7% wanita dan pria melaporkan kekerasan terhadap anak-anak. Tabel 3.2 Pemerkosaan & Serangan Seksual di Masa Lalu, Kekerasan Gender Saat Kini, & Penghancuran Rumah, Berdasarkan Jenis Kelamin dan Daerah % Pria (N=315) Pemerkosaan Berkaitan Dengan Masa Konflik Serangan Seksual & Pemerkosaan Keluarga Secara Paksa pada Masa Konflik Penyerangan Yang Terjadi Saat Kini Kekerasan Terhadap Wanita Saat Kini Kekerasan Terhadap Anak Saat Kini Pulang dan Menemukan Rumah Hancur Saat Kini Penghancuran/ Penyitaan Harta Pada Masa Konflik * (tidak hanya rumah)
1 4 36 4 7 24 49
% Wanita (N=281)
1
0 24 4 7 17 40
% Pidie (N=228)
0
0 24 2 4 9 25
% Bireuen % Aceh Utara % Total Sampel (N=180) (N=179) (N=596) 1
2
5 28 8 9 22
7
3.2 30
57
59
42 5 9 36
1
4 7 21 45
Di sebuah desa dengan konflik tinggi dan kekacauan perang telah menimbulkan situasi porak-poranda, para wanita sangat mengeluhkan penyerangan tidak hanya terhadap tubuh mereka namun juga terhadap rumah mereka. Wanita muda maupun tua menceritakan bagaimana suatu hari dua tahun yang lalu mereka dipaksa meninggalkan rumah mereka dan dikirim ke sebuah kantor pemerintah kabupaten. Sewaktu kembali, mereka menemukan rumah mereka hancur, atap seng penuh dengan lubang, perabotan rumah tangga dan harta pribadi mereka porak-poranda dan hancur atau dicuri – “tidak ada satu piringpun yang utuh, tidak satu piringpun,” jerit seorang wanita usia awal 40-an ketika menceritakan dengan kesal peristiwa yang telah membawa trauma kepada banyak wanita di desa tersebut. Seorang wanita lain berusia 65 tahun, yang pernah suatu saat
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
19
memiliki uang yang cukup untuk naik Haji ke Mekkah, bertutur “kami dipaksa untuk pergi hanya dengan baju yang kami pakai; ketika kami pulang hanya itulah yang kami miliki, hanya baju yang kami pakai. Semua yang ada di rumah hilang atau hancur.” Seorang lainnya bercerita bagaimana sekelompok tentara masuk ke rumahnya untuk berteduh dan menghukum para wanita. “Selama tiga malam mereka takut mendengar setan” – “mereka menembakkan senapan ke atas rumah saya dan menghancurkannya, mereka menembak lubang-lubang di atap, sekarang bocor dan berkeping-keping, runtuh; mereka menembaki dinding, atau roboh ke dalam.” “Mereka menghancurkan semua barang saya, piring-piring dan barang-barang saya. Tidak ada yang tidak disentuh.” Orang-orang muda tersebut menembaki bayang-bayang di malam hari, yakin mereka mendengar suara kombatan di hutan sekitarnya. Dalam sebuah diskusi focus group dengan para pimpinan GAM pria serta para anak buahnya, para pria menceritakan bahwa keluarga, isteri dan anak-anak mereka, mengalami trauma akibat konflik. Para wanita diinterogasi dan dikasari, barangbarangnya dicuri, atau uangnya dirampas. Wanita pada umumnya merupakan pemilik rumah keluarga di daerah Aceh, dan mereka mengelola sebagian besar kegiatan di sawah dan pasar. Penghancuran rumah tersebut mirip dengan sebuah pemerkosaan yang meninggalkan noda, “pemerkosaan” rumah para wanita, yang menimbulkan kemarahan yang intens yang tidak terbungkam atau terkena stigma, kemarahan dan frustasi karena ketidakadilan.
Perbedaan Berdasarkan Kabupaten Masing-masing tabel di atas menggambarkan perbedaan berdasarkan kabupaten yang tidak disangka namun bersifat konsisten. Walau tingkat trauma penduduk tinggi di ketiga kabupaten yang diteliti, namun tidak tersebar merata. Secara jelas, komunitas di Bireuen dan Aceh Utara memiliki tingkat yang secara signifikan lebih tinggi dari segi kekerasan fisik terhadap penduduk sipil, bangunan yang dibakar, dan berbagai macam teror terhadap penduduk desa. Sebagaimana disebutkan dalam Tabel 2, sedikit responden di desa-desa di Pidie yang melaporkan memiliki anggota keluarga atau teman yang tewas dalam konflik, dibanding dengan 65% di Bireuen dan 42% di Aceh Utara. 22% melaporkan telah dipukuli secara fisik di Pidie, 47% di Bireuen dan 55% di Aceh Utara. Dengan menggunakan data ini dapat diidentifikasi kabupaten dengan tingkat pengalaman trauma yang paling tinggi yang berkaitan dengan konflik, disamping perbedaan intensitas gejala psikiatri yang terkait dan “caseness”, serta untuk bertanya: “Apa yang diperlukan oleh daerah-daerah tertentu untuk melakukan perbaikan?” Perbedaan yang konsisten berdasarkan kabupaten merupakan hasil yang tidak disangka dan mengejutkan yang diperoleh dari data. Sebagaimana disebutkan pada Latar Belakang, ketiga kabupaten yang secara geografis saling bertetangga dipandang sebagai sebuah jalur historis satu konflik, khususnya jika dibandingkan dengan daerah-daerah konflik tinggi lainnya di Aceh yang memiliki dinamika historis dan kependudukan yang berbeda, seperti di dataran tinggi tengah dan barat daya. Para pimpinan dan anggota GAM pada awalnya berasal dari daerah yang padat dan subur ini, sejak akhir tahun 1970an ketika kegiatan pemberontakan GAM pertama kali mulai. Banyak bukti yang mendukung kenapa Pidie memiliki tingkat pengalaman dan distres psikologis yang lebih tinggi, mengingat banyaknya kecamatan di Pidie yang terkenal sebagai ajang konflik (termasuk kecamatan Tiro, dimana Hasan Di Tiro, pimpinan GAM, lahir). Pidie juga memiliki bukit janda dan rumoh geudong, sebuah rumah yang diubah menjadi fasilitas penahanan. Semua tempat tersebut memiliki peran yang besar dalam ingatan kolektif warga Aceh atas peristiwa konflik, yang merupakan bagian dari kejanggalan adanya perbedaan regional yang sistematis di dalam data. Konsultasi di kemudian hari dengan para peneliti dan akademisi yang memiliki pengetahuan mendalam tentang konflik di Aceh, akan memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai sumber perbedaan antara kabupaten tersebut. Namun, daripada berspekulasi mengenai sumber perbedaan yang ada, sebuah kesimpulan fundamental dari penelitian ini dapat ditegakkan yakni dilaksanakannya penelitian kebutuhan yang sistematis ini adalah penting dalam rangka mengidentifikasi pengembangan serta prioritas layanan kesehatan di Aceh.
Evakuasi Paksa dan Bentuk Pengungsian Lainnya Tiga puluh delapan persen responden mengatakan bahwa mereka terpaksa melarikan diri dari rumah yang terbakar dan hampir setengah jumlah sampel (47%) berkata bahwa mereka harus lari dari situasi bahaya pada suatu saat selama masa konflik. Data kualitatif mendukung angka-angka tersebut. Konflik di Aceh telah menyebabkan berbagai macam bentuk pengungsian penduduk, dan ini merupakan suatu permasalahan yang sangat relevan bagi mandat utama IOM untuk memenuhi kebutuhan penduduk sebelum, selama, dan sesudah pengungsian mereka. Warga transmigran dari daerah lain di Indonesia yang hidup
20
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
di Aceh selama bertahun-tahun sebelum konflik telah kembali ke pulau asal mereka; sebagian transmigran lainnya berlindung di daerah Sumatera Utara. Lebih lanjut, banyak pula warga Aceh pergi ke daerah lain di Indonesia untuk menyelamatkan diri, dan ada pula yang melintasi perbatasan pergi ke Malaysia, Eropa atau Amerika Serikat. Para responden umumnya melaporkan pengungsian yang bersifat lokal dan sementara, biasanya di dalam kabupatennya sendiri, dan seringkali dalam kecamatan yang sama. Kisah pengungsian internal selama konflik yang berlangsung di ketiga kabupaten ini umumnya dimulai dengan datangnya sekelompok bersenjata (dari kedua belah pihak) di desa diikuti dengan memberi peringatan kepada penduduk mengenai akan adanya kegiatan perang disertai dengan instruksi implisit untuk pergi, atau perintah yang lebih memaksa untuk pergi dari desa. Penduduk desa diberi tahu bahwa kelompok bersenjata tersebut tidak akan bertanggung jawab atas keselamatan mereka yang tinggal di desa. Evakuasi biasanya suatu peristiwa kolektif, seluruh masyarakat desa meninggalkan rumah mereka, dan pergi ke sebuah fasilitas pemerintah di tingkat kecamatan atau kabupaten. Para komunitas desa terkadang mengungsi hanya untuk beberapa minggu, dan pulang hanya setelah diizinkan, namun kemudian menemukan rumah dan sumber mata pencaharian mereka seperti hewan ternak, sawah, taman, perkebunan, dan peralatan rumah tangga hangus atau dijarah habis. “Kami harus memulai dari nol,” merupakan ungkapan sederhana namun akurat yang berulang kali diucapkan penduduk sewaktu melakukan penelitian ini. Banyak komunitas pengungsi memilih untuk tidak kembali ke kampung halaman mereka hingga konflik bertakhir, ada pula diantara mereka yang tinggal di barak selama 18 bulan atau lebih. Pada saat ini banyak komunitas pengungsi memutuskan untuk pulang setelah penandatanganan perjanjian perdamaian, namun mereka harus “memulai dari nol”, suatu kenyataan yang menampilkan adanya perasaan kerentanan. Para penduduk yang kembali kekampung halamannya memiliki berbagai kebutuhan tertentu dalam membangun kembali kehidupan mereka yang hancur, yang perlu diperhatikan selama masa pembangunan perdamaian dan pekerjaan reintegrasi di Aceh.
Peristiwa-peristiwa Yang Dialami Selama Tsunami Secara umum, dampak tsunami semakin berkurang ke arah timur di sepanjang pantai mulai dari Banda Aceh ke Medan. Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bahwa dengan bergerak ke arah timur dari Pidie, ke Bireuen, dan kemudian ke Aceh Utara, jumlah responden yang menceritakan dampak dari tsunami dalam kehidupan mereka semakin berkurang. Seratus satu responden dari Pidie menjawab pertanyaan terbuka (open-ended) tentang pengalaman mereka selama tsunami, 59 responden dari Bireuen, dan 43 responden dari Aceh Utara. Sebagian besar responden mengeluh hilangnya orang yang mereka cintai, khususnya yang bertempat tinggal di Banda Aceh. Sebagian lainnya menceritakan luka fisik dan kerugian material termasuk rumah dan sumber mata pencaharian (seperti tambak udang). Lainnya menceritakan gejala-gejala trauma umum yang dialami mereka setelah luput dari bencana seperti: • • • • • • •
“Sedih, dan sering mengelamun ” “Saya merasa resah dan hilang nafsu makan jika ingat apa yang terjadi.” “Saya kira waktu itu sudah kiamat.” “Pusing karena rasa takut, fikiran was-was” “Jangan tanyakan lagi tentang itu, saya akan pingsan.” “Masih belum bisa tidur di malam hari.” “Saya merasa panik dan takut hal itu akan terjadi lagi.”
Rasa Ketidakpastian Kehidupan Sehari-hari Paska-Konflik Respons terhadap peristiwa yang menimbulkan stres atau traumatik mencerminkan adanya rasa ketidakpastian dalam kehidupan sehari-hari yang dialami oleh banyak warga. Tabel 4 menampilkan data tentang respons tersebut yang dirinci menurut gender dan kabupaten. Sebagian besar responden mengemukakan kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga (85%), sulit mencari pekerjaan (90%), atau memulai kembali mata pencaharian mereka sehari-hari (71%). Tujuh puluh dua persen melaporkan kekhawatiran mengenai kecukupan makanan, dan 59% melaporkan kekhawatiran mendapatkan pemukiman yang layak. Jika dilakukan perbandingan antar kabupaten, tampak responden dari kabupaten Pidie lebih sedikit yang menyebutkan adanya kesulitan. Hanya saja patut dicatat bahwa di daerah yang cukup kaya ini, ditemukan dua per tiga responden pernah berada dalam keadaan lapar dan kekurangan makanan, serta 82% mengeluh mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Temuan dalam bentuk angka ini mendukung wawancara kualitatif, yang menggambarkan adanya kekhawatiran
21
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
yang mendalam mengenai masalah mata pencaharian di ketiga kabupaten, bahkan juga di daerah-daerah yang disebut memiliki tingkat konflik rendah.
Tabel 4 Faktor-faktor Penyebab Stres dan Rasa Ketidakpastian Mengenai Kehidupan Sehari-hari Paska-Konflik Peristiwa Penyebab Stres Saat Ini (Paska Konflik) yang Dialami • Kurangnya tempat tinggal yang layak • Kurangnya fasilitas air dan sanitasi • Kelaparan atau kekurangan makanan • Kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga • Kesulitan memperoleh pekerjaan • Sulit untuk memulai menjalani kehidupan • Pulang ke rumah dan mendapati rumah dalam keadaan rusak • Mengetahui kematian anggota keluarga atau teman • Tidak tahu apa yang terjadi pada anggota keluarga/ teman
% Pria (N=315)
63 79 75 86 92 72 24 48
16
% Wanita (N=281)
% Pidie (N=237)
54 71 69 85 86 70
40 61 66 78 82 56
17
9
43
42
13
% Bireuen % Aceh Utara % Total Sampel (N=180) (N=179) (N=596)
62 78 67 84 92 67
22
36
21
50
45
45
10
20
15
14
54
54
47 3 18
49
46
38
• Ditolak oleh keluarga dan masyarakat
4 21
1 13
3 20
3 23
2 9
24 11 3 7 2 4
42 32 21 25 5 9
• • • • • •
Mengalami penyerangan Mengalami perampokan Pergeseran nilai agama Pergeseran nilai sosial Kekerasan terhadap wanita Kekerasan terhadap anak
36 22 12 20 4 7
24 20 11 21 4 7
59 75 72 85 90 71
• Melihat pelaku kejahatan
• Takut untuk tinggal bersama keluarga dan anggota masyarakat
80 92 86 96 97 95
28 23 13 33 8 9
30 21 11 20 4 7
Rasa Ketidakpastian Ekonomi Konflik yang berlangsung hampir dua dekade jelas telah memporak-porandakan ekonomi setempat, menghalangi warga desa untuk pergi ke sawah dan mengolah tanah mereka, membunuh hewan mereka, menghancurkan jaringan perdagangan, dan menghalangi orang-orang muda bekerja. Para wanita di Pidie yang berharap perdamaian akan mendatangkan masa depan yang lebih cerah, secara eksplisit menyatakan bahwa yang mereka butuhkan adalah bantuan dana kecil antara AS$40 hingga AS$100 untuk memulai kembali usaha rumahtangga yang hancur akibat konflik dan pemerasan. Bantuan dana tersebut akan dipergunakan untuk memproduksi emping untuk dijual sebagai makanan kecil di pasar, atau untuk membeli mesin jahit untuk menjahit atau menyulam kain jilbab katun yang dikenakan oleh hampir semua anak sekolah perempuan tingkat SD dan SMP. Duduk di dekat seorang lelaki, “seorang pemeras”, sewaktu menceritakan kepada kami mengenai kebutuhan-kebutuhannya, dengan resah melirik ke saudara muda mereka, berharap mereka juga mendapatkan bantuan dana untuk merantau – suatu masa hidup dimana orang muda meninggalkan desa asal mereka untuk mencari peluang yang lebih baik di daerah lain di nusantara – untuk memenuhi impian mencari harta di Medan sebagai penjual buah, jauh dari nenek, bibi, keponakan, saudara perempuan, dan bahkan dari isteri. Para wanita tampak resah sewaktu mereka berbicara dengan kami, namun mereka tidak berhenti menyampaikan keinginan mereka, dan berpindah dari sisi lelaki muda tersebut, mengabaikan sikapnya yang intimidatif dan sok penting.
22
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Di desa-desa dengan tingkat konflik rendah, dimana anak-anak sering disuruh tetap di rumah pada hari-hari dimana suara tembakan terdengar, wanita tidak hanya kehilangan sepeda motor dan sapi dan mesin jahit karena adanya pemerasan dari kedua belah pihak, tetapi mereka juga dipaksa untuk menemani tentara kembali ke kamp, untuk melindungi tentara yang takut berjalan di kegelapan, menjadi perisai, bahkan ketika mereka dipaksa memberitahukan tempat rahasia saudara pemberontak mereka, suami mereka, anak lelaki mereka, dan saudara jauh mereka. Mereka bercerita bagaimana mereka terjebak di tengahtengah sebuah permainan pria dengan sedikit tawa dan juga dengan takjub karena untuk saat ini semuanya telah berakhir, karena proses perdamaian sekarang sedang berjalan. Mereka tidak ragu untuk secara langsung menjelaskan, namun dengan ketulusan yang memukau, bahwa jalan yang paling penting menuju pemulihan mencakup suatu bentuk bantuan keuangan bagi mereka yang akan memberi manfaat kesehatan mental. ‘Pemulihan’ dalam kondisi seperti ini maupun yang lebih buruk, jelas mensyaratkan agar peristiwa traumatik yang diderita oleh masyarakat dengan perekonomian yang rusak serta sumber daya yang hancur perlu ditangani secara langsung dan segera. Ini dapat dibantu dengan adanya “pil uang” – yang seringkali merupakan bantuan yang paling berharga bagi individu yang memiliki tekad kuat namun telah dianiaya dan dilecehkan.
Keselamatan Hampir setengah sampel (47%) melaporkan “melihat pelaku kejahatan,” yang jelas bermakna karena para responden melihat sendiri pihak-pihak yang melakukan tindakan kriminal atau kekerasan di komunitas mereka selama konflik, bahkan setelah penandatanganan perjanjian perdamaian. Lima puluh empat persen responden di Aceh Utara maupun Bireuen masih melihat orang-orang yang melakukan tersebut, dibanding dengan 38% responden di Pidie. Tidak ditanyakan siapa orang-orang yang terlibat tersebut, sehingga interpretasi menjadi sedikit kabur. Angka tersebut dapat merujuk pada kombatan GAM yang pulang, atau merujuk pada kegiatan pengawasan rutin yang dilakukan oleh apa yang disebut sebagai pasukan “organik” pemerintah, yang mensiratkan bahwa petugas polisi dan tentara tersebut adalah warga Aceh, bukan pasukan dari daerah lain di Indonesia, yang sebagian besar memang telah meninggalkan Aceh sejak penandatanganan perjanjian perdamaian. Tiga pulu persen sampel (36% dari seluruh pria) melaporkan mengalami penyerangan dan 21% melaporkan perampokan. Kedua angka tersebut lebih tinggi di Aceh Utara. Berlangsungnya kekerasan yang berkelanjutan di masyarakat dan terlihatnya bekas pelaku kejahatan, turut memupuk rasa ketidakpastian dan keresahan di desa-desa, bahkan pada masa-masa perdamaian ini.
Pergeseran Nilai Agama dan Nilai Masyarakat Adalah beralasan untuk mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan mengenai perubahan nilai agama dan nilai yang ada di masyarakat bersifat kabur dan hasilnya menciptakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban mengenai penafsirannya. Cukup menakjubkan untuk melihat adanya peningkatan keyakinan bahwa terdapat pergeseran nilai agama semakin ke daerah di timur dari Pidie (3%), ke Bireuen (13%), dan kemudian ke Aceh Utara (21%), namun apa arti semua ini? Perjanjian perdamaian memberikan peluang bagi responden untuk mengunjungi meunasah atau mesjid desa untuk sholat, bahkan sebelum fajar atau setelah matahari terbenam, suatu perubahan yang disambut sangat baik dan positif ditinjau dari ajaran agama. Di lain sisi, masuknya hukum Syariah Islam di Aceh sebelum tsunami dan kemudian pengimplementasian dan penegakannya yang nyata sejak bulan Juli 2005 dapat dilihat sebagai suatu perubahan yang restriktif atau negatif dari nilai-nilai agama yang menghambat mobilitas dan kenyamanan wanita dalam melakukan kegiatan sehari-hari di desa. Pernyataan-pernyataan ini membutuhkan penyelidikan lebih lanjut sebelum dapat diambil kesimpulan. Hal yang sama berlaku pula untuk perubahan nilai masyarakat. Dua puluh persen responden merasa telah terjadi perubahan, namun masih tidak jelas jenis perubahan apa. Beberapa data kualitatif memberikan sedikit masukan (lihat Kesehatan Mental dan Psikososial Masyarakat), namun lebih banyak menciptakan pertanyaan tambahan untuk diselidiki lebih lanjut.
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
23
Depresi, Kecemasan dan Gangguan Stres Traumatik (Traumatic Stress Disorders) Salah satu tujuan utama dilakukannya penelitian kebutuhan psikososial ini adalah untuk menilai tingkat gangguan psikologis, distres emosional, dan kesehatan mental serta masalah neuropsikiatrik pada masyarakat pedesaan yang terkena dampak setelah berakhirnya konflik bersenjata. Seperti yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, para anggota masyarakat tersebut telah mengalami kekerasan yang luar biasa dan tingkat peristiwa traumatik yang sangat tinggi. Dalam bagian ini, kami melaporkan temuan-temuan dari penelitian ini mengenai tingkat distres psikologis. Riset kami menggunakan dua metode umum guna menilai tingkat distres psikologis dan kebutuhan akan layanan kesehatan mental dan psikososial: pertanyaan terbuka (open-ended) yang bersifat kualitatif, yang meminta responden untuk menceritakan masalah-masalah emosional, perilaku dan psikologis yang terpenting yang dihadapi oleh mereka dan para anggota masyarakat; dan ukuran-ukuran psikologis standar yang dirancang untuk mengukur tingkat gejala psikologis dari kelompok yang diseleksi secara ajak dari anggota masyarakat yang sedang diteliti.
Ukuran-ukuran Distres Psikologis dan Gangguan Neuropsikiatrik Pengukuran distres psikologis dimulai dengan sebuah penilaian-diri yang sangat umum: “Selama setahun terakhir ini apakah anda pernah mengalami masalah dengan suasana hati dan cara anda merasakan sesuatu (misalnya, merasa depresi atau sering sedih, cemas, ketakutan, atau tidak dapat mengendalikan kemarahan anda)?” “Jika ya, seberapa serius masalah tersebut?” (diukur berdasarkan sebuah skala 1-4, dari ‘tidak serius’ hingga ‘sangat serius’). ”Jika ya, apakah menurut anda masalah ini disebabkan oleh stres atau trauma yang berhubungan dengan konflik?” Pertanyaan umum tersebut diikuti dengan meminta responden menceritakan gejala atau masalah psikologis yang dialami di minggu terakhir, dengan menggunakan sebuah Daftar Gejala Hopkins untuk Depresi dan Kecemasan (HSCL) versi 25-butir. Lima belas gejala yang terkait dengan depresi dan 10 gejala yang terkait dengan kecemasan ditanyakan, dan para responden diminta untuk menjelaskan apakah mereka ‘sama sekali tidak’, ‘sedikit,’ ‘terkadang,’ atau ‘sering’ mengalaminya selama minggu terakhir. Skala ini dimasukkan ke dalam Kuesioner Trauma Harvard yang telah secara luas digunakan dalam penelitian distres emosional pada masyarakat korban bencana dan trauma (refs). Selain itu, kepada responden dimintakan untuk menceritakan (dengan menggunakan format yang sama) apakah mereka telah mengalami gejala atau masalah yang dicantumkan dalam ke-empatpuluh-dua butir pada Kuesioner Trauma Harvard (HTQ), yang dikembangkan oleh Mollica dan tim-nya untuk digunakan di daerah-daerah konflik. HTQ merupakan ukuran luas dari gejala-gejala yang terkait dengan trauma, yang meliputi 16 butir inti untuk mengukur Gangguan Stres Paska-Traumatik (Post Traumatic Stres Disorder - PTSD). Juga telah disertakan cara-cara yang umum digunakan di Indonesia untuk mengekspresikan distres psikologis, khususnya di Aceh, di dalam pertanyaan-pertanyaan. Butir-butir pertanyaan di dalam HSCL dan HTQ telah diterjemahkan dengan menggunakan istilah bahasa Indonesia yang umum – seperti bingung, melamun, dan pusing. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk mengidentifikasi wacana populer mengenai pengalaman paska-tsunami dan paska-konflik yang mengganggu, dimasukkan ke dalam pengukuran-pengukuran kuantitatif guna mendapatkan cerita mengenai pengalaman mimpi buruk, hantu, arwah, dan mendengar suara-suara dari orang yang telah meninggal.
24
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Sebuah pengukuran yang terdiri dari empat butir pertanyaan telah diambil dari Kuesioner Trauma Harvard guna menilai adanya dan tingkat keparahan peristiwa-peristiwa yang kemungkinan telah menyebabkan kepala trauma atau cidera otak, termasuk pemukulan pada bagian kepala, pencekikan, penenggelaman, dan cidera fisik lainnya.
Analisa Gejala Psikologis dan Diagnosa Psikiatrik Distres psikologis dapat dikonseptualisasikan dengan dua cara: sebagai sebuah ‘variabel yang berkesinambungan,’ yakni sebagai suatu tingkatan distres atau gejala, seperti depresi atau kecemasan, yang berkisar dari tingkat yang sangat rendah hingga sangat tinggi; dan sebagai sebuah ‘variabel dikotomi,’ yakni sebagai tinggi atau rendah, sebagai suatu ‘kasus’ atau tidak (misalnya, sebagai berupa depresi atau kecemasan, atau sebagai suatu kasus yang membutuhkan perawatan), atau sebagai seseorang yang memenuhi kriteria untuk diagnosa klinis (misalnya, gangguan depresi besar, panik, atau PTSD) atau tidak memenuhi syarat untuk diagnosa. Daftar gejala psikologis dirancang terutama untuk digunakan sebagai variabel berkesinambungan (continuous variables) dalam pekerjaan atau riset klinis – guna menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ‘apakah pasien ini merasa lebih baik dibanding satu bulan yang lalu?’, atau ‘apakah gejala psikologis lebih tinggi pada kelompok-kelompok beresiko tertentu?’ Di lain sisi, pertanyaan seperti ‘berapa persentase warga di desa ini yang menderita depresi atau membutuhkan layanan kesehatan mental?’ mensyaratkan dibuatnya penilaian dikotomi, penentuan apakah seseorang adalah sebuah ‘kasus’ atau tidak atau apakah memenuhi kriteria untuk diagnosa PTSD atau tidak. Dalam survei-survei kesehatan mental, terdapat dua metode yang digunakan untuk mengubah sebuah ‘variabel berkesinambungan’ (continuous variable) menjadi sebuah ‘variabel dikotomi’. Pertama, dapat ditentukan bahwa seorang responden yang melaporkan gejala di atas suatu tingkat tertentu akan dianggap sebagai suatu ‘kasus’ – misalnya, seseorang yang cukup depresi sehingga membutuhkan perawatan kesehatan mental. Tingkat yang ditetapkan oleh sang analis untuk titik penentuan (cut-off point), beserta tingkat gejala-gejala yang timbul di masyarakat, akan menentukan jumlah orang yang dianggap sebagai ‘kasus’. Kedua, dapat juga digunakan sebuah algoritma diagnostik, didasarkan pada praktek diagnostik psikiatri yang lazim saat ini. Jika seorang responden memiliki indikasi bahwa ia telah mengalami suatu kombinasi gejala yang berfungsi sebagai kriteria untuk sebuah diagnosa tertentu (misalnya: “gangguan depresi berat” (major depressive disorder) atau “gangguan stres paskatraumatik” (post-traumatic stress disorder)), maka orang tersebut dapat dikatakan sebagai ‘memenuhi kriteria’ untuk gangguan tersebut. Pada bagian-bagian berikutnya, kami melaporkan temuan-temuan kami dalam empat cara. Pertama, kami mengikuti prosedur standar yang direkomendasikan oleh Mollica et al (2004), dimana untuk titik cut-off digunakan sebuah nilai mean sebesar 1,75 pada butir-butir tentang depresi pada skala depresi HSCL 15 butir, dan 2,50 pada ke-42 gejala trauma pada HTQ, guna mengidentifikasi apakah seseorang mengidap depresi atau sebuah gangguan paska-traumatik.3 Penggunaan metode ini memungkinkan kami untuk membandingkan temuan-temuan pada sampel Aceh dengan sampel-sampel serupa dari daerahdaerah konflik tinggi seperti Bosnia atau Kamboja. Kedua, untuk beberapa analisa, kami menggunakan titik cut-off yang lebih konservatif atau ketat, yakni 3,0 pada butir-butir pertanyaan depresi pada HSCL dan 3,0 pada gejala trauma di HTQ. Meningkatkan tingkat cut-off akan mengidentifikasi kelompok individu yang lebih kecil yang saat itu menderita gejala yang lebih parah, dan memungkinkan kami untuk bertanya kelompok-kelompok individu mana atau bentuk pengalaman traumatik apa yang menempatkan seorang individu pada resiko tinggi untuk mengidap distres psikiatrik berat. Ketiga, kami mengikuti algoritma yang dibuat oleh Mollica et al (2004) guna menentukan apakah orang-orang menderita suatu kelompok gejala tertentu yang terkait dengan penyakit depresif atau PTSD, menurut American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical Manual, Edisi 4 (DSM-IV). Karena algoritma ini didasarkan pada gejala dari sebuah daftar gejala dan bukan dari sebuah wawancara psikologis yang secara eksplisit dirancang untuk menentukan sebuah diagnosa klinis, nilai-nilai
3
Mollica, Richard F., Laura S. MadDonald, Michael Massagli, and Derrick M. Silove. 2004. Measuring Trauma, Measuring Torture. Instructions and Guidance on the Utilization of the Harvard Program in Refugee Traumas Versions of The Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25) & The Harvard Trauma Questionnaire (HTQ). Cambridge, MA: Harvard Program in Refugee Trauma.
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
25
yang didapat tersebut hanya dapat dianggap sebagai suatu kisaran. Namun mereka mengindikasikan tingkat depresi dan penyakit pada masyarakat yang berkaitan dengan trauma. Sejumlah 14 pertanyaan depresi dari HSCL dimasukkan ke dalam algoritma depresi (lihat Tabel 5.1). Para individu dianggap mengidap suatu gejala tertentu jika mereka memberi nilai 3 atau 4 kepada dirinya sendiri pada suatu butir tertentu. Guna untuk dapat diklasifikasikan memiliki gejala depresi, seorang subyek pada awalnya membutuhkan suatu respons positif pada salah satu dari butir pertanyaan mengenai ‘rasa depresi’ atau ‘penurunan rasa minat/kesenangan’. Disamping itu, sebuah nilai positif pada 4 dari ke enam gejala pada DSM-IV Kriteria A dibutuhkan untuk pengklasifikasian yang positif. Sejumlah 3 dari ke 6 gejala pada DSM-IV Kriteria A dibutuhkan jika ada respons positif untuk ‘rasa depresi’ maupun ‘ penurunan rasa minat/ kesenangan ’. 4 5 6 Sebuah algoritma yang lebih konservatif juga diteliti. Dalam hal ini, pertanyaan-pertanyaan dianggap positif dalam checklist jika penilaian hanya pada 4. Semua langkah-langkah lainnya dalam algoritma depresi primer tetap sama. Tabel 5.1 Kategori Depresi-HSCL Perasaan Depresi • Mudah menangis • Merasa tidak ada harapan untuk masa depan • Merasa galau • Merasa kesepian Minat/rasa senang yang berkurang • Tidak ada rasa minat terhadap segala hal • Hilangnya minat atau kesenangan seksual Gejala DSM-IV Kriteria A • Nafsu makan rendah • Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur • Merasa kurang bertenaga dan/atau merasa segala sesuatu perlu usaha • Menaruh kesalahan pada diri anda sendiri untuk segala hal • Terlalu khawatir mengenai segala hal dan/atau merasa tidak berguna • Berpikir untuk mengakhiri hidup anda
Masing-masing pertanyaan diberi peringkat “Tidak sama sekali”, “Sedikit”, “Cukup sering” atau “Sangat sering”, berturut-turut 1 hingga 4. Sejumlah 16 butir dari Kuesioner Trauma Harvard (HTQ) dimasukkan ke dalam algoritma PTSD. Para individu dianggap mengidap suatu gejala tertentu jika mereka memberi nilai pada diri mereka 3 atau 4 pada suatu butir tertentu. Untuk diklasifikasikan sebagai mengidap gejala PTSD (atau ‘memenuhi kriteria diagnostik untuk PTSD’), seorang subyek memerlukan respons positif pada 1 atau lebih gejala mengalami kembali (re-experiencing symptom), 3 atau lebih gejala penghindaran atau mati rasa (avoidance and numbing symptoms), dan 2 atau lebih gejala rangsangan (arousal symptoms). (Lihat tabel 5.2) Pengalaman sebuah peristiwa traumatik (kriteria A) telah diasumsikan terjadi pada semua responden. Sekali lagi, sebuah algoritma yang lebih konservatif juga diteliti. Dalam hal ini, pertanyaan-pertanyaan diberi tanda positif hanya jika nilai yang diberikan adalah 4. semua langkah-langka dalam algoritma PTSD primer tetap sama.
4
5
6
Mollica et al. “Disability Associated with Psychiatric Comorbidity and Health Status in Bosnian Refugees Living in Croatia” in Journal of the American Medical Association (JAMA). Volume 282(5), 04 August 1999, pp 433-439. Mollica et al. “Dose-effect Relationships of Trauma to Symptoms of Depression and Post-Traumatic Stres Disorder Among Cambodian Survivors of Mass Violence” in The British Journal of Psychiatry. Volume 173(12), December 1998, pp 482-488. Sabin et al. “Factors Associated with Poor Mental Health Among Guatemalan Refugees Living in Mexico 20 Years After Civil Conflict” in Journal of the American Medical Association (JAMA). Volume 290(5), 06 August 2003, pp 635-642.
26
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Tabel 5.2 Kategori Inti Kuesioner Trauma Harvard Gejala Mengalami Kembali (re-experiencing) (DSM-IV kriteria B) • Fikiran atau ingatan yang muncul kembali tentang peristiwa yang paling menyakitkan atau menakutkan • Merasa seolah-olah peristiwa terjadi lagi • Mimpi buruk yang muncul kembali • Reaksi emosional atau fisik secara tiba-tiba ketika diingatkan mengenai peristiwa yang paling menyakitkan atau traumatik Gejala Penghindaran atau Mati Rasa (avoidance and numbing) (DSM-IV kriteria C) • Merasa jauh dari orang-orang • Tidak mampu merasakan emosi • Menghindari melakukan kegiatan atau pergi ke tempat yang mengingatkan anda akan peristiwa yang traumatik atau menyakitkan tersebut • Ketidakmampuan untuk mengingat beberapa bagian dari peristiwa yang paling traumatik atau menyakitkan tersebut • Menurunnya minat pada kegiatan sehari-hari • Merasa seolah-olah anda tidak memiliki masa depan • Menghindari fikiran atau perasaan yang terasosiasikan berkaitan dengan peristiwa traumatik atau menyakitkan tersebut Gejala Rangsangan (arousal) (DSM-IV criterion D) • Merasa resah, mudah kaget
• Kesulitan untuk berkonsentrasi • Sulit tidur • Merasa was-was • Merasa kesal atau sering tiba-tiba marah
Masing-masing pertanyaan diberi peringkat “Tidak sama sekali”, “Sedikit”, “Cukup sering” atau “Sangat sering”, berturut-turut 1 hingga 4.
Temuan-temuan Gejala Tabel 6.0, 6.1, dan 6.2 menyajikan temuan-temuan tentang penilaian diri sendiri mengenai tingkat distres emosional umum, gejala dan diagnosa depresi, serta gejala dan diagnosa PTSD, baik berdasarkan gender maupun kabupaten. Secara keseluruhan, temuan-temuan tersebut menandakan tingkat distres psikologis yang sangat tinggi dalam pada populasi ini. Tabel 6.0 melaporkan temuan dari tiga pertanyaan umum yang dirancang untuk menilai perasaan distres emosional yang umum dari responden. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, 76% pria dan 85% wanita tampak menderita kesulitan menyangkut suasana hati (mood) maupun perasaan mereka, seperti merasa depresi, sedih, cemas, takut, atau tidak mampu mengendalikan amarah mereka, dan masing-masing memberi peringkat keseriusan rata pada 3.0 dan 2.9. 95% pria maupun wanita memperlihatkan tanda bahwa kesulitan emosional mereka diakibatkan oleh konflik.
Tabel 6.0 Distres Emosional dan Konflik
Mengalami distress emosional umum? Diakibatkan konflik? Keseriusan (mean pada skala 1-4 (SD))
Catatan: 8 yang tidak menjawab
% Pria (N=315)
% Wanita (N=281)
% Pidie (N=237)
76 95 3.0 (0.9)
85 95 2.9 (0.9)
62 90 2.6 (0.8)
% Bireuen % Aceh Utara % Total Sampel (N=180) (N=179) (N=596) 91 98 3.1 (0.9)
94 98 3.0 (0.8)
80 95 2.9 (0.9)
27
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Tabel 6.1 Depresi berdasarkan Gender dan Distrik
Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik bagi informan Nilai rata2 depresi Sx score >1.75 = “symptomatic” Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4 Nilai rata2 depresi Sx score >3 = “symptomatic” DSM Depression Diagnosis **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4
% Pria (N=315)
64 54 16 18
% Wanita (N=281)
67
% Pidie (N=237)
% Bireuen % Aceh Utara % Total Sampel (N=180) (N=179) (N=596)
57
44 38
18
6
81 72 26
19
6
31
78 62
65
23
17
22
18
55
Tabel 6.2 Gejala Trauma dan PTSD berdasarkan Gender dan Kabupaten
Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV Nilai rata2 PTSD Sx >2.5 = “symptomatic” Diagnosa PTSD Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 Nilai rata2 PTSD Sx >3 = “symptomatic” Diagnosa PTSD Algoritma DSM Revisi, Sx=4
% Pria (N=315)
33 37 17 11
% Wanita (N=281)
35
% Pidie (N=237)
% Bireuen % Aceh Utara % Total Sampel (N=180) (N=179) (N=596)
35
12 14
16
3
51 52 26
10
1
16
45 51 25 17
34 36 16 10
Tabel 6.3 Gejala Kecemasan, berdasarkan Gender dan Kabupaten
Gejala kecemasan yang dialami oleh informan Nilai kecemasan rata2 (>1.75) Nilai kecemasan rata2 (>3) Catatan:
% Pria
% Wanita
(N=315)
(N=281)
% Pidie (N=237)
75 36
54 23
64 30
% Bireuen % Aceh Utara % Total Sampel (N=180)
(N=179)
(N=596)
79 39
79 39
69 33
Perbedaan signifikan antara gender: “Nilai kecemasan rata-rata (>1.75)” Perbedaan signifikan antara kabupaten: “Nilai kecemasan rata-rata (>1.75)” dan “Nilai kecemasan rata-rata (>3)”
28
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Tabel 6.1 lebih bersifat kompleks. Pertama, dengan menggunakan nilai cutoff 1,75 sebagai nilai rata-rata (mean) pada butirbutir depresi HSCL, sebagaimana yang direkomendasikan oleh Mollica dan rekan-rekannya, 65% dari total populasi – 64% pria dan 67% wanita – dapat dianggap mengalami depresi. Dengan menggunakan algoritma diagnostik sebagaimana yang direkomendasikan oleh Mollica dan rekan-rekannya, 55% dari total populasi – 54% pria dan 57% wanita – patut didiagnosa mengidap depresi berat. Tingkat depresi berbeda-beda antar kabupaten, yang serupa dengan temuan-temuan mengenai tingkat peristiwa traumatik di ketiga kabupaten yang diteliti. 38% responden di Pidie memenuhi kriteria diagnosa depresi berat, dengan menggunakan algoritma yang direkomendasikan, 62% responden di Aceh Utara, dan 72% responden di Bireuen memenuhi kriteria depresi berat. Tabel 6.1 juga menyajikan temuan-temuan untuk persentase orang dengan tingkat gejala depresi yang tinggi (sebuah ratarata 3,0 atau lebih) dan mereka yang memenuhi kriteria yang lebih konservatif untuk sebuah diagnosa depresi besar (dimana sebuah gejala memenuhi kriteria hanya jika responden menjawab 4, yang mengindikasikan bahwa mereka telah sering mengalami gejala selama minggu terakhir). Masing-masing 17% dan 18% dari keseluruhan populasi mengidap tingkat gejala depresi tersebut, atau bentuk yang lebih parah. Sekali lagi, pria dan wanita hampir sama, dan tertinggi adalah di Bireuen, paling rendah di Pidie. Tabel 6.2 menyajikan temuan serupa tentang gejala trauma dan diagnosa PTSD. Dengan menggunakan nilai rata-rata cutoff dan algoritma yang direkomendasikan Mollica dan rekan-rekannya, dan digunakan dalam penelitian di kondisi konflik di tempat lain, tingkat manusia yang menderita gejala trauma atau terdiagnosa PTSD diperkirakan ada pada 34% dan 36% dari total populasi. Dengan menggunakan kriteria algoritma awal, 16% dari total populasi memenuhi PTSD; dengan menggunakan kriteria yang lebih ketat pada algoritma revisi, 10% dari total populasi menderita PTSD. Tabel 6.3 menyajikan temuan-temuan gejala kecemasan dan gangguan kecemasan. Hal tersebut meliputi gejala seperti rasa kecemasan tinggi atau panik disamping perasaan khawatir, ketidakamanan, dan ketakutan yang kronis. Gejala-gejala tersebut terutama tinggi pada masyarakat-masyarakat tersebut. 69% dari semua responden melaporkan gejala pada tingkat cutoff standar, dan 33% melaporkan gejala kecemasan tingkat yang lebih tinggi (nilai mean 3,0 atau lebih tinggi). Wanita hanya sedikit lebih tinggi kemungkinannya merasakan kecemasan dibanding pria, namun tingkatan di Bireuen dan Aceh Utara sangat tinggi, mencerminkan pola kekerasan dan trauma di komunitas-komunitas tersebut. Kompleksitas dari tabel-tabel tersebut tidak sepatutnya mengaburkan temuan yang didapat: populasi ini memiliki tingkat tinggi depresi dan gejala yang terkait dengan trauma, menduduki peringkat yang sama seperti penduduk di daerah-daerah konflik tinggi seperti Bosnia atau Kamboja atau Afghanistan. Para anggota komunitas-komunitas tersebut memiliki daya tahan sangat kuat, namun kekerasan selama bertahun-tahun telah menciptakan depresi dan trauma kompleks tingkat tinggi. Layanan yang berbasis masyarakat yang ditargetkan pada gangguan klinis dan pada pertolongan bagi anggota masyarakat untuk membangun kembali kehidupan mereka harus dijadikan prioritas mendesak.
Distribusi Resiko: Kelompok Mana yang Memiliki Resiko Tertinggi? Perbedaan dalam tingkat gejala dan parahnya depresi maupun PTSD jelas terkait dengan kabupaten, sedangkan keterkaitan dengan gender dan usia tidak begitu nampak dan merupakan ‘predictor’ yang tidak sebegitu jelas dalam hal siapa yang beresiko mengidap gangguan psikologis. Hubungan-hubungan tersebut dianalisa dengan menggunakan odds ratio yang telah disesuaikan untuk depresi dan PTSD sebagaimana diukur menggunakan kriteria awal dan algoritma kriteria yang ketat seperti yang telah dibicarakan di atas. Ini merupakan model statistik yang memungkinkan untuk menentukan seberapa besar resiko penyakit seperti depresi lebih tinggi bagi wanita daripada pria, bagi orang-orang pada kelompok usia tertentu, atau bagi mereka yang telah menderita pola kekerasan traumatik tertentu.
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Tabel 7.1 Odds Ratio yang Telah Disesuaikan untuk Depresi dan PTSD Berdasarkan Kabupaten *Kabupaten
Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV
Pidie
Bireuen
Aceh Utara
or (95% CI)
(1.74-3.96)†
1.00
9.63 (4.93-18.82)†
5.59 (2.84-11.03)†
1.00
7.10 (4.36-11.57)†
6.65 (4.11-10.78)†
1.00
26.87 (6.23-115.88)†
28.18 (6.56-120.98)†
Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4
Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 PTSD Diagnosis **Algoritma DSM Revisi , Sx=4
1.00
*Kabupaten: 0=Pidie (referensi) dan disesuaikan untuk gender dan usia †Berbeda secara signifikan dari segi statistik pada p<0.0001
Tabel 7.2 Odds Ratio yang Telah Disesuaikan Untuk Depresi dan PTSD Berdasarkan Gender
Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV
*Jenis kelamin atau (95% CI)
Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4
0.68 (0.47-0.97)†
Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4
0.69 (0.43-1.09)
Diagnosa PTSD * Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 PTSD Diagnosis ** Algoritma DSM Revisi, Sx=4
2.63
4.96 (3.19-7.72)†
Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4
0.90 (0.62-1.32) 0.76 (0.43-1.34)
*Gender: 0=wanita (referensi) dan disesuaikan untuk kabupaten dan usia † Berbeda secara signifikan dari segi statistik pada p<0.05
29
30
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Tabel 7.3 Odds Ratios yang Telah Disesuaikan Untuk Depresi dan PTSD Berdasarkan Usia
Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV
*Usia
17-29
30-40
41-53
54-82
atau (95% CI) Diagnosa Depresi DSM * Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4
1.00
0.93 (0.59-1.48)
1.78 (1.07-2.96)†
1.19 (0.71-2.02)
Diagnosa Depresi DSM **DSM Algorithm Revisi, Sx = 4
1.00
0.42 (0.23-0.78)†
0.81 (0.44-1.49)
1.36 (0.71-2.57)
1.00
0.78 (0.48-1.26)
0.83 (0.49-1.41)
0.91 (0.51-1.60)
1.00
0.43 (0.20-0.91)†
0.56 (0.26-1.23)
1.29 (0.59-2.79)
Diagnosa PTSD * Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 Diagnosa PTSD ** DSM Algorithm Revisi, Sx=4
*Usia: 0=17-29 (referensi) dan disesuaikan untuk gender dan kabupaten † Berbeda secara signifikan dari segi statistik pada p<0.05
Tabel 7.1-7.3 mengindikasikan penjelasan yang disajikan melalui penguraian berdasarkan kabupaten, gender dan usia terhadap responden yang mengidap gejala depresi dan PTSD; masing-masing analisa odds ratio menyesuaikan untuk mengakomodir variasi yang diciptakan oleh kabupaten, usia atau gender. Pada tabel 7.1, responden dari Bireuen dan Aceh Utara lebih berkemungkinan mendapat nilai positif pada semua algoritma depresi dan PTSD dibanding dengan responden di kabupaten Pidie. Perbedaan-perbedaan tersebut sangat signifikan di semua algoritma, dimana responden dari Bireuen 5 hingga 10 kali lebih berkemungkinan memenuhi kriteria depresi dan 7 hingga 27 kali lebih berkemungkinan memenuhi kriteria PTSD daripada responden Pidie. Responden dari Aceh Utara 3-6 kali lebih berkemungkinan memenuhi kriteria depresi dan 6 hingga 28 kali lebih berkemungkinan untuk memenuhi kriteria PTSD dibanding dengan responden dari Pidie. Tabel 7.2 mengindikasikan bahwa pentingnya gender sebagai kontributor berada jauh di bawah kabupaten dalam memenuhi kriteria. Sebagai contoh, ketika mengontrol untuk kabupaten dan usia, pria secara signifikan berkemungkinan jauh lebih kecil memenuhi kriteria dibanding wanita dalam masalah depresi pada algoritma depresi awal sebesar .68. Signifikansi pada tingkat .05 tidak dipenuhi oleh nilai-nilai lain pada algoritma depresi dan PTSD, walau odds ratio mengindikasikan bahwa pria berkemungkinan agak lebih sedikit daripada wanita untuk menderita gejala depresi dan PTSD. Temuan ini adalah penting. Wanita umumnya menderita depresi dan gejala depresi lebih tinggi daripada pria dalam populasi yang diteliti. Disini, pria dan wanita kedua-duanya menderita depresi tingkat tinggi, dengan pria hanya sedikit lebih kecil kemungkinannya dibanding wanita, mencerminkan tingkat kekerasan yang telah dialami pria di masyarakat-masyarakat Aceh tersebut. Tabel 7.3 menyajikan hubungan antara nilai-nilai algoritma usia dan depresi dan PTSD, yang disesuaikan dengan pengaruh gender dan kabupaten. Ini merupakan gambar yang kompleks. Membandingkan nilai-nilai depresi kelompok usia lebih tua dengan yang lebih muda, responden pada kelompok usia 41-53 secara signifikan lebih berpeluang menderita gejala depresi daripada orang-orang yang lebih muda (sebesar 1,78 kali). Namun demikian, individu dalam kelompok usia 30 hingga 40 secara signifikan lebih berkemungkinan mendapat nilai yang lebih rendah pada nilai depresi (.42) maupun PTSD (.43) dengan menggunakan algoritma dengan kriteria paling ketat. Data deskriptif yang mendasari analisa odds ratio disebutkan dalam Tabel 8.1 - 8.6, yang memeriksa distribusi berdasarkan kabupaten, gender dan usia para individu yang nilainya memenuhi kriteria pada algoritma depresi awal dan yang lebih ketat, serta algoritma PTSD awal dan yang lebih ketat. Sekali lagi, pengaruh dari tempat tinggal seorang sebagai suatu penjelasan tingginya nilai untuk depresi dan kecemasan semakin sangat penting. Faktor gender hanya sedikit menjelaskan perbedaanperbedaan yang ada, dan nilai yang dimiliki pria dan wanita di semua sampel hampir serupa. Perbedaan berdasarkan usia lebih
31
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
bersifat kompleks dan dapat mencerminkan pengalaman siklus hidup ataupun pengalaman stres yang terkait dengan konflik maupun paska-konflik, dimana banyak pria dan wanita muda berusia 17-29 dari Bireuen dan Aceh Utara mencatat nilai tinggi pada algoritma untuk depresi dan PTSD, dan para usia baya tampak lebih tinggi, sedangkan yang tua sekali lagi mendapat nilai lebih tinggi lagi pada skala-skala tersebut. Angka-angka tersebut menceritakan sebuah kisah yang sangat kompleks. Namun demikian, kabupaten Pidie dimana para responden melaporkan trauma yang lebih sedikit juga memiliki sedikit responden, berapapun usianya, yang memenuhi kriteria yang lebih ketat untuk algoritma depresi dan PTSD. Perbedaannya paling mencolok pada tabel-tabel deskriptif berikut ini.
Tabel 8.1 Pidie: Depresi Berdasarkan Gender Berdasarkan Usia SAMPEL PIDIE % (N=236) Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV
Pria (N=106) Usia 17-29 (n=15)
Usia 30-40 (n=26)
Usia 41-53 (n=26)
Usia 54-82 (n=39)
Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4
47
15
35
26
Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4
0
0
4
3
Wanita (N=130) Usia 17-29 (n=38)
Usia 30-40 (n=40)
Usia 41-53 (n=27)
Usia 54-82 (n=25)
Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4
42
43
52
52
Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4
5
10
7
12
32
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Tabel 8.2 Pidie: PTSD berdasarkan Gender berdasarkan Usia SAMPEL PIDIE % (N=236) Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV
Pria (N=106) Usia 17-29 (n=15)
Usia 30-40 (n=26)
Usia 41-53 (n=26)
Usia 54-82 (n=39)
Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4
13
4
12
5
PTSD Diagnosis **Algoritma DSM Revisi, Sx=4
0
0
0
3
Wanita (N=130) Usia 17-29
Usia 30-40
Usia 41-53
Usia 54-82
(n=38)
(n=40)
(n=27)
(n=25)
Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4
21
23
15
12
PTSD Diagnosis **Algoritma DSM Revisi, Sx=4
3
0
0
0
Tabel 8.3 Bireuen: Depresi Berdasarkan Gender Berdasarkan Usia SAMPEL Bireuen % (N=177) Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV
Pria (N=114) Usia 17-29 (n=25)
Usia 30-40 (n=44)
Usia 41-53 (n=21)
Usia 54-82 (n=24)
Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4
68
75
67
79
Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4
48
16
33
42
Wanita (N=63) Usia 17-29 (n=25)
Usia 30-40 (n=22)
Usia 41-53 (n=10)
Usia 54-82 (n=6)
Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4
72
68
80
67
Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4
36
14
30
67
33
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Tabel 8.4 Bireuen: PTSD berdasarkan Gender berdasarkan Usia SAMPEL Bireuen % (N=177) Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV
Pria (N=114) Usia 17-29 (n=25)
Usia 30-40 (n=44)
Usia 41-53 (n=21)
Usia 54-82 (n=24)
Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4
56
48
48
67
Diagnosa PTSD **Algoritma DSM Revisi, Sx=4
24
5
10
25
Wanita (N=63) Usia 17-29
Usia 30-40
Usia 41-53
Usia 54-82
(n=25)
(n=22)
(n=10)
(n=6)
Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4
56
50
30
50
Diagnosa PTSD **Algoritma DSM Revisi, Sx=4
20
18
20
33
Tabel 8.5 Aceh Utara: Depresi berdasarkan Gender berdasarkan Usia SAMPEL aceh utara % (N=176) Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV
Pria (N=90) Usia 17-29 (n=19)
Usia 30-40 (n=25)
Usia 41-53 (n=28)
Usia 54-82 (n=18)
Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4
58
56
75
44
Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4
21
16
14
28
Wanita (N=86) Usia 17-29 (n=23)
Usia 30-40 (n=28)
Usia 41-53 (n=27)
Usia 54-82 (n=8)
Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4
44
50
85
88
Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4
30
14
30
38
34
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Tabel 8.6 Aceh Utara: PTSD berdasarkan Gender berdasarkan Usia SAMPEL aceh utara % (N=176) Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV
Pria (N=90) Usia 17-29 (n=19)
Usia 30-40 (n=25)
Usia 41-53 (n=28)
Usia 54-82 (n=18)
Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4
58
48
54
50
Diagnosa PTSD **Algoritma DSM Revisi, Sx=4
21
12
14
22
Wanita (N=86) Usia 17-29
Usia 30-40
Usia 41-53
Usia 54-82
(n=23)
(n=28)
(n=27)
(n=8)
Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4
44
43
56
63
Diagnosa PTSD **Algoritma DSM Revisi, Sx=4
22
14
15
25
Efek Pengalaman Traumatik Terhadap Distres Psikologis Walau adalah beralasan untuk mengasumsikan bahwa pengalaman tingkat kekerasan yang tinggi atau peristiwa traumatik tertentu menyebabkan warga beresiko lebih tinggi untuk memiliki masalah psikologis, adalah penting untuk meneliti pertanyaan ini secara empiris. Odds ratio berdasarkan jumlah peristiwa traumatik jelas menunjukkan hubungan antara pengalaman traumatik di masa lalu dan nilai gejala yang ada saat ini pada algoritma depresi dan PTSD; seperti itu juga, tingkat peristiwa stres yang lebih tinggi secara signifikan meningkatkan peluang terpenuhinya kriteria gejala (symptomatic) pada semua keempat algoritma. Hubungan-hubungan tersebut digambarkan pada Tabel 9.1 dan 9.2 dan grafik-grafik yang menyertainya. Tabel 9.1 Pengukuran2 Kesehatan Mental (Odds Ratios) bagi Responden yang Mengalami Peristiwa Traumatik di Masa Lalu – Tidak Disesuaikan Distres Emosional yang Dialami Informan Jumlah peristiwa traumatik
0-3 4-7 8-10 >11
Gejala Depresi- Algoritma Awal ATAU (95% CI)
Gejala Depresi- Algoritma Revisi ATAU (95% CI)
Gejala PTSD- Algorithm Awal ATAU (95% CI)
Gejala PTSD- Algoritma Revisi ATAU (95% CI)
1.00 3.04 (1.84-5.02)* 6.25 (3.64-10.75)* 11.42 (6.80-19.16)*
1.00 1.83 (0.66-5.10) 5.83 (2.30-14.81)* 12.75 (5.34-30.44)*
1.00 6.91 (3.12-15.32)* 11.57 (5.19-25.80)* 28.19 (13.03-61.02)*
1.00 2.94 (0.30-28.54) 22.26 (2.91-170.39)* 41.10 (5.59-302.41)*
* Berbeda secara signifikan secara statistik pada p< 0.0001 to p< 0.05 Catatan: “0-3 Peristiwa”= kelompok referensi
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Odds Ratios
Odds Ratios-Mental Health Algorithms by Number of Past Traumatic Events
5.00 4 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
41.10*
28.19* 22.26* 12.75*
11.42* 1.00
3.04*
6.25*
Depression-Initial
11.57* 6.91*
5.83* 1.00 1.83
1.00
Depression-Revised
1.00 PTSD-Initial
2.94
PTSD-Revised
Mental Health Algorithms 0-3 events
4-7 events
8-10 events
> or = 11 events
Tabel 9.2 Pengukuran Kesehatan Mental (Odds Ratios) bagi Responden Yang Mengalami Peristiwa Traumatik di Masa Sekarang – Tidak Disesuaikan Distres Emosional yang Dialami Informan Jumlah peristiwa traumatik
0-3 4-7 8-10 >11
Gejala Depresi- Algoritma Awal ATAU (95% CI)
Gejala Depresi- Algoritma Revisi ATAU (95% CI)
Gejala PTSD- Algorithm Awal ATAU (95% CI)
Gejala PTSD- Algoritma Revisi ATAU (95% CI)
1.00 5.40 (2.90-10.03)* 14.55 (7.50-28.25)* 21.42 (9.59-47.85)*
1.00 6.96 (1.64-29.53)* 14.16 (3.34-60.04)* 25.92 (5.91-113.59)*
1.00 4.87 (2.04-11.67)* 14.00 (5.80-33.78)* 40.77 (15.33-108.45)*
1.00 6.13 (0.80-46.75) 11.66 (1.54-88.34)* 41.41 (5.44-315.26)*
* Berbeda secara signifikan secara statistik pada p< 0.0001 to p< 0.05 Catatan: “0-3 Peristiwa”= kelompok referensi
35
36
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Odds Ratios
Odds Ratios-Mental Health Algorithms by Number of Current Stresful Events
5.00 4 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
41.41*
40.77*
25.92* 21.42* 14.55* 5.40* 1.00 Depression-Initial
14.16*
14.00*
6.96* 1.00
4.87* 1.00
Depression-Revised
11.66* 6.13 1.00
PTSD-Initial
PTSD-Revised
Mental Health Algorithms 0-3 events
4-7 events
8-10 events
> or = 11 events
Terdapat hubungan yang kuat antara jumlah peristiwa traumatik yang dilaporkan responden dengan tingkat psikologis mereka – baik depresi maupun gejala yang terkait dengan trauma. Tabel 9.1 dan 9.2 menggambarkan hal ini secara cukup dramatis. Tabel 9.1 menyajikan odds ratio bagi responden yang mengalami berbagai tingkatan peristiwa traumatik. Para individu yang mengalami 4 hingga 7 peristiwa memiliki kemungkinan tiga kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria depresi pada algoritma awal, dan berpeluang hampir dua kali lipat lebih tinggi untuk memenuhi kriteria pada algoritma yang lebih ketat, dibanding dengan mereka yang mengalami 0 hingga 3 peristiwa traumatik. Mereka berpeluang hampir tujuh kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria PTSD pada algoritma awal dan hampir 3 kali lebih tinggi pada algoritma yang lebih ketat. Para individu yang mengalami 8 hingga 10 peristiwa traumatik di masa lalu memiliki peluang 6 kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria depresi dan berpeluang 11 hingga 22 kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria kedua algoritma PTSD. Ketika para individu mengalami 11 atau lebih peristiwa traumatik di masa lalu, kemungkinan mereka untuk mendapatkan nilai tinggi di kesemua empat algoritma kriteria untuk depresi dan PTSD menjadi tinggi sekali – lebih dari 11 untuk depresi dan antara 28 dan 41 untuk PTSD, sebagaimana ditunjukkan pada tabel dan grafik. Perbedaan-perbedaan yang signifikan jauh lebih kuat jika para responden mengalami 8 atau lebih peristiwa traumatik. Tabel 9.2 menyajikan odds ratios untuk tingkatan distres psikologis bagi responden yang mengalami peristiwa stres di masa sekarang. Sekali lagi, para individu yang mengalami 4-7 peristiwa stres saat ini berpeluang 5 hingga 7 kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria depresi dan berpeluang 5 hingga 6 kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria PTSD dibanding mereka yang mengalami 0 hingga 3 peristiwa. Para individu yang mengalami 8 hingga 10 peristiwa stres saat sekarang berpeluang lebih dari 14 kali untuk memenuhi kriteria depresi pada kedua algoritma, dan 11 hingga 14 kali lebih berpeluang memenuhi kriteria PTSD. Para individu yang mengalami 11 atau lebih peristiwa stres pada masa sekarang berpeluang 20 hingga 26 kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria depresi pada kedua algoritma, dan lebih dari 40 kali lebih berpeluang untuk memenuhi kriteria PTSD di kedua algoritma. Berbagai odds ratio tersebut hampir semuanya, kecuali satu, bersifat signifikan ketika membandingkan para individu dalam ketiga kategori peristiwa (4-7, 8-10, > 11, secara berturut-turut) dengan para individu yang mengalami 0-3 peristiwa stres.
Trauma di Kepala Sebagaimana disebutkan di atas, responden dalam jumlah yang cukup mengejutkan tingginya telah mengalami trauma di kepala dan pencekikan atau penenggelaman, yang keduanya dapat menyebabkan cidera otak permanen yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif, labilitas emosional, dan perilaku. (Lihat Tabel 3.1) Walau sejumlah signifikan wanita menderita trauma di kepala, pria mengalami tingkat yang sangat tinggi. 36% dari seluruh pria di dalam survei melaporkan telah dipukuli di kepala, 19% dicekik, dan 7% mengalami penenggelaman dan 9% lainnya mengalami bentuk lain trauma di kepala. Penguraian temuan-temuan tersebut berdasarkan gender dan usia memperjelas siapa yang memiliki resiko tertinggi (lihat Tabel 9.4).
37
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Tabel 9.4 Trauma di Kepala/Cidera Otak Potensial: Persentase Responden berdasarkan Gender dan Usia Pria (N=280-304) Jenis trauma di kepala/ cidera otak potensial *Segala Jenis Trauma di Kepala Jenis Tertentu Dipukul di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma di kepala lainnya
Usia 17-29 % (N=53-58)
Usia 30-40 % (N=84-92)
Usia 41-53 % (N=70-75)
Usia 54-82 % (N=72-79)
52
40
40
33
48 18 13 17
39 20 5 6
35 24 4 9
23 14 10 7
Wanita (N=258-272)
*Segala Jenis Trauma di Kepala Jenis Tertentu Dipukul di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma di kepala lainnya
Usia 17-29 % (N=81-84)
Usia 30-40 % (N=82-88)
Usia 41-53 % (N=62-70)
Usia 54-82 % (N=33-37)
17
15
5
5
10 7 1 3
10 9 0 2
2 3 0 0
0 5 0 3
Temuan-temuan tersebut mengejutkan terutama ketika melihat persentase orang yang terlibat berdasarkan kabupaten, disamping berdasarkan usia dan gender. Tabel 9.5 dan 9.6 menunjukkan seberapa banyak orang muda di Bireuen dan Aceh Utara menderita berbagai macam trauma kepala sebagai bagian dari situasi konflik yang terjadi. Semua pria memiliki resiko tinggi, namun pria muda cenderung beresiko lebih tinggi untuk berbagai macam trauma di kepala di kedua kabupaten tersebut.
Tabel 9.5 Trauma di Kepala/Cidera Otak Potensial: Persentase Responden berdasarkan Gender dan Usia Untuk Bireuen BIREUEN Pria (N=100-112) Jenis trauma di kepala/ cidera otak potensial *Segala Jenis Trauma di Kepala Jenis Tertentu Dipukul di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma di kepala lainnya
Usia 17-29 % (N=23-25)
Usia 30-40 % (N=41-43)
Usia 41-53 % (N=19-21)
Usia 54-82 % (N=17-23)
68
40
43
44
60 29 17 17
37 16 7 5
29 26 5 10
32 14 12 21
Usia 17-29 % (N=23-25)
Usia 30-40 % (N=20-22)
Usia 41-53 % (N=9)
Usia 54-82 % (N=5)
28
23
0
0
12 17 0 4
14 18 0 5
0 0 0 0
0 0 0 0
Wanita (N=59-61)
*Segala Jenis Trauma di Kepala Jenis Tertentu Dipukul di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma di kepala lainnya
38
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Tabel 9.6 Trauma di Kepala/Cidera Otak Potensial: Persentase Responden berdasarkan Gender dan Usia Untuk Aceh Utara
aceh utara Pria (N=80-87) Jenis trauma di kepala/ cidera otak potensial *Segala Jenis Trauma di Kepala Jenis Tertentu Dipukul di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma di kepala lainnya
Usia17-29 % (N=17-18)
Usia 30-40 % (N=19-23)
Usia 41-53 % (N=26-28)
67
61
61
33
67 11 12 29
57 35 5 16
61 33 4 15
28 17 18 6
Wanita
*Segala Jenis Trauma di Kepala Jenis Tertentu Dipukul di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma di kepala lainnya
Usia 54-82 % (N=17-18)
(N=75-81)
Usia 17-29 % (N=19-21)
Usia 30-40 % (N=22-26)
Usia 41-53 % (N=26-27)
Usia 54-82 % (N=7)
29
27
7
0
19 11 5 5
24 13 0 4
4 4 0 0
0 0 0 0
*Dari keempat jenis luka kepala yang berbeda-beda tersebut, jika seorang responden menjawab ya terhadap satu atau lebih dari empat pertanyaan tersebut, maka jawabannya adalah ya untuk variabel yang baru (“Segala jenis trauma di kepala”), yang kemudian akan menunjukkan berapa responden mengalami trauma kepala fisik dalam bentuk apapun. Catatan- Analisa chi square: Perbedaan signifikan (p<0.001) untuk gender dan distrik Perbedaan non-signifikan pada usia Catatan- Keparahan (severity) (hilang kesadaran dan durasi) telah diperiksa, 88% tidak hilang kesadaran. Hanya dua persen menyatakan kepada pewawancara mengenai jangka waktu hilang kesadaran.
Trauma di kepala dapat menyebabkan efek yang spesifik dan langsung terhadap emosi, kemampuan kognitif (ingatan, kemampuan belajar), dan perilaku, sebagaimana yang digambarkan kasus klinis di atas. Bentuk trauma ini juga menempatkan orang pada rasio tinggi untuk depresi dan PTSD. Tabel 9.7 menggambarkan hal ini. Ini perlu ditafsirkan sebagai mengindikasikan bahwa pengalaman pemukulan di kepala, pencekikan atau penenggelaman, atau bentuk cidera kepala lainnya akan membuat responden 2.2 hingga 2.6 kali lebih berkemungkinan menderita depresi klinis atau PTSD.
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
39
Tabel 9.7 Resiko Yang Meningkat untuk Depresi atau PTSD bagi Orang Yang Menderita Trauma di Kepala (Odds Ratio disesuaikan) Distres Emosional yang Dialami Informan Trauma di Kepala
Gejala DepresiAlgoritma Awal ATAU (95% CI)
Gejala DepresiAlgoritma Revisi ATAU (95% CI)
Gejala PTSDAlgoritma Awal ATAU (95% CI)
Gejala PTSDAlgoritma Revisi ATAU (95% CI)
Gejala KecemasanMean (>1.75) ATAU (95% CI)
Gejala KecemasanMean (>3.00) ATAU (95% CI)
Segala Jenis Trauma di Kepala
2.21 (1.40-3.47)‡
2.59 (1.54-4.36)‡
2.33 (1.49-3.62)‡
2.43 (1.29-4.59)**
2.75 (1.63-4.65)‡
2.95 (1.89-4.58)†
Dipukuli di kepala
3.23 (1.92-5.42)†
3.07 (1.74-5.42)†
3.14 (1.92-5.15)†
2.75 (1.40-5.40)**
3.15 (1.74-5.70)‡
3.52 (2.17-5.72)†
Pencekikan
2.55 (1.40-4.62)**
1.70 (0.92-3.14)
2.69 (1.54-4.68)‡
2.34 (1.15-4.75)*
2.40 (1.21-4.75)*
2.08 (1.24-3.50)**
Penenggelaman
2.13 (0.78-5.82)
2.94 (1.12-7.71)*
2.13 (0.82-5.50)
1.88 (0.60-5.84)
1.56 (0.54-4.53)
1.92 (0.78-4.69)
Trauma di Kepala Lainnya
2.36 (0.92-6.07)
1.49 (0.64-3.46)
2.30 (1.00-5.30)*
2.04 (0.82-5.09)
2.06 (0.69-6.17)
1.97 (0.92-4.26)
Disesuaikan untuk gender, usia, dan kabupaten †Berbeda secara signifikan secara statistik pada p<0.0001 ‡ Berbeda secara signifikan secara statistik pada p<0.001 ** Berbeda secara signifikan secara statistik pada p<0.01 * Berbeda secara signifikan secara statistik pada p<0.05
Hingga kini, hanya sedikit kegiatan kesehatan mental yang berfokus pada cidera kepala. Karena cidera kepala dapat mempengaruhi perilaku jangka panjang yang dapat disalahartikan sebagai perilaku kriminal, dan juga dapat mempengaruhi perhatian, pembelajaran, dan fungsi kognitif lainnya, perhatian khusus perlu diarahkan pada masalah ini. Khususnya, penelitian perlu membahas persentase warga yang mengidap dampak jangka panjang dari trauma di kepala – untuk masyarakat secara umum, maupun mantan kombatan dan tahanan. Temuan-temuan tersebut juga memiliki relevansi klinis yang bersifat langsung. Perawat kesehatan mental masyarakat, dokter umum, dan psikiater memerlukan pelatihan lanjutan guna memeriksa dan menanggapi permasalahan yang terkait dengan cidera kepala sebagai bagian dari tugas klinis rutin dan sebagai bagian layanan rujukan lanjutan. Penelitian kebutuhan ini memberikan bukti bahwa sebuah program khusus yang berfokus pada trauma kepala perlu dilaksanakan dengan dukungan masyarakat internasional.
40
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Idiom Setempat untuk Menggambarkan Distres Daftar (checklist) gejala yang digunakan di atas berguna untuk tujuan komparatif pada populasi di seluruh dunia dengan latar belakang paska-konflik dan bencana lainnya. Namun demikian, ini merupakan kategori gejala yang didefinisikan sebagian besar oleh psikiater yang terlatih dalam tradisi biomedis tertentu. Adalah mungkin bahwa beberapa gejala yang dipahami secara umum dalam praktek psikiatri kurang memiliki arti bagi masyarakat yang tidak pernah diberi pemahaman mengenai kategori penyakit mental tersebut. Beberapa gejala yang dianggap patologis di suatu lingkungan bisa merupakan sebuah strategi adaptif untuk bertahan hidup di sebuah lingkungan dengan tingkat bahaya dan konflik tinggi. Dalam situasi penelitian psikososial apa saja, adalah penting untuk memahami kategori penyakit setempat sebelum patologi dalam sebuah komunitas dapat diuraikan.
Sebelum daftar gejala depresi, kecemasan dan trauma dibacakan kepada responden kuesioner, mereka diberikan pertanyaanpertanyaan berikut ini: “Konflik telah membawa tekanan yang unik kepada warga Aceh selama beberapa tahun terakhir. Apakah tekanan-tekanan tersebut memiliki efek terhadap perasaan, energi, atau kesehatan anda dalam kehidupan seharihari? Dapatkah anda menjelaskan apa saja dampak tersebut?” Jawaban terhadap pertanyaan ini menarik karena para responden menjelaskan kepada pewawancara apa yang ada di benak mereka tentang penyakit jiwa dalam bahasa mereka sendiri sebelum mereka mendengar gejala yang tercantum dalam daftar yang telah distandarisasi. Jawaban-jawaban mereka menyajikan sebuah daftar istilah setempat yang menggambarkan distres, sebuah langkah penting pertama dalam penelitian atau intervensi kesehatan mental lintas budaya. Hal pertama yang kita perhatikan ketika berbicara dengan orang Aceh mengenai kesehatan mental adalah bahwa kata-kata “stres” dan “trauma” dalam bahasa Inggris telah diserap penuh ke dalam idiom setempat untuk masalah mental, terutama dikarenakan konflik yang telah berlangsung selama tigapuluh tahun dan gempa serta tsunami yang baru saja terjadi. Salah satu informan kunci menjelaskan kepada pewawancaranya: “sebelum konflik, tidak ada orang di sini yang tahu arti kata trauma.” Seperti dalam bahasa Inggris, kedua kata tersebut sangat sering digunakan dalam bahasa setempat sehingga sulit untuk mengetahui apa sebenarnya maksud seseorang ketika mengatakan stres atau trauma. Namun demikian, penyelidikan yang lebih mendalam memberikan sebuah generalisasi yang luas. Banyak orang menggunakan kata stres dan trauma untuk menjelaskan hal yang sama, kedua-duanya menyampaikan arti tekanan psikologis yang disebabkan oleh peristiwa eksternal seperti perang, kematian dalam keluarga, atau bencana alam. Makna mereka saling tumpang tindih, namun melihat dari penggunaan kata-kata tersebut selama wawancara dengan informan kunci, trauma dapat berupa kondisi sementara yang bisa sembuh. Sebaliknya, kata stres – tidak seperti dalam bahasa Inggris dimana stres dapat berarti hal-hal ringan seperti hari yang buruk di kantor – menggambarkan sebuah kondisi yang lebih serius yang berjangka panjang yang mungkin membutuhkan perawatan psikiatri di sebuah rumah sakit. Seseorang dapat menderita trauma namun masih dapat hadir dan setidaknya tampak berfungsi normal di dalam masyarakat, sedangkan ketika seseorang menderita stres, ia terlihat tidak mampu melakukan peran sosial yang normal. Oleh karena itu, kata trauma cenderung muncul lebih sering dalam transkrip wawancara (misalnya, “semua orang di desa ini masih mengalami trauma akibat konflik”). Diluar kedua kategori distres mental yang umum digunakan secara lokal ini, jawaban terhadap pertanyaan yang disebutkan di atas memberikan sebuah daftar gejala umum yang menggambarkan pemahaman masyarakat lokal mengenai trauma, yang juga sesuai dengan beberapa istilah di dalam daftar (checklist) gejala, namun yang mengandung karakteristik khusus setempat. Disamping itu, banyak warga Aceh secara langsung menyebut somatisasi distres mental, yang tidak hanya berarti bahwa distres psikologis yang diakibatkan konflik seringkali bermanifestasi sebagai penyakit fisik, namun juga bahwa orang Aceh memahami bahwa beberapa penyakit fisik mereka diakibatkan oleh distres psikologis. Sebagian besar orang menyebutkan rasa takut sebagai gejala umum trauma, namun rasa takut jarang disebutkan sebagai suatu kondisi umum. Biasanya, para
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
41
responden mengaitkan ras takut mereka terhadap sesuatu yang spesifik seperti “Saya takut keramaian,” “Saya menjadi takut ketika melihat seragam militer/mendengar suara mesin/mendengar suara seperti tembakan senjata.” “Tekanan” seringkali disebut namun ini bisa merupakan kutipan responden yang menegaskan bahasa yang digunakan dalam pertanyaan awal kembali ke pewawancara. Berikut ini adalah daftar gejala, baik fisik maupun psikologis, yang seringkali disebutkan untuk menggambarkan pemahaman orang Aceh mengenai distres psikologis: • • • • • • • • • • • • • • •
Kehilangan semangat Resah Tidak mampu tidur di malam hari Pusing yang sering timbul Melamun Mengingat apa yang terjadi Gemetar Masalah jantung (berbagai bentuk) • Rasa sakit di jantung • Jantung berdetak kencang • “Rasanya jantung saya copot” • Lemah jantung • Serangan jantung (setelah mendengar berita buruk) Lelah tanpa alasan Sering sedih/air mata Sulit berfikir, lamban berfikir, mudah lupa atau terlalu banyak berfikir Merasa tidak bisa apa-apa Mencurigai orang lain / sulit bersosialisasi / mengisolasi diri Tidak bisa bekerja Penyakit fisik lainnya • Badan sakit • Lemas
Mimpi dan arwah Kisah-kisah tentang dunia supernatural dan alam mimpi menyertai beberapa indikator formal psikososial dan kesehatan mental di masyarakat Aceh yang dibicarakan di atas. Sikap masyarakat setempat mengenai pengalaman-pengalaman tersebut juga dapat mempertanyakan pemahaman psikiatrik konvensional yang menganggap halusinasi visual dan aural sebagai bersifat patologis dan membutuhkan perawatan. Berdasarkan beberapa cerita anekdotal mengenai orang-orang Aceh yang dikunjungi arwah orang yang merek cintai yang meninggal atau hilang sewaktu tsunami, para pewawancara memasukkan tiga pertanyaan tertutup dan dua pertanyaan terbuka mengenai mimpi dan hantu dan mengamati jawaban terbuka guna menjelajahi hubungan yang mungkin ada dengan pengalaman konflik. Pertanyaan terbuka pertama menanyakan “Dapatkah anda ceritakan mengenai pengalaman anda menyangkut hantu, arwah atau melihat seseorang yang telah meninggal dunia?” dan pertanyaan terbuka kedua adalah mengenai mimpi buruk: “Dapatkah anda bercerita mengenai mimpi buruk yang sering anda alami setelah konflik?” Sebagian besar jawaban secara langsung merujuk pada pengalaman konflik, namun beberapa juga menyangkut peristiwa tsunami. Secara umum, jawaban terhadap kedua pertanyaan tersebut cukup serupa satu sama lain, mengindikasikan bahwa di Aceh dunia arwah tidak dibedakan terlalu jauh dari dunia mimpi. Lebih dari 150 responden memberikan jawaban terhadap masing-masing pertanyaan. Di Pidie dan Aceh Utara, wanita menjawab pertanyaan ini lebih sering dibanding pria, sedangkan sebaliknya terjadi di Bireuen. Pengumpulan jawaban terhadap kedua pertanyaan tersebut menyajikan serangkaian tema-tema yang cukup penting yang disimpulkan di bawah dengan beberapa contoh gambaran:
42
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Melihat Orang Yang Telah Meninggal Dunia Jawaban yang paling sering diberikan adalah melihat atau bermimpi arwah orang yang telah meninggal dunia, umumnya saudara. Kebanyakan responden menjelaskan apakah arwah berbicara; banyak yang hanya berdiam saja: • “Hantunya tidak berkata apa-apa. Ia hanya memandang saya.” Atau “Ia hanya senyum ke saya.” • “Saya melihat hantunya hanya sekelebat.” • “Hantu itu hanya berjalan-jalan keliling desa.” • “Hantu tersebut duduk di rumah dimana ia biasa menghabiskan waktunya.” • “Di mimpi saya, (arwah) yang mengunjungi tidak berkata apa-apa.” • “Saya melihat suami saya di mimpi saya, tapi ia tidak mengatakan sedang di mana.” • “Saya bermimpi seorang korban konflik yang telah meninggal berdiri di depan rumah saya.” Banyak arwah membawa pesan yang spesifik: • Berterimakasih kepada para saudaranya karena telah memindahkan jenazah dan memberikan penguburan secara Islam. • Meminta (atau mengucapkan terima kasih) kepada saudaranya untuk mengurus para tanggungan orang yang meninggal tersebut. • Memberi nasehat untuk sering berdoa, bersikap baik terhadap saudara, tidak melakukan dosa. • “Saya bermimpi mengenai seorang korban konflik yang telah meninggal yang menceritakan kepada saya apa yang terjadi padanya.”
Mimpi Mengenai Peristiwa Kekerasan Pengalaman konflik dan kehilangan orang yang dicintai merupakan pengalaman yang sering muncul kembali dalam bentuk hantu atau mimpi buruk. Beberapa jawaban yang mencerminkan pengalaman-pengalaman ini meliputi: • Melihat hantu/mayat dengan cidera fisik, cacat tubuh, dan luka-luka • Mimpi-mimpi yang mengulang peristiwa konflik yang benar-benar telah terjadi • “Saya bermimpi saya membawa pulang tulang orang-orang yang meninggal dari hutan.” • “Saya bermimpi saya membuang mayat di sungai.” • “Di mimpi saya, saya melihat seseorang tertembak.”
Mimpi dan Kunjungan Arwah Setelah Peristiwa Kekerasan yang Baru Saja Terjadi Beberapa responden mengaitkan kunjungan arwah dan mimpi tentang konflik dengan waktu saat terjadinya peristiwa konflik yang sebenarnya, dimana mereka memperhatikan bahwa apa yang mereka alami tersebut hanya bersifat sementara. Beberapa penduduk desa bahkan ingat mimpi-mimpi yang memprediksi peristiwa konflik yang terjadi segera setelahnya: • “Ya, saya mengalami mimpi buruk mengenai konflik, namun tidak setelah MoU.” • “Saya selalu mengalami mimpi buruk setelah suatu peristiwa konflik di desa saya.” • “Saya mengalami mimpi buruk setiap kali situasi keamanan buruk.” • “Saya bermimpi mengenai konflik yang benar-benar terjadi di keesokan harinya.” • “Saya melihat arwah orang setelah mereka terbunuh.”
Mimpi Mengenai Kekerasan Yang Menimpa Diri Sendiri Serangkaian jawaban terhadap pertanyaan mengenai mimpi buruk menceritakan mimpi-mimpi yang mengulang kembali banyak dari peristiwa traumatik yang dilaporkan pada Tabel 2: • “Saya bermimpi saya diperkosa.” • “Di mimpi saya, saya dipukuli.” atau “Saya diserang.” • “Saya bermimpi dimana saya dicekik oleh jin.” • “Di dalam mimpi saya, saya dikejar/ diseret/ ditelanjangi/ disiksa.” • “Saya khawatir / membayangkan apa yang terjadi di mimpi saya akan benar-benar terjadi terhadap saya atau salah seorang keluarga saya.” • “Saya bermimpi saya ditembak, tapi tidak mati.” • “Saya bermimpi saya dikejar-kejar orang gila.” • “Di mimpi saya, saya dikuliti dan dibakar.” • “Saya bermimpi saya terjebak dalam baku tembak.”
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
43
Mimpi Tentang Tsunami Beberapa desa dalam sampel merupakan masyarakat pesisir pantai yang mengalami musibah tsunami. Namun dimanapun letaknya, hampir semua orang di Aceh telah kehilangan seseorang yang dekat pada tanggal 26 Desember 2004. Walau pertanyaan kedua menyebutkan konflik sebagai alasan utama mimpi buruk, namun beberapa responden lebih menganggap penting untuk berbagi mimpi mengenai penderitaan mereka dalam bencana alam: • “Mimpi buruk saya adalah tentang tsunami, bukan konflik.” • “Dalam mimpi saya, saya dikunjungi oleh anak saya yang meninggal saat tsunami di Banda Aceh.” • “Saya bermimpi sebuah angin besar menghancurkan rumah saya.” • “Saya mendengar suara tangis di malam hari, ketika angin bertiup atau hujan.” • “Saya sering bermimpi tentang banjir besar dan saya tidak tahu dimana harus berteduh atau bagaimana menyelamatkan anak saya.”
Kunjungan Yang Menyenangkan dari Orang Yang Sudah Meninggal Pertanyaan mengenai mimpi secara spesifik menggunakan kata “mimpi buruk”, namun ketika bercerita mengenai mimpi atau kunjungan arwah orang yang dicintai, sejumlah banyak responden mengkoreksi pewawancara dan menekankan bahwa yang mereka alami bukan mimpi buruk, namun justru sebaliknya:“Saya bermimpi tentang suami saya dan mimpi itu menyenangkan dan indah, bukan mimpi buruk.” Komentar mereka menandakan suatu rasa senang, nyaman, kagum, dan keinginan untuk kunjungan lanjut dari pasangan, anak-anak dan teman yang mereka rindukan. Ketika responden menceritakan kepada pewawancara bahwa saudara mereka yang telah meninggal datang untuk mengucapkan terima kasih atas pemakaman yang sudah dilakukan dan meminta mereka untuk menguras anak yang mereka tinggalkan, maka kunjungan-kunjungan tersebut dapat dipandang sebagai bersifat terapeutik dan bukan patologis, sebuah proses yang mungkin membantu menciptakan closure atau penutupan atas kehilangan yang traumatik: • “Saya melihat hantunya, dan seakan-akan dia belum meninggal… sangat terlihat nyata… sangat mirip seperti sebelum ia meninggal.” • “Saya bermimpi tentang teman saya, dia mengunjungi saya. Ia ditembak di tahun 1990an.” • “Saya sering bermimpi tentang suami saya yang selalu pertama-tama bertanya tentang anak-anak kami… terasa sangat nyata sekali.” • “Saya bertemu dengannya di mimpi saya dan saya merasa terinspirasi karena ia begitu berhasil.” • “Terasa seperti putar saya pulang, dan kami berbincang-bincang.”
Manifestasi Rasa Bersalah Diri Bentuk mimpi maupun kunjungan lainnya membuat responden tidak yakin atau tidak nyaman, bukan karena terror namun karena perasaan bersalah yang belum terselesaikan mengenai hutang yang belum dibayar, dosa yang belum dimaafkan, atau tindakan yang mungkin secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan hilangnya nyawa selama konflik: • “Hantu tersebut menyalahkan karena tidak menolongnya saat dibutuhkan.” • “Hantu itu membawa pesan bahwa kematian itu menyakitkan, jadi jangalah berbuat dosa.” • “Hantunya meminta saya untuk membayarkan hutang saya kepadanya.” • “Di mimpi saya, saya mendengar suara seseorang meminta tolong.” • “Di mimpi saya hantu itu menyalahkan saya atas apa yang terjadi.” • “Saya bermimpi saya tidak bisa menolong teman saya.”
Nuansa Agama Bayangan serta pesan-pesan yang bernuansa Islam secara signifikan tampil di dunia supernatural dan mimpi para komunitas Aceh yang tinggal di bekas daerah konflik. Telah disebutkan di atas bagaimana sebuah arwah berterima kasih kepada temannya karena telah memberikan penguburan sesuai Islam. Responden lain menceritakan sebuah arwah yang memintanya untuk membungkus jasadnya dalam kain kafan, yakni sebuah prosedur dalam sebuah penguburan cara Islam. Lainnya menceritakan telah dikunjungi oleh tokoh agama desa mereka yang telah meninggal dunia, yang mengingatkan mereka untuk sholat dan berdoa secara teratur. Seseorang lainnya menceritakan sebuah arwah yang membacakan kalimat syahadat, penyataan keyakinan kaum Muslim. Mimpi tentang tsunami dan gempa, yang dipenuhi dengan banjir dan tanah yang terbuka lebar, mengingatkan warga Aceh akan hari kiamat dalam agama Islam.
44
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Kesehatan Mental dan Psikososial Masyarakat Setelah menjawab beberapa pertanyaan mengenai trauma dan kesehatan mental, para responden ditanyai berbagai macam pertanyaan mengenai masalah kesehatan mental di komunitas mereka sendiri dan sumber daya setempat yang tersedia untuk menanggulanginya. Bagian kuesioner ini dimulai dengan menanyakan kepada mereka apakah responden merasa bahwa ada masalah-masalah kesehatan mental di masyarakat mereka yang terkait dengan tsunami dan/atau konflik, dan apakah masalah-masalah tersebut mempengaruhi responden atau keluarga mereka. Hasilnya disajikan pada Tabel 10.1 di bawah ini: Tabel 10.1 Pandangan Responden Mengenai Penyakit Mental di Masyarakat dan di Keluarga
Apakah menurut anda terdapat masalah kesehatan mental di masyarakat anda yang terkait dengan tsunami dan/atau konflik (%Ya)
Pria (n=315)
Wanita (n=281)
69
62
59
Bireuen (n=180) 80
Aceh Utara (n=179)
Total (n=596)
61
66
Mereka yang menjawab ya:
Pria (n=218)
Wanita (n=175)
Apakah anda rasa masalahmasalah tersebut telah mempengaruhi anda dan keluarga anda? (% Ya)
54
55
Jumlah orang yang memberikan jawaban deskriptif mengenai masalah kesehatan mental di dalam keluarga:
Pidie (n=237)
Pidie (n=140)
ireuen B (n=144)
Aceh Utara (n=109)
29
67
n=43
n=96
n=77
n=123
n=93
70
Total (n=393)
55
n=216
66% dari seluruh responden merasa ada masalah-masalah kesehatan mental di masyarakat mereka yang berkaitan dengan tsunami, konflik, atau kedua-duanya. Perbedaan antara pria dan wanita tidak signifikan secara statistik, namun perbedaan antara ketiga kabupaten secara signifikan berbeda satu sama lainnya. 55% dari mereka yang menjawab ya terhadap pertanyaan pertama kemudian mengatakan bahwa masalah-masalah tersebut mempengaruhi responden maupun keluarga mereka, dengan perbedaan yang signifikan antar kabupaten: 29% di Pidie, 67% di Bireuen, dan 70% di Aceh Utara. Sedikit lebih dari sepertiga total sampel memberikan penjelasan mengenai masalah-masalah psikososial yang membawa pengaruh bagi mereka dan keluarga mereka. Yang menarik mengenai jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut adalah banyaknya jumlah jawaban yang menjelaskan perasaan responden ter-proyeksi terhadap orang-orang lain yang telah terkena dampak konflik atau tsunami. Nasib yang diderita oleh korban-korban lainnya disebut berulang kali sebagai sesuatu yang mempengaruhi responden dan keluarganya. Para responden merasa sedih, kasihan, takut, tidak berdaya, dan ingin beramal dalam menghadap pengalaman konflik orang lain, dan mereka menyebutkan hal tersebut – dengan cukup benar – sebagai masalah psikososial dalam diri mereka sendiri. Dimulai dengan perasaan khawatir mengenai orang lain, masalah-masalah yang disebutkan oleh para responden dapat dikelompokkan ke dalam tema-tema tambahan berikut ini: distres psikologis, kesulitan sehari-hari, perubahan dalam hubungan sosial, dan ingatan mengenai apa yang terjadi.
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Khawatir Tentang Orang Lain • Rasa sedih terhadap korban konflik • Kasihan terhadap korban konflik • Merasa bertanggung jawab atas penderitaan orang lain • Sulit berfikir tentang atau melihat korban konflik lainnya • Memberi nasehat ke orang lain • Takut atau terganggu orang lain yang menderita penyakit mental • Takut menjadi korban konflik: “jika melihat orang lain, saya tidak dapat bayangkan apa jika itu terjadi pada saya” • Tidak berdaya atau tidak mampu untuk membantu orang lain Distres Psikologis • Masih merasa was-was • Syok • Mudah lupa • Lemah secara fisik • Takut meninggalkan rumah, takut pergi bekerja • Sering terkejut • Fikiran-fikiran sulit • Mual karena sakit kepala • Hilang semangat • Senantiasa mengingat-ingat apa yang terjadi • Pingsan • Takut berbicara dengan orang lain • Takut pada pria yang di dekatnya • Tidak percaya siapa-siapa • Rasa benci • Sulit tidur • Tidak dapat melihat ke laut (khusus tsunami) • Tidak tahan melihat tentara atau seragam tentara • Takut keramaian Kesulitan Sehari-hari • Merawat anggota keluarga korban konflik • Sulit mendapat penghasilan / pekerjaan yang lebih buruk • Tidak cukup uang • Masalah kesehatan fisik / membutuhkan bantuan medis • Berhenti sekolah • Pemerasan • Bertanggung jawab menghidupi keluarga seorang diri • Hidup dengan cacat fisik • Tanah hancur / tanah tidak layak untuk pembangunan atau tani • Rumah tidak layak / rumah hangus terbakar • Tidak ada keadilan
45
46
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Perubahan Dalam Hubungan Sosial • Anggota keluarga bergabung dengan GAM • Peran pimpinan lebih sulit • Keluarga dengan orang tua tunggal • Hilangnya teman atau anggota keluarga yang terpercaya • Membantu / menyediakan rumah bagi korban konflik atau tsunami • Desas-desus mengenai penculikan anak • Takut menjadi “orang yang tidak berarti” • Rasa tidak percaya terhadap masyarakat • Perkawinan yang tidak bahagia • Lebih banyak pengemis datang Ingatan Tentang Peristiwa yang Telah Terjadi • Penculikan terhadap keluarga • Penyiksaan • Pemukulan • Tembakan / tertembak senjata • Dikejar-kejar oleh pasukan
Para responden kemudian diminta untuk menceritakan kepada kami kelompok-kelompok mana dalam komunitas mereka yang paling menderita akibat “stres atau trauma yang terkait dengan konflik.” Para responden bebas memilih banyaknya jumlah kelompok yang mereka inginkan, tidak perlu berurut, dari kelompok-kelompok berikut ini: wanita, pria, anak-anak, pemuda, mantan tahanan politik, mantan GAM-TNI, orang tua, janda/duda akibat konflik, dan “lainnya.” Hasilnya disajikan dalam Tabel 10.2 di bawah:
Tabel 10.2 Pilihan Responden Atas Kelompok-kelompok di Dalam Komunitas Mereka yang Paling Menderita Akibat Stres atau Trauma yang Terkait Dengan Konflik Mana dari kelompok-kelompok berikut ini di dalam komunitas anda yang paling menderita akibat stress atau trauma yang terkait dengan konflik? (% Ya)
Pria (n=315)
Wanita Pria Anak-anak Pemuda Mantan tahanan politik Mantan GAM-TNI Orang tua Janda / duda akibat konflik Lainnya
70 84 37 76 24 32 43 37 4
Wanita (n=281)
59 77 26 66 13 18 33 26 9
Pidie (n=237)
44 70 3 57 0 2 10 4 12
Bireuen (n=180)
87 94 56 95 43 61 66 66 1
Aceh Utara (n=179)
Total (n=596)
69 81 45 65 20 22 48 35 3
65 81 32 71 19 26 38 32 6
Karena para responden bebas untuk memilih seberapa banyak kelompok dari daftar tersebut, masing-masing baris dalam tabel itu merupakan persentase dari orang-orang yang berkata “ya” terhadap kategori tersebut, namun tanpa mengabaikan pilihan lainnya. Oleh karena itu, persentase pada masing-masing kolom tidak menjadi berjumlah 100%.
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
47
Pengalaman Tokoh/ Pemimpin Masyarakat Wawancara dengan para informan kunci menceritakan banyak tentang tekanan yang dihadapi oleh para kepala desa, guru, tokoh agama, dan pemimpin masyarakat lainnya di Pidie, Bireuen dan Aceh Utara yang sarat dengan konflik. Dari perspektif psikososial, dua nuansa yang paling mencolok menyangkut pengalaman pemimpin masyarakat selama konflik adalah perasaan terjepit, dan sebagai konsekuensinya, suatu keengganan untuk memimpin.
Terjepit Kata ‘terjepit’ sering disebutkan ketika informan membicarakan peran dan pengalaman mereka selama konflik. Para kombatan dari kedua belah pihak menganggap para pemimpin desa bertanggung jawab atas kegiatan dan keterpihakan masyarakatnya. Dalam bahasa Aceh, salah seorang tokoh agama di Bireuen menggambarkannya sebagai “keuchik lageu boh sunti,” kepala desa terjepit bagaikan buah tamarin di bawah batu. Para warga lainnya menyebutkan bahwa kepala desa “ditekan dari kanan dan kiri,” atau “dari atas dan bawah.” Para pemimpin desa merasa mereka tidak dapat menyenangkan semua orang dan selalu merasa ‘serba salah’. Seorang tokoh agama lainnya di Pidie menjelaskan bahwa ia dapat menjaga jarak antar kedua belah pihak dengan hanya memberikan sumbangan uang kepada GAM ketika mereka meminta, dan memberikan lagi ketika pasukan pemerintah datang. Namun tidak semua pemimpin dapat luput dari kekerasan; para kepala desa seringkali disiksa agar memberikan informasi mengenai anggota masyarakatnya, lainnya terbunuh di depan keluarganya, dan diceritakan bahwa salah satu dari keluarga tersebut di Pidie kemudian mengisolasikan diri dan menderita stres psikologis yang berat.
Keengganan Untuk Memimpin Para informan kunci berulang kali menggunakan istilah“nafsi-nafsi”(yang umumnya berarti“pribadi”atau“individualistik”) untuk menggambarkan dampak konflik terhadap orang di masyarakat, yakni orang-orang sangat sibuk memastikan keselamatan diri dan keluarganya sehingga mereka tidak dapat menjaga kepentingan masyarakat. Pada makna terburuknya, nafsi-nafsi menyiratkan sebuah individualisme egois tanpa perhatian untuk orang lain, tetapi dalam membaca transkrip wawancara para informan kunci, dapat dilihat bahwa nafsi-nafsi merupakan konsekuensi yang disayangkan namun pasti muncul jika para warga di desa-desa tersebut ingin menyelamatkan diri mereka selama konflik. Nafsi-nafsi paling sering terlihat dalam bentuk keengganan para warga desa untuk menempatkan diri di posisi pemimpin. Di dalam suatu keadaan dimana ada tekanan dari kanan dan kiri, atas dan bawah, tidaklah mengejutkan bahwa banyak desa menemukan kesulitan untuk memilih pemimpin selama konflik. Salah seorang kepala desa berusia 26 menjelaskan bahwa pendahulunya hanya bertahan beberapa bulan, tidak mampu menghadapi tekanan kepemimpinan yang sulit, hingga akhirnya tanggung jawab itu jatuh ke dirinya. Para kepala desa di Aceh hampir semuanya pria, dan daerah-daerah konflik mengalami kekurangan pria baik karena mereka sedang berperang, telah pergi untuk menyelamatkan diri, atau telah meninggal. Salah satu daerah di Pidie masih dikenal sebagai ‘bukti janda’. Pria-pria muda tiba-tiba ditempatkan dalam posisi kepemimpinan yang biasanya ditempati oleh para tetua desa, namun posisi tersebut bahkan lebih berbahaya bagi orang-orang muda, karena data kuesioner menunjukkan bahwa pria berusia muda paling berkemungkinan mengalami kekerasan terhadap dirinya. Seorang kepala desa berusia 34 tahun mengatakan kepada para pewawancara: “Sebagai seorang pemuda di masyarakat [pada masa konflik], saya dicurigai memberikan perlindungan kepada anggota GAM.” Sejak penandatanganan perjanjian perdamaian, para pria muda telah berpulangan dan pengalaman mereka di luar Aceh meyakinkan masyarakat untuk mengajukan mereka sebagai kepala. Salah satu informan kunci berusia 32 tahun diajukan sebagai kepala desa tidak lama setelah pulang dari Malaysia setelah tsunami.
Satu Kepala Desa, Dua Negara (“Sidroe Geuchik, Dua Nanggroe”) Cerita tentang sebuah kunjungan oleh tim peneliti psikososial ke sebuah desa di Pidie secara bagus menggambarkan tantangan-tantangan yang telah disebutkan dihadapi oleh tokoh pemimpin masyarakat di Aceh selama konflik dan relevansinya terhadap kesehatan mental. Setelah menghabiskan setengah jam di rumah kepala desa untuk memilih secara acak rumah-rumah untuk wawancara kuesioner, ketua tim melakukan tiga wawancara dengan informan-informan kunci dan koordinator IOM pergi ke warung kopi desa untuk sebuah diskusi informal dengan para warga desa. Ketua tim pertamatama mewawancarai sekretaris desa, yang menjelaskan bahwa “para warga desa lainnya di sini enggan untuk menjadi kepala desa karena mereka harus menghadapi tekanan besar dari luar yang sangat menekan dan mempengaruhi kesehatan mental mereka.” Walau peran resmi dirinya dalam masyarakat adalah sekretaris desa, ia menjelaskan bahwa dirinya menangani banyak tugas di dalam desa tersebut seperti pengembangan infrastruktur dan kegiatan pemuda karena kepala desa memiliki “sedikit masalah kesehatan.” Wawancara ketua tim berikutnya adalah dengan seorang mantan GAM berusia 33 tahun yang menceritakan bahwa “orang yang paling menderita di sini selama konflik adalah kepala desa karena ia adalah sidroe guechik, dua nanggroe,” seorang kepala desa yang mengurus dua negara, dua pemerintahan, yang masing-masing merasa memilikinya.
48
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Sementara itu, koordinator IOM, setelah menjelaskan kepada warga desa di warung kopi bahwa tim penelitinya sedang mengumpulkan informasi mengenai kesehatan jiwa yang berkaitan dengan konflik, mendengarkan cerita-cerita dari warga setempat mengenai kepala desa mereka yang “gila.” “Sesekali waktu ia akan hilang selama beberapa hari,” dan “semua orang tahu bahwa kalau dia pergi maka ia sedang menyendiri untuk berdoa di hutan, namun tidak ada yang mengerti apa yang dia katakan.” “Keluarganya sudah terbiasa,” dan tampaknya demikian juga semua orang di masyarakat desa tersebut, karena mereka menceritakan kisah tersebut tanpa dibuat-buat, rasa benci atau Ketakutan. Selama hari itu, semua staf peneliti melihat kepala desa berjalan mondar-mandir di sekitar desa, sewaktu mereka melakukan wawancara di berbagai rumah yang dipilih, dan dia juga melewati warung kopi tersebut beberapa kali. Wawancara ke-tiga yang dilakukan oleh tim Pidie tersebut untuk hari itu adalah dengan kepala desa itu sendiri, yang berterusterang mengenai pengalamannya dengan kesehatan mental. Sewaktu mereka duduk bersama-sama dengannya di meunasah selama 80 menit, kepala tim memperhatikan bahwa kepala desa menampilkan banyak gejala yang ia sebutkan, seperti keresahan dan ketidakmampuan untuk duduk diam. Ia selalu merasa harus bergerak, yang mungkin menjelaskan tindakannya berjalan-jalan tanpa tujuan di dalam desa sewaktu tim peneliti sedang berada di sana. Ia sangat sadar bahwa ia berperilaku seperti seseorang yang mengidap gangguan mental, dan menceritakan saat-saat ia sedang menyendiri ketika ia berperilaku paling aneh. Walau dengan penyakitnya tersebut, masyarakat memilihnya sebagai kepala desa, jelasnya, karena tidak ada orang lain yang mau menghadapi kedua belah pihak selama konflik. Ia tidak takut untuk mengambil posisi tersebut, jelasnya, karena ia memiliki pengetahuan agama yang sangat mendalam. Para warga mengatakan bahwa ia “pugo na’hu,” gila karena menghafalkan dan membacakan ucapan-ucapan aneh dalam bahasa Arab. Disamping itu, ia mengerti beberapa istilah dalam bahas Jawa dan ini berguna dalam negosiasinya dengan tentara RI yang menganggapnya sebagai teman karena usahanya tersebut. Beberapa kali ia dituduh membantu GAM, dan desanya diawasi ketat selama konflik, namun ia berhasil lolos dari nasib yang mengenaskan jika ia berbicara dalam bahasa Jawa. Sebuah kunjungan ke suatu masyarakat hanya untuk satu hari membuat sulit untuk meneliti sebab maupun akibat, namun walau konflik ini kemungkinan telah memperburuk kesehatan jiwa kepala desa tersebut (sebagaimana yang dilaporkan oleh warga lain), ini bisa jadi merupakan contoh unik di seluruh Aceh dimana penyakit jiwa kemungkinan telah memberi dampak protektif terhadap nyawa kepala desa dan status sosialnya selama tahun-tahun konflik. Contoh ini menunjukkan bagaimana sebuah komunitas dan seorang individu dapat secara strategis mempergunakan penyakit jiwa ke dalam bentuk yang bersifat protektif yang tidak lazim.
Dampak dari Tsunami Ketika ditanya apakah menurut mereka banyak masalah kesehatan mental yang berkaitan dengan tsunami, para responden melaporkan angka-angka yang konsisten dengan kecenderungan penurunan dampak tsunami pada kabupaten-kabupaten dari barat ke timur (56 dari Pidie, 46 dari Bireuen, dan 20 dari Aceh Utara). Setelah diberikan sebuah daftar yang memuat beberapa gejala, para responden menjawab pertanyaan tersebut dengan memilih gejala-gejala dari daftar tersebut yang mereka rasakan menyerupai apa yang telah mereka amati di masyarakat mereka sendiri, disertai dengan beberapa penjelasan bagaimana gejala-gejala tersebut tampil. Gejala-gejala berikut ini merupakan gejala yang paling sering disebut yang berhubungan dengan tsunami: • • • • • • • • • •
Hilangnya harapan, semangat dan/atau tenaga untuk hidup Rasa malas Keengganan untuk bersosialisasi, kesepian Takut akan laut dan pantai Rasa takut, gemetar, panik dan/atau melarikan diri setelah setiap gempa Menangis sendiri Terlalu banyak fikiran/ terlalu sering berfikir Tidak mampu membayangkannya Kesulitan memenuhi kebutuhan hidup keluarga Menghadapi masalah-masalah di tempat kerja
Beberapa responden menyebutkan bahwa sebagian besar orang yang mengidap gejala-gejala tersebut pulih sendiri setelah beberapa minggu atau bulan setelah tsunami, dan salah satu korban tsunami bahkan mengatakan “Tidak, [namun] karena
49
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
orang-orang datang untuk mengunjungi dan menenangkan saya,” yang menandakan tidak hanya bahwa trauma terburuk yang dialami selama tsunami telah berlalu dan masyarakat memulai menjalani hidup kembali, namun juga bahwa mekanisme dukungan sosial sudah ada untuk menanggapinya. Beberapa wawancara informan kunci dari desa-desa korban tsunami dalam sampel kami menyebutkan bahwa bantuan tsunami telah melunakkan dampak stres dan trauma yang disebabkan konflik: “Dengan datangnya bantuan untuk bencana tsunami, masyarakat mulai tenang beberapa bulan kemudian, seolah-olah beban konflik dapat dilupakan… bantuan paska-tsunami telah membuat masyarakat kami lebih tenang.” Para pengamat yang lebih berperspektif politik menyadari peran penting yang dimainkan tsunami dalam mengakhiri konflik dan memungkinkan orangorang untuk pulang: “Setelah tsunami dan keadaan keamanan yang membaik, bersamaan dengan orang-orang asing yang datang bekerja di Aceh, putar saya memutuskan untuk pulang kembali.” Sementara itu, beberapa responden kuesioner dari desa-desa yang terletak jauh dari pesisir yang terkena tsunami mengetahui adanya bantuan besar-besaran yang didatangkan ke tempat lain, disamping masyarakat mereka sendiri yang terkena konflik, walau dengan adanya pernyataan bantuan bagi korban konflik berdasarkan perjanjian perdamaian.
Daya Tahan dan Respon Para pewawancara menanyakan kepada semua responden “Dalam enam bulan terakhir, apakah anda pernah melakukan hal-hal berikut ini untuk menanggulangi pengalaman buruk yang terkait dengan konflik?” Daftar jawaban yang bisa dipilih diperlihatkan dalam kolom sebelah kiri pada Tabel 10.3. Para responden bebas untuk memilih sebanyak yang mereka inginkan; tiap baris dalam tabel tersebut merupakan persentase warga yang menjawab “ya” dalam kategori tersebut, namun tanpa mengabaikan pilihan lainnya. Oleh karena itu persentase di masing-masing kolom tidak berjumlah 100%.
Tabel 10.3 Tindakan Mencari Bantuan Selama Enam Bulan Terakhir
Dalam enam bulan terakhir, pernahkah anda melakukan hal-hal berikut ini untuk menanggulangi pengalaman buruk berkaitan dengan konflik? (%Ya)
Pria (n=315)
• Membicarakannya dengan teman atau keluarga • Mengunjungi dukun atau tabib/ minum obat tradisional • Mencari bantuan medis • Berkonsultasi dengan seorang ahli kesehatan mental • Berkonsultasi dengan seorang ahli agama • Berdoa • Olah-raga • Mencoba melupakan pengalaman tersebut • Pindah ke lain tempat • Tidak melakukan apa-apa • Lainnya • Tidak ada “pengalaman buruk” (Tidak berlaku)
36
34
23 71 4 17 1 6 2 23
2
19 1
Wanita (n=281)
Pidie (n=237)
Bireuen (n=180)
Aceh Utara (n=179)
Total (n=596)
37
35
18
56
3
0
7
11 2
3 0
34 3
12 1
15 1
11
8
34
11
17
70 1 15
47 0 5
92 3 17
81 4 29
71 2 16
5 6 2 26
4 0 1 53
2 5 1 6
2 15 4 4
3 6 2 24
2
3
50
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Pria lebih cenderung mencari bantuan medis (19% dibanding 11%) dan berkonsultasi dengan seorang ahli agama (23% dibanding 11%). Wanita maupun pria mencari ketenangan dalam berdoa (71%) dan lebih banyak orang dari Bireuen (92%) dan Aceh Utara (81%) daripada Pidie (47%) yang merasa perlu untuk melakukan hal tersebut. 35% dari warga, yang terbagi rata antara pria dan wanita, dan lebih banyak yang dari Bireuen (56%) dan Aceh Utara (37%) daripada Pidie (18%) berbicara mengenai masalah kesehatan jiwa dengan teman atau keluarga. Hanya 1% dari responden mencari pertolongan dari ahli kesehatan mental, yang mencerminkan kurangnya ketersediaan layanan kesehatan mental di masyarakat Aceh maupun kemampuan untuk membayar biaya layanan kesehatan medis khusus. Para pewawancara juga menanyakan sebuah pertanyaan terbuka mengenai siapa yang menolong mengurus korban konflik yang menderita penyakit mental di masyarakat mereka. Hampir setengah sampel (280 responden, 47%) menyempatkan diri untuk menjawab. Sebagian besar dari jawaban-jawaban tersebut mengatakan “para keluarga melakukannya sendiri” dan seringkali dengan menekankan bahwa “tidak ada pertolongan lain bagi korban konflik yang berpenyakit mental kecuali keluarga mereka sendiri.” Sebuah minoritas signifikan dari responden menyebutkan beberapa komponen sistem pelayanan kesehatan umum di Indonesia seperti bidan desa, puskesmas, dokter dan perawat, rumah sakit di tingkat kabupaten, dan juga rumah sakit jiwa di Banda Aceh, namun pertanyaan ini juga memberikan peluang yang tidak disangka bagi responden untuk mengutarakan ketidakpuasan mereka atas kurangnya pelayanan kesehatan di Aceh. Beberapa jawaban yang umum menyangkut hal ini meliputi berbagai bentuk pernyataan di bawah ini: • • • • • • • •
“Hanya bagi mereka yang bisa membayar” “Tidak di sekitar sini” atau “tidak ada bantuan di sini karena adanya konflik” “Tidak ada bantuan LSM di sini” “Tidak ada bantuan pemerintah di sini” “Tidak ada siapa-siapa” “Saya harus mengurus sendiri saudara-saudara saya yang sakit” Pernyataan putus harapan, menyerah, atau pasrah Pernyataan marah terhadap para petinggi di Aceh
Perlu untuk dicatat bahwa di satu desa yang terkena dampak tsunami, sebuah LSM telah membuka sebuah klinik trauma bagi korban di masyarakat tersebut. Beberapa responden dari desa ini menyebutkan klinik tersebut sebagai suatu sumber daya dalam masyarakat mereka, sekali lagi menandakan bahwa setelah lebih dari 18 bulan setelah bencana terdapat cakupan layanan yang tidak proporsional di daerah-daerah tsunami jika dibandingkan dengan daerah Aceh lainnya. Ketika ditanyakan mengenai sumber daya masyarakat untuk menangani kesehatan mental yang terkait dengan konflik, para informan kunci memberikan jawaban-jawaban yang seluruhnya konsisten dengan apa yang dikatakan oleh responden kuesioner, namun dengan penjelasan yang lebih rinci yang menandakan bahwa dukungan dari segi agama merupakan langkah berikut setelah perawatan oleh keluarga. Juga terlihat dari para informan kunci adalah elemen nafsi-nafsi yang disebutkan di atas, yakni konflik memaksa para individu dan keluarga untuk memprioritaskan kebutuhan mereka di atas kepentingan komunitas. • “`atau satu orang pun yang peduli mengenai penyakit mental di komunitas, semuanya bergantung pada keluarga masingmasing.” • “Tidak ada perhatian terhadap orang-orang yang mengidap stres atau trauma karena tidak ada yang bisa atau memiliki kesempatan, karena orang-orang menemui kesulitan bahkan hanya untuk mengurus diri sendiri.” • “Masyarakat tidak mampu dan tidak peduli tentang nasib orang-orang yang mengidap penyakit mental; jika mereka bisa sembuh kembali, itu karena terjadi dengan sendirinya.” • “Teman-temannya menyarankan untuk ikut pengajian dan dengan cara itu kondisinya lambat-laun stabil dan akhir-akhir ini ia tampak sehat lagi. • “Bantuan komunitas hanya datang dari keluarga orang yang sakit dan dari zakat.” • “Mereka yang menderita penyakit mental hanya dirawat oleh keluarga mereka sendiri dan ikut pengajian.”
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
51
Obat-obatan Tradisional Di Aceh Salah satu faktor yang harus dipertimbangkan ketika membaca Tabel 10.3 adalah bahwa banyak staf peneliti psikososial ini merupakan juru rawat kesehatan mental, yang mungkin memiliki pengaruh pada bagaimana para responden menjawab pertanyaan ini. Para staf peneliti lainnya adalah dosen dari Syiah Kuala University di Banda Aceh, yang berarti bahwa mereka orang kota yang berpendidikan tinggi. Riset etnografi kualitatif menandakan bahwa penggunaan dokter-dokter tradisional (dukun atau tabib) di Aceh lebih umum daripada yang ditunjukkan oleh tabel di atas, namun para responden kuesioner kemungkinan enggan untuk mengatakannya di depan para profesional medis dan para kaum elit dari kota karena kedua kelompok tersebut dianggap oleh masyarakat pedesaan sebagai warga modern yang rasional yang memandang rendah praktek-praktek pedesaan yang “kuno.” Hanya dua wawancara informan kunci yang menyebutkan secara spesifik obat-obatan tradisional sebagai suatu pilihan untuk mengobati penyakit mental. Seorang informan kunci di Aceh Utara menyebutkan bahwa biasanya keluarga merawat sendiri orang sakit mental namun mereka terkadang minum air rebusan sarang semut merah sebagai cara pengobatan. Seorang informan lainnya dari Pidie mengatakan kepada pewawancaranya bahwa pasien dengan penyakit mental biasanya dibawa ke dokter tradisional di sebuah desa tetangga. Para dokter tradisional di Aceh biasanya disebut sebagai tabib atau dukun, dan terdapat perbedaan berdasarkan daerah mengenai istilah mana yang biasa digunakan. Tidak ada organisasi formal, pelatihan atau kodifikasi praktek bagi para dokter tradisional di Aceh. Masing-masing bekerja secara independen, namun saling mengenal satu sama lainnya serta spesialisasi masing-masing guna membuat rujukan. Para dokter tradisional tidak bersaing baik satu sama lain maupun dengan sistem puskesmas, karena mereka mengakui bahwa setiap dokter tradisional memiliki spesialisasi dan bahwa banyak kondisi medis lebih baik ditangani di puskesmas (seperti luka, muntah-muntah, dan diare). Mereka mempelajari keahlian mereka itu pada saat magang dengan orang pendahulunya, atau kemahiran mereka diwariskan di dalam keluarga. Sebagian besar praktek yang dilakukan melibatkan pengetahuan yang rinci mengenai pengumpulan, pengramuan, dan pengaplikasian tanaman setempat dan produk makanan ke dalam suatu adonan atau minuman. Semua dokter tradisional yang diwawancarai oleh koordinator IOM memiliki kemampuan khusus untuk memasukkan sebuah elemen Islam ke dalam obat yang mereka ramu dan berikan kepada pasien. Kata kerja dalam bahasa Aceh ngerajah adalah yang paling serupa dengan kata-kata seperti “mantra”,“sesajen,” atau “restu.” Ngerajah biasanya melibatkan pengucapan ayat Quran pada saat peramuan maupun pemberian obat. Tidak ada dokter tradisional di Aceh yang berani mengaku memiliki tangan yang bisa menyembuhkan, namun bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memanggil dan menyalurkan kekuasaan penyembuhan dari Tuhan. Para dokter tradisional menangani penyakit fisik maupun kejiwaan, berkisar dari meluruskan tulang patah dan gastritis hingga kerasukan dan penghilangan gunaguna yang menyebabkan penyakit. Para dokter tradisional yang diwawancarai koordinator IOM di Bireuen biasa menemui tiga hingga dua puluh pasien sehari. Beberapa pasien datang dari jauh dari dalam Aceh maupun dari luar, berdasarkan anjuran mulut-ke-mulut. Para pasien tinggal di rumah dokter tersebut selama rata-rata lima hari, namun terkadang hingga tiga bulan, memperoleh perhatian terus menerus sewaktu berada di tempat tersebut. Para pasien jarang membayar dengan menggunakan uang, namun dengan barang, dan jarang sekali sama dengan uang yang dibayarkan kepada dokter di klinik-klinik medis. Banyak orang di Aceh menggunakan layanan klinik dan pengobatan tradisional secara bersamaan. Umumnya kunjungan pertama adalah ke dokter tradisional karena lebih mudah daripada pergi ke klinik. Pasien juga terkadang singgah ke rumah dokter tradisional pada saat pergi ke klinik atau pada saat pulang dari sana, karena pengobatan yang diberikan tidak akan merugikan dan berguna dalam memenuhi aspek spiritual dari penyakit yang mereka derita yang tidak didapat di dalam pilpil yang didapat dari apotek. Para penduduk desa di Aceh memiliki gambaran jelas mengenai penyakit apa yang perlu untuk dibawa ke klinik saja, yang mana membutuhkan kedua-duanya, dan mana yang hanya butuh dokter tradisional saja. Seorang wanita muda yang baru saja lulus SMA mengatakan bahwa dari pelajaran-pelajarannya di sekolah ia tahu bagaimana obat bekerja secara biologis, bagaimana metode ilmiah mendemonstrasikan keefektifan obat-obatan modern, namun demikian masih merasa bahwa dokter tradisional memberikan suatu kenyamanan yang sangat membantu mendapatkan hasil yang positif daripada kunjungan ke klinik. Ia kemudian berkata bahwa kunjungan ke klinik hanya memperkuat pengetahuan mengenai sakitnya tersebut, mengingatkan bahwa dirinya sakit, dan dalam jangka pendek membuatnya merasa lebih buruk. Ketika pil tidak bekerja, rasa kesalnya meningkat karena ia khawatir mengenai dampak samping. Ia tidak tahu kenapa demikian, dan ini selalu mengejutkannya setelah apa yang ia pelajari di sekolah, namun dokter tradisional lebih berhasil dalam menangani kebutuhan kesehatannya daripada puskesmas. Terdapat tiga aspek pada praktek-praktek pengobatan tradisional di Aceh yang memperkuat persepsi keefektifannya. Pertamatama adalah waktu yang dihabiskan dokter tradisional dengan para pasien, yang bisa satu malam hingga beberapa bulan. Para pasien puskesmas seringkali mengeluh bahwa dokter atau perawat hanya menghabiskan waktu lima atau sepuluh menit
52
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
dengan mereka, dan terkadang bahkan tidak melakukan pemeriksaan fisik. Kedua adalah kedekatannya dengan rumah mereka. Sebagian besar pasien dapat menemukan dokter tradisional di dalam komunitas mereka sendiri dan hubungan antara dokter tradisional dan pasiennya memastikan diberikannya perhatian dan kenyamanan. Ketiga adalah elemen agama dan kejiwaan. Situasi fisik sebuah klinik tidak memiliki nuansa praktek agama, sedangkan kekuatan Tuhan untuk menyembuhkan, yang ditimbulkan oleh obat-obatan tradisional yang diramu dengan menggunakan pengucapan ayat-ayat Quran, menghilangkan ketidakpastian yang umumnya menyertai pil generik yang sering tidak difahami yang dibagikan di klinik. Tiga anggota tim peneliti psikososial IOM mewawancarai seorang dokter tradisional ahli penyakit jiwa di Bireuen. Ia membedakan korban konflik dari kasus-kasus sihir yang ia tangani, dan menjelaskan kepada kami bahwa sebagian besar dari pasien yang ia temui dapat dikategorikan sebagai korban konflik, memperkirakan bahwa sebagian besar gejala tersebut ditimbulkan dari pemukulan yang berlebihan terhadap tubuh. Ia sendiri menderita pukulan ke kepala dari sebuah popor senjata api dalam sebuah operasi sweeping di desanya. Pada saat ia diperintahkan untuk tidak lagi menerima pasien di rumahnya, sebuah perintah yang ia ikuti selama 20 hari sebelum membuka kembali. Pasien korban konflik dapat dibedakan dari pasien-pasien jenis lainnya yang ia tangani karena mereka biasanya masih bisa mengucapkan ayat-ayat Quran tanpa gangguan, sedangkan pasien-pasien korban sihir biasanya tidak mau mengucapkan doa. Ia mengaku telah menangani baik tentara GAM maupun KOSTRAD selama konflik. Jumlah pasiennya telah meningkat sejak penandatanganan perjanjian perdamaian karena warga sipil lebih memiliki kebebasan untuk berpergian. Ia memiliki dua orang magang untuk membantunya dan sebuah bangunan baru di samping rumahnya sedang dibangun guna menampung pasien-pasien lain, khususnya pasien-pasien yang psychotic yang mungkin melakukan kekerasan terhadap orang lain.
Opini Masyarakat: Apa Yang Harus Dilakukan? Setelah para responden kuesioner dan informan kunci diminta untuk menjelaskan beberapa kesehatan mental dan masalah psikososial di komunitas mereka yang berkaitan dengan konflik, mereka ditanya apa yang menurut mereka harus dilakukan untuk membantu orang-orang yang memiliki masalah-masalah tersebut. Para informan kunci ditanyakan pertanyaan yang sama. Sama seperti pertanyaan-pertanyaan yang menanyakan responden mengenai siapa yang biasanya mengurus orang-orang yang mengidap masalah kesehatan jiwa di masyarakat, para responden mengambil kesempatan ini untuk mengungkapkan rasa frustasi dan marah mereka terhadap pemerintah dan terhadap kedua belah pihak selama konflik. Jawaban kedua terhadap pertanyaan ini, khususnya dari para informan kunci, adalah tuntutan akan bantuan materiil paska-konflik. Sebagian besar warga komunitas-komunitas ini, tidak seperti korban tsunami di sepanjang pesisir pantai Aceh, menyadari nilai terapautik yang ada dalam kegiatan membangun kembali infrastruktur dan mata pencaharian yang hancur, kembali bekerja, dan meneruskan hidup mereka. Tema-tema lain yang muncul dari pertanyaan ini adalah usulan-usulan mengenai bantuan medis, dukungan agama, dan upaya sosial yang lebih baik di dalam komunitas bagi orang-orang yang memiliki penyakit mental. Terakhir, beberapa responden menyatakan rasa putus asa dan pasrah pada nasib, sedangkan lainnya menuntut hal-hal yang pribadi (misalnya, “Temukan suami saya!”) Pengungkapan Rasa Frustasi / Marah, Tuntutan Akan Keadilan • “Perlu diberikan perhatian lebih terhadap korban konflik dan komunitas mereka.” • “Saya tidak bisa pergi puskesmas / pemerintah.” • “Saya tidak tahu sama sekali karena kami belum pernah menerima bantuan apa-apa.” • “Tidak boleh ada pembunuhan lagi di masyarakat ini!” • “Hukum mati pelaku kejahatan ini.” • “Pemerintah harus menangani kejahatan dan kekerasan yang dilakukan pada masa konflik.” • “Kedua belah pihak dalam konflik harus lebih bisa mengendalikan diri / menggunakan akal mereka.” • “Akhiri konflik selamanya.” Atau “Pertahankan perdamaian.” • “Saya berdoa mendapatkan bantuan LSM disini.” • “Kami memerlukan lebih banyak informasi mengenai apa yang terjadi dengan proses perdamaian.” Bantuan Materiil • Bantuan sosio-ekonomi • Bantuan perumahan • Program mikro-kredit
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
• • • •
53
Bantuan kerja “Perbaiki jalanan!” dan perbaikan infrastruktur lainnya Rehabilitasi tanah dan rekonstruksi pertanian lainnya “Traktor” dan bantuan modal lainnya
Bantuan Medis • “Kami butuh akses yang lebih mudah terhadap layanan medis.” • “Kami membutuhkan kunjungan medis ke komunitas kami” atau “Dokter perlu datang ke desa kami.” • “Bangun sebuah RS jiwa yang lebih dekat daripada Banda Aceh.” • “Bantuan keuangan untuk pelayanan medis.” • “Berikan pasien perawatan yang lebih baik di klinik dan rumah sakit.” • “Kami butuh obat-obatan lebih banyak.”“Kami membutuhkan obat secara teratur/konsisten.”“Kami membutuhkan obat yang benar.” Dan juga “Kami membutuhkan obat gratis.” • “Kami butuh terapi/konseling.” • “Kami perlu dokter tradisional keliling.” • “Pasien jiwa perlu mendapatkan perawatan dengan segera sebelum kondisinya memburuk.” • “Pergi ke pusat trauma” (hanya khusus dalam satu desa yang memiliki pusat trauma) • “Kami membutuhkan lebih banyak puskesmas pembantu” • Bantuan transportasi untuk layanan medis • “Perawatan pengidap penyakit mental membutuhkan sebuah LSM yang akan lebih aktif mensosialisasi dan mengambil tindakan. Tidak hanya menunggu pasien berobat mensosialisasi dan bertindak.” Dukungan Agama • Kelompok pengajian bagi pengidap penyakit mental • Berdoa sendiri-sendiri • “Tawakkal kepada Allah” • “Perawatan pengidap penyakit mental perlu disertai dengan dukungan tokoh agama di dalam masyarakat.” Upaya Sosial yang Lebih Baik • “Jangan meninggalkan orang sakit sendirian.” Pendampingan bagi yang sakit mental. • “Berikan semangat / harapan hidup bagi pengidap penyakit jiwa.” • Sering berkumpul dengan taman dan tetangga • Bergabung dalam kegiatan sehari-hari • Berbagi pengalaman satu sama lain. Berbicara dengan saudara dan teman dekat. • Menciptakan lembaga khusus sebagai wadah aspirasi manusia • Habiskan waktu lebih lama di warung kopi desa • “Mereka membutuhkan dukungan dan arah.” Ketidakberdayaan • “Kami hanya warga desa yang tidak berdaya.” • “Mereka tidak dapat mengurus diri mereka sendiri.” • “Membantu para pengidap penyakit mental merupakan tugas para ahli. Kita tidak boleh bermain-main dengan jiwa orang lain.”
Persepsi Masyarakat terhadap LSM dan Layanan Kesehatan Umum Beberapa komentar di atas menyebutkan kegiatan kunjungan (outreach) dan suatu keinginan untuk mendapatkan dukungan LSM dalam rangka mengembangkan layanan kesehatan mental. Kuesioner memuat dua pertanyaan mengenai minat dalam layanan LSM, yang juga dirancang untuk mengukur preferensi akan mitra pelaksana setempat, yakni pemerintah RI atau GAM, yang saat ini beroperasi di Aceh sebagai sebuah organisasi masyarakat madani. Hasilnya disajikan dalam Tabel 10.4 di bawah ini:
54
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Tabel 10.4 Opini mengenai Layanan Kesehatan Mental LSM dan Mitra-mitra Pelaksana
Pria (n=315)
Wanita (n=281)
Pidie (n=237)
Bireuen (n=180)
Aceh Utara (n=179)
Total (n=596)
Jika sebuah LSM luar menawarkan anda atau keluarga anda layanan kesehatan mental, yang dilaksanakan melalui GAM, apakah anda akan menerimanya? (%Ya)
68
51
64
65
50
60
Jika sebuah LSM luar menawarkan anda atau keluarga anda layanan kesehatan mental, yang dilaksanakan melalui Pemerintah RI, apakah anda akan menerimanya? (%Ya)
51
52
74
35
36
51
Secara keseluruhan, para komunitas yang terkena dampak konflik sedikit lebih memilih layanan LSM yang dilaksanakan dengan kerjasama GAM daripada pemerintah Indonesia, namun perbedaan ini tampaknya sebagian besar diakibatkan oleh jawaban yang diberikan oleh pria. Wanita biasanya secara rata menerima layanan LSM yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia maupun GAM dengan perbandingan pilihan secara berturut-turut sebesar 52% dan 51%, namun apa yang mencolok adalah perbedaan antara dukungan pria (68%) dan wanita (51%) terhadap layanan dari GAM, yang mungkin mencerminkan persepsi pria mengenai bagaimana mereka diperlakukan oleh tentara Indonesia selama konflik. Dalam kedua skenario, mayoritas responden mendukung pemberian layanan kesehatan mental di masyarakat mereka. Opini ini lebih umum diungkapkan dalam wawancara dengan informan-informan kunci; tokoh masyarakat hampir semuanya secara antusias mendukung “segala macam bentuk” bantuan LSM di desa mereka. Tabel 10.4 di atas merupakan titik awal untuk diskusi mengenai persepsi masyarakat tentang layanan kesehatan umum yang ada. Hanya 35% dan 36% responden dari Bireuen dan Aceh Utara akan menggunakan layanan LSM jika dilaksanakan oleh pemerintah. Sebagian besar orang, ketika meminta bantuan LSM, meminta bantuan langsung, tidak melalui pemerintah, yang dipandang sebagai “berperspektif proyek,” dimana kata “proyek” memiliki arti sebuah kesempatan bagi birokrat untuk memainkan anggaran untuk kepentingan mereka sendiri. Wawancara dengan para informan kunci yang dilakukan oleh koordinator IOM, dan tim peneliti dari Harvard dan Syiah Kuala mengungkapkan sebuah rasa ketidakpercayaan yang tinggi terhadap puskesmas dan layanan kesehatan pemerintah lainnya. Puskesmas pada masa konflik terkadang merupakan tempat bagi kedua belah pihak konflik untuk mengumpulkan informasi mengenai penduduk setempat, menempatkan dokter dan perawat pada posisi yang sama sulit seperti yang digambarkan oleh para pemimpin masyarakat. Beberapa pos militer tingkat kecamatan dibangun di sebelah klinik, sehingga menjamin orang-orang tidak akan menggunakan bahkan jika hidup di dekat daerah tersebut. Di sebagian besar masyarakat bekas konflik, layanan kesehatan tidak tersedia karena daerah-daerah tersebut terisolir. Dapat diingat bahwa jawaban yang paling sering dijumpai mengenai siapa yang menangani masalah kesehatan mental di masyarakat responden adalah keluarga para orang yang sakit. Kutipan dari salah satu informan kunci pantas untuk diulang di sini: “Tidak ada lembaga atau satu orang pun yang peduli mengenai penyakit mental di komunitas, semuanya bergantung pada keluarga masing-masing.” Kemiskinan, tentunya, merupakan satu lagi halangan untuk mengakses layanan kesehatan, bahkan dari klinik pemerintah yang murah jika dipertimbangkan ongkos perjalanan dari desa-desa yang terletak jauh. Warga Indonesia dapat memperoleh layanan medis bebas biaya melalui program asuransi kesehatan nasional, namun dengan surat rujukan yang benar yang memverifikasi status miskin dari kelapa desa, kantor kecamatan, dan bahkan kantor kabupaten jika rujukan kedua dibutuhkan pada rumah sakit tingkat kabupaten. Setelah mendapatkan surat-surat tersebut, asuransi harus diperoleh dari kantor asuransi,
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
55
kemudian pasien harus kembali ke puskesmas yang terdekat dengan desa asal untuk pemrosesan di dalam jaringan rujukan. Keseluruhan proses, termasuk transportasi, kemungkinan sama tingginya dengan atau bahkan lebih tinggi daripada sebuah kunjungan biasa ke klinik, dan dengan semua biaya dan usaha, sebagian besar pasien lebih memilih menggunakan uang mereka untuk klinik swasta.
Persepsi Penyelenggara Kesehatan Umum Tentang Komunitas Yang Terkena Dampak Konflik Saat tim peneliti melaksanakan wawancara dalam desa-desa yang dipilih secara ajak, para Koordinator IOM biasanya mengunjungi puskesmas terdekat untuk bertemu dengan personil kesehatan setempat. Seperti halnya dengan kepala desa, staf kesehatan bertanggung jawab atas kebutuhan-kebutuhan tertentu dari masyarakat di sekitarnya, sehingga menempati sebuah posisi yang sulit diantara kedua pihak selama konflik. Di satu sisi, para staf puskesmas, sebagai pegawai pemerintah, diharuskan membuat laporan dan informasi lainnya mengenai komunitas mereka kepada badan pemerintah manapun, terkadang dibawah tekanan. Di lain sisi, GAM diketahui sering memeras personil kesehatan pada hari pembayaran gaji, dan terkadang menculik dokter dan perawat guna merawat para orang yang luka di hutan dan tempat persembunyian lainnya. Seperti para guru sekolah, banyak staf kesehatan akhirnya berhenti pergi bekerja, secara efektif menutup layanan kesehatan di berbagai “daerah hitam” di Aceh. Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bahwa Koordinator IOM menemukan suatu kurangnya pengetahuan mengenai permasalahan konflik dan daerah konflik diantara para staf puskesmas – semakin sedikit yang mereka ketahui, semakin mereka dimintai pertanggungjawaban dari kedua belah pihak. Kebanyakan puskesmas telah dibuka kembali sejak perjanjian perdamaian, dan beberapa klinik satelit direncanakan akan dibangun kembali dalam beberapa tahun mendatang, namun staf kesehatan masih belum melakukan kegiatan ke pelosok di bekas daerah konflik, dan seperti banyak warga perkotaan Aceh tetap was-was mengenai suasana keamanan di sana.
Anak-anak dan Pemuda Kuesioner yang dirancang oleh para tim peneliti psikososial tidak secara sistematis membahas pengalaman anak-anak dan pemuda karena penelitian mengenai permasalahan anak-anak membutuhkan pertimbangan etika dan metodologi tertentu. Namun patut diperhatikan dalam Tabel 2 di atas bawah 7% dari semua responden (9% di Bireuen maupun Aceh Utara) melaporkan kekerasan terhadap anak-anak sebagai masalah dalam situasi paska-konflik. Tabel 10.2 di atas menunjukkan bahwa 32% dari semua responden (secara berturut-turut 56% dan 45% warga di Bireuen dan Aceh utara) menyebutkan anakanak sebagai kelompok yang menderita paling banyak selama konflik. 71% dari semua responden (95% dari warga di Bireuen) menyebutkan kaum muda sebagai yang paling menderita, temuan yang serupa dengan indikator yang dilaporkan oleh para individu yang menunjukkan bahwa pria muda umumnya mengalami kekerasan fisik paling berat. Hampir semua wawancara informan kunci menegaskan persepsi masyarakat tersebut mengenai pria muda. Salah satu tokoh masyarakat mengatakan kepada pewawancara bahwa ia menyarankan para pria muda untuk meninggalkan Aceh sampai konflik selesai. Sejumlah informan kunci menyebutkan beban yang diletakkan pada anak-anak selama dan setelah konflik. Seorang tokoh pemuda berusia 28 tahun di Pidie, misalnya, melaporkan bahwa kegiatan konflik di desanya telah ada sejak ia masih di sekolah dasar, dan ingat bahwa ia terkadang menemukan mayat yang diletakkan di meunasah desa. Kebanyakan informan kunci mengatakan bahwa pendidikan bagi anak-anak benar-benar terganggu selama tahun-tahun pertikaian; pra ibu secara bijaksana tidak membiarkan anaknya pergi ke sekolah ketika suara tembakan terdengar di daerah tersebut. Puluhan atau bahkan ratusan sekolah desa dibakar di seluruh penjuru Aceh selama konflik, dan para guru dari kota-kota berhenti berpergian ke daerah-daerah berbahaya dimana mereka mengajar. Pendidikan agama (pengajian), yang biasanya dilaksanakan di sore hari, juga terganggu akibat jam malam. Sekarang para petinggi di Aceh bertanya-tanya mengapa anak-anak Aceh mendapat nilai sangat rendah pada ujian nasional dan gagal mendapat nilai lulus. Anak-anak kecil di beberapa desa terpencil masih takut ketika mendengar kendaraan memasuki komunitas mereka. Ketiga tim riset psikososial lapangan menyaksikan anak-anak lari ketika kendaraan mereka mendekat. Selama konflik, kendaraan yang keluar atau masuk komunitas-komunitas tersebut hanya kendaraan tentara. Yang masih mengganggu adalah bahwa rasa takut tersebut bukan hanya merupakan reaksi peninggalan konflik. Pertama-tama tim Bireuen, dan kemudian tim Aceh Utara terkejut ketika mendengar informan kunci menyinggung mengenai desas-desus bahwa penculik anak yang mengendarai mobil-mobil dengan cat gelap sedang menyatroni komunitas mereka. Di sebuah warung kopi dimana para anak-anak SD berhenti untuk melihat-lihat kartun pada saat pulang dari sekolah, wanita muda yang melayani kopi dan
56
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
makanan kecil meminta untuk melihat identitas para peneliti dan surat izin untuk melaksanakan penelitian psikososial di desa. “Mereka tampak seperti orang-orang baik seperti anda,” katanya dengan nada curiga, “namun kemudian mereka mengambil anak-anak kami.” Mungkin masih berkaitan, salah satu responden kuesioner menyebutkan dua kali hadirnya pedagang di komunitasnya dan desa-desa tetangga yang tidak berbicara bahasa Aceh. Memang semua ini desas-desus yang tidak terbukti, namun kebenarannya bukanlah masalah terpenting. Desas-desus merupakan indikator baik atas ketidakpastian sosial dan mengungkapkan kekhawatiran-kekhawatiran jangka panjang mengenai ancaman-ancaman terhadap komunitas dari pihak luar.
Menuju Perdamaian Pendapat yang secara bersamaan mengungkapkan pujian maupun keraguan disampaikan kepada semua pewawancara mengenai proses perdamaian. Hal pertama yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa para komunitas mendefinisikan atau menganggap “perdamaian” sebagai peluang untuk bekerja, berpergian, dan bersosialisasi kembali. Sebagai contoh, pemukulan pada tubuh selama konflik paling sering dialami dalam suasana desa yang biasa, khususnya pada perjalanan menuju dan dari pasar untuk berdagang. Sekarang para warga desa dapat membawa barang-barang mereka ke pasar tanpa rasa takut akan pemerasan di sepanjang jalan, dan dapat membawa pulang perlengkapan rumah tangga tanpa dituduh memberikan bantuan logistik kepada kedua belah pihak. Para informan kunci seringkali menggambarkan ini sebagai “kebebasan” dan bahkan “kemerdekaan”, sebuah istilah yang sarat dengan nuansa nasionalis bagi orang Indonesia dan tuntutan penting yang dilepaskan dari azas GAM pada saat penandatanganan perjanjian perdamaian di Helsinki. Kegiatan sehari-hari lainnya yang mendefinisikan suatu perasaan damai bagi para responden adalah kemungkinan untuk berpergian di sore hari, bersosialisasi secara berkelompok di depan umum (khususnya warung-warung kopi desa), dan untuk kembali ke tanah pertanian dan perkebunan hutan untuk melaksanakan kegiatan pertanian. Tabel 10.5 merangkum jawaban-jawaban responden terhadap pertanyaan yang menyangkut proses perdamaian di Aceh. Tidak ada yang memberikan jawaban “tidak setuju” atau “sangat tidak setuju” terhadap sebuah pertanyaan yang meminta pendapat responden mengenai proses perdamaian sejak penandatanganan perjanjian di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, dan sebagian besar (78%) berkata mereka “sangat setuju” dengan proses tersebut. Tabel 10.5 Sikap Terhadap Proses Perdamaian Pria (n=315)
Wanita (n=281)
Apa pendapat anda mengenai proses perdamaian sejak penandatanganan MoU? (%Ya)
Sangat setuju Setuju
85 15
Apakah pernah ada peusijeuk atau upacara lainnya yang dilaksanakan di desa anda bagi mantan tahanan politik atau kombatan GAM yang telah pulang ke masyarakat sejak penandatanganan MoU? (%Ya)
35
Tidak pernah Jarang Sering Selalu Tidak tahu / menolak menjawab
42 18 18 15 6
Bireuen (n=180)
Aceh Utara (n=179)
Total (n=596)
70 30
70 30
94 6
73 27
78 22
21
29
39
17
28
63 10 13 4 11
74 6 13 6 1
Jika ya, apakah anda pernah hadir atau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan tersebut? (%Ya)
Pidie (n=237)
28 25 16 18 13
31 19 24 7 19
52 14 16 10 8
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
57
Sebuah peusijeuk merupakan sebuah upacara yang biasanya diadakan setelah peristiwa yang bergejolak; istilah tersebut (dari sijeuk, sama dengan sejuk dalam bahasa Indonesia) secara harafiah bermakna “pendinginan,” sebuah metafora yang memiliki arti menenangkan emosi. Peusijeuk dapat berupa peristiwa desa kolektif atau kegiatan pribadi yang dilakukan di rumah individu. Sejak perjanjian perdamaian, desa dan keluarga di seluruh penjuru Aceh telah menyelenggarakan acara peusijeuk untuk menerima kembali mantan tahanan politik dan bekas kombatan, dan dapat digunakan sebagai salah satu pengukur reintegrasi paska-konflik. Adalah sulit untuk menafsirkan statistik peusijeuk di Tabel 10.5 di atas karena hanya sedikit yang diketahui mengenai perbedaan pelaksanaan praktek upacara ini dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya atau bahkan antar desa, namun secara umum hampir sepertiga dari seluruh responden menyatakan adanya peusijeuk di komunitas setelah perjanjian perdamaian. Banyak responden menyatakan bahwa mereka tidak tahu mengenai atau tidak menghadiri peusijeuk di komunitas mereka sendiri karena mereka merasa itu adalah sebuah acara keluarga dan bukan kegiatan masyarakat. Sebuah pengamatan yang lebih seksama terhadap partisipasi dalam kegiatan peusijeuk berdasarkan gender dan daerah menandakan bahwa peusijeuk diakui oleh lebih banyak pria daripada wanita dan kemungkinan lebih sering dilakukan di Bireuen dan Aceh Utara dibanding Pidie. Tabel 10.5 menunjukkan bahwa para responden lebih banyak yang mendukung proses perdamaian secara umum. Namun demikian, karena telah mengalami berbagai kegagalan perdamaian di masa lalu, beberapa rasa kekhawatiran diungkapkan. Baik responden kuesioner maupun informan kunci ditanyai mengenai pendapat mereka tentang proses perdamaian yang sedang berjalan saat ini, masalah dan tantangan dalam pelaksanaan, serta usulan-usulan untuk dapat melanjutkan kehidupan. Beberapa tema secara konsisten muncul yang menciptakan keraguan dan kekhawatiran diantara para warga di daerah-daerah bekas konflik. • “Ketika AMM pergi, kami khawatir konflik akan mulai kembali.” Banyak responden mengutarakan kekhawatiran tidak hanya mengenai apa yang akan terjadi jika AMM pergi, tetapi seluruh komunitas asing yang telah datang di Aceh sejak tsunami. (misalnya, “Saat para orang asing pergi, akan ada masalah.”) Keberadaan orang-orang dari seluruh penjuru dunia yang bekerja di Aceh sejak Januari 2005 telah memainkan peran penting, walau secara tidak langsung, dalam menciptakan dam mempertahankan perdamaian di Aceh. • Beberapa responden dan informan kunci menyebutkan adanya peningkatan kejahatan di beberapa bulan terakhir. • Pendistribusian yang tidak merata atas bantuan bagi warga Aceh. Terdapat dua contoh mencolok utama yang disebut oleh warga desa untuk menggambarkan bantuan yang tidak adil di Aceh. Contoh yang pertama adalah bantuan yang tidak proporsional yang didatangkan ke darah tsunami sedangkan daerah-daerah yang rusak berat akibat konflik tetap terabaikan. Contoh kedua adalah pendistribusian secara tidak merata atas subsidi bahan bakar bagi desa dari pemerintah. Para kepala desa dituduh telah memberi batuan uang dari pemerintah ke[ada para teman dekat dan keluarga dan bukan kepada warga yang paling miskin yang membutuhkannya. Salah satu responden menyatakannya secara langsung: “Terdapat krisis kepercayaan diantara tokoh-tokoh desa kami.” • Banyak responden khawatir bahwa GAM dan pemerintah Indonesia tidak akan mematuhi ketentuan yang telah disepakati di dalam MoU. Contoh-contoh yang disebutkan adalah keterlambatan dalam pembuatan undang-undang otonomi daerah, tidak adanya bantuan bagi korban konflik sipil, kegagalan untuk secara memadai mensosialisasikan proses perdamaian di Aceh, dan pertanyaan besar mengenai pemilu daerah. Banyak responden menyampaikan harapan mereka bahwa kedua belah pihak akan tetap bersikap etis dan mematuhi perjanjian perdamaian. • Terakhir, beberapa orang masih merasa takut akibat kegagalan perdamaian di masa lalu, atau mungkin keresahan jangka panjang yang tercipta semasa konflik. • “Saya takut akan ada elemen masyarakat yang masih ingin mempertahankan kehancuran dan konflik.” • Sampai sekarang masih banyak orang di masyarakat tetap takut bekerja di ladang, kebun, dan hutan. • “Setelah perdamaian, kami masih khawatir, masih tidak yakin.”
58
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Rekomendasi Berikut ini adalah berbagai rekomendasi yang didasarkan pada data yang disajikan di atas, pengalaman pelaksanaan penelitian psikososial di lapangan, dan diskusi dengan rekan-rekan di dinas kesehatan kabupaten, puskesmas, dan rumah sakit jiwa di Banda Aceh.
Program Perawatan Kesehatan Jiwa Masyarakat Tidak lama setelah tsunami, Badan Kesehatan Dunia, bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Propinsi di Banda Aceh dan program juru rawat Universitas Indonesia di Jakarta, telah mengembangkan sebuah kurikulum bentuk baru untuk melatih para perawat di puskesmas di bidang perawatan kesehatan jiwa masyarakat (community mental health nursing - CMHN). Program ini juga meliputi sebuah pelatihan penyegaran di bidang psikiatri dasar dan protokol penulisan resep bagi dokter umum dari puskesmas yang sama. Pendanaan pertama-tama diarahkan kepada kecamatan-kecamatan yang terkena dampak tsunami di sepanjang pesisir pantai di Aceh. Para juru rawat diajarkan mengenai cara menangani beberapa gangguan psikiatri akut dalam sebuah kurikulum yang juga menekankan teknik pengurusan dasar bagi pasien penyakit mental dan pendidikan bagi keluarga. Tugas mereka di CMHN meliputi kunjungan aktif ke masyarakat untuk pengidentifikasian kasus, pendidikan bagi keluarga, pengobatan, dan rujukan untuk kasus-kasus kompleks diluar kemampuan mereka. Para juru rawat yang telah diseleksi pada awalnya diberikan kursus dasar, yang pertama dari tiga seri. Kursus tingkat menengah baru dilaksanakan di beberapa kecamatan di Bireuen; yang meliputi komponen pendidikan masyarakat yang luas, melatih para juru rawat CMHN untuk melakukan kunjungan yang lebih intensif ke desa-desa, berfokus pada pendeteksian dini, dan keahlian konseling dasar. Jika program pelatihan CMHN tingkat dasar, menengah dan lanjutan ternyata berhasil, makan akan dijadikan model untuk layanan kesehatan mental di seluruh Aceh dan seluruh Indonesia. Dukungan yang berkelanjutan untuk program ini saat ini datang dari Asian Development Bank. Program CMHN merupakan infrastruktur yang ideal sebagai ajang kerjasama dengan Departemen Kesehatan di Jakarta dan Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten di Aceh dalam menciptakan layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat bagi daerahdaerah bekas konflik. Hingga kini, program CMHN masih dalam tahap awal dan belum diperluas ke daerah-daerah pedalaman, dan anggaran bagi transportasi para juru rawat jarang memadai untuk perjalanan ke desa-desa yang terpencil yang mengalami dampak terburuk dari konflik. Namun demikian, penekanan yang dilakukan pada program CMHN terhadap kunjungan dan pendidikan masyarakat adalah bentuk-bentuk kegiatan yang akan dibutuhkan guna mengintegrasikan daerah-daerah konflik ke dalam sistem pelayanan kesehatan dan untuk mengisi kekurangan dalam rasa kepercayaan dan pemahaman antar para korban konflik dan personil kesehatan. Segala intervensi di masa depan bagi masyarakat yang terkena dampak konflik harus bekerjasama dengan para perawat CMHN serta para koordinatornya di kantor dinas Kesehatan Kabupaten yang terdekat.
Tim-tim Kunjungan Kesehatan Mental Bagi Masyarakat Yang Terkena Dampak Konflik Penelitian Kebutuhan Psikososial yang diuraikan di sini telah mengidentifikasi suatu kebutuhan mendesak akan layanan kesehatan mental dan psikososial kepada masyarakat yang paling terkena dampak konflik. Masyarakat-masyarakat tersebut seringkali bersifat terpencil dan umumnya diluar jangkauan layanan kesehatan yang ada saat ini, dan kemiskinan (yang disebabkan konflik) dan ketidakpercayaan terhadap layanan kesehatan yang diselenggarakan pemerintah merupakan hambatan dalam menyediakan layanan. Namun demikian para warga di masyarakat-masyarakat tersebut mengalami luka fisik dan masalah kesehatan mental dalam tingkat yang sangat tinggi yang diakibatkan oleh kekerasan dan evakuasi paksa. Dengan demikian, layanan kunjungan yang spesifik sangat dibutuhkan guna menyediakan pelayanan dan untuk membangun jembatan antar masyarakat dengan layanan kesehatan mental masyarakat yang baru berkembang tersebut. Kami merekomendasikan agar tim-tim kunjungan kesehatan mental tingkat kabupaten, yang didasarkan pada model tim medis keliling ICRS yang dimiliki IOM, didirikan guna memberikan layanan medis dan psikososial secara segera kepada desa-desa di
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
59
kecamatan yang paling terkena dampak konflik, dan untuk membantu menjembatani kesenjangan dalam kepercayaan antara penduduk yang terkena dampak konflik dengan layanan kesehatan mental yang baru dikembangkan di sistem pelayanan kesehatan pokok. Tim-tim tersebut perlu menyediakan layanan kesehatan mental klinis maupun di masyarakat, termasuk kegiatan dukungan trauma berbasis masyarakat, disamping pelayanan medis umum yang diarahkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang paling mendesak di masyarakat tersebut. Mereka perlu dirancang tidak sebagai sistem layanan ‘paralel’ maupun sebagai layanan yang permanen, namun sebagai layanan sementara untuk memenuhi kebutuhan mendesak para masyarakat yang terkena dampak konflik dan untuk mendirikan kembali hubungan antara masyarakat-masyarakat tersebut dengan layanan kesehatan umum. Sejak awal, CMHN perlu disertakan di tim-tim kunjungan guna memfasilitasi pengembangan hubungan-hubungan yang dimaksud. IOM telah membantu pemerintah Indonesia dalam kegiatan reintegrasi paska-konflik sejak para tahanan pertama diberikan amnesty hanya beberapa hari setelah perjanjian perdamaian ditandatangani di bulan Agustus 2005. Sejak pembukaan sepuluh kantor ICRS (Layanan Informasi, Konseling, dan Rujukan) di seluruh Aceh, IOM telah bekerjasama dengan beberapa kantor pemerintahan kabupaten di berbagai permasalahan reintegrasi, termasuk bidang medis dan kesehatan psikososial. Staf ICRS telah melakukan kunjungan ekstensif be bekas daerah-daerah konflik, dan oleh karena itu IOM berada dalam posisi ideal untuk memprakarsai program bantuan trauma yang berbasis masyarakat di darah-daerah di Aceh yang paling serius terkena dampak konflik. Sebuah kunjungan yang dilakukan oleh tim medis keliling IOM ke desa pegunungan “Cot Pinang” (sebuah psudonim) mendemonstrasikan bagaimana kunjungan psikososial berbasis masyarakat dapat berhasil dan seperti apa kemungkinan bentuknya. Seorang psikiater Aceh, yang juga seorang dokter umum di ICRS tingkat kabupaten, dan seorang perawat, beserta para anggota dari tim peneliti psikososial dari Harvard, IOM, dan Universitas Syiah Kuala, berkunjung ke desa Cot Pinang guna menyelenggarakan sebuah klinik kesehatan mental di meunasah desa tersebut. Para staff ICRS telah memberitahukan para kepala desa sebelumnya, sehingga orang-orang yang paling memerlukan perawatan akan dapat membuat rencana untuk hadir. Puluhan orang berkumpul di meunasah, dan satu per satu para warga berbincang-bincang dengan psikiater, menjelaskan gejala yang mereka alami, dan menceritakan trauma mereka yang diakibatkan konflik. Pemeriksaan mendasar kemudian dilakukan, dan perawatan medis diberikan, dan banyak rujukan yang dibuat ke puskesmas untuk rawatan lanjutan. Sekitar 50 pasien di diperiksa selama siang dan sore hari. Kunjungan yang dilakukan oleh Tim Medis Keliling menjadi semacam ritual masyarakat, dimana para anggota masyarakat menceritakan pengalaman mereka selama konflik kepada tim medis maupun tim peneliti. Kegiatan ini menyajikan data mengenai kebutuhan mendesak akan layanan kesehatan mental di desa-desa seperti Cot Pinang. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa para anggota masyarakat yang terkena dampak konflik seperti Cot Pinang menyadari pentingnya stres, trauma, dan penyakit mental, bahwa mereka menginginkan dan berkemauan untuk menjalani evaluasi kesehatan mental dan intervensi klinis, dan bahwa layanan keliling tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan akses terhadap perawatan orang-orang yang paling terkena dampak konflik. Data dari studi yang dilaporkan di sini juga mengindikasikan bahwa layanan yang terbatas pada evaluasi dan rujukan tidak akan efektif, dan bahwa tim-tim seperti itu perlu melakukan perawatan dan pengobatan klinis, memberikan rawatan lanjutan sementara, dan dengan berjalannya waktu membangun hubungan-hubungan dengan puskesmas. Kunjungan ke Cot Pinang menunjukkan bahwa IOM perlu melanjutkan model kunjungan keliling, mengingat kegiatan kunjungan yang telah dilakukan oleh kantor-kantor ICRS ke beberapa masyarakat yang paling rusak di Aceh. Tim-tim kunjungan sebagai bagian dari program layanan kesehatan sementara jelas perlu menyertakan para juru rawat CMHN dari puskesmas-puskesmas terdekat. Pengintegrasian kedua program tersebut sejak awal dapat memfasilitasi masuknya kembali personil kesehatan ke dalam daerah-darah Aceh yang lama telah terisolir dan memprakarsai kasus-kasus untuk ditindaklanjuti oleh para juru rawat CMHN tersebut di klinik-klinik terdekat. IOM berada dalam posisi yang sangat baik untuk membantu menjembatani jarak kepercayaan antara penduduk dan layanan kesehatan yang telah meninggalkan mereka selama ini dan perlu menjelajahi kemungkinan memulai program seperti itu.
60
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Program-program Kunjungan ke Keluarga Data yang dilaporkan dalam survei ini, disamping hampir semua penelitian tentang kesehatan mental di Indonesia, menunjukkan bahwa keluarga merupakan sumber daya setempat yang paling penting dalam memberikan pelayanan terhadap mereka yang mengidap penyakit mental. Sebagian besar orang yang menderita penyakit mental berat tinggal bersama keluarga mereka. Orang-orang yang menderita depresi dan gejala pengalaman traumatik bergantung pada keluarga mereka sebagai sumber utama dukungan dan perawatan. Oleh karena itu, kegiatan kunjungan kesehatan mental perlu berorientasi keluarga, membantu mengajarkan keluarga cara-cara untuk mendukung atau merawat mereka yang menderita masalah kesehatan mental dengan cara yang lebih efektif. Kami merekomendasikan agar program dukungan dan pendidikan bagi keluarga dikembangkan sebagai bagian dari pendirian tim-tim kunjungan kesehatan jiwa.
Evaluasi dan Konseling Menyangkut Trauma di Kepala Salah satu temuan yang paling dramatis dari penelitian ini menunjukkan bahwa peristiwa cidera di kepala selama konflik sangatlah tinggi, khususnya diantara orang-orang muda. Kami merekomendasikan agar sebuah program pelatihan, intervensi klinis, dan penelitian perlu diciptakan, yang berfokus pada pengevaluasian trauma kepala organik dan efek neuro-psikiatrik yang ditimbulkannya. Suatu titik awal dari proyek seperti ini dapat dimulai dari para dokter ICRS yang telah menjalin hubungan dengan para penerima bantuan dari Program Paska-Konflik IOM disamping masyarakat di sekitar. Para dokter tersebut dapat dilatih untuk memasukkan beberapa metode evaluasi neuro-psikiatrik dasar ke dalam pekerjaan rutin mereka dengan para mantan tahanan, bekas kombatan, dan korban konflik pada umumnya. Fokus pada trauma kepala perlu juga dimasukkan ke dalam pekerjaan para tim kunjungan kesehatan mental disamping program CMHN. Jika perawatan dimungkinkan, para dokter atau juru rawat kesehatan mental masyarakat perlu dilatih untuk melakukan perawatan. Jika perawatan kecil kemungkinannya untuk efektif, keluarga dan para individu yang terkait perlu diberi konseling mengenai efek cidera di kepala dan cara-cara untuk mengakomodir cacat yang timbul sebagai akibatnya. Sebuah perangkat konseling perlu dikembangkan guna mengajari para korban cidera kepala dan keluarga mereka untuk memahami efek dari luka seperti itu dan bagaimana hidup dengan dampak yang berkepanjangan. Kasus-kasus yang sulit perlu dirujuk untuk evaluasi neurologi dan neuropsikiatrik yang lebih seksama serta perawatan. Ini akan membutuhkan pelatihan psikiater serta neurologis spesialis guna mengevaluasi kasus-kasus yang rumit dan memberikan rawatan lanjutan. Disamping itu, pengujian neuro-psikiatri harus dijadikan bagian dari evaluasi forensic bagi mantan tahanan, mantan kombatan, atau anggota masyarakat yang terkena dampak kekerasan atau yang ditahan karena kejahatan rutin.
Pengintegrasian Dengan Layanan Kesehatan Lainnya Kegiatan kunjungan kesehatan mental dapat dan perlu diintegrasikan dengan layanan medis kunjungan lainnya di Aceh. Warga yang hidup di desa yang terkena dampak paling parah akibat konflik menderita berbagai macam penyakit yang berkepanjangan yang disebabkan oleh perang atau penyiksaan – luka tembak atau tusukan pisau, kelumpuhan, hilang anggota badan, luka telinga atau mata, disamping luka di kepala. Tidak adanya layanan kesehatan selama konflik membawa makna bahwa anak-anak belum mendapatkan imunisasi, ibu-ibu belum mendapat perawatan pra- dan paska-kelahiran, dan penyakit infeksi yang mudah diobati seperti tuberculosis dan malaria belum ditangani. Pada saat berfokus pada perawatan kesehatan mental, layanan medis keliling yang direkomendasikan juga perlu dirancang untuk memenuhi kebutuhan medis yang mendesak dan juga mulai untuk mendirikan kembali layanan pelayanan kesehatan umum.
Pengintegrasian Pencaharian
Program-program
Psikososial
dan
Pengembangan
Mata
Temuan-temuan dari Penelitian Kebutuhan Psikososial ini menunjukkan secara jelas bahwa masalah kesehatan mental terjadi bersamaan dengan masalah ekonomi yang terkait dengan konflik. Hal ini penting terutama dalam masyarakat-masyarakat yang menderita evakuasi paksa dari desa mereka atau penghancuran yang sistematis atas infrastruktur dasar. Studi ini memberikan bukti kuat akan adanya kebutuhan adanya layanan kesehatan mental. Di lain sisi, penelitian kami menandakan bahwa program-program kesehatan mental serta program-program bantuan ekonomi dan infrastruktur harus dilakukan secara bersamaan. Program kesehatan mental kecil kemungkinannya untuk berhasil jika tidak ada investasi berupa pembangunan kembali ekonomi setempat. Di lain sisi, intervensi kesehatan mental dan program mata pencaharian dapat berinteraksi secara sinergis, dimana program-program kesehatan mental akan memberikan efek multiplier pada manfaat program mata pencaharian tersebut.
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
61
Pentingnya Inovasi dan Evaluasi Menangani kesehatan mental dan masalah psikososial yang terkait dengan trauma kompleks pada lokasi yang secara relatif terisolasi dengan akses kesehatan mental yang terbatasi adalah sangat menantang. Perlu disadari secara jelas bahwa tidak ada modalitas terapautik tunggal yang pasti efektif dan bisa berlangsung terus-menerus. Melainkan, sebuah komitmen harus diciptakan untuk mengembangkan program-program terapautik inovatif dengan latar belakang tertentu, untuk mendokumentasikan masing-masing program, dan untuk pengevaluasian yang seksama atas keefektifan pendekatan terapautik yang digunakan. Bukti-bukti yang telah didapat dari lokasi-lokasi lain menandakan bahwa terapi kelompok untuk menangani depresi, Terapi Kognitif-Perilaku (Cognitive-Behavioral Therapies) yang meliputi pendekatan penenangan diri sesuai cara setempat (termasuk praktek meditasi Islam), terapi tari dalam bentuk budaya setempat, dukungan keluarga yang mengandung komponen psiko-edukasional, program-program di sekolah bagi anak-anak dan remaja, disamping juga metode farmasi standar, berpotensi untuk membuahkan manfaat pada situasi yang ada di Aceh. Namun kecuali jika programprogram tersebut, yang ditujukan untuk memberikan solusi inovatif kepada permasalahan kesehatan jiwa yang terkait dengan trauma, dievaluasi secara sistematis, maka akan sulit untuk meneliti keefektifan pendekatan-pendekatan tertentu. Kami merekomendasikan agar kebutuhan akan pengembangan layanan inovatif disadari secara eksplisit, dan agar pendekatan layanan yang bersifat exploratory dikembangkan dan dievaluasi secara sistematis.
Pengimplementasian Yang Terlokalisir Pendekatan inovatif dalam pengembangan program terapautik di bekas daerah konflik di Aceh membutuhkan penelitian tambahan di tingkat lokal. Sebuah sampel acak mengasumsikan sebuah distribusi kekerasan yang bersifat acak, namun perbedaan regional antara Pidie di satu sisi dan Bireuen dan Aceh Utara di sisi lainnya menandakan bahwa kekerasan konflik di Aceh tidak bersifat acak. Hasil dari penelitian ini hanyalah langkah pertama menuju pengembangan layanan untuk masyarakat-masyarakat yang spesifik, yang melihat bahwa setiap daerah di Aceh mengalami konflik secara berbeda-beda sebagai akibat variabel dinamika populasi. Sumber ekonomi, dan geografi. Sejarah konflik yang berbeda-beda di seluruh Aceh berkemungkinan menciptakan kebutuhan psikososial dan kesehatan mental yang berbeda-beda pula. Tiap intervensi terapautik inovatif yang dikembangkan untuk pengimplementasian secara lokal perlu menangani perbedaan-perbedaan tersebut.
62
“Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara”/ September 2006
Untuk keterangan lebih lanjut: International Organization for Migration (IOM) Surya Building 13th Floor Jl. MH. Thamrin Kav.9 Jakarta 10350 Indonesia Ph. +6221 3983 8529 Fax. +6221 3983 8528 Email.
[email protected] www.iom.or.id