PENELITIAN
ANALISIS TERHADAP KEBERADAAN BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI DASAR GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DIAJUKAN LEH PT. SARANA MEDITAMA INTERNASIONAL TERHADAP PRITA MULYASASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN NOMOR 300/Pdt.G/2009/PN TANGGERANG
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pergaulan atau hubungan masyarakat adalah interaksi antara manusia dan kelompok manusia yang saling tergantung dan membutuhkan. Agar hubungan ini dapat berjalan dengan baik, dibutuhkan aturan yang dapat melindungi kepentingannya dan menghormati kepentingan dan hak orang lain sesuai hak dan kewajiban yang ditentukan aturan ( hukum)1. Untuk itu, masyarakat membuat aturan hukum untuk dipatuhi dan akan ditegakkan bila terjadi pelanggaran. Selaras dengan pernyataan diatas, Pasal 28D huruf 1 UUD 1945 Amandemen Keempat menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
1
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku 1, Bandung, 2000, hlm 16.
1
Kepentingan setiap orang tidak jarang harus berbenturan dengan kepentingan orang lain. Benturan ini menimbulkan perselisihan atau sengketa yang memerlukan penyelesaian. Pada dasarnya, sepanjang masalah yang timbul tidak termasuk kriminal, maka perselisihan tidak harus bermuara di pengadilan. Timbulnya sengketa perdata disebabkan oleh terjadinya perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Pasal 1365 KUHPerdata menentukan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian2, sementara itu terminologi
perbuatan
melawan
hukum
merupakan
terjemahan
dari
kata
”onrechtmatigedaad”, diatur dalam KUHPerdata Buku III tentang Perikatan yaitu Pasal 1365 hingga 1380. Sarana untuk menyelesaikan persengketaan perdata pada hakikatnya dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu 3: 1.
Secara litigasi, yaitu penyelesaian sengketa melalui badan periap padilan yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan perselisihan perselisihan dalam masyarakat melalui empat lingkungan peradilan menurut Undang - undang No. 48 Tahun 2009.
2.
Melalui alternatif penyelesaian sengketa ( Alternative Dispute Resolution). Bentuk lembaga ini adalah bersifat partikulir, tidak dibentuk oleh pemerintah tetapi oleh kebutuhan masyarakat. Alternatif penyelesaian sengketa yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 sebenarnya
2
R Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, 2003, hlm 346. 3 Andriani Nurdin, “ Penyelesaian Sengketa Niaga di Pengadilan Negeri Sebagai Cikal Penyelesaian Sengketa Niaga Syariah Di Pengadilan Agama”, Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Nomor 1 Tahun 2007.
2
merupakan pengembangan dari cara penyelesaian sengketa secara musyawarah baik dengan bantuan seorang negosiator, mediator, konsoliator, maupun arbiter. Proses penyelesaian sengketa perdata melalui lembaga litigasi / pengadilan, diselesaikan dengan berdasarkan kepada ketentuan - ketentuan yang sebagian besar tertuang
dalam
Herziene
Indonesisch
Reglement
(HIR),
Rechtsreglement
Buitengewesten (Rbg), serta peraturan perundang – undangan lainnya 4. Dalam tahapan penyelesaian sengketa, proses yang paling penting dan menentukan sebelum dijatuhkannya putusan adalah proses pembuktian. Berdasarkan Pasal 164 HIR, alat bukti yang dikenal dalam pasal tersebut untuk menyelesaikan sengketa perdata yaitu surat, saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Het Herzien Indonesich Reglement (HIR) menentukan secara limitatif alat bukti yang dapat diajukan dalam pembuktian acara perdata. Namun seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, dalam proses penyelesaian sengketanya kemudian dikenal adanya alat bukti elektronik, antara lain surat elektronik. Surat elektronik / E-mail
adalah surat yang dibuat dan dikomunikasikan
dengan menggunakan komputer melalui jaringan internet, yang digunakan untuk berkomunikasi jarak jauh dalam waktu singkat. Dalam perkembangannya, Undangundang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik melalui Pasal 5 ayat (1) mengatur tentang bukti elektronik yang menyebut bahwa: 4
Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm
202.
3
” Informasi dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah” Salah satu kasus yang menggunakan alat bukti elektronik berupa elektronic mail yang sangat marak diperbincangkan beberapa waktu yang lalu adalah kasus Prita Mulyasari yang digugat oleh PT. Sarana Meditama Internasional sebagai pihak yang mengelola Rumah Sakit Omni Internasional. Kasus ini bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan kesehatannya di Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional pada 7 Agustus 2008. Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care International dan juga dokter yang merawatnya. Akibat permintaan rekam medis dan keluhan yang tidak ditanggapi dengan baik, Prita Mulyasari akhirnya menuliskan pengalamannya melalui surat elektronik atau email kemudian mengirimkan email tersebut kepada teman-teman dekat Prita, namun belakangan email ini terus menyebar ke berbagai milis. Pada akhirnya pihak Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional menganggap prita mulyasari telah merusak citra dan nama baik Rumah Sakit (RS) Omni Medical Care Internasional. Melalui kuasa hukum, PT. Sarana Meditama Internasional akhirnya melayangkan gugatan perdata kepada Prita Mulyasari dengan dasar gugatan perbuatan melawan hukum, kejahatan dunia maya (UU ITE) dan pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 310 dan 311 KUHP. Melalui penelitian ini, penulis mencoba untuk melakukan anotasi terhadap putusan Pengadilan Negeri Tanggerang yang mengadili kasus antara PT. Sarana
4
Meditama Internasional Versus Prita Mulyasari, yang didasarkan oleh adanya perbuatan melawan hukum melalui beredarnya surat elektronik. Sementara itu, perbuatan melawan hukum dapat diartikan sebagai suatu perbuatan atau kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan maupun keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda. Beranjak dari uraian di atas, maka dirasakan perlu untuk dilakukan pengkajian dan analisis terhadap putusan pengadilan No. 300/Pdt.G/2009/PN Tanggerang.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis membatasi permasalahan-permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut : 1.
Sejauhmana hakim pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara antara PT. Sarana Meditama Internasional versus Prita Mulyasari terikat pada diajukannya electronic mail sebagai bukti elektronik menurut UU No. 11 Tahun 2008?
2. Apakah
putusan
hakim
Pengadilan
Negeri
Tanggerang
No.
300/Pdt.G/2009/PN TGR yang memutus adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Prita Mulyasari sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata dan yurisprudensi?
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Alat Bukti Elektronik dan Kekuataan Pembuktiannya Menurut R. Subekti, bahwa yang dimaksud dengan membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.5 Oleh karenanya pembuktian ini sangat diperlukan terutama apabila timbul suatu sengketa atau suatu perselisihan. Hal ini erat kaitannya guna meyakinkan hakim bahwa seseorang mempunyai suatu hak seperti dinyatakan dalam pasal 1865 KUH Perdata bahwa : “setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa yang harus dibuktikan dalam suatu proses perdata adalah mengenai peristiwa dan bukan hukumnya. Hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak tetapi secara ex officio dianggap 5
Subekti. R, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hlm.1
6
harus diketahui dan diterapkan oleh hakim (ius curia novit). Ketentuan ini dapat disimpulkan dari Pasal 178 ayat (1) HIR (ps. 189 ayat 1 Rbg) dan pasal 50 ayat (1) Rv. Sistem HIR dalam acara perdata, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alatalat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang, diatur dalam Pasal 164 HIR, 284 RBg, dan 1866 BW. Mengenai alat-alat bukti dan hukum pembuktian selain diatur dalam HIR/RBg, juga diatur (sama) dalam BW. Akan tetapi, karena hukum pembuktian perdata merupakan sebagian dari hukum acara perdata, pengadilan pada prinsipnya dalam menangani perkara perdata harus mendasarkan pada hukum pembuktian dari HIR dan RBg, sedangkan BW hanya sebagai pedoman saja apabila diperlukan, misalnya bila dalam suatu perkara perdata harus dilaksanakan suatu peraturan hukum perdata yang termuat dalam BW dan pelaksanaan ini hanya tepat jika hukum BW yang diikuti. 6 Menurut Pasal 164 HIR (284 RBg) mengatur secara limitatif mengenai alat bukti dalam perkara perdata yang terdiri atas : a. Alat bukti tertulis/surat ; b. Kesaksian (keterangan saksi-saksi) ; c. Persangkaan-persangkaan ; 6
Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1992, hlm. 101.
7
d. Pengakuan ; e. Sumpah. Dalam perkembangan di era globalisasi dewasa ini berkembang pula alat bukti elektronik. Kendati telah diatur dalam undang-undang, namun alat bukti elektronik sifatnya masih parsial, sebab hanya dapat dipergunakan dalam tindakan hukum tertentu. Bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuataan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dapat ditampilkan sehingga mampu menerangkan suatu keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat menunjukan bahwa informasi yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang dapat dipercaya 7. Saat ini Indonesia membuka babak baru sejarah dengan diundangkannya Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 merupakan satu upaya penting dalam hal, pertama: pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin. Kedua: diklarifikasikannya tindakan-tindakan
7
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
1992, hlm 125.
8
yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalagunaan teknologi informasi. Seiring dengan pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat.8 Penggunaan sistem elektronik yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media
elektronik
yang
berfungsi
merancang,
memproses,
menganalisis,
menampilkan, dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik merupakan perwujudan penerapan produk teknologi informasi ke dalam suatu bentuk organisasi dan manajemen sesuai dengan karakteristik kebutuhan pada organisasi atau lembaga yang sesuai dengan tujuan peruntukkannya. Secara sederhana, otentifikasi dilakukan terhadap alat bukti elektronik dengan memastikan terlebih dahulu apakah alat bukti elektronik tersebut dihasilkan dari sumber yang benar. Terkait dengan hal ini, maka otentifikasi sedapat mungkin mendapat pernyataan kebenaran dari orang dan/atau insitusi yang mengeluarkannya atau yang mengelola komputer tersebut. Pasal 6 UU ITE mengatur bahwa dalam kaitannya dengan ketentuan yang mengatur suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, untuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang
8
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008.
9
tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Dari apa yang diuraikan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa secara umum bentuk lain dari alat bukti elektronik itu adalah informasi elektronik, dokumen elektronik, dan keluaran komputer lainnya.
B. Konsep Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata pada awalnya memang mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme. Pengertian yang dihanut adalah perbuatan melawan hukum sama dengan perbuatan melawan undang-undang. Dengan adanya beberapa Arrest Hoge Raad antara lain dalam perkara Singer, Zutphense, dan Cohen v Lindenbaum, maka pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas, yang diartikan tidak saja melanggar kaidah-kaidah tertulis tapi juga bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku dan melanggar hak subjektif orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah tidak tertulis. Dengan dicantumkannya syarat kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa pelaku perbuatan
10
melawan hukum hanyalah bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya apabila perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya 9. Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum tahu betul bahwa perbuataanya akan berakibat suatu keadaan tertentu yang merugikan pihak lain, maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Syarat untuk dapat dikatakan bahwa seorang tahu betul akan adanya akibat itu, ialah bahwa seorang itu tahu betul adanya keadaan-keadaan sekitar perbuatannya yang tertentu itu, yaitu keadaan-keadaan yang menyebabkan kemungkinan akibat tersebut terjadi. Dalam hukum Indonesia sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa melawan hukum tidak saja diartikan sebagai melanggar hukum tertulis atau undangundang tetapi juga melanggar hukum tidak tertulis. Mariam darus Badruzaman mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:10 1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat. 2. Perbuatan itu harus melawan hukum, baik karena melanggar hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan kesusilaan, maupun bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian. 9
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm
46. 10
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung, Penerbit lumni, edisi kedua, 1996, hlm 8
11
Perbuatan yang termasuk dalam kategori bertentangan dengan kepatutan adalah:11 a. Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak; b. Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan 3. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dan kerugian. Unsur kerugian dalam perbuatan melawan hukum harus dibuktikan dapat berupa kerugian materiil, yaitu dapat dimintakan suatu ganti rugi sejumlah kerugian yang diderita maupun keuntungan yang akan diperoleh bila ada. Selain itu, dapat pula berupa kerugian idiil, seperti dalam hal penghinaan, tuntutan yang ditujukan adalah untuk mendapat ganti rugi dan pemulihan nama baik. Ada dua ajaran yang berkaitan dengan hubungan kausal, yaitu: a. Teori Conditio Sine Qua Non (Van Buri) b. Teori Adaequate Veroorzaking ( Van Kries)
4. Ada kesalahan (schuld), dalam Pasal 1365 KUHperdata mencakup kesengajaan dan kelalaian. Pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum dirumuskan dalam Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan bahwa seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri,
11
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 1979, hlm 82-83.
12
tetapi juga terhadap perbuatan orang yang menjadi tanggungannya atau barangbarang yang berada dalam pengawasannya.
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui, memahami, dan menganalisis : 1.
Keterikatan hakim yang memeriksa dan memutus perkara antara PT. Sarana Meditama Internasional versus Prita Mulyasari pada electronic mail sebagai bukti elektronik menurut UU No. 11 Tahun 2008.
2.
Putusan hakim Pengadilan Negeri Tanggerang No. 300/Pdt.G/2009/PN TGR yang memutus adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Prita Mulyasari sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata dan yurisprudensi
13
B. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini secara umum diharapkan dapat dijadikan acuan bagi para akademisi dan mahasiswa dalam mempelajari hukum acara perdata dan secara khusus diharapkan dapat memberi manfaat berupa sumbangan pemikiran bagi para penegak hukum dan pihak terkait lainnya yang berhubungan erat dengan diajukannya bukti elektronik sebagai alat bukti serta mendasarkan gugatan pada perbuatan melawan hukum.
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriftif analitis yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai keberadaan bukti elektronik sebagai dasar gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan Oleh PT. Sarana Meditama Internasional terhadap Prita Mulyasari dalam putusan Pengadilan nomor 300/Pdt.G/2009/PN Tanggerang.
B. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang mengutamakan cara meneliti bahan pustaka atau data
14
sekunder berupa hukum positif yaitu HIR khususnya Pasal 164, UU No. 11 Tahun 2008, dan Pasal 1365 KUHPerdata.
C. Tahap Penelitian Tahapan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Penelitian bahan hukum, meliputi : 1.
Bahan hukum primer berupa hukum positif, yaitu
Herziene
Indonesisch Reglement ( HIR), UU No. 11 Tahun 2008, dan Pasal 1365 KUHPerdata. 2.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan - bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer antara lain literatur bidang hukum acara perdata.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, antara lain putusan pengadilan, artikel di koran, majalah, dan browsing internet yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data terdiri dari : 1. Studi literatur, yaitu yang terkait dengan objek penelitian yang turut didukung data data dari internet sebagai data baru yang lebih up to date. 2. Studi terhadap putusan pengadilan.
15
E. Metode Analisis Data Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dilakukan dengan metode analisis normatif kualitatif. Normatif karena penelitian bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai hukum positif, asas asas hukum, dan pengertian hukum. Kualitatif karena merupakan analisis data yang tidak bersifat numerik.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hakim Pengadilan yang Memeriksa dan Memutus Perkara Antara PT. Sarana Meditama Internasional versus Prita Mulyasari Terikat dengan Diajukannya Electronic Mail sebagai Bukti Elektronik Menurut UU No. 11 Tahun 2008. Pada tanggal 24 September 2010, Penggungat yang adalah pengelola Rumah Sakit “Omni International Hospital Alam Sutera” mengajukan gugatan terhadap Prita Mulya Sari. Prita Mulya Sari (selanjutnya disebut sebagai Tergugat) marah-marah dengan alasan tidak puas dengan pelayanan perawatan yang dilakukan Para Penggugat ( Rumah Sakit Omni Internasional dan para dokter) yang menangani keluhan penyakitnya. Tidak cukup dengan hanya mengisi lembar “MASUKAN DAN
SARAN”,
tergugat
dengan
16
menggunakan
alamat
email
[email protected]
juga
membuat
situs:
[email protected]
surat
dengan
elektronik judul
terbuka
“Penipuan
pada OMNI
International Hospital Alam Sutera Tangerang” (Bukti P-6). Surat elektronik terbuka tersebut kemudian telah disebarluaskan ke berbagai alamat email (Bukti P-7). Bahwa dalam surat elektronik terbuka tersebut, tergugat menggunakan katakata yang tidak pantas dan melanggar hak pribadi para penggugat, yaitu pencemaran nama baik dan penipuan. Tergugat dalam jawabannya tertanggal 03 Desember 2008 mengajukan eksepsi antara lain gugatan penggugat prematur dan gugatan kurang pihak/tidak lengkap (exception plurium litis consortium). Terhadap gugatan para penggugat, hakim memutus dan mengabulkan untuk sebagian, begitu pula putusan hakim tingkat banding yang menguatkan putusan hakim tingkat pertama. Dalam kasus RS. Omni International Hospital Versus Prita Mulyasari, yang dijadikan alat bukti adalah email/surat elektronik. Sementara itu, sistem HIR dalam acara perdata mengatur bahwa hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang, diatur dalam Pasal 164 HIR, 284 RBg, dan 1866 BW. Pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan pada era globalisasi, nampaknya masih dipertanyakan validitasnya. Dalam praktik pengadilan di Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah memang belum
17
biasa digunakan dalam perkara-perkara perdata
12
.
Ketidakmungkinan email
dijadikan sebagai alat bukti tidaklah absolut, akan tetapi bersifat relatif sebab menurut hukum acara perdata di Indonesia, apabila ada sengketa, kemudian sengketa tersebut diserahkan pada hakim dalam menyelesaikannya hakim tidak boleh menolak perkara tersebut dengan alasan tidak ada hukumnya. Alat bukti elektronik seperti email, tidaklah diatur dalam HIR, namun sejak tahun 2008 melalui UU ITE dinyatakan bahwa Pengaturan Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik (Pasal 5 sd. 12 UU ITE), juga secara umum dikatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Dengan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa email merupakan alat bukti yang kedudukannya sama dengan alat bukti surat yang wujudnya adalah tertulis. Hakim harus menerima dan mempertimbangkan setiap bukti yang diajukan kepadanya karena salah satu tugas hakim dalam suatu proses perdata adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatnya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, gugatannya akan dikabulkan. Hakim dalam proses pemeriksaan perkara yang berkaitan dengan diajukannya email dalam kasus Prita Mulyasari dapat menerapkan asas lex specialis 12
Arsyad Sanusi, Data Elektronik Sebagai Alat Bukti, Varia Peradilan No. 257, April 2007, hlm
29.
18
derogate lex generali, yaitu undang-undang yang bersifat khusus dalam hal ini UU ITE dapat mengeyampingkan undang-undang yang bersifat umum yaitu HIR. Di samping itu, hakim juga dapat menerapkan asas lex posteriore derogate lex priori, yaitu UU ITE dapat menyampingkan HIR dalam hal penggunaan alat bukti email. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dengan menuliskan keluhan terhadap pelayanan RS. Omni International Hospital, Prita Mulyasari dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang isinya: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Menurut pengakuan tergugat, surat elektronik yang ditulisnya hanya dikirim kesepuluh temannya. Terhadap pengakuan ini, hakim pun dapat mempertimbangkan pengakuan tersebut sebagai alat bukti. Menurut Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang harus dijerat dengan hukuman adalah orang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Jika sekedar menuliskan dalam account email menurut hemat penulis adalah “ranah pribadi”, namun saat dikirim ke mailing list baru masuk ranah publik.” Untuk itu,
19
pihak yang dijerat adalah yang meneruskan surat elektronik tersebut ke mailing list. Oleh karena itu, hakim dapat meminta para pihak untuk menghadirkan saksi ahli untuk menyakinkan validitasnya, dalam hal ini dengan cara memberi keterangan dari keahliannya menyakinkan hakim apakah pencemaran nama baik tersebut hanya sebatas surat menyurat dalam email atau sengaja disebarluaskan dari email ke dalam mailing list.
B. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Tanggerang No. 300/Pdt.G/2009/PN TGR yang Memutus Adanya Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Prita Mulyasari Sudah Sesuai Dengan Ketentuan yang diatur Dalam KUHPerdata dan Yurisprudensi. Dalam kasus RS. Omni International Hospital versus Prita Mulyasari, yang menjadi dasar dari gugatan adalah perbuatan yang melanggar hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata (Perbuatan Melawan Hukum). Hal ini disebabkan karena jelas isi surat elektronik terbuka yang dibuat, dikirim dan disebarluaskan oleh tergugat tidak sesuai dan melanggar hak-hak pribadi (kehormatan dan nama baik) para penggugat, serta bertentangan dengan asas kepatutan, asas ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat. Sebagai akibat lebih lanjut, para
20
penggugat harus melakukan klarifikasi kepada sesama rekanan dokter, pasien, dan pihak asuransi termasuk harus membuat pengumuman dan bantahan di media masa. Sebagai akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat kepada para penggugat, maka para penggugat telah mengalami kerugian baik secara materiil maupun immaterial yang total seluruhnya berjumlah Rp. 559.623.064.960 ( lima ratus lima puluh Sembilan milyar enam ratus dua puluh tiga juta enam puluh empat ribu Sembilan ratus enam puluh rupiah). Hakim Pengadilan Negeri Tanggerang mengabulkan gugatan penggugat dan menghukum tergugat untuk mengganti rugi. Bertitik tolak dari pengertian melawan hukum, pada awalnya mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme. Pengertian yang dianut adalah perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad), sehingga penulis menyimpulkan bahwa perbuatan melawan hukum terjadi ketika unsur-unsur dalam Pasal 1365 KUHPerdata terpenuhi. Pandangan legistis kemudian berubah pada tahun 1919 dengan putusan Hoge Rad 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum vs. Cohen yang dikenal sebagai Drukkers Arrest. Dengan adanya Arrest ini, maka pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas. Perbuatan melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu perbuatan yang
21
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar kaidah hak subjektif orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat. Unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum
berdasarkan
Pasal
1365
KUHPerdata
adalah:
1) Perbuatan Unsur perbuatan sebagai unsur yang pertama dapat digolongkan dalam 2 bagian, yaitu perbuatan yang merupakan kesengajaan dan perbuatan yang merupakan kelalaian. Prita Mulyasari/ tergugat pada awalnya tidak berniat untuk
menyebarluaskan
email
yang
bersangkutan
namun
dalam
kenyataannya berita dalam email tersebut beredar diberbagai mailing list. Hal ini berarti tergugat tidak melakukan hal tersebut secara sengaja, tapi karena kelalaian yang menimbulkan kerugian pada Penggugat. 2) Perbuatan yang dilakukan itu, harus melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum diartikan dalam arti seluas-luasnya, sehingga meliputi hal-hal yaitu: perbuatan melanggar undang-undang, perbuatan melanggar hak orang lain yang dilindungi hukum,
perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku,
perbuatan yang
bertentangan kesusilaan (geode zeden ) dan perbuatan yang bertentangan sikap baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
22
Tindakan yang dilakukan oleh tergugat sangat tidak berdasar dan surat elektronik yang dibuat bertentangan dengan kesusilaan karena telah mencaci maki para penggugat serta bertentangan dengan sikap baik dalam masyarakat karena Omni International Hospital Alam Sutera Tanggerang dianggap telah melakukan penipuan. 3. Unsur kesalahan Undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan untuk dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka pada pelaku harus mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalam melakukan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggungjawab
tanpa
kesalahan
(strict
liability)
tidak
termasuk
tanggungjawab dalam Pasal 1365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata Indonesia. Bilamana dalam hal-hal tertentu berlaku tanggungjawab tanpa kesalahan (strict liability), hal demikian bukan berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. 4. Ada kerugian bagi pelaku Kerugian (schade) bagi korban merupakan unsur perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Dalam gugatan atau tuntutan berdasarkan alasan hukum wanprestasi berbeda dengan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum. Gugatan berdasarkan wan prestasi hanya mengenal kerugian materil, sedangkan
23
dalam gugatan perbuatan melawan hukum selain mengandung kerugian materil juga mengandung kerugian imateril, yang dinilai dengan uang. Selain menderita kerugian materil, kerugian immaterial yang diderita penggugat karena pencemaran nama baik dan menurunnya reputasi para penggugat, serta menurunnya kepercayaan masyarakat maupun rekanan bisnis yang sesungguhnya tidak dapat dinilai dengan uang. 5. Ada hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Tergugat menolak tuntutan ganti rugi baik materil maupun immaterial sebagaimana dikemukakan oleh para penggugat karena pengumuman dan bantahan di Kompas dan Media Indonesia semata-mata merupakan keinginan Para Penggugat serta merupakan promosi para penggugat sedangkan penurunan omzet rumah sakit bukan tidak mungkin sematamata disebabkan atas ketidak professional para penggugat dalam memberikan tindakan dan pelayanan medis kepada para pasiennya. Dengan demikian, biaya-biaya yang tidak diperinci secara jelas dan tegas serta tidak didukung dengan bukti-bukti yang akurat dan otentik maka patut dan beralasan untuk ditolak sesuai dengan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI yaitu: a.
No. 550 K/Sip/1979 tertanggal 8 Mei 1980 yang pada pokoknya berbunyi: “petitum ganti rugi harus dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak diadakan perincian mengenai kerugiankerugian yang dituntut”.
24
b.
No. 492 K/Sip/1970 tertanggal 16 Desember 1970 dan putusan Mahkamah Agung RI No. 1720K/Pdt/1986 tertanggal 18 Agustus 1980 yang isinya berbunyi : “ setiap tuntutan ganti rugi harus disertai perincian dalam bentuk apa yang menjadi dasar tuntutannya. Tanpa perincian dimaksud, maka tuntutan ganti rugi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima karena tuntutan tersebut tidak jelas/tidak sempurna.
Akibat perbuatan tergugat, penggugat telah mengalami kerugian material yang dalam gugatannya dirinci, antara lain atas hilangnya keuntungan yang diharapkan akibat penurunan omset RS OIH Alam Sutera sebesar Rp. 108.105.000 perhari yang diperkirakan baru akan pulih (tercover) dalam waktu 1(satu) tahun /365 hari:365 hari x Rp. 108.105.000= Rp. 39.458.325.000. Nampak jelas bahwa ada hubungan kausa antara perbuatan dan kerugian yang diderita. Menurut penulis, pertimbangan dan putusan hakim sudah tepat yang mengabulkan
gugatan
berdasarkan
perbuatan
melawan
hukum
dengan
mempertimbangkan unsur-unsur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dan perbuatan melawan hukum dalam pengertian yang luas karena adanya pelanggaran hak-hak pribadi (kehormatan dan nama baik), bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang (in casu tergugat).
25
BAB VI PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan pemaparan dalam bab-bab sebelumnya, maka beberapa hal yang dapat penulis simpulkan adalah sebagai berikut: 1. Elektronic Mail merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Hakim harus menerima dan mempertimbangkan setiap bukti yang
26
diajukan kepadanya karena salah satu tugas hakim dalam suatu proses perdata adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Hakim dalam proses pemeriksaan perkara yang berkaitan dengan diajukannya email dalam kasus Prita Mulyasari dapat menerapkan asas lex specialis derogate lex generali, yaitu undang-undang yang bersifat khusus dalam hal ini UU ITE dapat mengeyampingkan undang-undang yang bersifat umum yaitu HIR. Di samping itu, hakim juga dapat menerapkan asas lex posteriore derogate lex priori, yaitu UU ITE dapat menyampingkan HIR dalam hal penggunaan alat bukti email. 2. Pertimbangan hukum dan putusan hakim Pengadilan Negeri Tanggerang sudah tepat yang mengabulkan gugatan penggugat berdasarkan perbuatan melawan hukum dengan mempertimbangkan unsur-unsur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dan perbuatan melawan hukum dalam pengertian yang luas karena adanya pelanggaran hak-hak pribadi (kehormatan dan nama baik), bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang (in casu tergugat). Saran: 1. Pengaturan tentang bukti elekronik sebagai alat bukti sebaiknya diatur secara formal dalam Hukum Acara Perdata yang baru, bukan dalam bentuk hukum materil, dalam hal ini UU Informasi dan Transaksi Elektronik. 2. Disarankan agar berhati-hati dan tidak merugikan pihak lain dalam menuangkan isi hati dan pikiran dalam media elektronik karena dengan
27
adanya kemajuan informasi dan teknologi pesan tersebut sangat mudah untuk diakses dan disadap pihak lain.
28
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku 1, Bandung, 2000. Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992. Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Subekti R dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, 2003. Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1980.
Peraturan Perundang Undangan : Het Herziene Indonesisch Reglement. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Undang - undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sumber Lain : Andriani Nurdin, “ Penyelesaian Sengketa Niaga di Pengadilan Negeri Sebagai Cikal Penyelesaian Sengketa Niaga Syariah Di Pengadilan Agama”, Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Nomor 1 Tahun 2007. Arsyad Sanusi, Data Elektronik Sebagai Alat Bukti, Varia Peradilan No. 257, April 2007
29