BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya wanita sangat menyukai keindahan. Perhiasan dan pakaian indah senantiasa menjadi dambaan, agar dapat mencuri pandangan lelaki terhadap dirinya. Bila hal itu dibiarkan, akan menjurus pada perfitnahan dan berbagai macam kehancuran. Menurut Abbas Mahmud Al-Aqqâd, kejayaan bangsa Romawi pada 100 tahun sebelum masehi dikarenakan telah menerapkan undang-undang yang melarang wanita memperlihatkan perhiasan di jalan-jalan umum. Bahkan undangundang Aubiya mengharamkan penggunaan perhiasan yang berlebihan, meski di dalam rumah. Bukan sesuatu yang mengherankan bila kemudian Islam memberikan tuntunan kepada muslimah tentang tatacara memakai perhiasan dengan metodologi yang sangat bijaksana. 1 Fungsi pakaian terutama sebagai penutup aurat, sekaligus sebagai perhiasan, memperindah jasmani manusia. Agama Islam memerintahkan kepada setiap orang untuk berpakaian yang baik dan bagus. Baik berarti sesuai dengan fungsi pakaian itu sendiri, yaitu menutup aurat, dan bagus berarti cukup memadai serasa sebagai perhiasan tubuh yang sesuai dengan kemampuan si pemakai untuk memilikinya. Untuk keperluan ibadah misalnya untuk shalat di masjid, dianjurkan memakai pakaian yang baik dan suci.
1
Abu Iqbal Al-Mahalli, Muslimah Modern, (Yogyakarta: LeKPIM Mitra Pustaka, 2000), h.
138
1
Berpakaian dengan mengikuti mode yang berkembang saat ini, bukan merupakan halangan, sejauh tidak menyalahi fungsi menurut Islam. Namun, diperintahkan untuk tidak berlebih-lebihan. Berpakaian bagi kaum wanita mukmin telah digariskan oleh Alquran adalah menutup seluruh auratnya. Hal tersebut selain sebagai identitas mukminah juga menghindari diri dari gangguan yang tidak diinginkan, pada dasarnya pakaian muslim tidak menghalangi pemakaiannya untuk melakukan kegiatan sehari-hari dalam bermasyarakat. Semuanya kembali kepada niat pemakainya dalam melaksanakan ajaran Allah. 2 Pakaian wanita itu di dalam syariat Islam mewujudkan dua maksud utama, pertama, menutup aurat dan menjaga fitnah. Kedua, semacam pembedaan dan penghormatan.3 Islam menerapkan syariat yang tidak terlalu membebani kepada wanita, sekaligus tidak merampas kebebasannya. Dalam Alquran surat An-Nûr ayat 30-31 Allah telah menegaskan :
2
http://www.masbied.com/2012/02/23/makalah-tentang-aurat-wanita/. Di akses pada tanggal 3 Maret 2014 pukul: 21.30 WITA 3
Abu Syuqqah, Busana dan Perhiasan Wanita menurut Qur‟an dan Hadits, (Bandung: AlBayan, 1998), h. 20
2
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah
mereka
menahan
pandangannya,
dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau puteraputera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”4
4
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pelita, 1971), h. 548
3
Dua ayat ini memberikan petunjuk kepada laki-laki dan perempuan beriman untuk
mengendalikan
ekspresi-ekspresi
seksualitasnya.
Menurut
teks
ini,
pengendalian diperlukan dalam rangka kehormatan diri. Ajaran Islam dalam menjaga pandangan mata terlebih terhadap lawan jenisnya adalah sangat bijak dan memiliki tujuan mulia. Menjaga pandangan mata dicukupkan dengan menundukkan pandangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari hal yang menimbulkan fitnah gairah seksual melalui pandangan tersebut.5
Terhadap kaum perempuan, Alquran memberikan petunjuk tambahan, agar mereka tidak memperlihatkan “perhiasannya” (zînatahunna), kecuali “apa yang biasa tampak pada bagian tubuhnya” (illa mâ ẓahara minhâ). “Perhiasan” dan “apa yang biasa tampak” adalah dua kata krusial yang tidak menunjukkan makna yang jelas. Pemaknaan inilah yang disebut “aurat.” Para ahli tafsir memahami kata “perhiasan” secara berbeda-beda. Sebagian mufassir memaknainya secara literal, yakni perhiasan yang melekat pada tubuh, seperti gelang tangan atau kaki, kalung, anting, dan cincin. Sebagian menafsirkannya dengan makna metaforis, yakni wajah dan telapak tangan atau leher. Sebagian lagi menafsirkannya sebagai celak (eye shadow), lipstik, dan pacar di tangan atau kuku.6
5
http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/25/batasan-aurat-perempuan-390944.html. Di akses pada tanggal 3 Maret 2014 pukul: 21.00 WITA. 6
http://www.masbied.com/2012/02/23/makalah-tentang-aurat-wanita/. Di akses pada tanggal 2 Maret 2014 pukul: 22.00 WITA.
4
Aisyah meriwayatkan bahwa saudaranya, yaitu Asma‟ binti Abu Bakar pernah masuk rumah Nabi dengan berpakaian tipis sehingga tampak kulitnya. Kemudian, beliau berpaling dan mengatakan:
) َوأَ َشا َراِلَى َو ْج ِه ِه َو َك َف ْي ِه (أبو داود.صلُ ْح أَ ْن يُ َرى ِم ْن َها إِالَّ َه َذا َو َه َذا ْ ََسماَ ءُ إِ َّن ال َْم ْرأَةَ إِذَا بَلَغ ْ ََم ي ْ ياَ أ ْت ل
7
Artinya: “Ya Asma‟! sesungguhnya perempuan apabila sudah baligh (haidh), maka tidak patut diperlihatkan tubuhnya itu melainkan ini dan ini, sambil menunjuk muka dan dua tapak tangannya”. (H.R. Abû Dawûd) Dalam hadis ini ada kelemahan, tetapi diperkuat dengan hadis-hadis lain yang membolehkan melihat muka dan telapak tangan ketika diyakinkan tidak akan menimbulkan fitnah. Salah satu kelapangan Islam adalah membolehkan melihat yang sifatnya mendadak pada bagian yang seharusnya tidak boleh, seperti tersebut dalam riwayat di bawah ini:
ِ ِ َ َ ج ِري ِر ب َّ ِ َّ ِ ف َ َ اا ْ اِ ْ ِر:ِاء ة ُ َس َ ل:اا ْ ُْ ْ َ ْ َ َ ْت َر ُس ْو َا اا َ لى ااُ َلَْيه َو َسل َم َ ْ َ ْ ِر الْ ُف ) أبو داود والترمذى، مسلم، (أحم. َ ص َر َ َب “Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah saw. Tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi: palingkanlah pandanganmu itu. (yakni jangan kamu ulangi melihat untuk kedua kalinya)” (H.R. Ahmad, Muslim, Abû Dawûd, dan Tirmiżi).8
7
Sulaiman Ibnu Asy‟ats Abu Daud Sijistani, Sunan Abi Daud Juz 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H), h. 460 8
M. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), h.
210-211
5
Menutup aurat adalah dengan menggunakan kain atau pakaian yang berfungsi sebagai penghalang (penghambat) pandangan terhadap aurat terbuka. Dengan demikian kain yang tipis, tembus pandang atau yang berlubang-lubang sudah barang tentu tidak dapat dikategorikan sebagai penutup aurat. Begitu pula pakaian yang terlalu tipis (ketat) sehingga tampak lekuk-lekuk anggota tubuhnya. Tidaklah dibenarkan dalam ajaran agama Islam sebagai penutup aurat. Dan menutup aurat adalah termasuk ciri khusus umat Islam dengan umat pemeluk agama lain. Disebutkan bahwa perempuan merupakan aurat, sehingga seluruh tubuh baik dari ujung kaki sampai ujung rambut merupakan aurat bagi perempuan. Setiap anggota tubuh perempuan memiliki daya tarik yang apabila perempuan menampakkan auratnya, maka secara tidak langsung menggoda nafsu birahi lakilaki yang melihatnya. Menurut pandangan Islam aurat merupakan sesuatu yang diharamkan untuk ditampakkan. Seringkali karena daya tarik yang ditimbulkan oleh aurat manusia terjerumus ke dalam kenistaan.9 Perempuan dalam perspektif fiqh klasik aurat dibagi dua kelompok, yang pertama perempuan merdeka (al-ḥurrah) dan perempuan hamba (al-âmah). Batas aurat perempuan merdeka berbeda dari perempuan hamba. Mengenai aurat perempuan merdeka, ada beberapa pendapat yang dinyatakan oleh ulama fiqh. Dalam mazhab asy-Syafi‟i, Hanafi, Maliki, aurat perempuan merdeka adalah
9
http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/25/batasan-aurat-perempuan-390944.html. Di akses pada tanggal 3 Maret 2014 pukul 22.00 WITA
6
seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan (bagian atas/luar dan bawah/dalam) sampai pergelangan tangan. Al-Muzani menambahkan kedua telapak kaki juga tidak termasuk aurat yang wajib ditutupi. Sementara dalam mazhab Hanbali aurat perempuan merdeka adalah seluruh tubuh tanpa kecuali, hanya untuk shalat dan beberapa keperluan tertentu diperbolehkan membuka muka dan telapak tangannya, tetapi sebagian ulama Hanbali tetap mewajibkan menutup seluruh tubuh termasuk di dalam shalat. Sedangkan mengenai batas aurat perempuan hamba, juga ada beberapa pendapat, menurut sebagian besar murid Imam asy-Syafi‟i, bahwa auratnya seperti laki-laki (anggota tubuh antara pusat dan kedua lutut kaki saja). Menurut athThabari, sama seperti perempuan merdeka, kecuali kepala tidak termasuk aurat. Dalam pandangan mayoritas ulama fiqh, aurat perempuan merdeka lebih tertutup dari aurat perempuan hamba.10 Adapun dalam pandangan Yusuf Qaradhawi batasan aurat perempuan ialah seluruh badannya, kecuali muka dan dua telapak tangannya. 11 Dalam penentuan kewajiban hukum memakai jilbab yang telah disepakati oleh ulama salaf, penulis menemukan pendapat ulama kontemporer yang menyatakan bahwa memakai jilbab itu tidak wajib bagi kaum muslimah yang telah baligh. Di antara ulama yang menyatakan pendapat tersebut adalah Muhammad Syahrur, ia berpendapat bahwa ayat-ayat tentang jilbab dalam Alquran itu bukanlah ayat-ayat tasyrī‟ (penetapan 10
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 53-55 11
M.Yusuf Qardhawi, op. cit., h. 216
7
hukum) namun termasuk ayat taklim (pengajaran). Ulama lain yang sefaham dengan pendapat tersebut adalah Qasim Amin yang biasa dikenal dengan Muḥarrir Al-Mar‟ah (pembebas wanita) termasuk M. Quraish Shihab yang juga berpendapat demikian bahwa perempuan yang telah baligh tidak wajib mengenakan jilbab. 12 Menurut beliau batasan aurat adalah hal penting yang dapat menentukan ketentuan jilbab nantinya. Oleh karena itu, hendaknya pemahaman terhadap konsep aurat pun harus tepat. Beliau menuliskan bahwa Alquran tidak menentukan secara jelas dan rinci batas-batas aurat. Menurutnya, seandainya ada ketentuan yang pasti dan batas yang jelas, maka dapat dipastikan pula bahwa kaum muslim termasuk ulamaulamanya sejak dahulu hingga kini tidak akan berbeda pendapat.13 Di sini penulis menemukan perbedaan pendapat antara Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab, perbedaan inilah yang membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut, yang penulis tuangkan dalam judul “Batasan Aurat Perempuan Menurut Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab”. B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang dan penegasan judul di atas, maka rumusan masalah yang dikemukakan sebagai berikut : 1. Bagaimana pendapat Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab mengenai Batasan Aurat Perempuan ? 2. Bagaimana „illat hukum dari kedua pendapat tersebut ?
12
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Bantul: LKIS, 2011), h. 277
13
M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendekiawan Kontemporer, cet. ke VI (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 64
8
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah yang ada yaitu untuk mengetahui: 1. Batasan Aurat Perempuan menurut Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab. 2. „Illat hukum mengenai Batasan Aurat Perempuan menurut Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab.
D. Signifikan Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai : 1. Secara teoritis, untuk memberikan jawaban atas permasalahan pokok dalam penelitian ini. 2. Secara praktis, sebagai bahan informasi dan sumbangan pemikiran serta bahan pertimbangan bagi orang-orang awam tentang Batasan-batasan Aurat Perempuan. 3. Bahan ilmiah bagi mereka yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut dalam permasalahan yang sama namun, dari sudut pandang yang berbeda. 4. Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya yang ingin mengetahui lebih dalam permasalahan ini. 5. Khazanah kepustakaan bagi kampus IAIN Antasari Banjarmasin, khususnya Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab dalam pembahasan “Batasan Aurat Perempuan menurut Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab”.
9
E. Definisi Operasional Untuk mempermudah gambaran yang jelas dan kongkrit tentang pemasalahan yang terkandung dalam konsep penelitian, maka penulis merasa perlu memberikan batasan istilah dan penegasan judul penelitian, sebagai berikut : 1. Batasan Aurat adalah bagian badan yang tidak boleh kelihatan menurut syariat Islam.14 Yakni batasan-batasan aurat perempuan menurut Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab 2. Yusuf Qaradhawi adalah seorang cendekiawan Muslim yang berasal dari Mesir15, beliau dikenal sebagai seorang Mujtahid pada era modern ini. Salah satu ulama kontemporer yang fatwanya banyak menjadi rujukan, namun juga banyak yang mengkritiknya. 3. M. Quraish Shihab adalah seorang ulama, cendekiawan muslim Indonesia16, dan juga mufassîr (ahli tafsir) Alquran yang mampu menterjemahkan dan menyampaikan Alquran dalam konteks masa kini dan masa modern.
14
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982), h. 65 15
http://id.wikipedia.org/wiki/Yusuf_al-Qaradawi. Di akses pada tanggal 6 Maret 2014 pukul 16.00 WITA 16
http://biografi.rumus.web.id/biografi-quraish-shihab/. Di akses pada tanggal 6 Maret 2014 pukul 14.00 WITA
10
F. Kajian Pustaka Sampai saat ini, penulis masih merasa kesulitan untuk mendapatkan buku yang secara khusus dan utuh menjelaskan tentang Batasan Aurat Perempuan menurut Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab ini. Berdasarkan daftar judul skripsi dari jurusan Perbandingan Mazhab, penulis menemukan kajian penelitian yang diteliti oleh (Asikin Noor/9901122954) dengan judul “Batasan Aurat Wanita Menurut Mazhab Sunni dalam Studi Komparatif”. Penelitiannya lebih kepada perbandingan mazhab Sunni, berbeda dengan penelitian dari penulis yang meneliti berdasarkan pendapat Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab. Yusuf Qaradhawi ialah seorang Sunni dan M. Quraish Shihab juga bermazhab Sunni namun tidak serta-merta membuat penelitian ini sama dengan penelitian terdahulu. Karena, M. Quraish Shihab meskipun bermazhab sunni namun ke-sunni-annya tidak membatasi dirinya untuk tidak bersifat terbuka pada mazhab lain, yang artinya beliau tokoh mazhab netral.
G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan terjun ke perpustakaan untuk menghimpun bahan-bahan pustaka (literatur) yang ada kaitannya dengan permasalahan yang di teliti yaitu Batasan Aurat Perempuan menurut Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab. Adapun sifat penelitian ini adalah studi komparatif.
11
2. Bahan dan Sumber Hukum a. Bahan Hukum Bahan yang digali dalam penelitian ini adalah : 1) Batasan Aurat Perempuan menurut pendapat dari Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab. 2) „Illat hukum mengenai batasan aurat tersebut. b. Sumber Hukum Kajian ini merupakan kajian penelusuran kepustakaan. Untuk itu penyusunan menggunakan 3 sumber hukum, yang mana ketiga sumber digunakan sebagai rujukan dari penelitian. 1) Sumber Hukum Primer Yaitu bahan pokok yang digunakan penulis untuk dijadikan kajian dalam proposal ini, yang mana penulis menggunakan rujukan : -
Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, 2003M
-
Yusuf Qaradhawi, Fiqih Wanita, 2009M
-
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, 2009M
-
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, 2013M
-
M.
Quraish
Shihab,
Jilbab
Pakaian
Wanita
Muslimah
Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendekiawan Kontemporer, 2009M -
Abu Syuqqah, Tahrir Al-Mar‟ah fi Ashri Al-Risalah, Juz IV, Darul Al-Qalam, Kuwait, 1411H/1990M
12
-
Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrir Mar‟ah fi Ashrir Risalah, Darul Qalam, Kuwait, 1412H/1991M
-
Alquran Surah An-Nur ayat 30-31 dan Al-Ahzab ayat 59
2) Sumber Hukum Sekunder -
Abu Mujadiddul Islam, Memahami Aurat dan Wanita, 2011M
-
Ahmad Najieh, Wanita Shalihah Menurut Al-Qur‟an dan AlHadits, 2012M
-
Abu Iqbal al-Mahalli, Muslimah Modern, 2000M
-
KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, LkiS, 1421H/2001M
-
Kitab Hadits Abu Daud
-
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, terbitan Departemen Agama R.I. tahun 1971
3) Sumber Hukum Tersier -
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pustaka 1988.
-
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Umi Chulsum, Windy Novia., Khasio, Surabaya 2006.
-
Kamus Umum Bahasa Indonesia, WJS. Poerwadarminta, PN Balai Pustaka, Jakarta 1982.
3. Teknik Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data penulis menggunakan teknik sebagai berikut: Survey kepustakaan, yaitu penulis melakukan observasi di
13
perpustakaan untuk mengumpulkan sejumlah buku-buku dan kitab-kitab yang diperlukan yang berkaitan dengan penyusunan penelitian ini. Adapun yang menjadi tempat survey penulis adalah
Perpustakaan Pusat IAIN
Antasari Banjarmasin, Perpustakaan Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin dan Perpustakaan Daerah Banjarmasin. Studi literatur, yaitu setelah semua bahan terkumpul maka akan dilakukan penelaahan dan pengkajian secara mendalam dengan mengambil kutipan-kutipan yang relevan.
4. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data a. Teknik Pengolahan Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan dengan menggunakan beberapa tahapan antara lain : 1) Editing (seleksi data), yaitu data yang diperoleh di cek kembali kelengkapannya,
sehingga
diketahui
data-data
yang
didapat
dimasukkan atau tidak dalam proses selanjutnya. 2) Kategorisasi, yaitu dengan melakukan pengelompokan pendapat antara Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab tentang batasan aurat perempuan yang diperoleh berdasarkan permasalahannya, sehingga tersusun sistematis.
14
3) Interprestasi, yaitu dengan memberikan penafsiran seperlunya terhadap data yang dirasakan kurang jelas, sehingga lebih mudah dimengertikan. b. Analisis Data Analisis yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dalam bentuk studi komparatif, yaitu dengan melakukan studi perbandingan tentang batasan aurat perempuan menurut Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab, dan ditarik kesimpulan dari kedua pendapat tersebut.
H. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari empat bab yang disusun secara sistematis. Dalam sistematika ini diharapkan mempermudah dalam mencari poin-poin tertentu, sehingga penulis mencoba merincikannya sebagai berikut : Bab I berisi Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikan penelitian, definisi operasional, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II memaparkan landasan teoritis dengan sub bab pembahasan tentang Batasan Aurat Perempuan Menurut Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab yang meliputi pengertian, batasan-batasan aurat (antara perempuan dengan perempuan dan perempuan dengan laki-laki, baik muhrim maupun yang bukan muhrim),
15
pendapat para ulama dan dalil-dalil Alquran dan Sunnah yang terkait permasalahan tersebut. Bab III Data dan Analisis yang memuat biografi Yusuf Qaradhawi dan Quraish Shihab, menguraikan pendapat kedua ulama tersebut mengenai pengertian dan batasan aurat perempuan, serta menguraikan „illat hukum persamaan dan perbedaan pendapat dari kedua ulama tersebut. Bab IV Penutup, yang memuat simpulan dan Saran-saran yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
16
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG BATASAN AURAT PEREMPUAN A. Pengertian Aurat Aurat menurut pengertian hukum Islam ialah batas minimal dari anggota tubuh manusia yang wajib ditutupi karena adanya perintah Allah SWT. Dijabarkan lagi bahwa aurat itu ialah anggota atau bagian dari tubuh manusia yang dapat menimbulkan birahi atau syahwat dan nafsu bila dibiarkan terbuka. Bagian atau anggota tubuh manusia tersebut harus ditutupi dan dijaga karena aurat tersebut merupakan bagian dari kehormatan manusia. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) penerbit: Balai Pustaka, kata-kata aurat diartikan dengan kemaluan atau organ tubuh manusia yang digunakan untuk mengadakan perkembangbiakkan yakni (vagina kemaluan wanita dan farji kemaluan laki-laki). Kata-kata aurat berasal dari bahasa Arab yaitu: 1. „Awir yang artinya hilang perasaan, hilang cahaya atau lenyap penglihatan matanya. 2. „Âr, yang berarti menutup dan menimbun. 3. A‟war yang berarti mencemarkan apabila terlihat, atau sesuatu yang akan mencemarkan bila tampak dan terlihat orang lain. 17 Dengan demikian aurat menurut pengertian agama dan tatabahasa ialah anggota atau bagian dari tubuh
17
Abu Mujadiddul Islam, Memahami Aurat dan Wanita, (Lumbung Insani, 2011), h. 25-26
17
manusia yang apabila terbuka atau tampak akan menimbulkan rasa malu, „aib dan keburukan-keburukan lainnya Aurat juga diartikan barang yang buruk. Dari kata itu, ada sebutan „Aurâa
() وراء, yakni wanita buruk. Sedangkan yang dimaksud di sini ialah bagian tubuh yang tidak patut diperlihatkan kepada orang lain. Dan bagian-bagian itu ada bermacam-macam sesuai dengan tempat dan situasi.18 Pada sebagian besar buku-buku fiqih Islam, bahkan dalam khutbah Jum‟at, kami membaca dan mendengar bahwa wanita adalah aurat, mengapa? Padahal kita tahu bahwa aurat adalah suatu yang jelek (buruk) sedangkan wanita tidaklah demikian. (Ihsan „Atṭar, Qatar). Tersebut dalam Kitab Syarh Ṣaghir sesuai mazhab Imam Malik pada Juz I: “Bahwa aurat adalah celah yang terdapat dalam tempat khusus dan lainnya, dan sesuatu yang dimungkinkan menimbulkan bahaya dan kerusakan”. Di antara kata aurat ialah Aurul Makani artinya terjadinya bahaya dan kerusakan dari tempat itu. Wanita adalah aurat karena dimungkinkan terjadinya kerusakan pada orang yang melihatnya atau mendengar ucapannya, bukan dari kata aur yang memiliki arti kata jelek (buruk) karena tidak bisa dinyatakan dalam kecantikan wanita dan yang demikian itu karena cenderungnya jiwa kepadanya. Terkadang dikatakan bahwa
18
Anshori Umar, Fiqih Wanita, (Semarang: CV Asy Syifa‟, 1986), h. 110
18
yang dimaksudkan buruk di sini adalah sesuatu yang dianggap buruk oleh syara‟, meskipun secara naluri ia disenangi.19 Perintah untuk menutup aurat ini hukumnya wajib bagi setiap muslim dan muslimah yang sudah baligh. Para ulama telah sepakat bahwa menutup aurat, apa dan bagaimana pun batasnya hukumnya wajib.20 Islam adalah ajaran yang sangat sempurna sampai-sampai masalah berpakaian pun diperhatikan dalam Islam. Allah berfirman:
... Artinya: “Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan....” (Q.S. Al-A‟raf: 26). 21 Namun manusia tidak dibebaskan menentukan sendiri pakaian yang digunakan. Selain memerintahkan, Allah SWT. juga melengkapi aturan yang harus dilaksanakan untuk memenuhi kesempuranaan berpakaian tersebut. Dan dalam pemakaiannya harus memperhatikan apa yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Diantaranya sebagai berikut: 1. Berfungsi menutup aurat, Rasulullah bersabda yang artinya: “Hai Asma‟! sesungguhnya seorang perempuan apabila telah datang waktu haidh, tidak 19
Musa Shalih Syaraf, Fatwa-Fatwa Kontemporer PROBLEMATIKA WANITA, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 58-59 20
Abu Mujadiddul Islam, op. cit., h. 43
21
Departemen Agama R.I., op. cit., h. 224
19
patut diperlihatkan tubuhnya melainkan ini dan ini (Rasulullah berkata sambil menunjuk muka dan kedua telapak tangannya hingga pergelangannya)”. (HR. Abû Dawûd) Maksud hadis ini adalah perempuan harus menutupi seluruh auratnya dari orang-orang yang tidak berhak melihatnya.22 Busana seorang muslimah wajib lebar menutupi seluruh tubuhnya dari pandangan lelaki yang bukan mahramnya.23 2. Tidak ketat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ra. dalam Majmu‟ at-Fatawa, 22146, mengatakan: sabda Rasululah SAW. Kasiyat „arifat ditafsiri bahwa perempuan itu mengenakan busana yang tidak menutup auratnya. Ia memang berbusana, namun pada hakikatnya ia tidak berbusana.24 3. Tidak transparan, Rasulullah bersabda: “Suruhlah istrimu untuk mengenakan kain tipis (ghilâlah) lagi di bagian dalamnya, karena sesungguhnya aku khawatir kalau sampai lekuk tubuhnya tampak”. Perintah tersebut Rasulullah berikan kepada Usamah bin Zaid ketika ditanya oleh Nabi SAW. tentang kain tipis. Usamah menjawab bahwa ia telah mengenakannya kepada istrinya. Hadis ini menunjukkan bahwa pakaian yang tipis atau yang mensifati dan menggambarkan lekuk-lekuk tubuh adalah dilarang.
22
Vivi Zakiyah Az-Zahra, 100 Pesan Nabi pada Wanita, (Jombang: Lintas Media, 2010) h.
79-81 23
Syaikh Shaleh bin Ibrahim bin Abdillah al-Fauzan, Sentuhan Nilai Kefikihan Untuk Wanita Beriman, (Jakarta: PT. Megatama Sofwa Pressindo, 2003), h. 56 24
Vivi Zakiyah Az-Zahra, op. cit., h. 82-83
20
4. Tidak menyerupai laki-laki, dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda: “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai pakaian perempuan dan perempuan yang menyerupai pakaian laki-laki”. (HR. Abû Dawûd).25 5. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir, sabda Nabi: “Ingatlah kalian memakai pakaian para pendeta, karena barangsiapa mengenakan pakaian mereka atau menyerupai diri dengan mereka, bukan dari golonganku”. (HR. At-Ṭabrani).26 Mengenai hal ini Allah juga mengingatkan dalam firman-Nya:
.... Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah...”. (QS. Al-Ahzab: 33).27 6. Pakaian itu berupa jilbab, Syaikh Bakar Abu Zaid, dalam bukunya Hirasatul Faḍilah menjelaskan: “Bentuk jama‟ dari kata jilbab adalah jalâbîb, yaitu: baju kurung yang tebal yang dikenakan seorang perempuan dari kepala hingga kedua kakinya dan menutupi seluruh tubuhnya berikut pakaian dan perhiasan yang dikenakannya”. Yang dimaksud jilbab itu sendiri bisa bermakna milḥafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis), kain apa saja yang dapat menutupi, atau pakaian yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh.
25
Ibid., h. 85-87
26
Ibid., h. 89
27
Departemen Agama R.I., op. cit., h. 672
21
7. Memperpanjang ujung pakaian, mengenai hal ini diterangkan dalam kisah Ummu Salamah yang bertanya kepada Rasulullah SAW,“Bagaimana kaum perempuan harus membuat ujung pakainnya?”Hendaklah mereka menurunkan pakaian mereka sejengkal (dari pertengahan betis kaki),”jawab Rasulullah SAW. Selanjutnya Ummu Salamah berkata: ”Kalau begitu kaki mereka tetap tampak?” Beliau bertutur: “Hendaklah mereka menurunkan satu hasta dan tidak boleh melebihinya.” Dari dalil di atas menunjukkan bahwa perempuan diperintahkan untuk memanjangkan bajunya sejengkal dan ditambah sehasta. Namun bukan karena kesombongan, tetapi karena untuk memenuhi syarat dalam menutup aurat secara sempurna. Untuk menghindarkan pakaian tersebut dari kotor dan najis, dari Ummu Salamah, bahwasanya ada seorang perempuan yang berkata kepada Ummu Salamah ra.: “Aku memanjangkan bajuku, lalu aku berjalan di tempat yang kotor.” Ummu Salamah menjawab: “Rasulullah SAW. pernah bersabda, “ujung baju itu dibersihkan oleh tanah berikutnya.” 8. Bukan berfungsi sebagai perhiasan, di zaman sekarang banyak sekali perempuan muslimah yang memakai pakaian dengan tidak mengulurkan kain kudungnya untuk menutupi dada mereka. Mereka justru membentuknya sedemikian rupa dengan cara dililitkan dileher, sehingga terkadang lehernya terbuka atau membiarkan bagian rambutnya terlihat. Mereka berlomba-lomba merancang busana muslimah sehingga fungsinya sedikit berubah. 9. Tidak diberi wewangian atau parfum, dari Abu Musa Al-Asyari bahwasanya ia berkata:
”Rasulullah
bersabda:
22
”Siapapun
perempuan
yang
memakai
wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (HR. An-Nasai). 10. Bukan pakaian popularitas, Ibnu Umar ra. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: ”Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah mengenakan
pakaian kehinaan kepadanya pada hari
kiamat, kemudian membakarnya dengan api nâr.” (HR. Ibnu Majah dan Abû Dawûd). Asy-Syaukani menjelaskan dalam Nailul Auṭâr bahwa syuhrah yaitu setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakaian tersebut mahal, yang dipakai oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun pakaian yang bernilai rendah yang dipakai seseorang untuk menampakkan dengan tujuan riya.28 Busana Islam adalah sebuah terjemahan dan pengertian dari kata-kata “Jilbab” yang bentuk jamaknya dalam Alquran adalah “Jalâbîb” sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 59. Busana muslimah atau pakaian perempuan Islam secara harfiyah tidak terdapat dalam Alquran, namun jilbab atau busana muslimah senantiasa berkaitan dengan aurat. Aurat dan jilbab adalah dua hal yang selalu berkaitan dan berkesinambungan. Menutupi aurat adalah perintah agama dan wajib hukumnya, maka berjilbab atau memakai busana muslimah yang fungsinya menutupi aurat adalah wajib juga.
28
Ibid., h. 91-101
23
Perintah berjilbab ini adalah seiring dengan perintah dan seruan menutup aurat. Sebab pada dasarnya perintah berjilbab adalah perintah untuk menutup aurat seorang perempuan, yang apabila tidak dijaga (dibiarkan terbuka) maka akan mengakibatkan fitnah yang besar, akan timbulnya bencana perzinaan. Timbulnya perzinaan adalah disebabkan kurangnya keimanan kepada Allah, juga disebabkan kurangnya perhatian dalam memelihara dan menjaga aurat kaum hawa itu sendiri.29 Perintah berjilbab ini dapat dilihat dan disimak dalam kitab suci Alquran surat Al-Ahzab ayat 59,
Artinya: ”Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.30 Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar memerintahkan kepada istri-istrinya, anak-anak perempuannya untuk senantiasa berjilbab, tetapi pada akhirnya perintah tersebut tidak hanya bersifat khusus yang hanya ditujukan kepada Nabi saja, tetapi ditujukan kepada seluruh kaum perempuan yang mengaku telah mengikrarkan keislamannya (bersyahadat). 29
Abu Mujadiddul Islam, op. cit., h. 48-50
30
Departemen Agama R.I., op. cit., h. 678
24
Tujuan diperintahkannya berjilbab dalam ayat tersebut ialah pertama agar mereka dikenal sebagai perempuan baik-baik, merdeka dan telah berkeluarga. Kedua agar mereka tidak diganggu, tidak disakiti dan diperlakukan tidak senonoh oleh laki-laki, untuk membendung terjadinya perbuatan yang diharamkan. Perintah berjilbab itu disampaikan kepada seluruh kaum muslimah, apakah ia yang tergolong bangsawan ataupun rakyat jelata, cantik atau jelek, kaya atau miskin. Perempuan muslimah yang sudah cukup umur atau baligh berkewjiban untuk berjilbab. Mulai menginjak usia remaja, perempuan disyariatkan untuk tidak menampakkan anggota tubuhnya, terlebih pada bagian-bagian auratnya, kecuali pada bagian muka dan telapak tangan.31 Begitu pentingnya menutupi dan menjaga aurat bagi muslimah ketika keluar rumah, sampai-sampai Rasulullah SAW. memerintahkan untuk mengenakan celana dibalik jilbab sehingga ketika jilbab tersebut tersingkap, maka auratnya tetap akan terjaga. Hal ini dimaksudkan agar tidak mengundang nafsu birahi kaum laki-laki. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat Al-„Uqaili, Ibnu „Adi, dan Al-Bazzar dari Ali bin Abi Thalib dalam suatu peristiwa, Rasulullah SAW. bersabda:
ِ َِ َّها ِم أ:ت ِ ِ ِ ِ َ اَِّ ِ ُذ وا السرا ِوي َ َسا َ ُ ْم إِذ ْ ََ ْ ْ َ َ اا َر ْج َ َو َحصنُوا ب َها،َستَ ِر يَا بَ ُ ْم
31
Abu Mujadiddul Islam, loc. cit.,
25
Artinya: “Pakailah celana panjang (sirwal), karena celana itu merupakan salah satu pakaian kalian yang paling menutupi, jagalah wanita kalian dengan mengenakannya sewaktu mereka keluar rumah.”32 Berhias dibolehkan bagi wanita sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Setiap wanita senang mempercantik diri. Cara berhias bisa berbeda dari waktu ke waktu, tepi kecenderungan kaum Hawa untuk tampil elok dan cantik di hadapan laki-laki. Islam tidak memerangi kesenangan kodrati ini. Ia hanya mengatur agar berhias dan tampil cantik ni hanya dilakukan di hadapan satu orang saja, yaitu suami. Hanya suami yang boleh melihat dan menikmati “perhiasan” wanita. Dan muhrim dan kelompok yang disebut dalam Alquran.33 Adapun yang terpenting dalam masalah aurat ini ialah, bahwa wanita itu wajib menjaga diri, jangan sampai memperlihatkan auratnya kepada siapa pun yang tidak diperbolehkan melihatnya, sehingga mendapatkan ridha Allah.34
B. Batasan-batasan Aurat Masalah batasan aurat perempuan ini ada perbedaan pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa aurat perempuan itu adalah seluruh tubuhnya (termasuk muka dan kedua telapak tangannya, bahkan kukunya, juga termasuk aurat). Pendapat lainnya mengatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali bagian muka (wajah) dan kedua telapak tangannya. Karena kedua telapak 32
Vivi Zakiyah Az-Zahra, op. cit., h.132-134
33
Ahmad Fa‟iz, Cita Keluarga Islam, (Jakara: Serambi, 2001), h. 210-211
34
Anshori Umar, loc. cit.,
26
tangan dan bagian muka tidak mungkin untuk senantiasa ditutupi ketika berinteraksi dengan sesama manusia, sangat sulit untuk mencari dan mengenal identitas seseorang bila seluruh tubuhnya itu terselubung dibalik pakaiannya. Sementara itu ada yang memberi batasan aurat perempuan itu dari sudut atau segi dengan siapa perempuan itu berhadapan. Aurat perempuan ketika berhadapan atau bermunajat dengan Allah (sewaktu shalat) adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangannya. Aurat perempuan ketika berhadapan dengan muhrimnya adalah bagian tubuhnya antara pusat dan lutut. Jika muhrimnya laki-laki, maka auratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali bagian muka, kedua telapak tangan, leher dan kedua kakinya. Aurat perempuan ketika berhadapan dengan bukan muhrimnya adalah seluruh bagian tubuhnya kecuali muka, kedua telapak tangan dan telapak kakinya. Terhadap masalah aurat ini, Bahz Ibnu Hakim pernah bertanya kepada Rasulullah SAW. 35 Dalam sebuah hadisnya:
ِ ْت يارسو َا :اا َ َ اا َ ْوَرا ُنَا َما َْ ِى ِم ْن َه َاوَما َ َذ ُر َ َ ِ َ ْ بَ ْه ِ بْ ُ َح ِ ٍمم َ ْ أَبِْي ِه َ ْ َج ِّد ْ ُ َ َ ُ ُل:اا ِ ِ ِ َ َ ْت َِ ذَا َكا َن اْل َلو ب ْ ُهم ِى ب ْ ٍم ت ْ َ َا ْح َف ْ َ ْوَرَ َ االَِّم ْ َزْو َجتِ َ أ َْوَما َمل َ ْ َاستَط ُ ت يَ ِم ْي نُ َ ُل ْ إِن:اا َ ْ ُ َ ُْ .ُتت َ ِم ْنه َ َ ااالِيَا َ َ ُ َح ُ َ ل.َّها ْ َح ُّق أَ ْن يُ ْس َ َح ٌ َ َيَ َريَن َ َاااُ َ َ َار َ َوَ َا لَى أ:اا َ َِ ذَا َكا َن أ:ْت َ اَالَيَ َر َاهاأ ) (روا ال مسة إال النسا
36
35
Abu Mujadiddul Islam, op. cit., h. 26-27
36
Syekh Imam Muhammad Ibnu „Ali Ibnu Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Auṭâr Juz Awal, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 1995M, 1415H), h. 62
27
Artinya: Dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari datuknya, dia berkata, Aku bertanya, “Ya Rasulullah, manakah dari aurat-aurat yang harus kami tutup dan kami biarkan?” Nabi menjawab,”Jagalah auratmu kecuali terhadap istrimu dan hamba-hambamu.” Aku berkata, “(Bagaimana) kalau kaum itu sebagian mereka bercampur dengan sebagian?” Nabi menjawab, “kalau engkau dapat sekiranya seorang pun tidak melihatnya, maka janganlah sekali-kali melihatnya.” Aku bertanya, “bagaimana kalau salah satu seorang dari itu sendirian?” Nabi menjawab, “Allah itu lebih berhak dimalui.” (HR. Imam Lima kecuali Nasa‟i).37
Hadis Ibnu Hakim di atas mengandung pengertian dan pelajaran bahwa kaum laki-laki itu tidak boleh melihat aurat laki-laki (sesama laki-laki) dan kaum perempuan juga tidak boleh melihat aurat perempuan lain. Sesama jenis saja dalam Islam dilarang atau setidak-tidaknya ada bentuk peringatan tidak boleh saling memandang dan memperhatikan auratnya, terlebih terhadap lawan jenis. Sungguh sangat mendapatkan larangan keras. Hal yang demikian untuk menjaga keselamatan dirinya. Terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abû Sa‟id Al-Khudriy yang diriwayatkan dari oleh Imam Muslim, Abû Dawûd dan Tirmiżi, Rasulullah bersabda: “Hendaklah jangan orang laki-laki itu melihat aurat laki-laki lain (sesama jenis), dan perempuan jangan pula melihat aurat perempuan lain. Dan jangan pula hendaknya laki-laki itu tidur dalam satu selimut dengan lakilaki lain, dan juga perempuan jangan sampai tidurdalam satu selimut dengan perempuan lain”.38
37
Al-Imam Muhammad Asy Syaukani, terjemah Nailul Auṭâr, (Semarang: CV Asy Syifa‟, 1994) Jilid 2, h. 85 38
Abu Mujadiddul Islam, op. cit., h. 28-29
28
Dari hadis tersebut di atas, mengandung pengertian bahwa menutup dan memelihara aurat itu hukumnya wajib dilakukan kapan saja, kecuali buang air besar atau kecil, ketika seseorang melakukan hubungan badan dan ketika mandi. Alquran al-Karim menunjukkan kewajiban wanita untuk menutupi tubuhnya dalam firman-Nya SWT:
... “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya”. (QS. An-Nûr: 31). 39 Yang dimaksud dengan perhiasan di sini adalah tempat-tempatnya, bukan apa yang dijadikan perhiasan seperti gelang, kalung, anting, dan sebagainya. Dengan kata lain, yang dimaksud adalah keseluruhan tubuh. Dan Allah menganggap tubuh sebagai perhiasan, adalah sebagai isyarat yang jelas bahwa tubuh merupakan pusat daya tarik dan seks bagi kaum laki-laki. Oleh karena itu, Allah SWT. Menginginkan agar wanita menutupinya selain apa yang tampak darinya, yaitu wajah dan kedua telapak tangan menurut sebagian pendapat, dan ditambahkan kedua kaki menurut pendapat yang lain.40 Alquran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian, yaitu libâs, ṡiyâb dan sarabil. Kata libâs ditemukan sebanyak sepuluh kali, ṡiyâb ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat. 39
Departemen Agama R.I., loc. cit.,
40
Sayid Muhammad Husain Fadhlullah, Dunia Wanita dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 2000), h. 121
29
Ketika berbicara tentang laut, Alquran surat Al-Nahl ayat 14 menyatakan,
... Artinya: “...dan kamu mengeluarkan dari laut itu perhiasan (antara lain mutiara) yang kamu pakai...”41 Kata libâs
digunakan oleh Alquran untuk menunjukkan pakaian lahir
maupun batin, sedangkan kata ṡiyâb digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata ṡaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula.42 Alquran surat Al-A‟raf ayat 20 menjelaskan peristiwa Adam dan Hawa berada di surga:
Artinya: “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: Tuhan kamu melarangmu mendekati
41
Departemen Agama R.I., op. cit., h. 404
42
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2013), h. 205
30
pohon ini, supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”.43 Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:
... ... Artinya: “...setelah keduanya telah merasai (buah) pohon (terlarang) itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga...”. 44 Dari ayat-ayat di atas dapat diketahui bahwa membuka aurat adalah ide setan, dan karenanya tanda-tanda kehadiran setan adalah keterbukaan aurat. 45 Dalam hal ini Alquran mengingatkan:
.... Artinya: “Wahai putra-putri Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari
43
Departemen Agama R.I., op. cit., 223
44
Departemen Agama R.I., loc., cit.,
45
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 206
31
surga, ia menanggalkan pakaian keduanya
untuk memperlihatkan
kepada keduanya auratnya mereka berdua....”(QS. Al-A‟raf ayat 27).46 Kata ketiga yang digunakan dalam Alquran untuk menjelaskan perihal pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan kata ini sebagai pakaian, apapun jenis bahannya. Dari ayat yang menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam dan Hawa, dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa pada hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia yang diaktualkan pada ssat ia memiliki kesadaran. Seperti dikemukakan ketika menjelaskan arti ṡaub, manusia pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini menggunakan istilah liyubdia lahumâ mâ wuriya „an-humâ min saw âtihimâ (untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu aurat-auratnya). (QS. Al-A‟raf: 20). Penggalan ayat tersebut bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak semula Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka, melainkan juga berarti bahwa aurat masing-masing tertutup sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya. Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka, dan mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha menutupinya dengan daun-
46
Departemen Agama, op. cit., h. 224
32
daun surga. Usaha tersebut menunjukkan adanya naluri pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa aurat harus ditutup dengan cara berpakaian. Kalimat yang dipergunakan Alquran untuk menyatakan usaha Adam dan Hawa, “Wa ṭafiqâ yakhṣifân „alaihimâ min waraq al-jannah.”. Kata yakhṣifan terambil dari kata khaṣf yang berarti menempelkan sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih kokoh. Adam dan Hawa bukan sekedar mengambil satu lembar daun untuk menutup auratnya (karena jika demikian pakaiannya adalah mini), melainkan sekian banyak lembar agar melebar, dengan cara menempelkan selembar daun di atas lembar lain, sebagai tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga tidak transparan atau tembus pandang.47 Dalam segi ini syariat Islam bertumpu pada saddan liżżari‟ah (tindakan preventif) dan menutup pintu berhembusnya angin fitnah. Islam juga ditegakkan pada prinsip memberi kemudahan dan menolak kesukaran dengan memperbolehkan apa yang seharusnya diperbolehkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan pergaulan di antara sesama manusia, seperti menampakkan perhiasan yang zhahir bagi wanita, di samping memerintahkan kaum laki-laki dan wanita sekaligus untuk menundukkan pandangan dan memelihara kehormatannya.48
47
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 207-209
48
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 539
33
C. Pendapat Para Ulama tentang Batasan Aurat Perempuan Semua fuqaha sepakat bahwa kewajiban memakai hijab termasuk hukum pasti dalam Islam. Perempuan berkewajiban menutup tubuhnya dari lelaki asing dengan cadar, jubah, pakaian panjang, mantel, jas, kain penutup, kerudung dan setiap pakaian lainnya yang menutupi seluruh tubuh. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban (memakai) hijab. Namun, sebagian fukaha berbeda pendapat dalam hal menutup wajah dan kedua tangan hingga pergelangan tangan. Sebagian fukaha berpendapat bahwa menutup hal-hal itu juga wajib atau mereka menghukuminya iḥṭiyaṭ (hati-hati). Namun mayoritas fukaha tidak mewajibkan menutup hal-hal tersebut.49 Aurat perempuan yang disepakati oleh para ulama yaitu seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan. Punggung perempuan adalah aurat, demikian pula rambutnya, meskipun hanya sehelai. Bagi orang yang bukan mahram, rambut perempuan adalah termasuk aurat yang wajib ditutup dan haram untuk diperlihatkan kepada mereka.50 Dalam keadaan sendirian, atau ketika berkumpul sesama muhrim, aurat perempuan ialah anggota tubuh antara pusat dan lutut. Namun demikian para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menyatakan bahwa Islam dalam menentukan dan menetapkan hukum tentang keharusan menutup aurat menggunakan metode serta memperhatikan prinsip tadrij (bertahap). Metode atau tahapan pertama dimulai 49
Ibrahim Amini, Bangga Jadi Muslimah, (Jakarta: Al-Huda, 2007), h. 25
50
Vivi Zakiyah Az-Zahra, op. cit., h. 81
34
dengan firman Allah yang menyatakan: “Hai istri-istri Nabi, kamu tidak seperti perempuan-perempuan lain...” (QS. Al-Ahzab: 32). Tahap berikutnya adalah perintah Allah yang menyatakan: “Dan hendaklah kamu para wanita berdiam di rumah-rumah kamu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah...” (QS. Al-Ahzab: 33). Tahap selanjutnya ialah dengan firman Allah yang artinya: “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka...” (QS. Al-Ahzab: 53), dan pada tahap yang paling akhir firman Allah yang artinya: “Hai katakanlah kepada istri-istri kamu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, oleh karena itu mereka tidak diganggu...” (QS. AlAhzab: 59).51 Dalam surat An-Nûr ayat 31 kalimat-kalimatnya juga cukup jelas. Tetapi yang paling banyak menyita perhatian ulama tafsir adalah larangan menampakkan zinah (hiasan) yang dikecualikan oleh ayat di atas dengan menggunakan redaksi illâ mâzhahara minhâ (kecuali apa yang tampak darinya). Mereka sepakat menyatakan bahwa zinah berarti hiasan (bukan zina yang artinya hubungan seks yang tidak sah), sedangkan hiasan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk memperelok, baik pakaian penutup badan, emas dan semacamnya maupun bahan-bahan make up.
51
Abu Mujadiddul Islam, op. cit., h. 46-47
35
Mengenai pengecualian itu, ada yang berpendapat bahwa kata illâ adalah istisna‟ muṭasil (satu istilah dalam ilmu bahasa Arab yang berarti “yang dikecualikan merupakan bagian/jenis dari apa yang disebut sebelumnya”), dan dalam penggalan ayat ini adalah zinah atau hiasan. Ini berarti ayat tersebut berpesan: “Hendaknya janganlah wanita-wanita menampakkan hiasan (anggota tubuh) mereka, kecuali apa yang tampak.” Dalam memahami masalah ini ada beberapa pendapat, pendapat pertama memahami illâ dalam arti tetapi atau dalam istilah ilmu bahasa Arab istisna‟ munqaṭi‟ dalam arti yang dikecualikan bukan bagian/jenis yang disebut sebelumnya. Ini bermakna: “Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka sama sekali, tetapi apa yang tampak (secara terpaksa/bukan sengaja, seperti ditiup angin dan lain-lain), maka itu dapat dimaafkan. Kedua, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat itu. Kalimat dimaksud menjadikan penggalan ayat itu mengandung pesan lebih kurang: “Janganlah mereka (wanita-wanita) menampakkan hiasan (badan mereka). Mereka berdosa jika demikian. Tetapi jika tampak tanpa sengaja, maka mereka tidak berdosa.”52 Penggalan ayat ini jika dipahami dengan kedua pendapat di atas, tidak menentukan batas bagi hiasan yang boleh ditampakkan, sehingga berarti seluruh anggota badan tidak boleh tampak kecuali dalam keadaan terpaksa.
52
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 230-231
36
Pemahaman ini dikuatkan dengan sekian banyak hadis, seperti sabda Nabi SAW. kepada Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Abû Dâud dan At-Tirmiżi melalui Buraidah:
ِ ِ َّ ِ )س لَ َ اٌْال َا ُر (روا ابو داود والترمذي َ َ ن لَ َ اْالُ ْولَى َول َْي،يَا َل ُّق َال َتَّ ِع النَّ ََرَة النَّ ََرَة
53
Artinya: “Wahai Ali, jangan ikutkan pandangan pertama dengan pandangan kedua. Yang pertama anda ditoleransi, dan yang kedua anda berdosa.” (HR. Abû Dawûd, At-Tirmiżi). Ketiga, memahami “kecuali apa yang tampak” dalam arti yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus tampak.” Kebutuhan di sini dalam arti menimbulkan kesulitan bagian badan tersebut ditutup. Mayoritas ulama memahami penggalan ayat tersebut dalam arti ketiga ini. Dalam hadis disebutkan:
ِ ِ ا واْل ِ ِ ِ ٍم ِ ف ِّد الذ َر ِاع (روا اب جرير َ ص ْ ِ َ َ َ ِج يَ َ يْ َها إَِّال إِلَى ُهنَا َو ْ َ َاليَت ُّقل ِِل ْم َرأَة ُ ْؤ م ُ بِا َ َيو اْالَا ِرأَ ْن ُ ْ ر )الط رى Artinya: “Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya, kecuali sampai di sini (Nabi kemudian memegang setengah tangan beliau).” (HR. AṭṬabari).
ِ ِ )ص ِل (روا ابوداود ْ ض َ اَلْ َ ا ِر يَةُ إِ َذا َحا ْ ََم ي َ صلُ ْح أَ ْن يُ َرى م ْن َها إَِّال َو ْج ُه َها َويَ ُ َها إِلَى اْلم ْف ْت ل 53
Abi Daud Sulaiman Ibnu al-„Asy‟ats Sijistani, op. cit., h. 214
37
Artinya: “Apabila wanita telah haid, tidak wajar terlihat darinya kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan. (HR. Abû Dawûd). Pakar tafsir Al-Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ulama besar Said bin Jubair, Atha dan Al-Auzaiy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah, kedua telapak tangan dan busana yang dipakainya. Sedang sahabat Nabi Ibnu Abbas, Qatadah, dan Miswar bin Makhzamah, berpendapat bahwa yang boleh termasuk juga celak mata, gelang, setengah dari
tangan yang dalam
kebiasaan wanita Arab di hiasi/diwarnai dengan pacar, anting, cincin, dan semacamnya. Syaikh Muhammad Ali As-Sais mengemukakan bahwa Abu Hanifah berpendapat kedua kaki bukan aurat. Abu Hanifah mengajukan alasan bahwa ini lebih menyulitkan dibanding dengan tangan, khususnya bagi wanita-wanita miskin di pedesaan yang (ketika itu) sering berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pakar hukum Abu Yusuf berpendapat bahwa kedua tangan wanita bukan aurat, karena dia menilai bahwa mewajibkan untuk menutupnya menyulitkan wanita.54 Dalam
mazhab asy-Syafi‟i, seperti dikatakan oleh an-Nawawi dan al-
Khatib asy-Syirbini, aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan (bagian atas atau luar dan bawah atau dalam) sampai pergelangan tangan. Al-Muzani menambahkan kedua telapak kaki juga tidak termasuk aurat yang wajib ditutup. 54
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 232-233
38
Sementara dalam mazhab Maliki ada dua pendapat, yaitu pendapat yang mengatakan muka dan telapak tangan perempuan bukan aurat dan pendapat yang menambahkan, kedua telapak kaki juga termasuk bukan aurat. Akan tetapi, Imam Muhammad bin Abdullah al-Maghribi mengatakan bahwa kalau perempuan merasa khawatir terhadap fitnah, ia harus menutup muka dan kedua telapak tangannya. Dalam mazhab Hanbali aurat perempuan adalah seluruh anggota tubuh tanpa kecuali, hanya untuk shalat dan beberapa keperluan tertentu diperbolehkan membuka kain muka dan telapak tangannya, tetapi sebagian ulama Hanbali tetap mewajibkan menutup seluruh anggota tubuh termasuk di dalam shalat. Menurut Abu Bakar al-Harits, bahwa seluruh anggota tubuh perempuan adalah aurat yang wajib ditutupi termasuk kukunya. Asy-Syaukani dalam Nail al-Auṭar menyimpulkan perbedaan ulama mengenai batas aurat perempuan: “Ulama berbeda pendapat mengenai dibatas aurat perempuan, ada yang mengatakan seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali muka dan telapak tangan. Ini dikatakan oleh al-Qasim dalam satu dari dua pendapatnya, asySyafi‟i dalam salah satu dari beberapa pendapatnya, Abu Hanifah dalam satu dari dua riwayat darinya dan Malik. Ada yang mengatakan (auratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali muka, kedua telapak tangan) dan kedua telapak kaki sampai tempat gelang kaki. Ini dikatakan oleh al-Qasim dalam satu perkataannya, Abu Hanifah dalam satu riwayatnya, aṡ-Ṡauri dan Abu al-Abbas. Ada yang mengatakan bahwa auratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali muka. Ini dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal dan Dawûd. Ada yang mengatakan bahwa seluruh anggota tubuhnya adalah aurat tanpa kecuali.
39
Ini dikatakan oleh sebagian murid asy-Syafi‟i dan diriwayatkan juga dari Ahmad. 55 Mengenai perihal memandang, peneliti sedikit paparkan tentang perempuan memandang laki-laki. Dalam hal ini perempuan memandang seluruh bagian tubuh laki-laki adalah boleh jika itu adalah suaminya. Apabila laki-laki itu muhrimnya, maka ia boleh melihat seluruh bagian tubuhnya selain yang terlarang (bagian antara pusar dan lutut). Adapun jika laki-laki itu asing baginya maka, maka menurut mazhab Hanafi, jika perempuan itu bisa meredam syahwatnya, maka boleh baginya melihat seluruh bagian tubuh laki-laki itu kecuali antara pusar dan lutut. Adapun mazhab Maliki dan Hanbali terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, perempuan itu boleh melihat seluruh bagian tubuhnya selain yang dikategorikan aurat (antara pusar dan lutut). Pendapat ini mirip dengan yang disampaikan mazhab Hanafi, seperti pada hubungan antara seorang laki-laki dengan muhrimnya yang perempuan.56 Pendapat kedua, yaitu pendapat yang juga dipandang kuat, menurut mazhab Syafi‟i, perempuan itu hanya boleh melihat seperti (bagian tubuh) yang dibolehkan bagi laki-laki melihatnya dari perempuan yaitu wajah dan kedua telapak tangan.
55
Tutik Hamidah, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, (Malang: Press, 2011),
56
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jilid 4), (Jakarta: Gema Insani, 2011),
h. 80-82
h. 212
40
Hukum perempuan memandang perempuan seperti hukum laki-laki memandang laki-laki, yaitu seluruh ulama mazhab sepakat membolehkan seorang laki-laki yang bisa mengontrol syahwatnya untuk melihat tubuh laki-laki lain, kecuali bagian yang merupakan aurat (antara pusar dan lutut), karena kesamaan jenis dan biasanya pandangan tersebut tidak disertai syahwat. Seringkali terjadi kondisi darurat yang mengharuskan tubuh seorang perempuan dilihat oleh perempuan lain. Dalam hal ini, yang terlarang bagi mereka adalah memandang bagian yang dikategorikan aurat, yaitu antara pusar dan lutut. Menurut pendapat yang lebih benar dalam pandangan jumhur ulama selain mazhab Hanbali, haram hukumnya seorang perempuan kafir (ẓimmi atau lainnya) memandang tubuh seorang muslimah yang bukan muhrimnya. Dengan demikian, muslimah tersebut mesti harus menutup tubuhnya dan mengenakan jilbab di hadapan perempuan kafir tadi. Yang boleh dilihat hanya wajah dan telapak tangan. Artinya perempuan kafir tersebut statusnya seperti laki-laki asing.57 Sementara, menurut mazhab Hanbali tidak ada perbedaaan dalam hal ini antara dua perempuan yang sama-sama muslim dengan dua orang yang salah satunya muslimah dan satu lagi perempuan ẓimmi, sebagaimana tidak ada beda antara dua orang laki-laki yang sama-sama muslim dengan dua laki-laki yang satunya muslim dan yang lainnya kafir. Alasannya, perempuan-perempuan kafir, seperti dari penganut Yahudi dan lainnya, dulu juga biasa masuk ke rumah istri-istri
57
Ibid., h. 213
41
Nabi SAW. dan para istri Nabi tersebut tidak memakai hijab dan tidak juga disuruh untuk berhijab.58 Dari keterangan-keterangan tersebut akhirnya para ulama sepakat bahwa, pertama tidak dibenarkan bagi wanita muslimah membuka auratnya di hadapan orang yang dikecualikan Allah SWT. lebih dari wajah dan kedua telapak tangannya. Kedua, tidak dibenarkan kepada wanita muslimah untuk membuka wajah dan kedua telapak tangannya, kalau ia tahu, bahwa disekitarnya terdapat orangorang yang melihat kepadanya dengan pandangan yang diharamkan Allah, seperti sengaja memandangnya dan tidak berkedip melihatnya. Mengingat keadaan itulah bisa diterima keterangan Al-Khatib Asy-Syarbini tentang Imam Al-Haramain, yang melarang berdasarkan kesepakatan kaum muslimin kepada perempuan-perempuan mereka keluar rumah dengan muka terbuka. Ketiga, mereka sepakat membolehkan wanita untuk membuka wajahnya sebagai keringanan dalam tugas belajar, berobat, menjadi saksi, atau dalam hubungan yang mengharuskan kesaksian. Itulah hukum Islam mengenai masalah pakaian wanita, yang sudah disepakati oleh semua ulama kaum muslimin, berdasarkan nash-nash yang jelas dari kitab Allah SWT. dan hadis shahih dari sunnah Rasulullah.59
58
Ibid., h. 214
59
Muhammad Said Ramadhan, Ke Mana Pergi Wanita Mukminah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 38-40
42
D. Dasar Hukum Tentu, di balik pandangan-pandangan dan pendapat yang berbeda-beda ada sederet dasar hukum yang menjadi rujukan dan pijakan, baik dari teks-teks syara‟ yang otoritatif, maupun dari logika („illat) hukum yang berkaitan dengan penentuan batas aurat perempuan.60 Wanita-wanita, pada awal Islam di Madinah, memakai pakaian yang sama dalam garis besar bentuknya dengan pakaian-pakaian yang dipakai oleh wanitawanita tunasusila atau hamba sahaya. Mereka secara umum memakai baju dan kerudung bahkan jilbab tetapi leher dan dada mereka mudah terlihat. Keadaan semacam itu digunakan oleh orang-orang munafik untuk menggoda dan mengganggu wanita-wanita termasuk wanita Mukminah. Dan ketika ditegur menyangkut gangguannya terhadap mukminah, mereka berkata: “Kami kira mereka hamba sahaya.” Ini tentu disebabkan identitas mereka sebagai wanita mukminah tidak terlihat dengan jelas. Dalam situasi demikian turunlah petunjuk Allah Q.S. AlAhzab ayat 59 kepada Nabi yang menyatakan:
Artinya:“Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”61 60 61
Husein Muhammad, op. cit., h. 55 Departemen Agama R.I., loc. cit.,
43
Ayat ini memerintahkan agar jilbab yang mereka pakai hendaknya diulurkan ke badan mereka. 62 Ayat 59 merupakan kali kelima dalam surah ini Nabi Muhammad SAW. dipanggil dengan panggilan penghormatan “Wahai Nabi”. Di sini, beliau diperintahkan untuk menyampaikan kepada istri-istri beliau dan juga anak-anak perempuan beliau dan wanita-wanita dari keluarga orang-orang mukmin agar mereka mengulurkan atas diri mereka jilbab mereka. Yang demikian itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal sebagai wanita-wanita terhormat atau sebagai wanita-wanita merdeka, sehingga dengan demikian mereka tidak diganggu.63 Allah Ta‟ala memerintahkan Rasulullah SAW. untuk memerintahkan wanita (khususnya istri-istri dan anak-anak perempuan beliau karena kemuliaan mereka) untuk mengulurkan jilbab mereka, agar mereka berbeda dengan ciri-ciri wanita Jahiliyah dan ciri-ciri wanita budak.64 Ibnul Jauzi berkata sebab turun ayat ini ialah, bahwa orang-orang fasik biasa mengganggu perempuan-perempuan pada waktu mereka keluar malam, tetapi kalau mereka
melihat
perempuan-perempuan
yang
berjilbab
mereka
enggan
mengganggunya dan mereka berkata: Ini perempuan merdeka! Dan apabila mereka
62
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 227-228
63
M. Quraish Shihab, Al-Lubab, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 240-241
64
Abdullah bin Muhammad bin „Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i, 2003), h. 38
44
melihat seorang perempuan tanpa jilbab, mereka berucap: Inilah amat (perempuan hamba)! Lalu mereka mengganggunya. Kemudian turunlah ayat yang mulia ini.65 Firman Allah: “Yang demikain itu, supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu” adalah sebagai „illat atau hikmah atas diwajibkannya berjilbab, sedang semua hukum syar‟i itu diperintahkan karena adanya suatu hikmah.66 Seperti tergambar di atas, wanita-wanita muslimah sejak semula telah memakai jilbab, tetapi cara pemakaiannya belum menghalangi gangguan serta belum menampakkan identitas muslimah.67 Kemudian Alquran memberi tuntunan dalam surat An-Nûr ayat 31,
65
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2008), h. 843 66
Ibid., h. 844
67
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 229
45
Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman:“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau puteraputera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”68 Sebab turunnya ayat ini adalah disebutkan oleh Muqatil bin Hayyan, Nahwa ia berkata: “Telah sampai kepada kami riwayat dari Jabir bin „Abdullah al-Anshari, ia menceritakan bahwa Asma binti Maṡad berada di tempatnya di kampung Bani Hariṡah. Di situ para wanita masuk menemuinya tanpa mengenakan kain sehingga tampak gelang pada kaki-kaki mereka dan tampak juga dada dan jalinan rambut mereka. Asma berkata: “Sungguh jelek kebiasaan seperti ini. Lalu turun firman Allah: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya” yakni dari perkara yang haram mereka melihat, di antaranya melihat kepada laki-laki selain suami mereka.
68
Depertemen Agama R.I., loc. cit.,
46
Sebagian ulama lainnya berpendapat: “Kaum wanita boleh melihat laki-laki bukan mahram asalkan tanpa disertai syahwat. Seperti yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih, bahwa Rasulullah menyaksikan kaum Habasyah yang sedang bermain tombak pada hari „Ied di dalam mesjid, sementara Aisyah Ummul Mukminin juga menyaksikan mereka dari belakang beliau, beliau menutupinya dari mereka hingga Aisyah jemu dan pulang.”69 Larangan melihat itu berlaku pada bagian-bagian tubuh lawan jenis ketika dalam keadaan terbuka, dan inilah yang dimaksud dengan haram perempuan melihat laki-laki.70 Firman Allah “Dan memelihara kemaluannya,” Sa‟id bin Jubair berkata: “Yakni dari perbuatan keji (zina).” Qatadah dan Sufyan mengatakan: “Dari perkara yang tidak halal bagi mereka.” Muqatil mengatakan: “Dari perbuatan zina.” Abul „Aliyah mengatakan: “Seluruh ayat dalam Alquran yang disebutkan di dalamnya perintah menjaga kemaluan, maka maksudnya adalah menjaganya dari perbuatan zina, kecuali ayat ini. Maksudnya adalah menjaga agar tidak terlihat oleh seorang pun.” Firman Allah “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya,”yakni janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kepada laki-laki bukan mahram, kecuali perhiasan yang tidak mungkin disembuyikan. Abdullah bin Mas‟ud mengatakan: “Contohnya kerudung,
69
Adullah bin Muhammad bin „Abdullah bin Ishaq Alu Syaikh, op. cit., h. 43-44
70
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 2814
47
baju luar yaitu pakaian yang biasa dikenakan oleh wanita Arab, yakni baju kurung yang menutupi seluruh tubuhnya. Adapun yang tampak di bawah baju tersebut, maka tiada dosa atas mereka. Karena hal itu tidak mungkin ditutupi. Sama halnya dengan perhiasan wanita yang tampak berupa kain sarung yang tidak mungkin ditutupi.” Para ulama lain yang berkata seperti itu di antaranya al-Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Abul Jauza‟, Ibrahim an-Nakha‟i dan lain-lain. Al-A‟masy meriwayatkan dari Sa‟id bin Jubair dari „Abdullah bin „Abbas, ia berkata: “Yakni wajah, kedua telapak tangan dan cincinnya.” Diriwayatkan juga seperti itu dari „Abdullah bin „Umar, „Aṭa‟. Ikhrimah, Sa‟id bin Jubair, Abusy Sya‟ṡâ‟, adh-Ḍahak, Ibrahim an-Nakha‟i dan selain mereka. Kemungkinan itu merupakan tafsir dari perhiasan yang dilarang untuk ditampakkan seperti yang dikatakan oleh Abu Ishaq as-Sabi‟i, dari Abul Ahwash, dari Abdullah bin Mas‟ud tantang firman Allah: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya” beliau berkata: “Perhiasan itu seperti anting-anting, gelang tangan, gelang kaki dan kalung.”71 Menurut Imam Al-Qurṭuby, zinah itu terbagi dua bagian. Pertama, zinah khalqiah, yaitu perhiasan yang sudah melekat pada dirinya seperti raut wajah, kulit, bibir dan sebagainya. Kedua, zinah muktasabah, yaitu perhiasan yang dipakai wanita untuk memerindah atau menutupi jasmaninya, seperti busana, cincin, celak mata, pewarna dan sejenisnya. Maksud dari perhiasan yang biasa tampak dan boleh 71
Adullah bin Muhammad bin „Abdullah bin Ishaq Alu Syaikh, op. cit., h. 44-45
48
diperlihatkan itu, karena tidak mungkin untuk menyembunyikannya atau menutupnya. Seperti wajah, pakaian luar dan telapak tangan.72 Dan Ibnu Abbas dan para ulama yang mengikuti pendapatnya menafsirkan firman Allah: “Kecuali yang (biasa) nampak dari padanya,”dengan wajah dan dua telapak tangan. Itulah tafsir yang populer dikalangan jumhur ulama dan didukung pula oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abû Dawûd dalam sunannya, dari Khalid bin Duraik, dari Aisyah, bahwasanya Asma binti Abû Bakar datang menemui Rasulullah SAW. saat itu ia mengenakan pakaian tipis. Rasulullah memalingkan wajah darinya dan berkata:
صلُ ْح أَ ْن يُ َرى ِم ْن َها إِالَّ َه َذا َو َه َذا ْ ََسماَ ءُ إِ َّن ال َْم ْرأَةَ إِذَا بَلَغ ْ ََم ي ْ ياَ أ ْت ل
73
Artinya: “Wahai Asma‟! Sesungguhnya, perempuan itu kalau sudah sampai (umur) haid tidak pantas untuk dilihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini.” (Beliau mengisyaratkan kepada wajah dan dua telapak tangannya.”) Firman Allah: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,” yakni, hendaklah kerudung dibuat luas hingga menutupi dadanya, gunanya untuk menutupi bagian tubuh di bawahnya seperti dada dan tulang dada serta agar menyelisihi model wanita Jahiliyah. ال مرadalah bentuk jamak dari kata
امار, yaitu kain yang digunakan untuk menutupi, yakni menutupi kepala, itulah
72
Abu Al-Ghifari, Kudung Gaul (Berjilbab Tapi Telanjang), (Bandung: Mujahid Press, 2003), h.54 73
Abi Daud Sulaiman Ibnu al-„Asy‟ats Sijistani, loc. cit.,
49
yang oleh orang banyak disebut kerudung. Berkaitan dengan firman Allah: “Dan hendaklah mereka menutupkan,” Sa‟id bin Jubair berkata: “Yakni mengikatnya.” Firman Allah: “Kain kudung kedadanya,” yakni leher dan dada hingga tidak terlihat sedikitpun.74 Firman Allah: “Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka,” mereka semua adalah mahram bagi seorang wanita, ia boleh menampakkan perhiasannya kepada mereka akan tetapi tanpa bersolek. Firman Allah: “Atau wanita-wanita Islam,” ia boleh menampakkan perhiasan kepada wanita-wanita muslimah, bukan kepada wanita-wanita ahli dzimmah.75 Rasulullah bersabda:
)َال ُ َا ِش ِر ال َْم ْرأَةُ َ تَ ْن َتَ َها لَِ ْو ِج َها َك َ َّهُ يَ ْن ُُر إِل َْي َها (روا ب اري
76
Artinya:
“Janganlah
seorang
wanita
melihat
wanita
lainnya
kemudian
menceritakannya kepada suaminya seolah-olah suaminya melihat wanita itu.” Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka berdua, dari Abdullah bin Mas‟ud. Berkaitan dengan firman Allah tersebut Mujahid 74
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, op. cit., h. 45
75
Ibid., h. 46
76
Abi Abdullah Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu Mughirah Ibnu Barzabah, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 196
50
berkata: “Yakni wanita-wanita muslimah, bukan wanita-wanita musyrikah. Seorang wanita muslimah tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada wanita musyrikah. Firman Allah: “Atau budak- budak yang mereka miliki,” sebagian besar ulama mengatakan: “Ia boleh menampakkan perhiasan di hadapan budak-budak wanita maupun laki-laki yang dimilikinya.” Firman Allah: “Atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita),” yakni seperti pelayan yang tidak sekufu, sudah pikun atau lemah akal serta tidak ada lagi keinginan dan gairah terhadap wanita. Abdullah bin Abbas berkata: “Yaitu laki-laki yang sudah pikun dan tidak mempunyai nafsu syahwat lagi.”77 Firman Allah: “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” Jika anak tersebut masih kecil dan belum paham tentang wanita, maka ia boleh masuk menemui kaum wanita. Adapun bila anak itu telah mencapai usia baligh atau hampir mencapai usia baligh, telah mengetahui tentang wanita dan dapat membedakan antara wanita cantik dan tidak, maka mereka tidak boleh masuk menemui kaum wanita. Firman Allah: “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” Pada masa Jahiliyah, kaum wanita berjalan di jalanan dengan mengenakan gelang kaki yang tidak mengeluarkan suara. Lalu ia sengaja menghentakkan kakinya supaya kaum lelaki mendengar dentingnya. Lalu 77
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, op. cit., h. 47
51
Allah melarang wanita mukminah melakukan hal semacam itu. Demikian pula jika ia memakai perhiasan yang tersembunyi lalu digerakkan untuk menampakkannya, maka termasuk dalam larangan ini. Termasuk di dalamnya larangan memakai parfum dan wewangian ketika keluar dari rumahnya sehingga kaum laki-laki mencium aromanya.78 Firman Allah: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orangorang yang beriman supaya kamu beruntung,” lakukan apa yang telah diperintahkan kepadamu berupa sifat-sifat yang indah dan akhlak-akhlak yang mulia. Tinggalkan kebiasaan kaum Jahiliyah yang memiliki akhlak dan sifat yang tercela, karena kemenangan hanya dapat diraih dengan mengerjakan apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.79 Kata Ibnu Rusyd dan Asy-Syaukani, semua pendapat ulama mengenai batasan aurat perempuan merujuk pada ayat ini. Perbedaan pendapat muncul karena adanya perbedaan mereka dalam menafsirkan frase illâ mâ ẓahara minhâ (kecuali yang biasa tampak). Dalam ayat tersebut perempuan dianjurkan untuk tidak membuka auratnya (zinat) kecuali yang memang biasa terbuka (mâ ẓahara minhâ). Ada beberapa interpretasi tentang pengecualian “yang (biasa/memang) terbuka” ini. Sebagian mengatakan yang termasuk kategori mâ ẓahara minhâ adalah muka dan telapak tangan. Oleh karena itu, muka dan kedua telapak tangan boleh dibiarkan terbuka dan tidak termasuk aurat perempuan yang wajib ditutupi. Sebagian yang 78
Ibid., h. 48
79
Ibid., h. 49
52
lain mengatakan bahwa muka, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki termasuk pengecualian (mâ ẓahara minhâ), yang biasa terbuka, sehingga tidak termasuk aurat perempuan yang wajib ditutup, bahkan sampai setengah dari lengan tangan dan sedikit di atas tumit masih boleh tidak ditutup. Sebagian mengatakan bahwa mâ ẓahara minhâ artinya yang terbuka secara tidak sengaja, seperti tersingkap angin, terjatuh, tersangkut, atau terkena hal-hal lain yang tanpa disengaja terbuka auratnya. Bagi pendapat yang terakhir ini, seluruh anggota tubuh perempuan termasuk muka, telapak tangan, dan telapak kaki adalah aurat yang wajib ditutup, tanpa ada pengecualian. Perbedaan interpretasi masing-masing ulama di atas didasarkan pada beberapa hal yaitu teks hadis, perkataan sahabat, dan logika hukum („illat) yang terkait secara langsung dengan realitas budaya yang berkembang. Dalam literatur fiqh Syafi‟i, Hanafi, dan Maliki, yang sering menjadi rujukan dalam memperkuat interpretasi mereka terhadap frase mâ ẓahara minhâ adalah perkataan sahabat Ibnu Abbas ra. bahwa yang dikecualikan adalah muka dan kedua telapak tangan. Perkataan Ibnu Abbas ra. ini sering menjadi rujukan bagi para ulama yang memilih untuk mengatakan bahwa muka dan telapak tangan perempuan adalah bukan aurat. Sedangkan teks hadis yang menjadi rujukan dalam menafsirkan ayat An-Nûr tersebut ialah hadis dari Aisyah yang meriwayatkan bahwa saudaranya Asma‟ binti Abu Bakar pernah masuk rumah Nabi dengan berpakaian tipis sehingga nampak kulitnya. Kemudain beliau berpaling dan mengatakan:
53
) َوأَ َشا َراِلَى َو ْج ِه ِه َو َك َف ْي ِه (أبو داود.صلُ ْح أَ ْن يُ َرى ِم ْن َها إِالَّ َه َذا َو َه َذا ْ ََسماَ ءُ إِ َّن ال َْم ْرأَ َة إِ َذا بَلَغ ْ ََم ي ْ ياَ أ ْت ل
80
Artinya: “Wahai Asma‟! Sesungguhnya, perempuan itu kalau sudah sampai (umur) haid tidak pantas untuk dilihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk muka dan telapak tangannya. (HR. Abû Dawûd) Teks ini oleh Abû Dawûd sendiri dianggap terputus, karena perawinya Khalid bin Duraik, tidak bertemu dengan Aisyah ra. bagi banyak pakar hadits, hadits ini adalah lemah karena diriwayatkan oleh Khalid bin Duraik dari Aisyah ra. Khalid adalah orang yang tidak dikenal (majhul) oleh kalangan pakar hadits dan juga tidak bertemu dengan Aisyah.81 Ulama Hanbali yang mengatakan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat tanpa kecuali merujuk pada teks hadits berikut:
ََ ٌ اَل َْم ْرأَةُ َ ْو َرةٌ َم ْستُ ْو َرة:اا النَِّ ُّق َ لَّ ى ااُ َلَْي ِه َو َسلَّ َم Artinya: Nabi SAW. bersabda: “Bahwa perempuan adalah aurat yang (harus) tertutup.” Dengan demikian dalam petunjuk dan peraturan ini, Islam menjaga keamanan wanita dari lidah-lidah yang tidak beriman, Islam menjaga kesopanan dan kesuciannya dengan menjauhkannya dari semua faktor yang menyimpang. Islam menjaga kehormatannya dari cercaan penyebar fitnah. Islam melindungi jiwa dan menenangkan kegelisahannya melawan ketegangan, ketidakstabilan dan ketakutan yang muncul dari pikirannya, pada waktu yang sama Islam melindungi 80
Abi Daud Sulaiman Ibnu al-„Asy‟ats Sijistani, loc. cit.,
81
Husein Muhammad, op. cit., h. 56-60
54
laki-laki dari kegelisahan dan penyimpangan, keluarga dari kehancuran, dan masyarakat dari keruntuhan dan kerusakan.82 Inilah dalil-dalil yang digunakan para ulama mufassirin dalam menafsirkan surat Al-Ahzab ayat 59 dan surat An-Nûr ayat 31 yang mambahas masalah tentang batasan aurat perempuan.
82
Yusuf Qaradhawi, Fiqih Wanita (Segala Hal Mengenai Wanita), (Bandung: Jabal, 2009),
h. 24-26
55
BAB III DATA DAN ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPAT ANTARA YUSUF QARADHAWI DAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG BATASAN AURAT PEREMPUAN A. DATA 1. Biografi Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab a. Biografi Yusuf Qaradhawi Yusuf Qaradhawi adalah seorang cendekiawan muslim yang berasal dari Mesir. Nama lengkapnya adalah Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf. Sedangkan al-Qaradhawi merupakan nama keluarga yang diambil dari nama daerah tempat mereka berasal, yakni al-Qardhah. Lahir 9 September 1926 di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta Sungai Nil. Pada usia 10 tahun, beliau sudah hafal Alquran. Menamatkan pendidikan di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi, Qaradhawi terus melanjutkan ke Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin dan lulus tahun 1952. Tapi gelar doktornya baru beliau peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.83
83
Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Qaradhawi Permasalahan, pemecahan, dan Hikmah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 455
56
Beliau memiliki tujuh anak. Empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama yang sangat terbuka, beliau membebaskan anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan
masing-masing.
Dan
hebatnya
lagi,
beliau
tidak
membedakan pendidikan yang harus ditempuh anak-anak perempuannya dan anak laki-lakinya. Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1nya di Universitas Texas Amerika. Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas
Darul
Ulum
Mesir.
Sedangkan
yang
bungsu
telah
menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.
Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, orang-orang bisa membaca sikap dan pandangan Qaradhawi terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang lainnya, mengambil pendidikan umum dan semuanya ditempuh di luar negeri. Sebabnya ialah, karena Qaradhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa Islami dan tidak Islami, tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya.
57
Pemisahan ilmu secara dikotomis itu, menurut Qaradhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.84
Dalam pemikirannya, beliau menggunakan 3 metode yaitu metode Ijtihad Intiqâ‟î/Tarjih, Ijtihad Insyâ‟î dan Integrasi antara Ijtihad Intiqâ‟î dan Insyâ‟î. Metode Ijtihad Intiqâ‟î/Tarjih ialah memilih suatu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fikih Islam yang penuh dengan fatwa dan putusan hukum. Kemudian metode Ijtihad Insyâ‟î yakni pengambilan konkluse hukum dari suatu persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu. Atau cara seseorang mujtahid kontemporer untuk memilih pendapat baru dalam masalah itu, yang belum ditemukan di dalam pendapat ulama salaf. Boleh juga ketika para pakar fikih terdahulu berselisih pendapat sehingga terkatub pada dua pendapat, maka mujtahid masa kini memunculkan pendapat ketiga. Dan metode Integrasi antara Ijtihad Intiqâ‟î dan Insyâ‟î yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.85
Sebagai seorang ahli fiqh, beliau telah menulis beberapa buah kitab yang terkenal seperti Sekitar 125 buku yang telah beliau tulis dalam berbagai dimensi keislaman, sedikitnya ada 13 aspek kategori dalam karya84
http://biografi.rumus.web.id/biografi-dr-yusuf-al-qaradhawi/. Di akses pada tanggal 8 Mei 2014 pukul 19.45 WITA 85
Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 21-22
58
karya Qaradhawi, seperti masalah-masalah, Fiqh dan Uṣul Fiqh, Ekonomi Islam, Ulum Al Quran dan As sunnah, Akidah dan Filsafat, Fiqh prilaku, Dakwah dan Tarbiyah, Gerakan dan Kebangkitan Islam, Penyatuan Pemikiran Islam, Pengetahuan Islam Umum, Serial Tokoh-tokoh Islam, Sastra dan lainnya. Sebagian dari karyanya itu telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia, tercatat, sedikitnya 55 judul buku Qaradhawi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia.86
Karya-karyanya diantaranya: Al-Halâl wa Al-Harâm fi Islâm (Halal dan Haram dalam Islam), Fatawa Mui Asarah (Fatwa-fatwa Semasa), AlIjtihad fi al-Syari‟at al-Islâmiyah (Ijtihad dalam Syariat Islam), Madkhal li Dirasat al-Syari‟at al-Islâmiyah (Pengenalan Pengajian Syariat Islam), Min Fiqh al-Dawlah al-Islâmiyah (Fiqh Kenegaraan), Nahw Fiqh Taysir (Ke arah Fiqh yang Mudah), Al-Fatwa Bayân al-Indibat wa al-Tasayyub (Fatwafatwa antara Kejituan dan Pencerobohan), al-Fiqh al-Islâm Bayân al-Asalah wa al-Tajdîd (Fiqh Islam antara Ketulenan dan Pembaharuan), Awamil alSa‟ah wa al-Murûnah fi al-Syari‟ah al-Islâmiyah (Faktor-faktor Kelenturan dalam Syariah Islam), Fiqh al-Siyâm (Hukum Tentang Puasa), Fiqh alṬaharah (Hukum tentang Kebersihan), Fiqh al-Ghîna‟ wa al-Mûsiqâ (Hukum tentang Nyanyian dan Musik), Fiqh Zakat, al-Aql wa al-Ilm fi al-
86
http://biografi.web.id/biografi-dr-yusuf-al-qaradhawi/. Di akses pada tanggal 8 Mei 2014, pukul 21.00 WITA
59
Qur‟an (Akal dan Ilmu dalam Al-Qur‟an), Wujûd Allah (Adanya Allah), dan lain sebagainya.87
b. Biografi M. Quraish Shihab Muhammad Quraish Shihab dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 Februari 1944. Beliau merupakan anak kelima dari dua belas bersaudara, keturunan Arab terpelajar. Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986M), adalah tamatan Jami‟at al-Khair Jakarta, sebuah lembaga pendidikan Islam terbilang paling tua di Indonesia yang ikut meletakkan fondasi modernisme di Indonesia. Jalinan kerjasama lembaga pendidikan ini dengan pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah, baik Hadramaut, Haramain, maupun Cairo, membawa Jami‟at al-Khair pada posisi penting dalam gerakan Islam di Indonesia.88 Ayah Muhammad Quraish Shihab juga dikenal sebagai ahli tafsir, keahlian yang mensyaratkan kemampuan memadai dalam bahasa Arab. Muhammad Quraish Shihab sendiri mengaku bahwa dorongan untuk memperdalam studi Alquran terutama tafsir datang dari ayahnya. Kesuksesan Muhammad Quraish Shihab juga tidak terlepas dari dukungan dan motivasi keluarga. Fatmawati istrinya, adalah wanita yang setia dan penuh cinta kasih dalam mendampingi Muhammad Quraish Sihab 87
http://karya-karya.web.id/dr-yusuf-al-qaradhawi/. Di akses pada tanggal 8 Mei 2014, pukul 21.40 WITA 88
Anshori LAL, Penafsiran Ayat-ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab, (Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008), h. 31
60
memimpin bahtera rumah tangga. Kemudian anak-anak mereka, empat putri yaitu Najela, Najwa, Nasywa, Nahla, dan seorang putra bernama Ahmad, adalah pihak-pihak yang turut memberikan andil bagi keberhasilan Muhammad Quraish Shihab. Setelah menyelesaikan pendidikan dasasrnya di Ujung Pandang, beliau melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, Jawa Timur, menjadi santri di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Fâqihiyah. Pada tahun 1958, ketika usia beliau mencapai 14 tahun, beliau berangkat ke Kairo Mesir dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar dan pada tahun 1967 beliau meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir dan Hadis Universitas al-Azhar. Kemudian pada tahun 1969 meraih gelar M.A. dari fakultas yang sama untuk spesialisasi bidang bidang tafsir Alquran dengan tesis berjudul Al-I‟jaz al-Tasyri‟iy lî al-Qur‟ân al-Karîm. 89
Untuk mewujudkan cita-citanya, beliau mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar Cairo, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir Alquran. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durâr lî al-Biqâ‟i Tahqîq wa Dirâsah (Suatu Kajian dan analisis terhadap keotentikan Kitab Nazm ad-Durâr karya
89
Ibid., h. 32
61
al-Biqâ‟i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat penghargaan Mumtâz Ma‟â Martabah al-Syarâf al-Ûla (summa cum laude).90
Sekembalinya dari ke Indonesia setelah meraih Doktor dari al-Azhar sejak tahun 1984 Muhammad Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuludin dan Fakultas Pascasarjana dan akhirnya menjadi Rektor IAIN yang sekarang menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1992-1998). Selain itu, di luar kampus, beliau juga dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tahun (1985-1998), anggota Lajnah Pentashhih Alquran Departemen Agama sejak 1989. Beliau juga terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya beliau juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang beliau lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Quran, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.
Di samping kegiatan tersebut di atas, M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal. Kegiatan ceramah ini beliau
90
Ibid., h. 34
62
lakukan di sejumlah masjid di Jakarta, seperti Masjid al-Tin, Sunda Kelapa dan Faṭullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di.bulan Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya.91
Muhammad Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar Alquran
di
Indonesia,
tetapi
kemampuannya
menerjemahkan
dan
meyampaikan pesan-pesan Alquran dalam konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar Alquran lainnya. Dalam hal penafsiran, beliau cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu‟i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Alquran yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat Alquran tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat Alquran sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.92
91
Ibid., h. 35-36
92
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab. Di akses pada tanggal 8 Mei 2014, pukul. 20.05 WITA.
63
Muhammad Quraish Shihab termasuk salah satu seorang ahli tafsir Alquran yang produktif menulis. Tulisannya berupa buku dan artikel di berbagai surat kabar dan majalah, seperti Republika, Pelita majalah alAmanah, Ulumul Quran, Mimbar Ulama dan sebagainya. Karya-karya beliau diterbitkan secara luas, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negeri tetangga, seperti Malaysia dan Brunei Dasrussalam. Berikut adalah sejumlah karya-karya beliau:
1) Mahkota Tuntunan Ilahi, Tafsir Surah al-Fatihah (Jakarta: Untagama, 1988) kemudian dicetak ulang dengan judul “Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Tahlil” (Jakarta: Lentera Hati, 1996) 2) Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1992) 3) Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994) 4) Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994) 5) Untaian Permata Buat Anakku: Pesan al-Qur‟an untuk Mempelai (Bandung: al-Bayan, 1995) 6) Wawasan al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1996) 7) Mukjizat Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1997) 8) Sahur Bersama Muhammad Quraish Shihab di RCTI (Bandung: Mizan, 1997) 9) Haji Bersama Muhammad Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1998)
64
10) Menyingkap Tabir Ilahi (Asma al-Husna dalam Persefektif al-Qur‟an) (Jakarta: Lentera Hati, 1998) 11) Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdah (Bandung: Mizan, 1999) 12) Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1999) 13) Yang Tersembunyi Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat (Jakarta: Lentera Hati, 1999) 14) Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2000) 15) Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil (Jakarta. Lentera Hati, 2001) 16) Menjemput Maut (Jakarta: Lentera Hati, 2002) 17) Mistik Seks dan Ibadah (Jakarta: Republika, 2004) 18) Jilbab Pakain Wanita Muslimah (Jakarta: Lentera Hati, 2004) 19) Dia di Mana-mana (Jakarta: Lentera Hati, 2004) 20) Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005) 21) 40 Hadits Qudsi Pilihan (Jakarta: Lentera Hati, 2005) 22) Logika Agama (Jakarta: Lentera Hati, 2005).93
2. Pengertian Aurat Perempuan Menurut Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab a. Aurat Perempuan Menurut Yusuf Qaradhawi Masyarakat Islam di samping wajib beriman kepada Allah dan Hari Akhir, juga harus menjaga keutamaan, kesucian dan kehormatan serta harus 93
Anshori LAL, op. cit., h. 37-44
65
pula menjaga diri dalam hubungan antara pria dan wanita. Dalam hal itu hukum Islam bermaksud menegakkan prinsip pencegahan, tidak memberi lubang kepada umatnya untuk mudah terjerumus ke dalam dekadensi dan kerusakan masyarakat. Sama halnya dengan menutup pintu agar tiupan angin fitnah (godaan) tidak dapat masuk leluasa, misalnya larangan bagi kaum pria dan wanita bersendirian di suatu tempat dengan lelaki atau wanita bukan muhrim, mempertontonkan kecantikan dan keindahan paras kepada lelaki yang bukan suaminya. Menurut Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Halal dan Haram dalam Islam, beliau mengatakan bahwa semua bagian tubuh yang tidak boleh ditampakkan adalah aurat.94 Dengan kata lain, aurat adalah bagian-bagian tubuh seseorang yang sudah baligh yang apabila dibuka atau diperlihatkan itu haram hukumnya. b. Aurat Perempuan Menurut M. Quraish Shihab Menurut beliau bagian-bagian badan yang tidak boleh terlihat, biasa dinamai aurat. Kata ini terambil dari bahasa Arab „aurah yang oleh sementara ulama dinyatakan terambil dari kata „awara yang berarti hilang perhiasan. Jika kata tersebut dikaitkan dengan mata, maka ia berarti hilang potensi pandangannya (buta) tetapi biasanya ia hanya digunakan bagi yang buta sebelah. Sedangkan bila kata itu digandengkan dengan kalimat maka ia berarti ucapan yang kosong dari kebenaran atau tidak berdasar, atau
94
M. Yusuf Qaradhawi, loc. cit.,
66
ucapan yang buruk dan mengundang amarah pendengarnya. Dari maknamakna di atas kata aurat dipahami dalam arti sesuatu yang buruk, atau sesuatu yang hendaknya diawasi karena ia kosong, atau rawan dan dapat menimbulkan bahaya dan rasa malu. Kata „aurah sering kali dipersamakan dengan sau‟ah yang secara harfiah dapat diartikan sesuatu yang buruk. Akan tetapi, dari sekian contoh penggunaannya di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua yang buruk adalah aurat, dan tidak semua aurat pasti buruk. Tubuh wanita cantik yang harus ditutup bukanlah sesuatu yang buruk, ia hanya buruk dan dapat berdampak buruk jika dipandang oleh yang bukan mahramnya. Itu adalah aurat dalam arti rawan, yakni dapat menimbulkan rangsangan berahi yang pada gilirannya jika dilihat oleh mereka yang tidak berhak melihatnya dapat menimbulkan “kecelakaan, aib, dan malu”.95 3. Batasan Aurat Perempuan dan „Illat Hukum Menurut Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab a. Batasan Aurat Perempuan dan „Illat Hukum menurut Yusuf Qaradhawi Diantara yang harus ditundukkan pandangan ialah pandangan kepada aurat. Rasulullah SAW. telah melarangnya sekalipun antara laki-laki dengan laki atau antara perempuan dengan perempuan dengan syahwat. Sabda Rasulullah SAW,
95
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 55-58
67
ِ ب الْو ِ َّ الرجل إِلَى ِ ُ َوالَال َْم ْرأَة، ِ اح َّ ِالر ُج ُل إِلَى َ ْوَرة َّ الَ يَ ْن ُُر َ ِ الر ُج ِل الث َّْو ُ ُ الر ُج ِل َوَال يُ ْف ى ُّق ِ ب الْو ِِ ِ ) (مسلم وغير. ِ اح َ ِ إلَى ال َْم ْرأَة الث َّْو Artinya: “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain dan begitu juga perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain, dan tidak boleh seorang laki-laki bercampur dengan laki-laki lain dalam satu pakaian, dan begitu juga perempuan dengan perempuan lain bercampur dalam satu pakaian. (HR. Muslim, Ahmad, Abû Dawûd dan Tirmiẓi). Aurat laki-laki yang tidak boleh dilihat oleh laki-laki lain atau aurat perempuan yang tidak boleh dilihat oleh perempuan lain adalah antara pusar dan lutut sebagaimana yang diterangkan dalam hadis Nabi di atas. Aurat perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki ialah seluruh badannya, kecuali muka dan telapak tangannya.96 „Illat hukum dari batasan aurat perempuan menurut Yusuf Qaradhawi tersebut ialah berdasarkan nash Alquran surat An-Nûr ayat 31 Alquran melarang kaum perempuan menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dan memerintahkan mengulurkan kain kudung ke dadanya. Yang dimaksud dengan perhiasan perempuan ialah apa saja yang dipakai untuk berhias dan untuk mempercantik tubuh, baik berbentuk ciptaan asli seperti wajah, rambut dan potongan tubuh, maupun buatan seperti pakaian, perhiasan dan tata rias. Kemudian yang dimaksud dengan perhiasan yang biasa nampak ialah wajah dan dua telapak tangan serta
96
M. Yusuf Qaradhawi, op. cit., h. 209
68
perhiasan yang biasa tampak dengan tidak ada maksud kesombongan dan berlebih-lebihan seperti celak di mata dan cincin pada tangan.97 Ini tidak sama dengan tata rias dan cat-cat yang biasa dipakai oleh perempuan-perempuan zaman sekarang untuk mengecat pipi dan bibir serta kuku (cosmetik). Tata rias ini semua termasuk berlebih-lebihan yang sangat tidak baik, yang tidak boleh dipakai kecuali di dalam rumah. Kebanyakan perempuan sekarang memakai itu semua di luar rumah, untuk menarik perhatian laki-laki. Jadi, jelas hukumnya haram. Menurut beliau yang dimaksud istimewa (pengecualian) adalah suatu rukhsah (keringanan) dan untuk mengentengkan kepada perempuan dalam menampakkan sesuatu yang mungkin disembunyikan dan ma‟qul sekali (bisa diterima akal) kalau hal itu adalah muka dan dua telapak tangan. Adanya kelonggaran pada muka dan dua telapak tangan adalah karena menutupi kedua anggota tersebut termasuk suatu hal yang memberatkan perempuan.98 Kemudian yang dimaksud mengulurkan kain kudung ke dadanya ialah setiap perempuan harus menutup kepalanya dengan kerudung dan menutup belahan dadanya itu dengan apa pun yang memungkinkan, termasuk juga lehernya, sehingga sedikit pun tempat-tempat yang membawa
97
Ibid., h. 212
98
Ibid., h. 213
69
fitnah ini tidak terbuka yang memungkinkan dilihat oleh orang-orang yang suka usil dan iseng.99 Allah juga memerintahkan kepada perempuan mukminah agar memakai jilbab ketika keluar rumah supaya mereka berbeda dengan perempuan kafir dan lacur. Perintah ini terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 59 (“hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”). Perintah itu memberikan „illat karena dikhawatirkan perempuan mukminah itu diganggu oleh orang-orang fasik dan menjadi perhatian orang-orang yang suka iseng.100 Ini artinya jika ditampakkan adalah hal yang dilarang. Karena bagian-bagian tersebut seperti leher, telinga dan dada merupakan bagian sumber fitnah yang dapat menimbulkan rangsangan berahi lawan jenis apabila ditampakkan. Tentu hal ini sangat dihindari dan dikhawatirkan karena akan berdampak buruk. Telah menjadi suatu ijma‟ bagi kaum muslimin di semua negara dan di setiap masa pada semua golongan fuqaha, ulama, ahli-ahli hadis dan ahli tasawuf, bahwa rambut wanita itu termasuk perhiasan yang wajib ditutup, tidak boleh dibuka di hadapan orang yang bukan muhrimnya. Adapun sanad dan dalil dari ijma‟ tersebut ialah ayat Alquran surat An-Nûr ayat 31:
99
Ibid., h. 214
100
Ibid., h. 217-218
70
.... Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,....”101 Berdasarkan ayat di atas, Allah SWT. telah melarang bagi wanita mukminat untuk memperlihatkan perhiasannya. Kecuali yang lahir (biasa tampak). Di antara para ulama, baik dahulu maupun sekarang, tidak ada yang mengatakan bahwa rambut wanita itu termasuk hal-hal yang lahir, bahkan ulama-ulama yang berpandangan luas, hal itu digolongkan perhiasan yang tidak tampak.102 Hal yang demikian sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abû Dawûd dari Aisyah ra. bahwa ketika Asma‟ binti Abu Bakar ra. bertemu dengan Rasulullah, ketika itu Asma‟ mengenakan pakaian tipis, lalu Rasulullah memalingkan muka seraya bersabda, “Ya Asma‟! sesungguhnya perempuan apabila sudah baligh (haidh), maka tidak patut diperlihatkan tubuhnya itu melainkan ini dan ini, sambil menunjuk muka dan dua tapak tangannya”.
101
Departemen Agama RI., loc., cit
102
Yusuf Qaradhawi, op., cit. h. 327
71
Dengan demikian, sabda Rasulullah itu menunjukkan bahwa rambut wanita tidak termasuk perhiasan yang boleh ditampakkan, kecuali wajah dan tangan. Al-Qurṭubi berkata “Sebab turunnya ayat tersebut ialah bahwa pada masa itu kaum wanita jika menutup kepala dengan akhmirah (kerudung), maka kerudung itu ditarik ke belakang, sehingga dada, leher dan telinga tidak tertutup. Maka Allah SWT. memerintahkan untuk menutup bagian mukanya, yaitu dada dan lainnya.”103 b. Batasan Aurat Perempuan dan „Illat Hukum Menurut M. Quraish Shihab Menurut beliau dalam bukunya Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Alquran tidak menentukan secara jelas dan rinci batas-batas aurat (bagianbagian yang tidak boleh kelihatan karena rawan rangsangan). Menurut beliau jika seandainya ada ketentuan yang pasti dan batas yang jelas, maka dapat dipastikan pula bahwa kaum muslim, termasuk ulama-ulamanya sejak dahulu hingga kini tidak akan berbeda pendapat.104 Melalui hadis-hadis Rasul para ulama berusaha menemukan batasbatas aurat itu. Tetapi, tidak jarang ditemukan perbedaan pendapat menyangkut nilai keshahihan suatu hadis, sebagaimana dapat juga lahir perbedaan interpretasi menyangkut nash (teks) keagamaan yang disepakati keshahihannya. Kalau
merujuk kepada pendapat ulama terdahulu,
ditemukan bahwa mereka membedakan aurat pria dan wanita, dan aurat
103
Yusuf Qaradhawi, op., cit. h. 328-329
104
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 64
72
seorang merdeka serta hamba sahaya. Mereka membedakan juga antara aurat wanita dalam shalat dan di luar shalat serta aurat muslimah terhadap wanita non muslimah. Tentu saja masing-masing memiliki alasan-alasannya. Dalam konteks ini perlu digarisbawahi bahwa dalam pandangan-pandangan yang berbeda itu ditemukan sekian pertimbangan logika, adat istiadat dan petimbangan kerawanan terhadap rangsangan syahwat, di samping teks-teks keagamaan.105 Beliau mengatakan dalam bukunya Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, kalau kita merujuk ayat ini. Q. S. An-Nûr ayat 31:
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya” ayat ini merupakan salah satu argumentasi terkuat yang ditampilkan oleh mayoritas ulama tentang tuntunan agama dalam hal menutup kepala bagi wanita. Kata ( امرهkhumurihinna) terambil dari kata ( امرkhumur) yaitu bentuk jamak dari kata ( امارkhimâr). Kata yang terdiri dari huruf-huruf kha, mim dan ra pada dasarnya berarti menutup. Karena itu, minuman keras yang menutupi akal sehat seseorang dinamai khamar. Sesuatu yang diletakkan di
105
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 64-65
73
atas kepala untuk menutupinya dinamai khimar. Dari sini, kata tersebut diartikan juga sebagai kerudung. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Ahzab: 59,
Artinya: “Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”106 Menurut beliau ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya”. Ini berarti mereka telah memakai jilbab tetapi belum lagi mengulurkannya. Terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya. Allah berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya”.107
106
Departemen Agama RI, loc., cit.,
107
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah voleme10, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 534
74
Kemudian jika merujuk pada teks surat An-Nûr ayat 31, hanya memerintahkan menutup dada dengan penutup kepala (kerudung) yang selama ini mereka pakai, dan yang ketika itu mereka belum lagi menggunakannya menutup dada. Dari sini sementara orang berpendapat bahwa sebenarnya rambut wanita tidak wajib ditutup, karena ayat tersebut tidak memerintahkannya. Ayat itu hanya menekankan perlunya menutup dada. “Apapun yang digunakan menutup dada, apakah kerudung atau tanpa kerudung, selama dada telah tertutup maka itu sudah benar. Seandainya Allah menghendaki agar kepala pun ditutup, maka pasti kalimat yang dipilih-Nya akan tegas dan jelas.” Demikian menurut sementara orang. 108 Itulah yang beliau katakan dalam bukunya tersebut. Beliau mengatakan perempuan tidak wajib mengenakan jilbab karena jilbab merupakan adat budaya Arab, yang dilakukan karena tradisi bukan karena kewajiban. Menurut beliau penggunaan jilbab disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan kebutuhan. Wanita yang menutup seluruh badannya atau kecuali wajah dan telapak tangannya, telah menjalankan teks ayat-ayat Alquran bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan setengah tangannya, bahwa mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama. Menurutnya bukankah Alquran tidak menyebut batas aurat, para ulama pun ketika membahasnya
108
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 242-243
75
berbeda pendapat. Namun, kehati-hatian amat dibutuhkan, karena pakain lahir dapat menyiksa pemakainya sendiri apabila ia tidak sesuai dengan bentuk badan si pemakai. Demikian juga pakaian batin, apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia sebagai hamba Allah, yang paling mengetahui ukuran dan patron terbaik buat manusia.109 Namun meskipun beliau berpendapat demikian, beliau tetap memberikan ketentuan-ketentuan dalam berpakaian, diantaranya: 1) Jangan bertabarruj, yakni menggunakan make up secara berlebihan, berbicara tidak sopan, atau berjalan berlenggak-lenggok dan segala macam sikap yang mengundang perhatian laki-laki. 2) Jangan mengundang perhatian, yang dimaksud di sini adalah bila tujuan memakainya
mengundang perhatian
dan
bertujuan
memperoleh
popularitas. 3) Jangan mamakai pakaian transparan, pakaian tersebut pasti akan mengundang bukan saja perhatian, tetapi bahkan rangsangan. Rasulullah SAW. bersabda:
ِِ ِ ت َلَى ُرُؤْو ِس ِه َّ ِمثْ ُل ٌ َ ت ُم ِم ْي ٌ َِ ات َما ٌ َات َا ِري ٌ َ َكا ِسي: ُ ْ ََم أ ََرُه َما ب ْ ْن َفا ن م ْ أ َْه ِل النَّا ِرل ِ ِ ِ أ ِ ِ ِ َ ط ِمثْل أَ ْذ اب اْلَ َل ِر ْ ُ ٌ َوِر َجا ٌا َم َ ُه ْم سيَا، َاليَ ْ ُا ْل َ اْل َ نَّةَ َوَاليَ ْ َن ِريْ َت َها،َسن َمة اْلُ ْ ت )أب هريرة
ِ َ ِ ي ْ ِرب و َن بِها اا (روا مسلم َ َ ُْ َ
Artinya: “Dua kelompok dari penghuni neraka yang merupakan umatku, belum saya lihat keduanya. Wanita-wanita yang berbusana 109
Ibid., h. 260-261.... juga dikemukakan dalam karyanya Tafsir al-Mishbah volume 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 534
76
(tetapi) telanjang serta brelenggak-lenggok dan melenggaklenggokkan (orang lain), di atas kepala mereka (sessuatu) seperti punuk-punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak juga menghirup aromanya. Dan (yang kedua adalah) lelaki-lelaki yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi. Dengannya mereka menyiksa hamba-hamba Allah.” (HR. Muslim melalui Abî Hurairah). 4) Jangan memakai pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki
)أب هريرة
ِ الرجل ي ْل س لِ سةَ اْلمرأَةِ واْلمرأَةَ َ ْل الر ُج ِل (روا التاكم َّ َسة َ ْس ل ُ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ َ ُ َّ لَ َ َ اا
Artinya: “Allah mengutuk lelaki yang memakai pakaian perempuan dan mengutuk perempuan yang memakai pakaian lelaki.” (HR. AlHâkim melalui Abî Hurairah).110 „Illat hukum dari pendapat beliau yakni menurut beliau Alquran tidak menyebutkan batas-batas aurat secara jelas. Alquran hanya memerintahkan mengulurkan jilbab ke dada mereka, tanpa menyebutkan dari mana sampai mana batas aurat perempuan. Beliau mengatakan jilbab adalah budaya Arab. Secara garis besar, pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Alquran tidak menyebut batas aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama.
110
Ibid., h. 250-256
77
Demikianlah pendapat yang dipegang oleh M. Quraish Shihab hingga sekarang. Hal ini terbukti dari tidak adanya revisi dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Mishbah, meskipun sudah banyak masukan dan bantahan terhadap pendapat tersebut.
B. ANALISIS 1. Pendapat Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab Tentang Batasan Aurat Perempuan Mengangkat masalah batasan aurat perempuan ini tentu melahirkan ikhtilaf (perbedaan pendapat) antara Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab. Keduanya berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Penelitian yang dilakukan lebih menitik beratkan pada perbedaan pendapat dalam menentukan batas aurat perempuan. Dalam analisis ini dikemukakan beberapa hal yang menjadi penelitian, seperti perbedaan pendapat serta „illat hukum pendapat dari keduanya. Sebagaimana telah diketahui pada pembahasan sebelumnya bahwa secara umum Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab mempunyai pendapat yang berbeda mengenai hal ini. Dalam bukunya Halal dan Haram dalam Islam Yusuf Qaradhawi mengatakan bahwa aurat perempuan ialah seluruh badannya, kecuali muka dan telapak tangannya. Aurat perempuan dalam hubungannya dengan dua belas orang yaitu suami, ayah, mertua, anak laki-lakinya, anaknya suami, saudara
78
laki-laki, keponakan, sesama perempuan, hamba sahaya, keponakan dari saudara perempuan, bujang (orang yang tidak bersyahwat), dan anak kecil yang belum mengerti tentang aurat, yang disebut dalam surat An-Nûr itu terbatas pada perhiasan (zînah) yang tidak tersembunyi, yaitu telinga, leher, rambut, tangan dan betis. Menampakkan anggota badan itu kepada dua belas orang tersebut diperkenankan oleh Islam. Selain itu, misalnya punggung, kemaluan dan paha tidak boleh diperlihatkan kepada perempuan atau laki-laki, kecuali terhadap suami.111 Pemahaman terhadap ayat ini lebih mendekati pada kebenaran pendapat sementara ulama yang mengatakan bahwa aurat perempuan dalam hubungannya dengan mahram hanyalah antara pusar dan lutut. Bahkan, apa yang dimaksud oleh ayat tersebut yang kiranya lebih mendekati pada pendapat sebagian ulama, adalah bahwa aurat perempuan terhadap mahramnya ialah anggota badan yang tidak tampak ketika melayani, sedangkan apa yang biasa tampak ketika bekerja di rumah, mahram-mahram itu boleh melihatnya. Dalam surat An-Nûr ayat 31 “Dan janganlah orang-orang perempuan menampakkan perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak”, yang dimaksud dengan perhiasan perempuan ialah apa saja yang dipakai berhias dan untuk mempercantik tubuh, baik berbentuk ciptaan asli seperti wajah, rambut dan potongan tubuh, maupun buatan seperti pakaian, perhiasan dan tata rias.
111
M. Yusuf Qaradhawi, op. cit., h. 215-217
79
Inilah yang menjadi dasar dari pendapat beliau mengenai masalah batasan aurat perempuan. Adapun M. Quraish Shihab, beliau mengatakan bahwa Alquran tidak ada menyebutkan batasan-batasan aurat, jika ada tentu ulama tidak akan berbeda pendapat dalam memaknai surat An-Nûr ayat 31 tersebut. Ayat Alquran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi, sedangkan hadis-hadis yang merupakan rujukan para ulama dan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, tidak meyakinkan pihak lain, karena dinilai lemah bagi kelompok yang menolaknya atau diberi interpretasi yang berbeda. Perbedaan pendapat ulama dimasa lampau tentang batas-batas yang ditoleransi untuk terlihat dari wanita membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang nilai keshahihan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan batas-batas aurat aurat wanita dan ini sekaligus menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat ẓanniy yakni dugaan. Seandainya ada hukum yang pasti yang bersumber dari Alquran atau sunnah Rasul, tentu mereka tidak akan berbeda dan juga tidak menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas dan sempitnya batas-batas itu. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah Maret 1988 beliau mengatakan “Tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup menurut hukum Islam, dan menyerahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi, dan kebutuhan.
80
2. „Illat Hukum Dari Persamaan dan Perbedaan Pendapat Antara Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab Tentang Batasan Aurat Perempuan „Illat hukum persamaan antara pendapat Yusuf Qaradhawi dan M. Quraish Shihab ialah bentuk kehati-hatian, keduanya juga mengatakan bahwa menutup aurat itu merupakan kewajiban, hanya saja yang berbeda adalah dalam hal membatasi menutup aurat itu sendiri. Yusuf Qaradhawi mengatakan apabila dirasa memperlihatkan anggota tubuh yang tidak wajib ditutupi seperti muka dan kedua telapak tangan dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah, maka ada baiknya ditutup, hal ini dalam rangka bentuk kehati-hatian. Adapun M. Quraish Shihab mengatakan hampir sama yakni jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka ada baiknya menutup bagian-bagian yang rentan dengan syahwat laki-laki. Hal ini juga dalam rangka bentuk kehati-hatian. Sebagaimana beliau sebutkan sebelumnya mengenai ketentuan-ketentuan dalam berpakaian. Namun yang berbeda dari „illat keduanya yakni Yusuf Qaradhawi berdasarkan nash Alquran, hadis dan ijtihad para ulama, beliau mengatakan dengan adanya ketentuan yang telah ditetapkan Alquran yakni (“hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, supaya mereka mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”), karena dianggap sebagai perempuan yang lebih terhormat. Sedangkan M. Quraish Shihab berdasarkan pemikiran beliau dalam memahami surat An-Nûr ayat 31, mengatakan tidak ada batasan mengenai masalah aurat. Ayat tersebut hanya memerintahkan mengulurkan jilbab ke dada mereka, tanpa menyebutkan dari mana sampai
81
mana batas-batas aurat perempuan tersebut. Menurut beliau batasan ini merupakan masalah khilafiyah, jika Alquran menyebutkan tentang masalah batasan ini, maka ulama tidak akan berbeda pendapat dalam menentukan hukumnya. Jilbab hanya bersifat anjuran yang lebih kepada budaya bukan kewajiban. Namun, meskipun beliau mengatakan demikian, beliau tetap menetapkan ketentuan-ketentuan yang telah dipaparkan sebelumnya yang harus dipatuhi oleh perempuan dalam hal menutup aurat ini. Berangkat dari perbedaan pendapat dari keduanya tersebut penulis menilai sebaiknya disimak kembali ketentuan-ketentuan pendapat mereka, bagi Yusuf Qaradhawi batas aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan dua telapak tangannya, sebagai dasar beliau mengacu pada surat An-Nûr ayat 31,
.... “....dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka itu menutupkan kain kudungnya ke dadanya”.
112
Perhiasan yang dimaksud ialah yang dipakai untuk
mempercantik tubuh, baik berbentuk ciptaan asli seperti wajah, rambut dan potongan tubuh, maupun buatan seperti pakaian, perhiasan, dan tata rias. Kemudian yang dimaksud biasa nampak yakni wajah dan dua telapak tangan serta perhiasan yang biasa tampak dengan tidak ada maksud kesombongan dan berlebih-lebihan seperti celak dan cincin. Pengertian khumur (kerudung) adalah 112
Departemen Agama RI., loc., cit.,
82
semua alat yang dapat dipakai untuk menutup kepala, sedang apa yang disebut juyub kata jama‟ (bentuk plural) dari kata jaibun adalah belahan dada yang terbuka, tidak tertutup oleh pakaian baju. Setiap perempuan muslimah harus menutup kepalanya dengan kerudung dan menutup belahan dadanya itu dengan apa pun yang memungkinkan, termasuk juga lehernya, sehingga sedikitpun tempat-tempat yang membawa fitnah ini tidak terbuka yang memungkinkan dilihat oleh orang-orang yang usil. Kemudian Alquran surat Al-Ahzab ayat 59,
.... “....supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu”113 ayat ini memberi penjelasan bahwa „illat diperintahkannya menutup aurat agar perempuan mukminah itu tidak diganggu oleh orang-orang fasik dan tidak menjadi perhatian orang-orang yang suka iseng. Sedangkan M. Quraish Shihab berpendapat bahwa wanita yang menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, telah menjalankan bunyi teks ayat An-Nûr tersebut bahkan mungkin berlebih. Namun beliau mengatakan tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau menampakkan setengah tangannya, bahwa secara pasti mereka melanggar petunjuk agama. Dalam hal ini memang jelas bahwa beliau tidak mewajibkan jilbab, namun yang jadi masalah bagi peneliti adalah beliau tidak menyebutkan batasan aurat tersebut. Beliau hanya menyebutkan 113
Departemen Agama RI., op., cit., h. 678
83
ketentuan-ketentuan dalam berpakaian tanpa menyebutkan batas-batas yang harus ditutupi oleh perempuan. Namun di sini, penulis mengambil garis tengahnya bahwa beliau memang tidak mewajibkan berjilbab, namun menurut penulis maksud beliau adalah berpakaian dengan pakaian yang sopan, tertutup, tidak ketat, tidak transparan, dan tidak menyerupai laki-laki, meskipun tidak menggunakan jilbab adalah benar. Dan yang perlu digaris bawahi adalah menutup bagian dada, karena hal itu sangat dipertegas beliau dalam surat An-Nûr ayat 31 seperti yang tertera di atas “Hendaknya mereka itu menutupkan kerudungnya sampai ke dadanya”, itu berarti menurut beliau jika seorang perempuan telah sempurna menutup bagian dadanya meskipun tidak menggunakan jilbab itu sudah cukup. Tidak sepatutnya jika seorang perempuan yang tidak menggunakan jilbab dikatakan telah melanggar aturan agama. Selama ia berpakaian dengan ketentuan yang telah disebutkan beliau tersebut, maka sah-sah saja. Karena masalah jilbab merupakan anjuran bukan keharusan, dan masalah kesadaran hati dan keikhlasan bukan karena paksaan dari siapa pun. Kurang lebih demikian yang dimaksud beliau menurut penulis. Jadi menurut penulis, meskipun telah terjadi kontradiksi pendapat berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, penulis menarik kesimpulannya bahwa pendapat Yusuf Qaradhawilah yang dapat dipakai sebagai acuan hukum untuk seorang perempuan dalam hal menutup auratnya. Sedangkan pendapat Quraish
84
Shihab menurut penulis terlalu terbuka dalam hal masalah aurat ini, dan pengkhawatiran jauh lebih besar karena terlihatnya rambut, leher, dan telinga akan membuat para lelaki lebih leluasa memandang bagian-bagian tersebut, yang pada akhirnya akan menimbulkan syahwat. Berbeda dengan Quraish Shihab, pendapat Yusuf Qaradhawi lebih menunjukkan kehati-hatian yang disertakan dalil Alquran surah An-Nûr ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59, yang berdasarkan juga pada hadis serta pendapat ulamaulama terdahulu yang mengatakan batasan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali kedua telapak tangannya. Hal ini jauh lebih aman bagi perempuan, karena laki-laki yang memandangnya tentu akan merasa segan untuk mengganggu. Ia juga dipandang lebih sopan dan terhormat sehingga para laki-laki yang ingin berbuat usil sedikit banyaknya tentu akan mengurungkan niatnya tersebut.
85
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Dari uraian penelitian yang penulis lakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1. Menurut Yusuf Qaradhawi aurat adalah semua bagian tubuh seseorang yang sudah baligh yang apabila dibuka atau diperlihatkan itu haram hukumnya. Batasannya ialah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangannya. „Illat hukum pendapat beliau berdasarkan nash surat Al-Ahzab ayat 59 (“yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”). Perintah itu memberikan „illat supaya mereka lebih mudah dikenal dan orang-orang fasik enggan mengganggunya serta dipandang lebih terhormat, sehingga perempuan mukminah lebih aman dalam aktivitasnya. 2. Menurut M. Quraish Shihab bagian-bagian badan yang tidak boleh terlihat, dinamakan aurat. Mengenai batasan aurat perempuan beliau mengatakan Alquran tidak menentukan secara jelas dan rinci batas-batas aurat. „Illat hukum berdasarkan pemikiran beliau dalam memahami surat An-Nûr ayat 31, mengatakan tidak ada batasan mengenai masalah aurat. Menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah, ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan Alquran tidak menyebut batas aurat. Perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama. Beliau mengatakan “Tidak
86
menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup menurut hukum Islam, dan menyerahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi, dan kebutuhan. B. Saran 1. Masalah hijab, sejatinya terkait erat dengan pilar-pilar Islam tentang masyarakat. Jika aturan jilbab ini difungsikan dalam sistem perundangan masyarakat Islam secara sempurna, kemudian di amati pengaruhnya masyarakat secara objektif, maka hijablah satu-satunya solusi yang paling kapabel dan menjamin stabilitas kehidupan masyarakat. 2. Jika ideal moral yang terkandung dalam hijab ini ditawarkan kepada dunia, dan mereka kita mau merealisasikannya dalam kehidupan nyata secara murni dan konsekuen, niscaya mereka akan segera meraih keselamatan. 3. Kaum perempuan hendaknya tetap istiqomah dalam menjalankan kewajiban tersebut. Karena selain terhindar dari dosa, juga membuat ia lebih terhormat, terjaga, dan terpelihara dari gangguan orang-orang yang berniat tidak baik. 4. Penulis mengharapkan ada yang mau melanjutkan penelitian terhadap hal-hal yang tidak jarang menimbulkan kontroversi tidak berujung di masyarakat. Penelitian yang dimaksud tentunya bukan bertujuan untuk melemahkan atau mempertentangkan dua pendapat tersebut, melainkan untuk mengetahui pandangan mana yang lebih relevan dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak masalah yang dianggap ringan lainnya yang perlu dianalisis lebih dalam. Dengan demikian diharapkan akan melahirkan buah pemikiran yang lebih mencerahkan dan bijak dalam menghadapi setiap perbedaan pendapat.
87