BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Periklanan adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi
suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.1 Informasi tidak jarang digunakan oleh masyarakat tertentu atau negara tertentu untuk membuat opini publik. Opini yang dibangun dapat berupa opini yang menjurus kepada hal-hal yang positif dan ada pula yang menjurus pada hal-hal yang negatif. Etika periklanan, di Indonesia diistilahkan dengan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI).2 Secara umum Tata Krama dimaksudkan untuk menjaga citra bisnis periklanan di mata masyarakat, sedangkan Tata Cara bertujuan untuk menjaga persaingan antar pengusaha periklanan agar berjalan dengan wajar dan mencegah terjadinya persaingan curang dalam penyelenggaraan bisnis periklanan. Jadi titik beratnya adalah agar terdapat praktek usaha periklanan yang wajar dan sehat. Meskipun Tata Krama dan Tata Cara Peiklanan Indonesia tidak merupakan produk undang-undang yang mengikat secara luas, tetapi sebagai self regulation bagi para anggotanya, kode etik ini memiliki arti penting dalam rangka memberikan kejelasan aturan main. Sekaligus untuk menjaga tindakan dan perilaku anggotanya agar tetap menjujung etika dalam berusaha. Sehingga persaingan bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya melalui periklanan tidak menimbulkan penyesatan informasi, yang pada akhirnya sangat
1 2
Tams Djayakusumah, 1982, Periklanan, Amico, Bandung. h. 15. Ikrar Musyawarah Periklanan Indonesia, 1998.
1
merugikan konsumen.3 Etika iklan merupakan landasan sejauh mana kita dapat merancang suatu karya iklan layak atau tidak untuk dipublikasikan. Etika iklan tidak mengikat tetapi membatasi atara suatu budaya dinegara tertentu dengan keabsahan iklan itu sendiri. Di Indonesia pelanggaran etika iklan kerap terjadi, terutama iklan rokok. Disini peran etika sepenuhnya dibutuhkan sebagai landasan untuk melindungi hak konsumen terhadap pelanggaran etika yang sebnarnya tidak perlu terjadi. Dewasa ini banyak terdapat iklan yang melakukan pelanggaran terhadap etika periklanan. Rambu-rambu periklanan tidak mampu lagi mengikat para seniman dalam menghasilkan sebuah karya dengan alasan seni mereka bebas menerobos batasan norma sosial sehingga iklan di televisi sekarang penuh dengan pelanggaran-pelanggaran etika periklanan. Etika merupakan suatu kehendak yang sistematik melalui alasan untuk mempelajari bentuk-bentuk moral dan pilihanpilihan moral yang dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan hubungan dengan orang lain. Dalam iklan, etika merupakan sebuah landasan untuk membatasi sampai dimana sebuah iklan boleh mencapai batas. Iklan merupakan media utama dalam menyampaikan informasi tentang produk yang dapat mempengaruhi emosi dan perasaan calon konsumen. Sedangkan televisi merupakan media yang paling efektif untuk mendemonstrasikan sebuah produk. Lewat televisi, produk akan cepat diterima oleh masyarakat. Mengingat dampak iklan di televisi dalam beberapa hal cukup berbahaya, maka dibentuklan undangundang yang memberikan batasan bagi hal tersebut. Salah satu iklan yang dianggap berbahaya dan sering melanggar etika periklanan adalah iklan rokok. 3
Taufik H Simatupang, 2004, Aspek Hukum Periklanan Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung h. 36.
2
Berdasarkan PP No. 19 tahun 2003 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan. Peraturan ini mengatur bahwa iklan rokok di televisi dapat ditayangkan pukul 21.30 - 05.00 waktu setempat. Penayangan iklan rokok di malam hari ini bertujan agar tidak ditonton oleh anak-anak. Namun kenyataannya, iklan rokok banyak diputar pada jam tayang utama (prime time) antara pukul 19.00- 21.00 waktu setempat. Bahkan, pertandingan tinju yang ditayangkan pada pagi hari disalah satu stasiun televisi swasta pada pagi hari (09.00-12.00 waktu setempat) disponsori oleh perusahaan rokok. Dalam hal ini perlu dibedakan definisi antara iklan dengan sponsor. Iklan merupakan media untuk menyampaikan penawaran suatu barang/jasa melalui televisi sedangkan sponsor yaitu pihak yg mendanai suatu kegiatan dengan keuntungan dapat mempromosikan barang yg ditawarkan. Iklan punya peran penting dalam menentukan dan mendorong kebiasaan merokok pada masyarakat. Pihak pertelevisian di Indonesia tidak dapat menolak iklan rokok karena belanja iklan rokok di televisi tergolong besar. Produk rokok tergolong produk yang paling sering beriklan di televisi. Di sisi lain, produsen rokok tentu tidak mau bila iklannya ditayangkan pada waktu malam hari, karena jelas pemirsanya sedikit. Hal ini sering menimbulkan kontroversi antara kalangan pihak pertelevisian, produsen rokok, dan Undang-undang yang mengatur tentang iklan rokok di televisi. Aturan tentang iklan rokok di Indonesia masih tertinggal jauh dari negara lain. Media, khususnya televisi, memiliki pengaruh yang kuat dalam mengubah persepsi individu tentang realita. Televisi sangat bertanggung jawab dalam hal perkembangan persepsi tentang norma dan realitas dari televisi telah menjadi media dimana banyak orang mengembangkan peran dan perilaku yang
3
terstandarisasi. Dunia simbolis yang ditampilkan media, terutama media televisi, akan membentuk dan memelihara konsepsi audience mengenai dunia nyata. Atau dengan kata lain membentuk dan mempertankan konstruksi audience mengenai realitas. Dalam iklan rokok, penggambaran tokoh serta adegan-adegan yang menantang membuat para masyarakat khususnya remaja dan anak-anak menjadi tertarik. Iklan yang ada menarik dan mempengaruhi mereka untuk merokok dengan bujukan yang berbeda walau dalam iklan rokok tidak digambarkan orang merokok akan tetapi adegan-adegan yang identik dengan keperkasaan atau kebebasan mempengaruhi mereka untuk mengkonsumsi rokok. Citra itulah yang membangun persepsi bahwa merokok bukan hal yang negatif. Efek ini memberikan kesan bahwa televisi mempunyai dampak yang sangat kuat pada diri individu. Bahkan mereka yang terkena efek ini menggangap bahwa lingkungan disekitar sama seperti yang tergambar dalam media televisi. Karena sesungguhnya perlindungan konsumen adalah bagian dari perlindungan hak asasi manusia (HAM).4 Bahwa ruang lingkup konsep HAM tidak hanya dalam konteks hubungan antara rakyat dan negara, namun lebih luas lagi HAM perspektif hubungan antar masyarakat, yakni hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Dalam hal ini, pelaku usaha melalui media penyiar iklan mengakui eksistensi konsumen sebagai manusia dan makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki hak-hak universal dan patut memperoleh apresiasi secara positif.5
4
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 5
Majda El Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta, h. 6.
4
Media penyiar iklan sebagai pihak yang menayangkan iklan di luar ketentuan Pasal 16 ayat (3) PP No. 19 tahun 2003 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan bertanggung jawab terhadap hal itu sebagaimana ketentuan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dalam Pasal 46 angka (5) yang menjelaskan bahwa, siaran iklan niaga yang disiarkan menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran. Terdapat kekaburan norma perihal tanggung jawab bagi lembaga penyiaran tersebut perihal mekanisme dan pengenaan sanksinya. Dengan adanya latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka skripsi ini akan diberi judul “Tanggung jawab media penyiar iklan atas pelanggaran jam penayangan iklan rokok terhadap kerugian konsumen”
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut : 1.2.1 Bagaimanakah
tanggung jawab
media penyiar
iklan
atas
pelanggaran jam penayangan iklan rokok terhadap kerugian konsumen? 1.2.2 Bagaimanakah
penyelesaian
sengketa
konsumen
terhadap
pelanggaran penayangan iklan rokok?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari
permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :
5
1.3.1 Bagian pertama membahas tanggung jawab media penyiar iklan atas pelanggaran jam penayangan iklan rokok terhadap kerugian konsumen. 1.3.2 Sedangkan bagian kedua membahas tentang penyelesaian sengketa konsumen terhadap pelanggaran penayangan iklan rokok.
1.4
Orisinalitas Penelitian Bahwa memang benar skipsi ini merupakan karya tulis asli sehingga dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Penelitian ini dibuat berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di universitas udayana, melalui buku, peraturan perundang-undangan dan internet. Sebelumnya telah dilakukan riset apakah ada penelitian dengan judul dan rumusan masalah yang sama atau tidak. Hasilnya peneliti menemukan beberapa penelitian yang serupa namun memiliki judul dan rumusan masalah yang berbeda. Berikut peneliti rangkum beberapa judul penelitian dan rumusan masalah yang serupa dalam bentuk tabel sebagai berikut : Judul Nomor
Penulis
Permasalahan
Penelitian Perlindungan hukum 1.
Rido
Ramadhan, 1. Bagaimanakah pengaturan
bagi Fakultas
Hukum
konsumen atas Universitas peredaran iklan Airlangga, rokok.
2009.
iklan rokok di Indonesia sebagai
Tahun
bentuk
pelindungan hukum bagi konsumen?
6
2. Bagaimanakah
upaya
hukum dalam pelanggaran iklan rokok di Indonesia? Perlindungan
Novia
hukum
Fakultas Hukum
terhadap
pada filter rokok?
Hasanuddin
Rokok
filter
yang
tidak
konsumen terhadap tidak adanya pengujian
Universitas
konsumen
2.
Musdalifah, 1. Bagaimana perlindungan
2. Bagaimana perlindungan Makassar, 2010.
tercantum
Tahun
konsumen terhadap tidak adanya
pencantuman
nomor registrasi BPOM
nomor
pada kemasan rokok? Registrasi bpom
pada
kemasannya
1.5
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain : 1.5.1 Tujuan umum a.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggung
jawab media penyiar iklan atas pelanggaran jam penayangan iklan rokok terhadap kerugian konsumen. 7
b.
Serta yang kedua untuk mengetahui penyelesaian sengketa
konsumen terhadap pelanggaran penayangan iklan rokok. 1.5.2 Tujuan khusus a.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memahami dan
mendalami tanggung jawab media penyiar iklan atas pelanggaran jam penayangan iklan rokok terhadap kerugian konsumen. b.
Serta yang kedua untuk memahami penyelesaian sengketa
konsumen terhadap pelanggaran penayangan iklan rokok.
1.6
Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum
perdata, khususnya pemahaman teoritis mengenai tanggung jawab media penyiar iklan di Indonesia dalam rangka perlindungan hukum terhadap konsumen yang di rugikan, termasuk di dalamnya pengkajian terhadap tanggung jawab media penyiar iklan atas pelanggaran jam penayangan iklan rokok terhadap kerugian konsumen. 1.6.2
Manfaat praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran, serta dapat memberikan kontribusi bagi pelaku usaha atau pelaku bisnis untuk lebih teliti dalam hal
8
pemasaran atau penjualan produk atau makanan bagi konsumen. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumbangsih bagi media penyiar iklan untuk lebih memperhatikan dampak buruk bagi konsumen, serta dapat dijadikan pedoman baik itu untuk penulis, pelaku usaha untuk permasalahan yang sejenis.
1.7
Landasan Teoritis Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran
teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisis, serta konstruksi data, untuk memberikan argumentasi yang meyakinkan bahwa kajian yang dilakukan itu ilmiah atau paling tidak memberikan gambaran bahwa kajian tersebut memenuhi kajian teoritis sesuai dengan bidang ilmu yang menjadi obyek kajian. Sebelum mengemukakan
asumsi
terhadap
permasalahan,
maka
terlebih
dahulu
dikemukakan pendapat para ahli yang relevan dengan permasalahan yang di teliti. Ibnu Kholdun berpendapat bahwa selalu ada hubungan timbal balik antara hak dan tanggung jawab. Pandangan yang disebut dengan teori korelasi itu terutama dianut oleh pengikut utilitarisme. Menurut mereka, setiap hak dan kewajiban seseorang berkaitan dengan tanggung jawab orang lain. Setiap hak dan kewajiban orang lain berkaitan dengan tanggung jawab seseorang untuk mematuhinya. Manusia baru dapat berbicara tentang hak dalam arti sesungguhnya jika ada korelasinya. Hak yang tidak ada kwajiban tidak perlu ada tanggung jawab
9
dan tidak pantas disebut hak. Sebaliknya tidak adanya kewajiban pada seseorang tidak perlu ada tanggung jawab.6 1.7.1 Prinsip Tanggung Jawab Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Prinsip tanggung jawab yang dapat diterapkan adalah:7 1.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan
pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) ini prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum, tidak hanya bertentangan dengan Undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. "Kesalahan" dipakai untuk menyatakan, bahwa seseorang dinyatakan bertanggung jawab untuk akibat yang merugikan yang terjadi oleh perbuatannya yang salah. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti keinginan bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang 6 7
M. Yatimin Abdullah, 2006, Pengantar Studi Etika, PT. Raja Grafindo, Jakarta, h. 297-298. Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, h. 59-65.
10
tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain unsur kesalahan dari pihak tergugat. 2.
Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung
jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada si tergugat. Dasar pemikiran Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. tergugatlah yang harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Terkait dengan kerugian konsumen akibat iklan, maka dipandang tepat untuk menerapkan prinsip tanggung jawab praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption liability) dengan pertimbangan karena prinsip ini menganut sistem pembuktian terbalik, dimana pihak konsumen yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi tanpa harus dibebani untuk membuktikan adanya unsur kesalahan dari pihak tergugat. Adanya sistem pembuktian terbalik ini, maka kepentingan konsumen akan terlindungi. 3.
Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga
untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption non liability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
11
4.
Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan
dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolut liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Menurut R.C. Hoeber, biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena (1) konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks; (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya; (3) asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal: - melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yan tertera dalam kemasan produk; - ada unsur kelalaian (neglience), yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik; - menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability).
12
Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan resiko adanya beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbjuatan pelaku usaha (produsen) dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict liability. 5.
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability
principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. Terkait permasalahan mengenai pelanggaran jam tayang iklan, pertanggung jawaban media penyiar Iklan dapat dihubungkan dengan prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan dan prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab. Dipandang tepat untuk menerapakan kedua prinsip tersebut terlebih prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab dengan pertimbangan karena prinsip ini menganut sistem pembuktian terbalik, dimana pihak konsumen yang dirugikan dapat
13
menuntut ganti rugi tanpa harus dibebani untuk membuktikan adanya unsur kesalahan dari pihak tergugat. Adanya sistem pebuktian terbalik ini, maka kepentingan konsumen akan terlindungi. 1.7.2 Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen Suatu sengketa konsumen berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dapat diselesaikan melalui 2 cara: 1.
Pengadilan Setiap konsumen yang dirugikan atau terlibat suatu sengketa dapat
menyelesaikan
sengketanya
melalui
lembaga
peradilan
umum.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan ini mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 UUPK. 2.
Diluar Pengadilan Suatu sengketa konsumen disamping dapat diselesaikan melalui
pengadilan, dapat juga diselesaian di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat dilakukan atau ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui BPSK ini tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur Undangundang Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4) UUPK.
14
1.8
Metode Penelitian 1.8.1 Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.8 Penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini beranjak dari adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma yang kabur atau tidak jelas (vague van normen), norma yang konflik (geschijld van normen), maupun norma yang kosong (leemten van normen) yang ada dalam peraturan perundang-undangan terkait permasalahan yang hendak diteliti. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait. 1.8.2 Jenis pendekatan Dalam penelitian ini digunakan jenis pendekatan perundangundangan (the statue approach), pendekatan fakta (the fact approach), dan pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conseptual approach).
8
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta, h.13.
15
Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini. Pendekatan perundang-undangan digunakan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum yang berhubungan dengan perlindungan konsumen. Pendekatan fakta digunakan berdasarkan pada fakta atau kenyataan aktual yang terjadi dalam masyarakat terkait pengaruh perlindungan konsumen di Indonesia. Pendekatan analisis konsep hukum digunakan untuk memahami konsep-konsep aturan tentang perlindungan konsumen di Indonesia. 1.8.3 Bahan hukum/ data a.
Sumber bahan hukum primer Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang
bersifat mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan. Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah :
Undang-Undang Dasar NRI 1945,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,
PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
16
PP No. 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
b.
Sumber bahan hukum sekunder Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur-literatur hukum buku-buku hukum (textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de hersender leer), pendapat para sarjana, maupun literatur non hukum dan artikel atau berita yang diperoleh via internet. c.
Sumber bahan hukum tersier Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadan bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum. 1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum/ data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan
bahan
hukum
tersier
yang
relevan,
kemudian
17
dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian skripsi ini. 1.8.5 Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran teleologis, penafsiran historis, dan lain sebagainya. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permsalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum. Teknik
18
sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.
19