JOGJABANGKITNEWS
Pendidikan untuk SEMUA edisi 3/Juli/2007
YogyaBangkitNews
Redaksi
Mempercepat Pemulihan dengan Sumberdaya Lokal
Tajuk Rencana
Pendidikan untuk semua SEMUA orang sependapat jika pendidikan adalah sesuatu yang sangat penting. Jepang mampu bangkit dari keterpurukan di masa perang Dunia II juga karena pendidikan. Hak pendidikan juga menjadi salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang termuat dalam Konvensi HAM internasional 10 Desember 1948. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak agar dapat memajukan kesempurnaan hidup. Anak harus 'dihidupkan' agar perilakunya selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dalam perkembangannya, pendidikan di Indonesia mengalami proses komodifikasi. Ada pergeseran paradigma dari pendidikan untuk semua berubah menjadi pendidikan bagi mereka yang memiliki uang banyak saja. Perkembangan ini tentu bertentangan dengan cita-cita Ki Hajar Dewantara, sebab hanya anak dari keluarga kaya saja yang dapat mengenyam pendidikan. Konstitusi kita sudah menjamin hak pendidikan bagi semua warga Kolom FYB
negara, tanpa kecuali. Bahkan Negara mewajibkan semua warganya untuk mengikuti pendidikan dasar. Sesuai dengan UU No.20 tentang Sistem Pendidikan nasional (Sisdiknas) pasal 46 ayat 1, pembiayaan pendidikan ditanggung negara. Dalam situasi apa pun, termasuk dalam situasi bencana, negara wajib memenuhi hak pendidikan bagi warganya. UU No.20 Sisdiknas, UU N0.39/1999 tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak & Deklarasi Dakkar tahun 2000 tentang Pendidikan untuk Semua juga menjamin hal ini. Dengan demikian warga Yogyakarta yang baru saja mengalami gempa bumi juga berhak mendapatkan hak pendidikan tanpa kecuali. Sayangnya, paradigma sistem pendidikan kita sudah bergeser kepada pendidikan hanya untuk kaum 'berkantong tebal' atau dalam istilah Ketua Dewan Pendidikan Yogyakarta, Prof. Wuryadi,sistem pendidikan eksklusif mengingkari ini semua. Padahal gempa bumi menyebabkan angka kemiskinan semakin membesar. Dengan demikian, ada kemungkinan semakin banyak anak yang tidak
mampu mengakses pendidikan. Forum Yogya Bangkit melalui Komite Rekonstruksi Pendidikan (KRP) DIY, melakukan upaya pemuliahan pendidikan pasca gempa diantaranya melalui mendorong pendidikan inklusif di berbagai sekolah bagi korban gempa. Menurut Prof. Wuryadi yang terlibat dalam KRP DIY, pemerintah harus mengubah sistem pendidikannya, yaitu sistem pendidikan inklusif dimana anakanak miskin pun dapat mengakses pendidikan. “Adalah hak bagi warga negara untuk mendapatkan pendidikan,” tandas Wuryadi. Dibutuhkan kerja sama semua elemen, terutama pemerintah dalam mewujudkan komitmen pendidikan untuk semua. Maka rekonstruksi pasca gempa bumi di sektor pendidikan tidak hanya dimaknai sebagai pembangunan infrastruktur pendidikan saja tetapi yang lebih penting adalah sistemnya. Dan pasca gempa bumi dapat menjadi starting point bagus untuk menuju ke arah sana. (RDK)
Rekomendasi yang terumuskan pada pertemuan FYB 9 Juli 2007 1. Perlunya accesibility for all dalam hal layanan publik di masa pasca bencana. Sehingga hak-hak korban di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi (pertanian dan ketahanan pangan) dapat terpenuhi. 2. Adanya partisipasi masyarakat dalam setiap proses perumusan kebijakan layanan publik di masa pasca bencana yang dapat menjamin dan memenuhi hak-hak korban di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi (pertanian dan ketahanan
Juni 2007 Partnership memfasilitasi Forum Yogya Bangkit dalam menylenggarakan serangkaian workshop untuk cluster, yaitu cluster pendidikan, infrastruktur, kesehatan, ketahanan pangan, ekonomi dan pemerintahan. Dihasilkan beberapa rekomendasi untuk percepatan pemulihan pasca gempa. Selanjutnya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan menggodognya lebih lanjut sebagai bahan untuk penyempurnaan Rencana Aksi Daerah 2008. Workshop ini menghadirkan berbagai elemen seperti pemerintah, masyarakat dan aktivis NGO yang terlibat dalam upaya pemulihan pasca
pangan). 3. Adanya alokasi anggaran yang jelas untuk percepatan program pemulihan pasca bencana terutama di bidang layanan publik yang dapat menjamin dan memenuhi hak-hak-hak korban di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi serta pertanian dan ketahanan pangan. gempa. Mereka memaparkan berbagai permasalahan yang ditemui selama terlibat dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi. Harapannya, dapat ditemukan solusi-solusi yang kemudian akan diajukan sebagai bahan rekomendasi. Rekomendasi yang diajukan terbagi menjadi tiga fase yaitu untuk jangka pendek (hingga akhir 2007), jangka menengah (2008) dan jangka panjang (pasca 2008). Dalam cluster pendidikan,
Direktur Driya Manunggal, Setia Adi Purwanta mewacanakan pendidikan inklusif yang berkeadilan dan bermasyarakat untuk akselerasi Jogja belajar (jangka menengah). Sedangkan untuk jangka panjang, Ketua Dewan Pendidikan Yogyakarta mengusulkan model sistem pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, berbasis hak dan kearifan lokal. Ini merupakan bentuk pemenuhan hak-hak pendidikan bagi warga Negara. (CTR)
YogyaBangkitNews
Utama
Mempercepat Pemulihan dengan Sumberdaya Lokal
Gempa Bumi, Momentum menjadikan Pendidikan lebih Inklusif Pendidikan di Indonesia masih dirasa memprihatinkan ini dilihat dari masih tingginya jumlah penduduk Indonesia yang belum tamat Sekolah Dasar sebesar 22 % dari total jumlah penduduk (Indikator Kesejahteraan Rakyat 2005). Sedangkan kebanyakan pemimpin di Asia Tenggara menyadari … ingin meningkatkan kualitas pengajaran dan menjaga setiap anak-anak bersekolah lebih lama. Thailand telah memperluas wajib belajar dari 9 tahun menjadi 12 tahun secara gratis. Malaysia menargetkan angka partisipasi universitas mencapai 40% tahun 2010. Rencana ini …meninggalkan Indonesia jauh di belakang. (Sumber: The Economist.com.2003) Pasca gempa bumi berkekuatan 5,9 Skala Richter yang mengguncang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah 27 Mei 2006 itu ternyata menjadi 'jalan' untuk memperbaiki ribuan gedung sekolah di Yogyakarta. Setelah sempat roboh atau rusak berat, gedung-gedung sekolah itu sudah berdiri lagi. Hancurnya gedung sekolah memang menjadi salah satu persoalan penting di sektor pendidikan pasca gempa bumi. Namun berkat kepedulian pemerintah, NGO dan pihak swasta, pembangunan kembali gedung-gedung sekolah relatif berjalan cepat. Di sektor pendidikan, pemerintah Yogyakarta melalui kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi APBD 2007 mengalokasikan dana sebesar Rp 47.042.446.000. Sedangkan di APBD 2008, berdasarkan rapat Musrenbang BAPEDA DIY mengusulkan alokasi dana sekitar Rp 230.750.000.000 untuk membiayai kegiatan prioritas di sektor pendidikan. “Saat ini, pembangunan kembali gedung sekolah bukan persoalan serius,” ujar Ketua Dewan Pendidikan Propinsi DIY, Prof. Wuryadi. Hanya saja ia
“Hingga Mei 2007 lalu dari 2.375 sekolah yang rusak, sebanyak 85% atau 2018 sudah berhasil direnovasi Tahun 2008, semua sekolah selesai dibangun,” (Sri Sultan Hamengku Buwono X)
(www.pemda-diy.go.id).
Pasca Rehabilitas & Rekonstruksi infrastruktur sekolah
mengatakan pemerintah tidak mempunyai catatan bagus tentang sumbangan sektor swasta di bidang pendidikan. Namun yang lebih penting lagi, Wuryadi mengingatkan pemerintah agar memberikan perhatian tren sekolahsekolah yang masih mengutamakan peningkatan kualitas sekolah. Konsekwensinya, sekolah cenderung menerima anak-anak pandai dan datang dari golongan masyarakat berduit. Wuryadi melihat ini sebagai gejala eksklusifme yang merugikan rakyat kebanyakan. Mengikuti logika Wuryadi, penjabarannya anak-anak pandai itu dapat digunakan sebagai window showing bahwa proses pendidikan di sekolah itu berhasil. Sedangkan anak yang berasal dari masyarakat berkantong tebal mampu memberi sumbangan besar kepada sekolah sehingga dapat digunakan untuk membiayai segala kebutuhan yang dibutuhkan untuk proses belajarmengajar. Wuryadi memperingatkan jika sistem ini terus berlanjut maka semakin banyak rakyat di Indonesia akan kesulitan mengakses pendidikan sekolah. Konsekwensinya,”yang miskin akan tetap bodoh dan yang bodoh akan tetap miskin,” tandas Wuryadi. Bila jumlahnya makin membesar, kelompok ini berpotensi menimbulkan konflik sosial. “Mereka dengan mudah dapat dimanfaatkan orang-orang yang ingin menciptakan konflik sosial,” tambah Wuryadi. Dalam konteks Yogyakarta, sistem pendidikan eksklusif yang masih berjalan ini bepotensi makin memarginalkan anak-anak dari kalangan kaum miskin yang tampaknya jumlahnya makin membesar. Mengapa? Gempa bumi membuat masyarakat menjadi kian miskin sehingga potensi jumlah anak putus sekolah kian membesar. Apalagi sumber daya keuangan setiap keluarga lebih tersedot untuk membangun rumah yang lebih layak huni.
“Harusnya, gempa bumi ini menjadi momen menciptakan sistem pendidikan inklusif,” tandas Wuryadi. Artinya, rakyat miskin tanpa kecuali dapat masuk ke sekolah mana pun. Untuk itu, kata Wuryadi, masyarakat perlu mendorong pemerintah untuk menjalankan kebijakan pendidikan gratis. Bila Wuryadi menekankan pada aspek penerimaan muridnya, Direktur Driya Manunggal, Setia Adi Purwanta menekankan pada sistem pedidikannya. Menurut setia sistem pendidikan inklusif adalah sistem yang menyertakan semua anak secara bersama-sama dalam suatu iklim dan proses pembelajaran yang layak dan sesuai kebutuhan individu siswa tanpa. membedakan latar belakang kondisi sosial, ekonomi, politik, suku, bahasa, jenis kelamin, agama/kepercayaan, serta perbedaan kondisi fisik maupun mental. Dalam sekolah inklusif ini, intinya anak pandai, anak dengan kecerdasan dibawah rata-rata ataupun anak dengan kebutuhan khusus dapat belajar bersama dan saling membantu. Setiap anak belajar berdasarkan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi mereka masing-masing. ”Dan teknik penilaiannya berdasarkan progress individu, bukan pada norma atau patokan hasil,” ungkap Setia. Bila sistem pendidikan inklusif ini dapat berjalan, otomatis diskriminasi dalam akses pendidikan akan hilang. Rakyat miskin dapat mengeyam pendidikan yang baik. Sudah tepat jika gempa bumi di Yogyakarta digunakan sebagai momentum untuk menjalakan sistem pendidikan inklusif. Dengan sistem ini, salah satu dari delapan cita-cita Millenium Development Goals (MDG) dapat tercapai, yaitu terpenuhinya pendidikan dasar bagi semua anak. Mari, dari Yogyakarta kita semaikan pendidikan inklusif ke seluruh penjuru Indonesia! (BM)
YogyaBangkitNews
Analisa
Mempercepat Pemulihan dengan Sumberdaya Lokal
Pendidikan Dasar Harus Diprioritaskan Rehab - Rekon Pendidikan 2007 2% 4%
4%
2%
0% 7%
13%
17%
21%
5%
9%
16%
Sumber: Pertemuan FYB 10 Juli 2007
Perjuanganan melawan lupa adalah sebuah perjuangan yang tidak mudah. Bangsa Indonesia mungkin tahu pasti soal ini. Sejarah menunjukkan perjuangan bangsa ini untuk lepas dari penjajahan dipelopori kaum terdidik. Sejarah bangsa-bangsa maju juga memberikan pelajaran penting, pendidikan adalah 'jembatan emas' menuju kemajuan peradaban. Namun hingga kini Indonesia dalam prakteknya belum menempatkan pendidikan sebagai prioritas. Pada Review Program & Kegiatan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pasca Gempa Propinsi DIY dalam Forum Yogya Bangkit (FYB) 10 Juli 2007 terpaparkan bahwa alokasi dana Rehabilitasi & Rekonstruksi pada APBD 2007 untuk sektor pendidikan dari total Rp. 47.042.446.000 Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalokasikan sebesar Rp 10.065.000.000 (21%) untuk program pendidikan menengah. Sedangkan alokasi dana program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun hanya Rp 6.261.000.000 (13%) Terlepas dari belum dipenuhinya anggaran pendidikan sebesar 20% dari total APBD, alokasi dana seperti di atas tentu tidak tepat. Lebih baik ditekankan pada mempertimbangkan program wajib belajar 9 tahun yang harus diutamakan. Upaya ini merupakan prioritas bagi kebutuhan advokasi anggaran negara terutama yang bersumber dari pusat. Pendidikan dasar adalah pondasi bagi pendidikan selanjutnya. Ibarat bangunan rumah, jika pondasinya jelek maka bangunan rumah secara keseluruhan mudah runtuh. Jika pendidikan dasarnya jelek, maka siswa akan menemui kesulitan saat melanjutkan
Pendidikan Usia Dini
Peningkatan Mutu Pendidikan & Tenaga Kerja
Wajib Belajar 9 tahun
Management Pelayanan Pendidikan
Pendidikan Menengah
Pendidikan Tinggi
Pendidikan Non Formal
Peningkatan Peran Serta Kepemudaan
Pendidikan Luar Biasa
Peningkatan Upaya Pertumbuhan Kewirausahaan
pendidikan ke jenjang berikutnya. Dalam pendidikan dasar ini pula, anak didik mendapat bekal ilmu-ilmu pengetahuan penting sebagai bekal untuk menjalani kehidupannya, diantaranya adalah membaca dan menulis. Pada UUD 1945, pasal 31 ayat 2 termuat pasal yang mewajibkan setiap warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar dan bukannya pendidikan menengah. Dengan mengalokasikan sedikit anggaran pada pendidikan dasar mengakibatkan anak masih harus membayar untuk mendapatkannya. Akibatnya pasti ada masyarakat miskin yang kemungkinan tidak dapat mengaksesnya. UUD 1945 pasal 31 ayat 2 dengan tegas mengatakan,”Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Sedangkan dalam UU No.20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, pasal 9 menyebutkan pembiayaan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat. Masyarakat di sini bukan orang tua siswa tetapi lembaga-lembaga yang mempunyai dana cukup sehingga dapat membantu pemerintah dalam membiayai pendidikan (Wuryadi, Kompas Yogya, 29 Maret 2007).
Mengapa siswa SD dan SMP masih tetap harus membayar SPP dan uang gedung? Padahal sebetulnya Propinsi DIY mampu menyelenggarakan pendidikan gratis. Menurut anggota Panitia Anggaran DPRD DIY, Noor Haris, total anggaran untuk fasilitas dan biaya operasional pendidikan DIY adalah Rp 889,3 milliar dan 20 % dari APBD DIY sebesar Rp. 856,9 milliar. Sementara saat ini DIY baru mengalokasikan sekitar 4% dari total APBD untuk sektor pendidikan (Kompas Yogya, 18 Juli 2007). Mengapa pendidikan dasar masih diabaikan? Senyatanya, DIY memiliki Gross Enrollment Ratio atau ukuran partisipasi pendidikan dan harapan masyarakat yang tinggi. Belum cukupkan pelajaran sejarah di masa lalu yang sudah menunjukkan betapa pentingnya pendidikan sebagai kunci keberhasilan suatu bangsa? Sekedar mengingatkan, melupakan sejarah bukan suatu tindakan bijak. Presiden pertama Indonesia, Soekarno pernah mengatakan,”Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” (BM)
YogyaBangkitNews Mempercepat Pemulihan dengan Sumberdaya Lokal
Terobosan Pendidikan di Bantul Bupati Bantul Idham Samawi gusar ketika melihat realitas sistem pendidikan sekolah di wilayahnya ternyata tidak memperhatikan situasi budaya masyarakat di sekitarnya. Menurut Idham mata pencaharian masyarakat Bantul terdiri dari tiga golongan besar, yaitu pertanian (40%), kerajinan (18%) dan perdagangan (14%), tetapi lucunya tidak ada sekolah yang memberikan pendidikan tentang pertanian, kerajinan & perdagangan. Menurut Prof. Wuryadi, sistem pendidikan seperti itu adalah sistem yang tidak bijaksana karena mencerabut kehidupan anak dari lingkungan budayanya. Secara tersirat, Idham khawatir para anak di Bantul tidak siap masuk ke lapangan kerja di wilayah itu karena sekolah tidak pernah mempersiapkan murid-muridnya untuk itu.Jika mereka masuk ke tiga jenis lapangan pekerjaan besar di Bantul itu, kemungkinan besar mereka menjadi pekerja yang tidak memiliki keahlian khusus. Tanpa memiliki keahlian khusus, seorang pekerja tentu akan mendapat imbalan rendah. Impilikasinya, kesejahteraan hidup mereka menjadi rendah. Artinya sistem pendidikan di Bantul tidak berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Di bidang kerajinan, indikasi ini sudah mulai muncul. Banyak perusahaan besar yang bergerak di bidang kerajinan dipegang para ekspatriat. Sementara penduduk Bantul sendiri hanya menjadi pekerja yang menyuplai barang kerajinan kepada mereka. Bukan tidak mungkin pula, ke depan tidak ada lagi generasi muda yang menekuni tiga pekerjaan besar di Bantul itu sebab sistem pendidikan di sekolah sudah mencerabut mereka dari akar budayanya. Para generasi muda
Wacana
Festival Gamelan Anak
sudah tidak mengenal bahkan terasing dari kebudayaan pertanian, kerajinan dan perdagangan tradisional. Untuk itulah maka perlu dan sudah waktunya memulai sistem pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal. Di setiap daerah, sistem pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal tentu akan memilik materi yang berbeda sebab setiap daerah mungkin saja memiliki keraifan lokal yang berbeda. Bila kearifan lokal dimaknai sebagai suatu kultur atau way of life yang positif di suatu masyarakat, maka sistem pendidikan di Bantul –
Ekstrakurikuler Marching Band SD Patalan Baru
sebagai contoh – memang harus memberikan pendidikan tentang apa itu pertanian, kerajinan dan perdagangan. Sebab tiga hal ini menjadi kultur masyarakat yang dominan di Bantul. Sedangkan di wilayah lainnya, seperti wilayah pesisir, pendidikannya tentu harus mengacu pada nilai-nilai kehidupan yang mengenalkan pada dunia kelautan. Masing-masing wilayah akan mempunyai karakteristik pendidikan berbasis kearifan lokal yang berbeda-beda. Sistem pendidikan seperti ini bisa diterapkan dengan model system pendidikan inklusif yang digagas Direktur Dria Manunggal, Setia Adi Purwanta, Setia mengatakan dalam kurikulum sistem pendidikan inklusif, salah satu
‘persyaratannya' adalah memperhatikan potensi dan kondisi lingkungan alam dan masyarakat sekitar untuk dapat digunakan sebagai tempat, materi/sumber, dan media/alat pembelajaran. Setelah sistem ini diterapkan pada 18 Sekolah Dasar dinyatakan membawa pengaruh cukup bermakna bagi keaktifan siswa, diantaranya SD Sedayu, SD 1 Kretek, SD Manukan, SD Ndaleman dan SD Krapryak Pundong. Dengan berbasis kearifan lokal, saat menjalani proses belajar, anak akan berinteraksi dengan lingkungan alam dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Dari sanalah mereka akan belajar tentang kehidupan budaya masyarakatnya sendiri sehingga anak tidak akan teralinasi dari masyarakatnya sendiri. Meraka pun siap untuk meneruskan budaya masyarakatnya. Menghadirkan sistem pendidikan berbasis kearifan lokal ini sebetulnya bukan suatu pilihan tetapi adalah suatu keharusan sebab UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak, sudah menggariskan hal ini. Pasal 50 mengatakan salah satu bentuk pendidikan yang dimaksud pasal 48, pendidikan harus diarahkan untuk pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri….Dengan demikian jelaslah, pendidikan berbasis kearifan lokal sebetulnya adalah hak anak. (BM)
YogyaBangkitNews Mempercepat Pemulihan dengan Sumberdaya Lokal
Pendidikan Inklusif untuk mencapai MDGs (Millenium Development Goals)
Hari pertama suasana sekolah SD Patalan Bantul
Tahun 2000, Indonesia bersama 189 negara anggota PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) lainnya menandatangani perjanjian MDGs (Millenium Development Goals yang merupakan komitmen global untuk mengurangi jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan atau yang hidup dibawah biaya $ 2 AS per hari. Dengan MDGs diharapkan penduduk miskin dunia yang jumlahnya 13 millar dapat dikurangi setengahnya pada tahun 2015. Dalam perjanjian ini disepakati delapan tujuan bersama yang harus dicapai pada 2015, yaitu:
Profil & Berita (3) Persamaan gender (4) Penurunan angka kematian anak (5) Peningkatan kesehatan ibu hamil (6) Perangi HIV/AIDS, Malaria dan penyakit menular lainnya (7) Pelestarian Lingkungan Hidup (8) Kerjasama global Dari workshop series MDGs yang diadakan oleh partnership pada bulan MeiJuni di Semarang, Bali & Kulon Progo direfleksikan oleh Multistakeholder bahwa delapan tahun waktu yang tersisa bukanlah waktu yang singkat untuk menghapus angka putus sekolah dan memenuhi hak pendidikan rakyat untuk mendapat pendidikan. Oleh karena itu dibutuhkan aksi nyata dari kewajiban Negara, daya dorong Lembaga Swadaya Masyarakat, keikutsertaan sektor swasta dan kesadaran masyarakat untuk mewujudkan ini. Paling penting dari kesemuanya itu, komitmen pemerintah untuk mewujudkan pendidikan inklusif. Tidak hanya untuk memenuhi janji kita pada dunia tapi juga untuk membangun bangsa yang salah satu pondasinya adalah pendidikan. (CTR)
(1) Penghapusan kemiskinan & kelaparan (2) Pendidikan Untuk Semua
Dria Manunggal
Seminar Leasson Learn Management Perubahan Bank Indonesia
18/07/2007 Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kawasan model pilihan bagi pembaruan tata pemerintahan yang diharapkan dapat dijadikan sebagai lessons learned bagi kawasan lain di Indonesia telah mengeluarkan beberapa konsep reformasi birokrasi sejak tahun 2003. Cakupan kegiatan reformasi tersebut meliputi restrukturisasi organisasi, reformasi pengelolaan keuangan, reformasi pengembangan SDM, reformasi kebijakan dan peraturan, dan reformasi nilai dan budaya.Dengan latar belakang ini Partnership memfasilitasi seminar Management Perubahan yang telah diterapkan Bank Indonesia. Acara yang diadakan di komplek kepatihan DIY, dihadiri oleh Sekda, BID, BAPEDA dan seluruh perwakilan Kabupaten kota DIY .
Agenda PARTNERSHIP Bulan Agustus Berdiri 14 November 1991 dengan prakarsa Setia Adi Purwanta, , Dria Manunggal muncul sebagai respon dari masih kuatnya diskriminasi yang dialami oleh para diffable (differently able people). Walaupun sudah diatur dalam UU No. 4 TAHUN 1997 tentang penyandang cacat yang menyatakan bahwa diffable memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dan perlu diupayakan peningkatan kesejahteraan bagi para diffable. Masih banyak diskriminasi yang dialami seperti kesempatan dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, penggunaan fasilitas umum, peran politik, perlindungan hukum, perolehan informasi dan lain sebagainya. Program-program yang dijalankan meliputi kegiatan Advokasi, Pendidikan & Pelatihan, Teknologi Informasi & Komunikasi,
Sudah banyak yang terbantu dengan keberadaan Dria Manunggal. Tanjung, siswa SMA kelas 2 mengatakan sangat terbantu dengan fasilitas yang disediakan seperti perpustakaan digital, pelatihan komputer, English club. Sejak bergabung tahun 2006, Tanjung sudah fasih berbahasa Inggris dan menggunakan komputer. Tanjung sangat optimis akan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi karena di tempat ini Tanjung termotivasi melihat para diffable yang dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Pendidikan inklusif tidak harus selalu di sekolah, tapi yang paling penting harus diterapkan di masyarakat, seperti yang dilakukan Dria Manunggal. Bagi yang ingin mengetahui Dria Manunggal lebih lanjut dapat berkunjung ke Jl. Wates km 2,5, Gang Lurik Kingkin No.1 RT 08, Nitipuran. Tlp. 0274389840. (CTR)
1 Agustus 2007 Workshop Pengawasan Berbasis Komunitas Pukul : 8.00 - 13.00 Tempat : Pantai Glagah, Kulon Progo
Minggu ke-2 Bulan Agustus Focus Group Discussion Rehab&Rekon pasca gempa untuk cluster Pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ketahanan pangan, Ekonomi dan pemerintahan
Minggu ke-2 Bulan Agustus Focus Group Discussion Evaluasi pelayanan public Cluster Pendidikan untuk informasi kegiatan kami selengkapnya dapat menghubungi kontak seperti yang tercantum di bawah ini.
Redaksi Pimpinan Umum: Ketua FYB, Wakil Pimpinan: Sekertaris FYB, Penanggung Jawab: Octo Lampito, Redaktur Pelaksana: Idham Ibty Wakil Redaktur Pelaksana: Sri Naida, Sekretaris Redaksi: Citra Nudiasari, Anggota: Bambang MBK, Puthut Indroyono, Photo by Anggun (Fellowship of Partnership) Alamat: Jl. Tentara Zeni Pelajar No. 1 A; Tel : +62-274-557953 ext 104, Fax : +62-274-557952, E-mail:
[email protected],id