PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS BERWAWASAN KEBANGSAAN 1 Utomo2
[email protected] ABSTRACT This study departs from the issues of the persons with disabilities that contraction in adaptive physical education who have national perspective, specially for them who are in paralympian candidate that still in school. The purpose of writing this articles are (1) Giving the new comprehension about inclusive education paradigm that brings the changes and inovation in contraction / adaptive physical education with national perspective. (2) Giving information to the teachers that’s any new consequence as the impact of reforms in the contruction of the childern with special needs adaptive physical who have nation perspective. (3) Realizing of caring teachers to give contruction adaptive for childern with special needs who have nation to be better untill the international level like Paralympic Games. The expected result from this article is the realization of caring teacher to contribute in the contruction adaptive physical childern with special needs, so childern with special needs can contribute to the development of nation perspective. Key word: Adaptive, Childern with special needs, Disabillity, Difable, Paralympian.
A. Pendahuluan Mens sana in corpore sano, adalah sebuah kalimat dalam Bahasa Latin yang artinya adalah "di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat." Maksudnya jika raga seseorang sehat, maka jiwanya atau psikisnya akan sehat juga. Slogan ini patut untuk dipegang oleh para insan yang ingin menjaga kesehatan baik kesehatan jasmani maupun rohani. Tidak ada satu manusiapun yang tidak menginginkan badan dan jiwanya sehat. Kesehatan mahal harganya. Manusia yang sehat akan menjadi modal seseorang untuk bisa produktif dan bisa menjalankan kehidupan dengan baik. Sebaliknya jika kesehatan seseorang terganggu, maka akan terhambat juga untuk bisa produktif dan kehidupannya pun akan terganggu. Itulah bukti
1
Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Kebangsaan, Universitas Lambung Mangurat Banjarmasin, 8 Oktober 2016 2 Dosen Program Studi Pendidikan Luar Biasa FKIP Universitas Lambung Mangkurat
1
bahwa kesehatan merupakan modal manusia yang tidak bisa dianggap enteng sehingga kesehatan harus selalu dijaga, diupayakan dan ditingkatkan seoptimal mungkin. Hidup sehat merupakan dambaan dan hak bagi setiap manusia, termasuk didalamnya yang menyandang kebutuhan khusus (penyandang disabilitas). Peran pendidikan tentunya berkontribusi untuk menyiapkan generasi yang sehat baik sehat jasmani maupun sehat rohani. Mereka yang termasuk anak kebutuhan khusus juga mempunyai hak untuk ikut serta dalam pendidikan dalam rangka menuju generasi yang sehat sehingga anak berkebutuhan khususpun diharapkan mampu turut serta dalam mengisi pembangunan sebagai salah satu wujud berwawasan kebangsaan. Tentu terdapat hubungan yang signifikan antara kesehatan seseorang dengan kemampuan untuk turut andil bagian dalam mengisi pembangunan. Masyarakat yang sehat akan lebih berpeluang untuk mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam mengisi pembangunan. Sebaliknya, masyarakat yang tingkat kesehatannya rendah, maka berdampak pada rendahnya kemampuan masyarakat ikut andil bagian dalam pembangunan. Bahkan bisa terjadi justru masyarakat yang tingkat kesehatannya rendah akan menambah beban bagi negara, sehingga mengurangi kemampuan negara dalam laju pembangunan. Seseorang yang berkebutuhan khusus tidak berarti “tidak sehat jasmani dan rohani”. Ketidaksehatan jasmani dan rohani tidak disebabkan oleh berkebutuhan khusus. Masyarakat awam seringkali menyamakan antara “tidak sehat jasmani dan rohani” termasuk didalamnya berkebutuhan khusus (istilah lama penyandang cacat). Tentu pendapat itu salah dan tidak beralasan. Penyandang berkebutuhan khusus dikatakan “tidak sehat jasmani dan rohani” jika kebetulan mereka sakit. Jika mereka tidak sakit, mereka tidak bisa dikatakan “tidak sehat jasmani dan rohani”. Memang tidak dipungkiri bahwa beberapa penyakit bisa mengakibatkan seseorang berkebutuhan khusus. Hal itu secara teori dikatakan hanya merupakan “PENYEBAB” bukan penyamaan arti. Pendidikan jasmani yang diperuntukkan untuk menyiapkan generasi sehat bagi mereka yang menyandang kebutuhan khusus seringkali harus mengalami penyesuaian. Dalam khasanah keilmuan bidang olahraga maupun khasanah keilmuan bidang ke-PLB-an (Pendidikan Luar Biasa), penyesuaian seluruh kegiatan/komponen pendidikan jasmani tersebut dikenal dengan “Pendidikan Jasmani Adaptif”. Pendidikan jasmani adaptif adalah pendidikan jasmani yang diadaptasikan atau disesuaikan dengan kondisi anak berkebutuhan 2
khusus. Pendidikan jasmani adaptif juga bisa bermakna pelaksanaan pendidikan bagi anakanak berkebutuhan khusus memerlukan modifikasi jika pendidikan jasmani tidak bisa dilakukan oleh anak berkebutuhan khusus. Penyesuaian/adaptasinya dilihat dari kemampuan atau ketidakmampuan anak berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan jasmani yang disebabkan anaknya mempunyai hambatan. Jika anak masih mampu untuk mengikuti program pendidikan jasmani, maka bisa jadi tidak memerlukan adaptasi. Sebailnya, jika anak tidak mampu untuk mengikuti program pendidikan jasmani yang disebabkan anak mempunyai
hambatan,
maka
saatnya
program
jasmani
tersebut
memerlukan
penyesuaian/adaptasi. Mengapa anak berkebutuhan khusus memerlukan adaptasi dalam program pendidikan jasmani? Alasannya cukup banyak. Anak berkebutuhan khusus juga mempunyai hak dan kewajiban yang setara seperti halnya anak-anak lainnya, karena secara hakekat, mereka juga makhluk Tuhan yang mempunyai kesempatan yang setara untuk hidup sehat, produktif dan berhak serta berkewajiban pula dalam mengisi pembangunan. Hak dan kewajiban yang sama dalam bidang olahraga, bukan berarti anak-anak berkebutuhan khusus harus bisa mengikuti seluruh program-program pendidikan jasmani yang biasa dilakukan anak-anak pada umumnya tanpa kecuali. Jika yang terjadi demikian, maka ketidakadilan dan diskriminasi yang terjadi. Mereka oleh Tuhan dianugerahi hambatan (berkebutuhan khusus) yang menyebabkan anak berkebutuhan khusus tidak bisa mengikuti seluruh program kegiatan yang diperuntukkan bagi anak-anak pada umumnya. Mereka memerlukan penanganan dengan menggunakan pendekatan “social models”, dimana lingkungan yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan/kondisi anak berkebutuhan khusus. Bukan anak berkebutuhan khusus yang harus selalu menyesuaikan dengan lingkungan. Jadilah lingkungan yang ramah bagi anak berkebutuhan khusus, agar mereka bisa berkembang layaknya anak-anak pada umumnya. Tanpa penyesuaian mustahil mereka bisa beraktifitas seperti yang dituntut dalam pendidikan jasmani. Solusinya anak berkebutuhan khusus memerlukan program pendidikan jasmani adaptif berwawasan kebangsaan.
B. Pergeseran Paradigmaa Pendidikan Jasmani Adaptif bagi ABK berwawasan kebangsaan
3
Secara umum, pergeseran paradigmaa dalam pendidikan jasmani adaptif bagi ABK mengikuti pergeseran paradigmaa seluruh layanan pendidikan bagi ABK. Dalam artikel ini akan dibahas juga pergeseran-pergeseran paradigmaa layanan pendidikan tersebut karena pergeseran paradigmaa pendidikan jasmani adaptif ada di dalamnya. 1. Pergeseran Istilah Ada beberapa pergeseran istilah yang dipakai dari paradigmaa lama menuju paradigmaa baru dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Sebelum tahun 1990-an beberapa istilah yang dipakai masih menggambarkan/menonjolkan keberadaan kelainan anak berkebutuhan khusus. Istilah-istilah yang dipakai pada masa paradigmaa lama misalnya untuk menyebut peserta didik yaitu dengan istilah anak cacat, anak berkelainan, anak tidak normal, anak luar biasa, penyandang cacat, dan ada juga yang menyebut penyandang anak berkelainan. Istilah-istilah tersebut saat ini (sekitar mulai tahun 1990-an) sudah tidak banyak dipakai karena beberapa istilah justru sering menimbulkan dampak negatif bagi mereka yang menyandang kebutuhan khusus. Istilahistilah yang ada mengarah kepada “labelling” ketidakmampuan anak berkebutuhan khusus. Dengan memakai istilah-stilah pada paradigmaa lama sepertinya menganggap anak-anak
berkebutuhan khusus
tidak
mempunyai
potensi,
yang
ada
hanya
kelainan/kecacatan. Padahal kenyataannya tidak demikian, anak-anak berkebutuhan khusus tetap mempunyai potensi walaupun dibeberapa sisi mempunyai hambatan. Masa kini, dunia pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus sudah mengalami pergeseran. Istilah-istilah yang dipakai untuk menyebut peserta didik/individu yang berkebutuhan khusus mengalami pergeseran dan sepertinya hanya ada tiga istilah yang sering muncul, yaitu penyandang disabilitas atau boleh hanya dengan “disabilitas”, anak berkebutuhan khusus (ABK), dan difabel. Ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda tetapi saling berhubungan. Penyandang disabilitas (diambil dari Bahasa Inggris “disability”) yang berarti orang yang mempunyai keterbatasan. Istilah ABK (terjemahan dari child with special needs) diperuntukkan untuk menyebut mereka yang penyandang disabilitas, namun masih usia sekolah. Mengapa menggunakan istilah ABK? Paradigmaa baru memaknai mereka yang berkebutuhan khusus, pelayanannya difokuskan kepada “kebutuhan” anak, bukan membesar-besarkan keterbatasannya. Keterbatasannya perlu diketahui oleh guru hanya untuk proses mengatasi keterbatasan yang ada pada diri anak. 4
Selain itu guru juga harus bisa mendetaksi potensi pada diri individu untuk dikembangkan secara optimal. Istilah difabel (diffable) sebenarnya berupa singkatan dari different able. Difabel adalah orang disabilitas yang dapat melakukan aktifitas tertentu, namun dilakukannya dengan cara yang berbeda. Misalnya, anak yang kehilangan kedua tangannya masih dapat menulis dengan memanfaatkan jari-jari kakinya atau mulutnya. Bagi anak-anak pada umumnya aktifitas menulis, alat tulisnya dipegang oleh jari-jari tangannya, namun bagi anak yang tidak mempunyai tangan, alat tulisnya (pencil atau bolpoin) dipegang oleh jari-jari kakinya atau memakai mulut. Dampak pergeseran istilah untuk aktifitas pendidikan jasmani adaptif cukup membawa angin segar di dunia pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus. Pasalnya dari perubahan istilah tersebut ABK dimaknai sesuatu yang berbeda saja layaknya perbedaan pada setiap manusia, walaupun berbedanya dalam kategori perbedaan yang “ekstrim/mencolok”. Hal ini tidak menjadikan masalah bahwa anak-anak berkebutuhan khusus tidak dipandang dari segi keterbatasannya namun lebih banyak dipandang dari segi potensinya yang bisa dikembangkan walaupun dengan cara yang “adaptif”. Misalnya pelaksanaan dalam kegiatan olahraga, masih banyak olahraga yang bisa diikuti oleh anakanak berkebutuhan khusus yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi peserta didik. Para gurupun akan bisa lebih kreatif untuk memodifikasi dan menciptakan berbagai olahraga untuk ABK agar mereka tetap bisa mengupayakan badan dan jiwanya tetap sehat, berprestasi dan tidak dipandang sebelah mata. Target yang lebih jauh, ABK masih bisa menjadi warga negara yang mampu membela bangsa Indonesia melalui aktifitas dalam bidang olahraga adaptif sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu PG (Paralympic Games).
2. Pergeseran Layanan Pendidikan ABK Dewasa ini dunia pendidikan luar biasa mendapatkan pengayaan paradigma baru dalam mendidik anak-anak berkebutuhan khusus. Pola lama, anak-anak berkebutuhan khusus dididik dengan pendekatan segregasi. Pendekatan segregasi artinya anak-anak berkebutuhan khusus dididik dengan cara dipisahkan dengan anak-anak pada umumnya. Pendekatan ini memunculkan sekolah-sekolah khusus yang berlabel Sekolah Luar Biasa (SLB). Pada tahun 1980-an ada pendekatan yang berusaha menggabung anak-anak 5
berkebutuhan khusus dengan anak-anak pada umumnya. Pendekatan tersebut dikenal dengan model integrasi/terpadu, yang maknanya anak-anak berkebutuhan khusus digabungkan pendidikannya
bersama-sama
dengan anak-anak
pada
umumnya.
Pendekatan ini masih mempersyaratkan bahwa yang boleh bergabung adalah anak-anak berkebutuhan khusus yang mampu/bisa mengikuti kurikulum/sistem di sekolah regular. Jika tidak mampu maka ABK harus bersekolah di SLB. Paradigma yang terbaru adalah munculnya paradigma pendidikan inklusif. Ada satu kesamaan dengan model integrasi yaitu ABK bergabung dengan anak-anak pada umumnya. Tetapi, sebenarnya kedua paradigma tersebut berbeda filosofinya. Filosofi paradigma pendidikan integrasi yaitu “anak diminta untuk mengikuti kurikulum/system yang ada di sekolah”, sedangkan filosofi paradigma pendidikan inklusif mengisyaratkan bahwa “kurikulum yang harus mengikuti kebutuhan anak”. Paradigma pendidikan inklusif merupakan paradigma pendidikan yang paling ramah, sehingga mewajibkan semua sekolah tidak diperkenankan melakukan penolakan terhadap siswa walaupun siswa tersebut dalam keadaan/kondisi apapun (misalnya berkebutuhan khusus). Kalaupun ada persyaratan, namun menggunakan persyaratan yang wajar (sesuai dengan kaidah keilmuan), misalnya persyaratan usia, jarak terdekat dengan rumahnya.
Semua
anak
sangat
memungkinkan
untuk
belajar
bersama
dan
mengembangkan kerjasama yang harmonis antar siswa. Paradigma pendidikan inklusif diyakini menjadi paradigma yang paling ideal untuk mengentaskan semua anak bangsa dari kebodohan, karena pendidikan inklusif mengisyaratkan bagaimana semua anak bisa terlayani pendidikan sesuai dengan kebutuhan setiap individu peserta didik tanpa harus dipisah-pisahkan dan justru semua anak akan belajar untuk saling menghargai, saling memberi dan menerima yang merupakan amanah dari pendidikan karakter (Skjorten: 2003). Pergeseran dari paradigma lama ke paradigma baru membawa implikasi pergeseran dalam layanan pendidikan jasmani adaptif bagi ABK. Paradigma lama menggambarkan anak-anak berkebutuhan khusus menjalani aktifitas pendidikan jasmani hanya bersamasama dengan teman yang sesama berkebutuhan khusus. Paradigma pendidikan inklusif memberikan peluang yang setara kepada ABK berkesempatan beraktifitas olahraga bersama-sama dengan teman-teman sebayanya yang tidak menyandang kebutuhan 6
khusus. Mereka bisa berkolaborasi, saling mengerti, saling menghargai satu sama lain sesuai dengan perbedaan masing-masing individu. Bisa jadi implementasinya untuk ABK agak berbeda dengan yang dilakukan oleh teman-teman sebayanya yang tidak berkebutuhan khusus, hal ini seyogyanya harus dibiasakan. Membiasakan hidup dalam perbedaan adalah sebuah kewajaran. Justru hal ini akan menjadikan kekayaan/inovasi/ pengembangan pelaksanaan pendidikan jasmani. Anak-anak yang tidak berkebutuhan khusus sepertinya lebih banyak dituntut untuk memahami mereka yang berkebutuhan khusus, dan bahkan dibeberapa aktifitas perlu megadakan penyesuaian, misalnya berolahraga bersama “volley duduk” dengan mereka yang mengalami kelainan kaki (amputasi/lumpuh). Betapa harmonisnya jika hal itu bisa kita lakukan dengan penuh keikhlasan dan kegembiraan. Uraian perubahan paradigma pendidikan ABK diatas sejalan dengan UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional (UU nomor 20 tahun 2003) pada penjelasan pasal 15 dinyatakan bahwa
“Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan
untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”. Peraturan di dalam penjelasan UUSPN no 20 tahun 2003 tersebut mengatur bahwa pendidikan bagi ABK bisa dilaksanakan dengan model segregatif (satuan pendidikan khusus/SLB) atau bisa dilaksanakan secara inklusif (sekolah regular yang berorientasi mengakomodir perbedaan peserta didik termasuk ABK).
C. Karakteristik, Hambatan dan Kompensatoris/Penanganan Khusus bagi ABK Pemahaman karakterisitk, hambatan dan kompensatoris/penanganan khusus ABK menjadi persyaratan mutlak untuk mengimplementasikan gagasan pendidikan jasmani adaptif ABK. Persyaratan tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk merencanakan, melaksanakan dan menyusun bahan evaluasi pelaksanaan pendidikan jasmani adaptif bagi ABK. Perlu dipahami bahwa setiap jenis ABK mempunyai karakteristik yang berbeda-beda tergantung impairment atau disablitiy-nya. Karaktersitik ABK akan membawa dampak handicap pada beberapa aktifitas ABK termasuk juga aktifitas yang berhubungan dengan olahraga jasmani. Hal ini berpengaruh terhadap adaptifnya jenis olahraga yang akan 7
dilakukan oleh ABK. Tentu saja pengetahuan kompensatoris dan penanganan khusus ABK menjadi komponen yang tidak bisa diabaikan. Kompensatoris adalah pengalihan dari indera atau bagian tubuh yang terhambat (tidak bisa difungsikan) ke indera atau bagian tubuh lain yang masih bisa difungsikan untuk aktifitas tertentu. Sedangkan penanganan khusus diartikan sebagai penanganan/aktifitas tertentu untuk mengurangi/menghilangkan hambatan sebagai dampak dari impairment atau disablitiy-nya. Berikut ini gambaran karakteristik, hambatan dan kompensatoris/penanganan khusus ABK, antara lain: 1. ABK dengan hambatan penglihatan ABK dengan hambatan penglihatan sering dikenal dengan tunanetra. Tunanetra dibagi menjadi dua kategori, yaitu blind/buta dan low vision/lemah penglihatan. Karakteristik tunanetra yaitu mempunyai permasalahan yang berhubungan dengan informasi visual sehingga tunanetra sering mengalami masalah dalam mobilitas dan konsep yang tidak utuh, terutama bagi mereka yang tergolong buta (tunanetra total). Tunanetra memerlukan kompensatoris ke indra lain selain visual, terutama bagi mereka yang kategori buta. Indra yang paling banyak menjadi pengganti fungsi visualnya yaitu indra perabaan, pendengaran dan kinestetik. Mereka yang masih tergolong low vision mempunyai karakteristik yang masih bisa memanfaatkan penglihatannya sesuai dengan berat ringannya sisa penglihatnnya. Maka dari itu hambatan penglihatannya juga tidak sama antara satu kasus dengan kasus lainnya. Penanganan khusus yang diperlukan anak yaitu memaksimalkan sisa penglihatannya semaksimal mungkin (sight enhancement). Secara garis besar penayandang low vision memerlukan adaptasi jarak, pembesaran, penyesuaian kontras, pemilihan warna dan perlu bantuan peralatan penglihatan baik optik maupun non optik. 2. ABK dengan hambatan pendengaran Sebutan “tunarungu” sering menjadi istilah yang dipakai untuk menandai ABK dengan hambatan pendengaran. Tunarungu terdiri dari kategori tuli (tunarungu berat dan sangat berat) dan tunarungu yang masih mempunyai sisa pendengaran (tunarungu sangat ringan, ringan,dan sedang). Ukuran ketunarunguan memakai ukuran kekerasan suara yang disebut desible (dB). Karakteristik tunarungu berkutat pada dampak dari ketunarunguan yaitu terjadinya hambatan pendengaran yang mengakibatkan tunarungu akan bermasalah di bahasa dan komunikasi. Kompensatoris yang diperlukan adalah 8
mengganti bahasa ujar ke bahasa visual. Ada tiga jenis komunikasi anak tunarungu (terutama kategori tuli) yaitu bahasa isyarat, bahasa bibir, dan komunikasi total. Tunarungu yang masih mempunyai sisa pendengaran membutuhkan adaptasi alat bantu pendengaran, adaptasi jarak dan adaptasi volume suara. 3. ABK dengan hambatan fisik/motorik/mobilitas ABK dengan hambatan fisik motorik sering disebut tunadaksa. Karakteristik yang mudah ditemukan pada anak tunadaksa adalah mereka mempunyai masalah dalam motorik dan mobilitas. Mereka sangat memerlukan lingkungan yang aksesibel untuk mengatasi keterbatasan geraknya. Kompensatoris yang diperlukan adalah bagaimana peralatan dan aktifitas yang ada dapat mengatasi keterbatasan fisik dan motoriknya. ABK jenis ini sangat banyak variasinya karena menyangkut fisik seseorang baik mereka yang mengalami kehilangan sebagian anggota tubuhnya, kelainan anggota tubuhnya, maupun karena ketidakfungsian anggota tubuhnya. 4. ABK dengan hambatan kecerdasan Kecerdasan merupakan pusat beraktifitas seseorang. Artinya semua aktifitas manusia sebenarnya dipandu atau dikendalikan oleh otak. Jika seseorang mengalami kelainan atau hambatan keceradasan, maka aktiftas manusia akan terpengaruh kurang optimal juga. Pada tingkat kecerdasan yang rendah, maka dampaknya akan lebih serius. Kelainan jenis ini sering disebut dengan hambatan kecerdasan atau dalam bahasa sanskerta muncuk istilah tunagrahita. Ada tiga kategori tunagrahita, yaitu tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat. Ukuran ketunagrahitaan diukur dengan menggunakan instrument/tes inteligensi baik menggunakan skala wishler atau skala binnet. Hambatan/karakteristik anak tunagrahita adalah mereka sulit untuk menerima pemikiran yang abstrak, pelajaran yang sulit dan sering menimbulkan perilaku maladaptive. Mereka memerlukan modifikasi kesederhanaan materi, kesederhanaan perintah, dan pemikiran yang dikonkritkan. 5. ABK dengan hambatan perilaku Yang termasuk kategori hambatan perilaku adalah autis, hiperaktif, anak dengan ganggunan konsentrasi, anak tunalaras dan beberapa dampak dari ketunagrahitaan. Hambatan perilaku bertitik tolak dari ketidaksesuaian dengan ukuran perilaku/kebiasaan umum yang normative, misalnya ukuran anak hiperaktif adalah anak yang keaktifannya 9
melebihi dari ukuran keaktifan anak pada umumnya. Penanganan khusus yang diperlukan bagi ABK dengan hambatan perilaku adalah modifikasi perilaku agar perilaku mereka mendekati perilaku yang normative.
Pemahaman karakteristik, hambatan dan kebutuhan kompensatoris atau penanganan khusus ABK sangat diperlukan dalam program pendidikan jasmani adaptif. Tentu juga program-program lainnya yang dibutuhkan untuk perkembangan ABK. Kegunaan pemahaman tersebut adalah sebagai bekal untuk ketepatan menentukan seberapa membutuhkan penyesuaian terhadap aktifitas-aktifitas jasmani yang mengarah kepada kesehatan ABK. Yang perlu diingat adalah jangan sampai aktifitas pendidikan jasmani justru akan membuat ABK kondisinya malah semakin buruk.
D. Ruang Lingkup Pendidikan Jasmani Adaptif bagi ABK Berwawasan Kebangsaan Pendidikan jasmani adaptif bagi ABK berwawasan kebangsaan mempunyai ruang lingkup yang sama dengan pendidikan jasmani pada umumnya. Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan jasmani lebih banyak diarahkan untuk membuat jasmani dan rohani menjadi sehat (ilmu kesehatan). Hal ini juga diperuntukkan bagi mereka yang menyandang kebutuhan khusus. Secara garis besar ruang lingkup program pendidikan jasmani adaptif adalah: 1. Pengetahuan dan keterampilan tentang gizi/nutrisi 2. Pengetahuan dan keterampilan menjaga kebersihan individu 3. Pengetahuan dan keterampilan menciptakan dan menjaga kebersihan lingkungan 4. Pengetahuan dan keterampilan berperilaku hidup sehat dan seimbang 5. Pengetahuan dan keterampilan olahraga adaptif Ruang lingkup pendidikan jasmani adaptif berawasan kenagsaan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah pengetahuan dan keterampilan olahraga adaptif sehingga ABK dapat berperan aktif membela negara melalui prestasi olahraga baik di tingkat nasional, Asia Tenggara, Asia, maupun tingkat dunia/internasional. Hal ini karena aktifitas jasmani adaptif lebih banyak berkutat pada aktifitas olahraga.
E. Ruang Lingkup Adaptasi Pendidikan Jasmani bagi ABK Berwawasan Kebangsaan 10
Pendidikan jasmani adaptif pada dasarnya merupakan olahraga yang diperuntukkan bagi orang pada umumnya kemudian disesuaikan dengan kondisi ABK karena mereka akan mengalami hambatan beraktifitas olahraga jika olahraga tersebut tidak disesuaikan. Seperti yang telah dikemukakan oleh Winnick (2005) dalam sebuah konferensi, disebutkan bahwa adapted sport encompasses “disabily sport (e.g., deaf sport), which typically focuses on segregated participation in reguler or adapted sport. Although diability sport terminology has been used as a term encompassing sport related to individuals with disability, adapted sport terminology is preferred for the following reasons.” Pendidikan jasmani adaptif bisa juga bukan merupakan adaptasi olahraga yang ada, namun menciptakan olahraga baru yang “inovatif” yang perencanaan dan pelaksanaannya mempertimbangkan karakteristik, hambatan dan kemampuan kompensatoris/program khusus ABK. Atas dasar kedua wilayah tersebut (adapasi jenis olahraga yang sudah ada dan penciptaan olahraga baru/kreatif) maka pendidikan jasmani adaptif memerlukan beberapa penysesuaian. Penyesuaian pendidikan jasmani adaptif lebih ditekankan pada ruang lingkup pengetahuan dan keterampilan olahraga adaptif (nomor 5 pada bagian D), sedangkan ruang lingkup yang lain (part-D, nomor 1-4) tidak terlalu banyak menekankan penyesuaian. Penyesuaian bidang olahraga diperlukan bagi ABK, karena hal ini termasuk dalam teori aksesibilitas, seperti yang diungkapkan oleh Tarsidi (2008) “Sesungguhnya para penyandang ketunaan tidak mengharapkan dan tidak pula memerlukan lebih banyak hak daripada orangorang pada umumnya. Mereka hanya menghendaki agar dapat bergerak di dalam lingkungannya dengan tingkat kenyamanan, kemudahan dan keselamatan yang sama dengan warga masyarakat lainnya, memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang normal, dapat semandiri mungkin dalam batas-batas kemampuannya.” Ruang lingkup adaptasi olahraga yang diperlukan adalah sebagai berikut: 1. Adaptasi sarana dan prasarana Adaptasi sarana dan prasarana dalam pendidikan jasmani adaptif sepertinya yang paling banyak mendapat kajian. Hal itu biasanya menjadi tolak ukur penyesuaian terhadap kemampuan dan hambatan yang dimiliki oleh ABK. Pengadaptasian sarana dan prasarana olahraga akan membawa perubahan/adaptasi lainnya seperti adaptasi cara bermain, adaptasi peraturan permainan, adaptasi waktu yang dibutuhkan, adaptasi petugas olahraga yang mengawasinya, termasuk wasit dan adaptasi-adaptasi lainnya. 11
Salah satu contoh adaptasi sarana/paralatan olahraga balap sepeda yang diperuntukkan bagi tunadaksa yang lumpuh kaki yaitu sepedanya beroda tiga dan pengayuhnya bukan dipedal sepeda melainkan di kedua rodanya. Perhatikan gambar di bawah ini:
2. Adaptasi cara permainan Olahraga yang diperuntukkan bagi ABK bisa jadi memerlukan adaptasi cara permainan. Hal ini sebagai dampak konsekuensi dari kebutuhan kompensatoris/ kebutuhan khusus ABK. Adaptasi cara permainan tentu saja berhubungan dengan adaptasi unsure lainnya, misalnya adaptasi peralatan olahraga. Sebagai contoh adaptasi bidang olahraga angkat berat bagi penyandang tunadaksa. Salah satu cabang olahraga yang diperuntukkan bagi penyandang tunadaksa yang mempunyai ketidakfungsian bagian bawah badan (kaki) yaitu olahraga angkat berat. Cara permainan angkat besi mengalami perubahan dari cara olahraga angkat berat aslinya. Adaptasinya yaitu penyandang tunadaksa terlentang di papan angkat, kemudian cara mengangkatnya hanya cukup mengarahkan beban ke dada kemudian mendorong beban ke atas.
12
Gambar diatas hanya merupakan salah satu contoh adaptasi cara permainan angkat besi. Jenis olahraga dan jenis ABK yang memainkannya tentu masih banyak lagi. Setiap jenis olahraga dan peruntukannya bagi jenis ABK memerlukan adaptasi cara yang berbeda-beda. Pada prinsipnya penyesuaian cara permainan digunakan untuk mengatasi agar para penyandang disabilitas tetap bisa melakukan olahraga layaknya manusia pada umumnya walaupun dilakukan dengan “cara yang berbeda”. 3. Adaptasi peraturan permainan Dampak dari adanya kelainan pada fisik, indra, maupun perilaku pada seseorang akan berpengaruh terhadap berubahnya peraturan permainan. Perubahan/adaptasi peraturan permainan juga dipengaruhi oleh sarana maupun sarana olahraga yang adaptif, meskipun
perubahan
peraturan
permainan
tidak
selalui
harus
mengikuti
perubahan/adaptasi peralatan. Misalnya permainan olahraga tenis meja bagi tunanetra. Selain lapangan, bed, dan bola yang dimodifikasi, maka beberapa peraturan permainannya juga ikut diadaptasikan, misalnya bola tidak boleh lewat di atas net, namun harus melewati bawah net.
4. Adaptasi waktu permainan Adanya hambatan yang ada pada ABK bisa jadi memerlukan waktu yang lebih lama atau bahkan sebaliknya memerlukan waktu yang lebih singkat dalam menyelesaikan 13
permainan olahraga. Penyesuaian penambahan waktu yang dibutuhkan biasanya dikarenakan ABK tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk menyelesaikan permainan olahraga. Sebagai contoh permainan catur bagi tunanetra akan memerlukan waktu yang lebih lama karena tunanetra akan mendeteksi biji-biji catur dengan perabaannya. Terdapat perbedaan yang signifikan antara mendeteksi biji catur dengan penglihatan dan mendeteksi biji catur dengan cara meraba akan membutuhkan waktu yang lebih lama.
Pendidikan jasmani adaptif pada prinsipnya untuk menjembatani agar para penyandang disabilitas dapat beraktualisasi diri dalam bidang olahraga. Ruang lingkup dan jenis adaptasi bisa berkembang ke komponen-komponen lain yang diperuntukkan dalam perkembangan olahraga jasmani adaptif. Masih banyak komponen lain yang belum sempat terbahas dalam artikel ini, seperti adaptasi petugas olahraga, adaptasi lingkungan dan adaptasi-adaptasi lainnya sesuai dengan kebutuhan ABK dalam mewujudkan masyarakat yang sehat.
F. Pembinaan Prestasi Olahraga ABK Kerwawasan Kebangsaan Aktifitas keolahragaan akan selalu bersinggungan dengan apa yang dikenal dengan “berprestasi, juara, sportifitas.” Angan-angan setiap olahragawan/wati untuk berprestasi dan mendapatkan juara yang diraih dengan cara menjunjung tinggi sportifitas merupakan dambaan setiap olahragawan/wati. Hal ini tidak terkecuali bagi mereka yang menyandang disabilitas. Aktifitas olahraga adaptif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan 14
konsensus olahraga nasional, bahkan skala internasional. Wadahnyapun telah terbentuk sejak lama walaupun secara berkala mengalami perubahan sebagai wujud perubahan tuntutan zaman yang terus berevolusi dan reformasi. Saat ini secara nasional wadah para atlit disabilitas untuk mengembangkan dan menyalurkan potensinya dibidang olahraga adaptif yaitu NPC (National Paralympic Committee) yang sebelumnya bernama BPOC (Badan Pembina Olahraga Cacat). NPC sebelumnya bernaung di bawah bendera KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) dan sejak tahun 2015 NPC secara resmi berpisah dengan KONI karena tuntutan organisasi olahraga disabilitas tingkat dunia menginstruksikan demikian, sehingga NPC berdiri sendiri dan sejajar dengan KONI (NPC: 2015). Pembinaan olahraga bagi penyandang disabilitas seharusnya dimulai sejak dini, yaitu sejak usia kanak-kanak layaknya anak-anak pada umumnya. Pemahaman tentang pendidikan jasmani adaptif sebaiknya dimiliki oleh semua guru mulai dari PAUD/TKLB, SD/SDLB, SMP/SMPLB, SMA-SMK-MA/SMALB maupun mereka yang membina olahraga di perguruan tinggi. Olahraga disabilitas merupakan aktifitas yang cukup menjanjikan bagi para penyandang disabilitas dan bisa dijadikan salah satu bidang yang dapat memperbaiki kesejahteraan mereka, baik sejahtera lahir maupun batin. Sejahtera lahir, selain mendapatkan manfaat kesehatan para penyandang disabilitas bisa juga berprestasi sampai ke tingkat internasional. Bonus bagi olahragawan/wati penyandang disabilitas (dalam instilah di olahraga adaptif disebut paralympian) menanti untuk diraih dan bisa dijadikan tumpuan kehidupan. Secara hirarki, even-even olahraga paraliympic sudah terstuktur dengan baik mulai dari tingkat pelajar sampai ke tingkat internasional. Wadah adu prestasi olahraga tingkat pelajar bagi penyandang disabilitas yaitu PEPARPENAS (Pekan Paralympic Pelajar Nasional). PEPARPENAS dipseruntukkan bagi paralympian yunior dan dijadikan ajang pembinaan tingkat pelajar. Bibit-bibit paralympian ini untuk selanjutnya bisa berpirah di olahraga prestasi tingkat nasional. Penyelenggarannya bisa bersifat single event maupun multi event. Multi event-nya olahraga adaptif bagi penyandang disabilitas dikenal dengan PEPARNAS (pekan Paralympic Nasional) yang setara dengan PON bagi olahragawan/wati yang tidak berkebutuhan khusus (normal). Langkah karir paralympian berikutnya bisa memasuki jenjang APG (Asean Paralympic Games). APG menjadi even tingkat Asia Tenggara. Jika paralympian berhasil lolos di arena APG tingkat ASEAN maka paralympian bisa berkiprah 15
di ajang Asia yang dikenal dengan singkatan yang sama yaitu APG (Asia Paralympic Games). Lolos di APG tingkat benua Asia, maka langkah yang paling ditunggu-tunggu oleh paralympian adalah bertanding di laga PG (Paralympic Games). PG adalah olahraga bagi paralympian di tingkat dunia, sejajar dengan olahraganya bagi atlit-atlit non disabilitas yaitu olimpiade.
G. Penutup Hak bagi anak berkebutuhan khusus atau secara umum disebut penyandang disabilitas untuk dapat berkiprah disegala bidang kehidupan, termasuk di dalamnya bidang jasmani tentu saja secara hakekat setara dengan anak-anak lainnya. Mereka memerlukan kepedulian yang cukup dari seluruh komponen bangsa ini untuk berjuang menyetarakan kiprahnya dalam mewujudkan penyandang disabilitas yang sehat jasmani dan rohani. Pendidikan jasmani bagi merekapun harus dicarikan jalan terbaik. Konsep yang telah ada yaitu mereka memerlukan pembinaan dalam bidang pendidikan jasmani adaptif berwawasan kebangsaan. Untuk dapat berkiprah memberikan layanan dalam bidang pendidikan jasmani adaptif berwawasan kebangsaan, para guru tidak hanya dituntut menguasai material bidang pendidikan jasmani saja, namun diperlukan pengetahuan bidang pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dan wawasan kebangsaan. Maksud dari wawasan kebangsaan dalam bidang pendidikan jasmani adaptif, yaitu melalui aktifitas keolahragaan maka penyandang disabilitas bisa berpikrah memberikan pembelaan bagi negara Republik Indonesia melalui prestasi olahraga. Kebutuhan pengetahuan yang diperlukan adalah pengetahuan karakteristik, hambatan, dan kompensatoris serta penanganan khusus sebagai dampak dari kelainan yang ada pada ABK dan komponen-komponen pembelaan negara melalui bidang prestasi olahraga. Perubahan paradigma layanan pendidikan ABK, juga membawa konsekuensi di sekolah umum, yaitu para guru yang biasanya hanya berkiprah untuk mendidik anak-anak reguler, saat ini dengan adanya paradigma pendidikan inklusif, penyandang disabilitas berkesempatan untuk mendapatkan layanan pendidikannya di sekolah umum. Konseskuensi ini sebenarnya membawa angin segar bagi dunia pendidikan, terutama akan meningkatkan profesionalisme para guru. Tentu saja tenaga khusus yaitu GPK (Guru Pendidikan Khusus)
16
perlu dihadirkan di sekolah reguler untuk ikut berkolaborasi mendidik ABK sesuai dengan haknya. Pembinaan olahraga adaptif bagi ABK secara proporsional akan membawa calon-calon paralympian bisa berkiprah di tingkat pelajar, nasional, ASEAN, Benua Asia, bahkan sampai ke jenjang Paralympic Games tingkat dunia. Mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka juga bisa membawa nama baik bangsa dan negara Republik Indonesia yang kita cintai ini. Selamat berpeduli dan berkiprah dalam dunia pendidikan jasmani adaptif yang berwawasan kebangsaan.
DAFTAR PUSTAKA Abdoellah, A. (1996). Pendidikan Jasnai Adaptif. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. Andam
Zuriadi,
(2010).
Peraturan
Tenis
Meja
Tunanetra,
[Online].
Tersedia:
http://www.slbaykabsurakarta.blogspot.com. [6 Juni 2010]. Andersen, JK. (2000). Pengaruh Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak Penyandang Ketunanetraan Bawaan-Makalah. Bali. Astati, (2001), Pendidikan Luar Biasa di Sekolah Umum. Bandung :Pendawa Auxter, D., et al. (2001). Principles and Methods of Adapted Physical Education and Recreation-Ninth Edition. New York: Mc Graw Hill. Elderly
New,
(2007).
Olahraga
Adaptif
[online].
Tersedia:
http:/www.sahabatlansia.blogspot.com. [6 Juni 2010]. Imam Y. & Utomo. (2015) Pendidikan Inklusif Paradigma Pendidikan Ramah terhadap Anak. Banjarmasin: Pustaka Banua Johnsen, B. H & Skjorten, M. D (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar. Bandung: Program Pascasarjana UPI. Mansur H. dkk. (2015). Pedoman Pembelajaran Penjas Adaptif bagi Peserta Didik dengan Hambatan Pendengaran. Banjarmasin: Pustaka Banua Mason H & Mc Call, (1997), Visual Impairment Acces to Education for Children and Young people, London: David Fultron Publishers
17
NPC Kal-Sel (2016). NPC Merupakan Induk Organisasi Olahraga bagi Atlit Berkebutuhan Khusus (online). Tersedia: www.npckalsel.com. [10 September 2016]. Tarsidi D, (2008), Aksesibilitas Fisik bagi Penyandang Ketunaan (Online). www.diditarsidi.blogspot.com _________,(2003) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Restindo Mediatama __________, Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat.
18