Dr. Meriyati, M.Pd
PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
2016
i
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 1. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan /atau denda paling sedikit Rp.l.000.000,00 (satu juta), atau pidana penjara paling lama 7 Tujuh tahun dan / atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan , atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan /atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). © Hak cipta pada pengarang Dilarang mengutip sebagian atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun tanpa seizin penerbit kecuali untuk kepentingan penulisan artikel atau karangan ilmiah. Judul Buku : Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Penulis : Dr.Hj. Meriyati, M.Pd Cetakan Pertama : 2016 Desain Cover : Fakta Press Layout oleh : Fakta Press Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) lAIN Raden lntan Lampung Jl. Letkol H. Endro Suratmin Kampus Sukarame Telp. [0721) 780887 Bandar Lampung 35131 ISBN
: 978-602-8534-54-3
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Wasyukurillah, Puji Syukur saya panjatkan kekhadirat Illahi Rabbi yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, bimbingan dan petunjuk kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini Disadari dalam penulisan penelitian ini, masih terdapat kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu kritikan dan saran yang membangun sangat diharapkan demi penyempurnaannya Ucapan terima kasih yang mendalam, penulis khaturkan kepada semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan konstribusi demi penyelesaian penelitian ini, semoga Amal Bhakti kita semua akan bernilai pahala disisi Allah SWT. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. Mukri, MS, selaku Rektor IAIN Raden Intan Lampung, yang juga telah memberikan kesempatan untuk belajar pada program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. 2. Dr. Hi. Chairul Anwar, MPd, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung, yang selalu memberikan motivasi agar disertasi ini dapat diselesaikan. 3. Semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu, yang turut membantu dengan penuh ikhlas dalam penyelesaian studi iii
ini, semoga segala amal baik kita akan dibalas oleh Allah SWT.
Bandar Lampung, Maret 2016
Dr.Hj. Meriyati, M.Pd
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
iii
BAB I : GANGGUAN TINGKAH LAKU (CONDUCT DISORDER) GANGGUAN SIKAP MENENTANG (OPPOSITIONAL DEFIANT DISORDER) 1 BAB II : ANAK BERBAKAT DALAM PENDIDIKAN
20
BAB III: PERKEMBANGAN DISINKRONI DAN ALAT TEST ANAK BERBAKAT
35
BAB IV: FAKTOR PENDUKUNG PENGEMBANGAN IQ, EQ DAN SQ 57
DAFTAR PUSTAKA
72
v
BAB I GANGGUAN TINGKAH LAKU (CONDUCT DISORDER) DAN GANGGUAN SIKAP MENENTANG (OPPOSITIONAL DEFIANT DISORDER) I. JENIS Gangguan Tingkah Laku (Conduct Disorder). Anak-anak dengan gangguan tingkah laku secara sengaja melakukan perilaku antisosial yang melanggar norma sosial dan hak orang lain. Gangguan tingkah laku merujuk pada berbagai tindakan kasar yang dilakukan melampaui kenakalan biasa pada anak-anak dan remaja. Anak-anak dengan gangguan tingkah laku biasanya tidak punya perasaan dan rasa bersalah terhadap perilaku buruk mereka. Contohnya adalah bertindak mencontek, agresif, kasar, merusak barang, pemerkosaan, merampok dengan senjata, terlibat dalam penggunaan obat, perilaku seks bebas, dan membunuh. Gangguan tingkah laku lebih banyak terjadi pada laki-laki (4 – 16%) daripada pada perempuan (1.2 – 9%). Bentuk gangguan tingkah laku pada anak laki-laki biasanya adalah mencuri, berkelahi, merusak, atau masalah disiplin sekolah. Sedangkan bentuk gangguan tingkah laku pada anak perempuan biasanya adalah berbohong, membolos, lari dari rumah, pengunaan obat-obatan, dan pelacuran. Anak-anak dengan gangguan ini biasanya juga sering memiliki gangguan atau masalah perilaku lain, seperti ADHD, menarik diri secara sosial, dan depresi mayor. Anak-anak yang memiliki gangguan ini pada masa sekolah dasar, biasanya akan terlibat dalam aksi kenakalan pada masa remaja awal (seperti membolos, merusak, berkelahi, dan mengancam orang lain) atau pada masa remaja akhir (penggunaan alkohol atau penyalahgunaan 1
obat-obatan). Gangguan tingkah laku melibatkan beberapa trait kepribadian, yang juga ada pada orang dengan gangguan perilaku anti sosial, seperti tidak memiliki perasaan, kasar, mudah marah, dan berhubungan dengan orang lain tanpa emosi. Gangguan Disorder)
Sikap
Menentang
(Oppositional
Defiant
Ada perbedaan antara Conduct Disorder dengan Oppositional Defiant Disorder. Conduct Disorder melibatkan perilaku kenakalan, seperti membolos, mencuri, berbohong, dan berperilaku agresif. Oppositional Defiant Disorder adalah gangguan tingkah laku yang bukan kenakalan atau hal negatif. Contohnya adalah bersikap menentang, melawan tokoh otoritas, cenderung berargumentasi dengan orangtua/guru untuk menolak mengikuti permintaan atau perintah dari mereka, mengganggu orang lain, mudah marah, sensitif/mudah tersingggung, menyalahkan orang lain sebagai penyebab kesalahan / perilaku buruk mereka, merasa benci, dengki, atau dendam kepada orang lain. Ada beberapa perdebatan mengenai gangguan sikap menentang ini, yaitu : (1) apakah gangguan ini berbeda dengan gangguan tingkah laku ; (2) apakah gangguan yang mengawali terjadinya gangguan tingkah laku ; (3) apakah merupakan bentuk gangguan tingkah laku yang lebih ringan yang terjadi sebelum gangguan tingkah laku. Gangguan ini lebih sering terjadi pada laki-laki dan biasanya dimulai sebelum usia 8 tahun, berkembang secara bertahap selama beberapa bulan atau tahun. Gangguan ini berawal dari lingkungan rumah, tetapi dapat meluas pada lingkungan lain. Gangguan sikap menentang/ODD berkembang lebih awal daripada gangguan tingkah laku/CD. Gangguan ini dapat berkembang menjadi gangguan tingkah laku atau antisosial 2
pada usia selanjutnya. Dalam bahasa sehari-hari, anak dengan gangguan sikap menentang, sering disebut “anak nakal”. Penegakan diagnosis gangguan sikap menentang dilakukan jika seseorang tidak memenuhi kriteria gangguan tingkah laku yang paling utama (agresif fisik), namun menunjukkan perilaku kehilangan kendali emosi, bertengkar dengan orang dewasa, menolak mematuhi perintah orang dewasa, sengajamelakukan hal-hal yang mengganggu orang lain, kasar, mudah marah, mudah tersinggung, dan mendendam. II. PENYEBAB Gangguan Tingkah Laku (Conduct Disorder). 1. Faktor Biologis. Faktor genetik memiliki peranan dalam gangguan tingkah laku. Kelemahan neuropsikologis, yang meliputi : skor IQ lebih rendah satu deviasi standar dibanding anak-anak seusianya, keterampilan verbal yang rendah, ketidakmampuan mengantisipasi, merencanakan, mengendalikan diri, dan menyelesaikan masalah 2. Faktor keluarga Faktor ini memiliki peran dalam menyebabkan terjadinya gangguan tingkah laku pada anak, yaitu : a. Gaya pengasuhan orangtua yang tidak efektif, seperti gagal dalam memberikan reinforcement positif untuk perilaku yang tepat atau penggunaaan disiplin yang kasar/tidak konsisten untuk perilaku buruk. 3
b. Interaksi negatif antara orangtua dan anak. Anak dengan gangguan tingkah laku biasanya adalah anak yang sangat penuntut dan tidak patuh dalam berhubungan dengan orangtua atau anggota keluarga lainnya. Orangtua atau anggota keluarga lainnya akan membalas perilaku anak dengan perilaku negatif (mengancam, berteriak, mendorong, memukul, menampar, menendang). c. Distres orangtua, seperti konflik perkawinan atau ibu yang mengalami depresi. Kondisi ini menyebabkan orangtua mengasuh anak dengan menunjukkan perilaku pengasuhan yang buruk, misalnya memberi perintah yang tidak jelas atau lengkap, melakukan tindakan yang tidak konsisten dalam penggunaan disiplin. d. Ibu yang merokok. Ibu yang merokok selama kehamilan juga dapat mempengaruhi perkembangan janin, dan mengakibatkan masalah tingkah laku pada anak. 3. Faktor Kognitif. Cara anak dengan gangguan perilaku memproses informasi. Misalnya, anak agresif memiliki asumsi bahwa orang lain akan menyakiti mereka walaupun sebenarnya tidak. Mereka menyalahkan orang lain atas perkelahian yang mereka lakukan. Mereka yakin bahwa mereka diperlakukan secara salah dan tidak adil. Anak-anak dengan gangguan ini kurang mampu berespon dengan baik dalam menghadapi konflik sosial 4. Faktor Belajar.
4
Teori belajar meyakini bahwa agresi pada anak-anak terjadi karena mempelajari perilaku agresif yang dimiliki orangtuanya. Sehingga, dapat dikatakan, jika anak mengalami penganiayaan fisik di masa kecil dari
orangtuanya, maka kemungkinan besar, anak tersebut akan menjadi agresif ketika tumbuh besar Selain dari orangtua, anak juga belajar pola perilaku agresif dari televisi Anak juga belajar perilaku agresif dari lingkungannya (teman-teman seusianya) Pola pengasuhan yang tidak tepat (disiplin yang keras, tidak konsisten, atau kurangnya pengawasan) dapat membuat anak belajar bahwa perilaku yang dimunculkannya bukanlah perilaku yang bermasalah. Pada akhirnya, ia akan mempertahankan perilaku buruk tersebut. 5. Faktor Sosial
Adanya penerimaan atau penolakan dari teman seusia dapat mempengaruhi perilaku agresif dan antisosial Pergaulan dengan teman-teman seusia yang berperilaku menyimpang dapat menyebabkan munculnya perilaku menyimpang dalam diri sendiri. Tingkat pengangguran yang tinggi, pendidikan yang rendah, terganggunya kehidupan keluarga, budaya yang menganggap tindakan kriminal sebagai tindakan yang biasa, dapat mempengaruhi terjadinya/munculnya gangguan tingkah laku. Gangguan Disorder).
Sikap
Menentang
(Oppositional
Defiant
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti faktor penyebab ODD. 1. Teoretikus psikodinamika memandang gangguan ini terjadi karena fiksasi pada masa anal perkembangan psikoseksual, yaitu ketika konflik di antara orangtua dan anak muncul pada masa toilet training. Konflik ini tidak
5
terselesaikan dan diekspresikan oleh anak dalam bentuk menentang terhadap harapan orangtua. 2. Teoretikus Belajar menyatakan bahwa gangguan ini terjadi karena orangtua memberi reinforcement tidak tepat pada perilaku menentang. Orangtua menyerah pada tuntutan anak setiap kali anak menolak untuk patuh pada harapan orangtua, sehingga menjadi suatu pola yang dipelajari oleh anak. III. PENANGANAN 1. Pendekatan Biologis Penggunaan Ritalin efektif untuk mengurangi perilaku antisosial pada anak-anak dan remaja yang mengalami gangguan tingkah laku. 2. Pendekatan Behavioral Pendekatan ini mendasarkan pada prosedur operant conditioning. Misalnya, Program penanganan residential, yang menetapkan aturan dengan jelas terhadap anakanak. Mereka akan diberikan reward untuk perilaku yang tepat dan hukuman untuk perilaku yang tidak tepat. 3. Pendekatan Kognitif-Behavioral. Penanganan anak dengan gangguan tingkah laku dilakukan dengan Terapi Kognitif Behavioral, yaitu melatih anak dengan gangguan tingkah laku untuk berpikir bahwa konflik sosial adalah masalah yang dapat diselesaikan dan bukan merupakan tantangan terhadap kejantanan mereka, yang harus dibuktikan dengan kekerasan. Anak-anak ini dilatih menggunakan keterampilan calming self talk, yaitu teknik untuk berpikir & berbicara kepada diri sendiri, tujuannya adalah menghambat perilaku impulsif, mengendalikan kemarahan, dan mencoba solusi yang tidak 6
mengandung kekerasan dalam menghadapi konflik sosial Mengenal Dan Membimbing Anak Hiperaktif Apa sebenarnya yang disebut hiperaktif itu ? Gangguan hiperaktif sesungguhnya sudah dikenal sejak sekitar tahun 1900 di tengah dunia medis. Pada perkembangan selanjutnya mulai muncul istilah ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity disorder). Untuk dapat disebut memiliki gangguan hiperaktif, harus ada tiga gejala utama yang nampak dalam perilaku seorang anak, yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif. Inatensi Inatensi atau pemusatan perhatian yang kurang dapat dilihat dari kegagalan seorang anak dalam memberikan perhatian secara utuh terhadap sesuatu. Anak tidak mampu mempertahankan konsentrasinya terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali beralih perhatian dari satu hal ke hal yang lain.
Hiperaktif Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik. Impulsif Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. 7
Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif masih ada beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di sekolah. Problem-problem yang biasa dialami oleh anak hiperaktif
Problem di sekolah : Anak tidak mampu mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan baik. Konsentrasi yang mudah terganggu membuat anak tidak dapat menyerap materi pelajaran secara keseluruhan. Rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kecenderungan berbicara yang tinggi akan mengganggu anak dan teman yang diajak berbicara sehingga guru akan menyangka bahwa anak tidak memperhatikan pelajaran. Banyak dijumpai bahwa anak hiperaktif banyak mengalami kesulitan membaca, menulis, bahasa, dan matematika. Khusus untuk menulis, anak hiperaktif memiliki ketrampilan motorik halus yang secara umum tidak sebaik anak biasa Problem di rumah : Dibandingkan dengan anak yang lain, anak hiperaktif biasanya lebih mudah cemas dan kecil hati. Selain itu, ia mudah mengalami gangguan psikosomatik (gangguan kesehatan yang disebabkan 8
faktor psikologis) seperti sakit kepala dan sakit perut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya toleransi terhadap frustasi, sehingga bila mengalami kekecewaan, ia gampang emosional. Selain itu anak hiperaktif cenderung keras kepala dan mudah marah bila keinginannya tidak segera dipenuhi. Hambatanhambatan tersbut membuat anak menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak dipandang nakal dan tidak jarang mengalami penolakan baik dari keluarga maupun teman-temannya. Karena sering dibuat jengkel, orang tua sering memperlakukan anak secara kurang hangat. Orang tua kemudian banyak mengontrol anak, penuh pengawasan, banyak mengkritik, bahkan memberi hukuman. Reaksi anakpun menolak dan berontak. Akibatnya terjadi ketegangan antara orang tua dengan anak. Baik anak maupun orang tua menjadi stress, dan situasi rumahpun menjadi kurang nyaman. Akibatnya anak menjadi lebih mudah frustrasi. Kegagalan bersosialisasi di mana-mana menumbuhkan konsep diri yang negatif. Anak akan merasa bahwa dirinya buruk, selalu gagal, tidak mampu, dan ditolak. Problem berbicara : Anak hiperaktif biasanya suka berbicara. Dia banyak berbicara, namun sesungguhnya kurang efisien dalam berkomunikasi. Gangguan pemusatan perhatian membuat dia sulit melakukan komunikasi yang timbal balik. Anak hiperaktif cenderung sibuk dengan diri sendiri dan kurang mampu merespon lawan bicara secara tepat. Problem fisik : Secara umum anak hiperaktif memiliki tingkat kesehatan fisik yang tidak sebaik anak lain. Beberapa gangguan seperti asma, alergi, dan infeksi tenggorokan sering dijumpai. Pada saat tidur biasanya juga tidak setenang anak-anak lain. Banyak anak hiperaktif yang sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari. Selain itu, tingginya tingkat aktivitas fisik anak juga beresiko tinggi untuk mengalami kecelakaan seperti terjatuh, terkilir, dan sebagainya. 9
Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mendidik dan membimbing anak-anak mereka yang tergolong hiperaktif :
Orang tua perlu menambah pengetahuan tentang gangguan hiperaktifitas Kenali kelebihan dan bakat anak Membantu anak dalam bersosialisasi Menggunakan teknik-teknik pengelolaan perilaku, seperti menggunakan penguat positif (misalnya memberikan pujian bila anak makan dengan tertib), memberikan disiplin yang konsisten, dan selalu memonitor perilaku anak Memberikan ruang gerak yang cukup bagi aktivitas anak untuk menyalurkan kelebihan energinya Menerima keterbatasan anak Membangkitkan rasa percaya diri anak Dan bekerja sama dengan guru di sekolah agar guru memahami kondisi anak yang sebenarnya
Disamping itu anak bisa juga melakukan pengelolaan perilakunya sendiri dengan bimbingan orang tua. Contohnya dengan memberikan contoh yang baik kepada anak, dan bila suatu saat anak melanggarnya, orang tua mengingatkan anak tentang contoh yang pernah diberikan orang tua sebelumnya.
Mengenal Autisme Banyak sekali definisi yang beredar tentang apa itu Autisme. Tetapi secara garis besar, Autisme, adalah gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Pada anak-anak biasa disebut dengan Autisme Infantil. 10
Schizophrenia juga merupakan gangguan yang membuat seseorang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri : berbicara, tertawa, menangis, dan marah-marah sendiri. Tetapi ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari Autisme pada penderita Schizophrenia dan penyandang autisme infantil. Schizophrenia disebabkan oleh proses regresi karena penyakit jiwa, sedangkan pada anak-anak penyandang autisme infantil terdapat kegagalan perkembangan. Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang Ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya sudah akan melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatap mata. Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autis atau tidak, digunakan standar internasional tentang autisme. ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk Autisme Infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah : Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3). (1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 dari gejala di bawah ini :
Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju Tidak bisa bermain dengan teman sebaya
11
Tak ada empati (tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik
(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini :
Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru
(3) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulangulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan. Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini :
Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulangulang Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda
Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang monoton, kurang variatif. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Kanak. 12
Namun kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autisme ringan. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain yang menyertai gangguan autis yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau hiperaktivitas. Autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan, tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada. Berdasarkan kabar terakhir, di Indonesia ada 2 penyandang autis yang berhasil disembuhkan, dan kini dapat hidup dengan normal dan berprestasi. Di Amerika, di mana penyandang autisme ditangani secara lebih serius, persentase kesembuhan lebih besar.
Faktor-faktor Penyebab Hiperaktif Pada Anak : Faktor neurologik
Insiden hiperaktif yang lebih tinggi didapatkan pada bayi yang lahir dengan masalah-masalah prenatal seperti lamanya proses persalinan, distres fetal, persalinan dengan cara ekstraksi forcep, toksimia gravidarum atau eklamsia dibandingkan dengan kehamilan dan persalinan normal. Terjadinya perkembangan otak yang lambat. Beberapa studi menunjukkan terjadinya gangguan perfusi darah di daerah tertentu pada anak hiperaktif, yaitu di daerah striatum, daerah orbitalprefrontal, daerah orbital-limbik otak, khususnya sisi sebelah kanan
Faktor toksik Beberapa zat makanan seperti salisilat dan bahan-bahan pengawet memilikipotensi untuk membentuk perilaku hiperaktif pada anak. 13
Faktor genetik Didapatkan korelasi yang tinggi dari hiperaktif yang terjadi pada keluarga dengan anak hiperaktif. Kurang lebih sekitar 25-35% dari orang tua dan saudara yang masa kecilnya hiperaktif akan menurun pada anak. Faktor psikososial dan lingkungan Pada anak hiperaktif sering ditemukan hubungan yang dianggap keliru antara orang tua dengan anaknya.
Gangguan Belajar I.
Definisi Dan Tipe Gangguan Belajar
Gangguan belajar merupakan defisiensi kemampuan belajar spesifik, dimana orang-orang dengan gangguan belajar adalah orang-orang yang pandai atau berbakat, namun menunjukkan kemampuan yang buruk dalam kemampuan membaca, matematika atau menulis. Gangguan ini menyebabkan prestasi sekolah atau fungsi sehari-hari menjadi terhambat. Gangguan belajar cenderung menjadi kronis yang mempengaruhi perkembangan di masa dewasa. Anak-anak dengan gangguan belajar cenderung memiliki prestasi buruk, dinilai gagal oleh guru atau orangtua, sehingga mereka mengembangkan harapan yang rendah terhadap diri mereka dan memiliki masalah dengan harga diri. Ada tiga jenis gangguan belajar, yaitu : 1) Gangguan matematika (diskalkulia). Kata dyscalculia berasal dari Yunani dan Latin yang berarti “menghitung dengan buruk”. Awalan “dys” berasal dari bahasa Yunani dan berarti “buruk”. “Calculia” berasal dari bahasa Latin “calculare“, yang berarti 14
“menghitung”. Anak-anak dengan gangguan ini memiliki masalah dalam memahami istilah matematika, memahami konsep operasi hitung, memahami simbol matematika, dan tabel perkalian. Gangguan ini muncul sejak anak duduk di kelas 1 SD, namun biasanya tidak dikenali sampai anak duduk di kelas 2 atau 3 SD. 2) Gangguan menulis (disgrafia). Anak-anak dengan gangguan ini memiliki keterbatasan kemampuan dalam menulis. Keterbatasan itu muncul dalam bentuk kesalahan mengeja, tata bahasa, tanda baca, kesulitan dalam membentuk kalimat atau paragraf. Kasus kesulitan menulis yang parah akan terlihat pada usia 7 tahun (sekitar kelas 2 SD). Sedangkan untuk kasus kesulitan menulis yang lebih ringan tidak akan dikenali sampai usia 10 tahun (sekitar kelas 5 SD) atau setelahnya. 3) Gangguan membaca (disleksia). Gangguan ini biasanya muncul pada usia 7 tahun (kelas 2 SD), walaupun kadang sudah dikenali pada usia 6 tahun. Anak-anak atau remaja yang mengalami gangguan ini biasanya cenderung lebih rentan terhadap depresi, memiliki harga diri yang rendah, merasa tidak mampu secara akademik, menunjukkan tandatanda ADHD. Ciri-ciri anak-anak dengan gangguan ini adalah : (a) Kesulitan dalam mengenali kata-kata dan memahami bacaan ; (b) Membaca dengan sangat lambat atau sangat kesulitan membaca ; (c) Mengubah, menghilangkan, atau mengganti katakata ketika membaca dengan keras. Misal pos menjadi sop, tas menjadi sat ; (d) Kesulitan dalam menguraikan huruf-huruf dan kombinasinya, serta menerjemahkannya menjadi suara yang tepat ; (e) salah mempersepsikan huruf-huruf. Huruf m menjadi w ; n menjadi u (jungkir balik) ; huruf b menjadi d (melihat secara terbalik).
15
II. Perspektif Teoritis Penyebab gangguan belajar belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada teori mengemukakan bahwa kebanyakan anak dengan gangguan belajar memiliki masalah dengan persepsi visual dan auditori. Satu penelitian menunjukkan bahwa disleksia terjadi karena adanya kerusakan pada stasiun pemancar visual di otak. Otak orang-orang dengan disleksia tidak dapat menguraikan stimulus visual yang datang secara beruntun. Akibatnya otak tidak dapat mengenal huruf dan kata/katakata terlihat samar dan saling bercampur Beberapa bentuk disleksia disebabkan oleh abnormalitas pada sirkuit otak yang bertanggung jawab untuk pengolahan aliran suara-suara yang cepat. Kerusakan pada sirkuit otak dapat menyebabkan kesulitan untuk memahami suara percakapan yang cepat. Misal suara yang berhubungan dengan huruf b dan p dalam suku kata ba - pa atau boy-toy atau bet-pet. Masalah dasar seperti ini dapat menghambat orang disleksia untuk belajar bicara secara tepat dan belajar membaca. III. Intervensi Model penanganan untuk gangguan belajar akan menggunakan perspektif : 1. Psikoedukasi. Penanganan dengan model ini lebih menekankan pada kekuatan-kekuatan dan potensi anak tersebut, dibandingkan dengan mencari penyebab dasar dari gangguan tersebut. Misal, Rangga mampu menyimpan informasi auditori lebih baik dibanding informasi visual. Maka Rangga akan diajar secara verbal dengan rekaman suara yang berisi materi pelajaran. 2. Behavioral. Model ini berasumsi bahwa belajar itu dibangun di atas keterampilan-keterampilan dasar. 16
Misal, Jojo mengalami disgraphia. Ia dapat menulis 1 paragraf, namun secara bertahap. Tahapnya adalah ia belajar menulis huruf demi huruf, menggabungkan huruf dalam suku kata, menggabungkan suku kata dalam kata, menggabungkan kata dalam kalimat, dan pada akhirnya menggabungkan kalimat dalam paragraf. Di samping itu, kemampuan setiap tahap perlu mendapat penguatan agar keterampilan dasar terbentuk. 3. Medis. Model ini berasumsi bahwa gangguan belajar merupakan gejala hambatan dalam pengolahan kognitif yang memiliki dasar biologis. Jadi penanganan yang tepat adalah dengan mengarahkan pada patologi yang mendasarinya, bukan pada ketidakmampuan belajarnya. Misal, Rendy mengalami kerusakan visual dalam otaknya, sehingga sulit mengikuti sebaris teks, maka penanganan yang tepat adalah dengan latihan mengikuti stimulus visual berbentuk baris-baris teks. Dengan demikian, kemampuan membaca baris-baris teks akan meningkat. 4. Neuropsikologi. Model ini mengasumsikan dua hal, yaitu : (a) gangguan belajar merupakan hambatan dalam pengolahan informasi yang memiliki dasar biologis ; (b) program pendidikan harus diadaptasi untuk memperhatikan gangguan dan menyesuaiakannya dengan kebutuhan anak. 5. Linguistik. Model ini mengajarkan keterampilan bahasa secara bertahap, dengan cara membantu anak menangkap struktur dan menggunakan katakata. 6. Kognitif. Model ini berfokus pada bagaimana anak mengatur pemikiran ketika mereka belajar materi akademik. Dalam model ini, anak akan dibantu belajar dengan : (a) mengenali sifat dari tugas belajar ; (b) menerapkan strategi pemecahan masalah yang efektif untuk menyelesaikan tugas ; 17
(c) memonitor kesuksesan strategi mereka. Contoh, Rizky memiliki masalah dengan aritmetika. Ia diarahkan untuk membagi tugas matematika menjadi komponen tugas, memikirkan tahapan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, dan mengevaluasi prestasi mereka pada setiap tahap untuk menilai bagaimana cara meneruskannya. Gangguan Komunikasi I.
Definisi Dan Klasifikasi Gangguan
Gangguan komunikasi adalah sekumpulan gangguan psikologis yang ditandai oleh kesulitan dalam pemahaman atau penggunaan bahasa. Gangguan ini mempengaruhi fungsi akademis, pekerjaan, atau kemampuan untuk berkomunikasi secara sosial. Gangguan komunikasi ini memiliki empat kategori, yaitu : Gangguan Bahasa Ekspresif. Anak-anak dengan gangguan ini memiliki hambatan dalam penggunaan bahasa verbal, yaitu perkembangan kosakata yang lambat, kesalahan dalam tata bahasa, kesulitan mengingat kembali kata-kata, kesulitan menghasilkan kalimat dengan kerumitan dan panjang yang sesuai dengan usia individu. Anakanak dengan kesulitan ini dapat memiliki gangguan fonologis/artikulasi, yang akan menambah masalah bicara. Gangguan Bahasa Campuran Reseptif/Ekspresif. Anak-anak dengan gangguan ini memiliki kesulitan dalam memahami dan menghasilkan bahasa verbal, seperti kesulitan memahami kata atau kalimat sederhana, memahami tipe kata atau kalimat tertentu. Gangguan Fonologis/Artikulasi. Anak-anak dengan gangguan ini memiliki kesulitan dalam artikulasi suara. Mereka dapat menghilangkan, mengganti, 18
atau salah mengucapkan bunyi-bunyi tertentu, misal, ch, f, l, r, sh, th, yang biasanya dapat diucapkan secara tepat pada saat anak memasuki usia sekolah. Pada kasus yang berat, terjadi salah mengartikulasi suara yang seharusnya sudah dikuasai pada masa sekolah, seperti b, m, t, d, n, h. Gagap adalah gangguan pada kemampuan untuk bicara lancar dengan waktu yang tepat. Gangguan ini biasanya dimulai pada usia 2 hingga 7 tahun. Gangguan ini ditandai oleh : (a) repetisi dari suara dan suku kata ; (b) perpanjangan pada suara-suara tertentu ; (c) penyisipan suara-suara yang tidak tepat ; (d) kata-kata yang terputus, seperti ada jeda di antara kata-kata yang diucapkan ; (e) hambatan dalam berbicara ; (f) circumlocution/menggunakan kata-kata alternatif untuk menghindari kata-kata yang sulit ; (g) tampak adanya tekanan fisik ketika mengucapkan kata-kata ; (h) repetisi dari kata yang terdiri dari suku kata tunggal, misalnya s-s-saya senang bertemu anda. II.
Penyebab Gangguan gagap terjadi karena interaksi antara faktor genetis dan lingkungan. Pada beberapa kasus kecemasan sosial dan fobia sosial juga merupakan faktor penyebabnya.
III. Penanganan Penanganan pada gangguan ini umumnya dilakukan melalui : terapi bicara, untuk melatih bicara dengan benar dan tepat konseling untuk mengatasi kecemasan sosial dan masalah emosional.
19
BAB II ANAK BERBAKAT DALAM PENDIDIKAN
A. Bagaimana Pendidikan anak Berbakat dalam Konteks Pendidikan Indonesia Pembinaan bakat dan prestasi berkualitas tinggi penting bagi kelangsungan hidup serta kejayaan bangsa. Hal ini berarti bahwa pendidikan anak berbakat harus berangkat dari landasan konseptual filisofis yang sama untuk digunakan dalam pendidikan biasa. Sebagaimana halnya dengan anak-anak yang mengalami hambatan (handicap) anak berbakat perlu mendapat layanan yang berbeda dari yang diberikan kepada anak-anak. pada umumnya untuk memungkinkan mereka mewujudkan potensinya secara maksimal. Di Indonesia sampai saat ini layanan khusus untuk anak-anak berbakat yang dimaksud praktis belum ada, meskipun pemikiran ke arah itu telah pernah dirintis, salah satunya pemberian beasiswa. Tinjauan sekilas di sejumlah negara lain memberikan gambaran yang tidak terlalu jauh berbeda, perhatian jauh lebih banyak ditujukan kepada anak-anak yang mengalami hambatan, bukan kepada anak-anak berbakat istimewa. Dan apabila kita ingin mulai merintis layanan khusus yang dimaksud, maka seharusnya kerangka acuan dengan wawasan ke pendidikan yang lebih luas, perlu dimantapkan terlebih dahulu, dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti berikut ini 1) Apakah yang dimaksud dengan bakat (istimewa) itu Apa bidang-bidangnya, dan bagaimana diungkapkannya?
20
2) Untuk apa, baik dilihat dari segi individu maupun dari segi pemerintah dan masyarakat, bakat-bakat istimewa tersebut terbina? 3) Bagaimana pembuatan bakat yang dimaksud dilaksanakan? Perlukah dilakukan penetapan urutan prioritas? Apa isi program pembinaannya dan apa pula persyaratan sarana, prasarana serta personelnya? Bagaimana program tersebut diorganisasikan serta diadministrasikan sehingga dapat tercapai tujuan dengan efektiftetapi efisien? 4) Bagaimana kita bisa tahu bahwa prediksi prestasi berkualitas tinggi yang dibuat itu efektif? Bagaimana kita tahu bahwa program pembinaan bakat istimewa itu berhasil? Apa indikator keberhasilannya? Kebutuhan Pendidikan dan Jenis Layanan bagi Anak Berbakat Kebutuhan pendidikan anak berbakat ditinjau dari kepentingan anak berbakat itu sendiri adalah yang berhubungan dengan pengembangan potensinya yang hebat. Untuk mewujudkan potensi yang hebat itu anak berbakat membutuhkan peluang untuk mencapai aktualisasi potensi yang dimilikinya melalui penggunaan fungsi otak, peluang untuk berinteraksi, dan pengembangan kreativitas dan motivasi internal untuk belajar berprestasi. Dari segi kepentingan masyarakat, anak berbakat membutuhkan kepedulian, pengakomodasian, perwujudan lingkungan yang kaya dengan pengalaman, dan kesempatan anak berbakat untuk berlatih secara nyata. Selanjutnya dalam menentukan jenis layanan bagi anak berbakat perlu memperhatikan beberapa komponen berikut. Komponen persiapan penentunan jenis layanan seperti: Mengidentifikasi anak berbakat merupakan hal yang tidak mudah, karena banyak anak berbakat yang tidak menampakkan keberbakatannya dan tidak dipupuk. 21
Untuk mengidentifikasi anak berbakat Anda perlu menentukan alasan atau sebab mencari mereka sehingga dapat menentukan alat indentifikasi yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Misalnya jika Anda memilih kelompok Matematika, maka pendekatannya harus mengarah pada penelusuran bakat matematika. Tujuan pendidikan anak berbakat adalah agar mereka menguasai sistem konseptual yang penting sesuai dengan kemampuannya, memiliki keterampilan yang menjadikannya mandiri dan kreatif, serta mengembangkan kesenangan dan kegairahan belajar untuk berprestasi. Selanjutnya komponen alternatif implementasi layanan meliputi: ciri khas layanan, strategi pembelajaran dan evaluasi. Hal-hal yang diperhatikan dalam ciri khas layanan adalah adaptasi lingkungan belajar seperti usaha pengorganisasian tempat belajar (sekolah unggulan, kelas khusus, guru konsultan, ruang sumber, dll). Selain itu ada adaptasi program seperti: usaha pengayaan, percepatan, pencanggihan, dan pembaharuan program, serta modifikasi kurikulum (kurikulum plus, dan berdiferensiasi). Berkaitan dengan strategi pembelajaran bahwa strtategi pembelajaran yang dipilih harus dapat mengembangkan kemampuan intetelektual dan non intelektual serta dapat mendorong cara belajar anak berbakat. Karena itu anak berbakat membutuhkan model layanan khusus seperti bidang kognitif-afektif, moral, nilai, kreativitas, dan bidang-bidang khusus. Evaluasi pembelajaran anak berbakat menekankan pada pengukuran dengan acuan kriteria dan pengukuran acuan norma.Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mudah-mudahan pemikiran untuk mewujudkan lembaga pendidikan anak berbakat bisa terwujud. Tentu saja disesuaikan dengan kondisi yang ada di masyarakat dan pemerintah Indonesia. Demikianlah uraian yang menggambarkan anak berbakat 22
B. Anak Dengan Keberbakatan
Banyak pengalaman yang sudah dicatat oleh ahliahli keberbakatan di negara maju di Eropa dan Amerika, sejak bayi anak-anak berbakat telah menunjukkan karakteristik sebagai bayi gifted. Ia mempunyai perkembangan yang sangat cepat dengan kapasitas yang besar, ditandai antara lain banyak gerak, sangat alert, dan banyak menuntut perhatian misalnya mudah dan selalu menangis, serta keras kepala jika kemauannya tidak dituruti. Kesulitan pengasuhan mulai datang saat anak berusia 2–3 tahun. Orang tua selalu mengeluh terlalu lelah dan tak punya waktu lain karena harus mengawasi dan melayani anaknya yang banyak gerak, tidur hanya sedikit sekali, loncat kian kemari, tukang membongkar, banyak maunya, hanya ingin mengikuti kemauannya sendiri, keras kepala, dan sulit diatur. Perilaku ini seringkali disalah mengerti sebagai perilaku membangkang yang pada akhirnya masuk ke dalam perilaku bermasalah. Anak-anak ini sering disarankan diberi terapi perilaku agar bisa berlaku normal, namun justru akan membawanya ke dalam permasalahan yang lebih parah. Bukan hanya masalah emosional dan sosial, tetapi juga munculnya penyakit-penyakit psikosomatik seperti sakit perut, sakit kepala, kefrustrasian, dan kondisi depresi. Akhirnya potensi luar biasa keberbakatannya tak terpupuk, bahkan ia harus melewati hari-hari yang kurang sehat dan tidak aman secara psikologis. Melihat ini dibanyak negara, kini anak ini harus dideteksi dini, dan dikelompokkan ke dalam kelompok anak berisiko. Ia menjadi anak dengan kebutuhan khusus. Orang tua mendapatkan bimbingan untuk memahami bagaimana tumbuh kembang, karakteristik dan personalitasnya, serta cara-cara pengasuhan yang sehat yang sesuai dengan 23
pola tumbuh kembang maupun personalitasnya. Orang tua harus bekerjasama dengan para guru, agar antara pengasuhan di rumah dan pendidikan di sekolah dapat simultan, karena bisa jadi ia membutuhkan percepatan belajar, pengkayaan, sekaligus juga pendalaman, yang terkadang hanya mungkin dikembangkan di luar sekolah atau di rumah. Disamping juga membantu guru melakukan remedial teaching untuk mengatasi kesulitan belajarnya. Selain tugas pengasuhan orang tua juga masih dituntut memenuhi tuntutan kebutuhan si anak yaitu untuk mewujudkan dorongan internalnya mengembangkan potensi inteletual serta bakat lainnya seperti musik, menggambar, atau olah tubuh.Tumbuh kembang anak gifted, diakui oleh banyak ahli, mempunyai perkembangan yang sangat krusial, unik, dan sering terjadi ketidak sinkronan atau ketidak selarasan perkembangan, antara lain dalam perkembangan emosional, sosial, sensoris, motorik, bahasa dan bicara. Ketidak sinkronan perkembangan ini akan berakibat juga bahwa kelak anak tersebut mengalami kesulitan belajar. Ia sangat cerdas tetapi juga mengalami kesulitan.Untuk ini orang tua juga dituntut untuk memahami hal ini semua agar ia dapat membantu si anak mencapai tingkat perkembangan yang lebih harmonis. Kesalahan akan memunculkan masalahmasalah baru yang sulit rehabilitasinya.Untuk memahami ini semua, orangtua dan guru harus banyak membaca, berdiskusi, dan tak kalah penting pula harus ada tenaga ahli yang membimbingnya, agar ia tidak melakukan pengasuhan dengan cara meraba-raba atau menggunakan bentuk stimulasi dan intervensi kelompok anak berkebutuhan khusus lainnya yang tentu saja tidak akan sesuai. Sebagian orang tua justru merasa malu mengakui anaknya mempunyai potensi gifted. Pandangan masyarakat umum maupun pihak professional bahwa gifted adalah bukan masalah tetapi suatu perkembangan yang 24
positif, yaitu perkembangan kognitif (inteligensia) tanpa melihat lagi kemungkinan-kemungkinan lain yang menyertainya. Mengakui anaknya seorang anak berbakat (gifted) dapat dipandang sebagai perilaku berlebihan yang mengarah arogan. Banyak orang tua akan lebih memilih hanya mengatasi masalahnya, dan mengesampingkan potensi keberbakatan yang dapat menjadi masalah. Sebaiknya pandangan tadi haruslah segera diubah ke arah melihat faktor keberbakatan (giftedness) sebagai salah satu faktor dalam berbagai dimensi perkembangan anak. Kita semua selain harus menerima perkembangan kognitifnya yang luar biasa itu, perlu juga memahami bagaimana sebenarnya tumbuh kembang dan personalitasnya, agar ia dapat kita terima sebagaimana adanya. Tak kurang pula memberinya toleransi yang lebih besar dalam kesulitan perkembangannya. Yang di maksud dengan anak berbakat ialah mereka yang karena memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul mampu memberikan prestasi yang tinggal. Dengan mengetahui segala kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh anak yang berbakat, nyatalah bahwa kita harus membedakan antara anak berbakat yang sudah berhasil mewujudkan potensialnya dalam prestasi yang unggul ( misalnya prestasi sekolah yang menonjol atau pernah menjadi juara sayembara mengarang atau lomba karya ilmiah ) dan mereka yang potensial berbakat tetapi karena sebab-sebab tetentu belum berhasil mewujudkan potensi mereka yang unggul. Di dalam kelas mereka mungkin hanya berprestasi rata-rata, sedangkan sebetulnya mereka dapat mencapai lebih dari itu. Adapun sebab-sebab mengapa seseorang tidak dapat mewujudkan bakatbakatnya secara optimal, dengan perkataan lain prestasinya di bawah potensinya, dapat terletak pada anak itu sendiri. Misalnya anak itu tidak atau kurang berminat untuk mengembangkan bakat-bakat yang ia miliki, atau kurang termotivasi untuk mencapai prestasi yang tinggi, 25
atau mungkin pula mempuyai kesulitan atau masalah pribadi sehingga ia mengalami hambatan dalam pengembangan diri dna berprestasi. Sebab mengapa seseorang tidak dapat mewujudkan bakatnya, dapat terletak pada lingkungannya, misalnya orang tuannya kurang mampu untuk menyediakan kesempatan dannsarana pendidikan yang ia butuhkan, atau ekonominya cukup tetapi kurang perhatian terhadap pendidikan anak. Biasanya sebab-sebab mengapa seseorang anak menjadi tidak berprestasi sesuai dengan potensinya ( underachiever ) merupakan interaksi antar faktor pribadi anak dan faktor lingkungannya. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa anak mempunyai bakat-bakat tertentu, hanya berbeda dalam jenis dan derajatnya. Yang dimaksud dengan anak berbakat ialah mereka yang mempunyai bakat-bakat dalam derajat yang tinggi dan bakat-bakat yang unggul. Ada anak yang berbakat intelektual umum, biasanya mereka mempunyai taraf intelegensi yang tinggi dan menunjukkan prestasi sekolah yang menonjol. Ada pula yang mempuanyai bakat akademis khusus misalnya dalam matematika atau dalam bahasa, sedangkan dalam pelajaran lain belum tentu menonjol. Ada anak yang intelegensinya mungkin tidak terlalu tinggi tetepi unggul dalam kemampuan berpikir kreatif-produktif. Ada pula anak yang bakatnya dalam bidang olah raga, atau dalam salah satu bidang seni seperti melukis atau musik. Ada anak yang di sekolah tidak termasuk siswa yang pandai, tetapi ia menonjol dalam teman-temannya atau oleh guru selalu dipilih menjadi pemimpin, bakat mereka terletak dalam bidang psikososial. Jelaslah bahwa keberbakatan dapat meliputi macam-macam bidang, dapat bersifat umum atau bersifat khusus. Berbakat atau gifted dapat berarti : memiliki kemapuan intelektual umum atau bakat-bakat khusus dalam derajat yang tinggi. 26
Beberapa ahli cenderung membedakan antara gifted sebagai memiliki bakat intelektual ( umum atau khusus ) dan talent sebagai bakat khusus yang sifatnya nonintelektual, misalnya dalam musik atau melukis. C. Apakah Anak Berbakat Dijamin Untuk Sukses ?
Anak-anak dengan bakat luar biasa ternyata sama besar kemungkinannya untuk gagal maupun sukses pada masa dewasa. Dalam salah satu penelitian terpaling luas yang pernah diadakan, ditemukan bahwa dari 210 anak berbakat, hanya tiga persen yang akhirnya “jadi orang”.
Professor Joan Freeman mengatakan dari 210 anakanak yang dia teliti, hanya setengah lusin yang bisa dikatakan meraih ‘kesuksesan konvensional’. “Pada usia enam atau tujuh tahun anak berbakat memiliki potensi yang mencengangkan, tetapi banyak dari mereka terjebak dalam situasi potensi terpasung,” kata Freeman seperti yang dikutip Daily Mail, Senin. Professor Freeman melacak anak-anak yang berbakat di bidang matematika, seni, dan musik sejak tahun 1974 hingga sekarang. Kebanyakan dari mereka tidak sukses pada masa dewasa karena perlakuan yang mereka alami dan dalam beberapa kasus direngut dari masa kanak-kanak. Dalam beberapa kejadian, orang tua menekan anaknya begitu keras atau malah dipisahkan dari kelompok sebayanya, sehingga akhirnya hanya mempunyai sedikit teman.Ia juga menambahkan ‘menjadi istimewa berarti lebih bisa menghadapi hal-hal yang bersifat intelektual tapi tak selalu bisa menghadapi hal-hal emosional. 27
Freeman juga cenderung menekankan bahwa anakanak berbakat sama rapuhnya dengan anak biasa bahkan mungkin “punya kekuatan emosi yang lebih besar”. “Saya ingin menegaskan bahwa mereka yang berbakat juga hanya manusia biasa tapi menghadapi tantangantantangan, khususnya harapan yang tidak sesuai kenyataan, biasanya dipandang aneh dan tak bahagia,” tegas Freeman. “Orang tua dan guru bisa merasa terancam dengan kehadiran mereka dan bereaksi meredam kemampuan mereka. Yang mereka inginkan hanya diterima apa adanya, kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi, dan mendapatkan dukungan moral yang memadai,” papar Freeman lebih jauh. Salah satu contoh anak berbakat yang kemudian gagal untuk berkembang adalah Andrew Halliburton, yang ketika masih berusia delapan tahun telah memahami matematika untuk sekolah menengah tetapi kini hanya bekerja di warung cepat saji McDonald. Contoh lain yang menarik adalah Anna Markland dan Jocelyn Lavin yang telah menjadi bintang sekolah musik Chetham, Manchester, Inggris, ketika berusia 11 tahun. Markland yang kini berusia 46 tahun, berasal Princes Risborough, Buckinghamshire, Inggris dan pada 1982 dinobatkan sebagai Pemusik Termuda Terbaik pleh BBC. Ia kemudian belajar musik di Oxford selama dua tahun dan sekarang menjadi seorang pemusik profesional, yang menurutnya merupakan profesi terbaik di dunia. Sebaliknya, Lavin berbalik dari musik dan berpindah menekuni ilmu pengatahuan alam. Ia kemudian memmperoleh nilai A dalam bidang itu di antara 210 anak berbakat tadi. Tetapi setelah masuk University College London, ia gagal dalam matematika dan astronomi pada usia 17 tahun. Ia kemudian keluar tanpa meraih satu gelar pun. “Saya tak tahu yang ingin saya tekuni kecuali terbang 28
ke luar angkasa,” katanya. Setelah 20 tahun berprofesi sebagai guru matematika, ia kini masih harus bermasalah dengan rumahnya yang dililit masalah kredit. Menurut Professor Freeman, permasalahan lain bagi anak-anak istimewa, mereka sering kali cemerlang di bidang apa saja sehingga mereka cenderung ingin mencoba bidang lain padahal bidang yang terdahlu belum dikuasai betul. Pada dasarnya anak cerdas akan gagal jika mereka ditempatkan di bawah tekanan untuk berkembang. “Kepuasan dan kreatifitas dari masa anak-anak adalah dasar untuk semua pekerjaan besar,” pungkas Freeman. Akibat Lingkungan Hanya Sedikit Anak Berbakat Sukses Anak-anak dengan bakat luar biasa ternyata sama besar kemungkinannya untuk gagal maupun sukses pada masa dewasa. Dalam salah satu penelitian terpaling luas yang pernah diadakan, ditemukan bahwa dari 210 anak berbakat, hanya tiga persen yang akhirnya "jadi orang". Professor Joan Freeman mengatakan dari 210 anakanak yang dia teliti, hanya setengah lusin yang bisa dikatakan meraih 'kesuksesan konvensional'. "Pada usia enam atau tujuh tahun anak berbakat memiliki potensi yang mencengangkan, tetapi banyak dari mereka terjebak dalam situasi potensi terpasung," kata Freeman seperti yang dikutip Daily Mail, Senin. Professor Freeman melacak anak-anak yang berbakat di bidang matematika, seni, dan musik sejak tahun 1974 hingga sekarang. Kebanyakan dari mereka tidak sukses pada masa dewasa karena perlakuan yang mereka alami dan dalam beberapa kasus direngut dari masa kanak-kanak. Dalam beberapa kejadian, orang tua menekan 29
anaknya begitu keras atau malah dipisahkan dari kelompok sebayanya, sehingga akhirnya hanya mempunyai sedikit teman. Ia juga menambahkan 'menjadi istimewa berarti lebih bisa menghadapi hal-hal yang bersifat intelektual tapi tak selalu bisa menghadapi hal-hal emosional. Freeman juga cenderung menekankan bahwa anakanak berbakat sama rapuhnya dengan anak biasa bahkan mungkin "punya kekuatan emosi yang lebih besar". "Saya ingin menegaskan bahwa mereka yang berbakat juga hanya manusia biasa tapi menghadapi tantangantantangan, khususnya harapan yang tidak sesuai kenyataan, biasanya dipandang aneh dan tak bahagia,". "Orang tua dan guru bisa merasa terancam dengan kehadiran mereka dan bereaksi meredam kemampuan mereka. Yang mereka inginkan hanya diterima apa adanya, kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi, dan mendapatkan dukungan moral yang memadai. D. Pemahaman Pada keberbakatan Anak Anak-anak berbakat adalah karunia tersendiri dari Tuhan untuk keluarga, sekolah dan masyarakat yang kerap tidak kita kenali keindahannya. Lebih disayangkan lagi keunggulan mereka kerap tidak dipahami oleh lingkungan keluarga, teman sebaya atau bahkan sekolah. Mutiara indah yang terbenam dalam dirinya ternyata bisa menjadi petaka bagi dirinya. Siapa Anak Berbakat itu?* Ada beragam definisi tentang siapakah anak berbakat. Mulai dari yang sederhana hingga yang komprehensif sekali. Definisi yang sederhana menyatakan bahwa anak berbakat adalah mereka mereka yang berada 2% paling atas dalam perolehan test IQ atau mereka dengan nilai IQ diatas 130. NAGC atau National Association for Gifted Children di Amerika Serikat memiliki persayaratan yang lebih komprehensif, mereka menganjurkan adanya beragam 30
pengukuran (test), menggunakan alat ukur yang valid dan pengumpulan informasi dari berbagai sumber (orang tua, guru, teman sebaya) untuk proses /assessment /anak-anak berbakat ini. Sebuah definisi tentang anak berbakat telah disepakati dalam Seminar Nasional “Alternatif Program Pendidikan bagi Anak Berbakat” yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Kreativitas pada tanggal 12-14 November 1981 di Jakarta sebagai berikut Anak-anak berbakat adalah mereka yang oleh orang-orang profesional diindentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi yang tinggi karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul. Anakanak berbakat tersebut memerlukan program pendidikan yang berdiferensiasi dan/atau pelayanan di luar jangkauan program sekolah biasa agar dapat merealisasikan sumbangan mereka terhadap masyarakat maupun untuk pengembangan diri sendiri. Kehidupan anak-anak berbakat bukan tanpa masalah, baik untuk keluarganya, sekolahnya maupun dirinya sendiri yang diakibatkan oleh keberbakatan yang dimilikinya. Setidaknya ada 5 masalah yang mungkin timbul. Pertama keberbakatan anak-anak tidak selalu mudah kita kenali sehingga kita bisa lalai menyediakan lingkungan yang kondunsif untuk pertumbuhannya. Dibalik perilaku kritis seorang anak mungkin tersimpan intelegensia verbal yang tinggi. Dibalik kebiasaan anak asyik masyuk berimajinasi sendirian barangkali tersimpan kecerdasan visual yang luar biasa.
31
Kedua sebagian anak-anak berbakat memiliki masalah dengan kehidupan emosi mereka. Secara intelegensia mereka melampaui teman-teman sebaya, mereka berpikir dan berpendapat seperti orang dewasa namun emosi mereka masih kanak-kanak. Disintegrasi antara intelektual dan emosi tentunya menciptakan sebuah masalah besar tersendiri bagi mereka. Bukanlah kesalahan mereka bila mereka mengalami kesulitan ini. Oleh karena itu adalah sangat pantas untuk orang tua dan para pendidik untuk menolong mereka dengan cara memahami mereka terlebih dahulu. Ketiga perbedaan intelektual dengan teman sebaya juga menciptakan masalah hubungan antar manusia dengan lingkungan teman sebayanya. Sebagai contoh anak-anak berbakat cenderung berpikir kritis; mereka memiliki harapan yang tinggi, kritis terhadap diri sendiri dan juga mengevaluasi orang lain yang kemudian menimbulkan kesan tidak toleran terhadap yang lain. Teman-teman sebayanya mungkin akan memberi label sebagai seorang anak yang perfeksionis. Keempat mereka mungkin akan menimbulkan kesulitan dengan guru-guru mereka. Kemampuan mereka untuk berpikir secara konsep, abstrak dan senang melakukan pemecahan masalah menyebabkan anak-anak ini mungkin akan menolak hal-hal detail-detail, menolak latihan-latihan dalam bentuk drilling atau bahkan mempertanyakan prosedur mengajar. Mereka bisa dianggap membantah bukan? Berbagai studi menjelaskan betapa pentingnya peran guru dalam pertumbuhan akademis dan sosial emosional dari anak-anak berbakat. NAGC (National Association for Gifted Children) memberikan informasi bahwa para guru yang berhasil mengembangkan anak-anak berbakat adalah mereka yang mampu memberikan insprasi, motivasi, mengurangi tekanan dan kecemasan dari anak-anak berbakat dan menghargai tingkat sensitivitas emosi mereka yang tinggi. 32
Kelima permasalahan anak-anak berbakat menjadi makin kompleks ketika keberbakatannya hadir bersamasama dengan kelemahan khusus misalnya anak-anak yang memiliki kecerdasan visual yang luar biasa (mereka belajar dengan cepat bila melalui gambar) namun bisa saja mereka sangat lemah dalam /auditory sequential processing/ sehingga belajar melalui kata-kata akan membosankan bagi mereka. Anak-anak seperti ini biasanya tidak suka repetisi, tampak kurang perhatian, lemah dalam menghafal namun sesungguhnya mereka bisa sangat kreatif. Kesimpulan Faktor lingkungan yang memahami dan mengakomodasi keberbakatan anak sangat penting bagi pertumbuhan anak-anak berbakat. Memang keberbakatan memiliki kaitan erat dengan faktor-faktor keturunan atau genetika demikian seperti yang dinyatakan oleh The Institute for Behavioral Genetics di University of Colorado. Namun bekal genetis saja tidak cukup untuk seorang anak berbakat bisa tumbuh dengan optimum dan menjadi anggota masyarakat yang produktif. Faktor lingkungan yang kondunsif dan pembelajaran yang sesuai sangat dibutuhkan guna menumbuh kembangkan talenta-talenta miliknya. Dengan kata lain: “Nature acts as foundation, but nurturing is essential for gifted children to excel”. Anak-anak berbakat yang mendapatkan lingkungan dan pembelajaran yang tepat akan menjadi orang dewasa yang mampu berpartisipasi positif dan memberikan kontribusi besar dalam masyarakat. Sebaliknya bila tidak tertangani dengan baik ia dapat menjadi seseorang dengan prestasi dibawah kemampuan aktualnya atau seorang underachiever. Kondisi ini sangat disayangkan tentunya, JC Gowan dalam bukunya dengan judul “The underachieving child: A problem for everyone” dihalaman 247 menyatakan bahwa kehadiran anak-anak berbakat 33
dengan prestasi lebih rendah dari seharusnya (underachiever) adalah “one of the greatest social waste of our culture”. Ini tentunya meneguhkan kembali panggilan kita semua agar menangani anak-anak berbakat dengan penuh kesungguhan.
34
BAB III PERKEMBANGAN DISINKRONI DAN ALAT TEST ANAK BERBAKAT
Istilah Anak berbakat dengan perkembangan disinkkroni diperkenalkan Jean-Caharles Terrasier (1970) mencakup ketidakharmonisan berbagai fase perkembangan, yaitu perkembangan intelektual, psikologis, fisik, motorik, sosial, dan bahasa yang berakibat dalam berbagai tesnya menunjukan ketidak harmonisan
Berbagai ciri perkembangan disinkroni bukan hanya terlihat dalam hasil tes IQ namun juga berbagai test lainnya. Sekalipun anak yang mempunyai profil IQ tidak harmonis merupakan anak beresiko,yaitu dapat mengalami gangguan belajar seperti disleksia, diskalkulia, dan disgrafia. Namun dari hasil penelitian Reuver menunjukan bahwa tidak selalu anak-anak ini mengalami gangguan belajar. Keberbakatan dengan gangguan belajar merupakan suatu kondisi paradoks. Keberbakatan bukanlah suatu penyimpangan,tetapi merupakan perkembangan intelektual, sedangkan Sepesific Learning Disabilities adalah keadaan seseorang yang mengalami gangguan dalam satu atau lebih area inteligensi. Gangguan belajar disebabkan oleh adanya gangguan perkembangan yang mengakibatkan fungsi inteligensi terganggu,berbagai gangguan perkembangan, serta kebutuhan khususnya dalam metode Pendidikan,membutuhkan sejumlah besar keilmuan 35
Untuk menjelaskan. Dalam uji psikologi, anak berbakat dengan gangguan belajar menunjukan profil inteligensi tidak harmonis, hasil uji akan sangat tinggi dalam performa berupa kemampuan abstraksi dan logika analsisi, tetapi tertinggal dalamkemampuan verbal. Kesulitan yangs ering mengikuti hingga dewasa adalah gangguan pada memori jangka pendek yang mengatur kemampuan hafalan,terlihat dari nilai hasil uji digit span test yang rendah, 2-3 ( normal, 2-9). Para ahli audiologi menyebutnya auditorry processing disorder(APD).Artinya bukan telinganya yang terganggu, tetapi proses informasi di otak terganggu sehingga mereka sering tampak seperti tuli. Berbagai gangguan perkembangan lain yang menyertai saat masih balita adalah ketidaksingkronan perkembangan. Motorik kasar berkembang hebat,namun motorik halus tertinggal. Kemampuan pencandraan visual berkembang hebat, tetapi mengalami gangguan dalam penerimaan informasi Melalui telinga. Perkembangan sensoris pun tidak teratur, sensor raba sangat peka sehingga jijik denganbenda basah dan lembek, sering tidak merespon panggilan tetapi terlalu peka suara bising dan mudah terangsang pada suara. Ia sangat berani tapi juga penakut
Keberbakatan sesuai dengan definisi Renzulli, yaitu mempunyai kemampuan inteligensi berupa kemampuan logika analisis dan abstrak tinggi, kreatiuvitas tinggi serta motivasi dan ketahanan kerja tinggi. Namun banyak diantara mereka justru sulit berprestasi di sekolah,karena ia visual learner, berpikir kritis, perfeksionis, kurang percaya diri, dan takut gagal. Kesulitan orang tua menghadapi anak ini adalah kebingungan yang lengkap
36
Anak Berbakat Populasi Khusus Tidak semua anak berbakat berprestasi sesuai dengan potensinya (under-achiever) hingga ada yang putus sekolah. Hal ini tentunya berkaitan dengan berbagai latar belakang pribadi serta lingkungan (ketidak beruntungan), mereka mengalami kendala untuk mewujudkan potensinya. Kelompo/populasi khusus ini meliputi perempuan berbakat dan anak berbakat penyandang ketunaan. Perkembangan Lebih Cepat Bakat anak, lanjut Utami, berkaitan dengan kerja belahan otak kiri dan kanan. Belahan otak kanan berhubungan dengan kreativitas, imajinasi, intuisi. Sedangkan belahan yang kiri untuk kecerdasan. Nah, anak berbakat umumnya menunjukkan IQ di atas rata-rata, yaitu minimal 130. “Namun tak berarti anak dengan IQ rata-rata, yaitu 90-110, tak akan berbakat,” tukas Utami. Anggapan orang bahwa IQ menetap seumur hidup, menurutnya, sama sekali tak benar. ” Ada , kok, anak yang sebelumnya ber-IQ di bawah rata-rata, tapi dengan stimulasi dan pendekatan yang baik bisa berubah jadi di atas rata-rata,” paparnya. Tapi IQ bukan satu-satunya yang menentukan seorang anak disebut berbakat atau tidak. Masih ada faktor lain lagi, yaitu CQ atau kreativitas, yang juga harus di atas rata-rata, minimal 250. Selain itu, tambah Utami, “Ia juga harus memiliki task commitment, yakni kemampuan pengikatan diri terhadap tugas atau motivasi. Jadi, ada keinginan dan ketekunan untuk menyelesaikan sesuatu.” Untuk mendeteksi apakah seorang anak berbakat atau tidak, menurut Utami, bisa dilihat dari perkembangan motoriknya. Anak berbakat, perkembangan motoriknya lebih cepat dibanding anak biasa. Entah dalam berbicara, berjalan, maupun membaca. Misalnya, umur 9 bulan sudah bisa jalan (normalnya, usia 12,5 bulan). Selain itu, ia juga 37
cepat dalam memegang sesuatu dan membedakan bentuk serta warna. Untuk kemampuan membaca, kadang anak berbakat memperolehnya dari belajar sendiri. Yaitu dari mengamati dan menghubung-hubungkan. Misalnya dari memperhatikan lalu-lintas, teve, atau buku. Anak berbakat juga senang bereksplorasi atau menjajaki. “Jadi, kalau ia mempreteli barang-barang, bukan karena dia nakal tapi karena rasa ingin tahunya,” terang Utami. Tentang rasa ingin tahu yang tinggi ini, terangnya lebih lanjut, memang pada umumnya dimiliki anak kecil. Hanya, pada anak berbakat, cara mengamatinya lebih kental dibanding anak-anak biasa. Hal lain yang menjadi karakteristik anak berbakat ialah bicaranya bisa sangat serius. Pertanyaannya sering menggelitik dan tak terduga. Kadang ia tak puas dengan jawaban yang diberikan, sehingga terus berusaha mencari jawaban-jawaban lain.
Pentingnya Stimulasi Lingkungan Perkembangan setiap anak berbeda. Ada yang cepat dalam perkembangan bicara dan bahasanya tapi motoriknya lambat, dan sebagainya. “Bisa saja terjadi, anak yang dulu perkembangan bicaranya lambat, ternyata ketika besar menjadi sarjana sastra yang terkenal,” ujarnya. Dengan kata lain, meski perkembangannya lambat, bisa saja nantinya ia berkembang menjadi anak berbakat dan mengejar ketinggalannya. Hanya saja, hal itu tak akan terjadi dengan sendirinya. “Semuanya tergantung dari lingkungan. Bagaimana stimulasi lingkungan akan sangat mempengaruhi perkembangan bakat anak,” tukas Utami. Semakin dini orang tua memberikan stimulasi, akan semakin baik. Misalnya, dengan mengajak anak bercakapcakap sejak ia masih bayi. “Banyak orang tua menganggap, bayi belum mengerti apa-apa sehingga belum perlu diajak bicara.” 38
Padahal, mengajak anak sering-sering berbicara sangat perlu. “Itu akan merangsang perkembang bahasanya dan berarti membuatnya terangsang untuk berbicara,” tutur Utami. Begitu juga untuk mengembangkan keinginan anak akan eksplorasi. Sejak usia bayi hal ini sudah dapat dilakukan. Misalnya, tempat tidur bayi tak dibiarkan kosong melompong, tapi “diisi” dengan mainan gantung yang dapat merangsangnya. “Sesekali, dekatkan benda-benda yang terang ke dekat matanya agar ia bisa melihat jelas atau menyentuhnya. Ini sama dengan melatih koordinasi antara tangan dan matanya,” kata Utami. Selain itu, tambah pakar kreativitas ini, beri ia kesempatan untuk melatih berbagai keterampilannya. Saat membacakan cerita, misalnya, “Orangtua tak melulu membaca tapi juga mengajukan pertanyaan agar si anak terbiasa berpikir kreatif.” Cukup Alat Sederhana Sarana dan prasarana pendidikan di rumah yang memungkinkan bakat si anak tercium, tentu saja perlu. Buku bacaan, alat musik/olahraga, atau mainan edukatif, sangat penting. Dari benda-benda itulah, akan terlihat ke mana bakat si anak. Apakah pada musik, olahraga, teknik, atau intelektual. “Dari situ juga akan terlihat derajat besarnya bakat tiap anak.” tak semua orang mampu membeli alat-alat musik yang mahal. Untuk mendeteksi bakat musik, tak perlu punya piano. “Cukup dengan radio atau teve. Dari cepatnya si kecil menghapal nyanyian bahkan untuk melodi yang sulit-sulit, itu sudah menunjukkan bakatnya,” terang penulis buku Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah ini. Selain itu, asalkan orang tua kreatif, alam pun sudah menyediakan berbagai sarana. Misalnya, membuat mainan dari biji-bijian atau dedaunan. “Sebaiknya dalam melakukan permainan, orang tua juga ikut terjun bermain. Sehingga anak dapat menikmati kegiatan itu dan mempunyai kepercayaan diri untuk mengembangkannya. 39
Perlakuan Khusus Setelah bakat anak ditemukan, orang tua seyogyanya memberi peluang pada anak untuk mengembangkan bakatnya. Yakni, dengan menciptakan lingkungan yang mendorong perkembangan bakat itu. Seperti sudah disinggung di atas, sekalipun seorang anak berbakat namun lingkungannya tak mendukung, maka ia tak akan berkembang. “Memang anak berbakat akan belajar lebih cepat dan melakukan segala sesuatu lebih baik ketimbang anak biasa, sehingga tampaknya tak perlu mendapatkan perhatian khusus. Setiap anak, lanjutnya, entah ia berbakat atau tidak, punya hak untuk mendapatkan pendidikan yang menarik dan menantang. Tapi karena kebutuhan, minat, dan perilaku yang “lebih” dibanding anak lainnya, mau tak mau, anak berbakat harus mendapatkan pengarahan khusus. Hanya, Utami mengingatkan, jangan sampai perlakuan khusus itu merugikan. Baik bagi si anak itu sendiri maupun anak lain. Misalnya, orang tua sering menonjol-nonjolkan anaknya yang berbakat dibanding anaknya yang lain. Dampak buruknya, ego si anak semakin menghebat dan bisa juga ia rasakan sebagai beban. Sebab, seperti anak-anak lainnya, ia pun punya masalah emosional,” terangnya. Sebaliknya bagi anak lain, bisa timbul rasa persaingan antara saudara. “Kok, dia melulu yang dipuji?” Karena itu, Utami menganjurkan orang tua bersikap tak menunjukkan si berbakat itu istimewa, tapi lebih pada memberikan rangsangan-rangsangan istimewa. Sebetulnya, yang paling penting dilakukan orang tua, kata Utami, “Mencoba menemukan bakat pada setiap anaknya karena masing-masing anak punya kekuatan tersendiri sehingga anak tak perlu merasa iri satu sama lain.” Nah, tunggu apalagi? Semakin cepat dan semakin sering kita memberi rangsangan pada si kecil, bakat terpendamnya pun akan segera kita temukan. 40
Ciri-ciri Intelektual/Belajar Mudah menangkap pelajaran, ingatan baik, perbendaharaan kata luas, penalaran tajam (berpikir logiskritis, memahami hubungan sebab-akibat), daya konsentrasi baik (perhatian tak mudah teralihkan), menguasai banyak bahan tentang macam-macam topik, senang dan sering membaca, ungkapan diri lancar dan jelas, pengamat yang cermat, senang mempelajari kamus maupun peta dan ensiklopedi. Cepat memecahkan soal, cepat menemukan kekeliruan atau kesalahan, cepat menemukan asas dalam suatu uraian, mampu membaca pada usia lebih muda, daya abstraksi tinggi, selalu sibuk menangani berbagai hal. Intelegensi, Bakat, dan Kreativitas. Sangat tertarik sekali melihat ketiga hal diatas. Setiap orang tentu memiliki tingkat intelegensi, bakat/talenta yang diberikan oleh Tuhan, dan juga daya kreativitas yang pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Murid-murid di Sekolah Dasar (SD), ketika melihat teman sekelasnya mengerjakan soal matematika yang sangat rumit dengan waktu yang cukup singkat akan dengan spontan mengatakan kepada anak tersebut, sebut saja Mawar (kasian sekali nama ini, selalu menjadi kambing hitam..haha) "wow, Mawar kamu pintar sekali" Setiap individu dikaruniai intelejensi, bakat, dan juga kreativitas yang berbeda-beda tentunya. Namun, sering kali orang menyebut orang lain pintar jika orang tersebut menguasai/memiliki kepintaran tertentu yang populer khususnya di bidang akademik. Contohnya, pada kasus
41
Mawar diatas (maaf ya Mawar..hehe), orang yang pintar matematika dikategorigan sebagai orang pintar, sedangkan orang yang pintar bermain musik, atau orang yang pintar bermain bulutangkis tidak dibilang pintar. Perbedaan jenis kepintaran ini yang sangat variatif antara satu individu dengan individu lainnya. Seharusnya tidak ada orang yang menganggap dirinya lebih pintar daripada orang lain. Karena pada kenyataannya, yang ia miliki hanya sebagaian, belum tentu ia memiliki tingkat kecerdasan yang sama dengan orang lain pada bidang yang jenisnya berbeda. 1. Intelegensi
Merupakan kemampuan untuk berpikir secara abstrak (Sukardi, 1997) Merupakan kemampuan untuk membuat kombinasi (Notoatmodjo, 1997) Intelegensi sangat ditentukan oleh faktor herediter, kematangan, dan juga pembentukan. Cara untuk menentukan intelegence Quatient (IQ) menurut Binet yaitu dengan membandingkan antara umur kecerdasan (mental age=MA) dengan umur kalender (chronological age=CA). 2. Bakat Bakat berarti punya potensi. Sedangkan pintar bisa didapat dari tekun mempelajari sesuatu,” jelasnya. Tapi meski tekun namun tak berpotensi, seseorang tak akan bisa optimal seperti halnya anak berbakat. “Kalau anak tak berbakat musikal, misalnya. Biar dikursuskan musik 42
sehebat apa pun, ya, kemampuannya sebegitu-begitu saja. Tak akan berkembang.” “Sebaliknya, jika anak berbakat tapi lingkungannya tak menunjang, ia pun tak akan berkembang.” Soal bakat musik tadi, misalnya. Jika di rumah tak ada alat-alat musik, bakatnya akan terpendam Optimalisasi Bakat dan Kreativitas Siswa
Rian Hidayat El-Padary, Guru PAI Yayasan Irtiqo Kebajikan-Ciputat Berbicara bakat, berarti berdiskusi masalah klasik yang belum usai antara teori nativisme, empirisme, dan konvergensi. Perkembangan zaman dewasa ini semakin melesat tajam. Seiring dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat. Semarak dunia seakan terus menerobos tanpa hambatan. Dunia internet salah satu contohnya. Hal ini terjadi juga tentu karena pembuatnya rajin mengasah kreativitas dan potensinya sehingga tidak mengandalkan bakat semata.Memang benar, pada esensinya, setiap manusia terlahir dengan membawa sejuta potensi dan kreativitas. Masalahnya, di antara sekian banyak manusia, ada yang gemar mengasah kemampuannya dan ada pula yang malas menggalinya. Sayangnya lagi, hanya sedikit yang tergerakkan hatinya untuk berpacu dengan potensinya. Inilah masalah yang harus segera kita benahi bersama terhadap siswa-siswa di sekolah, yakni optimalisasi bakat siswa dengan berbagai wahana kreativitas.Setiap manusia diberikan potensi dan kekuatan. Namun, keduanya bersifat tersembunyi, hidden potention Ciri-ciri Kreativitas Dorongan ingin tahunya besar, sering mengajukan pertanyaan yang baik, memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah, bebas dalam menyatakan pendapat, mempunyai rasa keindahan, menonjol dalam 43
salah satu bidang seni, mempunyai pendapat sendiri dan dapat mengungkapkannya serta tak mudah terpengaruh orang lain, rasa humor tinggi, daya imajinasi kuat, keaslian (orisinalitas) tinggi (tampak dalam ungkapan gagasan, karangan, dan sebagainya. Dalam pemecahan masalah menggunakan cara-cara orisinal yang jarang diperlihatkan anak-anak lain), dapat bekerja sendiri, senang mencoba hal-hal baru, kemampuan mengembangkan atau memerinci suatu gagasan (kemampuan elaborasi). Ciri-ciri Motivasi Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terusmenerus dalam waktu lama, tak berhenti sebelum selesai), ulet menghadapi kesulitan (tak lekas putus asa), tak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi, ingin mendalami bahan/bidang pengetahuan yang diberikan, selalu berusaha berprestasi sebaik mungkin (tak cepat puas dengan prestasinya), menunjukkan minat terhadap macam-macam masalah “orang dewasa” (misalnya terhadap pembangunan, korupsi, keadilan, dan sebagainya). Senang dan rajin belajar serta penuh semangat dan cepat bosan dengan tugas-tugas rutin, dapat mempertahankan pendapat-pendapatnya (jika sudah yakin akan sesuatu, tak mudah melepaskan hal yang diyakini itu), mengejar tujuan-tujuan jangka panjang (dapat menunda pemuasan kebutuhan sesaat yang ingin dicapai kemudian), senang mencari dan memecahkan soal-soal. Pola Perkembangan Kreativitas Pakar psikologi tertarik untuk mengetahui pola perkembangan kreativitas karena dua alasan : pertama, mereka ingin mengetahui bagaimana pertumbuhan dan penurunan kreativitas pada macam-macam tipe orang; dan kedua, mereka ingin mengetahui apakah ada masa puncak kala mana kreativitas sebaiknya dilatih.
44
Penelitian semacam ini menghadapi masalah khusus: untuk membandingkan kelompok usia (atau kelompok suku, jenis kelarnin dan lain-lainnya) perlu menggunakan tes yang sama atau sebanding. Namun, hanya sedikit tes yang cocok untuk semua umur.
Tujuan Penggunaan Tes Kreativitas Ada tiga penggunaan utama untuk tes kreativitas, yaitu untuk mengidentifikasi siswa berbakat kreatif, untuk tujuan penelitian, dan untuk tujuan konseling Identifileasi Anak Berbakat Kreatif Sekarang tes kreativitas sering digunakan untuk mengidentifikasi siswa berbakat kreatif untuk program anak berbakat intelektual. Kebanyakan program anak berbakat berasaskan bahwa siswa kreatif perlu diidentifikasi dan kreativitas perlu diajarkan. Dalam seleksi siswa kreatif untuk mendapat tingkat kepercayaan yang tinggi, sebaiknya menggunakan dua sumber (kriteria) untuk mengukur kreativitas. Misalnya, di samping tes kreativitas juga diminta penilaian guru mengenai tingkat kreativitas anak; jika anak mencapai skor tinggi pada kedua kriteria tersebut, kita dapat yakin bahwa anak itu betul-betul kreatif. Kita dapat juga menggunakan dua tes kreativitas yang berbeda, misalnya inventori kepribadian dan tes berpikir divergen. Tidak ada tes kreativitas atau penilaian guru yang begitu dapat diandalkan dan sahihnya sehingga kita bisa menggunakan satu ukuran kreativitas saja yang mampu memberikan taksiran yang cermat dan dapat dipercaya tentang potensi kreatif seseorang.
45
Penelitian Penggunaan kedua dari tes kreativitas adalah untuk penelitian. Penelitian membantu kita memahami perkembangan kreativitas. Tes kreativitas dalam penelitian dapat digunakan dengan dua cara. Pertama, untuk mengidentifikasi orang-orang kreatif dan membandingkan mereka dengan orang-orang biasa. Kedua, tes kreativitas dalam penelitian dapat digunakan untuk menilai dampak pelatihan kreativitas terhadap kekreatifan peserta. Konseling Tes kreativitas dapat juga digunakan dalam bimbingan dan konseling siswa. Konselor atau psikolog sekolah di sekolah dasar dan menengah memerlukan informasi mengenai seorang siswa yang dikirim karena sikapnya yang apatis, tidak kooperatif, berprestasi kurang, atau karena masalah lain. Mungkin saja siswa itu sebetulnya kreatif, tetapi tidak tahan akan pekerjaan rutin yang baginya membosankan, sikap guru yang otoriter dan kurang memberikan kebebasan dalam ungkapan diri. Tes kreativitas dapat membantu konselor, guru, orangtua, dan siswa sendiri untuk mengenali dan memahami bakat kreatif siswa yang terpendam. Informasi ini memungkinkan guru untuk merancang kegiatan yang menantang dan menarik bagi siswa kreatif. Jenis Alat Untuk mengukur Bakat Dan Kreatif Potensi kreatif dapat diukur melalui beberapa pendekatan, yaitu pengukuran langsung pengukuran tidak langsung, dengan mengukur unsur-unsur yang menandai ciri tersebut pengukuran ciri kepribadian yang berkaitan erat dengan ciri tersebut; dan beberapa jenis ukuran yang bukan tes. 46
Pendekatan kelima adalah dengan menilai produk kreatif nyata Tes yang Mengukur Kreativitas secara Langsung Sejumlah tes kreativitas telah disusun dan digunakan, antara lain tes terkenal dari Torrance yang digunakan untuk mengukur pemikiran kreatif (Torrance Test of Creative Thinking: TTCT) yang mempunyai bentuk verbal dan bentuk figural. Yang terakhir ada yang sudah diadaptasi untuk Indonesia, yaitu Tes Lingkaran (Circles Test) dari Torrance. Tes ini Pertama kali digunakan di Indonesia dalam penelitian Utami Munandar (1977) untuk disertasinya "Creativity and Education", dengan tujuan membandingkan ukuran kreativitas verbal dengan ukuran kreativitas figural. Kemudian pada tahun 1988, Jurusan Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia melakukan penelitian standardisasi Tes Lingkaran dan tes ini selanjutnya disebut Tes Kreativitas Figural. Pada tes ini ditentukan nilai baku untuk usia 10 sampai dengan 18 tahun. Tahun 1977 diperkenalkan tes kreativitas pertama yang khusus dikonstruksi untuk Indonesia, yaitu Tes Kreativitas Verbal oleh Utami Munandar, berdasarkan Model Struktur Intelek dari Guilford. Tes ini akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab 3.6. Tes yang Mengukur Unsur-Unsur Kreativitas Kreativitas merupakan suatu konstruk multidimensi, terdiri dari berbagai dimensi, yaitu
yang
dimensi kognitif (berpikir kreatif), dimensi afektif (sikap dan kepribadian), dan dimensi psikomotor (keterampilan kreatif). Masing-masing dimensi meliputi berbagai kategori, 47
misalnya dimensi kognitif dari kreativitas—berpikir divergen—mencakup antara lain kelancaran, kelenturan, dan orisinalitas dalam berpikir, kemampuan untuk memperinci (elaborasi), dan lain-lain. Untuk masing-masing unsur dikonstruksi tes tersendiri, misalnya untuk orisinalitas. Beberapa contoh tes yang mengukur orisinalitas adalah: Tes Menulis Cerita, Tes Penggunaan Batu Bata yang meminta subjek untuk memikirkan berbagai macam penggunaan yang tidak lazim untuk batu bata, Tes Purdue yang biasanya digunakan di kawasan industri, juga meminta subjek untuk memberi macam-macam gagasan untuk penggunaan benda-benda yang berkaitan dengan industri. Tes yang Mengukur Ciri Kepribadian Kreatif Dari berbagai hasil penelitian ditemukan paling sedikit 50 ciri kepribadian yang berkaitan dengan kreativitas. Dari ciri-ciri tersebut disusun skala yang dapat mengukur sejauh mana seseorang memiliki ciri-ciri tersebut. Beberapa tes mengukur ciri-ciri khusus, antara lain adalah: Tes Mengajukan Pertanyaan, yang merupakan bagian dari Tes Torrance untuk berpikir Kreatif. Tes Risk Taking, digunakan untuk menunjukkan dampak pengambilan risiko terhadap kreativitas. Tes Figure Preference dari Barron-Welsh yang menunjukkan preferensi untuk ketidakaturan sebagai salah satu ciri kepribadian kreatif. Tes Sex Role Identity untuk mengukur sejauh mana seseorang mengidentifikasikan diri dengan peran jenis kelaminnya. Alat yang sudah digunakan di Indonesia adalah Bem Sex Role Inventory.
48
Pengukuran Bakat Kreatif secara Non-Tes Dalam upaya mengatasi keterbatasan tes tertulis untuk mengukur kreativitas dirancang beberapa pendekatan alternatif. Daftar Periksa (Checklist) dan Kuesioner Alat ini disusun berdasarkan penelitian tentang karakteristik khusus yang dimiliki pribadi kreatif. Daftar Pengalaman Teknik ini menilai apa yang telah dilakukan seseorang di masa lalu. Beberapa studi menemukan korelasi yang tinggi antara "laporan diri" dan prestasi kreatif di masa depan. Format yang paling sederhana adalah meminta seseorang menulis autobiografi singkat, yang kemudian dinilai untuk kuantitas dan kualitas perilaku kreatif. Metode yang lebih formal adalah The State of Past Creative Activities yang dikembangkan oleh Bell (dikutip Dacey, 1989). Instruksinya: "Daftarlah kegiatan kreatif yang telah Anda lakukan selama 1-3 tahun terakhir. Ini dapat meliputi kegiatan seni, sastra, atau ilmiah. Silakan memperinci kegiatan atau produk yang Anda hasilkan, termasuk pameran untuk umum dari produk tersebut." Setiap kegiatan dinilai berdasarkan seperangkat kriteria. Kemudian individu dinilai secara keseluruhan berdasarkan perangkat kriteria tersebut. Pengamatan Langsung terhadap Kinerja Kreatif Mengamati bagaimana orang bertindak dalam situasi tertentu nampaknya merupakan teknik yang paling absah, tetapi makan waktu dan dapat pula bersifat subjektif. Alat Identifikasi Berdasarkan Enam Bidang Bakat Sesuai dengan definisi U.S.O.E., bakat kreatif merupakan salah satu dari enam bidang keberbakatan. 49
Sebelum lebih khusus membahas tentang cara-cara identifikasi dan ukuran kreativitas yang menjadi fokus perhatian penulisan buku ini, ada 'baiknya jika diperoleh gambaran tentang bagaimana kita dapat menemukenali bidang-bidang bakat lainnya. Definisi Marland tentang keberbakatan membedakan enam bidang keberbakatan, yaitu: • Bakat intelektual umum • Bakat akademik khusus • Bakat kreatif-produktif • Bakat kepemimpinan • Bakat seni visual dan pertunjukan • Bakat psikomotor Identifikasi Kemampuan Intelektual Umum Untuk mengidentifikasi kemampuan intelektual umum biasanya ditentukan taraf inteligensi atau IQ (Intelligence Quotient). Ada dua macam tes inteligensi, yaitu tes inteligensi individual dan tes inteligensi kelompok. Tes inteligensi individual misalnya tes Stanford Binet dan tes Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC), yang keduanya sudah lama digunakan di Indonesia. Tes inteligensi individual merupakan cara yang lebih cermat untuk menemukenali kemampuan intelektual umum anak, karena diberikan secara perorangan sehingga memungkinkan mengobservasi anak ketika dites. Apakah menurut pengamatan kita anak sudah berprestasi secara optimal sewaktu diuji, ataukah ada kesan bahwa ia kurang dapat memusatkan perhatian, mungkin ada masalah pribadi, atau mungkin sebetulnya ia tidak mau dites, atau 50
ada gangguan dari lingkungan (suara-suara keras)? Halhal seperti ini akan mempengaruhi kinerjanya terhadap tes. Namun tes inteligensi individual membutuhkan banyak waktu untuk pengetesannya, dan biaya pengetesan termasuk cukup mahal. Tes inteligensi kelompok lebih efisien, baik dalam ukuran waktu dan biaya. Keterbatasannya adalah bahwa tes inteligensi kelompok tidak memungkinkan kontak dan pengamatan anak selama diuji, sehingga sulit diketahui apakah hasil tes inteligensi kelompok sudah optimal, dalam arti betul-betul menggambarkan kemampuan intelektual anak. Tes inteligensi kelompok yang banyak digunakan di Indonesia adalah tes Progressive Matrices dari Raven, Culture Fair Intelligence Test (CFIT), dan Tes Inteligensi Kolektif Indonesia (TIKI). Yang terakhir khusus dikembangkan untuk Indonesia oleh Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran dan Free University of Amsterdam, Belanda. Tes inteligensi kelompok biasanya digunakan pada tahap pertama, yaitu tahap penjaringan (screening) dengan tujuan dapat menjaring dengan waktu singkat siswa yang memenuhi syarat
Mendidik Anak Menjadi Cerdas & Berbakat Sebagai orang tua masa kini, kita seringkali menekankan agar anak berprestasi secara akademik di sekolah. Kita ingin mereka menjadi juara dengan harapan ketika dewasa mereka bisa memasuki perguruan tinggi yang bergengsi. Kita sebagai masyarakat mempunyai kepercayaan bahwa sukses di sekolah adalah kunci untuk kesuksesan hidup di masa depan. Pada kenyataannya, kita tidak bisa mengingkari bahwa sangat sedikit orang-orang yang sukses di dunia ini yang menjadi juara di masa sekolah. Valentino Rossi 51
(pembalap motor), Bill Gates (pemilik Microsoft), Tiger Wood (pemain golf) adalah beberapa dari ribuan orang yang dianggap tidak berhasil di sekolah tetapi menjadi orang yang sangat berhasil di bidangnya. Kalau IQ ataupun prestasi akademik tidak bisa dipakai untuk meramalkan sukses seorang anak di masa depan, lalu apa? Kemudian, apa yang harus dilakukan orang tua supaya anak-anak mempunyai persiapan cukup untuk masa depannya? Jawabannya adalah: prestasi dalam kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence), dan bukan hanya prestasi akademik. Kemungkinan anak untuk meraih sukses menjadi sangat besar jika anak dilatih untuk meningkatkan kecerdasannya yang majemuk itu. Dr. Howard Gardner, peneliti dari Harvard, menyatkan bahwasannya ia membagi jenis kecerdasan anak menjadi 9 jenis kecerdasan. 1. Cerdas Bahasa. Kecerdasan ini bekerkaitan dengan kecerdasan anak dalam mengola kata ketika berbicara dengan orang lain. 2. Cerdas Gambar . Dalam kajian ini, seoragn anak mulai mempunyai imajinasi tinggi dalam berfikir dan kemudian anak realisasikan dengan menggambar, mencoret-coret, dan lain sebagainya. 3. Cerdas Musik . Kecerdasan semacam ini adalah kecerdasan dalam bermusi, baik itu dalam memainkan, mendengarkan irama, peka terhadap suara dan lain sebagainya. 4. Cerdas Tubuh. Kecerdasan tubuh ini dalam konteks, anak mengalami kemajuan dalam mengola gerak-gerik tubuhnya, sehingga ia mampu tampil secara bergaya dan atraktif. 5. Cerdas Matematika dan Logika. Dalam tingakatan ini, anak telah mulai memahami dan mengerti akan kecerdasan dalam berfikir. Anak akan mulai menggunakan logika dan senang terhadap hal-hal
52
6.
7.
8.
9.
yang kaitannya dengan hitung-menghitung dan ilmu pengetahuan (sains). Cerdas Sosial. Dalam konteks kecerdasan sosial ini, anak mulai tanggapa akan rangsangan keadaan sosial kemasyarakatan. Anak mulai mengerti bagaimana hormat menghormati, toleransi, tolong menolong dan berperasaan kepada orang lain. Cerdas Diri. Dalam fase ini anak telah dapat menyadari kekuatan dan kelemahan diri, serta telah mampu mengenal bakat dan talenta dalam dirinya. Kecerdasan diri ini akan menjadikan anak menjadi percaya diri dalam menjalani hidupnya. Cerdas Alam. Kecerdasan ini, anak mulai mengenal lingkungan sekitar, anak mulai tanggap dan berketertarikan terhadap lingkungan, seprti bunga, pohon dan lain sebagainya. Cerdas Spiritual. Dalam fase ini anak mulai menyadari pentingnya ibadah, dan mengenal keranah keagamaan. Anak mulai takut dengan ancaman neraka dan menginginkan surga, serta mulai merasakan ketakutan pada Tuhan. Dalam hal ini anak mulai mengeksistensi diri dalam hubungannya dengan pencipta alam semesta.
Anda kenal dengan Albert Einstein? Tokoh yang terkenal jenius di bidang sains. Akan tetapi tahukah Anda, bahwa ternyata ia juga sangat cerdas dan pawai dalam bermain biola dan matematika. Sama halnya dengan Leonardo Da Vinci yang memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam bidang olah tubuh, seni, arsitektur, matematika dan fisika. Penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik saja tidak cukup bagi seseorang untuk mengembangkan kecerdasannya secara maksimal. Justru peran orang tua dalam memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh lebih penting dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak. Kecerdasan 53
yang dimiliki manusia dapat lebih dioptimalkan lagi menjadi beberapa cabang, untuk dapat mewujudkannya, perlu campur tangan orang tua dalam emndidik anak, serta membantu anak dalam mengoptimalisasikan kecerdasannya. Perlu Anda ketahui bahwa, salah satu penentu sukses dan tidaknya anak dimasa depannya diakrenakan orang tuanya. Ketika orang tua melakukan tugasnya dengan baik, yaitu dengan mendidik anak dengan mengoptimalisasikan kecerdasan, melatih kemandirian, dan melakukan pengawasan dan bimbingan dalam fase pembelajarannya, amak hasilnya akan baik. Akan tetapi ketika anak dibiarkan begitu saja, maka anak akan menjadi seorang yang susah untuk dapat mandiri dan selalu tergantung dengan orang lain, serta anak akan mengalami ketertinggalan dalam pendidikannya, karena ia telah kehilangan fase kritisnya saat kecil. Kecerdasan anak yang telah terbagi menjadi 9 macam kecerdasan tersebut, seharusnya dijadikan pengetahuan bagi para orang tua. Dengan mengetahui kecerdasan tersebut, orang tua akan tanggap terhadap kondisi tersebut dan melakukan respon positif dengan membantu, serta mendukung anak. Selama ini kreativitas menjadi hal yang terus diteliti oleh para ahli. Kerap muncul pertanyaan mengapa orang ini lebih kreatif dibanding yang lainnya. Kita sering menjumpai orang yang mampu menulis novel, puisi, atau membuat karya-karya lainnya dengan membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Pada tahun 1940an, Guilford mengembangkan model kecerdasan manusia yang kemudian dipakai beberapa ahli sebagai dasar untuk meneliti keativitas anak. Variabel yang diginakan meliputi perbedaan berpikir konvergen dan divergen. Berpikir konvergen bertujuan 54
untuk menemukan satu jawaban yang benar yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang kurang kreatif. Pada kenyataannya, orang-orang kreatif lebih berpikir secara divergen tanpa terikat pendapat umum lainnya. Dasar inilah yang membuat seorang ilmuan Roger W Sperry dari California Institute of Technology pada tahun 1960an memperkenalkan perbedaan antara ortak kanan dan kiri. Otak kiri digunakan untuk berfikir konvergen dan otak kanan untuk divergen. Dengan demikian, kreativitas dapat dikembangkan, khususnya sejak dini pada masa kanak-kanak.
Peran Lingkungan Pada dasarnya, setiap orang memiliki potensi kreatifitas tersendiri. Potensi tersebut bergantung pada lingkungan dimana mereka tinggal. Oleh kareana itu, anda sebagai orang tua juga harus menciptakan lingkungan yang mendukung kreatifitas anak Anda. Seorang konsultan senior di Propotenzia psycology & HR Consultant, Lina, memaparkan beberapa ciri-ciri anak kreatif seperti sellau ingin tahu, memiliki minat yang sangat luas, percaya diri, berani beropendapat, spontan, berjiwa petualang, dan berani mengambil resiko. Sedangkan anak yang cerdas memiliki ingatan yang baik, mudah menangkap pelajaran, dan cepat mendapatkan problem solving. Terkadang kreativitas muncul saat kita tidak sedang melakukan pekerjaan yang ditekuni kareana otak terus bekerja mengolah informasi yang sudah diterimanya. Jadi, pastikan anak dalam kondisi ceria dengan emosi yang stabil untuk membangun kemampuan kreativitasnya.
55
Temperamen Sehubungan dengan daya kreativitas anak, sifat yang temperamen juga masih sering mempengaruhi. Ada tiga jenis temperamen yang umum terjadi yaitu easy going, slow to warm, dan difficult. Anak yang easy going umumnya ceria dan mudah bergaul dengan sesama teman. Sedangkan anak dengan sifat slow to warm memerlukan waktu lebih untuk bisa akrab dengan yang lain. Berbeda dengan sifat temperamen yang difficult dimana biasanya anak dengan sifat ini mudah sedih, marah, dan cengeng. Jadi, orang tua harus membantu anak untuk mengembangkan diridari sifat temperamennya.
Langkah-langkah Langkah awal yang harus dilakukan orang tua adalah menerima dan menghargai semua keunikan anak. Anak yag kreatif juga didukung dari suasana keluarga yang memberi kebebasan pada anak. Selain itu, orang tua juga harus selalu mendorong anak untuk mengkomunikasikan apa yang menjadi keinginannya. Perlu diingat pula, anak yang kreatif biasanya juga tumbuh dari jiwa orang tua yang kreatif yang selalu mengajak anak untuk melakukan aktivitas-aktivitas baru seperti memasak, jalan-jalan kemuseum, memperbaiki mainan, dan membuat barang kerajinan tangan
56
BAB IV FAKTOR PENDUKUNG PENGEMBANGAN IQ,EQ DAN SQ A. IQ, EQ dan SQ Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus. Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Boleh jadi, secara langsung maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya. Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang 57
komprehensif tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet. Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama
58
apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang. Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age). Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspekaspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang. Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan
59
saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup. Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saatsaat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience). Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari. Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang 60
sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ) Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab Di Indonesia, penulis mencatat ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid – Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang 61
pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya. Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang : (1) Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke Bulan dan luar angkasa 62
lainnya, menciptakan teknologi informasi dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gununggunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku manipulatif). Manusia telah berhasil menciptakan “raksasaraksasa teknologi” yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah bersiap-siap untuk menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama seperti Dinosaurus Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan pinter, 63
dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi maupun sebagai pendidik (calon pendidik)! Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terusmenerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement). Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang benar pintar dan cerdas.. B. Emosi Hingga saat ini para ahli tampaknya masih beragam dalam memberikan rumusan tentang emosi dengan orientasi teoritis yang bervariasi pula. Kita mencatat beberapa beberapa teori tentang emosi dengan sudut pandang yang berbeda, diantaranya: teori Somatic dari William James, teori Cannon-Bard, teori Kogntif SingerSchachter, teori neurobiological dan teori evolusioner Darwin. Perbedaan kerangka teori inilah yang menyebabkan kesulitan tersendiri untuk merumuskan 64
tentang emosi secara tunggal dan universal. Terdapat sekitar 550 sampai 600 kata dalam bahasa Inggris yang memiliki makna yang sama dengan kata emosi, baik itu dalam bentuk kata kerja, kata benda, kata sifat, dan kata keterangan Meski tidak didapati rumusan emosi yang bersifat tunggal dan universal, tetapi tampaknya masih bisa ditemukan persesuaian umum bahwa keadaan emosional merupakan satu reaksi kompleks yang berkaitan dengan kegiatan dan perubahan-perubahan secara mendalam yang dibarengi dengan perasaan kuat atau disertai dengan keadaan afektif Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga variabel, yaitu: (1) rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus); (2) perubahan–perubahan fisiologis yang terjadi pada individu; dan (3) pola sambutan. Dalam situasi tertentu, pola sambutan yang berkaitan dengan emosi seringkali organisasinya bersifat kacau dan mengganggu, kehilangan arah dan tujuan. Berkenaan dengan perubahan jasmaniah yang terjadi terkait dengan emosi seseorang, Syamsu Yusuf, memberikan penjelasan sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini: Terpesona Marah Terkejut Kecewa Sakit marah Cemas Takut Tegang
Reaksi elektris pada kulit Peredaran darah bertambah cepat Denyut jantung bertambah cepat Bernafas panjang Pupil mata membesar Air liur mengering Berdiri bulu roma Terganggu pencernaan, otot tegang dan bergetar.
65
Selanjutnya, dia mengemukakan pula tentang ciri-ciri emosi, yaitu: (1) lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnnya seperti pengamatan dan berfikir; (2) bersifat fluktuatif atau tidak tetap, dan (3) banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera dan subyektif. Lebih jauh, Nana Syaodih Sukmadinata (2005) mengemukakan empat ciri emosi, yaitu: 1. Pengalaman emosional bersifat pribadi dan subyektif. Pengalaman seseorang memegang peranan penting dalam pertumbuhan rasa takut, sayang dan jenis-jenis emosi lainnya. Pengalaman emosional ini kadang–kadang berlangsung tanpa disadari dan tidak dimengerti oleh yang bersangkutan kenapa ia merasa takut pada sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu ditakuti. Lebih bersifat subyektif dari peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berfikir (Syamsu Yusuf, 2003) 2. Adanya perubahan aspek jasmaniah. Pada waktu individu menghayati suatu emosi, maka terjadi perubahan pada aspek jasmaniah. Perubahanperubahan tersebut tidak selalu terjadi serempak, mungkin yang satu mengikuti yang lainnya. Seseorang jika marah maka perubahan yang paling kuat terjadi debar jantungnya, sedang yang lain adalah pada pernafasannya, dan sebagainya. 3. Emosi diekspresikan dalam perilaku. Emosi yang dihayati oleh seseorang diekspresikan dalam perilakunya, terutama dalam ekspresi roman muka dan suara/bahasa. Ekspresi emosi ini juga dipengaruhi oleh pengalaman, belajar dan kematangan. 4. Emosi sebagai motif. Motif merupakan suatu tenaga yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan. Demikian juga dengan emosi, dapat mendorong sesuatu kegiatan, kendati demikian 66
diantara keduanya merupakan konsep yang berbeda. Motif atau dorongan pemunculannya berlangsung secara siklik, bergantung pada adanya perubahan dalam irama psikologis, sedangkan emosi tampaknya lebih bergantung pada situasi merangsang dan arti signifikansi personalnya bagi individu Motif lebih berkenaan pola habitual yang otomatis dari pemuasan, sementara reaksi emosional tidak memiliki pola atau cara-cara kebiasaan reaktif yang siap pakai. Di lain pihak, Fehr & Russel (1984) Shaver, Schwarts, Kirson & O’Connor (1987) menyebutkan, emosi memiliki tiga bentuk, yaitu passivity, intentionality, dan subjectivity. Passivity berasal dari kata Yunani kuno abad ke-18 yaitu “pathe”, artinya sama dengan “nafsu” atau “hasrat”. Makna dasar dari passivity adalah berubah secara drastis, terutama berubah menjadi sangat buruk. Kata “pasif” seringkali digunakan dalam menerangkan kata-kata emosi. Sehingga kata-kata semacam “jatuh cinta”, “terjebak amarah” dikonotasikan sebagai tindakan pasif. Artinya, emosi hanyalah tindakan refleks sebagai hasil pengalaman sensoris sederhana, yang berada di bawah kontrol pribadi. Padahal sejatinya, manusia hidup memiliki kontrol yang lebih tidak sekadar emosinya, sehingga emosi tidak sekadar pasif. Intentionality (kesengajaan) masih sering dikaitkan dengan “nafsu”, tapi bisa bermakna yang sama sekali berbeda dengan passivity jika diterapkan dalam pengertian sehari-hari. Intentionality maksudnya, bahwa emosi terjadi karena suatu kesengajaan. Misalnya, orang tidak marah secara tiba-tiba, tanpa sebab musabab tetapi selalu ada sesuatu yang membuat dia marah, atau takut terhadap sesuatu, senang terhadap sesuatu, dan seterusnya. Sesuatu itu adalah objek kesengajaan dari emosi, sebagai hasil dari evaluasi dari sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya. Subjectivity. Biasanya, emosi selalu dikaitkan dengan perbuatan subjektif sebagai akibat dari sebuah pengalaman diri terhadap objek eksternal. 67
Meski demikian, emosi juga bersifat objektif, karena bisa dinilai sebagai baik atau buruk; bermanfaat atau berbahaya, bergantung kepada penilaian pribadi terhadap emosi tersebut. Perasaan dan emosi pada dasarnya merupakan dua konsep yang berbeda tetapi tidak bisa dilepaskan. Perasaan selalu saja menyertai dan menjadi bagian dari emosi. Perasaan (feeling) merupakan pengalaman yang disadari yang diaktifkan oleh rangsangan dari eksternal maupun internal (keadaan jasmaniah) yang cenderung lebih bersifat wajar dan sederhana. Demikian pula, emosi sebagai keadaan yang terangsang dari organisme namun sifatnya lebih intens dan mendalam dari perasaan. Perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang, tersembunyi dan tertutup ibarat riak air atau hembusan angin sepoy-sepoy sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka, ibarat air yang bergolak atau angin topan, karena menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah yang bisa diamati. Contoh: orang merasa marah atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, dalam konteks ini, marah merupakan perasaan yang wajar, tetapi jika perasaan marahnya menjadi intens dalam bentuk angkara murka yang tidak terkendali maka perasaan marah tersebut telah beralih menjadi emosi. Orang merasa sedih karena ditinggal kekasihnya, tetapi jika kesedihannya diekspresikan secara berlebihan, misalnya dengan selalu diratapi dan bermuram durja, maka rasa sedih itu sebagai bentuk emosinya. Perasaan dan emosi seseorang bersifat subyektif dan temporer yang muncul dari suatu kebiasaan yang diperoleh selama masa perkembangannya melalui pengalaman dari orang-orang dan lingkungannya. Perasaan dan emosi seseorang membentuk suatu garis kontinum yang bergerak dari ujung yang yang paling postif sampai dengan paling begatif, seperti: senang-tidak senang 68
(pleasant-unpleasent), suka-tidak suka (like-dislike), tegang-lega (straining-relaxing), terangsang-tidak terangsang (exciting-subduing). Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu: emosi sensoris dan emosi psikis. Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar. Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, seperti : (1) perasaan intelektual, yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran; (2) perasaan sosial, yaitu perasaan yang terkait dengan hubungan dengan orang lain, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok; (3) perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral); (4) perasaan keindahan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keindahan akan sesuatu, baik yang bersifat kebendaan maupun kerohanian; dan (5) perasaan ke-Tuhan-an, sebagai fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (Homo Divinas) dan makhluk beragama (Homo Religious) Macam-macam emosi individu, diantaranya: (1) takut, cemas dan khawatir. Ketiga macam emosi ini berkenaan dengan rasa terancam oleh sesuatu; (2) marah dan permusuhan, yang merupakan suatu perayaan yang dihayati seseorang atau sekelompok orang dengan kecenderungan untuk menyerang; (3) rasa bersalah dan duka, yang merupakan emosi akibat dari kegagalan atau kesalahan dalam melakukan perbuatan yang berkenaan norma; dan (4) cinta, yaitu jenis emosi yang menurut Erich Fromm berkembang dari kesadaran manusia akan keterpisahannya dengan yang lain, dan kebutuhan untuk mengatasi kecemasan karena keterpisahan tersebut. Setiap orang memiliki pola emosional masingmasing yang berupa ciri-ciri atau karakteristik dari reaksireaksi perilakunya. Ada individu yang mampu menampilkan 69
emosinya secara stabil yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengontrol emosinya secara baik dan memiliki suasana hati yang tidak terlau variatif dan fluktuatif. Sebaliknya, ada pula individu yang kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki stabilitas emosi, biasanya cenderung menunjukkan perubahan emosi yang cepat dan tidak dapat diduga-duga. Tingkat kematangan emosi (emotional maturity) seseorang dapat ditunjukkan melalui reaksi dan kontrol emosinya yang baik dan pantas, sesuai dengan usianya. Adalah hal yang wajar bagi seorang anak kecil usia 3-5 tahun, apabila dia merasa kecewa ketika tidak dipenuhi keinginannya untuk dibelikan permen coklat atau mainan anak-anak dan kemudian mengekspresikan emosinya dengan cara menangis dan berguling-guling di lantai. Tetapi, akan menjadi hal yang berbeda, jika hal itu terjadi pada seorang remaja atau dewasa dan jika hal itu benarbenar terjadi maka jelas dia belum menunjukkan kematangan emosinya. Sekilas telah dikemukakan di atas bahwa pola sambutan emosional seringkali organisasinya kacau-balau dan hal ini sangat tampak pada mereka yang mengalami gangguan kekacauan emosional (emotional disorder) yaitu sejenis penyakit mental dimana reaksi emosionalnya tidak tepat dan kronis serta sangat menonjol atau menguasai kepribadian yang bersangkutan. Untuk kasus-kasus kekacauan emosi yang sangat ekstrem biasanya diperlukan terapi tersendiri dengan bantuan ahli. Karena sifatnya yang dinamis, bisa dipelajari dan lebih mudah diamati, maka para ahli dan peneliti psikologi cenderung lebih tertarik untuk mengkaji tentang emosi daripada unsur-unsur perasaan. Daniel Goleman salah seorang ahli psikologi yang banyak menggeluti tentang emosi yang kemudian melahirkan konsep Kecerdasan Emosi, yang merujuk pada kemampuan mengenali 70
perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain. Sejalan dengan usianya, emosi seorang individu pun akan terus mengalami perkembangan, mulai dari. Dengan mengutip pendapat Bridges, Loree (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) menjelaskan proses perkembangan dan diferensiasi emosional pada anak-anak, sebagai berikut Usia Pada saat dilahirkan
0 – 3 bln 3 – 6 bln 9 – 12 bln
Ciri-Ciri Bayi dilengkapi kepekaan umum terhadap rangsangan – rangsangan tertentu (bunyi, cahaya, temperatur) Kesenangan dan kegembiraan mulai didefinisikan dari emosi orang tuanya Ketidaksenangan berdiferensiasi ke dalam kemarahan, kebencian dan ketakutan Kegembiraan berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang
71
DAFTAR PUSTAKA Alwison, (2010), Psikologi Kepribadian, Malang : UMM Press Buescher, Thomas M. & Higham, Sharon. (1990). Helping Adolescents Adjust to Giftedness. ERIC Digest #E489. ERIC Clearinghouse on Handicapped and Gifted Children. Internet: http://ericec.org/ericec.htm. Buescher, T. M. (1985). A framework for understanding the social and emotional development of gifted and talented adolescents. ROEPER REVIEW, 8(1), 10-15. Delisle, J., & Galbraith, J. (1987). The Gifted Kids Survival Guide, II. Minneapolis: Free Spirit. .............. (1985). Counseling Gifted Persons: a Lifelong Concern. Roefer Review, 8 (1), 4-5. ERIC Clearinghouse on Handicapped and Gifted Children. (1990). Giftedness and the Gifted: What's It All About?. ERIC EC Digest #E476. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC): Internet: http://ericec.org/ericec.htm Erikson, E. (1968). Identity, Youth, and Crisis. New York: Norton. Feldhusen, J. (1989). Synthesis of Research on Gifted Youth. Educational Leadership, 46(6), 6-11. Florey, Janice - Tafoya, Nanc. (1988). Identifying Gifted and Talented American Indian Students: An Overview. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small Schools Las Cruces NM. ERIC Digest. Internet: http://ericec.org/ericec.htm.
72
Galbraith, J. (1983). The Gifted Kids Survival Guide, Ages 11-18. Minneapolis: Free Spirit. Gardner, H. (1993). Frames of mind. New York: Bantam Books. Hoover, S., Sayler, M., & Feldhusen, J. (1993). Cluster Grouping of Gifted Students at the Elementary Level. Roeper Review, 16(1), 13-15. http://psiko-indonesia.blogspot.com/2007/01/fobiasekolah.html Lumbantobing, S.M (1997). Anak dengan Mental Terbelakang. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Marland, S. (1972). Education of the gifted and talented. Report to Congress. Washington, DC: U.S. Government Printing Office. Miller, Richard C. (1990). Discovering Mathematical Talent. The Council for Exceptional Children. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC): Internet: http://ericec.org/ericec.htm. Nevid, J.S., Rathus, S.A.,& Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal, Edisi Kelima Jilid 2 (Terjemahan). Jakarta: Erlangga Prio Suyogi, 2010. Pendidikan Karakter Anak. Yogyakarta. Laskar Matahari Publishingnal Rose Mini, (2007), Panduan Mengenal Dan Mengasah Kecerdasan Majemuk Anak, Jakarta : Indocam Prima Renzulli,
J.
(1986). The Three-Ring
Conception
of 73
Giftedness: A Developmental Model for Creative Productivity. In R. J. Sternberg and J. E. Davidson (Eds.), Conceptions of giftedness (pp. 53-92). New York: Cambridge University Press. Rogers, K. (1993). Grouping the Gifted and Talented. Roeper Review, 16(1), 8-12. Sarlito W Sarwono, (2010), Pengantar Psikologi Umum, Jakarta : Rajawali Press Supratiknya, A. (1995). Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta : Kanisius Sternberg, R. & Wagner, R. (1982). A Revolutionary Look at Intelligence. Gifted Children Newsletter, 3, 11 Winebrenner, Susan & Devlin, Barbara. (1996). Cluster Grouping of Gifted Students: How to Provide Full-time Services on a Part-time Budget. ERIC EC Digest #E538. ERIC Digest. Internet: http://ericec.org/ericec.htm
74