PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Sitriah Salim Utina IAIN Sultan Amai Gorontalo
ABSTRAK Pendidikan merupakan hak setiap warga Negara, tanpa ada pengecualian. Pendidikan merupakan suatu wadah bagi setiap individu dalam proses belajar, untuk mengembangkan IQ, EQ, SQ, maupun skill serta potensi yang ada dalam dirinya. Belajar merupakan proses penting dalam pembentukan kepribadian dan kedewasaan seseorang. Dalam penjelasan Undang-undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dapat dipahami bahwa setiap anak berhak untuk meningkatkan segala potensi yang ada dalam dirinya melalui pendidikan. Akan tetapi tidak semua anak terlahir dalam kondisi normal dan sempurna. Tidak sedikit kita jumpai anak-anak yang lahir dengan kondisi yang kurang normal, yang memiliki gangguan pada perkembangan fisik dan mentalnya. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa” (ALB) yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Anak Berkebutuhan Khusus yaitu; Anak yang mengalami hendaya (impairment) penglihatan (tunanetra), Anak dengan hendaya pendengaran dan bicara (tunarungu wicara), Anak dengan hendaya perkembangan kemampuan (tunagrahita), Anak dengan hendaya kondisi fisik atau motorik (tunadaksa), Anak dengan hendaya perilaku maladjustment, Anak dengan hendaya autism (autism children), Anak dengan hendaya hiperaktif (attention deficit disorder with hyperactive), Anak dengan hendaya belajar (learning disability atau specific learning disability). Anak dengan hendaya kelainan perkembangan ganda (multihanddicapped and developmentally disabled children).Prinsip pendidikan anak disability yaitu: Prinsip Kasih Sayang, Prinsip Layanan Individual, Prinsip Kesiapan, Prinsip Keperagaan, Prinsip Motivasi, Prinsip Ketrampilan, Prinsip Penanaman dan Penyempurnaan Sikap. Kata Kunci: Pendidikan, Anak Berkebutuhan Khusus, Jenis-jenis ABK, Prinsip Disability, PENDAHULUAN Pendidikan merupakan hak setiap warga Negara, tanpa ada pengecualian. Pendidikan merupakan suatu wadah bagi setiap individu dalam proses belajar, untuk mengembangkan IQ, EQ, SQ, maupun skill serta potensi yang ada dalam dirinya. Belajar merupakan proses penting dalam pembentukan kepribadian dan kedewasaan seseorang. Dalam Q.S. Al-Alaq ayat 1-5 Allah berfirman: "Q Wà ÕC°% ]C_60_ WQ \] §ª¨ WQ \] s° \¯PXq ª2Ôy¯ Ú WmÙ §¨ ª2Q V Ù¯ ]2 WÆ s°
§¬¨ Ä3WmÙ)] \{XqXT Ú WmÙ
§«¨
§®¨ Ø/V!ØÈWc Ô2V W% ]C_60_ ]2 WÆ 1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak 1 diketahuinya.
Ayat tersebut diatas merupakan ayat yang pertama kali turun yang mengindikasikan kepada kita bahwa belajar atau pendidikan merupakan sesuatu yang diwajibkan. Ayat tersebut juga memberikan pemahaman kepada kita bahwa Allah memerintahkan kita untuk belajar, agar mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak kita ketahui. Dengan membaca kita akan mengetahui banyak hal, namun yang dimaksudkan dalam ayat ini bukan membaca dalam konteks yang sempit. Namun lebih dari itu kita diharapkan dapat membaca berbagai hal seperti membaca perasaan dan emosi orang lain termasuk anak didik kita. Selain itu juga kita dapat membaca apa yang diinginkan oleh anak didik. Dengan demikian pendidikan merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan. Pendidikan adalah proses interaksi antara siswa dengan dirinya sendiri (konsentris), siswa dan alam sekitar (horisontal) dan interaksi siswa dengan Allah SWT (vertikal). Dalam Undang-Undang RI disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalaian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa 2 dan Negara. 2
1
72
Al-Qur’anul Karim, Kemenag
Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, hal. 2.
Selanjutnya dalam pasal 5 disebutkan bahwa: Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (ayat 1); Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan/atau social berhak memperoleh pendidikan khusus (ayat 2); Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus 3 (ayat 3). Berdasarkan Undang-undang tersebut dapat dipahami bahwa setiap anak berhak untuk meningkatkan segala potensi yang ada dalam dirinya melalui pendidikan. Akan tetapi tidak semua anak terlahir dalam kondisi normal dan sempurna. Tidak sedikit kita jumpai anak-anak yang lahir dengan kondisi yang kurang normal, yang memiliki gangguan pada perkembangan fisik dan mentalnya. Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan dalam masyarakat awam, apakah anak-anak yang memiliki kelainan atau kekurangan secara fisik maupun mentalnya berhak mendapatkan pengajaran? Ataukan anakanak ini hanya berhak menjalani hidup tanpa perlu adanya pendidikan dalam kehidupannya?? Jika anak-anak yang memiliki kekurangan dan keterbatasan atau anak-anak berkebutuhan khusus ini berhak mendapatkan pengajaran, lantas siapakah yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendidikan bagi mereka?? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya diharapkan bisa dijawab bukan hanya dengan katakata, akan tetapi diwujudkan dengan bukti secara riil bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini. Jawabanjawaban yang diinginkan bukan hanya menjadi tugas pemerintah akan tetapi merupakan tugas kita semua, warga Negara yang “masih” peduli terhadap kebutuhan pendidikan anak-anak yang memiliki keterbatasan dan kekurangan. A. PEMBAHASAN PENGERTIAN Keterbatasan atau Disability (cacat, ketidakmampuan); organ tubuh yang cacat berat, tidak ada (tidak berfungsi), rusak, terganggu, atau sangat kurang, juga berkaitan dengan gangguan fung4 sional. Handicapped (penyandang cacat); memiliki kemampuan di bawah normal, atau punya cacat anatomis atau fungsional, yang membuat diri se5 seorang sulit untuk bersaing dengan kawan sebaya . Anak Berkebutuhan Khusus (special needs children) dapat diartikan sebagai anak yang lambat (slow) atau mengalami gangguan (retarded) yang tidak akan pernah berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya. Anak Berkebutuhan Khusus juga dapat diartikan sebagai anak yang mengalami gangguan fisik, mental, inteligensi, dan 3 4
hal. 139
5
Ibid, hal 7 J.P Chaplin, 2006, Kamus Lengkap Psikologi, Ibid. hal. 220
emosi sehingga membutuhkan pembelajaran secara 6 khusus. Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti disability, impairment, dan handcap. Menurut World Health Organization (WHO), defenisi dari masing-masing 7 istilah itu adalah sebagai berikut: a. Disability, keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari impairment) untuk menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam batas normal, biasanya digunakan dalam level individu b. Impairment, kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis, atau struktur anatomi atau fungsinya, biasanya digunakan pada level organ. c. Handicap, ketidakberuntungan individu yang membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada individu. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa” (ALB) yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Di Negara Indonesia anak yang berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah diberikan layanan antara lain sebagai berikut: 1. Anak yang mengalami hendaya (impairment) penglihatan (tunanetra), khususnya anak buta (totally blind), tidak dapat menggunakan indera penglihatannya untuk mengikuti segala kegiatan belajar maupun kehidupan sehari-hari. Umumnya kegiatan belajar dilakukan dengan rabaan atau taktil karena kemampuan indera raba sangat menonjol untuk menggantikan indera penglihatan. 2. Anak dengan hendaya pendengaran dan bicara (tunarungu wicara), pada umumnya mereka mempunyai hambatan pendengaran dan kesulitan melakukan komunikasi secara lisan dengan orang lain. 3. Anak dengan hendaya perkembangan kemampuan (tunagrahita), memiliki problema belajar yang disebabkan adanya hambatan perkembangan intelligences, mental, emosi, social, dan fisik. 4. Anak dengan hendaya kondisi fisik atau motorik (tunadaksa). Secara medis dinyatakan bahwa mereka mengalami kelainan pada tulang, persendian, dan saraf pengerak otot-otot tubuhnya, sehingga digolongkan sebagai anak yang membutuhkan layanan khusus pada gerak anggota tubuhnya. 5. Anak dengan hendaya perilaku maladjustment. Anak yang berperilaku maladjustment sering disebut dengan anak tunalaras. Karakteristik yang menonjol antara lain sering membuat keonaran 6
E. Kosasih, 2012, Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus, Yrama Widya, hal. 1 7 Ibid. hal. 2
73
6.
7.
8.
9.
secara berlebihan dan bertendensi ke arah perilaku criminal. Anak dengan hendaya autism (autism children). Anak autistic mempunyai kelainan ketidakmampuan berbahasa. Hal ini diakibatkan oleh adanya cedera pada otak. Secara umum anak autistic mengalami kelainan berbicara di samping mengalami gangguan kemampuan intelektual dan fungsi saraf. Kelainan anak autistic meliputi kelainan berbicara, kelainan fungsi saraf dan intelektual, serta perilaku yang ganjil. Anak autistic mempunyai kehidupan social yang aneh dan terlihat seperti orang yang selalu sakit, tidak suka bergaul, dan sangat terisolasi dari lingkungan hidupnya. Anak dengan hendaya hiperaktif (attention deficit disorder with hyperactive). Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms. Symptoms terjadi disebabkan oleh beberapa factor, yaitu kerusakan pada otak (brain damage), kelainan emosional (an emotional disturbance), kurang dengar (a hearing deficit), atau tunagrahita (mental retardation). Banyak sebutan atau istilah hiperaktif atau ADD-H, antara lain minimal cerebral dysfunction, minimal brain damage (istilah ini sudah tidak dipergunakan lagi oleh psikolog atau paedagog), minimal cerebral palsy, hyperactive child syndrome, dan attention deficit disorder with hyperactive. Ciri-ciri yang dapat dilihat, antara lain selalu berjalan, tidak mau diam, suka mengganggu teman, suka berpindahpindah, sulit berkonsentrasi, sulit mengikuti perintah atau suruhan, bermasalah dalam belajar dan kurang atensi terhadap pelajaran. Anak dengan hendaya belajar (learning disability atau specific learning disability). Istilah specific learning disability ditujukan pada siswa yang mempunyai prestasi rendah dalam bidang akademik tertentu, seperti membaca, menulis, dan kemampuan matematika. Dalam bidang kognitif umumnya mereka kurang mampu mengadopsi proses informasi yang datang pada dirinya melalui penglihatan, pendengaran maupun persepsi tubuh. Perkembangan emosi dan social sangat memerlukan perhatian, antara lain konsep diri, daya berpikir, kemampuan social, kepercayaan diri, kurang menaruh perhatian, sulit bergaul dan sulit memperoleh teman. Kondisi kelainan disebabkan oleh hambatan persepsi (perceptual handicaps), luka pada otak (brain injury), ketidakberfungsian sebagian fungsi otak (minimal brain dysfunction), disleksia (dyslexia), dan afasia perkembangan (developmental aphasia). Anak dengan hendaya kelainan perkembangan ganda (multihanddicapped and developmentally disabled children). Mereka sering disebut dengan istilah tunaganda yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup hambatan-hambatan perkembangan neurologis. Hal ini disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan kemampuan pada aspek inteligensi, gerak,
74
bahasa atau hubungan pribadi di masyarakat. Kelainan perkembangan ganda juga mencakup kelainan perkembangan dalam fungsi adaptif. Mereka umumnya memerlukan layanan-layanan pendidikan khusus dengan modifikasi metode 8 secara khusus. PERBEDAAN ISTILAH DISABILITY DAN HANDICAP Anak yang berkebutuhan khusus seperti yang diuraikan di atas, tentunya memiliki cara dan metode tersendiri untuk belajar. Hal yang harus diketahui oleh para guru yang menangani anakanak yang berkebutuhan khusus adalah bahwa anak-anak ini harus diperlakukan sebagaimana anak-anak lainnya hanya saja caranya yang berbeda. Untuk itu guru, masyarakat dan orangtua harus bisa membedakan istilah keterbatasan (disability) dan istilah cacat (handicap). Istilah keterbatasan (disability) dan cacat (handicap) seringkali tertukar penggunaannya, tetapi sekarang terdapat perbedaan di antara keduanya. Keterbatasan (disability) mengacu pada terbatasnya fungsi seseorang sehingga menghalangi kemampuan individu tersebut. Cacat (handicap) adalah suatu kondisi yang dibebankan pada seseorang yang memiliki keterbatasan. Kondisi ini dapat dibebankan oleh masyarakat, 9 lingkungan fisik, atau sikap orang itu sendiri. Penjelasan yang serupa juga diutarakan oleh David Smith tentang perbedaan konsep antara istilah disability dan handicap. Diasability adalah keadaan actual, fisik, mental dan emosi. Misalnya orang yang buta atau tuli, mereka memiliki disability, ketidakmampuan, yaitu orang tersebut tidak dapat mendengar atau melihat. Handicap adalah keterbatasan yang terjadi pada individu oleh karena disability. Keterbatasan ini seringkali lebih disebabkan oleh sikap dan anggapan disbanding kebutuhan yang objektif. Misalnya, wanita yang tunarungu mungkin akan lebih sulit untuk hidup dan bekerja di masyarakat dikarenakan prasangka dari orang lain daripada disebabkan oleh ketidak10 mampuan untuk mendengar. Selanjutnya para pendidik, semakin sering menyebut “anak-anak yang memiliki keterbatasan” daripada “anak-anak yang tidak mampu” untuk mene-kankan orangnya bukan keterbatasannya. Selain itu anak-anak yang memiliki keterbatasan tidak lagi dijuliki “anak cacat”, meskipun istilah kondisi cacat masih digunakan untuk mendeskripsikan kesulitan belajar dan fungsi dari individuindividu yang memiliki keterbatasan yang telah 11 dibebankan oleh masyarakat. 8
Bandi Delphie, 2006, Pembelajaran Anak Tunagrahita (Suatu pengantar dalam pendidikan inklusi), Refika Aditama, hal. 1-3. 9 John W Santrock, 2009, Psikologi Pendidikan; Educational Psychology, Salemba Humanika, hal. 245. 10 J. David Smith, 2012,Konsep dan Penerapan Pembelajaran Sekolah Inklusif, Nuansa, hal. 32 11 Op-cit, hal. 246.
PRINSIP PENDIDIKAN ANAK DISABILITY Anak Berkebutuhan Khusus dianggap berbeda dengan anak normal. Ia dianggap sosok yag tidak berdaya, sehingga perlu dibatu dan dikasihani. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Setiap anak mempunyai kekurangan, namun sekaligus mempunyai kelebihan. Oleh karena itu, dalam memandang anak yang berkebutuhan khusus, kita harus melihat dari segi kemampuan sekaligus ketidakmampuannya. Anak berkebutuhan khusus memerlukan perhatian, baik itu dalam bentuk perhatian kasih sayang, pendidikan maupun dalam berinteraksi social. Dengan demikian ia dapat mengembangkan potensinya dengan optimal. Didasari bahwa kelainan seorang anak memiliki tingkatan, yakni dari yang paling ringan sampai yang paling berat, dari kelainan tunggal, ganda hingga yang kompleks yang berkaitan dengan emosi, fisik, psikis dan social. Ia merupakan kelompok yanh heterogen, terdapat diberbagai strata social, dan menyebar di daerah perkotaan, pedesaan bahkan daerah-daerah terpencil. Kelainan seseorang tidak memandang suatu suku atau bangsa. Keadaan ini jelas memerlukan pendekatan khusus dalam memberikan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tersebut terdapat anak yang karena kondisi kelainannya tidak 12 memungkinkan datang ke sekolah. Di Indonesia pendidikan bagi anak yang memiliki keterbatasan telah diamanatkan dalam UU RI no 20 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Bagi Peserta Didik; Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, social, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (pasal 127). Selanjutnya dalam pasal 129 disebutkan bahwa Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau social (ayat 1); Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai kemampuannya (ayat 2); Peserta didik yang berkelainan terdiri atas peserta didik yang tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya dan memiliki 13 kelainan lain. Di negara lain seperti Amerika misalnya menentukan hak-hak pendidikan bagi anak-anak yang memiliki keterbatasan dimulai pada perte12
E.Kosasih, 2012, Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus, Yrama Widya, hal.2 13 UURI no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, 2010, Citra Umbara, hal.309
ngahan 1960-an sampai pertengahan 1970-an. Pada tahun 1975, Perwakilan Rakyat mengesahkan Public Law 94-142, Education for All Handicapped Children Act (sebuah undang-undang pendidikan bagi semua anak cacat), yang mengharuskan bagi semua siswa yang memiliki keterbatasan diberi pendidikan yang bebas biaya yang layak serta memberikan pembiayaan untuk membantu mengimplementasikan pendidikan ini. Pada tahun 1990, Public Law 94-142 dibuat kembali sebagai Individual with Disabilities Education Act (IDEA) sebuah undang-undang untuk anak-anak yang memiliki keterbatasan pendidikan. Revisi IDEA dilakukan pada tahun 1997 dan kemudian disahkan kembali pada tahun 2004 yang selanjutnya dinamai Individuals With Disabilities Education Improvement Act, yaitu undang-undang meningkatkan mutu pendidikan bagi individu yang memiliki keter14 batasan. Pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus sebaiknya diberikan sejak masih kanakkanak. Akan tetapi mendidik anak yang berkelainan fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosialnya, tidak sama seperti mendidik anak normal, sebab selain memerlukan suatu pendekatan yang khusus juga memerlukan strategi yang khusus. Hal ini semata-mata karena bersandar pada kondisi yang dialami anak berkelainan atau berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, melalui pendekatan dan strategi khusus dalam mendidik anak berkelainan, diharapkan anak berkelainan: (1) dapat menerima kondisinya, (2) dapat melakukan sosialisasi dengan baik, (3) mampu berjuang sesuai dengan kemampuannya, (4) memiliki ketrampilan yang sangat dibutuhkan, dan (5) menyadari sebagai 15 warga negara dan anggota masyarakat. Anak-anak yang berkebutuhan khusus, memerlukan suatu metode pembelajaran yang sifatnya khusus. Suatu pola gerak yang bervariasi, diyakini dapat meningkatkan potensi peserta didik dengan kebutuhan khusus dalam kegiatan pembelajaran (berkaitan dengan pembentukan fisik, emosi, sosialisasi, dan daya nalar). Esensi dari pola gerak yang mampu meningkatkan potensi diri anak 16 berkebutuhan khusus adalah kreativitas. Selain itu, pengembangan prinsip-prinsip pendekatan secara khusus, yang dapat dijadikan dasar dalam upaya mendidik anak berkelainan, antara lain sebagai berikut: 1. Prinsip Kasih Sayang. Prinsip kasih Sayang pada dasarnya adalah menerima mereka sebagaimana adanya, dan mengupayakan agar mereka dapat menjalani hidup dan kehidupan dengan wajar, seperti 14
John W Santrock, 2009, Psikologi Pendidikan; Educational Psychology, Salemba Humanika, hal. 271-272 15 Mohammad Effendi, 2006, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara, hal. 24 16 Bandi Delphie, , 2006, Pembelajaran Anak Tunagrahita (Suatu pengantar dalam pendidikan inklusi), Refika Aditama, hal. 3
75
layaknya anak normal lainnya. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan untuk mereka: (a) tidak bersikap memanjakan, (b) tidak bersikap acuh tak acuh terhadap kebutuhannya, dan (c) memberikan tugas yang sesuai dengan kemampuan anak. 2. Prinsip Layanan Individual Pelayanan individual dalam rangka mendidik anak berkelainan perlu mendapatkan porsi yang besar, sebab setiap anak berkelainan dalam jenis dan derajat yang sama seringkali memiliki keunikan masalah yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan untuk mereka selama pendidikannya: (a) jumlah siswa yang dilayani guru tidak lebih dari 4-6 orang dalam setiap kelasnya, (b) pengaturan kurikulum dan jadwal pelajaran dapat bersifat fleksibel, (c) penataan kelas harus dirancang sedemikian rupa sehingga guru dapat menjangkau semua siswanya dengan mudah, dan (d) modifikasi alat bantu pengajaran. 3. Prinsip Kesiapan Untuk menerima suatu pelajaran tertentu diperlukan kesiapan. Khususnya kesiapan anak untuk mendapatkan pelajaran yang akan diajarkan, terutama pengetahuan prasyarat, baik prasyarat pengetahuan, mental dan fisik yang diperlukan untuk menunjang pelajaran berikutnya. Contoh, anak tunagrahita sebelum diajarkan pelajaran menjahit perlu terlebih dahulu diajarkan bagaimana cara menusukkan jarum. Contoh lain anak berkelainan secara umum mempunyai kecenderungan cepat bosan dan cepat lelah apabila menerima pelajaran. Oleh karena itu guru, dalam kondisi ini tidak perlu member pelajaran baru, melainkan mereka diberikan kegiatan yang menyenangkan dan rileks, setelah segar kembali guru baru dapat melanjutkan memberikan pelajaran. 4. Prinsip Keperagaan Kelancaran pembelajaran pada anak berkelainan sangat didukung oleh penggunaan alat peraga sebagai medianya. Selain mempermudah guru dalam mengajar, fungsi lain dari penggunaan alat peraga sebagai media pembelajaran pada anak berkelainan, yakni mempermudah pemahaman siswa terhadap materi yang disajikan guru. Alat peraga yang digunakan untuk media sebaiknya diupayakan menggunakan benda tiruan atau minimal gambarnya. Misalnya mengenalkan macam binatang pada anak tunarungu dengan cara anak disuruh menempelkan gambar-gambarnya di papan flannel lebih baik daripada guru bercerita di depan kelas. Anak tunanetra yang diperkenalkan sosok buah belimbing, maka akan lebih baik jika dibawakan benda aslinya daripada tiruannya, sebab selain anak dapat mengenal bentuk dan ukuran, juga dapat mengenal rasanya.
5. Prinsip Motivasi Prinsip motivasi ini lebih menitikberatkan pada cara mengajar dan pemberian evaluasi yang disesuaikan dengan kondisi anak yang berkelainan. Contoh, bagi anak tunanetra, mempelajari orientasi dan mobilitas yang ditekankan pada pengenalan suara binatang akan lebih menarik dan mengesankan jika mereka diajak ke kebun binatang. Bagi anak tunagrahita, untuk menerangkan makanan empat sehat lima sempurna, barangkali akan lebih menarik jika diperagakan bahan aslinya kemudian diberikan kepada anak untuk dimakan, daripada hanya berupa gambargambar saja. 6. Prinsip Belajar dan Bekerja Kelompok Arah penekanan prinsip belajar dan bekerja kelompok sebagai salah satu dasar mendidik anak berkelainan, agar mereka sebagai anggota masyarakat dapat bergaul dengan masyarakat lingkungannya, tanpa harus merasa rendah diri atau minder dengan orang normal. Oleh karena itu, sifat egosentris atau egoistis pada anak tunarungu karena tidak menghayati perasaan, agresif, dan destruktif pada anak tunalaras perlu diminimalkan atau dihilangkan melalui belajar dan bekerja kelompok. Melalui kegiatan tersebut diharapkan mereka dapat memahami bagaimana cara bergaul dengan orang lain secara baik dan wajar. 7. Prinsip Ketrampilan Pendidikan ketrampilan yang diberikan kepada anak berkelainan, selain berfungsi selektif, edukatif, rekreatif dan terapi, juga dapat dijadikan sebagai bekal dalam kehidupannya kelak. Selektif berarti untuk mengarahkan minat, bakat, ketrampilan dan perasaan anak berkelainan secara tepat guna. Edukatif berarti membimbing anak berkelainan untuk berpikir logis, berperasaan halus dan kemampuan untuk bekerja. Rekreatif berarti unsure kegiatan yang diperagakan sangat menyenangkan bagi anak berkelainan. Terapi berarti aktivitas ketrampilan yang diberikan dapat menjadi salah satu sarana habilitasi akibat kelainan atau ketunaan yang disandangnya. 8. Prinsip Penanaman dan Penyempurnaan Sikap Secara fisik dan psikis sikap anak berkelainan memang kurang baik sehingga perlu diupayakan agar mereka mempunyai sikap yang baik serta tidak selalu menjadi perhatian orang lain. Misalnya blindism pada tunanetra, yaitu kebiasaan menggoyang-goyangkan kepala ke kiri-kanan, atau menggoyang-goyangkan badan secara tidak sadar, atau anak tunarungu memiliki kecenderungan rasa curiga pada orang lain akibat ketidakmampuannya menangkap 17 percakapan orang lain, dan lain-lain.
17
76
Op-Cit, hal. 23-26
SEKOLAH INKLUSIF Pada dasarnya, sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus sama dengan sekolah anakanak pada umumnya. Namun, karena kondisi dan karakteristik kelainan yang disandang anak berkebutuhan khusus, sekolah bagi mereka dirancang secra khusus sesuai dengan jenis dan karakteristik kelainannya. Sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus ada beberapa macam, ada Sekolah Luar Biasa (SLB), sekolah terpadu (mainstreaming), dan sekolah inklusi. SLB adalah sekolah yang dirancang khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus dari satu jenis kelainan. Di Indonesia, kita kenal ada SLB bagian A khusus untuk anak tunanetra, SLB bagian B khusus anak tunarungu, SLB khusus anak tunagrahita, dsb. Dewasa ini dikembangkan pendidikan inklusi. Pengembangan pendidikan inklusi ini tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia terutama Negara-negara Eropa Barat. Dalam pendidikan inklusi anak-anak berkebutuhan khusus diintegrasikan ke sekolah-sekolah umum dengan menggunakan seoptimal mungkin seluruh fasilitas yang ada serta dukungan lingkungan sekolah. Pelaksanaan pendidikan inklusi dilandasi keyakinan bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini berarti semua anak terlepas dari kemampuan maupun ketidakmampuan mereka, latar belakang budaya atau bahasa, agama atau gender, menyatu dalam komunitas sekolah yang sama. Diharapkan dengan berbagai alternative jenis pelayanan pendidikan (sekolah) seperti di atas, orangtua dapat memilih sekolah luar biasa yang dirasa paling tepat bagi pendidikan putera- berkelainan, hanya karena tidak 18 ada sekolah bagi mereka. Menurut IDEA, anak yang memiliki keterbatasan harus dididik dalam lingkungan yang setidaknya dapat membatasi (Least Restrictive Environment, LRE). Kondisi tersebut berarti suatu keadaan yang mungkin mirip dengan keadaan anak-anak yang tidak memiliki keterbatasan dididik. Sekolah harus berusaha untuk mendidik anak-anak yang memiliki keterbatasan di kelas regular. Mendidik anak-anak yang memiliki keterbatasan di kelas regular disebut mainstreaming. Namun istilah itu diganti dengan istilah inklusi (inclusion), yang berarti mendidik seorang anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus dengan penuh waktu di kelas regular. Sebuah studi terkini menemukan bahwa prestasi akademis siswa-siswa yang memiliki keterbatasan pembelajaran mendapatkan 19 manfaat dari inklusi.
18
E.Kosasih, 2012, Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus, Yrama Widya, hal.6 19 John W Santrock, 2009, Psikologi Pendidikan; Educational Psychology, Salemba Humanika, hal.274
Penelitian yang dilakukan oleh Hocutt (1996) mengenai hasil dari inklusi memperlihatkan kesimpulan-kesimpulan sbb: 1. Keberhasilan social dan akademis anak-anak. Hasil ini lebih dipengaruhi oleh kualitas pelajaran yang diberikan. 2. Anak-anak yang memiliki gangguan emosional. Di sekolah menengah pertama, para remaja yang memiliki gangguan ini kemungkinan besar berhasil apabila mereka berpartisipasi dalam pendidikan kejuruan dan dimana kegiatan mereka diintegrasikan dengan pelajaran sekolah melalui aktifitas seperti olahraga. Namun, para remaja yang memiliki sejarah panjang akan kegagalan pelajaran kemungkinan besar keluar dari sekolah apabila mereka ditempatkan di empat regular. 3. Anak-anak yang memiliki gangguan pendengaran. Anak-anak yang memiliki gangguan ini masih diuntungkan secara akademis, tetapi mereka memiliki harga diri yang lebih rendah saat berada dalam kelas regular. 4. Anak-anak yang mengalami retardasi mental namun masih bisa dididik (biasanya didefenisikan memiliki IQ dari 50 sampai 70 bersamaan dengan masalah perilaku adaptif dalam kisaran yang sama). Seorang guru yang suportif, pelajaran yang kompoten, dan kelas yang suportif tampaknya memiliki pengaruh yang lebih besar pada anak-anak yang tidak memiliki keterbatasan. 5. Anak-anak yang tidak memiliki ketidakmampuan. Mereka tampaknya tidak dipengaruhi secara negative oleh masuknya anak-anak yang memiliki keterbatasan dalam kelas regular 20 selama diberikan jasa yang suportif. B. KESIMPULAN Anak Berkebutuhan Khusus adalah individu yang seharusnya mendapatkan hak belajar yang sama dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini ditegaskan dalam UU RI yang menyatakan bahwa: Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (ayat 1); Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan/atau social berhak memperoleh pendidikan khusus (ayat 2); Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus 21 (ayat 3). Dengan demikian anak-anak yang memiliki keterbatasan, bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, dan tentunya hal ini tidak lepas dari keterlibatan yang harmonis antara pemerintah, guru, masyarakat dan orangtua. Anak-anak yang memiliki keterbatasan ini bukanlah anak-anak “aneh” 20
Ibid, hal. 276. Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, hal. 2. 21
77
yang hanya dijadikan tontonan atau anak-anak yang di “nomor duakan” dalam mengenyam pendidikan, yang sebenarnya sudah menjadi haknya sebagai manusia. Dengan memberikan kesempatan bagi anakanak yang berkebutuhan khusus untuk bergaul dan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya, baik itu di lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat akan menumbuhkan harga diri dan motivasi untuk terus menggali bakat dan mengembangkan kemampuannya seperti halnya anak-anak yang normal. Mereka membutuhkan pendampingan dari orang dewasa untuk menuntun mereka kearah kehidupan yang lebih baik. Dalam Lokakarya Nasional tentang Pendidikan Inklusif di Indonesia di Bandung tahun 2004, melahirkan suatu deklarasi yang berisi himbauan kepada pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industry serta masyarakat untuk dapat: 1. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesamaan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, social, kesejahteran, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang handal. 2. Menjamin setiap anak berkelainan dan berkebutuhan khusus lainnya, sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan tuntutan masyarakat, tanpa perlakuan deskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, hokum, politis, maupun cultural. 3. Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif di antara para stakeholders, terutama pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industry, orangtua serta masyarakat. 4. Menciptkan lingkungan yang mendukung bagi pemenuhan anak berkelainan dan berkebutuhan khusus lainnya, sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan keunikan potensinya secara optimal. 5. Menjamin kebebsan anak berkelainan dan berkebutuhan khusus lainnya untuk berinteraksi baik secara reaktif maupun proakif dengan siapapun, kapanpun, dan di lingkungan manapun, dengan meminimalkan hambatan. 6. Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan inklusif melalui media masa, forum ilmiah, pendidikan dan pelatihan, dan lainnya secara berkesinambungan. 7. Meyusun rncana aksi (action plan) dan pendanaannya untuk pemenuhan aksebilitas fisik dan non fisik, layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, rekreasi, kesejahteraan bagi
semua anak berkelainan dan anak berkebutuhan 22 khusus lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’anul Karim Chaplin, J.P, (2006), Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta, RajaGrafindo Persada Delphie, Bandi, (2006), Pembelajaran Anak Tunagrahita, Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi, Bandung, Refika Aditama Efendi
Mohammad, (2006), Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Jakarta, Bumi Aksara
Kosasih, E (2012), Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus, Bandung, Yrama Widya Santrock, John (2009), Psikologi Pendidikan, Educational Psychology, Jakarta, Salemba Humanika Smith,J.David (2012), Konsep dan Penerapan Sekolah Inklusif, Bandung, Nuansa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah RI tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan wajib Belajar, Bandung, Citra Umbara.
22
J. David Smith, 2012, Konsep dan Penerapan Pembelajaran Sekolah Inklusif, Nuansa, hal. 443
78