Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
Pendekatan-Pendekatan Pembangunan Pedesaan dan Pertanian: Klasik dan Kontemporer1 Oleh: Dr. Arya Hadi Dharmawan Sekretaris Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB dan Ketua Program Studi PS. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Dept. KPM IPB
1. Pendahuluan: Tinjauan Historis atas Konsep Developmentalism Transformasi sosial ekonomi yang mengantarkan sebuah entitas sosial kepada perubahan sosial dari satu tataran kemajuan ke tataran kemajuan yang lain (lebih tinggi), dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu: (1) cara-revolusioner, yang cenderung tidak bersahabat dan menghasilkan banyak akibat-ikutan yang seringkali tidak diinginkan; dan (2) caracara yang lebih evolusioner melalui pentahapan yang memakan waktu lebih panjang. Perubahan sosial evolusioner bisa berlangsung secara alamiah maupun dirancang (by design) dengan sengaja sesuai keinginan dan harapan manusia/masyarakat. Perubahan sosial “evolusioner terencana” biasanya menjadi pilihan strategi transformasi sosial yang dipakai dalam mengubah keadaan/status sosial-ekonomi masyarakat secara damai (nonviolent social transformation). Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, konsep “pembangunan” (development) menjadi salah satu pendekatan perubahan sosial terencana yang paling luas dan terpenting digunakan oleh banyak pihak. Pembangunan tidak saja berkonotasi damai namun juga terkandung gagasan “perubahan nasib” terhadap suatu keadaan. Hal ini terutama berkaitan dengan usaha terus-menerus yang dilakukan untuk membebaskan masyarakat dari “belenggu kemunduran sosio-kultural”, sebagaimana yang dilabelkan oleh negara maju/Barat sebagai tradisionalisme. Dengan konstruksi-pemaknaan seperti itu, maka “pembangunan” dipahami sebagai proses (dinamik) transformasi sosioekonomi-kultural yang secara sengaja dan terencana dijalankan untuk mengubah “status-kemajuan” pada sebuah entitas sosial (pedesaan). Perubahan tersebut diperlukan bagi masyarakat agar dapat beranjak dari satu status/tataran (ketertinggalan) ke status/tataran perkembangan berikutnya yang dinilai lebih “mapan dan modern”. Oleh karena derajat kemajuan suatu masyarakat mengambil standar atau ukuran-ukuran kualitatif dan kuantitatif sebagaimana yang dikenal di negara-negara maju (Eropa Barat dan Amerika Utara), maka sebagai sebuah “socio-cultural change” proses pembangunan seringkali dipersamakan maknanya dengan proses modernisasi ala Westernisasi. Modernisasi ala westernisasi (western developmentalism) artinya, proses pembangunan yang mengambil bentuk atau pola serta standar normatif dan orientasi nilai budaya Barat sebagai parameter “kemajuan” tunggal (Peet and Hartwick, 1999). Proses pembangunan seperti ini, ditengarai membawa konsekuensi yang sangat luas 1
Tulisann ini dikembangkan dari makalah penulis yang disampaikan pada acara “Apresiasi Perencanaan Pembangunan Pertanian Daerah bagi Tenaga Pemandu Teknologi Mendukung Prima Tani”, diselenggarakan di Hotel Jaya-Raya, Cisarua Bogor, 19-25 November 2006.
1
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
terhadap kehidupan sosial-ekonomi-politik dan budaya di negara sedang berkembang. Konsekuensi tersebut timbul, karena pembangunan semata-mata mengambil pola replikasi-dan-imitasi (peniruan) secara totalitas atas gaya-hidup, tata-kelembagaan ekonomi dan sosial, tata-pemerintahan, sistem ketata-negaraan dan hukum, serta mekanisme-mekanisme produksi-distribusi ekonomi tanpa disertai pertimbangan akan kesesuaian pada setting sosio-budaya lokal. Kritik terhadap konsep pembangunan yang mengambil bentuk modernisasi-westernisasi selama ini, seringkali ditujukan pada ketidakpuasan atas kinerja konsep tersebut dalam memfasilitasi proses transformasi di negara-negara sedang berkembang. Fenomena cultural-shock yang ditanggung oleh masyarakat lokal sebagai akibat introduksi nilai-nilai Barat, adalah gambaran jamak yang seringkali menjadi pokok gugatan pendekatan ala Barat dalam pembangunan. Kejutan budaya itu berlangsung di tiga ranah, yaitu: ranah “pola-pemikiran atau ranah gagasan”; “pola-tindakan atau ranah perilaku”; dan pola sarana pada ranah “social supporting system” (teknologi, kelembagaan, hukum, sistem ekonomi, sistem politik, dan sebagainya). Dalam bidang sosial-ekonomi, konsep modernisasi ala Barat mendapatkan kecaman kritis dari kalangan yang tidak puas. Ketidakpuasan tersebut berakar pada beberapa fakta: pertama, pembangunan berpolakan modernisasi ala Barat ternyata telah meminggirkan posisi ekonomi masyarakat lokal – the development of underdevelopment (Roxborough, 1994; Seligson and Passe-Smith, 2003). Kedua, modernisasi ala Barat menafikan eksistensi sistem sosio-budaya masyarakat lokal, sehingga bukan kemajuan yang dihasilkan dari proses modernisasi tersebut melainkan kemadegan. Dalam hal ini, para scholars menyebutnya sebagai modernization without development (lihat Sajogyo, 1973 dalam Anonymous, 2003). Ketiga, modernisasi ala Barat sangat menguntungkan pertumbuhan dan ekspansi modal serta proses akumulasi kapital bagi perekonomian Barat serta Global (Frank, 1978; Wallerstein, 1976; Wallerstein, 2005). Keempat, modernisasi ala Barat justru mendorong proses-proses disintegrasi sosial-masyarakat di kawasan sedang berkembang, dimana semangat kolektivitas (misal: gotong-royong) sebagai ciri sosiologis penting meluntur (hilang) secara dramatis (Galtung, 1995). Dengan berbagai pandangan kritis semacam itu, pertanyaannya: masihkah konsep pembangunan ala modernisasi-westernisasi cocok digunakan dalam proses transformasi sosial-ekonomi dan sosio-budaya di Indonesia? Tidak adakah tawaran lain selain mazhab modernisme bagi proses transformasi sosial-budaya masyarakat di kawasan sedang berkembang? Jika modernisasi ternyata, tetap sebagai satu-satunya pilihan, pada bagian manakah penyesuaian-penyesuaian perlu dilakukan? Bagi sektor pertanian-pedesaan, adakah konsep pembangunan ala modernisasi yang lebih operasional, lebih cocok serta tidak menimbulkan gegar-budaya yang berlebihan bagi masyarakat lokal?
2. Developmentalism Aliran Kritis Konsep pembangunan beraliran modernisme mendapatkan kritik yang sangat pedas sebagai akibat kegagalannya dalam membawa perubahan sosial secara memuaskan bagi semua pihak. Kritik paling keras datang dari para penganut populisme, yang pada intinya mengatakan bahwa pembangunan telah berlangsung tanpa pemihakan terhadap rakyat kecil. Platform pertumbuhan (growth-mania) dan model pembangunan-kapitalistik yang dibawa serta oleh modernisasi, justru menyebabkan ketimpangan dan 2
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
ketidakadilan bagi masyarakat lapisan bawah sebagaimana kritik yang telah disinggung di atas. Secara garis besar, paling tidak ada tiga kubu yang mempertanyakan efektivitas konsep pembangunan ala modernisasi dalam memfasilitasi proses-proses transformasi sosialekonomi dan budaya masyarakat di negara sedang berkembang. Ketiga kubu tersebut adalah: (1) kubu penganut teori ketergantungan; dan (2) kubu penganut teori sistemdunia, serta (3) kubu penganut teori pemberdayaan, yang berusaha memandirikan masyarakat, tanpa harus bergantung pada sistem eksternal. Ketiga kubu, sesungguhnya mengambil posisi kritis atas teori modernisasi dan berusaha keluar dengan solusi efektif. Kubu pengkritik yang pertama (teori ketergantungan) utamanya didukung oleh mereka yang berasal dari kawasan Amerika Latin. Mereka menganggap bahwasanya modernisasi adalah “strategi-licik” Barat atau negara maju untuk membuat negara-negara sedang berkembang tergantung secara ekonomi kepada mereka. Investasi-asing berskala besar yang terus-menerus memasuki negara-negara Amerika Latin sejak tahun 1950an-1970an, awalnya disambut baik. Modernisasi melalui investasi asing, tersebut dianggap sebagai motor perluasan kesempatan kerja. Dalam jangka panjang, investasi asing ternyata mensubstitusi dan meminggirkan semua moda produksi asli-lokal, karena secara teknologi dan manajemen mereka memang kalah bersaing. Investasi asing juga telah mengakibatkan terbentuknya struktur sosial pekerja (buruh) di negara periferi dimana investasi tersebut ditanam. Pada taraf lanjut, negara-negara tujuan investasi asing tersebut hanyalah berisi kelas pekerja yang menjadi pasar bagi produk-produk dari investasi asing tersebut. Mereka adalah sumber pendapatan yang sangat substansial bagi negara maju. P ada titik inilah berlangsung proses “economic leakage” (pembocoran sumberdaya ekonomi) dari negara-negara periferal ke negara maju (pemilik dana investasi). Kebocoran itu tidak dapat dibendung, oleh karena semua sendi perekonomian di negaranegara periferal telah sepenuhnya berada dalam kontrol konglomerasi korporat internasional (Trans-National Corporation/TNCs). Kenyataan inilah yang dianggap sebagai sindroma ketergantungan struktural yang terjadi akibat pembangunan mengambil jalan modernisasi via pertumbuhan ekonomi yang berbasiskan pada investasi asing. Isyu utama teori pembangunan ketergantungan adalah pada “rasa ketidakadilan” yang dialami negara-negara periferal yang perekonomiannya tereksploitasi oleh negara maju. Solusi politik proteksionisme dan nasionalisasi kepemilikan saham korporasi TNCs dipandang sebagai pendekatan utama untuk menetralisir derajat ketergantungan yang telah diciptakan oleh negara maju di kawasan periferal. Kubu pengkritik kedua (teori sistem-dunia), menggunakan teori ketergantungan sebagai basis teoretik utamanya. Teori sistem-dunia dianggap sebagai kelanjutan dari teori ketergantungan, dimana Wallerstein (1976) sebagai penggagasnya menggunakan analogi imperialisme untuk menerangkan proses dan akibat dari ekspansi-kapital TNCs ke segala penjuru dunia. Sistem produksi-distribusi serta konsumsi lokal digantikan oleh sistem global sehingga menjadi seragam dan mendunia. Anggapan akan kegagalan modernisasi ala investasi Barat di negara sedang berkembang bermula pada titik ini, dimana proses-proses integrasi sistem ekonomi lokal terhadap moda produksi kapitalisme global telah membentuk struktur world-economy dan hegemoni kapital. Struktur hegemonik terhadap perekonomian lokal tersebut dianggap sebagai struktur yang tidak adil dan tidak demokratis, karena men-displace perekonomian lokal. Bagian-bagian
3
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
terkecil perekonomian di setiap kawasan dunia lenyap karena tidak dapat bertahan hidup kecuali mereka meleburkan diri mereka ke dalam “jebakan sistem ekonomi kapitalisme dunia”. Demikianlah, sejarah peradaban perekonomian saat ini sangat kuat ditandai oleh gambaran world capitalist imperium sebagai hasil ekspansi TNCs ke seluruh penjuru dunia. Struktur hegemoni perekonomian global oleh korporasi Barat, mengakibatkan polarisasi penguasaan perekonomian pada segelintir korporasi global (misal: Coca-cola, McDonald, General Electric, Bayer, Nestle, Toyota, Nokia, BASF). Di kutub yang lain, negara-negara sedang berkembang menjadi kumpulan entitas yang tidak berdaya dihantam oleh kapitalisme global. Dalam hal ini, redistribusi ekonomi dari negara maju ke negara sedang berkembang dipandang sebagai satu-satunya solusi keadilan. Konsep pembangunan via modernisasi-Westernisasi tidak dapat dielakkan, juga terjadi dan berlangsung sangat ekspansif di Indonesia. Pertanyaannya adakah model pembangunan alternatif yang dapat “membebaskan entitas-entitas sosial lokal dari segala ketergantungan”? Dapatkah model alternatif tersebut operasional? Dari pertanyaan tersebut, muncullah kubu ketiga dalam teori pembangunan kontemporer (teori pemberdayaan) yang menentang modernisasi ala westernisasi-kapitalisme. Secara teoretik, basis ideologi pemberdayaan adalah Neo-Marxisme, karena menggunakan asumsi pembebasan dari ketertindasan. Beberapa asumsi-kerja yang mendasari teori pemberdayaan tersebut. Fakta pertama adalah keterbelakangan atau keterpinggiran (diukur oleh derajat pendidikan, kesehatan, status pangan, status pendapatan, pemenuhan papan dan akses terhadap informasi, hingga kepada akses pada aktivitas politik) sebagai akibat kapitalisme global. Fakta kedua adalah ketertinggalan (diukur dari angka pencapaian sasaran indikator-kemajuan yang dibandingkan secara relatif antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya). Fakta ketiga adalah kemiskinan (diukur melalui angka pendapatan atau pengeluaran per kapita ataupun oleh pemenuhan kebutuhan fisik minimum seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, serta “martabat” individu sebagai manusia). Fakta keempat adalah ketergantungan (diukur oleh derajat kebebasannya dalam menentukan nasib sendiri). Semua fakta itu bermuara ke satu persoalan, yaitu sindroma ketidakberdayaan dan ketidakmandirian. Benarkah konsep pembangunan berideologikan empowerment mampu menjadi solusi atas segala persoalan di atas? Bagaimana konsep tersebut diimplementasikan di lapangan? Sebelum membahas pembangunan ala pemberdayaan, ada baiknya ditinjau secara sekilas prestasi serta “potret suram” pembangunan pedesaan dan pertanian di Indonesia selama 60 tahun terakhir.
3. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Indonesia 3.1. Fase Pertama: Ideologi Modernisme Tumbuh dan Menguat Strategi pembangunan pertanian dan pedesaan di Indonesia mengalami perubahan pendekatan yang sangat menarik, sehingga secara sederhana bisa dipetakan ke dalam tiga fase yang khas (distinct). Pada 25 tahun pertama sejak kemerdekaan 17.08.1945, pembangunan pedesaan lebih banyak menempuh pendekatan pemenuhan basic-needs approach. Di tengah-tengah hiruk-pikuknya perubahan politik di masa itu, pendekatan pembangunan ini tampil melalui berbagai program yang sangat memikat seperti pemberantasan buta-aksara, peningkatan pelayanan air-bersih, penekanan angka kematian 4
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
ibu melahirkan, memperpanjang usia harapan hidup, pemenuhan kebutuhan “sandangpangan-papan” dan yang sejenisnya. Pada kurun waktu itu, pembangunan pangan dan pertanian pedesaan ditandai juga oleh introduksi teknologi produksi pertanian yang kemudian dikenal sebagai bagian dari revolusi hijau (pengenalan varietas unggul, pupuk buatan, mekanisasi pertanian,irigasi teknis, dan intensifikasi pertanian massal). Pembangunan pedesaan pada kurun waktu itu, mampu mengangkat harkat-martabat penduduk desa meski juga memberikan dampak kurang baik pada tata-perilaku dan kehidupan pedesaan secara signifikan. Kemajuankemajuan di pedesaan saat itu, diukur secara fisik oleh indikator ketersediaan pangan per kapita, energi per kapita, air bersih per kapita, pajang jalan per kapita, angka putus sekolah, angka kematian bayi, dan sebagainya. Pada fase pertama itu, “modernisasi pedesaan” menjadi jargon politik pembangunan yang penting dalam bingkai ideologi developmentalisme-modernisme yang telah dicanangkan sebagai satu-satunya ideologi penting untuk melakukan perubahan sosial di Indonesia. Pada 25 tahun pertama ini, pendapatan per kapita naik dari sekitar US$ 100 di tahun 1950-1960an menjadi sekitar US$ 400 pada dekade 1970an. Meski demikian, angka kemiskinan tetap tinggi, meski persentasenya terus menurun. Secara sosiologis, dampak negatif revolusi hijau sesungguhnya sangat signifikan. Namun, prestasi capaian produksi pangan seolah menghapuskan semua persoalan-ikutan tersebut (lihat Gambar Lampiran 1).
3.2. Fase Kedua: Ideologi Modernisme dan Industrialisme Sementara desa terus mengalami perubahan struktural yang luar biasa, pada fase 25 tahun kedua (1970-1995), diperkenalkan pendekatan baru dalam ranah yang secara sederhana disebut sebagai transformasi pedesaan yang agak radikal. Dalam hal ini, ditempuh strategi pembangunan manusia seutuhnya bersama-sama dengan upaya industrialisasi berbasiskan pertanian. Strategi industrialisasi yang diambil menunjukkan bahwa perubahan sosial-ekonomi tetap berjalan dalam ranah developmentalism-modernism. Sementara itu, dengan masuknya TNCs yang ikut ambil bagian dalam proses transformasi ekonomi-pedesaan, kehadiran ideologi kapitalismekorporatisme tidak dapat dielakkan masuk ke relung-relung pedesaan. Beberapa ciri penting pendekatan ini, antara lain: padat-modal, otomatisasi-mekanisasi, ketergantungan pada modal asing, industri substitusi impor, dan mass-production. Pada fase kedua itu, perekonomian desa “secara tak terelakkan”, masuk ke dalam jebakan “sistem ekonomi kapitalis dunia”. Agar desa terus mampu mengikuti perubahan pada aras makro, maka struktur-struktur perekonomian desa yang sebelumnya berjalan dalam moda-produksi tradisionalisme (peasantry-collectivism), kini harus dirombak menjadi lebih adapted to the captalist mode of production. Pada fase ini ditandai oleh infrastruktur-infrastruktur kelembagaan baru yang berciri lebih kapitalistik. Strategi industrialisasi dan komersialisasi pertanian berbasiskan investasi padat-kapital (perkebunan skala besar dan industri pengolahan pangan), pengembangan moda produksi campuran (hybridinstitution) seperti PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan “Bapak-Angkat”, serta sistem kontrak, adalah akibat “merasuknya” sistem produksi-ekonomi kapitalistik ke pedesaan Indonesia. Sepanjang fase ini, perubahan struktural dan pergeseran norma-norma yang dianut oleh masyarakat pedesaan berjalan dengan kecepatan yang sangat luar-biasa dan radikal.
5
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
Persinggungan desa dengan berbagai “organisasi sosial asing”, telah membuat masyarakat desa menjadi semakin kosmopolit, komersialistik, individualistik, dan opportunistik dibandingkan sebelumnya. Kelembagaan dan pranata sosial tradisi di masyarakat juga mengalami dekonstruksi dan reduksi peran secara signifikan. Kelembagaan gotong-royong, patron-klien, aksi-kolektif, dan berbagai jenis tata-aturan tradisi “dipaksa” untuk merging atau menyesuaikan diri dengan sistem norma kapitalistik. Proses persinggungan tersebut, menyebabkan proses-proses pertukaran di pedesaan sejak saat itu menjadi lebih banyak berjalan di atas moda-transaksi komersial (jual-beli, hubungan kontrak, ekspor-impor, dsb) daripada transaksi berdasarkan ikatan traditional berbasiskan trust. Pada masa ini, kekecewaan terhadap sistem pembangunan pedesaan sudah banyak berlangsung, karena desa mengalami persoalan ketergantungan serta eksploitasi sumberdaya alam yang sangat menyakitkan. Prestasi pembangunan pertanian-pedesaan yang bisa dibanggakan pada kurun waktu 1970-1995 adalah tercapainya food selfsufficiency di awal dekade 1980an. Sementara itu, angka kemiskinan ditekan ke level 10 persen dengan pendapatan perkapita mencapai US$ 1.100 (tahun 1995) yang mengantarkan Indonesia masuk ke jaringan-negara-industri-kapitalis-dunia sehingga dimasukkan dalam second layer of Newly Industrilialized Countries (NIC). Saat itu, pedesaan telah menjadi bagian integral sistem perekonomian dunia yang tidak dapat dielakkan dan makin tergantung pada perekonomian global. Dalam konstelasi hubungan sosial-produksi yang demikian, desa menjadi “sapi-perahan” sistem perekonomian dunia. Semua sumberdaya alam yang ada di desa “tersedot” habis, dan mengalir ke pusat-pusat perdagangan internasional dunia. Akibatnya desa mengalami proses pemiskinan dan kerusakan sumberdaya alam lingkungan yang berarti (misal: penggundulan hutan, ekspor komoditas pertanian, dsb).
3.3. Fase Ketiga: Penguatan Ideologi Demokratisme dan Populisme Nasib perjalanan pembangunan pedesaan, sedikit berubah arah pada fase ketiga atau terakhir (sejak tahun 1996). Pada fase ketiga, pembangunan pedesaan menemukan format yang samasekali berbeda dari dua fase sebelumnya. Pada fase terakhir ini, pembangunan pertanian-pedesaan lebih banyak menitik-beratkan pada pemenuhan kebutuhan politik warganya. Terdapat dua kekuatan yang dapat dipandang bertanggung jawab atas perubahan tersebut, yaitu: (1) secara eksternal, terjadi penguatan ideologi populisme-demokratisme yang menuntut ruang kekuasaan makin leluasa bagi civil-society secara signifikan telah mendorong masyarakat desa untuk “tampil berani” memperjuangkan hak-haknya. Penguatan kekuatan masyarakat sipil tersebut sebenarnya secara kesejarahan dipicu oleh menguatnya kekuatan perlawanan sipil Eropa yang mampu meruntuhkan Tembok-Berlin, sebagai lambang kekuasaan otoriter di awal dekade 1990an di Eropa Barat dan terus merayap ke kawasan lain dunia, (2) secara internal kekuasaan otoritarian-sentralisme yang bekerjsama dengan kekuatan ekonomi kapitalisme-korporatisme TNCs makin membuat “sesak-napas” masyarakat, sehingga memicu gerakan resistensi dari akarrumput yang makin menguat. Krisis ekonomi regional (dikenal sebagai “krisis moneter” di tahun 1997), telah mempercepat proses perubahan sosial di Indonesia. Ketidakpercayaan terhadap rezim 6
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
pemerintahan otoritarian-kapitalistik Suharto yang memuncak, telah menumbangkan kekuasaan tersebut dan menggantikannya dengan semangat baru pembangunan yang kemudian dikenal sebagai era-reformasi. Demikianlah, sehingga pada fase ketiga ini, pembangunan pedesaan lebih banyak dicirikan oleh pemenuhan kebutuhan akan penyaluran aspirasi politik daripada pemenuhan kebutuhan fisik sebagaimana dilakukan pada masa sebelumnya (lihat Tabel 1). Tabel 1. Perbedaan Dua Pendekatan Pembangunan Pedesaan Lama dan Baru Pendekatan Lama
Pendekatan Baru
Pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan akhir Æ tidak peduli pada hadirnya sindroma ketergantungan. Redistribusi kesejahteraan hanya dilakukan (melalui dan oleh) negara dan pasar Æ seringkali tidak fair Tumbuhnya kekuasaan otoriter dipahami sebagai konsekuensi tak terelakkan (harga) dari prestasi pencapaian pembangunan (target angka pertumbuhan). Subsisdi ekonomi disediakan oleh negara Æ rakyat menjadi sangat tergantung pada kekuatan negara Æ tuntutan berbagai hal terhadap negara menjadi sangat tinggi Transfer teknologi dan pembangunan berlangsung dari kawasan yang maju ke kawasan miskin Æ sindroma ketergantungan sangat tinggi Pemerintah (negara) sangat menentukan nilai ekonomi suatu sumberdaya Prinsip pembangunan yang kompartementalistik Æ terkotak-kotak berdasarkan bidang yang tersekat-sekat secara ketat Æ egoisme sektoral Peran negara sangat dominan dan kuat: sebagai regulator, producer, dan provider
Keadilan sosial, kedamaian, kualitas pertumbuhan, peningkatan kualitas lingkungan sebagai tujuan terpenting. Merangkul semua pihak Æ dilakukan secara partisipatif Æ mengikutsertakan semua pihak Pencapaian kebebasan, otonomi, dan kedaulatan sebagai prinsip penting pembangunan untuk direalisasikan Æ target pertumbuhan ekonomi agak terabaikan. Memberdayakan lokalitas untuk pertumbuhan secara mandiri (self-reliance) Æ masyarakat lokal berprakarsa dan ikut memecahkan segala persoalan Pengembangan teknologi yang partisipatif dan pengakuan terhadap pengetahuan lokal Æ bottom-up, apresiasi terhadap indigenous knowledge and local wisdom Masyarakat lokal menentukan penilaian dan cara penilaian atas sumberdaya alamnya Prinsip pembangunan yang holistik dan mempedulikan semua aspek kehidupan, termasuk eksistensi komponen alam bukan manusia (non human society) Negara tidak dominan dan lebih banyak berperan memfasilitasi prakarsa Æ mendorong komunitas lokal untuk lebih banyak berinisiatif
Sumber: Shepherd (1998) dimodifikasi.
Meski demikian, kebutuhan fisik dan ekonomi bukan berarti menjadi tidak penting lagi, pada fase ini. Melainkan, penyaluran aspirasi politik menjadi sama pentingnya dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan fisik, karena selama rezim-otoritarianisme semua saluran untuk menyuarakan pendapat, benar-benar tersumbat. Sejak saat itu, maka pembangunan pedesaan mengambil format yang sangat berbeda. Perbaikan
7
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
kesesejahteraan sosial dan lingkungan didekati melalui perjuangan-perjuangan di wilayah politik, selain pendekatan fisik. Pada fase ini ideologi developmentalism dikoreksi oleh ideologi empowerment dan pembangunan yang partisipatif, serta sustainability. Tabel 1 menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan pedesaan yang baru sangat dicirikan oleh penghargaan pada eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan yang sangat tinggi, kemandirian lokalitas, partisipasi, dan basis kekuatan lokal yang kokoh. Ruh demokratisme (kesetaraan dan kesejajaran) dan ekologisme (pembelaan terhadap alam) tampak sangat menonjol. Hal ini menghasilkan rejim pembangunan yang lebih populis dan memihak kalangan bawah, dimana negara atau pemerintah mengurangi kekuasaan politiknya untuk melakukan olah-kekuasaan hegemonik terhadap rakyatnya. Kesadaran akan keadilan dan ciri demokratisme menjadi penciri penting berkembangnya konsep pembangunan kontemporer terutama di Indonesia sejak era reformasi bergulir di tahun 1998.
4. Pemberdayaan Komunitas (Community Empowerment Approach) Menggunakan asumsi adanya ketidakberdayaan yang membelenggu masyarakat karena kooptasi negara dan pasar, pembangunan berbasis komunitas memasuki tahap perjalanan pembangunan yang penting di dekade 1990an. Ada beberapa semangat atau prinsip penting yang mendasari aliran pembangunan kontemporer ini, yaitu: partisipasi, demokrasi, kesejahteraan, kolektivitas, dan pembangunan yang diinisiasi oleh “kekuatan dari dalam”. Ideologi pemberdayaan dengan sengaja ditonjolkan sebagai satu-satunya identitas filosofis pendekatan ini. Pada perkembangannya, banyak upaya pengembangan komunitas (community development) yang mengambil strategi pemberdayaan sebagai pendekatan utamanya. Pendekatan ini menganalogikan komunitas sebagaimana layaknya kesatuan “tubuh manusia” yang bisa mengalami perubahan, bergerak, berkembang, dan bahkan memiliki energi dan kekuatan dari-dalam untuk berubah. Pemaknaan konsep komunitas dengan mengasosiasikannya ibarat tubuh manusia itu, diinspirasi oleh pandangan yang menganggap komunitas sebagai sebuah lapangan sosial (social field). Menurut Wikinson (1972), sebagai sebuah lapangan sosial, komunitas bersama-sama dengan bentuk-bentuk organisasi sosial lainnya, seperti kelompok sosial (social group) dan organisasi, memiliki karakteristik sebagai berikut: •
Ada proses atau interaksi sosial yang berlangsung secara kontinu di dalamnya. Dinamika interaksi sosial ini menandakan bahwa ada kehidupan yang berarti dalam sistem komunitas itu.
•
Ada arah perubahan ke suatu titik tertentu (there is a direction toward some more or less distinctive outcome). Artinya, komunitas tidak statis berada di satu titik dan tak pernah beranjak untuk berubah.
•
Ada perubahan atau perkembangan yang berlangsung secara teratur atas elemen dan struktur pembentuknya.
Sebagai turunan sebuah “lapangan sosial”, Wilkinson (1972) memandang komunitas dipandang sebuah lapangan komunitas (community field), yang dipahaminya sebagai: 8
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
“a locality oriented social field which actions expressing a broad range of local interests are coordinated and organized” Artinya, sebagai lapangan sosial, komunitas tidak sekedar dipahami sebagaimana maknanya secara harfiah (lihat definisi-definisi komunitas di atas). Namun, komunitas telah pula menjadi sebuah arena/ajang dimana pengaruh serta kekuatan-kekuatan lokal bekerja secara teratur dan terkoordinasi, dimana akhirnya menghasilkan perubahanperubahan (community change). Dengan mengacu pada pemahaman karakter komunitas seperti di atas, maka bisa dimengerti bila konsep komunitas dipandang layaknya sebuah organisme yang “hidup” (a systemic unity) dan bisa dibentuk serta ditumbuh-kembangkan (lihat kajian dari Bell and Newby, 1978). Dengan asumsi ini, dalam teori pembangunan muncul beberapa kajian tentang community power, yang menempatkan komunitas-komunitas pada suatu tempat dan memiliki kapasitas sehingga mampu melakukan aktivitas proses-proses sosial (seperti berinteraksi sesamanya, berkompetisi sesamanya, hingga berkonflik dengan komunitas lain). Apakah sebenarnya community empowerment itu? Berbeda dengan pembangunan ala modernisasi yang berintikan pada pencapaian perubahan pada basis materialisme dan basis kulturalisme yang sengaja diarahkan (intentionally directed towards specified end). Dalam strategi pemberdayaan, “proses perekayasaan” ditekan seminimal mungkin terjadi. Wilkinson (1972) memaknai pembangunan ala pemberdayaan adalah proses pembangunan yang lebih natural, dimana perumusan masalah dan pencarian solusi diserahkan pada komunitas. Dengan demikian pemberdayaan komunitas adalah: “sebuah upaya perubahan (kemajuan) yang sengaja (purposive) dilakukan atau dikembangkan oleh para anggota sebuah komunitas itu sendiri…. dimana mereka merumuskan masalah, menyusun rencana serta menentukan arah perubahan menurut keyakinan dan persepsi mereka sendiri….dan perubahan itu diyakini sebagai perbaikan (improvement)…sebagaimana layaknya membangun sebuah bangunan, maka upaya perbaikan tersebut utamanya diarahkan kepada perbaikan dan pengokohan struktur-struktur penopang komunitas yang bersangkutan”
Kemudian pemahaman atas konsep pemberdayaan komunitas terus berkembang. Dengan mengutip pendapat Christenson dan Robinson (1980), Fear dan Schwarzweller (1985) memahami konsep ini sebagai “sebuah proses perubahan yang inisiatifnya muncul dari anggota-anggota komunitas yang bersangkutan”. Upaya ini jelas berbeda dengan pendekatan pembangunan ala modernisasi-sentralististik yang diturunkan secara topdown, sebagaimana ideologi developmentalism menggagasnya dalam teori “diffusiinnovasi”. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa pengembangan komunitas dapat dilihat pada gejala: “sekelompok orang yang bekerjasama secara bahu-membahu dalam sebuah setting komunitas (lokal) dimana mereka menegakkan prinsip musyawarah (shared decision) dalam merancang proses-proses perbaikan atau perubahan secara partisipatif …. di sektor ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan”. Dengan demikian, pembangunan mendapatkan pehaman secara khusus, dimana makna dan konsep partisipasi masyarakat lokal menjadi kata kunci yang sangat penting. Fear and Schwarzweller
9
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
(1985) mengemukakan bahwa pembangunan ala pemberdayaan komunitas dipahami sebagai: “a process in which increasingly more members of a given area or environment make and implement socially responsible decisions, where the probable consequence of which is an increase in the life chances of some people without a decrease (without deteriorating) in the life chances of others”. Dengan memperhatikan pemahaman tersebut, maka pemberdayaan komunitas dipahami secara khusus sebagai: “perubahan sosial yang terencana dan relevan dengan persoalan-persoalan lokal yang dihadapi oleh para anggota sebuah komunitas (a locality-relevant planned change)…yang dilaksanakan secara khas dengan cara-cara yang sesuai dengan kapasitas, norma, nilai, persepsi, dan keyakinan anggota komunitas setempat, dimana prinsip-prinsip resident participation dijunjung tinggi”. Dalam hal ini, konsep pemberdayaan (empowerment) dalam hal ini dipahami dari berbagai sudut dan pengertian yang cukup beragam, namun mengerucut pada satu focal point yang jelas. Konsep pemberdayaan tersebut didefinisikan sebagai berikut: 1. Empowerment is viewed as a process: the mechanism by which people, organization and communities gain mastery over their lives (Rappaport, 1984 dalam Weissberg, 1999). 2. Empowerment goes well beyond the narrow realm of political power, and differs from the classical definition of power by Max Weber. Empowerment is used to describe the gaining of strength in the various ways necessary to be able to move out of poverty, rather than literally “taking over power from somebody else” at the purely political level. This means, it includes knowledge, education, organization, rights, and ‘voice’ as well as financial and material resources (Schneider, 1999). 3. Empowerment may, socio-politically, be viewed as a condition where powerless people make a situation so that they can exercise their voice in the affairs of governance (Osmani, 2000). 4. Empowerment may be understood as a process of transformation. This includes the transformation of the unequal power relationship, unjust structures of society, and development policies. Empowerment also means transformation in the sense of changing and widening of individual’s opportunities (Hacker, 1999). Dengan memperhatikan batasan-batasan di atas, Dharmawan (2000) mendefinisikan makna pemberdayaan sebagai: “a process of having enough energy enabling people to expand their capabilities, to have greater bargaining power, to make their own decisions, and to more easily access to a source of better living”
Pendekatan pembangunan ala pemberdayaan sebenarnya adalah reaksi atas pembangunan ala modernisasi yang di kemudian hari ternyata “ditunggangi” oleh kepentingan kapitalisme untuk mengembangkan world-capitalist-economy (ideologi globalisme). Pendekatan ala globalisme telah dipandang melumpuhkan sendi-sendi sosial-ekonomi dan politik lokal, sehingga perlu diimbangi oleh keberdayaan dari dalam komunitas. Keyakinan ini sesuai dengan thesis the crisis of community yang ditandai oleh problematika ketertinggalan, ketidakberdayaan, kemiskinan, serta kehilangan identitas (Brox, 2006). Gagasan lokalisme dengan demikian merupakan counter-action
10
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
atas pendekatan modernisme via globalisme yang dibawa oleh pemodal asing. Sebagai pendekatan yang berbasis pada karakter lokal, maka pemberdayaan komunitas lebih kental mencirikan pendekatan sesuai potensi dan setting sosio-budaya tempatan, sehingga bisa mewakili aliran pembangunan berorientasi pada lokalisme. Satu hal terpenting yang perlu diingat dalam aliran pembangunan berorientasi lokalisme adalah adanya “dilema-lokalitas”, yaitu ketidakberfungsian sebuah program yang semula berjalan dengan baik di tingkat lokal, manakala program tersebut harus dijalankan atau dioperasionalisasikan di skala yang lebih luas dari skala lokal (supralokal). Inefektivitas pembangunan lokalistik tersebut disebabkan hadirnya faktor ketidakcukupan prasyarat kekhasan sosio-ekonomi-budaya-politik lokal yang diperlukan untuk menopang berfungsinya sebuah program. Jadi, dilema-lokalitas muncul oleh karena persoalan inkompatibilitas atau ketidakcukupan prasyarat yang dimiliki oleh supralokalitas (beyond locality).
5. Sistem Nafkah Berkelanjutan (Sustainable Livelihood System Approach) Pembangunan pertanian-pedesaan yang dipandu oleh ideologi sustainability memberikan platform yang jelas pada mekanisme-mekanisme penguatan kedaulatan civil society dan lokalitas untuk mengelola sepenuhnya sumberdaya alam dengan kearifan lokal yang dimiliki sesuai dengan etika ekosentrisme. Kesejahteraan sosial-ekonomi yang diperjuangkan dalam konsep sustainable development ideology adalah apa yang dikenal kemudian dengan sustainable livelihood system. Sebuah derajat kesejahteraan sosialekonomi, yang tidak hanya berorientasikan pada akumulasi kapital sesaat (sebagaimana dikenal oleh ideologi developmentalisme-modernisme-kapitalisme), namun lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan generasi mendatang agar mereka minimal dapat menikmati kehidupan yang sama kuantitas dan kualitasnya dengan apa yang dinikmati oleh generasi masa kini (lihat Gambar 1).
Transformasi Struktur dan Proses Struktur: • Birokrasipemerintahan • Keterkaitan dengan Swasta Proses-Proses: • Hukum • Kebijakan • Budaya/kultur • Kelembagaan
Livelihood Assets
Konteks Kerentanan • Bencana mendadak • Ketersediaan sumberdaya • Variasi musiman
HC SC PC
NC FC
Pengaruh dan Akses
Keterangan: SC : Social capital (modal sosial) NC : Natural capital (modal alam) PC : Physical capital (modal fisik)
HC : FC :
Strategi Nafkah
Outcomes: Perbaikan nafkah Peningkatan taraf hidup Mengurangi kerentanan Æ kehidupan lebih fleksibel terhadap berbagai ancaman Mengembangkan ketahanan pangan Jaminan hidup generasi mendatang
Human capital (modal manusia) Financial capital (modal keuangan)
Gambar 1. Sustainable Livelihoods Framework (diadaptasi dari Farrington et. al. : 1999) 11
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
Konsep ini sesungguhnya dikembangkan pertama kali di Inggris pada akhir dekade 1990an, namun didisain sedemikian rupa sehingga sangat relevan untuk kawasan sedang berkembang. Pendekatan pembangunan ala sustainable livelihood system adalah pendekatan pembangunan kontemporer (konsep pembangunan dekade 1990an) yang berusaha mengoreksi pendekatan pembangunan ala modernisasi yang dikenal sangat tidak akrab terhadap lingkungan. Pendekatan sistem nafkah berkelanjutan berusaha mencapai derajat pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi, dan ekologi secara adil dan seimbang. Pencapaian derajat kesejahteraan sosial didekati melalui kombinasi aktivitas dan utilisasi modal-modal yang ada dalam tata sistem-nafkah (lihat Tabel 2). Tabel 2. Sistem Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan Strategi nafkah yang dijalankan
Sumberdaya nafkah tumpuan
Aktivitas nafkah utama
Ekstensifikasi pertanian
Modal alam – pertanian sawah
Substitusi-lahan
Modal alam
Investasi sosial (social asset investment)
modal sosial
Integrasi sosial
Modal sosial
Pengembangan sistem asuransi sosial internal keluarga
Modal alam dan modal sosial
Migrasi untuk bekerja di sektor non-pertanian dan menciptakan remittance-economy Kemitraan usaha suami-isteri
Modal sosial yang dibangun bersama-sama warga sedesa Modal sosial, modal finansial
Bekerja sebagai pekerja bangunan
Rural non-farm activities
Modal finansial
Pelaku Utama aktivitas nafkah
Penggarapan pada berbagai jenis lahan secara bersamaan Æ untuk optimasi hasil pertanian Penggarapan lahan hutan (hasilnya untuk menyewa sawah)
Orang tua (kepala rumahtangga) sebagai pelaku dan anak sebagai pembantu utama
Membangun jaringan sosial antar rumahtangga yang berguna sebagai sarana memperoleh pekerjaan Berusaha untuk tetap menjadi anggota komunitas dan membangun keselarasan sosial Æ dengan harapan jaminan keamanan sosial Persiapan dan pengembangan asset natural untuk persiapan hari tua
Kepala rumahtangga dan anak
Kepala rumahtangga sebagai tenaga kerja utama dibantu oleh anak
Orientasi, Tujuan utama Aktivitas Nafkah Survival dan jaminan keamanan konsumsi dan pengembangan aset ekonomi rumahtangga Memastikan lahan sawah Æ sumber subsistensi rumahtangga Keamanan sosial dan kesejahteraan material-psikologikal di masa depan
Dengan tetap tinggal di desa, para kepala rumahtangga dapat memelihara harmonisasi nilai yang berlaku di masyarakat lokal
Antisipasi keamanan sosial nafkah Æ terutama untuk menghadapi situasi emergensi (krisis)
Keluarga besar (extended family) menyiapkan bekal nafkah bagi anak-cucunya Æ sebagai bagian strategi pengamanan sosial di masa tua bagi anggota keluarga paling sepuh Kepala keluarga (suami) bekerja di perantauan dan istri di rumah
Survival dan keamanan sosial dan jaminan ekonomi di hari tua
Membuka warung, menjadi tukang
Kepala keluarga (suami) dan istri bekerja bersamasama
Bekerja di sektor jasa atau perdagangan
Kepala keluarga (suami)
Survival dan peningkatan kesejahteraan material serta keamanan sosial Survival dan Pembangunan aset rumahtangga
Survival dan akumulasi aset rumahtangga
Sumber: Diinterpretasi ulang dari Purnomo (2006)
12
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
Sejumlah prinsip penting yang diperlukan untuk memahami konsep pengembangan komunitas berpendekatan sustainable livelihood mechanism, adalah: • Landasan etika pembangunan adalah ekosentrisme, yaitu menghargai kesejajaran antara kepentingan manusia dan alam secara seimbang. Artinya, manusia dan alam hidup seiring sejalan dan memiliki hak serta kewajiban yang sama. Etika ini menghindari perilaku eksploitatif terhadap alam yang berlebihan demi pencapaian derajat kesejahteraan manusia. • Ideologi environmentalisme dan eco-modernisme melandasi gerakan sosial masyarakat dalam berperilaku dan menyikapi pelestarian lingkungan. Ideologi ini tetap menempatkan pencapaian kehidupan manusia yang sejahtera, dalam waktu yang bersamaan tetap memandang penting pula untuk mengupayakan penyelamatan dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan demi kehidupan manusia dan alam itu sendiri. • Mengubah persepsi tentang pembangunan dari ciri eksploitatif ke ciri kearifan terhadap alam. • Konsep rural sustainable development selalu mengintegrasikan kepentingan alam dan manusia dalam satu kesatuan paket-kepentingan yang diperjuangkan secara bersamasama. • Pendekatan participatory sustainable community empowerment yang menyertai proses-proses pengambilan keputusan, mengindikasikan adanya komitmen yang kuat atas pencapaian cita-cita keadilan lingkungan. Karakter konservatisme dan populisme yang menjiwai pendekatan sustainable livelihood system ditunjukkan oleh hadirnya lima modal (lihat Gambar 1) yang membangun sistem kehidupan masyarakat. Setiap modal berstatus sama dan sederajat posisinya. Ciri konservatisme dalam pendekatan ini adalah diletakkannya natural capital sebagai entitas modal yang terpisah. Dalam ekonomi konvensional, modal alam dikenal secara sempit sebagai tanah (land) yang menjadi sumberdaya dan sekaligus tempat produksi semata-mata. Dengan memandang alam sebagai modal, maka tidak hanya tanah yang diakui eksistensinya, melainkan juga biodiversity, air, udara, hutan, sungai, tanah, jasad-renik, dan sebagainya. Terdapat asumsi yang dipegang dalam hal ini, yaitu sistem kehidupan akan terus berlanjut jika dan hanya jika modal alam dilestarikan eksistensinya. Sementara itu, ciri populisme ditunjukkan oleh kehadiran social capital (modal sosial) dalam sistem. Modal sosial dianggap sangat penting dalam konsep pembangunan kontemporer, karena fungsinya sebagai perekat elemen-elemen masyarakat. Tiga komponen utama yang penting dalam hal ini adalah: (1) trust – kepercayaan antar komponen/anggota masyarakat yang memudahkan proses komunikasi dan pengelolaan suatu persoalan serta mengurangi biaya transaksi; (2) social networking – berupa jejaring organisasi-kelompok ataupun jejaring individu berbentuk bond (ikatan) and bridge (pertemanan) untuk mendukung gerak aksi-kolektivitas menjadi makin sinergis; (3) norms and institutions – adalah norma-norma dan sistem nilai (biasanya berciri lokal) yang mengawal serta menjaga proses-pembangunan sehingga tidak mengalami penyimpangan.
13
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
Ketiga bentuk modal lain telah jelas yaitu human capital berupa kemampuan, keterampilan dan kapasitas sumberdaya manusia, financial capital atau uang dan physical capital berupa infrastruktur fisik penopang pembangunan. Kelima bentuk modal dimanfaatkan searif mungkin untuk menyongsong derajat kesejahteraan masyarakat serta kelestarian alam.
6. Penutup Mengenal perjalanan epistemologis (theory of knowledge), ontologis (konsep relevan), serta axiologis (dasar etika) dari pemikiran-pemikiran atau gagasan pembangunan, akan memberikan kearifan bagi seseorang dalam menentukan pilihan paradigma apa yang tepat digunakan untuk memecahkan suatu persoalan. Harus diakui bahwa konsep “pembangunan” tetap menjadi instrumen dan approach penting perubahan sosial berencana. Namun, pengalaman pembangunan telah memberikan banyak pilihan atas varian-varian baru konsep pembangunan yang layak diperhatikan dan diperhitungkan. Rujukan Anonymous, 2003. Celebrating Indonesia: Fifty Years with the Ford Foundation 19532003. Ford Foundation. Jakarta. Bossel, H. 1999. Indicators for Sustainable Development: Theory, Method, Application. International Institute for Sustainable Development. Manitoba. Brox, O. 2006. The Political Economy of Rural Development: Modernization Without Centralization? Eburon Publisher. Delft. Castro, C. J. 2004. Sustainable Development: Mainstream and Critical Perspectives. Organization and Environment, Vol. 17/2, pp. 195-225. de Haan, L. J. 2000, Globalization, Localization and Sustainable Livelihood, Sociologia Ruralis, Volume 40, Number 3, July 2000. Dharmawan, A. H. 2000. Poverty, Powerlessness, and Poor People Empowerment: A Conceptual Analysis with Special Reference to the Case of Indonesia. Paper presented in the Workshop on Rural Institutional Empowerment held in the Indonesian Consulate General of the Republic of Indonesia in Frankfurt am Main Germany, August 26th 2000. Elliot, J. A. 1996. An Introduction to Sustainable Development: The Developing World. Routledge. London and New York. Ellis, F. 2000, Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries, Oxford University Press, New York. Farrington, J. et. al. 1999. Sustainable Livelihoods in Practice : Early Applications of Concepts in Rural Areas’. ODI Natural Resources Perspectives. Number 42. June 1999. Overseas Development Institute. London. Fear, F. A and Schwarzweller, H.K. 1985. Introduction: Rural Sociology, Community and Community Development, in Fear, F. A and Schwarzweller, H. K. (eds.). 1985.
14
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
Research in Rural Sociology and Development, Focus on Community. JAI. Greenwich and London. Frank, A. G. London.
1978. Dependent Accumulation and Underdevelopment. Macmillan.
Galtung, J. 1995. On the Social Costs of Modernization: Social Disintegration, Atomie Anomie and Social Development . UNRISD. Geneva. Gonzales, J. et al. 2005. Participatory Research and Development for Sustainable Agriculture and Natural Resources Management a Sourcebook: Understanding Participatory Research and Development Vol. 1. CIP-UPWARD and IDRC. Los Banos. Hacker, H. 1999. Empowerment Projects for and by Woman: Summary of Pilot Study. DED Yaounde. (Unpublished). Marten, G. G. 2001. Human Ecology: Basic Concepts for Sustainable Development. Earthscan. London and Sterling. Osmani, S. R. 2000. Participatory Governance, People’s Empowerment and Poverty Reduction. SEPED Conference Paper Series No. 7. UNDP. Washington, D.C. Peet, R and Hartwick, E. 1999. Theories of Development. Guilford. New York and London. Purnomo, A. P. 2006. Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan: Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Thesis Magister. Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Roxborough, I. 1994. Theories of Underdevelopment: Critical Social Studies. Macmillan. London. Schneider, H. 1999. Participatory Governance: The Missing Link for Poverty Reduction. OECD Development Center, Policy Brief No. 17. Paris. Seligson, M. A and Passe-Smith, J.T. 2003. Development and Underdevelopment: The Political Economy of Global Inequality. Lynne Rienner. Boulder. Shepherd, A. 1998. Sustainable Rural Development. Macmillan. London.
Basingstoke and
So, Y. A. 1990. Social Change and Development: Modernization, Dependency and World-System Theories. Sage. Newbury Park, London and New Delhi. Wallerstein, I. 1976. A World-System Perspective on the Social Sciences. British Journal of Sociology, Vol. 27/3, pp. 343-352. Wallerstein, I. 2005. World-Systems Anaylisis: An Introduction. 2nd printing. Duke University Press. Durham. Warburton, D. 1998. Community and Sustainable Development: Participation in the Future. Earthscan. London.
15
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
Weissberg, R. 1999. The Politics of Empowerment. Praeger. Westport, Connecticut and London. Wilkinson, K. P. 1970. The Community as a Social Field. Social Force, Vol. 48/3, pp. 311-322. Wilkinson, K. P. 1972. A Field-Theory Perspective for Community Development Research. Rural Sociology, Vol. 37/1, pp. 43-51.
16
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
Gambar Lampiran 1. Perubahan Sosial Mikro-Meso Pedesaan Jawa Akibat Revolusi Hijau
Struktur-sosial: (a) disparitas pendapatan dan penguasaan lahan antar kelompok menajam, (b) potensi konflik antar kelompok meningkat, (c) etika kehidupan sosial di desa melumpuh
Ideologi: MODERNISASI
Petani Luas Revolusi Hijau: HYV, Insektisida
BIMAS
Struktur ekonomi: (a) ketimpangan kecepatan pertumbuhan ekonomi, (b) polarisasi asset ke kelompok tertentu
Lapisan sosial di desa yang paling diuntungkan oleh BIMAS
Petani Sedang Termarjinalisasi karena keterbatasan modal dan uang/tanah untuk mengakses teknologi
Petani Sempit
Sosio-kultural: (a) etika komersialisasi meningkat, (b) pola konsumsi (consumptivness) rumahtangga berubah, (c) penggunaan sistem nilai uang dan pertukaran (jual-beli) serta sewa meningkat, (d) profitoriented society Struktur Demografi: (a) mobilitas penduduk meningkat (urbanisasi/migrasi desa-kota), (b) transformasi tenaga kerja dari pertanian ke sektor industri dan jasa kota
Pendekatan: Growth and Equity
KONFLIK SOSIAL
Struktur Agraria: (a) perubahan pola hubungan sosial-produksi dari sistem bawon/derep (sharecropping system atau bagi hasil) ke sistem upah, (b) ketersisihan TK wanita, (c) akumulasi lahan dari petani sempit ke petani kaya Dimensi Kelembagaan: (a) tumbuhnya kelembagaan baru dalam struktur pembangunan pertanian (PPL), (b) koperasi desa, (c) kelompok17 tani
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
18