PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Media dan berita yang diproduksi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Kaum pluralis melihat media sebagai saluran yang bebas dan netral, semua pihak dapat menyampaikan pandangannya secara bebas. Sedangkan kaum kritis berpandangan sebaliknya. Media bukanlah saluran yang bebas, tetapi dimiliki oleh kelompok yang dominan, untuk memproduksi ideologi yang dominan pula (Eriyanto, 2001:36) Antonio Gramsci, melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti, media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun, di sisi lain media juga dapat menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media dapat menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga dapat menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan (Sobur, 2004:30) Artinya berita yang diproduksi tidak dihasilkan dalam sebuah ruang hampa. Ada orang-orang atau pihak yang terlibat dalam proses melahirkan sebuah berita, berikut aspek kepentingan dan konflik yang menyertainya. Sejak tragedi
WTC 2001 dan tragedi bom Bali 2002, berita seputar dugaan
keterlibatan kelompok Islam tertentu menjadi pengisi santapan kita sehari-hari. Beberapa tokoh Islam mulai disebut-sebut mulai memiliki kaitan dengan jaringan terorisme. Begitu juga dengan media yang mempunyai peran tidak kalah dominannya dalam mengangkat isu ini dan mempopulerkan istilah terorisme. Mencermati secara kritis pemberitaan media massa tentang kasus terorisme, semakin membuat kita prihatin. Kenapa wartawan kita, terlebih wartawan asing tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
membedakan kapan ia harus menggunakan kata “Islam” dan kapan harus menggunakan kata “muslim”. Islam adalah sebuah agama, sedangkan muslim itu orang yang menganut agama Islam yang bisa saja salah kaprah dalam melaksanakan agamanya, atau bahkan tidak mengamalkan ajaran agamanya sama sekali. Tak jarang kita melihat munculnya semacam fenomena “jurnalisme stereotip” yang sudah lebih dulu punya asumsi dan abstraksi dalam membingkai (framing) isu atau fakta dalam bingkai (frame) yang dipengaruhi prasangka, sehingga cenderung bias bahkan terkadang keliru (Idi Subandy, 2007 :6) Kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana terjadi akhir bulan Maret lau, tepatnya tanggal 27 Maret 2007. Penangkapan kelompok Abu Dujana ini berawal ketika polisi berhasil mengendus aksi yang akan dilakukan oleh Agus Suryanto dan Sarwo Edi. Polisi membututi keduanya mulai dari Magelang sampai Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta kedua orang ini langsung menukarkan kotak yang dibawanya dari Magelang dengan dus yang dibawa oleh Akhyas alias Sutarjo alias Abi Isa, Amir Ahmadi, dan Sikas alias Karim. Ketiganya membawa dus berukuran sama. Polisi langsung melumpuhkan orang ini sebelum mereka berhasil meninggalkan tempat. Dari penyitaan ternyata kotak yang dibawa dari Magelang hanyalah kotak kosong. Sedangkan dus yang dibawa oleh Akhyas berisi dua senapan M-16, satu pistol revorver, dan satu pistol FN, dan juga hampir seratis peluru berbagai ukuran (Tempo, 1 April, 2007). Agus yang berusaha kabur akhirnya ditembak mati polisi sedangkan Edi terluka. Dari pengangkapan tersangka ini polisi mengembangkan kasusnya. Kepada polisi Akhyas mengaku bahwa sebagai petinggi asykari alias angkatan perang Jamaah Islamiyah. Ia adalah bawahan Abu Dujana. Pernyataan ini didapat Tempo dari salah seorang polisi. Dari pemeriksaan itu juga polisi berhasil mendapat informasi bahwa kelompok akhyas menyembunyikan berbagai bahan peledak di rumah Sikas. Ketika petugas mendatangi rumah
Universitas Sumatera Utara
Sikas, ternyata ditemukan timbunan detonator aktif, dua jerigen potasium cair, peluru senapan M-16 dan SS-1, 16 bom lontar dan berbagai senjata lainnya (Tempo, 1 April 2007) Sedangkan menurut pengakuan beberapa tersangka yang sudah tertangkap, bahwa Jamaah Islamiyah saat ini sudah berganti struktur. Jabatan tertinggi pada struktur terbaru itu adalah qoryah, yang artinya komandan sariyah alias komandan tentara. Posisi ini ditempati Abu Dujana. Di bawahnya ada ishobah yang juga membawahi beberapa bagian. Bertindak sebagai amir Jamaah Islamiyah saat ini adalah Zarkasih alias Mbah yang juga sudah tertangkap. Pada 9 Juni 2007 lalu Abu Dujana berhasil ditangkap polisi hendak menghadiri pemilihan kepala desa di tempat tinggalnya. Abu Dujana dilumpuhkan dengan satu tembakan di kakinya. Menurut polisi, Abu Dujana termasuk seorang yang sangat ‘licin’ karena sudah beberapa kali berhasil meloloskan diri dari pantauan polisi. Ia juga dianggap bertanggungjawab terhdap serangkaian aksi pemboman di tanah air, termasuk kerusuhan di Poso. Bahkan menurut polisi dialah yang mengatur persembunyian dan pelarian Noor Din M Top, serta berkuasa penuh atas semua bahan peledak dan senjata yang dimilki oleh Jamaah Islamiyah. Menurut penyidik dari kepolisian, barang-barang tersebut adalah pesanan ustad Ryan. Ia adalah orang yang mati tertembak saat penggrebekan di Poso, Sulawesi Tengah, 11 Januari lalu. Ryanlah yang disebut-sebut mengatur pengapalan senjata dan bahan peledak dari Solo ke wilayah konflik tersebut. Selain itu, dalam edisi berikutnya (8 April 2007) Tempo juga mengangkat berita tentang tempat yang pernah dijadikan kelompok ini untuk latihan militer. Gunung Sumbing, Temanggung, Jawa Tengah, adalah tempat yang disinyalir sebagai lokasi latihan kelompok ini. Menurut tersangka kasus terorisme ini, mereka pernah dua kali melatih anak buahnya beberapa keterampilan bertempur di lokasi ini. Latihan pertama digelar akhir tahun lalu, yang
Universitas Sumatera Utara
diikuti sepuluh orang yang semua berasal dari Jakarta. Latihan terakhir digelar 20 Januari lalu, dengan jumlah peserta lebih banya. Menurut para tersangka, latihan ini dilatih oleh empat orang, salah satunya adalah Zulkarnaen, buron polisi yang dituduh terlibat dalam pengeboman di Bali, 12 Oktober 2002. Latihan ini diawasi oleh Abu Dujana, yang diyakini berperan sebagai Komandan Sayap Militer Jamaah Islamiyah wilayah Jawa (Tempo, 8 April 2007) Dalam memberitakan kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana majalah Tempo memuat beberapa pernyataan dari nara sumber. Mulai dari pihak kepolisian, kelompok yang dianggap telah “tobat” dari kegiatan terorisme, orang yang oleh media dianggap sebagai sahabat dari Abu Dujana tetapi menurut pengakuannya tidak mengenal Abu Dujana, serta beberapa tetangga Abu Dujana. Akan tetapi sangat jarang keterangan nara sumber yang diambil langsung dari orang yang terlibat, dalam hal ini Abu Dujana dan kelompoknya. Dari permasalahan itulah, peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana teks atau isi berita untuk melihat proposi, ideologi, makna yang terkandung, serta proses pembingkaian dalam pemberitaan kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana. Dalam hal ini media yang akan diteliti adalah majalah mingguan Tempo.
B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut: “Bagaiman majalan mingguan Tempo membingkai peristiwa kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana”
C. PEMBATASAN MASALAH
Universitas Sumatera Utara
Agar menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan agar lebih jelas terarah sehingga tidak akan mengaburkan makna penelitian, maka penulis membatasi masalah sebagai berikut: 1. Penelitian hanya dilakukan pada majalah mingguan Tempo 2. Penelitian hanya dilakukan pada pemberitaan mengenai kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana yang terjadi pada Bulan Maret lalu 3. Penelitian dilakukan pada majalah mingguan Tempo yang terbit pada Bulan MaretJuli 2007
D. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pemberitaan kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana pada majalan mingguan Tempo. 2. Untuk mengetahui makna yang tersirat di balik konstruksi berita dalam kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana. 3. Untuk melihat posisi media dalam memberitakan kasus terorisme yang melibatkan kelompok Abu Dujana.
E. MANFAAT PENELITIAN 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna dalam memperluas pengetahuan penulis dalam bidang jurnalistik. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi sumbangsih terhadap penelitian sosial kritis, serta sumbangsih pemikiran mengenai pemberitaan kasus-kasus serupa guna meningkatkan kualitas isi berita.
Universitas Sumatera Utara
3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan menambah khasanah penelitian di bidang Komunikasi.
BAB II URAIAN TEORITIS
2..1. Sejarah Terorisme Istilah teror dan terorisme sebetulnya sudah ada sejak lama, yakni pada masa imperium Romawi pada paruh awal pertama masehi yang pada saat itu diperintah Tiberius
Universitas Sumatera Utara