BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa bukanlah saluran yang bebas dan netral, demikian pandangan paradigma kritis. Perspektif kritis ini bertolak dari asumsi umum bahwa realitas kehidupan bukanlah realitas yang netral, tetapi selalu dalam kaitan dengan kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Siapa yang kuat secara ekonomi, politik atau sosial, dialah yang mendominasi. Asumsi umum paradigma kritis di atas selanjutnya berdampak pada asumsi khusus studi kritis wacana media. Dalam studi kritis wacana atau akrab dengan sebutan analisis wacana kritis, bahasa media dilihat bukan sebagai sesuatu yang netral dan bebas nilai. Bahasa media dalam konteks ini selalu dipandang sebagai bentuk dominasi pihak yang kuat terhadap pihak lemah. Dengan kata lain, bahasa media di sini adalah sebuah praktik sosial dari satu pihak untuk menguasai pihak lain. Memandang bahasa sebagai praktik sosial berarti bahasa dilihat sebagai sebuah bentuk tindakan. Dengan memakai bahasa, pengguna bahasa diasumsikan sedang bertindak, menyatakan siapa dirinya dengan segala latar belakangnya. Karena itu, untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dibaliknya, sebuah teks harus dilihat dalam konteks pemakaian tertentu dan tidak terbatas hanya pada persoalan tata bahasa teks tersebut. Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Trew (selanjutnya disebut Fowler dkk.), penganut paradigma kritis, sebagaimana asumsi paradigma kritis umumnya, memandang bahasa sebagai praktik sosial. Secara lebih spesifik, Fowler dkk memandang praktik pemakaian bahasa sebagai momentum melalui mana suatu kelompok memantapkan dan menyebarkan ideologinya. Untuk melihat praktik ideologi yang dipakai pihak tertentu,
Fowler dkk kemudian menganalisis teks media yang dianggap tidak netral dan selalu membawa dampak ideologis tertentu. Dalam pendekatan ini, Fowler dkk menganalisis teks media dengan perhatian khusus pada tata bahasa yang meliputi pemilihan kosa kata dan susunan serta pembentukan kalimat yang berdampak pada pengertian tertentu. Pilihan kosa kata dan pembentukan kalimat dalam bentuk tertentu tersebut, menurut Fowler dkk bukan persoalan tata bahasa atau teknis jurmalistik semata, tetapi dilihat sebagai sebuah politik pemaknaan tertentu yang selalu berimplikasi ideologis. Dengan praktik pemaknaan tersebut, mengakibatkan ada orang, kelompok, pandangan atau wacana dirugikan/dipinggirkan, sebaliknya menguntungkan pihak lain. Bertolak dari asumsi yang dikemukakan oleh Fowler dkk, melalui penelitian ini, peneliti akan meneliti teks-teks berita salah satu media massa terkemuka di Nusa Tenggara Timur (NTT), yaitu Surat Kabar Harian Umum Pos Kupang (SKHU Pos Kupang). Beritaberita SKHU Pos Kupang, sama seperti media-media massa lainnya, dalam pandangan Fowler dkk selalu tidak netral dalam praktik penggunaan bahasanya. Lebih lanjut, penelitian ini akan dibatasi pada topik tentang seksisme, khususnya berita-berita tentang peristiwaperistiwa asusila yang dimuat SKHU Pos Kupang pada Rubrik Kupang Crime selama edisi Bulan Oktober 2009 Untuk melihat praktik marjinalisasi pihak wanita, dalam penelitian ini akan dilakukan analisis teks-teks berita SKHU Pos Kupang, khususnya berita-berita seputar peristiwaperistiwa asusila. Dalam rangka mengungkap praktik ketidakadilan di atas, kerangka analisis Fowler dkk akan dipakai sebagai ‘pisau’ analisis penelitian ini. Penelitian ini akan menelaah tiga aspek penting.
Pertama, pilihan kosa kata SKHU Pos Kupang yang dipakai untuk menggambarkan peristiwa atau kejadian dalam teks berita, apakah sebuah peristiwa asusila disebut sebagai pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan atau sebutan lainnya. Contoh, berita SKHU Pos Kupang edisi Kamis, 1 Oktober 2009, dengan judul “Gadis Pemulung Digilir Dua Pemuda. Pilihan kata “digilir” untuk menggambarkan proses berlangsungnya perbuatan asusila dengan melibatkan pelaku dan korban sangat memarjinalkan wanita yang dalam hal ini berada dipihak korban. Kata “digilir” bila ditalaah lebih jauh sangat berasosiasi negatif. Dengan menggunakan kata “digilir”, seorang wanita di sini ibarat sebuah barang yang selesai dipakai seorang dapat diberikan pada pihak lainnya juga untuk dipakai. Problem pilihan kata ini tidak hanya berkaitan dengan persoalan semantik tetapi dalam paradigma kritis, khususnya pendekatan Fowler dkk, selalu dalam kaitan dengan keberpihakan pada pihak dominan/pria, sebaliknya memarjinalkan pihak yang dianggap lemah/wanita. Hal ini diakibatkan, setiap pilihan kata untuk menunjukan peristiwa selalu turut membawa makna tertentu, dan makna yang diperoleh sebagai implikasi dari pilihan kosakata umumnya selalu berpihak pada kaum pria atau pelaku tindak asusila. Kedua, Sebagai korban, lazimnya wanita selalu diberi sebutan tertentu, begitu pula dengan pihak pelaku atau pria. Pilihan kosakata SKHU Pos Kupang untuk dikenakan kepada korban dan pelaku ini harus dianalisis, karena menurut Fowler dkk, pilihan kata yang dikenakan pada kedua pihak tersebut membawa makna tertentu. Pilihan kata yang dipakai selanjutnya membawa pembaca untuk memahami persoalan yang diberitakan. Dalam prasangka kritis, sebutan yang dilekatkan untuk korban selalu berasosiasi negatif. Misalnya, dalam berita SKHU Pos Kupang edisi Rabu, 21 Oktober 2009 dengan judul “Siswa SMA Dicabuli Hingga Hamil”. Pada berita ini, sebutan yang dikenakan untuk korban adalah
”siswi SMA”. Dengan pilihan kata “siswi SMA”, kesan yang muncul di benak pembaca, korban adalah seorang remaja yang masih muda, sedang dalam masa pubertas, suka mencoba hal-hal baru, lazimnya suka bergaul bebas (seks bebas). Dengan sebutan demikian, makna yang diterima pembaca bukannya semakin bersimpati dengan korban, melainkan justru memaklumi peristiwa asusila tersebut sebagai sesuatu peristiwa yang memang sudah selayaknya terjadi. Terakhir, telaahan terhadap pola pembentukan kalimat dalam berita asusila, khususnya berita asusila SKHU Pos Kupang. Fokus kajian dalam pola terakhir ini meliputi pasivasi dan nominalisasi kalimat. Fungsi kedua bentuk tersebut dalam pendekatan Fowler dkk selalu dikaitkan dengan penghilangan atau penyembunyian pelaku yang semestinya harus lebih ditonjolkan. Di sini bentuk kalimat yang dipilih turut menentukan makna yang diterima saat berita tersebut dibaca. Dalam berita SKHU Pos Kupang edisi Selasa, 21 Oktober 2009 dengan judul “Siswa SMA Dicabuli Hingga Hamil”, pada judul berita dengan kalimat pasif ini yang dicantumkan hanya korban, sementara pelaku perbuatan cabul, dalam hal ini pria tidak dicantumkan. Pelaku dalam konteks ini dapat dikatakan disembunyikan baik secara sengaja atau tidak sengaja. Kondisi ini dapat terjadi karena bentuk kalimat pasif tidak selalu menuntut objek. Praktik penggunaan bahasa ini dalam tataran tertentu boleh dikatakan secara sengaja dilakukan, namun tidak tertutup kemungkinan juga, praktik bahasa yang dilakukan media massa dalam hal ini SKHU Pos Kupang, tanpa disadari atau disengajakan turut memarjinalkan pihak wanita/korban. Hal ini diakibatkan oleh praktik ideologi yang telah terinternalisasi dalam diri wartawan penulis berita bersangkutan. Proses akumulasi ideologi tersebut membuat pandangan versi tertentu diterima begitu saja sebagai kebenaran mutlak
tanpa ditinjau lebih jauh, sebalikya memarjinalkan pandangan lainnya yang kurang populer (wacana tandingan). Ketiga aspek analisis di atas akan menghantar peneliti pada sebuah pembongkaran proses praktik ketidakadilan bahasa yang selama ini dilakukan media massa, secara khusus SKHU Pos Kupang. Selain itu, persoalan asusila dalam pemberitaan media ini menjadi problem yang menarik untuk diteliti karena melalui analisis yang konprehensif, segala bentuk praktek ideologi yang selama ini telah berdiri menjadi sebuah hegemoni besar dalam media massa di Indonesia, dan NTT khususnya dapat dibongkar dan diangkat ke permukaan 1.2 Rumusan Masalah Salah satu karakteristik khusus pelitian kritis sebagaimana dikemukakan Eriyanto (2001:53) dalam bukunya Analisis Wacana-Pengantar Analisis Teks media adalah bahwa penelitian kritis sudah diawali dengan prasangka terhadap realitas yang akan diteliti. Untuk itu, dalam penelitian kritis ini, peneliti pun bertolak dari sebuah prasangka yang dapat diumuskan sebagai berikut: “Bagaimana korban (wanita) dimarjinalkan dalam teks berita SKHU Pos Kupang?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dapat dirumuskan sebagai berikut: Untuk mengetahui proses marjinalisasi pihak wanita dalam teks-teks berita asusila pada SKHU Pos Kupang yang direpresentasikan melalui kosa kata dan pembentukan kalimat.
1.4 Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan-kegunaan dari penelitian ini, antara lain:
a. Keguanaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan bagi Jurusan Ilmu Komunikasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam kaitan dengan studi tentang analisis isi media.
b. Kegunaan Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pembelajaran bagi semua pihak, secara khusus khalayak pembaca media untuk selalu kritis dalam melihat bahasa yang digunakan media.
1.5 Kerangka Pemikiran, Asumsi dan Hipotesis Penelitian 1.5.1 Kerangka Pemikiran Berita asusila SKHU Pos kupang merupakan refleksi wartawan/reporter atas realitas yang kemudian direpresentasikan dalam bahasa untuk selanjutnya dibaca masyarakat
pembaca.
Dalam
proses
produksi
berita
tersebut,
seorang
wartawan/reporter berhadapan dengan beragam pilihan kata dan bentuk kalimat di mana masing-masing pilihan membawa makna tertentu pula ketika dibaca pembaca. Dalam kerangka analisis Fowler dkk, analisis pertama akan dilakukan pada tingkat kosa kata. Kosa kata pertama yang ingin dilihat adalah kosa kata yang dipakai dalam menamakan peristiwa asusila, dan kedua, kosa kata untuk menamakan pelaku
dan korban peristiwa asusila. Pada analisis kosa kata ini, peneliti akan menganalisis pilihan kata (diksi) yang dipakai wartawan. Patut diketahui bahwa problem pilihan kata atau diksi sangat erat kaitannya dengan makna kata. Makna kata dalam Bahasa Indonesia terdiri dari makna denotatif dan makna konotatif (Keraf, 2009:27). Makna denotatif adalah makna kata yang tidak mengandung perasaan-perasaan tertentu. Sedangkan makna kata yang mengandung arti tambahan, perasaan atau nilai rasa tertentu dinamakan makna konotatif. Masing-masing makna tersebut mempunyai asosiasi tertentu sesuai dengan konteks di mana kata tersebut digunakan. Konteks, secara khusus konteks sosial dalam analisis wacana kritis memegang peranan yang sangat penting untuk memahami makna sebuah kata. Analisis pilihan kata juga erat kaitannya dengan struktur leksikal. Struktur leksikal adalah bermacam-macam relasi semantik yang terdapat pada kata yang dapat berwujud: sinonim, polisemi, hiponim dan antonim (Keraf, 2009:34-41). Dengan menggunakan relasi-relasi semantik tersebut peneliti dapat mempunyai pegangan untuk menganalisis kata-kata yang hendak dicari maknanya. Kedua, analisis akan dilakukan pada tingkat kalimat. Dalam analisis ini yang menjadi perhatian peneliti adalah proses pasivasi dan nominalisasi kalimat. Pertama, pasivasi kalimat. Dalam sebuah kalimat pasif, pelaku perbuatan yang seharusnya menempati posisi sebagai subjek kalimat berpindah posisi menempati posisi objek kalimat, sebaliknya, korban perbuatan menempati posisi subjek kalimat. Dalam paradigma kritis, dengan penempatan posisi seperti ini, selalu dilihat sebagai upaya penyembunyian pelaku. Hal ini didasari pada argumentasi bahwa, dengan
menempatkan pelaku di akhir kalimat, sorotan lebih diarahkan pada korban yang menempati awal kalimat yang seharusnya dilindungi atau disembunyikan. Lebih lanjut, dalam bentuk kalimat pasif, pelaku yang menempati posisi objek kalimat dapat dihilangkan karena kalimat pasif tidak selalu menuntut objek. Sementara itu, dalam nominalisasi kalimat, pelaku tindakan yang seharusnya mendapat sorotan lebih, sama seperti dalam pasivasi wajib dihilangkan karena dalam bentuk ini bukan lagi suatu tindakan yang ditekankan tetapi peristiwa. Kalimat dalam bentuk peristiwa pada hakekatnya tidak membutuhkan subjek, bahkan objek pun dapat dihilangkan, karena bentuk peristiwa tidak harus menunjuk pada realitas acuan yang kongkrit, baik pelaku, korban, tempat dan waktu. Deskripsi atas segala item yang menjadi fokus perhatian dalam pendekatan Fowler dkk selanjutnya diinterpretasikan peneliti untuk memperoleh makna di baliknya. Makna yang akan diperoleh tersebut merupakan sebuah ideologi yang selama ini mendominasi pola pikir baik wartawan maupun masyarakat pembaca surat kabar.
Gambar 1 Kerangka pemikiran Realitas yang diangkat menjadi Berita Asusila SKHU Pos Kupang
Kerangka Analisis Wacana Roger Fowler Pilihan kata (makna denotatif dan konotatif, struktur leksikal) dan pembentukan kalimat (pasivasi dan nominalisasi)
Interpretasi
Ideologi
1.5.2 Asumsi Penelitian ini dilandasi oleh asumsi sebagai berikut, yakni bahasa media massa selalu tidak netral karena selalu dilihat dalam kaitan dengan pertarungan ideologi, di mana dalam pertarungan tersebut selalu lebih menguntungkan ideologi orang, kelompok, wacana atau pendapat pihak dominan. Untuk membongkar praktik ideologi yang tidak adil tersebut, teks media harus dianalisis dan diinterpretasi secara kritis.
1.5.3 Hipotesis Bertolak dari rumusan persoalan di atas, dalam penelitian ini, peneliti berpegang pada sebuah hipotesis, yakni: Dalam penulisan berita-berita SKHU Pos Kupang tentang peristiwa asusila, pilihan bahasa dalam hal ini pilihan kata (diksi) dan pola pembentukan kalimat bila dilihat secara kritis, memarjinalkan korban (wanita).