BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pakaian merupakan ekspresi tentang cara hidup. Pakaian dapat mencerminkan perbedaan status dan pandangan politik religius. Dengan demikian, cara kita memilih pakaian dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan, sebagai sarana untuk menunjukkan bahwa kita berasal dari kelompok tertentu yang berbagi sekumpulan ideal tertentu. Pandangan- pandangan yang berbeda tentang bagaimana seharusnya masyarakat diatur tersebar meluas pada beragam pendapat tentang bentuk pakaian yang benar (Henk,2005:58). Pandangan seorang antropolog tentang pakaian mengawali ketertarikan peneliti untuk mengkaji lebih jauh tentang pakaian sebagai bagian dari simbol kebudayaan masyarakat. Pakaian erat kaitannya dengan kebudayaan yang melekat pada suatu bangsa. Pakaian sebagai hasil dari budaya yang mencerminkan kepribadian masyarakat. Menurut perkembangannya kita dapat menemukan pakaian trasidional dan pakaian modern. Misalnya, pada masyarakat modern, pakaian tradisional hanya digunakan pada perayaan tertentu saja, seperti pada upacara pekawinan. Perkembangan mode berpakaian di Indonesia tidak lepas dari latar belakang sejarah bangsa Indonesia sebagai Negara jajahan. Warga pribumi kala itu berusaha untuk meniru mode berpakaian bangsa Eropa yang menjajah Indonesia. Oleh karenanya sedikit banyak mode berpakaian masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh 1
bangsa Eropa. Perkenalan warga pribumi dengan pakaian Eropa kemudian membawa mereka menjadi masyarakat yang peka terhadap perkembangan mode. Terlebih lagi di Era Globalisasi yang salah satunya ditandai dengan semakin mudahnya penyebaran mode berpakaian ke seluruh dunia. Kemajuan teknologi informasi yang menjadikan dunia seakan tanpa batas. Pakaian mampu membatasi masyarakat dalam kelompokkelompok tertentu berdasarkan kriteria sosial, politik, dan budaya tertentu namun kemudian juga mampu mengaburkan segmentasi tersebut melalui mode pakaian yang menjelma sebagai selera bersama. Pengkolonian masyarakat berdasarkan selera bersama menjadi ide dari kapitalisme yang ditandai dengan produksi massa memunculkan yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai consumer culture atau masyarakat konsumsi. Gaya ( fashion) menjadi salah satu objek konsumsi penting dalam masyarakat modern. Simmel dalam salah satu karyanya juga membahas tentang gaya (fashion). Simmel berargumen bahwa gaya juga bersifat dialektis yang diartikan, keberhasilan dan persebaran gaya tertentu pada akhirnya akan berujung pada kegagalan. Yaitu perbedaan sesuatu menyebabkannya dipandang cocok; namun, ketika banyak orang yang menerimanya, gaya mulai tidak lagi berbeda dan dengan demikian kehilangan daya tarik (Ritzer:175). Menjadi berbeda dari orang lain dan sama dengan yang lainnya sebagai hal yang ingin dicapai dalam penciptaan gaya, misalnya gaya berpakaian. Para elit menjadi pusat gaya dan gaya tersebut tersebar kemudian ditiru oleh kelompok lain di luar mereka. Ketika semakin luas gaya itu tersebar dan tidak lagi dapat berfungsi sebagai pembeda atas kelompok mereka maka gaya tersebut akan 2
dengan cepat ditinggalkan dan kemudian menciptakan gaya yang baru sebagai upaya mereka untuk menjadi berbeda. Melalui televisi dan majalah fashion gaya disebarkan. Perubahan tren berpakaian selalu menjadi isu yang hangat untuk di perbincangkan. Setiap orang kemudian berangan untuk menjadi sama dengan model suatu majalah dengan membeli dan menggunakan baju, sepatu, atau tas yang sama dengan yang dia kenakan. Secara lebih luas seseorang ingin menciptakan identitas atas barang apa yang mereka konsumsi. Siklus tren fashion yang bergerak dengan cepat kemudian menjadi salah satu pilar dari masyarakat konsumsi. Masyarakat didorong untuk terus mengkonsumsi demi identitas sebagai masyarakat yang up to date akan fashion. Pakaian dibeli bukan lagi atas dasar kebutuhan akan fungsi pakaian tersebut tetapi lebih pada keinginan untuk mencapai posisi tertentu di dalam masyarakat. Konsumsi masyarakat yang berlebihan ini kemudian menimbulkan kesisa- siaan. Membeli sepatu misalnya dapat dilakukan setiap bulan walaupun sepatu yang lama masih dalam keadaan bagus. Baju yang ditumpuk di lemari sampai tak terhitung jumlahnya hingga memenuhi lemari penuh sesak. Ingin tampil gaya menjadi alasan konsumen untuk mengkonsumsi berlebihan. Pusat- pusat perbelanjaan menandai perkembangan Kota- Kota di Dunia. Pusat perbelanjaan tak pernah sepi dari pengunjung bahkan semakin hari justru semakin banyak pengunjung apalagi bila terpampang kata diskon, sudah pasti lebih banyak konsumen yang datang berebut barang dengan potongan harga. Bertebaran merek dalam maupun luar negeri yang dijajakan di sana, mulai dari harga yang
3
terjangkau sampai harga yang tak masuk akal. Merek luar negeri dilihat lebih berkualitas sehingga harganya pun sangat tinggi. Membeli tas dengan merek Hermes dengan harga puluhan juta dirasa tidak mungkin bagi kelas bawah namun bagi mereka kelas atas justru dianggap sebagai kebutuhan. Bagi kelas bawah yang ingin tampil gaya namun keterbatasan biaya dapat pula membeli barang- barang imitasi demi dapat terlihat sama. Mengkonsumsi lebih banyak menjadi ciri masyarakat konsumen. Ditengah masyarakat yang kranjingan terhadap barang- barang baru, pakaian tren terbaru, merek- merek dunia, terdapat segelintir anak muda yang memilih untuk mengkonsumsi pakaian bekas. Apa yang terpikir dalam benak kita saat mendengar kata pakaian bekas. Pikiran negatif pasti lebih mendominasi daripada pikiran positif tentang pakaian bekas. Tidak semua orang mau untuk menggunakan pakaian bekas bahkan jika diberi dengan cuma- cuma. Hal ini tentu ada sebabnya, pakaian bekas diidentikkan dengan pakaian yang tidak layak pakai, kotor, dan dibuang. Selain itu masyarakat terlanjur beranggapan bahwa hanya kelas bawah lah yang mengkonsumsi pakaian bekas karena keterbatasan ekonominya. Oleh karenanya masyarakat kemudian memberi label buruk pada pakaian bekas. Pelabelan buruk terhadap pakaian bekas ini tentunya berpengaruh terhadap pemakainya. Pakaian dilihat sebagai benda yang memediasi (mediating material), yaitu pakaian menjadi penanda identitas yang melekat pada diri seseorang. Misalnya pakaian yang berlabel merek terkenal, mengisyaratkan kepada kita bahwa orang yang memakai pakaian tersebut termasuk ke dalam kelas menengah
4
ke atas. Sama halnya dengan pakaian bekas, juga memiliki fungsi yang sama namun sebaliknya bukan citra yang baik justru pandangan negatif akan melekat pada orang yang diketahui menggunakan pakaian bekas. “,,,,,Ajining Raga Gumantung Ing Busana”, pepatah jawa ini mengisyaratkan kepada kita bahwa kekuatan kita dipengaruhi oleh pakaian yang kita kenakan. Hal ini membuktikan pada kita arti pakaian bagi penghargaan orang lain terhadap diri kita. Oleh karenanya kemudian makna sebuah pakaian tidak lagi hanya dilihat dari fungsi pakaian bagi pelindung tubuh namun lebih kompleks dari pada itu. Latarbelakang seseorang dalam menentukan pakaian yang akan dia konsumsi untuk kemudian dikenakan bukan merupakan pilihan yang otonom atau bebas namun melibatkan banyak faktor, salah satunya yaitu fashion. Fashion atau gaya berpakaian terus berkembang dan mengalami siklus yang sangat cepat ditandai dengan perubahan tren berpakaian yang cepat pula di dalam masyarakat. Fashion menjadi ideologi yang memiliki kekuatan yang besar dalam mengkoloni masyarakat, mendorong mereka dengan senang hati mengkonsumsi benda- benda yang dianggap mampu menunjukkan identitas fashionable pada dirinya. Demi terlihat gaya apapun bisa dilakukan termasuk membeli pakaian bekas yang dilihat mampu mendukung dalam penciptaan gaya atas dirinya. Mangkonsumsi pakaian bekas bagi masyarakat pada umumnya dinilai tidak lumrah bahkan menyimpang. Citra pakaian bekas yang buruk menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat menolak untuk mengkonsumsi pakaian bekas dan memandang sebelah
5
mata bagi mereka yang mengkonsumsinya. Meskipun kita tidak dapat memungkiri bahwa sebagian dari masyarakat kita mengkonsumsi pakaian bekas dengan bermacam- macam alasan. Alasan keterbatasan ekonomi bukan satu- satunya alasan karena berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dini Iriyanti mahasiswa sosiologi yang melihat konsumsi pakaian bekas di kalangan mahasiswa di Kota Bandung dapat disimpulkan bahwa kelas sosial bukan menjadi faktor utama yang mempengaruhi konsumsi mahasiswa terhadap pakaian bekas. Diluar dugaan asumsi awal bahwa mahasiswa yang berasal dari latar belakang status ekonomi keluarga yang rendah yang lebih banyak mengkonsumsi pakaian bekas, tidak terbukti. Status sosial ekonomi keluarga ternyata bukan penghalang mahasiswa yang berasal dari latar belakang keluarga menengah keatas untuk mengkonsumsi pakaian bekas. Justru perilaku konsumtif mereka terhadap pakaian bekas terlihat lebih konsumtif. Artinya, baik mahasiswa berstatus ekonomi tinggi maupun
berstatus sosial ekonomi rendah, dalam pemakaian pakaian bekas cenderung mempertimbangkan segi prestise yang ditimbulkan bila memakai barang tersebut selain segi fungsinya (Iriyanti, Dini, 2007: 89-90). Hal yang menarik perhatian peneliti adalah sekarang ini sedang ramai diperbincangkan oleh anak muda di Kota Yogyakarta tentang bazaar yang mengambil tema Garage Sale. Dari judulnya kita tentunya akan tau apa yang ditawarkan dalam bazaar tersebut, yaitu barang- barang second. Setelah melakukan pengamatan ternyata tidak semua barang second ditawarkan di Garage Sale, khusus barang- barang seperti pakaian, sepatu, dan tas bekas yang dijual di Garage Sale. Seiring dengan semakin tingginya intensitas penyelenggaraan event Garage Sale ini
6
maka kemudian Garage Sale menjadi salah satu tujuan belanja bagi anak muda di Kota Yogyakarta. Namun jauh sebelum Garage Sale menjadi populer, sekelompok anak muda penyuka pakaian bekas telah memiliki tempat yang rutin mereka kunjungi untuk membeli pakaian bekas, yaitu awul- awul. Awul- awul dapat ditemui acaraacara penggalangan dana untuk amal maupun untuk suatu acara, selain itu juga dijual di toko- toko pakaian impor bekas yang tersebar di Yogyakarta, dan setiap tahunnya di acara sekaten kita dapat menemukan stan yang khusus menjual awul- awul. Pakaian bekas dengan citranya yang buruk menyebabkan hanya sekelompok anak muda yang memilih untuk belanja di awul- awul sehingga kurang begitu populer. Namun sejak tahun 2012, Gargae sale mulai diminati oleh anak muda kota Yogyakarta. Garage Sale dikemas dalam bentuk bazaar. Hal ini menarik perhatian anak muda khususnya mahasiswi yang populasinya sangat besar di kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dilihat dari jumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta yang terkonsentrasi di Kota Yogyakarta yang cukup banyak, misalnya Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Islam Negeri, Universitas Islam Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, dan beberapa unversitas lainnya. Hal ini menjadikan Yogyakarta menjadi salah satu kota yang dijadikan sebagai tujuan belajar bagi pemuda dari seluruh penjuru nusantara. Dengan jumlah perguruan tinggi yang banyak ini maka diikuti dengan populasi mahasiswa yang ada di Yogkarta juga cukup besar. Mahasiswa menjadi satu fase yang lebih tinggi yang akan ditempuh seseorang setelah lulus dari Sekolah Menengah Ke Atas. Akan ditemui banyak perbedaan dari status 7
pelajar yang kemudian berubah menjadi mahasiswa. Salah satunya adanya dengan ditanggalkannya baju seragam yang sehari- hari dikenakan di sekolah menjadi baju bebas yang dikenakan di kampus. Menjadi mahasiswa bisa dikatakan lebih bebas dibanding saat menjadi pelajar. Waktu belajar tidak sebanyak saat sekolah, mata pelajaran juga mengikuti minat, dan lingkungan tentunya terlihat lebih heterogen dengan baju bebas yang dikenakan setiap harinya. Hal ini membawa konsekuensi bagi mahasiswa yaitu harus berpikir tentang baju yang akan dikenakan hari ini, esok, dan seterusnya. Pilihan akan baju ini tentunya melibatkan faktor- faktor seperti tren fashion. Oleh karenanya ketika menjadi mahasiswa kebutuhan akan pakaian akan meningkat dibandingkan dulu saat bersekolah. Kebutuhan yang semakin meningkat ini diikuit oleh konsumsi yang semakin meningkat. Penelitian ini selanjutnya akan membahas tentang pola kosumsi pakaian bekas di kalangan mahasiswi di Yogyakarta beserta faktor- faktor yang melatarbelakanginya untuk kemudian mengungkap persepsi mereka tentang pakaian bekas.
B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana pola konsumsi pakaian bekas di kalangan mahasiswi? 2. Sejauh mana persepsi tentang pakaian bekas di kalangan mahasiswi?
C. TUJUAN 1.
Untuk mengetahui pola konsumsi pakaian bekas di Kalangan Mahasiswi
8
2.
Mengeidentifikasi faktor- faktor yang melatarbelakangi konsumsi terhadap pakaian bekas.
3.
Untuk mengetahui persepsi terhadap pakaian bekas melalui sudut pandang mahasiswi sebagai konsumen.
D. MANFAAT 1. Hasil penelitian dapat memberikan pengetahuan kepada mahasiswa pada umumnya tentang tren
mengkonsumsi pakaian bekas pada sekelompok
mahasiswi di Yogyakarta. 2. Hasil penelitian dapat dijadikan sumber referensi bagi penelitian selanjutnya.
E. Tinjauan pusataka Tinjauan pustaka dalam penelitian ini memuat beberapa hasil penelitian terdahulu yang berkaitan erat dengan tema penelitian yaitu penelitian dengan tema konsumsi terutama mahasiswa sebagai subyek penelitiannya. Terdapat empat hasil penelitian terdahulu yang dicantumkan dalam tinjauan pustaka ini. Pertama ,tentang penelitian yang berkaitan dengan perilaku konsumtif mahasiswa sebagai pengantar peneliti untuk mengetahui konsep mahasiswa fashionable di lingkungan kampus beserta faktor- faktor yang terciptanya konstrusi sebagai mahasiswa fashionable. Kedua, penelitian dengan judul mall dan perilaku konsumtif sebagai sumber
9
pengetahuan bagi peneliti dalam mengkaji tentang penciptaan ruang konsumsi baru. Ketiga, tentang Salon sebagai tren gaya hidup anak muda khususnya Mahasiswi untuk mengetahui identitas konsumsi mahasiswi. Terakhir, tentang konsumsi pakaian bekas di kalangan mahasiswa. Ketika kita mulai masuk ke jenjang pendidikan perguruang tinggi atau telah menyandang status sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi maka banyak hal yang akan berubah yang membedakan antara kondisi ketika kita sebagai pelajar. Salah satunya adalah seragam yang dulunya kita kenakan kemudian ditanggalkan dan digantikan dengan baju bebas. Terdapat perasaan senang ketikat tidak lagi harus menggunakan seragam ketika menuntut ilmu namun konsekuensi lain yang harus diterima adalah kita akan lebih banyak memikirkan tentang baju apa yang akan kita kenakan setiap harinya di kampus. Oleh karenanya yang membedakan antara pelajar dengan mahasiswa adalah dilihat dari konsumsi pakaian mereka yang cenderung akan meningkat mengikuti kebutuhan akan pakaian yang meningkat pula. Lingkungan kampus akan terlihat lebih heterogen dibanding dengan lingkungan sekolah yang cenderung homogen karena semua murid mengenakan seragam sekolah. Oleh karenanya permedaan akan semakin terlihat. Termasuk mulai dikenalnya istilah- istilah mahasiswa fashionable dan mahasiswa yang tidak fashionable. Deaan (2010) berpendapat bahwa mahasiswa yang fashionable ditandai dengan pakaiannya yang modis dan pakaian menjadi faktor utama yang menentukan mahasiswa tergolong fashionable atau tidak. Menurut Deean (2010) terdapat faktor
10
internal dan eksternal yang mempengaruhi gaya berpakiaan mahasiswa. Faktor internal yang berpengaruh misalnya selera dan apresiasi diri, sedangkan faktor eksternal yang juga ikut mempengaruhi yaitu, media massa dan pear group. Pilihan tempat berbelanja juga ikut berpengaruh terhadap citra pakaian yang kita kenakan. Mall menjadi ruang konsumsi baru bagi mahasiswa di Kota Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan mereka. Termasuk kebutuhan mereka akan pakaian. Mall sebagai sumber referensi bagi mahasiswa dalam mengikuti tren berpakaian. Mall juga sebagai media penyebarluasan merek- merek dunia yang kemudian merek menjadi salah satu pertimbangan dalam mengkonsumsi. Mall erat dengan aktivitas waktu luang dan gaya hidup mahasiswa perkotaan. Menurut Anusapati (2004) dalam penelitiannya ditemukan bahwa persepsi informan penelitian tentang ShoppingMall adalah sebagai pusat perbelanjaan, sebagai ruang aktivitas waktu luang, dan sekaligus tempat refreshing. Hal ini menunjukkan bahwa tempat berbelanja menjadi salah satu pertimbangan bagi mahasiswa dalam mengkonsumsi. Diperoleh fakta bahwa tempat berbelanja turut berpengaruh terhadap mahasiswa untuk mengkonsusmi. Hal ini didukung pula oleh Dini (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Perilaku konsumsi Pakaian Bekas di Kalangan Mahasiswa di Kota Bandung, disimpulkan bahwa Terdapat korelasi yang cukup kuat dan signifikansi antara pilihan tempat belanja (lokasi perbelanjaan) pakaian bekas dengan perilaku konsumsi mahasiswa terhadap pakaian bekas, disamping itu terdapat faktor- faktor lain yang juga berpengaruh. Pertama, Semakin tinggi motivasi
11
mengkonsumsi mahasiswa semakin tinggi pula perilaku konsumsinya menjadi konsumtif. Kedua, Semakin tinggi intensitas interaksi dengan teman yang juga mengkonsumsi pakaian bekas semakin konsumtif pula perilaku konsumsi mereka. Ketiga, Semakin lama mengkonsumsi pakaian bekas semakin konsumtiflah perilaku konsumsinya. Keempat, Status sosial ekonomi keluarga ternyata bukanlah penghalang mahasiswa yang berasal dari latar belakang keluarga menengah ke atas untuk mengkonsumsi pakaian bekas. Beberapa hasil penelitian di atas menjadi sumber bacaan bagi peneliti sekaligus untuk mengetahui bahwa penelitian ini belum pernahi dilakukan sebelumnya. Pakaian bekas yang dahulu dijual dalam setting toko kemudian sejak kemunculan Garage Sale maka mengalami komodifikasi dalam bentuk Bazaar. Hal ini kemudian menarik perhatian peneliti untuk menganalisis lebih jauh fenomena penjualan pakaian bekas di Garage Sale maupunn awul- awul. Mahasiswa masih menjadi subyek utama dalam penelitian ini. Faktor- faktor yang mendorong mahasiswi dalam mengkonsumsi pakaian bekas yang akan dianalisis di dalam penelitian ini.
F. KERANGKA TEORI F1. Masyarakat Konsumen Penelitian ini menggunakan teori utama yaitu konsep tentang Masyarakat Konsumen. Perbedaan mendasar antara kapitalisme klasik dan kapitalisme modern adalah kapitalisme klasik menekankan perkembangan masyarakat pada basis 12
produksinya sedangkan dalam kapitalis basis konsumsi menjadi lebih penting dibanding basis produksi. Kita sekarang berada ada masa kapitalisme modern di mana masyarakat dunia digerakkan oleh basis konsumsinya. Kapitalisme jaya karena masyarakat terus menerus didorong untuk mengkonsumsi. Konsumsi yang berlebihan ini yang disebut oleh Baudrillard karena adanya kebutuhan palsu. Kita mengkonsumsi objek untuk memenuhi kebutuhan. Pilihan atas objek apa yang ingin kita konsumsi senyatanya tidak otonom tetapi dikendalikan oleh kode. Kita tidak membeli apa yang kita butuhkan tetapi membeli apa yang kode sampaikan pada kita apa yang seharusnya kita beli (George Ritzer, 2003:139). Lebih jauh Baudrillard mendefinisikan bahwa kita hidup dalam periode objek- objek.
Objek- objek tidak tersebut tidak lagi memiliki makna karena kegunaan dan keperluannya; juga tidak lagi memiliki makna dari hubungan yang nyata antara masyarakat. Agaknya, makna kebanyakan objek berasal dari perbedaan hubungannya dengan, dan atau, objek lain. Kumpulan, atau jaringan, objek ini memilik makna dan logika sendiri. Objek adalah tanda (ia adalah nilai tanda [sign value] dari pada nilai guna atau nilai tukar [exchange value]) dan konsumsi tandatanda objek ini menggunakan bahasa yang kita pahami (George Ritzer, 2003:139).
Konsep tentang konsumsi obyek sebagai kode atau tanda ini lah yang berkembang dalam masyarakat modern ini. Misalnya konsumsi atas pakaian. Pakaian tidak saja dilihat dari keguanaannya sebagai penutup tubuh namun kita mengkonsumsi pakaian karena kode atau tanda yang melekat pada pakaian sebagai
13
objek konsumsi. Kode terdebut yang mengendalikan seseorang dalam melakukan pilihan untuk mengkonsumsi pakaian. Misalnya mengapa kita lebih memilih membeli celana skiniy atau celana pensil dibanding dengan celana cutbray. hal ini tidak lain karena kode yang melekat pada masing- masing model pakaian ini yang menjadi pedoman bagi kita dalam mengkonsumsi. Kodenya adalah tren. Celana skinny lebih tren dibanding celana cutbray yang dinilai ketinggalan jaman. Atau mengapa kita memperhatikan merek saat membeli pakaian serta mengapa kita membeli pakaian baru bukan pakaian bekas. Hal ini tidak lain karena kode berperan sentral dalam menggerakkan konsumsi. Menurut Kellner, 1994:4 (dalam George Ritzer, 2003:139) Komoditas dibeli sebagai “gaya ekpresi dan tanda, prestise, kemewahan, kekuasaan, dan sebagainya. Kode ini juga melekat pada pakaian bekas yang akhir- akhir ini banyak peminatnya. Pakaian bekas yang dijual dalam setting Garage Sale, meskipun dilihat sebagai pakaian yang bercitra negatif namun juga merupakan objek konsumsi. Keputusan orang untuk membeli pakaian bekas tentu di dasari oleh kode yang melekat pada pakaian tersebut sehingga orang tersebut tidak ragu untuk membeli. Kode tersebut misalnya merek atau tren pakaian tersebut yang memang dicari oleh sekelompok orang. Pakaian bekas kita pandang sebagai tanda pakaian yang secara struktural dipahami kelasnya lebih rendah dibanding dengan pakaian baru. Hal ini karena nilai dominan yang berkembang di masyarakat yang mengganggap bahwa membeli atau menggunakan pakaian bekas hanya untuk mereka dari kalangan ekonomi bawah. Anggapan ini yang sekaligus membentuk kode atau tanda pada objek konsumsi. 14
Identitas, secara sederhana, dapat dipahami sebagai sesuatu pernyataan tentang diri, yaitu siapa aku, berkait dengan ruang dan waktu sosial (Damsar, 2009:128). Kelas sosial adalah identitas kita yang dibangun melalui apa yang melekat pada diri kita. Salah satunya gaya hidup, Chaney (1996:13- 14), menyitir pemikiran Giddens, berpendapat bahwa perkembangan gaya hidup dan pembangunan struktural modernitas saling terhubung melalui reflektifitas institusional : “karena „keterbukaan (openness) kehidupan masa kini, pluralisasi konteks tindakan dan aneka ragam „otoritas‟ , pilihan gaya hidup semakin penting dalam penyusunan identitas diri dan aktivitas keseharian.” Gidden juga berpendapat bahwa gaya hidup telah menjelma menjadi konsumerisme. Aktivitas konsumsi yang dianggap sebagai pilihan yang otonom diharapakan mampu membentuk pribadi yang berbeda dari yang lain, namun sesungguhnya apa yang kita konsumsi adalah apa yang banyak dikonsumsi orang sehingga menjadi bagian dari gaya hidup yang manawarkan identitas yang dicari. Melalui proses komodifikasi maka muncul hipperrealitas di mana dalam menjajakan model gaya hidup, subkultur biasanya menyerang milik pribadi kita yang paling rawan: citra diri (self- image) kita. Kita diombang- ambing oleh banyak janji psikologis mereka. Mereka menggelitik khayalan kita yang paling pribadi, mungkin dengan cara yang jauh lebih canggih dan halus dibandingan dengan indoktrinisasi rezim politik yang paling otoriter sekalipun (Chaney,1996:14). Fashion menjadi bagian dari gaya hidup. Pilihan akan fashion tertentu membawa kita pada proses mendefinisikan diri kita atau proses membangun citra pribadi melalui pakaian yang kita kenakan. 15
Pakaian sebagai penanda identitas adalah benar, karena kesan pertama yang ditangkap ketika kita berinteraksi adalah pakaian yang kita kenakan. Melalui pakaian orang lain mencoba memahami identitas seseorang. Oleh karenanya orang- orang ingin selau tampil fashionable dengan menggunakan pakaian yang sedang menjadi tren serta pakaian yang bermerek terkenal. Pakaian baru selalu menjadi incaran, namun pakaian bekas juga tidak jarang memiliki penggemarnya. Meskipun bekas namun pakaian tersebut memiliki nilai- nilai seperti fashion, merek, harga yang terjangkau. Hal ini yang menjadi beberapa pertimbangan bagi masyarakat yang memilih mengkonsumsi pakaian bekas. Berbagai cara kemudian ditempuh oleh banyak orang untuk membangun identitasnya di lingkungannya termasuk dengan mengikuti gaya hidup yang mereka anggap mampu menunjang pencapaian identitas tertentu. Pakaian bekas yang sekarang dijual di Garage Sale berbeda dari apa yang dibayangkan masyarakat tentang pakaian bekas. Pakaian bekas identik dengan pakaian lusuh, kumuh, dan dibuang, Namun pakaian bekas yang dijual- belikan di Garage Sale ini berbeda, kondisinya jauh lebih layak dan harganya pun cenderung lebih mahal. Jika orang akan merasa malu ketika diketahui datang ke suatu toko untuk membeli baju bekas namun sejak adanya Garage Sale di Kota Yogyakarta ini mereka justru secara terang- terangan dalam berbelanja baju bekas. Meskipun banyak mahasiswi yang tetap bertahan untuk mencari pakaian bekas di toko pakaian bekas lainnya dengan berbagai alasan. Meskipun begitu, awul- awul dengan kondisinya yang kurang menarik justru tidak kehilangan daya tariknya dari mahasiswi karena 16
berbagai alasan. Keduanya menjadi tempat pilihan bagi mahasiswi untuk membeli pakaian bekas.
F2. Fashion sebagai Proses Imitasi Di dalam sosiologi kata imitasi mulai banyak dibahas dalam proses sosialisasi. Imitasi atau peniruan adalah suatu cara belajar yaitu dengan mengikuti contoh orang lain. Cara belajar ini sangat penting seperti kita dapat mengalami seharihari. Tetapi, seorang psikolog perancis, yaitu Tarde menjadikan imitasi semacam sihir- sihir yang dapat membuka masalah- masalah kemasyarakatan (Trade, 1890 dikutip oleh Polak, Mayor, 1971:88). Namun pengertian secara umum imitasi bisa dikaitkan dengan banyak hal atau keseluruhan proses meniru pada seseorang akan suatu figure atau mode tertentu. Misalnya terdapat kecenderungan bahwa Elit dalam suatu masyarakat menjadi figure untuk ditiru oleh kelompok di bawahnya. Dalam hal berpakaian, elit berperan sebagai pencipta mode yang kemudian diikuti atau ditiru oleh masyarakat. Terdapat kecenderungan pada para elit yang akan segera meninggalkan mode berpakaian ketika telah banyak ditiru oleh masyarakat. Fungsi pembeda tidak dapat lagi dipenuhi karena telah ditiru oleh masyarakat umum sehingga untuk melanggengkan distingsi sebagai perwujudan kelas sosial maka elit akan segera mengganti mode. “Gaya. Dalam salah satu esainya yang menarik dan dualistis, Simmel (1904/1971;
Gronow,
1997;Nedelman,
1900;Ritzer,
2003)
mengilustrasikan
kontradiksi gaya ini dengan berbagai cara. Di satu sisi, gaya adalah bentuk relasi 17
sosial yang memungkinkan orang menyesuaikan diri dengan keinginan kelompok. Gaya juga melibatkan proses historis: pada tahap awal, setiap orang menerima halhal yang cocok; tak ayal, individu melenceng darinya; dan akhirnya dalam proses penyimpangan ini, mungkin saja mereka mengadopsi pandangan yang sama tentang hal- hal yang terdapat dalam gaya tersebut… Orang yang tidak mengikuti gaya memandang mereka yang mengikuti gaya tersebut sebagai peniru dan memandang diri mereka sebagai orang yang independen, namun Simmel berargumen bahwa orang yang tidak mengikuti gaya tersebut sekedar melakukan bentuk peniruan dalam bentuk sebaliknya.” Gaya atau Fashion merupakan proses imitasi atau meniru. Ketertarikan mahasiswi atas tren fashion tertentu membawa mereka pada konsumsi pakaian bekas. Proses meniru itu juga berlangsung melalui interaksi dengan teman- teman sebaya di kampus maupun anggota keluarga yang telah lebih dulu mengkonsumsinya. Pengalaman yang unik pada masing- masing mahasiswi menurut kelas sosialnya menjadi fenomena yang menarik.
G. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif. John W, Cresswell dalam (Patilima,2005:2-3), mendefinisikan pendekatan Kulalitatif sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik yang dibentuk kata- kata,
18
melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar ilmiah. Penelitian ini menggunakan salah satu jenis metode dalam penelitian kualitatif yaitu metode penelitian deskriptif. Menurut Mayer dan Green wood (dalam Silalahi, 2009:27), penelitian deskriptif kualitatif semata- mata mengacu pada identifikasi sifat- sifat yang membedakan atau karakteristik sekelompok manusia, benda, atau peristiwa. Dalam penelitian ini, peneliti sekaligus berperan sebagai instrumen utama dalam pengumpulan data baik data berupa hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi. Pendekatan ini ditujukan agar peneliti dapat menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang diteliti secara tepat.
2. Fokus Penelitian Penelitian ini memfokuskan pada alasan yang melatarbelakangi konsumsi mahasiswi terhadap pakaian bekas serta persepsi tentang pakaian bekas. Penelitian ini kemudian mendeskripsikan suatu perilaku konsumtif kelompok tertentu. Perilaku konsumtif kelompok tersebut adalah perilaku konsumsi pakaian bekas di kalangan mahasiswi di Yogyakarta. Mahasiswi memang menjadi sasaran utama pasar pakaian bekas. Terlebih lagi dengan semakin banyaknya pilihan tempat yang dapat dikunjungi oleh mahasiswi dalam mengkonsumsi pakaian bekas, yaitu awul- awul, garage sale, dan butik second.
19
3. Subyek Penelitian Penelitian ini ingin menggali makna dari konsumsi pakain bekas berdasarkan faktor- faktor yang melatar belakangi mahasiswi mengkonsumsi pakaian bekas sehingga dapat membentuk pola konsumsi. Oleh karenanya yang akan menjadi subyek utama dalam penelitian ini yaitu konsumen pakaian bekas yang membeli pakaian bekas yang di jual pusat- pusat penjualan pakaian bekas yang ada di Yogyakarta mulai dari awul- awul di sekaten, toko pakaian impor bekas, bazar garage sale, dan butik second. Konsumen tersebut dipersempit dengan hanya melihat konsumen yang berstatus sebagai mahasiswi. Kelas sosial mahasiswi tidak dipersempit lagi dikarenakan terdapat temuan dari penelitian sebelumnya bahwa kecenderungan konsumsi terhadap pakaian tidak dipengaruhi oleh status sosial mahasiswa karena terbukti bahwa mahasiswa dengan status ekonomi yang lebih tinggi justru mengkonsumsi pakaian bekas lebih banyak dibandingkan mahasiswa yang berstatus ekonomi lebih rendah. Merek pakaian bekas menjadi salah satu faktor mengapa status ekonomi tidak menjadi indikator dalam menentukan konsumsi mahasiswa terhadap pakaian bekas. Hal ini karena masing- masing mahasiswa dengan kelas sosial yang berbeda keduanya sama- sama mempetimbangkan prestise pakaian yang akan dikonsumsi, salah satunya terlihat dari merek. 4. Lokasi penelitian Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih sebagai lokasi penelitian karena fenomena awul- awul dan Garage Sale yang sekarang populer terkonsentrasi di Yogyakarta. Disamping pusat penjualan pakiaan bekas yang juga banyak ditemukan 20
di Kota ini misalnya toko sandang murah dan awul- awul yang selalau ada disetiap acara sekaten. Terakhir yaitu kemunculan butik second sehingga menambah banyak pilihan bagi mahasiswi dalam mencari pakaian bekas yang sesuai dengan selera mereka masing- masing.
5. Teknik pengumpulan data a. Observasi partisipasi Metode pengamatan atau observasi merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati hal- hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda, waktu, peristiwa, tujuan, dan perasaan. Tetapi tidak semua perlu diamati oleh peneliti, hanya hal- hal yang terkait atau sangat relevan dengan data yang dibutuhkan (Patilima, Hamid, 2003:60). Observasi partisipasi merupakan salah satu jenis proses pengamatan yang lebih mendalam. Pengamatan terlibat dan pengamatan tidak terlibat dibedakan dari ada tidaknya interaksi antara peneliti dengan informan. Dalam pelaksanaannya, pengamatan terlibat, peneliti harus memupuk terlebih dahulu hubungan baik dan mendalam dengan informan. Sikap saling percaya tersebut dikenal dengan istilah rapport. Esensi dari pengamatan terlibat adalah untuk memperoleh data tentang: b. Apa yang mereka ketahui ? c. Apa yang mereka lakukan ? d. Benda- benda apa saja yang mereka buat dan gunakan dalam?
21
Pengamatan dilakukan oleh peneliti dalam setiap acara garage sale. Pencatatan tanggal, hari, dan waktu penting untuk mengetahui perbedaan masing- masing waktu. Hal ini berguna untuk mengetahui kecenderungan waktu belanja yang dipilih oleh konsumen yang menandakan waktu luang mereka. Hal lain yang penting untuk diamati adalah dekorasi ruangan secara keseluruhan, dekorasi masing- masing stan, jumlah stan serta yang paling penting adalah proses transaksi jual beli baju bekas mulai dari memilih, proses tawar menawar sampai pada deal harga. Interaksi antara konsumen dengan penjual serta orang- orang disekitar mereka juga tidak luput dari pengamatan. Selain dalam setiap acara bazar garage sale, peneliti juga mengamati toko pakaian bekas impor, awul- awul sekaten, serta butik- butik second yang mulai bermunculan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data tentang karakteristik masingmasing tempat penjualan pakaian bekas sehingga dapat diketahui ciri khas yang membedakan sekaligus kesamaan antar mereka. Keberadaan tempat- tempat tersebut juga menjadi informasi tentang perkembangan bisnis pakaian bekas di Yogyakarta hingga sekarang. a. Studi kepustakaan Studi kepustakaan meliputi studi literature dari beberapa buku sebagai referensi dalam menentukan teori yang mendukung penelitian ini. Selain dari bukubuku, referensi juga diperoleh melalui internet, surat kabar, serta majalah. c. Wawancara Mendalam
22
Metode wawancara merupakan salah satu teknik untuk mengumpulkan data dan informasi. Penggunaan metode ini didasarkan pada dua alasan, pertama, dengan wawancara, peneliti dapat menggali tidak saja apa yang tersembunyi jauh di dalam subjek yang diteliti, akan tetapi apa yang tersembunyi jauh di dalam diri subjek penelitian. Kedua, apa yang ditanyakan kepada informan bisa mencakup hal- hal yang bersifat lintas waktu, yan berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan juga masa mendatang (Patilima,2003:65). Wawancara mendalam penting dalam suatu penelitian agar data yang diperoleh lebih lengkap. Karakteristik Wawncara mendalam yaitu, pelaksanaannya tidak hanya sekali dua kali, melainkan berulang- ulang dengan intensitas yang tinggi dan peneliti tidak hanya percaya dengan begitu saja pada apa yang dikatakan informan, melainkan perlu mengecek dalam kenyataanya melalui pengamatan. Itulah sebabnya cek dan recek dilakukan secara silih berganti dari hasil wawancara ke pengamatan di lapangan atau informan yang satu ke informan yang lain. Wawancara dalam penelitian ini memfokuskan pada konsumen pakaian bekas. Selain itu Teknik snowball digunakan dalam penelitian ini untuk memudahkan peneliti memperoleh informan melalui dari informan sebelumnya. Dalam memilih informan peneliti menggunakan kriteria tertentu. Dalam penelitian ini terdapat tiga jenis informan yang dibendakan menurut perannya di dalam Garage Sale dan awulawul, yaitu: 1. Konsumen
23
Konsumen menjadi target utama dalam penelitian ini karena dengan mewawancarai konsumen maka peneliti diharapkan dapat menjawab rumusan permasalahan. Konsumen yang dijadikan informan memiliki kriteria yaitu: a. Berstatus sebagai mahasiswi di perguruan tinggi negeri maupun swasta di Yogyakarta b. Melakukan aktivitas konsumsi atas pakaian bekas baik melalui garage sale maupun awul- awul. Menentukan kriteria bagi informan dilakukan untuk efisisensi waktu dan tenaga sekaligus memudahkan peneliti dalam mengambil sampel yang sesuai dalam populasi yang besar. Mahasiswi menjadi informan utama dalam penelitian ini karena yang ingi dilihat dalam penelitian ini adalah konsumsi pakaian bekas dengan aktor utama yaitu konsumen, disamping itu terdapat pula informa pendukung yang berhubungan dengan obyek penelitian akan diwawancarai guna memenuhi data, antara lain sebagai berikut: a. Event Organizer Penyelenggara acara atau event organizer dijadikan informan untuk mengetahuin perkembangan Garage Sale di Kota Yogyakarta termasuk melihat bentuk baru dari konsep jual beli pakaian bekas di Yogyakarta. b. Pemilik toko pakaian impor Pemilik toko pakaian impor menjadi salah satu informan untuk mengetahui animo masyarakaat khususnya anak muda dalam mengkonsumsi pakaian bekas guna mendukung data. 24
c. Pemilik Stan Pemilik stan yang dijadikan infroman yaitu stan yang salah satu barang dagangannya adalah pakaian bekas. Pemilik stan penting untuk diwawancara untuk mengetahui karakteristik pakaian bekas yang dijual di acara Garage Sale kemudian dapat membedakan dengan Garage Sale lainnya. Untuk mengetahui sumber perolehan pakaian bekas. Instrumen yang dibutuhkan dalam proses pengamatan serta wawancara yaitu camera, perekam suara serta catatan lapangan.
6. Metode analisis data Berdasarkan dari data yang telah diperoleh melalui metode pengamatan dan metode wawancara, maka selanjutnya semua data dan informasi yang diperoleh, dianalisis. 1. Pengolahan data Setelah data diperoleh melalui pengamatan, wawancara, serta studi kepustakaan maka kemudian data diolah. Proses ini meliputi dua tahap yaitu kategorisasi serta reduksi data. Kategorisasi yaitu peneliti memilih serta memilah antara data yang berbeda kemudian menggabungkan data yang memiliki kesamaan. Menurut Miles dan Haberman (1994), reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan, serta penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatancatatan tertulis di lapangan. 25
2. Penyajian data Data yang telah melalui proses kategorisasi dan reduksi kemudian disajikan (display data). Dalam penelitian kualitatif data berbentuk teks naratif. Penyajian data ini penting untuk mengetahui data yang telah terkumpul kemudian akan diketahui apakah data telah terpenuhi atau perlu dilakukan pencarian data kembali ke lapangan guna memenuhi data yang kurang. 3. Interpretasi data Dalam
penelitian
Thick
Description
proses
interpretasi
data
merupakan esensinya. Peneliti tidak hanya sekedar mendeskripsikan namun sekaligus melakukan interpretasi data. Data berupa kata- kata yang masih belum memilik makna kemudian dilakukan pemaknaan atau interpretasi hasil temuan di lapangan dianalisis menggunakan teori yang mendukung sehingga diperoleh pemaknaan atas apa yang terjadi di lapangan. 4. Kesimpulan Penarikan kesimpulan adalah bagian terakhir dalam penelitian yaitu langkah peneliti untuk menangkap makna dari serangkaian data, yang dituangkan dalam bentuk kalimat.
26