sector trade has declined. Itwill be necessary to take account of this fact in formula employment targets for the next Indonesian development plan REPEHTA VI.
Pendahuluan Sebagian besar orang Indonesia bekerja pada sektor informal dan laju pertumbuhan perdagangan khususnya pada sektor informal ini sangat luar biasa. Karena setiap tahun sedemikian banyaknya tenaga muda yang ingin memasuki pasar kerja, para analis kebtjaksanaan telah mulai melihat apa yang dapat disebut kapasitas penyerapan tenaga kerja yang hampir ttdak terbatas pada sektor informal. Oleh sebab itu, Rencana Pembangunan Lima Tahun Indonesia ke V telah menargetkan sektor informal sebagai titik berat usaha pembangunan. Untuk RepeUta VI, yang dimulai tahun 1994, rekomendasi kebijaksanaan yang lebih mendetail akan diperlukan guna meningkatkan efisiensi, meningkatkan penghasilan dan kapasitas penyerapan tenaga kerja pada sektor ini. Untuk memungkinkan perencana pembangun¬
an memformulasikan rekom
kebijaksanaan, data pokok yang perlu dibuat. Walaupun se penelitian tentang sektor inform dilaksanakan selama dua d terakhir, data mengenai peru yang bergerak dalam sektor in masih kurang lengkap. Khu (i mengenai dampak kebijaksanaan pemerintah ter serta berbagai upaya sektor untuk mendukung sektor inform belum dievaluasi secara cukup. Sektor informal adalah bagi apa yang disebut "ekonomi bay
(Evers, 1992) karena sala karakteristik utamanya a
kurangnya informasi te pengorganisasian sosial dan e sektor informal tersebut dan kur kelengkapan permodalan serta i ketenagakerjaannya. Sektor info
Prof. Hans Dieter Evers, Ph.D. adalah staf peneliti tamu pada Pusat Pe Kependudukan Universitas Gadjah Mada dan staf pengajar pada University of B
Jerman.
24
kepada para pedagang, pengusaha, dan pejabat pemerintah di beberapa propinsi dan juga hasil survai pada 331 buah perusahaan dan 600 pekerja di bidang perdagangan sektor informal di Jawa Tengah. Survai ini dilaksanakan
ketenagakerjaan dalam perdagangan, restoran-restora hotel-hotel meningkat sebe persen pada tahun 1970bertambah menjadi 41 pers tahun 1980 sampai tahun 1990.
TABEL I. KETENAGAKERJAAN 1961-1990 JUMLAH TENAGA KERJA (1,000)
Tahun 1961 1971
Laki-laki 23.805 26.184 34.619
1980 1990
46.084
Sumber:
Perempuan 8.884
Tot 32.6
13.026 16.935 25.486
39.2 51.5 71.5
Sensus Penduduk Indonesia tahun 1980 dan 1990. TABEL 2. SEKTOR PERDAGANGAN (1,000)
Tahun 1961 1971 1980 1990 Sumber:
Laki-laki
1.534 2.402 3.478 5.461
Perempuan 704 1.902 3.201 5.079
Sensus Penduduk Indonesia tahun 1980 dan 1990.
Tota 2.2 4.3 6.6 10.5
Tahun
1961 1971 1980 1990
Laki-laki 24,92 27,32
Perempuan 27,58
23,27 23,98
40,76 39,69
TABEL 5. PERTUMBUHAN TENAGA KERJA PERDAGANGAN
1961 - 1971 1971 - 1980 1980 - 1990 Sumber:
19,95 % 31,48 % 38,83 %
Sensus Penduduk Indonesia Tahun 1980 dan 1990.
Tenaga kerja di bidang perdagangan masih terus naik dengan angka-angka nyata, baik pada sektor formal maupun informal. Laju pertumbuhan tenaga kerja perdagangan juga meningkat sampai 38,83 persen. Di sisi lain perlu dicatat bahwa tenaga kerja wanita sebagai bagian dari tenaga kerja nonpertanian menurun dan saat ini telah mencapai angka 39,7 persen, penurunan dari 41,4 persen pada tahun 1971. Adanya pergeseran nyata dari tenaga kerja wanita ke tenaga kerja pria perdagangan mungkin dalam
26
41,37
Total 25,70 32,14 29,29 29,53
disebabkan oleh formalisasi s
informal yang akan dibahas beriku
Perubahan-perubahan dalam Ketenagakerjaan Perdagangan Sektor Informal
Yang paling mengesankan a kapasitas penyerapan tenaga kerja sektor perdagangan infor Diperkirakan bahwa pada tahun sekitar 83,08 persen tenaga kerja s perdagangan termasuk sektor info Dalam survai sampel kami pada 1992 tentang sektor perdagang Jawa Tengah, 72,9 persen orang bekerja di sektor ini masuk dalam s informal, terutama tenaga kerja w Di Jawa Tengah, 81,6 persen peke sektor informal adalah wanita hanya 48,8 persen tenaga kerja w yang bekerja di sektor formal. D adanya pergeseran dari sektor form sektor informal, akses kaum w
rendah bila dibandingkan pada tahun 1980. Laju pertumbuhan tenaga kerja pada perdagangan sektor formal (157 persen) jauh melampaui laju pertumbuhan sektor informal (47 persen). Perdagangan sektor formal telah dan mungkin akan memiliki kapasitas penyerapan tenaga kerja relatif lebih besar seperti sektor informal. Khususnya upah tenaga kerja semakin naik pada tingkat yang lebih cepat daripada kegiatan wirausaha (self employment) (per tahun mencapai 17 sangat
(1980 dan 1990). Namu SAKERNAS mcmperlihatkan pe rata-rata tenaga kerja perd sektor informal (-0,9 persen d 1986 sampai tahun 1990, lihat R 31). Ada beberapa perbedaan sektor perdagangan itu send tenaga kerja arÿgota keluarga y mendapat upah, terutama kau yang telah Aieningkat tajam s persen. Mtmgkin hal ini dis penurunan umum kesempa bagi wanita pada sektor inform
TABEL 6.
PEKERJAAN SEKTOR PERDAGANGAN MENURUT STATUS- PEKERJAAN, 199
1990
Pengusaha Buruh, karyawan Sektor formal Berusaha sendiri Berusaha sendiri + Pekerja keluarga Tak terjawab Sektor informal Jumlah
Jumlah pekeijaan
1046267 24953385 25999652 13812655 17338333 14237735 181596 45570319 71569971
Perdagangan
Nonpertanian
Persen
568775 19563698 20132473 8195378 4685548 2653476 155649 15690051 35822524
33.39
189891
7,51
1469334 1659225 4617110 2977144 1276221 10615 8881090 10540315
8,24 56,34 63,54 48,10 6,82 56,60 29,42
industri. Keadaan ini'sangat tergantung pada proses produksi industrial dan integrasi industri dengan ekonomi daerah. Menurut Wield (1983: 8)*, proses produksi industrial pada dasamya ditandai lima ciri khas, jaitu: 1. the possibility of utilizing technologies with complex machinery associated with a large scale ofproduction, 2. the utilization of a wide range of raw materials often already processed through the use of complex technologies, 3. a relatively complex technical division of labour within units of production, 4. complex co-operation and co-ordination of specialized tasks inside the unit ofproduction,
* **
**ÿ
36
industrial. Jika asum dihipotesiskan, maka dapat d bahwa dengan semakin tingg industrialisasi, sekaligus aka diferensiasi dalam masyarakat jenis pekerjaan, ketera pendidikan , pendapatan ekonomi akan berkembang itu, sektor industri modern m satu sistem jasa yang rin menyediakan jaringan pelaya dapat mendukung perkem industri, haik dari segi pem transport, packing, dll, dan sektor ekonomi saling berinte terintegrasi. Jika diperhatikan baik keterkaitan maupun definisi W dapat diduga babwa perkem
Dikutip menurut Haralambos (1990: 117). Menurut keterampilan, paling kurang angkatan tenaga kerja di sektor indu dikelompokkan menjadi tiga, yaitu "pertama, golongan pekerjaberketeramp (skilled), yang semakin tergabung baik ahli mesin maupun dengan peker (white collar). Kedua, golongan pekerja semi terampil (semiskilled) berpengalaman kerja di bidang industri spesifik. Ketiga, golongan pekerja y sekali tidak terampil... ciri khasnya adalah sebagai pendatang baru ke dunl (baru bekerja, bekas buruh tani, (imigran) atau orang yang semi me (Dahrendorf 1986: 61). Tentang mobilitas sosial dan hubungan antarkelas dalam proses industria urbanisasi di Amerika Latin bandingkan Roberts 1978:124.
unambiguosly represent economic modernization ... What seems to be happening is that modern industry is growing at high and rising productivity levels and at the same time small-scale, more primitive industry survises at low, possibly declining productivity levels, butprovides a meagre living for a growing share of thepeople. What may be
occurring therefor is aprocess of internal polarisation, one which is more complex and extreme., and one which is very different from what took place the in successful industrialization of the past Pendapat di atas tak jauh berbeda dengan pendapat Boeke (1953) bahwa sektor industri di Indonesia masih tetap cenderung ke arah industri yang bersifat mendua (dualisme). Sektor
* **
diserap dap unit perusahaan a dan garis-garis pemisah anta tugas yang dikaitkan kelangsungan perusa (produksi, pencarian bah pemasaran, dan administra begitu tegas. Dari segi kualita dan pemasaran bagian sekto itu dapat dinilai statis. Terb sikap manajemen yang tra kekurangan pengetahuan peningkatan mutu produk, su manusia yang rendah, pemasaran yang sangat kerendahan akses terhada perbankan, dll, bagian tradis industri mendua cenderun dalam keadaan stagnan da terkait dengan segmen-segme ekonomi daerah. Sifat industri dalam pedesaan yang mendua dan integrasi (terpisah-pisah) c mengakibatkan gejala involus
Dikutip menurut Haralambos, M (1990:128). Untuk Indonesia, sebagai pengamat pertama, pada tahun 50-an Boe mempergunakan istilah dualisme untuk menjelaskan gejala eksistensi d dalam satu ekonomi yang sangat berbeda dari segi dinamika. Selanjutnya (1976) mengembangkan konsep dualisme tersebut dengan menciptakan is type danfirm type economy. Konsep kontemporer yang digunakan adalah ekonomi menurut sektor formal dan sektor informal (Manning/Effendi 19
industri tradisional yang terlibat dalam ekonomi pasar.
Tujuan dan Metodologi Dalam studi ini kami berangkat dari anggapan bahwa ekonomi Indonesia keseluruhannya dan ekonomi pedesaan khususnya belum bersifat terintegrasi melainkan cenderung terpecah-pecah. Ekonomi pedesaan belum dapat dinilai sebagai sistem tempat setiap unit mempunyai hubungan fungsional dengan unit lain, baik vertikal maupun horizontal. . Sebaliknya ekonomi pedesaan mengalami masalah fragmentasi, sebagian besar dari segmen-segmen ekonomi berdiri terpisah dari segmen-segmen lainnya. Bertolak dari hipotesis di atas, studi ini berusaha mengkaji integrasi ekonomi pedesaan. Kajian dipusatkan pada keterkaitan dalam sektor dan antarsektor pada tingkat lokal. Dalam
serangkaian survai dan studi lap secara intensif dilakukan di dua da yakni di Batur, Ceper, Klaten Semanu, Semanu, Gunung K Penelitian dilakukan pada Ja sampai Maret 1993 Selama pen para peneliti tinggal di desa berusaha memahami sedekat mu persoalan-persoalan yang akan d Memahami perilaku pelaku eko bukanlah hal yang mudah. Ber macam unsur turut mewarna memberikancorak padapola dan p perkembangan segmen eko pedesaan. Untuk mengu keragamam unsur yang mempeng studi dipusatkan di dua desa dianggap dapat memberikan gam pedesaan Jawa. Pemilihan dilakukan secara purposive. B dipilib karena dipandang d mencerminkan pedesaan da rendah yang relatif maju, baik s
Dengan konsep involusi pertanian, yang juga dapat disebutkan sebagai 'kemis bersama', C. Geertz (1976) menyediakansalahsatupendekatanyang dapat menje proses pemiskinan yang tcrjadi di pedesaan Jawa. Menurut Geertz, kenaikan pertanian keseluruhannya tidak seimbang dengan kenaikan jumlah orang terlibat. Ketidakseimbangan antara dua faktor secara mutlak mengurangi produk
para pekerja dengan mendorong pembagian rezeki kepada pembagian tingkat n yang rendah bagi semuanya. Dengan kata lain, involusi mencerminkan 'pertum ke dalam' dan peningkatan kemiskinan tempi bukan perkembangan yang berku
38
didasarkan pada daftar nama pengusaha yang ditunjuk oleh kepala desa. Tidak mungkin dilakukan pemilihan responden secara acak sistematik karena tidak tersedia cacatan daftar usaha di dua desa. Jumlah pengusaha yang diwawancarai diusahakan proporsional dengan jumlah usahayang ada di dua desa. Desa Peneiitian
Kondisi pedesaan Jawa bervariasi, baik dari segi, lokasi, latar belakang sejarah, perkembangan ekonomi maupun sosial. Oleh karena itu, untuk mengkaji ekonomi desa perlu mempertimbangkan unsur-unsur itu. Dengan demikian, situasi tiap desa peneiitian menjadi penting ditelaah. Ulasan berikut memaparkan situasi daerah peneiitian. Dua desa yang dipilih sebagai daerah peneiitian mempunyai perbedaan, baik dari segi lokasi, latar belakang sejarah, maupun perkembangan ekonomi dan sosial. Sengajadiambil desa dengan latar belakang berbeda agar dapat diketahui
sepanjang tahun. Tidak meng bila pertanian padi dapat di secara mtensif sepanjang tahu pertanian bersifat monokult
diselingi dengan tanama Tanaman tebu diusahakan be pada kebutuhan perkebunan ada di daerah ini. Dalam aktivitas usaha pertanian di B menerapkan teknologi maj dikatakan bahwa Desa Batur oleh daerah belakang pertan
maju. Berbeda dengan Batur, Des
terletak di daerab datara
(Pegunungan Sewu) Jawa Selatan. Seperti halnya di ke dataran tinggi di Jawa, usaha sangat tergantung pada air hu karena itu, tanaman pad diusahakan sekali setahun pertanian di daerah ini adalah campuran dengan tanama tanaman pangan, seperti u jagung, kacang tanah, dan Teknologi yang digunaka aktivitas pertanian masib d
Temyata, sifat sektor ekonomi di Ceper, termasuk penggunaan mesin-m tetap rendah. Hanya jika dibandingkan dengan keadaan di Semanu sektor Ceper dapat dinilai sebagai relatif maju.
angka kepadatan penduduk di Batur tampaknya berhubungan dengan adanya arus migrasi masuk ke daerah ini. Hal ini tercermin dari tingginya angka pertumbuhan penduduk Desa Batur, yaitu sekitar 1,18 persen per tahun dalam periode 1980-1990. Daerah Semanu cenderung sebagai daerah pengirim migran. Migrasi keluar cenderung tinggi dari daerah Semanu. Tidak mengherankan bila pertumbuhan penduduk Semanu sekitar 0,39 persen per tahun dalam periode 1980-1990.** Besarnya arus migrasi masuk ke Batur berkaitan dengan daya tarik tersedianya peluang kerja di industri-industri di daerah ini. Di Batur ada heberapa industri skala besar, terutama industri cor logam, yang dapat menyerap tenaga kerja Artinya, industri di Batur telah berkembang pada tingkat
* ** ***
40
alasan pertanian yang masih tra juga industri masih bersifat rumah tangga. Pada umumnya di Semanu mempekerjakan ten
keluarga dan skala kecil. Ind Semanu belum mampu m angkatan kerja yang ada. tercermin dari proporsi angka yang bekerja di industri di Batu 25 untuk 100 orang angkat sedang di Semanu hanya 2. Meskipun dari segi transpo kemudahan berhubungan daerah luar di kedua desa p tidak jauh berbeda, kegiatan Batur dapat dikatakan lebih m dibandingkan dengan Semanu. perdagangan tampak lebih b Batur warung-warung yang me kebutuhan masyarakat tamp banyak bila dibandingkan
Kedapatan penduduk Jawa pada tahun 1990 sekitar 813 jiwa per km2. Meskipun dua daerah mengalami pertumbuhan penduduk yang cukup pertumbuhan tersebut baik di Ceper maupun di Semanu masih jauh d pertumbuhan rata-rata untuk Indonesia keseluruhannya yang meneapai kur 2% untuk dekade lalu. Hal ini memang menarik karena konsep 'faktor keunggulan komperatif temy laku untuk tingkat intemasional saja tetapi juga dalam negeri. Perbedaan an pekerja dari daerah miskin dan daerah lebih maju sekahgus mendorong pe antara para pekerja yang melemahkan posisi tawar-menawar bagi mere menentukan upah.
Semanu kebanyakan adalah industri kerajinan bambu, pengolahan makanan, dan pande hesi. Pada umumnya hasil industri dari Semanu dipasarkan pada pasar lokaldan regional. Segi teknologi yang dipakai di kedua daerah sangat berbeda. Di Semanu teknologi industri masih sangat sederhana dan sebagian besar masih TAB JENIS INDUSTRI DI
Jenis industri Pengolahan makanan*
ekonomi pada perkembangan
Keterkaitan dalam Sektor In
Di bagian pendahulu disebutkan bahwa untuk integrasi ekonomi diusahakan keterkaitan. Keterkaita mencerminkan interaksi d hubungan dalam usaha se antarusaha. Secara teore ,1.
TUR DAN SEMANU
Batur (%)
Semanu
20
26
Anyaman-kerajinan dll**
5
57
Pande besi
2
15
Cor logam
29
-
Batu bata, genting, tapel
29
2
Tekstil
15
-
%
100
100
N
100
100
Jumlah Sumber:
Data Survai Industri, 1993
*
Termasuk industri pengolahan makanan adalah pembuatan tempe, tah rod, bakmi, karak, dan criping pisang.
**
Termasuk industri kerajinan adalah pembuatan sangkar burung, game caping, kipas, pigura, mainan anak-anak dari kayu, dan kaleng.
di Semanu yang mempunyai hubungan dengan perusahaan besar sejenis, terutama dalam bentuk 'bapak angkat. Hampir semua industriyang mempunyai hubungan vertikal melaporkan bahwa kaitan dengan perusahaan besar yang berlokasi di kota sebanyak 4 dan hanya satu yang berlokasi di daerah penelitian.
Hubungan vertikal terutama berhubungan dalam hal pemasaran dan bantuan modal. Semua pengusaha merasa bahwa hubungan dengan perusahaan besar mendatangkan manfaat bagi usaha mereka karena keterkaitan itu dapat meningkatkan produksi dan melancarkan pemasaran. Namun, berhubungan dengan perusahaan besar tidak mudah dilakukan walaupun ada program bapak angkat dari pemerintah. Alas an utama kesulitan dalam menjalin kerja sama adalah hambatan kultural yakni antarkecurigaan-kecurigaan perusahaan. Seorang responden, misalnya, berpendapat bahwa perusahaan besar hanya memberikan pekerjaan (order) yang tidak mendatangkan keuntungan. Pekerjaan yang mendatangkan keuntungan biasanya dikerjakan oleh bapak angkat. Kelemahan lain yang amat dirasakan
42
Beberapa fakta di atas mengar pada dua kesimpulan seme mengenai keterkaitan vertikal d konteks program pemerintah disebut program bapak angkat. Per di dua desa penelitian program b angkat belum berjalan seperti diharapkan. Kedua, sistem bapak a dalam banyak hal justru mencip ketergantungan yang pada gilira mempengaruhi proses pertumb industri kecil. Kedua hal inilah menyebabkan kaitan vertikal r lemah. Tidak seperti diduga se keterkaitan antarperusahaan se yang ukuran perusahaan relatif atau yang lebih kecil sangat lem kedua desa penelitian. Hal ini t
karena adanya persaingan. Persa industri sejenis mengarah persaingan yang tidak sehat. Persa cenderung saling meinatikan de upaya-upaya saling menurunkan atau merebut pelanggan de cara-cara yang tidak sehat (s menjelekkan). Menurut Asya'ri (19 persaingan antarindustri dapat di sebagai kanibalisme. Kondisi persa semacam ini tampak cukup taja Batur, terutama pada usaha indus
menjadi pelanggan dan perusahaan tetap berproduksi. Iklim industrial seperti ini yang menyebabkan struktur industri menjadi lemah dan sulit mengalami perkembangan dan kemajuan. Meskipun ada variasi menurut jenis industri, di Batur yang mengatakan bahwa perusahaan tidak ada kemajuan sebesar 69 persen dan 51 persen di Semanu. Akibatnya, kaitan dengan sekior yang lain juga lemah.
Keterkaitan Antarsektor Telah disinggung di bagian terdahulu bahwa industri di Batur relatif lebih maju bila dibandingkan dengan Semanu. Namun, tidak seperti diduga semula bahwa industri di Batur kurang
mempunyai keterkaitan dengan sekior pertanian, paling kurang tidak langsung. Hal ini tercermin dari sumber bahan baku yang dipakai seperti dicantumkan pada Tabel 2. Industri di Batur yang memanfaatkan bahan baku pertanian sekitar 16 persen sedang di Semanu sekitar 45 persen. Hampir dapat dipastikan bahwa tipe industri mempengaruhi keterkaitan itu. Di Batur industri yang dominan adalah industri yang tidak menggunakan bahan baku
Kaitan dengan sekior pe tampak menonjol di Batur persen dan di Semanu hanya persen (Tabel 3 ). Agaknya, p
dalam jangkauan pasa mempengaruhi hubungan itu banyak industri membutuh sama dengan pedagang jangkauan pasar lebih luas (re nasional). Pemasaran in Semanu masih terbatas pada p dan regional (tetapi masih sehingga pedagang yang terlib aktivitas pemasaran indus terbatas. Di samping itu, kebanyaka di Batur membeli bahan me pedagang yang berasal dari ko pedagang perantara. Pada besi-besibekas yang dibutuhk bahan mentah industri c didatangkan oleh pedagang dari kota, sedang industri d sebagian besar bahan didapatkan di pasar lokal y membutuhkan pedagang pera Cukup menarik bahw seperempat pengusaha indu desa penelitian mempunyai dengan bank. Ini menunjukk
KERJA SAMA INDUSTRI DENGAN SEKTOR LAIN DI BATUR DAN SEMANU
Batur (%)
Semanu (%
Perdagangan
57,9
13,6
Jasa; Bank
26,3
22,7
10,6
54,5
5,2
4,5
%
100
100
N
100
100
Sektor
Koperasi Badan pemerintali Jumlah Sumber:
Data Survai Industri, 1993
akses pada permodalan cukup baik. Beberapa orang responden mengatakan bahwa mereka memanfaatkan jasa bank untuk modal usaha. Ada juga responden yang tidak memanfaatkan jasa bank, walaupun kesempatan itu ada. Kebanyakan yang tidak memanfaatkan bank beralasan tidak memiliki agunan dan tidak sanggup mengangsur secara tetap tiap bulan. Mengangsur tiap bulan dipandang berat karena kondisi usaha tidak menentu. Maksudnya, usaha sangat tergantung pada pesanan dari pedagang atau pemesan Ketidakpastian dalam berusaha menyebabkan mereka takut terikat dengan bank. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila beberapa
44
pengusaha mengatakan b meskipun kesulitan modal a penghalang utama dalam pengem an usaha, mereka tidak beru meminjam dana dari bank. Kesul ditambah dengan keterbatasan memperluas pasar menyeba struktur industri di dua desa itu lemah dan terpecah-pecah atau terpisah satu sama lain, akib perkembangan tersendat-senda mengalami proses involutif. S tampak meng kuantitas perkembangan tetapi kualitas, ba segi produktivitas teknologi m keluaran, tidak mengalami perkem an yang berarti.
Kerja sama perusahaan dengan koperasi tampaknya masih terbatas. Dari 100 perusahaan yang diwawancarai tercatat sebagai anggota koperasi perusahaan sejenis hanya sekitar 13 persen di Batur dan 21 persen di Semanu. Kerja sama dengan koperasi tampak lebih menonjol di Semanu daripada di Batur (lihat Tabel 3 ) Agaknya, koperasi masih cukup berperan dalam memberikan bantuan pada pengusaha industri di Semanu. Di Semanu koperasi memberi bantuan modal dan pemasaran pada pengusaha. Berbeda dengan di Batur, koperasi dipandang tidak memberikan bantuan yang cukup berarti bagi pengusaha. Koperasi di Batur hanya cenderung mengutip uang iuran anggota, tetapi kurang memperhatikan aspirasi dan kepentingan anggotanya. Ini yang menyebabkan pengusaha, terutama industri cor logam enggan bekerja sama dengan koperasi. Bahkan secara ekstrim beberapa responden memberikan keterangan bahwa koperasi industri logam hanya digunakan/dimanfaatkan oleh pengurus koperasi yang juga menjalankan usaha industri.
cenderung terkait dengan per pola konsumsi masyarakat. Di itu, pertumbuhan indust disebabkanketerkaitan konsum menonjol di kedua desa. tercermin dari industri pen makanan sekitar 75 persen di B 80 persen di Semanu berdiri tahun 1980-an. Tak dapat di kenaikan penghasilan masyarak merangsang pertumbuha Meskipun ada kesulitan menyimpulkan bahwa kaitan k telah merangsang pertum industri, khususnya industripen makanan, ada sedildt petunjuk b kedua desa kaitan konsum mendorong pertumbuhan indu Beberapa industri, seperti co pande besi dan anyaman pembuatan genting/batu bata d desa penelitian telah diusahaka lama. Meskipun studi ini tida merekam data perusahaan ya beroperasi lagi, ada indikas jumlah industri di kedua penelitian mengalami penin selama dua puluh tahun tera Namun, peningkatanjumlah usa diikuti dengan perkembangan u
pasaran atau kondisi pasar mengalami
pengusaha dalam memperta
kelesuan? Hal lain yang dapat dipakai sebagai indikator tentang kurang adanya perkembangan usaha adalah perubahan mesin dan alat produksiyang digunakan. Meskipun di Semanu pengusaha yang berupaya untuk menambah alat produksi relatif rendah dibandingkan dengan di Batur, di keduadesa lebihdari separo pengusaha tidak pernah menambah alat produksi (Tabel 5.). Selain itu, meskipun beberapa pengusaha berupaya menyesuaikan produk dengan permintaan pasar, teknologi pengolahan juga tidak mengalami perubaban yang berarti.
kelangsungan usaha? Salah satu upaya yang dite dalam mempertahankan kelang usaha adalah menekan upah serendah mungkin. Tabel 6. m upah rata-rata per hari menuru Rata-rata upah harian lebih ti Batur daripada di Semanu. D juga upah borongan jauh lebih t Batur daripada di Semanu. Teta borongan tidak lazim dilaku Semanu. Di Batur pada umumny borongan ditemui pada indu logam dan tekstil. Di industri eo pekerjaan borongan, ter dilakukan oleh tenaga setempat
TABEL 4. PROPORSI PENGUSAHA YANG PERNAH MENGEMBANGKAN USAHA INDUSTR DI BATUR DAN SEMANU
Batur
Semanu
Pernah
38
40
Tidak/Belum
62
60
%
100
100
N
100
100
Pernah mengembangkan
Jumlah Sumber:
46
Data Survai Industri, 1993-
pengecor). Pekerjaan ini termasuk pekerjaan terampil karena tidak setiap orang dapat melakukannya. Tenaga pengecor dari Desa Batur bekerja secara berombongan dan dalam bekerja mereka pindah dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Pada musim banyak pesanan tenaga pengecor ini sangat dibutuhkan dan bahkan kadangkadang kekurangan. Tidak mengherankan bila upah mereka relatif tinggi bila dibandingkan dengan pekerja harian. Bila rata-rata upah di Batur dan di Semanu dibandingkan dengan rata-rata kebutuhan fisik minimum pekerja lajang ternyata upah hanya dapat mencukupi sekitar 80 persen rata-rata kebutuhan fisik minimum pada tahun 1990 di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Batur ratarata upah per bulan sekitar Rp 57.668,00 sedang rata-rata kebutuhan fisik minimum pekerja lajang tahun 1990
fisik minimum keluarga dengan anak. Dengan upah seperti itu kondisi kehidupan buruh ban kurang memadai. Untuk m kekurangan upah banyak peke berhubungan dengan daer Sebagian besar buruh tidak m keluarga ke tempat bekerja menekan biaya hidup mereka t tempat kerja yang disediak perusahaan dengan kondis memadai. Ada juga yang bersa pekerja (2 atau 3 orang) menyew di rumah-rumah penduduk fasilitas seadanya. Berbaga dilakukan pekerja untuk menek hidup agar upah dapat me kebutuhan hidup di tempat k dikirim ke desa. Di samp pengusaha melakukan berbaga dan upaya dalam menekan upa Beberapa pengusaha mempe
sebesar Rp 70.578,00. Di Semanu ratarata upah per bulan sekitar Rp 49.920,00 sedang rata-rata kebutuhan fisik
anggota keluarga. Misalnya kerajinan bambu, pembuatan pande besi banyak mempe tenaga keluarga tanpa diupah. B pengusaha mempekerjakan pek daerah-daerah tergolong miskin Pada umumnya pekerja yang be daerab-daerah itu bersedia murah. Di Batur beberapa pe
minimum pekerja lajang tahun 1990 di Yogyakarta sebesar Rp 61.250,00. Dengan perhitungan rata-rata kebutuh¬ an fisik minimum pekerja lajang saja tampak bahwa upah dikedua desa tidak mencukupi, apalagi dengan kebutuhan
7910
2144
-
2218
1920
4888
605
798
3736
5. Cor logam
2318
6. Tekstil
Rata-rata
Sd Sumber:
13
Data Survai lndustri, 1993.
mempekerjakan pekerja yang berasal dari Gunung Kidul, Ponorogo, dan Purwodadi. Kebanyakan pekerja asal daerah itutergolongpekerja kasar (tidak terampil) karena sebagian besar adalah petani gurem atau buruh tani. Pada waktu-waktu tertentu sebagian besar masih bekerja di sektor pertanian. Di Batur pekerja yang masih melakukan kegiatan pertanian sekitar 45 persen sedang di Semanu sekitar 80 persen. Pada musim tanam dan panen banyak pekerja yang pulang ke desa untuk terlibat dalam kegiatan pertanian. Jadi, dapat dikatakan babwa selain keterkaitan keruangan dapat juga terjadi keterkaitan antara sektor industri dan pertanian melalui kaitan ketenagakerjaan. Dalam hal mi sektor pertanian
bertindak sebagai pemasok pekerja di sektor industri. Proses ini dapat
48
2009
membantu integrasi ekonomi. N integrasi ini belum kuat karena st industri masih lemah. Dalam k industri seperti itu sektor per tampak memberikan sumba (berkorban) untuk industri.
Kesimpulan
Dalam penelitian ini kami mencoba membandingkan dua d pedesaan yang berbeda latar bela nya. Teruyata perbedaan konte tidak menciptakan struktur s ekonomi yang berbeda, baik da kondisi sektor industri maupun da prospek perkembangannya. H cukup menarik, apa lagi jika d
kembali bahwa Kabupaten K sebagai pusat industri kecil sering sebagai contoh luar biasa menunjuk ke masa depan eko
KEPENDUDUKAN UGM kualitas man pengusaha tentang
an yang berarti. Hubungan vertikal antara perusahan industri hampir belum ada , baik dalam bentuk industri kecil berperan sebagai pemasok bahan setengah jadi bagi industrisedang/besar maupun dalam model 'bapak angkat', di mana perusahan besar menjadi pelindung bagi perusahan kecil dengan upaya mendorong perkembangannya Hal serupa dapat dikatakan terhadap hubungan antarsektor: dari seratus perusahan yang diteliti di Ceper baru 16 persen mengambil bahan baku dari pertanian atau menyediakan hasil produksi bagi sektor primer. Di Semanu frekuensi interaksi antara sektor primer dan sekunder memang lebih tinggi (45 persen), akan tetapi dalam kondisi dan taraf yang sangat sederhana. Ternyata, dalam proses industrialisasi di Batur dan Semanu kemajuan jarang dialami oleh para pengusaha yang bersangkutan: di Ceper sekitar 69 persen pengusaha
yang dituntut oleh ekonom rendahnya mutu produk dan tenaga kerja yang dibarengi masalah akses terhadap mod sistem perbankan dan la
menciptakan satu proses 'indust yang cenderung bersifat 'in seperti yang dibicarakan oleh "pertumbuhan ke dalam". K seimbangan antara peningkatan perusahaan (yang cenderung bervariasi dari segi jenisproduk) jaringan pemasaran secara menurunkan produktivitas, mas dapat dibuktikan terutama industri cor logam di Ceper dan burung di Semanu. Ketidakseim tersebut sekaligus melemahk tawar-menawar bagi dua kelomp bersangkutan; pertama bagi pe terhadap pemesan/pengorde proses penentuan barga, dan ke
Misalnya oleh mantan Menteri KLH Emil Salim. Dalam satu pidato yang disa pada awal tahun 1990 beliau menegaskan bahwa "bila mau melihat mas Indonesia harus melihat ke Klaten". Hal ini mirip dengan data yang disedlakan Kantor Wilayah Departemen Pern Jawa Barat. Di Jabar, dari jumlah keseluruhannya 171.532 unit industri keeil telah memilikl keterkaitan dengan Industri berskala besar, jadi hanya sek persen.
cara yang dapat dilakukan adalah memperkuat keterkaitan dan kerja sama antarindustri dan antarsektor. Keintegrasian tampaknya tidak cukup kalau hanya mengandalkan pada program bapak angkat. Program bapak angkat perlu dikembangkan ke arah yang lebih merangsang perkembangan industri kecil dengan memberikan bantuan pengembangan teknologi, perluasan pasar dan manajemen yang sesuai dengan ekonomi pasar. Program bapak angkat yang memberi bantuan modal dan penyediaan bahan baku tampaknya akan menciptakan ketergantungan yang pada gilirannya dapat menghambat perkembangan industri. Di samping itu, kerja sama antarindustri melalui koperasi perlu ditinjau kembali. Sebab selama ini koperasi hanya menimbulkan konflik kepentingan dan persaingan antara pengurus dan anggota. Dalam banyak kasus koperasi cenderung kurang mampu menyalurkan aspirasi dan kepentingan anggota.
Dahrendorf. 1986. Konflik dan dalam masyarakat ind sebuab analisa kritik. J Rajawali Dunbam, David. 1991. Agric growth and rural industry reflections on the rural linkage debate. Colombo: I of Policies Study. Geertz, C. 1976. lnvolusi per proses perubahan eko Indonesia. Jakarta : Bhratar Aksara. Haggblade, S., Hazell, P., Brown, "Farm-non farm linkages i Sub-Saharan Africa", Development, 17 (8): 1173 Haralambos, M. 1990, ed. So New Directions. Orm Lancashire. Harriss, J. 1987. "Regional linkages from agriculture",J of Development Studies, 275-289, January. Manning, C. dan Tadjuddin N. Urba eds. 1985pengangguran, dan informal di Kota. Ja Gramedia untuk Yayasan O Pusat Penelitian Kepend
-
UGM.
50
Sutcliffe, R.B. 1971. Industry and underdevelopment. London.