BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia industri di Indonesia sangat
pesat. Pengkajian
mengenai rancang bangun suatu industri yang terbentuk dalam suatau pabrik harus memperhatikan semua aspek, termasuk aspek tata kelola lingkungan yang diatur oleh Undang-undang dan peraturan-peraturan daerah. Industri yang terbentuk dalam suatu bangunan pabrik yang didalamnya dilakukan kegiatan dan atau usaha, dimungkinkan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, meliputi: 1 a. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. Ekploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tidak terbaharui; c. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup serta kemerosotan sumberdaya alam dan pemanfaatannya; d. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan serta lingkungan sosial dan budaya; e. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; f. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik; g. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati;
1
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
1
h. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup; i. Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan Negara. Karena itu setidaknya ada 3 alasan menjadi penting ketika membangun pabrik dilihat dari sisi tata kelola lingkungan, ditambah dengan adanya otonomi daerah, maka masalah lingkungan dalam pembangunan pabrik akan mendapatkan perhatian yang lebih serius. Ketiga alasan tersebut: pertama, dalam membicarakan proyek kapital industri. 2 Proyek kapital pembangunan industri adalah suatu industri yang oleh American Institute of Chemical Enginees digolongkan sebagai industri yang didalam proses pengolahan atau pabrikasi dari bahan mentah menjadi produk yang diinginkan terjadi proses perubahan kimia (unit proces) dan atau fisika (unit operation). Dilakukan dalam waktu bersamaan atau berurutan dengan cara terkoordinasi dalam peralatan yang keseluruhannya akan merupakan kilang atau fasilitas produksi/industri. Kegiatan proyek pembangunan industri diarahkan untuk melakukan perencanaan atau desain baik secara engeneering, ekonomi maupun tata kelola lingkungan. Dalam tata kelola lingkungan potensi pencemaran terhadap lingkungan oleh suatu industri yang operasinya didasarkan atas adanya proses kimia dan fisika dianggap cukup besar, misalnya adanya pembakaran yang tidak sempurna sehingga terjadi penyebaran senyawa karbon yang dapat membahayakan lingkungan. Atau mungkin terjadinya kebakaran bahan kimia yang beracun atau senyawa hidrokarbon yang mengalir atau tersebar kesekeliling kilang dapat membahayakan kehidupan flora dan fauna ditempat tersebut. Oleh karena itu kilang industri itu harus dilengkapi 2
Iman Soeharto, Manajemen Proyek Industri (Persiapan,Pelaksanaan, Pengelolaan). Erlangga,1990, hlm.12
2
dengan peralatan yang dapat memberikan tanda adanya kebocoran yang mungkin terjadi agar tidak menyebar keluar kilang yang dapat membahayakan lingkungan sekitarnya. Kedua. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, disatu sisi merupakan studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, disisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan. Berdasarkan analalisis dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, baik dampak negatif maupun positif yang akan timbul dari usaha dan atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif. Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut, diantaranya digunakan kriteria mengenai: 3 a. Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/ atau kegiatan;. b. Luas wilayah penyebaran dampak; c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yanga akan terkena dampak; e. Sifat kumulatif dampak; f. Berbalik (reversible) atau tidak berbalik (irreversible) dampak Pengelolaan
limbah
merupakan
penyimpanan, pengumpulan,
kegiatan
yang
meliputi
pengurangan,
pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau
penimbunan.4 Kewajiban untuk melakukan pengelolaan dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya kemungkinan resiko terhadap lingkungan hidup berupa 3
Penjelasan pasal 15 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4
Pasal 1 ayat (23) Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3
terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, mengingat bahan berbahaya dan beracun mempunyai potensi yang cukup besar untuk dapat menimbulkan efek negatif , oleh karena itu persyaratan penataan lingkungan hidup dalam kerangka otonomi daerah bagi setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan, wajib memiliki analisis dampak lingkungan hidup/ UKL dan UPL untuk memperoleh ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang didaerah tersebut sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam menerbitkan ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diperhatikan: a. Rencana tata ruang b. Pendapat masyarakat c. Pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut. Dalam ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan harus ditegaskan kewajiban yang berkenaan dengan penataan ketentuan mengenai pengelolaaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha, yang diwajibkan untuk membuat atau melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka rencana pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib dilaksanakan harus dicantumkan secara jelas dalam ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Misalnya kewajiban untuk mengelola limbah,
syarat mutu limbah yang boleh
dibuang kedalam lingkungan hidup, dan kewajiban yang berkaitan dengan pembuangan limbah, seperti kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban melaporkan hasil swapantau tersebut kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang pengendalian dampak lingkungan hidup. Ketiga. Berdasarkan penilaian Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) 2009 terhadap kinerja 627 perusahaan, terdapat 56 perusahaaan berperingkat hitam, 48 perusahaan merah minus, 82 perusahaan merah, 229 perusahaan biru
4
minus, 170 perusahaan biru, 41 perusahaan hijau, dan hanya satu perusahaan yang berperingkat emas.5 Perusahaan-perusahaan yang masuk daftar
hitam
diharuskan segera
memperbaiki kinerja pengelolaan lingkungan. Pasalnya, dalam Undang-undang No.32 tahun 2009 tenang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusahaan-perusahaan yang tidak memperhatikan aspek pengelolaaan lingkungan hidup akan diberi sanksi tegas.6 Tindakan tegas bagi pencemar dan pelanggar lingkungan merupakan bentuk penerapan prinsip berkeadilan dalam
pengelolaan lingkungan, terutama dalam
melindungi masyarakat dan lingkungan hidup. Setelah berlakunya Undang-undang baru, kedepan tidak hanya perusahaan berlabel hitam yang mendapat warning, tetapi juga perusahaan yang termasuk
daftar merah dan merah minus. Perusahaan-
perusahaan itu bisa diperkarakan kemeja
hijau. Hal itu berdasarkan alasan
perusahaan berperingkat merah hanya melakukan sebagian persyaratan pengelolaan lingkungan sesuai dengan Undang-undang, sedangkan peserta proper berperingkat merah minus masih sedikit sekali melakukan pengelolaan lingkungan sesuai dengan Undang-undang. Sebelum dituntut secara hukum, perusahaan itu akan dibina terlebih dahulu. Perusahaan yang dua kali masuk daftar hitam akan mendapatkan pembinaan dari Deputi Penataan Hukum Kantor Negara Lingkungan Hidup. Pasalnya, filosofi dasar proper adalah pembinaan dan pengawasan.7 Proses pembinaan biasanya atas permintaan secara pro aktif dari sebuah perusahaan yang berperingkat hitam atau merah agar peringkat mereka bisa meningkat pada tahun berikutnya. Mereka meminta tim proper untuk melakukan kajian teknis tentang pengelolaan lingkungan sesuai amanat Undang-undang. 5
Koran Jakarta, 20 Oktober 2009. Keterangan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam acara malam anugerah lingkungan. 7 Koran Jakata, op. cit., hlm. 18. 6
5
Misalnya tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun sejak dihasilkan sampai dimusnahkan yang harus diketahui secara pasti setiap pergerakan dan catatannya. Pembinaan itu dilakukan atas beberapa pertimbangan, misalnya apabila suatu perusahaan berperingkat hitam langsung diperkarakan kemeja hijau, otomatis perusahaan itu harus berhenti beroperasinya. Hal tersebut tentunya bisa menimbulkan dampak sosial berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi para karyawan serta merugikan masyarakat sekitar yang sangat bergantung pada jalannya perusahaan. Apabila perusahaan-perusahaan itu tidak melakukan perbaikan selama masa pembinaan, kuasa hukum KNLH tidak akan segan-segan menuntut mereka melalui jalur hukum. Penyelenggara
proper memang
bertujuan agar semua lapisan masyarakat
berperan aktif sebagai pengawas dalam membantu pemerintah meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Apabila bukti yang diajukan oleh seseorang atau instansi dapat dipertanggung jawabkan, KNLH akan mencabut penghargaan dari perusahaan yang bermasalah. Kriteria peringkat proper adalah; 1. Peringkat emas ; telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dan telah melakukan upaya 3 R (reuse, recycle,recovery), menerapkan system pengelolaan lingkungan yang berkesinambungan, serta melakukan upaya-upaya yang berguna bagi kepentingan masyarakat jangka panjang. 2. Peringkat hijau ; telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan, mempunyai system pengelolaan lingkungan, mempunyai hubungan yang baik dengan masyarakat, termasuk melakukan upaya 3R. 3. Peringkat biru ; telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
6
4. Peringkat biru minus ; melakukan uapaya pengelolaan lingkunan, akan tetapi beberapa upaya belum mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 5. Peringkat merah ; melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi baru sebagian mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 6. Peringkat merah minus ; melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi baru sebagian kecil mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 7. Peringkat hitam ; belum melakukan upaya pengelolaan lingkungan berarti, secara sengaja tidak melakukan upaya pengelolaan lingkungan sebagaimana yang dipersyaratkan, serta berpotensi mencemari lingkungan. Suatu perusahaan
baru atau lama apabila mengikuti Standard Operating
Procedure (SOP) dengan benar, dipastikan perusahaan itu mendapat peringkat biru. Sebab, peringkat tersebut hanya mengharuskan perusahaan mengelola lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan. Misalnya, mematuhi ijin mendirikan bangunan, tata ruang wilayah, zona industri dan ekonomi serta amdal. Disinilah peran pemerintah khususnya didaerah yang sekarang diberi kewenangan masingmasing dalam mengelola dan mengatur potensi daerahnya dalam kerangka otonomi daerah.
7
BAB II POLITIK HUKUM PENGATURAN TATA KELOLA LINGKUNGAN DI INDONESIA SEJAK KEMERDEKAAN A. Pengertian Pengelolaan lingkungan hidup terkait erat dengan kesejahteraan rakyat suatu negara. Melalui pengelolaan lingkungan hidup, tempat sumber daya alam ada didalamnya, kesejahteraan rakyat hendak diwujudkan. Bagi negara yang mengklaim sebagai negara kesejahteraan (welfare state), menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan negara atau hidup bernegara. Segala aktivitas penyelenggaraan negara diorientasikan pada upaya mencapai dan memenuhi kesejahteraan rakyat tersebut. Dalam pembukaan UUD 1945 secara eksplisit dinyatakan bahwa salah satu tujuan pendirian negara dan pembentukan pemerintahan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai kesejahteraan umum tersebut, UUD 1945 memberikan kepada negara hak ekslusif untuk menguasai lingkungan hidup
dan sumber daya alam, yang dalam literature hukum
dikenal dengan hak menguasai negara. Integrasi lingkungan hidup dan sumber daya alam, hak menguasai negara dan kesejahteraan rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat”.
8
Muhammad Hatta menterjemahkan hak menguasai negara sebagai hak negara untuk membuat aturan guna melancarkan kehidupan ekonomi.8 Berdasarkan hak menguasai negara tersebut, Negara Indonesia telah menetapkan berbagai kebijakan dan regulasi dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam kenyataannya, pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia masih menghadapi problem yang sama yaitu adanya benturan antara berbagai peraturan perundang-undangan, terutama antara undang-undang sektoral terkait sumber daya alam (yang lebih berorientasi pada pemanfaatan sumber daya lingkungan) dan undang-undang lingkungan hidup (yang dianggap terlalu menekankan pada aspek perlindungan lindungan hidup). Akibatnya, pengelolaan lingkungan hidup dibawah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 yang kemudian diganti dengan UU No. 23 Tahun 1997 dan diganti lagi dengan UU No. 32 Tahun 2009 sebagai payung hukum belum mampu mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup, terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup dan tercapainya kesejahteraan rakyat. Berbagai instrument pencegahan dan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup menjadi tumpul karena tidak didukung oleh “kewenangan” yang seharusnya dilekatkan pada kewenangan pengelolaan lingkungan hidup seperti kewajiban menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), izin lingkungan, sanksi administrative, pidana, dan PPNS lingkungan hidup seperti yang ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti UU No. 23 Tahun 1997.
8
Roeslan Abdulgani, Aktualisasi Pemikiran Bung Hatta tentang Demokrasi Ekonomi dalam Sri Edi Swasono (ed), Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, Yayasan Hatta, Jakarta, 2000, hlm. 262-263, sebagaimana dikutip oleh Mujibussalim, Perlindungan Hukum Terhadap Sumber Daya Alam Berkaitan Dengan Peraturan Perlindungan Hutan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2008, hlm. 89-90, sebagaimana dikutip oleh Edra Satmaidi dalam tulisannya yang berjudul Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia.
9
Tentang politik hukum pengelolaan lingkungan hidup dari konstitusi hingga UU No. 32 Tahun 2009, menurut David Kairsy, politik hukum merupakan kebijaksanaan negara untuk menerapkan hukum.9 Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai
pernyataan
kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu Negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.10 Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy ini terdiri dari, pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.11 Berdasarkan pengertian tentang konsepsi politik hukum di atas, dalam kajian ini politik hukum dimaksudkan sebagai kebijakan hukum yang menjadi dasar dari pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Berbicara mengenai kebijakan hukum tentu UUD 1945 sebagai basic norm menjadi
rujukan
pertama, termasuk dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Sebelum adanya perubahan kedua dan keempat UUD 1945, satu-satunya ketentuan konstitusi yang menjadi landasan hukum bagi pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam adalah Pasal 33 ayat (3), yang lebih banyak ditafsirkan sebagai pemanfaatan dan ekploitasi sumber daya alam dengan justifikasi untuk mencapai kesejahteraan rakyat, sehingga aspek perlindungan dan keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam menjadi terabaikan. 9
David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York: Pantheon Books, 1990), hlm. xi. sebagaimana dikutip oleh Edra Satmaidi dalam tulisannya yang berjudul Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia. 10 Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973, 11 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 9.
10
Perubahan kedua dan keempat UUD 1945, telah memasukkan ketentuan baru terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam, yaitu Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) dan (5) UUD 1945. Pasal 28H ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Sementara Pasal 33 ayat (5) menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut diatur dengan undang-undang. Dari ketentuan Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (3), (4) dan (5) UUD 1945, terdapat 5 hal penting yang menjadi kebijakan hukum negara dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam:12 1. Pengelolaan lingkungan dan
pemanfaatan sumber daya alam harus
diletakkan dalam kerangka pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi setiap warga Negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan kata lain hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dikorbankan akibat pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam. 2. Pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan tanggung jawab negara, di mana melalui hak menguasai negara, negara membuat aturan-aturan dan kebijakan pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam.
12
Internet. Artikel yang berjudul Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia oleh Edra Satmaidi.
11
3. Kesejahteraan rakyat menjadi dasar filosofis dan sosiologis bagi segala aktivitas dan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat. 4. Pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan sarana untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan
berwawasan lingkungan hidup, dalam arti sasaran pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam tidak saja mencakup kesejahteraan rakyat, melainkan juga aspek keberlanjutan lingkungan hidup dan kemajuan ekonomi nasional. 5. Adanya pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai pengelolaan lingkungan hidup dengan undang-udang.
.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti UU No. 23 Tahun 1997 membawa perubahan mendasar dalam pengaturan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Karena dilihat dari judul
UU No. 32 Tahun 2009 adanya
penekanan pada upaya perlindungan lindungan hidup yang diikuti dengan kata pengelolaan lingkungan hidup. Dari segi kaidah bahasa, dalam kata pengelolaan telah termasuk didalamnya kegiatan atau aktivitas perlindungan. Dengan adanya penekanan
pada upaya perlindungan, disamping kata
pengelolaan lingkungan hidup, UU 32 Tahun 2009 memberikan perhatian serius pada kaidah-kaidah pengaturan yang bertujuan memberikan jaminan bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan memastikan lingkungan hidup dapat terlindungi dari usaha atau kegiatan yang menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup. Dikaitkan dengan pendapat Teuku Muhammad Radhie mengenai politik hukum sebagai arah (tujuan) kemana hukum hendak dikembangkan, maka UU No. 32 Tahun 2009 menetapkan arah (tujuan) kemana hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup hendak dikembangkan. Menurut Pasal 3
12
UU 32 tahun 2009, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan: 1. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; 2. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; 3. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; 4. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; 5. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; 6. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; 7. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; 8. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; 9. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan 10. mengantisipasi isu lingkungan global. Untuk mencapai tujuan di atas, UU No. 32 Tahun 2009 menetapkan sejumlah instrumen hukum pencegahan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Tata Ruang, Baku Mutu Lingkungan Hidup, Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup, AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), Perizinan, Instrumen Ekonomis Lingkungan, Peraturan Perundang-undangan Berbasiskan Lingkungan Hidup, Anggaran Berbasiskan Lingkungan Hidup, Analisis Risiko Lingkungan Hidup, Audit Lingkungan Hidup, dan instrument lain sesuai kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, dimana KLHS menempati posisi puncak dalam pencegahan dan pencemaran lingkungan hidup. Penekanan pada aspek perlindungan lingkungan hidup, juga terlihat dari adanya dua tingkatan izin
13
yang harus dipenuhi oleh setiap orang atau pelaku usaha/kegiatan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup yaitu adanya kewajiban memperoleh izin lingkungan terlebih dahulu sebagai syarat untuk mendapat izin usaha dan/atau kegiatan. Di samping instrument pencegahan, juga diatur instrument penegakan hukum (administrasi, perdata, dan pidana) beserta penerapan sanksi administrasi, ganti rugi dan sanksi pidana. Penetapan UU 32 Tahun 2009 berusaha memastikan adanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sedini mungkin yaitu melalui dari tingkat kebijakan, rencana dan program pembangunan (KLHS), maupun pada kajian lingkungan hidup bagi kegiatan atau usaha seperti telah dikenal selama ini, melalui mekanisme AMDAL. Kemunculan rezim lingkungan internasional ditandai oleh pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun 1972. Konferensi ini tidak memiliki signifikansi yang besar dalam politik global karena negara blok komunis memboikot pertemuan tersebut. Meskipun demikian, konferensi ini menjadi awal dari kemunculan isu lingkungan di panggung politik global. Pembahasan isu lingkungan pada level global kembali mencuat yang ditandai dengan pelaksanaan Rio Conference pada tahun 1992. Sebenarnya yang diuntungkan oleh konferensi ini adalah kelompok perusahaan multinasional yang menjadi aktor
dominan
lingkungan.
dalam
menentukan
konsepsi
penyelesaian
masalah
13
Pada level internasional, power politics masih memainkan peranan yang besar dalam pembentukan rezim internasional,
sehingga mustahil
menciptakan rezim lingkungan internasional yang adil dan konsisten. 14 13
www.google.com. Artikel oleh Moch Faisal yang berjudul “Desentralisasi Tata Kelola Lingkungan Hidup”. 14 Ibid.
14
Paradigma penyelesaian masalah lingkungan selama ini sangat antroposentris dengan melihat adanya dualisme antara lingkungan dan manusia. 15 Green politics dengan dua konsep utamanya; keberlanjutan ekologis (ecological sustainability) serta desentralisasi tata kelola lingkungan,
menjadi jalan
alternatif bagi penyelesaian masalah lingkungan, yang biasanya bertumpu pada konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan pembentukan rezim lingkungan internasional yang terbukti belum dapat menyelesaikan problem lingkungan dunia. Green politics menolak pandangan antroposentris dalam menganalisa permasalahan lingkungan hidup. Bila dilihat lebih jauh, konsep sustainable development sarat akan pandangan antroposentrisme
yang
menitikberatkan
kepada
pembangunan
yang
berkelanjutan daripada keberlanjutan lingkungan. Institusi global telah gagal menghasilkan penyelesaian permasalahan lingkungan, sebab ia harus berhadapan dengan permainan power politics dalam sistem antar-negara. Green politics
menawarkan konsep desentralisasi sebagai strategi
implementasi kontrol yang baik dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Green politics meyakini, implementasi kontrol level global dapat lebih efektif dilaksanakan dalam skala yang lebih kecil, yakni skala komunitas lokal yang langsung memiliki interdependensi terhadap alam sekitar dalam kehidupan mereka. Kebijakan Desentralisasi Lingkungan Hidup. Desentralisasi berimbas kepada tumbuhnya small scale democratic communities yang dapat menciptakan praktis keberlanjutan lingkungan ketimbang rezim internasional antar-negara yang dipenuhi dengan permainan power politics.16 Dengan konsep ini, penyelesaian masalah lingkungan lebih menitikberatkan dimensi etis kearifan lokal yang dimiliki setiap masyarakat lokal, daripada penyelesaian masalah lingkungan berbasiskan teknologi tinggi. Implementasi langsung dari konsep desentralisasi lingkungan hidup yang 15 16
dicetuskan
Ibid. Ibid.
15
kalangan green politics adalah mengembangkan konsep Demokrasi Ekologi Desa. UU no 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memungkinkan masyarakat desa untuk kembali memiliki hak-hak dasar mereka yang meliputi hak partisipasi dalam melestarikan lingkungan melalui kearifan lokal unik yang dimiliki oleh beragam desa di Indonesia. Desentralisasi institusi lingkungan hidup tidak semata-mata kebijakan membebankan penyelesaian lingkungan hidup pada tataran unit terkecil seperti desa. Desentralisasi lebih diarahkan untuk menggapai penyelesaian masalah lingkungan yang plural sesuai dengan konteks lingkungan di masing-masing daerah tanpa harus tersentralisasi dalam perdebatan yang penuh dengan hasrat kepentingan sebagaimana yang terjadi pada level global. Dengan adanya otonomi daerah dan semakin berwenangnya desa dalam pelestarian ekologis di Indonesia, merupakan modal bagi Indonesia untuk mengimplementasikan desentralisasi tata kelola lingkungan hidup sebagai upaya alternatif menyelesaikan permasalahan lingkungan. Implementasi ini kemungkinan besar lebih efektif dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan dari pada pembentukan rezim internasional terus-menerus yang sampai sekarang selalu mentok ditangan negara-negara besar. Berkaca dari Protokol Kyoto, sikap unilateralisme Amerika Serikat serta pertimbangan pertumbuhan ekonomi nasional yang menyebabkan Amerika tidak mau mengikuti Protokol Kyoto juga tampaknya akan menjadi tantangan yang sama bagi upaya mewujudkan tata kelola lingkungan hidup global yang efektif, demokratis dan akuntabel berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dengan berharap pada Menteri Lingkungan, kiprah Indonesia diharapkan dalam pentas politik lingkungan hidup global dengan tentunya tetap meningkatkan tata kelola lingkungan nasional (national environmental governance) sendiri.
16
B. Politik Hukum Sejarah dan perkembangan politik hukum di Indonesia dimulai pada saat diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh sang proklamator Ir. Soekarano dan Muh. Hatta. Dari kemerdekaan itulah mulai dijalankannya suatu roda pemerintahan dengan menciptakan hukum –hukum yang baru yang terlepas dari hukum-hukum para penjajah yang selama hampir 3,5 abad menjajah negeri ini. Hukum dalam pengertiannya sebagai kaidah-kaidah yang berlaku tidaklah lahir begitu saja akan tetapi memerlukan suatu proses pembentukan hukum, hukum itu adalah suatu produk politik yang berasal dari kristalisasi kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi serta bersaing. 17 Karena hukum berasal dari suatu proses politik didalamnya maka demi menjaga kerangka cita hukum ( rechtside ) perlu adanya suatu acuan yakni Politik Hukum. Pengertian politik hukum sebagai ilmu studi ( ilmu politik hukum ) adalah studi tentang kebijakan hukum dan latar belakang poltik dan lingkungan yang nantinya mempengaruhi lahirnya hukum itu sendiri. Kebijaksanaan disini tentang menentukan bagian aspek-aspek mana yang diperlukan dalam pembentukan hukum. Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, pembentukannya dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam 17
www.google.co.id.politik hukum.
17
masyarakat Eropa Kontinental pembentukan hukum dilakukan oleh badan legislatif. Sedangkan dalam masyarakat common law (Anglo saxon) kewenangan terpusat pada hakim. Negara Indonesia sebagai Negara hukum, konsep hukumnya mengikuti Eropa Kontinental, dimana pembentukan hukumnya dilakukan oleh badan legislative (DPR). Landasan Juridis pemberian kewenangan kekuasaan pembentukan undang-undang kepada badan legislative didasarkan pada pertama : “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”18 ,“setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”19
serta “Dalam hal rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui rancangan undangundang tersebut sah menjadi undangundang dan wajib diundangkan”.20 adalah UU No. 12 tahun 2011 tentang peraturan pembentukan perundang-undangan sebagi landasan yuridis kedua. Kewenangan DPR dalam pembentukan undang-undang diatur dalam BAB IV tentang “perencanaan penyusunan undang-undang” dan BAB V tentang “pembentukan peraturan perundang-undangan”.21 Kembali pada sejarah politik hukum di Indonesia dari awal kemerdekaan hingga sampai saat ini yang mengalami beberapa periode serta era kepemimpinan yang berkuasa didalamnya ternyata telah terjadi tolak tarik atau dinamika antara konfigurasi politik otoriter (nondemokratis). Demokrasi dan Otoriterisme muncul secara bergantian dengan kecenderungan linier disetiap periode pada konfigurasi otoriter. Sejalan dengan hal itu, perkembangan karakter produk hukum memperlihatkan keterpengaruhannya dengan terjadi tolak tarik antara produk hukum yang berkarakter konservatif dengan kecenderungan linier yang sama. Tolak tarik karakter hukum 18
Pasal 20 ayat (1) UUD RI 1945. Pasal 20 ayat (2) UUD RI 1945. 20 Pasal 20 ayat (5) UUD RI 1945. 21 www.depdagri.co.id 19
18
menunjukan bahwa karakter produk hukum senantiasa berkembang seirama dengan perkembangan konfigurasi politik. Meskipun kepastiannya bervariasi, konfigurasi politik yang demokratis senantiasa diikuti munculnya produk hukum yang responsive/otonom, sedang konfigurasi politik yang otoriter senantiasa
disertai
oleh
munculnya
hukum
yang
berkarakter
konserfatif/ortodoks. Dari latar belakang itulah perlunya suatu kajian terhadap perkembangan dan sejarah poltik hukum di Indonesia. C. Sejarah Hukum Lingkungan22 Pengaturan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan secara nasional baru dilakukan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Sebagai langkah pertama, Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara (PAN) telah mengadakan rapat Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pencegahan Pencemaran pada tahun 1971, sebagai persiapan menjelang Konferensi Stockholm telah diselenggarakan sebuah seminar tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional” di Bandung, yang berlangsung dari tanggal 15 sampai dengan 18 Mei 1972. Sebagai tindak lanjut dari Konferensi
Stockholm, Pemerintah Republik Indonesia
membentuk Panitia Interdepartemental yang disebut: Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup berdasarkan Keputusan Presiden No.16/1972. Panitia tersebut diketuai oleh MenPan/Wakil Ketua BAPPENAS sedangkan sekretariatnya ditempatkan
di
LIPI.
Panitia
ini
berhasil
merumuskan
program
pembangunan lingkungan dalam wujud Bab 4 dalam Repelita II berdasarkan butir 10 Pendahuluan BAB III GBHN 1973-1978. Dengan Keputusan Presiden No. 27 tahun 1975 telah dibentuk Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam dengan tugas pokok menelaah secara nasional pola-pola 22
Sentanon.blogspot.com/2010/03.
19
pemerintahan dan persediaan serta perkembangan teknologi, baik di masa kini maupun di masa datang, dengan maksud menilai implikasi sosial, ekonomis, ekologis dan politis dari pola-pola tersebut untuk dijadikan dasar penentuan kebijaksanaan pemanfaatan serta pengamanannya sebagai salah satu sumber daya pembangunan nasional. GBHN yang ditentukan oleh MPR tahun 1978 menggariskan langkah lanjut untuk pembinaan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam rangka aparatur lingkungan hidup telah diangkat untuk pertama kali dalam kabinet,23 yaitu dalam Kabinet Pembangunan III, seorang Menteri yang mengkoordinasikan aparatur pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Menteri tersebut adalan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (disingkat PPLH) yang kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerjanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden No.35 Tahun 1978. Sebagai Menteri PPLH telah diangkat Prof.Dr.Emil Salim, Guru Besar Ekonomi pada Universitas Indonesia. GBHN yang ditetapkan MPR tahun 1983 meningkatkan pembinaan dan pengelolaan lingkunan hidup yang telah digariskan dalam GBHN 1978-1983. Dalam Kabinet Pembangun IV (1983-1988) telah ditetapkan seorang Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Kedudukan, fungsi, tugas pokok dan tata kerjanya ditetapkan dalam keputusan Presiden No.25 Tahun 1983. Sebagai Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup telah diangkat Prof. Dr. Emil Salim. Dalam Kabinet Pembangunan V (1988-1993) Prof. Dr. Emil Salim telah diangkat kembali sebgai Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) telah diangkat Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Pembangunan VII (1998) telah diangkat Prof. Dr. Yuwono Sudarsono
23
Alamendah.wordpress.com/2010/04/16/daftar-menteri-lingkungan-hidup-indonesia/
20
sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Sedangkan dalam Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999) telah diangkat Dr. Paniangan Siregar sebagai menteri Negara Lingkungan Hidup. Pada Kabinet PersatuanPersatuan (1999-2001) dijabat oleh Dr. Alexander Sonny Keraf sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Gotong Royong (20012004) diangkat Nabiel Karim sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) telah diangkat Ir. Rachmat Nadi Witoelar Kartaadipoetra sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-sekarang) diangkat Gusti Muhammad Hatta sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Sejarah peraturan perundang-undangan Hukum Lingkungan di bagi menjadi tiga periode: 1. Zaman Hindia Belanda.24 Selanjutnya dalam sejarah peraturan perundang-undangan lingkungan terdapat
peraturan-peraturan
sejak
zaman
Hindia
Belanda,
sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjosoemantri, SH.ML: “Apabila diperhatikan peraturan perundang-undangan pada waktu zaman Hindia Belanda sebagaimana tercantum dalam Himpunan Peraturan-peraturan Perundangan di bidang Lingkungan Hidup yang disusun oleh Panitia Perumus dan rencana kerja bagi pemerintah dibidang pengembangan lingkungan hidup diterbitkan pada tanggal 15 Juni 1978, maka dapatlah dikemukakan, bahwa pertama kali diatur adalah mengenai perikanan, mutiara dan perikanan bunga karang yaitu Parelvisscherij, Sponservisscherijordonantie (Stb.1916 No.157) dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jendral Indenburg pada tanggal 29 Januari 1916, dimana ordonansi tersebut memuat peraturan umum dalam rangka melakukan perikanan siput 24
Op.Cit.
21
mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang dalam jarak tidak lebih dari tiga-mil laut Inggris dari pantai-pantai Hindia Belanda (Indonesia). Yang dimaksud dengan melakukan perikan terhadap hasil laut ialah tiap usaha dengan alat apapun juga untuk mengambil hasil laut dari laut tersebut.
Ordonansi yang sangat penting bagi
lingkungan hidup adalah Hinder-ordonantie (Stbl.1926 No. 226, yang diubah/ditambah, terakhir dengan Stbl.1940 No. 450), yaitu ordonansi Gangguan. Dalam hubungan dengan terjemahan Hinderordonantie menjadi Undang-Undang Gangguan yang sering terdapat dalam berbagai dokumen dan peraturan perlu dikemukakan bahwa ordonantie tidak dapat diterjemahkan menjadi Undang-undang, karena ordonantie merupakan produk perundang-undangan zaman Hindia Belanda, sedangkan undang-undang merupakan produk negara yang merdeka. Meskipun sebuah ordonantie hanya bisa dicabut denga sebuah undang-undang, ini tidaklah berarti ordonantie dapat diterjemahkan dengan undang-undang inilah yang tepat adalah mentransformasikan ordonantie
ke
bahasa
Indonesia
ordonansi. Di dalam pasal 1 Ordonansi Gangguan larangan
mendirikan
tanpa
izin
tempat-tempat
menjadi ditetapkan
usaha
yang
perinciannya jenisnya dicantumkan dalam ayat (1) pasal tersebut, meliputi 20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi ini ditetapkan pula berbagai pengecualian atas larangan ini. Di bidang perusahaan telah dikeluarkan Bedrijfsreglemeningsordonantie 1934 (Stbl.1938 No. 86 jo. Stbl. 1948 No.224). Ordonansi yang penting di bidang perlindungan
satwa
adalah
Dierenbeschermingsordonnantie
(Stbl.1931 No. 134), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia). berdekatan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang uruan, yaitu Jachtordonnantie 1931 (Stbl.1931 No.133) dan Jachtordonntie Java en Madoera 1940
22
(Stbl.1940 No.733) yang berlaku untuk Jawa dan Madura sejak tanggal 1 Juli 1940. Ordonansi ini mencabut yang mengatur cagaralam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en reservatenordonnantie 1932 (Stbl.1932 No.17) dan menggantikannya dengan Natuurbeschermingsordonnantie 1941 tersebut. Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hinda Belanda (Indonesia). Peraturan-peraturan yang tercantum didalamnya berlaku terhadap suaka-suaka alam atau Natuur monumenten, dengan perbedaan atas suaka-suaka margasatwa dan cagar-cagar alam. Keempat ordonansi di bidang perlindungan alam dan satwa tersebut diatas telah dicabut berlakunya dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus 1990. Dalam hubungan denggan
pembentukan
kota
telah
dikeluarkan
Stadsvormingsordonnantie (Stbl. 1948 No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948. Yang menarik disini adalah bahwa Stadsvormingsordonnantie diterbitkan pada tahun 1948, padahal Republik Indonesia di proklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945. Penjelasannya adalah bahwa SVO tersebut ditetapkan di wilayah yang secara de facto diduduki Belanda. Berbagai ordonansi tersebut diatas telah dijabarkan lebih lanjut dalam verordeningen, seperti misalnya: Dierenbeschermingsverordening (Stbl. 1931 No. 266); berbagai Bedrijfsreglementeringsverordeningen yang meliputi
bidang-bidang tertentu seperti
pabrik sigaret,
pengecoran logam, pabrik es, pengolahan kembali karet, pengasapan karet, perusahaan tekstil; Jachtveiordening Java en Madura 1940 (Stbl.
1940
No.
247
jo.
Stbl.
1941
No.51);
dan
Stadsvormingsverordening, disingkat SW (Stbl. 1949 No. 40). Begitu
23
pula terdapat peraturan tentang air, yauit Algemeen Waterreglement (Stbl. 1936 No. 489 jo. Stbl. 1949 No. 98) 2. Zaman Jepang25 Pada waktu zaman pendudukan Jepang, hampir tidak ada peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S Kanrei No. 6, yaitu mengenai larangan menebang pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan. Peraturan perundang-undangan di waktu itu terutama ditentukan untuk memperkuat kedudukan penguasa Jepang di Hindia Belanda, dimana larangan diadakan untuk menjaga bahan pokok untuk membuat pesawat peluncur (gliders) yang berbahan pokok kayu aghata, alba, balsem dalam rangka menjaga logistik tentara, karena kayu pohon tersebut ringan, tetapi sangat kuat. 3. Periode Setelah Kemerdekaan26 Pada periode ini secara bertahap muncul beberapa peraturan-peraturan antara lain: a. UU No. 4 prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia: b. UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan; c. UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan; d. UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia; e. UU No. 11 Tahun 1974 tentang Perairan; f. UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; g. UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia; h. UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan; i. UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982; 25 26
Ibid. Ibid.
24
j. UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya; k. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; l. PP No. 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (LN No. 20 Tahun 1974 TLN No. 3031); m. PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia; n. PP No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Instansi Vertikal di Daerah; o. Keputusan menteri Pertanian No. 67 Tahun 1967 tentang Empat Daerah Operasi Bagi Kapal-Kapal Perikanan; p. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; q. Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Selanjutnya peraturan perundangan-undangan setelah dilakukan penggantian terhadap UU No. 4 Tahun 1982 dengan UU No. 23 tahun 1997 tentang Undang-Undang Pokok Lingkungan Hidup yang kemudian di ganti dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga mulai memperhatikan bagaimana untuk menjaga agar lingkungan tidak tercemar, yaitu mengeluarkan Undang-undang yang menjaga agar bagaimana lingkungan secara dini akan terjaga dari pencemaran atas adanya proses pembangunan yaitu AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999
25
tentang Peraturan Perubahan atas Peraturan pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, Peraturan Pemrintah No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak
Lingkungan,
Keputusan
Menteri
Negara
Lingkungan Hidup Republik Indonesia nomor: Kep-13/MENLH/3/94 tentang
Pedoman Susunan Keanggotaan Dan Tata Kerja Komisi
Amdal, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor: Kep-14/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Republik Indonesia Nomor: Kep-056 Tahun 1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor: Kep15/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang Pembentukan Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Terpadu, Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 77 tahun1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor: 250/M/SK/10/1994 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Pengendalian Dampak Terhadap Lingkungan Hidup Pada Sektor Industri, Keputusan Bersama Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan nomor:
181/MENKES/SKB.II/1993,
KEP.09/BAPEDAL/02/1993
Tanggal 26 Februari 1993 tentang Pelaksanaan Pemantauan Dampak Lingkungan, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 29 tahun 1992 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Bagi Proyek-Proyek PMA Dan PMDN di Daerah, Keputusan
Menteri
Pertambangan
dan
Energi
Nomor:
26
523K/201/MPE/1992 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Penyajian Informasi Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan Untuk Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor: KEP-11/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang Jenis Usaha Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 12 tahun 1995 tentang perubahan Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 1994 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 75 Tahun 1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional, Keputusan Presiden republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 35 tahun 1991 tentang Sungai, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1991 tentang Rawa, Peraturan Pemrintah Republik Indonesia
nomor 18 tahun 1994
tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya Dan Taman Wisata Alam, Undangundang Republik Indonesia tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, Peraturan Pemerintah nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 10 tahun 1993 tanggal 19 Februari 1993 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Cagar
27
Budaya, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia nomor: Kep-24/MENLH/11/1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Audit
Lingkungan,
lingkungan
Hidup
Republik
Keputusan Indonesia
Menteri Nomor
negara :
Kep-
10/MENLH/1994 tentang pencabutan keputusan menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup nomor: a. Kep-49/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman penentuan dampak penting dan lampirannya; b. Kep-50/MENKLH/6/1987 tentang pedomann umum penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan dan lampirannya; c. Kep-51/MENKLH/6/1987 tentang pedoman umum penyusunan studi evaluasi mengenai dampak lingkungan dan lampirannya; d. Kep-52/MENKLH/1987 tentang batas waktu penyusunan studi evaluasi menganai dampak lingkungan; e. Kep-53/MENKLH/6/1987 tentang pedoman susunan keanggotaan dan tata kerja komisi. Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup. Deklarasi-deklarasi Internasional yang Berkaitan dengan Lingkungan Hidup. a. Deklarasi Stockholm. Deklarasi Stockholm sebagai akibat dari sidang umum PBB 1 Juni 1970 yang menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta internasional guna menanggulangi “proses kemerosotan kualitas lingkungan hidup” agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demi
kelangsungan
hidup
manusia.
Deklarasi
Stockholm
menghasilkan : 1) Deklarasi tentang LH (Preamble dan 26 asas yang disebut Stockholm Declaration) didalamnya terdapat hal-hal yang
28
memberikan arahan terhadap penangann masalah lingkungan hidup termasuk didalamnya pengaturannya melalui perundangundangan. 2) Rencana aksi lingkungan hidup manusia (action plan), termasuk didalamnya 18 rekomendasi tentang perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia. 3) Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang aksi tersebut (UNEP). 4) Menetapkan 5 Juni sebagai hari lingkungan hidup sedunia. 5) Sekretariat UNEP di Nairobi. 6) Bangsa-bangsa
perlu
membangkitkan
kesadaran
serta
partisipasi masyarakat dengan menyediakan informasi tentang lingkungan yang meluas. 7) Bangsa-bangsa perlu memberlakukan undang-undang tentang lingkungan yang efektif dan menciptakan undang-undang nasional tentang jaminan bagi para korban pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya. 8) Pihak pencemar harus menanggung akibat pencemaran . 9) Bangsa-bangsa perlu kerjasama menegakkan sistem ekonomi internasional yang terbuka untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. 10) Pembangunan berkelanjutan memerlukan pemahaman ilmiah yang baik tentang masalah-masalahnya (perlu pengetahuan dan teknologi inovatif). 11) Diperlukan partisipasi penuh para perempuan dalam mencapai pembangunan
berkelanjutan,
kreativitas
semangat
dan
keberanian kaum muda dan perlu mengakui dan mendukung identitas kebudayaan dan kepentingan penduduk asli.
29
12) Perang
membawa
kehancuran
pada
pembangunan
berkelanjutan dan bangsa-bangsa perlu menghormati hukumhukum internasional yang melindungi lingkungan di masa konflik bersenjata. b. Deklarasi Rio de Jeneiro 1992 (179 negara): 1) Rio declaration tentang lingkungan hidup dan pembangunan dengan 27 asas yang menetapkan dan tanggung jawab bangsabangsa dalam memperjuangkan kesejahteraan manusia. 2) Agenda
21
rancangan
tentang
cara
mengupayakan
pembangunan yang berkelanjutan dan segi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. 3) Pernyataan tentang prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi pengelolaan, pelestarian dan pembangunan semua jenis hutan secara berkelanjutan yang merupakan unsur mutlak bagi pembangunan
ekonomi
dan
pelestarian
segala
bentuk
kehidupan. Asas-asas Rio de Janeiro: 1) Manusia berhak atas kehidupan yang sehat, produktif dalam keselarasan dengan alam. 2) Pembangunan masa kini tidak boleh merugikan kebutuhan pembangunan lingkungan generasi kini dan yang akan datang. 3) Bangsa-bangsa
memiliki
hak
dan
kedaulatan
untuk
memanfaatkan Sumber Daya Alam mereka sendiri tanpa menimbulkan
kerusakan
lingkungan
di
luar
wilayah
perbatasan. 4) Bangsa-bangsa
perlu
menciptakan
undang-undang
internasioanal. 5) Bangsa-bangsa perlu mengambil tindakan pencegahan untuk melindungi lingkungan.
30
6) Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan harus menjadi integral dari proses pembangunan. 7) Mengentaskan kemiskinan dan memperkecil kesenjangan dalam taraf kehidupan di berbagai pelosok dunia merupakan keharusan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. 8) Bangsa-bangsa
perlu
bekerjasama
untuk
melestarikan,
melindungi dan memulihkan kesehatan ekosistem bumi. 9) Bangsa-bangsa perlu mengurangi dan menghapuskan pola produksi,
konsumsi
yang
tidak
berkelanjutan
dan
merencanakan kebijakan-kebijakan demografi yang layak. 10) Masalah lingkungan dapat ditangani dengan partisipasi seluruh warga negara. 11) Bangsa-bangsa
perlu
membangkitkan
kesadaran
serta
partisipasi masyarakat dengan menyediakan informasi tentang lingkungan yang meluas. 12) Bangsa-bangsa perlu memberlakukan undang-undang tentang lingkungan yang efektif dan menciptakan undang-undang nasional tentang jaminan bagi para korban pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya. 13) Pihak pencemar harus menanggung akibat penccemaran. 14) Bangsa-bangsa perlu kerjasama menegakkan sistem ekonomi internasional yang terbuka untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. 15) Pembangunan berkelanjutan memerlukan pemahaman ilmiah yang baik tentang masalah-masalahnya (perlu pengetahuan dan teknologi inovatif) 16) Diperlukan partisiasi penuh para perempuan dalam mencapai pembangunan
berkelanjutan,
kreativitas
semangat
dan
31
keberanian kaum muda dan perlu mengakui dan mendukung identitas kebudayaan dan kepentingan penduduk asli. 17) Perang
membawa
kehancuran
pada
pembangunan
berkelanjutan dan bangsa-bangsa perlu menghormati hukumhukum internasional yang melindungi lingkungan dimasa konflik bersenjata. Agenda 21 Rio de Janeiro. Deklarasi di Rio de Janeiro Brasil 3 – 14 Juni 1992 yang lebih populer dengan KTT RIO (Konferensi Tingkat Tinggi Bumi) dihadiri oleh 179 negara merupakan dokumen komprehensif setebal 700 halaman yang berisikan program aksi pembangunan berkelanjutan menjelang abad 21. Agenda 21 Global terdiri dari 39 bab yang dibagi dalam 4 bagian yaitu: 1. Dimensi sosial ekonomi; membahas masalah pembangunan yang dititik beratkan pada segi manusia serta isu-isu kunci seperti perdagangan dan keterpaduan pengambilan keputusan. 2. Konservasi dan pengelolaan SDA untuk pembangunan; merupakan bagian terbesar dari agenda 21 yang membahas berbagai permasalahan SDA, ekosistem dan isu-isu penting yang mana kesemuanya
perlu
pengkajian
lebih
lanjut
bila
tujuan
pembangunan berkelanjutan ingin dicapai baik pada tingkat global, nasional dan lokal. 3. Peranan kelompok utama; membahas isu kemitraan antar pengelola
lingkungan
yang
perlu
dikembangkan
dalam
mewujudkan pembangunan berkelanjutan. 4. Sarana pelaksanaan; mengkaji dan menganalisis pertanyaan “bagaimana
kita
dapat
mencapai
tujuan
pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan?”. Bagian ini menilai sumberdaya-sumberdaya yang dapat digunakan untuk mendukung pembangunan tersebut. Selain membahas aspek pendanaan,
32
teknologi,
isu-isu
pendidikan,
struktur
kelembagaan
dan
perundang-undangan, data dan informasi serta pengembangan kapasitas nasional yang berkaitan dengan isu pembangunan berkelanjutan. Secara umum dokumen agenda 21 menawarkan berbagai kegiatan konstruktif dan inovatif yang dapat dijalankan oleh negara maju dan berkembang, serta hal-hal penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan antara lain: 1. Kemitraan nasional (hubungan antara perencanaan pemabangunan, pengelolaan lingkungan dan pertimbangan-pertimbangan sosial). 2. Setiap negara disarankan menggali strategi pembangunan. 3. Aspek-aspek yang berkaitan dengan isu-isu perdagangan, investasi dan
hutang
(biaya-biaya
lingkungan
dimasukkan
dalam
pertimbangan). 4. Kemiskinan dianggap sebagai penyebab maupun hasil dari penurunan kualitas lingkungan. 5. Pola konsumsi yang dianut beberapa negara menyebabkan terjadinya polusi dan penurunan kualitas lingkungan. 6. Pembangunan pertanian berkaitan dengan keamanan pangan bagi penduduk . 7. Pentingnya
pendidikan
dan
kesadaran
masyarakat.
D. Masalah Lingkungan di Daerah. Masalah lingkungan yang terjadi di suatu daerah atau kawasan tertentu akan berpengaruh pada daerah atau kawasan lain. Hal ini disebabkan pencemaran lingkungan, misalnya (kebakaran hutan) dampaknya tidak hanya dirasakan oleh daerah yang tertimpa oleh pencemaran tersebut, tetapi juga
33
pada daerah tetangganya. 27 Hal ini dapat dilihat di Indonesia yang setiap tahunnya terjadi kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan, dampak dari kebakaran hutan tersebut dirasakan pula oleh masyarakat negara tetangga , yaitu Singapura dan Malaysia. Akhir-akhir ini
dengan sangat menyolok sekali masalah lingkungan
hidup muncul menjadi perhatian dan mulai menarik minat masyarakat ramai. Persoalan-persoalan lingkungan
hidup ini sudah sangat mendesak untuk
ditanggulangi. Contoh masalah lingkungan di daerah sebagai berikut: PULUHAN RUMAH DI GROGOL TERENDAM28 Hujan yang mengguyur kota Cilegon mengakibatkan puluhan rumah di Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, terendam air setinggi kurang lebih satu meter. Akibat tidak adanya drainase yang memadai, warga di kawasan Statomer dan Lingkungan Gerem Raya panik. TATA KOTA, PEMBANGUNAN BUTUH KERAMAHAN 29 Kualitas hidup masyarakat di Jakarta menurun dikarenakan minimnya konsep pembangunan ramah
lingkungan di DKI Jakarta, hal tersebut
menciptakan daerah-daerah kumuh yang dapat menimbulkan bencana terselubung seperti kebakaran, penyebaran penyakit, dan buruknya sanitasi. Pembangunan pemukiman ditengah kota berupa apartemen atau kawasan superblok tidak diikuti dengan pembangunan jalan dan sarana teransportasi. Pembanguan di Jakarta saat ini masih mengandalkan pertumbuhan ekonomi ketimbang masalah lingkungan. Akibatnya kesemrawutanlah yang tercipta di lingkungan DKI Jakarta.
27
Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 42. Koran Radar Banten, 15 Desember 2008. 29 Koran Jakarta, 23 Juni 2009. 28
34
KECELAKAAN TAMBANG, PENAMBANGAN DISAWAH LUNTO DITUTUP SEMENTARA.30 Pemerintah Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatra Barat, menutup sementara kegiatan penambangan batu bara bawah tanah guna pemeriksaan standar keselamatan kerja. Larangan itu berlaku sehari setelah ledakan maut tambang batu bara di bukit Bual/Ngalau Cigak, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto. Kecelakaan tersebut
akibat ledakan gas metana (CH4). Ledakan itu
mengakibatkan lemparan material hingga 150 meter dari mulut tambang dan terlemparnya 14 orang yang berada pada jarak sekitar 50 meter dari mulut tambang.
KESEHATAN SAMPAH.
LINGKUNGAN,
DKI TAK SERIUS MENGELOLA
31
Penolakan Pemerintah Kabupaten Tangerang, Banten, tentang rencana pembangunan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Ciangir sebagai tempat pembuangan sampah Jakarta patut dipertanyakan. Pasalnya, proyek tersebut telah diproyeksikan menjadi salah satu solusi penangan sampah Jakarta. Direktur Eksekituf Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta Ubaidillah mengatakan penolakan tersebut
mempertegas bahwa Pemprov
DKI tidak serius mengelola sampah. Sebab, dengan batalnya kerjasama itu, produksi sampah Jakarta akan semakin meninggi, dan itu tidak akan bisa ditampung ditempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang ada sekarang. Hal tersebut jelas bisa mengancam kesehatan lingkungan.
30 31
Ibid. 18 Juni 2009. Ibid. 12 Oktober 2010
35
BANJIR WASIOR, MASA TANGGAP DARURAT DIPERPANJANG.32 Menurut Presiden Yudhoyono bencana banjir bandang di Wasior bukan disebabkan illegal logging. Pihaknya juga memprioritaskan penanganan korban bencana dengan memperpanjang masa tanggap darurat. Menurut Presiden , andaikata memang benar terjadi pembalakan liar diatas perbukitan yang menyebabkan hutan rusak dan gundul, tentu bencana ini akan lebih dahsyat lagi. Korban yang jatuh akan jauh lebih besar lagi. Dengan demikian, berdasarkan hal itu hutan lapis kedua dari perbukitan di Distrik Wasior itu masih terpelihara dengan cukup baik. Presiden meminta agar bencana di Wasior ini dijadikan pembelajaran bagi masyarakat agar dapat memelihara lingkungan terutama hutan sekitar pemukiman. Banjir bandang di Kecamatan Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, terjadi pada Senin (4/10 ). Air bah yang menerjang menyebabkan seluruh sarana infrastruktur di Wasior luluh lantak, termasuk lapangan udara. Ribuan warga diungsikan ke Manokwari. Sejumlah bantuan pun dikirim. Berdasarkan keterangan Bupati Teluk Wondama, Albert H Torey, data korban banjir hingga kini ada 150 orang meninggal, 123 orang hilang, 128 orang luka berat dan 660 orang luka ringan. Dari contoh-contoh diatas terungkap pada dasarnya masalah-masalah pencemaran itu diakibatkan oleh perbuatan-perbuatan manusia yang tidak bijaksana, mulai dari jenis perbuatan yang ceroboh meningkat kepada perbuatan yang tidak terencanakan secara masak hingga sampai kepada jenis perbuatan yang jahat. Akibat dari semua jenis-jenis perbuatan tersebut ternyata menimbulkan kerugian
dan bahkan juga membahayakan
keselamatan umum. Demi untuk melindungi “kepentingan umum” itu, maka timbulah gerakan untuk melawan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatankejahatan terhadap keselamatan dan kepentingan
32
umum tersebut. Usaha
Ibid. 15 oktober 2010.
36
positif kearah pencegahan pelanggaran dan kejahatan semacam itu berupa penerangan dan pendidikan tentang perlunya manusia bertindak bijaksana.
E. Desentralisasi Pengelolaan Lingkungan. Semenjak dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah telah diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, maka pengaturan mengenai lingkungan hidup telah mengalami perubahan pula. UU Pemerintah Daerah sebagai Hukum Positif memerlukan peraturan organiknya berupa peraturan pelaksanaannya. 33 Oleh karena itu, untuk lebih merinci pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya di bidang lingkungan hidup, maka hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) butir 18 PP Nomor 25 Tahun 2000 tersebut menyangkut bidang lingkungan hidup sebagai berikut:34 1. Penetapan pedoman pengendalian sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan. 2. Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya laut diluar 12 (dua belas) mil. 3. Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas dan/atau menyangkut pertahanan dan keamanan, yang lokasinya meliputi lebih dari satu wilayah provinsi, kegiatan yang beralokasi di wilayah sengketa dengan negara lain, di wilayah laut di bawah 12 ( dua belas) mil dan berdomisili dilintas batas negara. 4. Penetapan baku mutu lingkungan dan penetapan pedoman tentang pencemaran lingkungan hidup. 5. Pedoman tentang konversasi sumber daya alam. 33
Ibid.hlm.175. PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. 34
37
Kewenangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di luar dari kewenangan yang dialokasikan kepada pemerintah (pusat) dan provinsi menjadi
kewenangan
otonomi
kabupaten/kotamadya
yang
meliputi
kewenangan-kewenangan sebagai berikut:35 1. Pemberian konsesi ( pemanfaatan/pengusahaan ) sumber daya alam yang berdampak pada keseimbangan daya dukung ekosistem dan masyarakat adat/setempat (penyelenggara perizinan). 2. Pengendalian dampak dari suatu kegiatan terhadap sumber daya air, udara, tanah, termasuk melaksanakan pengawasan penataan sampai dengan penjatuhan sanksi administratif (pengendalian dampak lingkungan). Kedua kewenangan tersebut selama ini dimiliki pemerintah pusat. Selama diserahkannya wewenang pengelolaan lingkungan hidup kepada daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, kondisi lingkungan tidak lebih baik dari sebelumnya. Padahal dengan terjadinya penyerahan tersebut, pemerintah pusat dan masyarakat berharap pengelolaan lingkungan akan lebih baik. Terlalu banyak masalah yang terjadi di daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, misalnya: 1. Tersedianya sumber daya manusia yang andal dalam bidang lingkungan. 2. Kurangnya perhatian gubernur atau bupati/walikota dalam menata atau menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan yang terjadi di daerahnya. F. Analisa Dampak Lingkungan. Analisa mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses 35
Supriadi., op., cit., hlm. 177.
38
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 36 Suatu proyek,
baik dalam bidang pertanian, industri, pertambangan,
pengembangan daerah maupun dibidang lainnya sebagai bahan dari pembangunan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan manusia.37 Walaupun demikian, kegiatan-kegiatan yang bertujuan baik
tersebut tidak jarang
memberikan efek samping yang merugikan terhadap kesejahteraan manusia secara langsung atau tidak langsung melalui lingkungannya. Cara yang ditempuh adalah suatu bentuk studi yang lazim disebut Environmental Impact Assesment, yang dalam bahasa Indonesia telah diterjemahkan menjadi Analisa Dampak Lingkungan. Garis besar dari studi ini adalah mempelajari pengaruh dari proyek terhadap lingkungan secara mennyeluruh, dengan mengumpulkan data dan mengevaluasi data tersebut melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:38 1. Mempelajari
sifat
lingkungan
dan
kecenderungannya
dengan
mengumpulkan data lingkungan fisik, kimiawi, biologis, sosial ekonomi dan politik serta data lain yang dianggap relevan; 2. Mempelajari proyek yang bersangkutan; 3. Memperhitungkan, dari informasi yang didapat atas pengaruh proyek terhadap lingkungannya baik yang positif maupun yang negatif; 4. Mempelajari mekanisme sistem dan sarana yang dapat berfungsi untuk memperkecil pengaruh negatif dan memperbesar pengaruh positif terhadap lingkungan. 5. Menyusun rekomendasi pengelolaan lingkungan berdasarkan informasi diatas.
36
Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 37 Prof. Mr. St. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku I: Umum, Binacipta, Bandung, 1985, hlm. 152. 38 Ibid., hlm. 153.
39
Analisa Dampak Lingkungan perlu
dilaksanakan sebelum kegiatan
proyek dimulai bersama-sama dengan studi kelayakan teknologi ekonomi yang kini sudah lazim dilaksankan dalam perencanaan suatu proyek. Hasil dari studi ini
dapat berupa konfirmasi bahwa dari segi
lingkunganpun proyek ini layak, suatu saran perubahan/modifiksi atau diversifikasi kegiatan proyek, pemindahan lokasi proyek dan sebagainya. Bukan tidak mungkin pula apabila studi menyarankan agar proyek ini ditinggalkan sama sekali. Pemerintah telah menganggap
Analisa Dampak Lingkungan sebagai
bagian yang vital dalam pembangunan. Dalam melaksanakan Analisa Dampak Lingkungan ini timbul
beberapa masalah.
Masalah utama
adalah dari
metode yang dipergunakan. Metode yang ada sekarang berasal dari negara Barat yang telah lebih maju sehingga tuntutannya pun menjadi lebih tinggi. Pada metode ini, dituntut pengumpulan data yang sangat terperinci yang membutuhkan biaya dan kemampuan yang tinggi. Untuk mengatasi masalah ini, sedang difikirkan pengembangan suatu metode yang lebih sederhana, rasional dan sesuai dengan keadaan dan kemampuan Indonesia. Hal-hal yang perlu dikembangkan segera untuk menyempurnakan pelaksanaan Analisa Dampak Lingkungan adalah antara lain:39 a. Tata cara dan kewenangan. Kecenderungan yang timbul kini adalah kewenangan ada pada Pemerintah Daerah, pelaksanaan oleh pihak ketiga atau konsultan sedang pembiayaan dipikul oleh pemilik proyek. Kewenangan hanya apabila proyek yang bersangkutan menyangkut kepentingan nasional. 39
Ibid., hlm. 154.
40
b. Suatu cara untuk menjembatani hasil Analisa Dampak Lingkungan yang berupa saran-saran pengelolaan lingkungan dengan pelaksanaannya dengan para pengelola. Peningkatan
kemampuan
dari
para
pelaksana
Analisa
Dampak
Lingkungan yang sampai kini masih dinilai kurang. Dalam UU No.32 Tahun 2009 ada 22 pasal yang mengatur
tentang amdal dari 127 pasal dalam
Undang-Undang tersebut. Secara khusus mengenai amdal dalam UU No.32 Tahun 2009 terdapat pada pasal 22 sampai dengan pasal 33. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UU No.32 Tahun 2009, dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria: a. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan atau kegiatan; b. Luas wilayah penyebaran dampak; c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. Sifat kumulatif dampak; f. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g. Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas:40 a. Pengubahan bentuk alam dan bentang alam;
40
http://www.freewebs.com/mastomi. Permasalahan dan Kendala Penerapan Pengelolaan Lingkungan Oleh Tomi Hendartomo.
Amdal Dalam
41
b. Eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan; c. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial budaya; e. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; f. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan dan jasad renik; g. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati; h. Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi peratahanan negara; dan/atau i. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal diatur dalam Kep Men LH No. 17 Tahun 2001 Tentang Jenis Usaha dan atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Dokumen amdal merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 25 UU No. 32 Tahun 2009 dokumen amdal memuat: a. Pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. Evaluasi kegiatan disekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan; c. Saran masukan dan tanggapan masyarkat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;
42
d. Prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan; e. Evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan f. Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.41 Dokumen amdal disusun oleh pemrakarsa dengan
melibatkan
masyarakat. Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta
diberitahukan
sebelum kegiatan dilaksanakan. Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2009, masyarakat yang dimaksud meliputi; a. Yang terkena dampak b. Pemerhati lingkungan hidup; dan/atau c. Yang terpengaruh atas segala keputusan dalam proses amdal. Masyarakat dapat
mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal.
Dalam menyusun dokumen amdal, pemrakarsa dapat meminta bantuan kepada pihak lain. Penyusun amdal wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusunan amdal. Menurut Pasal 28 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun amdal meliputi: a. Penguasaan metodologi penyusunan amdal b. Kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi dampak serta pengambilan keputusan; dan c. Kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
41
Penjelasan Pasal 25 huruf f UU No.32 Tahun 2009: Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dimaksudkan untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi, dan/atau mengompensasikan dampak suatu usaha dan/atau kegiatan.
43
Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Berdasarkan Pasal 30 UU No.32 Tahun 2009, keanggotaan Komisi Penilai Amdal terdiri atas wakil dari unsur: a. Instansi lingkungan hidup; b. Instansi teknis terkait; c. Pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; d. Pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; e. Wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan f. Organisasi lingkungan hidup. Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu. Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapakan keputusan kalayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya. Pemerintah dan pemerintah daerah membantu penyusunan amdal bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Bantuan berupa fasilitasi,
biaya, dan/atau
penyusunan amdal. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. 42
42
Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup Edisi 2006, Kementerian Lingkungan Hidup, hlm. 93.
44
G. Potret Lingkungan Hidup di Daerah. Mengingat kompleksnya pengelolaan lingkungan hidup dan permasalahan yang bersifat lintas sektoral dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan
diperlukan
perencanaan
lingkungan hidup yang sejalan
dan
pelaksanaan
pengelolaan
dengan prinsip pembangunan
yang
berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain. Di dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai pihak, serta ketegasan dalam penataan hukum lingkungan. Diharapkan dengan adanya partisipasi berbagai pihak dan pengawasan serta penataan hukum yang betul-betul dapat ditegakkan , dapat dijadikan acuan bersama untuk mengelola lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat diimplementasikan dilapangan tidak berhenti pada slogan semata. Namun demikian fakta dilapangan seringkali bertentangan dengan apa yang diharapkan. Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di daerah dalam era otonomi daerah antara lain sebagai berikut: 43 a. Ego sektoral dan daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimpahkan sebagian kewenangan mengelola lingkungan hidup di daerah belum mampu dilaksanankan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, demikian juga ego sektor. Pengelolaan lingkungan hidup yang sering dilaksankan overlaping antar sektor yang satu dengan sektor yang lain. Kenyataan menunjukkan
bahwa dalam perencanaan
program (termasuk pengelolaan lingkungan hidup) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain. 43
http://geo.ugm.ac.id/archives/125. Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah, hlm. 7.
45
b. Pendanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan. Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan yang baik. c. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan hidup merupakan bidang penting dan sangat diperlukan. Namun, pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk pengelolaan lingkungan hidup, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN yang dialokasikan langsung kedaerah untuk pengelolaan lingkungan hidup. d. Keterbatasan sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa dalam pengelolaan lingkungan hidup selain dana yang memadai juga harus didukung oleh sumberdaya yang mumpuni. Sumberdaya manusia seringkali masih tidak mendukung. Pesonil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya lingkungan hidup. e. Eksploitasi sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. Sumberdaya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Walupun kenyataannya tidak demikian; eksploitasi bahan tambang, ilegal logging,
hanya
menguntungkan
sebagian
masyarakat,
aspek
lingkungan yang seharusnya, kenyataanya banyak diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekenomi dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang semestinya. f. Lemahnya
implementasi
peraturan
perundangan.
Peraturan
perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, cukup banyak, tetapi didalam implementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan
46
baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujannya. g. Lemahnya
penegakan
hukum
lingkungan
khususnya
dalam
pengawasan. Berkaitan dengan implementasi peraturan perundangan ialah sisi pengawasan pelaksanaan peraturan perundangan. Banyak pelanggaran yang dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan), namun sangat lemah didalam pemberian sanksi hukum. h. Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup. Pemahaman dan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup sebagian masyarakat masih lemah dan hal ini perlu ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi dapat juga masyarakat golongan menengah keatas, bahkan yang berpendidikan tinggi pun masih kurang kesadarannya tentang lingkungan hidup. i. Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mendapatkan hasil yang instan, cepat dapat dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi dapat menguntungkan tetapi mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Perlu dicatat bahwa sebetulnya ditiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal yang sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun temurun. Tentu saja masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerah-daerah otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifikasi
satu
persatu,
yang
kesemuanya
ini
timbul
akibat
“pembangunan” didaerah yang pada intinya ingin mensejahterakan rakyat, dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dengan fakta diatas maka akan timbul pertanyaan, apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan masih diperhatikan dalam pembangunan kita.
47
Kondisi lingkungan kita dari waktu ke waktu bertambah baik atau bertambah buruk. Hal ini sangat diperkuat dengan fakta seringnya terjadi bencana alam baik tsunami, gempa bumi, banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur dan bencana alam lain yang menyebabkan lingkungan kita menjadi turun kualitasnya. Tentu saja tidak ada yang mengharapkann itu semua itu terjadi. Sebagaian bencana alam juga
disebabkan oleh ulah manusia itu
sendiri. Begitu banyak masalah yang terkait dengan
lingkungan hidup yang
berkaitan dengan pembangunan. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses pembangunan yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era otonomi ini tampak ada kecenderungan permasalahan
lingkungan hidup
semakin bertambah kompleks. Ada sementara dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, dimana daerah ingin meningkatkan PAD, dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya. Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan dimanamana, yang diikuti dengan timbulnya bencana alam.44 Terdapat banyak hal yang menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses pembangunan, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari hal-hal yang bersifat lokal sepereti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan.Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk
pemerintah
daerah,
masyarakat
dan
pihak-pihak
yang
berkepentingan untuk mengelola lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangungan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarkat perlu didengar dan 44
Ibid., hlm. 8
48
program-program kegiatan pembangunan betul-betul menyentuh kepentingan masyarakat. Konstitusi di negara ini sebenarnya sudah cukup memberikan dasar yang kuat bagi masyarakat untuk dapat menikmati lingkungan yang ajeg yang tertuang secara khusus, di dalam UUD 1945 yang menyangkut langsung hak atas lingkungan hidup terdapat di pasal 28 H ayat 1: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”45 Kemudian dalam pasal 33 ayat 2: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, pada ayat 3: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya
dikuasai
negara
dan
dipergunakan
untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”, serta ayat 4: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.46 Kerusakan dan pencemaran yang terjadi akibat ulah manusia secara pasti telah ditetapkan Allah SWT melalui firman-Nya yang berbunyi: a. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.47 serta
45
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945, disahkan 18 Agustus 2000 Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 disahkan 10 Agustus 2002. 47 Al-Quran, Surah Ar-Rum ayat 41. 46
49
b. “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. 48 Berdasarkan firman Allah SWT diatas, dapat dikatakan bahwa kerusakan yang terjadi dimuka bumi sebenarnya adalah perbuatan manusia itu sendiri.
48
Al-Quran, Surah Al-Qashash ayat 77.
50
BAB III HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DIBIDANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.49 A. LANDASAN HUKUM LINGKUNGAN 1. Undang-Undang Dasar 2. Undang-Undang Republik Indonesia 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Bapedal a. Analisa Dampak Lingkungan / amdal b. Pengendalian pencemaran air c. Pengendalian pencemaran udara d. Pengendalian pencemaran kerusakan laut e. Pengendalian kerusakan lingkungan f. Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) g. Organisasi dan kelembagaan
B. UNDANG-UNDANG DASAR Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 merupakan landasan hukum tertinggi di Negara Republik Indonesia, dan merupakan dasar peraturan perundang-undangan dibawahnya50, termasuk dengan undang-undang lingkungan hidup serta peraturan dibawahnya.
49
Djoko Mulyono. 2010. Hukum Pajak Konsep, Aplikasi dan Penuntun Praktis. Yogyakarta: Andi Offset. Hlm.17. 50 Ibid. hlm.18.
51
Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar dalam ketentuan perundangundangan lingkungan hidup, antara lain adalah: a.
Pasal 4 ayat (1), tentang Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang.
b.
Pasal 5 ayat (1), tentang Presiden berhak mengajukan rancangan undangundang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
c.
Pasal 5 ayat (2), tentang Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undnag sebagaimana mestinya.
d.
Pasal 11 tentang Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan badan keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan perwakilan Rakyat.
e.
Pasal 17 ayat (1) tentang Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
f.
Pasal 17 ayat (3) tentang setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
g.
Pasal 18 ayat (6) tentang pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan tugas otonomi dan tugas pembantuan.
h.
Pasal 20 ayat (1) tentang Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
i.
Pasal 22 ayat (1) tentang dalam hal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
j.
Pasal 28H ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
52
k.
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat”.
l.
Pasal
33
ayat
diselenggarakan
4
UUD
berdasar
1945 atas
menyatakan demokrasi
“Perekonomian
ekonomi
dengan
nasional prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” m. Sementara Pasal 33 ayat (5) menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut diatur dengan undang-undang.
C. UNDANG-UNDANG Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Undang-Undang dibuat untuk menjalankan amanah yang tersirat pada UUD.51 Undang-undang yang pernah mengatur hukum lingkungan adalah: a. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penjelasan atas Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. b. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penjelasan atas Undang-Undang RI No. 32 tahun 2009 tentang Perlindugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
51
Ibid.hlm 19.
53
D. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Peraturan pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan ketentuan sesuai yang telah diatur pada undangundang dengan sebagaimana mestinya.52 Peraturan pemerintah diterbitkan mengikuti ketentuan dalam undang-undang, yang perlu dirinci lebih lanjut, sehingga adanya peraturan pemerintah, untuk dapat diimplementasikan. Peraturan pemerintah berkaitan dengan lingkungan ang pernah diterbitkan antra lain: a. PP. RI. Nomor 18 Tahun 1999 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. b. PP. RI. Nomor 19 tahun 1999 Pengendalian Pencemaran dan atau Pencemaran Laut. c. PP. RI. Nomor 27 Tahun 1999 Ansalisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. d. PP. RI. Nomor 41 Tahun 1999 Pegendalian Pecemaran Udara. e. PP. RI. Nomor 85 Tahun 1999 Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. f. PP. RI. Nomor 150 Tahun 2000 Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. g. PP. RI. Nomor 4 Tahun 2001 Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. h. PP. RI. Nomor 74 Tahun 2001 Bahan Berbahaya dan Beracun. i. PP. RI. Nomor 82 Tahun 2001 Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
52
Ibid.hlm 21.
54
E. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP DAN BAPEDAL Keputusan Menteri Lingkungan adalah peraturan perundang-undangan yang diputuskan Menteri Lingkungan untuk menindaklanjuti ketentuan yang diatur pada undang-undang. Berkaitan dengan undang-undang lingkungan telah diputuskan berbagai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, seperti berikut ini: Analisis Dampak Lingkungan / Amdal 1. Kep Men LH No. 42 Tahun 1994 Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan. 2. Kep Men LH No. 056 Tahun 1994 Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting. 3. Kep Men LH No. 2 Tahun 2000 Panduan Penilaian Dokumen AMDAL. 4. Kep Men LH No. 4 Tahun 2000 Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan. 5. Kep Men LH No. 5 Tahun 2000 Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan. 6. Kep Men LH No. 40 tahun 2000 Pedoman Tatakerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. 7. Kep Men LH No. 41 Tahun 2000 Pedoman Pembentuk Komisi Penilai Analisis Mengenai Damapak Lingkungan Hidup Kabupatan/Kota. 8. Kep Men LH No. 42 Tahun 2000 Susunan Keanggotaan Komisi Penilai dan Tim Teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat. 9. Kep Men LH No. 17 Tahun 2001 Jenis Usaha dan atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. 10. Kep Men LH No. 30 Tahun 2001 Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup Yang Diwajibkan. 11. Kep. Bapedal No. 299 Tahun 1996 Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial Dalam Penyusunan Analisis mengenai Dampak Lingkungan.
55
12. Kep Bapedal No. 105 Tahun 1997 Panduan Pemantau Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantau Lingkungan (RPL). 13. Kep Bapedal No. 08 Tahun 2000 Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. 14. Kep Bapedal No. 09 Tahun 2000 Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. 15. Kep Men LH No. 86 Tahun 2002 Pedoman Pelaksnaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup. 16. Kep Men LH No. 45 Tahun 2005 Pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR
1. Kep Men LH No. 35 Tahun 1995 Program Kali Bersih (Prokasi). 2. Kep Men LH No. 35A Tahun 1995 Program Penilaian Kinerja Perusahaan/Kegiatan Usaha Dalam Pengendalian Pencemaran Dilingkup Kegiatan Prokasi. 3. Kep Men LH No. 51 Tahun 1995 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. 4. Kep Men LH No. 52 Tahun 1995 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel. 5. Kep Men LH No. 42 Tahun 1996 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi.
56
6. Kep Men LH No. 09 Tahun 1997 Perubahan Kep Men LH No.24/MENLH/10/1996 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi. 7. Kep Men LH No. 03 Tahun 1998 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri. 8. Kep Men LH No. 28 Tahun 2003 Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Dari Industri Minyak Sawit Pada Tanah Perkebunan Kelapa Sawit. 9. Kep Men LH No. 29 Tahun 2003 Pedoman Syarat dan Tata cara Perizinan Pemanfaatan Air Limbah Minyak Kelapa Sawit Pada Tanah Perkebunan Kelapa Sawit. 10. Kep Men LH No. 37 Tahun 2003 Metoda Analisa Kualitas Air Permukaan Dan Pengambilan Contoh Air Permukaan. 11. Kep Men LH No. 110 Tahun 2003 Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air. 12. Kep Men LH No. 111/MENLH/2003 Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air Atau Sumber Air. 13. Kep Men LH No. 112/MENLH/2003 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan Kegiatan Domestik. 14. Kep Men LH No. 113/MENLH/2003 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara. 15. Kep Men LH No. 114/MENLH/2003 Pedoman Pengkajian Untuk Menetapkan Kelas Air. 16. Kep Men LH No. 115/MENLH/2003 Pedoman Penentuan Status Mutu Air. 17. Kep Men LH No. 142/MENLH/2003 Perubahan Atas Kep Men LH No. 111/MENLH/2003 Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air Atau Sumber Air.
57
18. Kep Men LH No. 122 Tahun 2004 Perubahan atas Kep Men LH No. 51 Tahun 1995 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. 19. Kep Men LH No. 202 Tahun 2004 Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan Bijih Emas Dan Atau Tembaga Menteri Negara Lingkungan Hidup. 20. Kep Men LH No. 02 Tahun 2006 Baku Murni Air Limbah Bagi Kegiatan Rumah Pemotongan Hewan.
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
1. Kep Men LH No. 35 Tahun 1993 Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor. 2. Kep Men LH No. 13 Tahun 1995 Baku mutu emisi sumber tidak bergerak. 3. Kep Men LH No. 15 Tahun 1996 Program langit biru. 4. Kep Men LH No. 48 Tahun 1996 Baku tingkat kebisingan. 5. Kep Men LH No. 49 Tahun 1996 Baku tingkat getaran. 6. Kep Men LH No. 50 Tahun 1996 Baku mutu tingkat kebauan. 7. Kep Men LH No. 45 Tahun 1997 Indeks standar pencemaran udara. 8. Kep. Bapedal No. 205 Tahun 1996 Pedoman Teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak. 9. Kep. Bapedal No. 107 Tahun 1997 Pedoman teknis perhitungan dan pelaporan serta informasi indeks standar pencemaran udara. 10. Kep Men LH No. 129/MENLH/2003 baku Mutu Emisi Usaha dan Atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi. 11. Kep Men LH No. 141/MENLH/2003 Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor Yang Sedang Diproduksi (Current Production). 12. Kep Men LH No. 133 Tahun 2004 Baku Mutu Emisi Bagi Kegiatan Industri Pupuk Menteri Negara Lingkungan Hidup.
58
13. Kep Men LH No. 252 Tahun 2004 Program Penilaia Peringkat Hasil Uji Tipe Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Menteri Negara Lingkungan Hidup.
PENGENDALIAN PENCEMARAN KERUSAKAN LAUT.
1. Kep Men LH No. 45 Tahun 1996 Program Pantai Bersih. 2. Kep Men LH No. 04 Tahun 2001 kriterian Baku Kerusakan Terumbu Karang. 3. Kep. Bapedal No. 47 Tahun 2001 Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang. 4. Kep Men LH No. 51 Tahun 2004 Baku Mutu Air Laut. 5. Kep Men LH No. 179 Tahun 2004 Ralat Atas Keputusan Menteri Negar Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 Baku Mutu Air Laut. 6. Kep Men LH No. 200 Tahun 2004 Kriteria Baru Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. 7. Kep Men LH No.201 Tahun 2004 Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.
PENGENDALIAN KERUSAKAN LINGKUNGAN.
1. Kep.Men LH No. 43 Tahun 1996 Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha dan Atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian C Jenis Lepas di Daratan.
PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)
1. Kep. No. 68/BAPEDAL/1994 Tata Cara Memperoleh Izin Penyimpanan Pengumpulan,
Pengoperasian
Alat
Pengolahan,
Pengolahan
dan
Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
59
2. Kep No.01/BAPEDAL/09/1995 Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3. 3. Kep No. 02/BAPEDAL/09/1995 Dokumen Limbah B3. 4. Kep No. 03/BAPEDAL/09/1995 Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3. 5. Kep No. 04/BAPEDAL/09/1995 Tata Cara Persyaratan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah B3. 6. Kep No.05/BAPEDAL/09/1995 Simbol dan Label Limbah B3. 7. Kep No.255/BAPEDAL/08/1996 Tata Cara dan Persyaratan Penyimpanan dan Pengumpulan Minyak Pelumas Bekas. 8. Edaran Kep.BAPEDAL No. 08/SE/02/1997 Penyerahan Minyak Pelumas Bekas. 9. Kep. No. 02/BAPEDAL/01/1998 Tata Laksana Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Daerah. 10. Kep.
No.
03/BAPEDAL/01/1998
Penetapan
Kemitraan
Dalam
Pengolahan Limbah B3. 11. Kep. No. 04/BAPEDAL/01/1998 Penetapan Prioritas Limbah B3. 12. Kep Men No. 128 Tahun 2003 Tata Cara persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis.
ORGANISASI DAN KELEMBAGAAN
1. Kep Men LH No. 148 Tahun 2004 Pedoman Pembentukan Kelembagaan Lingkungan Hidup Daerah Menteri Negara Liingkungan Hidup. 2. Kep Men LH No. 197 Tahun 2004 Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan hidup di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota Menteri Negara Lingkungan Hidup.
60
3. Kep Men LH No. 03 Tahun 2006 Program Menuju Indonesia Hijau.
61
BAB IV TATA KELOLA LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH Dalam pengelolaan potensi daerah didalam kerangka otonomi salah satunya adalah pengembangan daerah perindustrian, yang harus sesuai dengan tata kelola lingkungan agar tidak merusak kenyamanan hidup masyarakat sekitar perindustrian itu khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Tata kelola lingkungan dalam kerangka otonomi daerah khususnya dalam hal rancang bangun perindustrian harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah daerah itu sendiri. Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam; namun eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan
kemampuan
dan
daya
dukung
lingkungan
mengakibatkan
kemerosotan kualitas lingkungan. Banyak faktor yang menyebabkan kemerosotan kualitas lingkungan serta kerusakan lingkungan yang dapat diidentifikasi dari pengamatan di lapangan, oleh sebab itu dalam penulisan tesis ini dicoba diungkap secara umum sebagai gambaran potret lingkungan hidup, khususnya dalam kaitannya dengan perijinan membangun pabrik dalam hubungannya dengan pegelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah, agar perindustrian yang terbentuk tidak memberikan kontribusi negatif terhadap lingkungan, masyrakat dan alam sekitarnya. Pembangunan di daerah dalam kerangka program Pembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas
62
mewujudkan tujuan nasional untuk mewujudkan negara kesejahteraan telah diamanatkan bahwa:53 a) Negara berkewajiban memberikan perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia dan seluruh wilayah teritorial Indonesia b) Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum c) Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam melaksanakan pembangunan nasional perlu memperhatikan pembangunan berkelanjutan 54 secara seimbang, hal ini sesuai dengan hasil konfrensi PBB tentang Lingkungan Hidup yang diadakan di Stockholm Tahun 1972 dan suatu Deklarasi Lingkungan Hidup KTT Bumi di Rio de Janeiro Tahun 1992 yang menyepakati prinsip dalam pengambilan keputusan pembangunan harus memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia serta KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg Tahun 2002 yang membahas dan mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup. Bagi Indonesia mengingat bahwa kontribusi yang dapat diandalkan dalam menyumbangkan
pertumbuhan
ekonomi
dan
sumber
devisa
serta
modal
pembangunan adalah sumberdaya alam, dapat dikatakan bahwa sumberdaya alam mempunyai peranan penting dalam perekonomian, dan penerapannya harus memperhatikan apa yang telah disepakati dunia internasional.55 Namun demikian, selain sumberdaya alam mendatangkan kontribusi besar bagi pembangunan, dilain pihak keberlanjutan atas ketersediannya sering diabaikan dan begitu juga aturan yang mestinya ditaati sebagai landasan melaksanakan pengelolaan suatu usaha dan/atau kegiatan mendukung pembangunan dari sektor ekonomi kurang diperhatikan, sehingga ada kecenderungan penurunan daya dukung lingkungan dan menipisnya ketersediaan sumberdaya alam yang ada serta penurunan kualitas lingkungan hidup. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak 53
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009. 55 http://geo.ugm.ac.id/archives/125 54
63
dilakukan sesuai dengan daya dukungnya dapat menimbulkan adanya krisis pangan, krisis air, krisis energi dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir suluruh jenis sumberdaya alam dan komponen lingkungan hidup di Indonesia cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitas dari waktu ke waktu. Dalam pelaksanaan pembangunan di era Otonomi Daerah, pengelolaan lingkungan hidup tetap mengacu pada Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan juga Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam melaksankan kewenangannya diatur dalam Peraturan Pemrintah No. 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah Propinsi mempunyai kewenangan dan tugas sesuai pasal 63 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2009. Kabupaten/Kota dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan pasal 63 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2009. Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang: a. Menetapkan kebijaksanaan tingkat provinsi; b. Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi; c. Menetapkan dan melaksanakan kebiijakan mengenai RPPLH provinsi; d. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; e. Menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi; f. Mengembangkan dan melaksankan kerjasama dan kemitraan; g. Mengkoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup lintas kabupaten/kota; h. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota;
64
i. Melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; j. Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup. k. Mengkoordinasikan
dan
memfasilitasi
kerjasama
dan
penyelesaian
perselisihan antar kabupaten/antar kota serta penyelesaian sengketa; l. Melakukan pembinaan, bantuan teknis, da pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan; m. Melaksanakan standar pelayanan minimal; n. Menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengeloalaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi; o. Mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi; p. Mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup; q. Memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan dan penghargaan; r. Menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi;
Sejalan
dengan
lajunya
pembangunan
nasional
yang
dilaksanakan,
permasalahan lingkungan hidup yang saat ini sering dihadapi adalah kerusakan lingkungan disekitar areal pertambangan yang berpotensi merusak bentang alam dan adanya tumpang tindih penggunaan lahan untuk pertambangan di hutan lindung. Kasus-kasus pencemaran lingkungan juga cenderung
meningkat. Kemajuan
transportasi dan industrialisasi yang tidak diiringi dengan penerapan teknologi bersih memberikan dampak negatif terutama pada lingkungan perkotaan.56 56
http://geo.ugm.ac.id/archives/125, op. Cit., hlm 3.
65
Sungai-sungai diperkotaan tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga. Kondisi tanah semakin tercemar oleh bahan kimia baik dari sampah padat, pupuk maupun pestisida. Masalah pencemaran ini disebabkan masih rendahnya kesadaran para pelaku dunia usaha ataupun kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat dengan kualitas lingkungan yang baik. Dengan kata lain permasalahan lingkungan tidak semakin ringan tetapi semakin berat, apalagi mengingat sumberdaya alam dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan
yang
bertujuan
memenuhi
masyarakat. Dengan kondisi tersebut
dan
meningkatkan
kesejahteraan
maka pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup yang berkelanjutan ditingkatkan kualitasnya dengan dukungan penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas, sumberdaya manusia yang berkualitas, perluasan penerapan etika lingkungan serta asimilasi sosial budaya yang semakin mantap. Perlu segera didorong terjadinya perubahan cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika lingkungan melalui internalisasi kedalam kegiatan/proses produksi dan konsumsi, dan menanamkan nilai dan etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari termasuk proses pembelajaran serta pendidikan formal pada semua tingkatan. Dalam
pelaksanaan
pembangunan
nasional
yang berkelanjutan,
sektor
sumberdaya alam dan lingkungan hidup perlu memperhatikan penjabaran lebih lanjut mandat yang terkandung dari Program Pembangunan Nasional, yaitu pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumberdaya alam yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup. Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development – WSSD) di Johannesburg Tahun 2002, Indonesia aktif dalam membahas dan berupaya mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup, maka diputuskan untuk melaksanakan pembangunan yang
66
berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan datang dengan bersendikan pada pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling bergantung dan memperkuat satu sama lain.. Pembangunann berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya. Konsep ini mengandung dua unsur: 57 1. Kebutuhan, khususnya kebutuhan dasar bagi golongan masyarakat yang kurang beruntung, yang amat perlu mendapatkan prioritas tinggi dari semua Negara. 2. Keterbatasan.
Penguasaan
teknologi
dan
organisasi
sosial
harus
memperhatikan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini dan di masa datang. Hal ini mengingat visi pembangunan berkelanjutan bertolak dari Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yaitu terlindunginya segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; tercapainya kesejahteraan58umum dan kehidupan bangsa yang cerdas; dan dapat berperannya bangsa Indonesia dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sesuai dengan Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat ke daerah: a. Meletakan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. b. Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan. 57 58
Ibid., hlm. 4 Ibid.
67
c. Membangun hubungan interdependensi antar daerah. d. Menetapkan pendekatan kewilayahan. Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan PP No. 20 Tahun 2000
tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, pengelolaan lingkungan hidup titik tekannya ada di daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu mencakup: 59 1. Program Pengembangan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguasaan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah. 2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam. Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air, udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya suberdaya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain diprogram ini adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif.
59
Ibid., hlm. 5
68
3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup. Tujuan Program ini adalah untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan. 4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestariaan lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten. 5. Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup. Tujuan dari program ini untuk
meningkatkan
peranan
dan
kepedulian
pihak-pihak
yang
berkepentingan dalam pengelolaan sumbserdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersedianya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestaraian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan. Sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup yang menonjol adalah penegakan hukum. sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan hidup. Sesuai
dengan
rencana
Tindak
Pembangunan
Berkelanjutan
dalam
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan Hidup dilakukan peningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen
69
hukum, penataan dan penegakan hukum termasuk instrumen alternatif, serta upaya
rehabilitasi
lingkungan.
Kebijakan
daerah
dalam
mengatasi
permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup di daerah dapat meliput: 60 a. Regulasi Perda tentang lingkungan. b. Penguatan kelembagaan lingkungan hidup. c. Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan. d. Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan tentang lingkungan hidup. e. Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders. f. Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan. g. Memformulasikan bentuk dan macam sangsi pelanggaran lingkungan hidup. h. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia. i. Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. j. Regulasi Perda tentang lingkungan. k. Penguatan kelembagaan lingkungan hidup. l. Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan. m. Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan tentang lingkungan hidup. n. Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders. o. Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan. 60
Ibid. hlm. 6
70
p. Memformulasikan bentuk dan macam sangsi pelanggaran lingkungan hidup. q. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia. r. Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kondisi lingkungan dari waktu ke waktu ada kecenderungan penurunan kualitas, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan. Kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya kerusakan dan pemcemaran lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan. Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan hidup. Secara umum telah diatur dengan undang-undang No.4 Tahun 1982. Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, maka dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup diadakan berbagai perubahan untuk memudahkan penerapan ketentuan yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan yaitu Undang-undang No.4 tahun 1982 diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diganti lagi dengan Undangundang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkunan Hidup dan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya. Dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan yang sektoral. Hal ini mengingat pengelolaan lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non departemen sesuai dengan tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang No.22 Tahun 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah,
71
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah maupun Keputusan Gubernur. 61
61
Ibid.
72
BAB V PELAKSANAAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH OTONOM PADA INDUSTRI DI INDONESIA A. Implikasi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Implikasi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berkaitan dengan penerapan-penerapan
ketentuan-ketentauan yang terdapat dalam UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di tengah-tengah masyarakat. Misalnya penerapan atau implikasi praktik hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.62 Lingkungan hidup merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki peran yang sangat strategis terhadap keberadaan
mahluk ciptaan Tuhan,
termasuk manusia. Oleh karena itu manusia sebagai subjek lingkungan hidup memiliki peran yang sangat penting atas kelangsungan lingkungan hidup. UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memberikan peran kepada manusia untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kaitannya
dengan
penerapan
perundang-undangan
perlindungan
dan
pengelolaan lingkungan hidup, berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dinyatakan bahwa
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
dilaksanakan
berdasarkan asas:
62
105 Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 183.
73
a. Tanggung jawab negara, maksudnya adalah: 1. Negara menjamin pemanfaatan sumbr daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. 2. Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 3. Negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. b. Kelestaraian dan keberlanjutan, maksudnya adalah bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. c. Keserasian dan keseimbangan, maksudnya adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan perlindungan serta pelestarian ekosistem. d. Keterpaduan, maksudnya adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait. e. Manfaat, maksudnya adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat martabat manusia selaras dengan lingkungannya. f. Kehati-hatian, maksudnya adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu
usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkahlangkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.
74
g. Keadilan, maksudnya adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi maupun lintas gender. h. Ekoregion, maksudnya adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal. i. Keanekaragaman hayati adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumberdaya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati disekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. j. Pencemar membayar, maksudnya adalah bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. k. Parstisipatif, maksudnya adalah setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung. l. Kearifan lokal, maksudnya adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat m. Tata kelola pemerintahan yang baik, maksudnya adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan. n. Otonomi daerah, maksudnya adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
75
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:63 a.
Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b.
Menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia;
c.
Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
d.
Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
e.
Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia.
f.
Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
g.
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan;
h.
Mengantisipasi isu lingkungan global.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:64 a.
Perencanaan;
b.
Pemanfaatan;
c.
Pengendalian;
d.
Pemeliharaan;
e.
Pengawasan; dan
f.
Penegakan hukum.
B. Pembangunan Wilayah Berdasarkan Potensi Daerah. Pembangunan merupakan perubahan dari sesuatu yang belum ada mengarah kesesuatu yang baru atau perbaikan dari kondisi sebelumnya. Pembangunan yang dilaksanakan untuk kebutuhan masyarakat berlandaskan pada kepentingan masyarakat banyak, mencakup: pertama, kemajuan lahiriah seperti pangan, 63
Lihat Pasal 3 Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 64 Lihat Pasal 4 Undang-Undang No.32 Tahun 2003 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
76
sandang, perumahan, dan lain-lain; kedua, kemajuan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, rasa keadilan, rasa sehat; dan ketiga, kemajuan perbaikan hidup yang berkeadilan sosial.65 Karena luasnya ruang lingkup pembangunan, pencapaian dilakukan secara bertahap tetapi simultan. Pada tiap-tiap tahap diharapkan dapat mencapai keselarasan antara kemajuan lahiriah dan batiniah, dengan kadar keadilan sosial yang meningkat. Untuk mencapai hasil maksimal, sumber pembangunan yang tersedia perlu digunakan secara terencana dengan memperhatikan skala prioritas pada kurun waktu tertentu.66 Dalam proses pembangunan berencana, diusahan agar setiap tahap memiliki kemampuan menopang pembangunan dalam tahap berikutnya. Karena itu, penting pula usaha untuk memantapkan kemajuan yang sudah dicapai. Untuk itu, arah pembangunan Banten kedepan harus didasarkan pada keunggulan komparatif (sumber daya alam dan industri) yang dimiliki
dan
keunggulam kompertitif (kondisi SDM) yang ada. Sistem pembangunan yang dilaksanakan selama ini adalah pembangunan sektoral yang
direncanakan
dan
dilaksanakan
secara
sentralistik
tanpa
mempertimbangkan aspek keragaman kondisi ditiap-tiap wilayah, baik aspek sumber daya alam, tingkat kemajuan wilayah, dan kemampuan sumber daya manusianya. Akibatnya perputaran uang lebih banyak di Jakarta. Meski daerah lain menjadi objek pembangunan, hal ini tidak berpengaruh secara signifikan terutama dalam hal peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan peningkatan pendapatan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Lain halnya dengan sistem pembangunan wilayah. Sistem ini direncanakan dan dilaksanakan
oleh pemerintah daerah dengan memperhatikan kondisi
wilayah yang bersangkutan. Untuk memperoleh anggaran pembangunan dari 65
Herry Susanto, Otonomi Daerah dan Kompetensi Lokal; Pikiran Serta Konsepsi Syaukani HR, Dyatama Milenia, Jakarta, 2003, hlm. 166. 66 Ibid. hlm. 167.
77
pemerintah
pusat, pemerintah daerah harus mengusulkan program kepada
pemerintah pusat untuk mendapatkan persetujuannya. Dari segi proses perencanaan pembangunan, dapat dibedakan perncanaan pembangunan dari atas (top-down) dan dari bawah (bottom-up). Perencanaan pembangunan dari atas dimulai dengan pertanyaan yang menyangkut sektor apa yang dikembangkan untuk mencapai suatu tujuan nasional, berapa banyak yang harus diproduksi, dengan cara atau teknologi apa, dan kapan pembangunan dimulai. Setelah itu akan ditentukan di wilayah mana aktifitas tiap sektor akan dilaksanakan. Dengan demikian, pemerintah pusat lebih
berperan dalam
pengelolaannya.67 Sebaliknya sistem perencanan pembangunan dari bawah ke atas (bottom-up) lebih menitikberatkan pada daerah mana yang perlu mendapatkan prioritas utnuk dikembangkan. Kemudian sektor apa yang dikembangkan sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Setelah ditentukan sektornya, baru diusulkan kepada pemerintah pusat dan pengelolaan proyeknya di wilayah pembangunan itu. Dampaknya, perputaran uang maupun efek penggandanya berada di daerah.68 Diharapakan pemerintah daerah mampu membangun wilayahnya
masing-
masing sesuai dengan kondisi dan potensi unggulan daerahnya.
C. Pembangunan Berkelanjutan. Pembangunan selalu membawa efek dua
sisi mata uang. Disatu sisi,
pembangunan adalah cara utuk menyejahterkan rakyatnya, tetapi disisi lain pembangunan membawa akibat-akibat yang mengganggu alam. Bahkan bisa dikatakan kita sebenarnya tidak dapat menghindar dari dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh pembangunan. Kita hanya meminimalisasikannya. Salah satu contoh yang masih hangat adalah tragedi lumpur Lapindo dan illegal logging.
67 68
Ibid., hlm. 170 . Ibid., hlm. 171.
78
Dari banyak kasus perusakan alam, bias
terlihat bahwa hubungan manusia
dengan alam adalah hubungan subjek objektif yang eksploitatif. Cara pikir seperti ini mengikuti logika Cartesian yang beranggapan bahwa pikiran adalah pusat manusia. Konsekuensinya,
alam hanyalah alat untuk manusia dalam
mengeksplorasi olah pikirannya. Kemudian, dari perspektif teologi yang menyatakan manusia berkuasa atas lautan dan daratan, manusia seperti memiliki alasan pembenaran untuk mengeksploitasi alam. Lingkungan
semata-mata
dipandang sebagai penyedia kebutuhan manusia. Parahnya lagi, dibalik derap laju perusakan alam, terselip watak ekonomi yang eksploitatif. Pembangunan
direduksi menjadi untung rugi. Akibatnya,
ekonomi menjadi tuan diatas sistem biologi dan sistem sosial. Pemanasan global adalah kasus yang dapat menjelaskan berkuasanya nafsu ekonomi dibandingkan kelestarian alam dan lingkungan. Salah satu solusi untuk mengerem laju perusakan alam adalah pembangunan berkelanjutan tanpa harus mengorbankan generasi
yang akan datang.
Pembangunan berkelanjutan menekankan bahwa pembangunan merupakan proses dan peningkatan upaya kesejahteraan yang mesti memperhatikan keseimbangan interaksi dari faktor ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Alam memiliki hukumnya sendiri untuk mengatur keseimbangan. Manusia juga punya hukum dalam proses bertahan hidup. Namun ketika keduanya bisa diselaraskan, tidak akan terjadi bencana alam yang merenggut banyak korban. Disamping itu, dunia membutuhkan sebuah aturan bersama untuk melestarikan alam. Di dalam Pasal (2) Undang-Undang No.32 tahun 2009 dikatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas tanggung jawab negara, kelestarian dan berkelanjutan, keserasian dan keseimbangan, keterpaduan, manfaat, kehati-hatian.
79
Asas yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan terkandung dalam asas tanggung jawab negara serta asas kelestarian dan berkelanjutan.69 Yang dimaksud dengan asas tanggung jawab negara adalah: a. negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikanmanfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. b. Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. c. Negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Yang dimaksud asas kelestarian dan keberlanjutan adalah bahwa setiap orang memikul kewajiaban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Konsep pembangunan yang berkelanjutan dapat digolongkan kedalam unsurunsur kepentingan umum dalam rangka pembangunan, bahkan jauh lebih luas lagi, karena kepentingan yang dilindungi dalam konsep pembangunan yang berkelanjutan tersebut, bukan hanya melindungi kepentingan umum atau masyarakat tertentu saja, tetapi meliputi kepentingan umum atau masyarakat dunia tanpa mengenal batas-batas wilayah negara, serta kepentingan masyarakat sekarang dan masyarakat yang akan datang (masa depan). Sanksi administratif merupakan salah satu tindakan pengawasan kepada pelaku kegiatan usaha. Sanksi administratif (pasal 76 UU No.32/2009) tersebut dapat berupa:
69
Lihat Penjelasan Pasal 2 huruf (a) dan (b) Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
80
a.
Teguran tertulis;
b.
Paksaan pemerintah;
c.
Pembekuan izin lingkungan;
d.
Pencabutan izin lingkungan;
Berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (1) UU No.32/2009, paksaan pemerintah berupa: a. Penghentian sementara kegiatan produksi; b. Pemindahan sarana produksi; c. Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; d. Pembongkaran; e. Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; f. Penghentian sementara seluruh kegiatan; atau g. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: 70 a. Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; 71 b. Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau c. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya. 70
Lihat Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 71 Lihat Penjelasan Pasal 80 ayat (2) huruf (a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Yang dimaksud dengan “ancaman yang serius” adalah suatu keadaan yang berpotensi sangat membahayakan keselamatan dan kesehatan banyak orang sehingga penanganannya tidak dapat ditunda.
81
Kementerian LH dan BPLHD (dahulu disebut BAPEDAL), bukan kuasi pengadilan, oleh karena itu badan/institusi tersebut hanya melakukan pengawasan, serta memberikan saran-saran kepada Menteri LH atau Pemerintah Daerah, untuk melakukan tindakan-tindakan berupa sangsi-sangsi administratif, institusi/lembaga tersebut lebih banyak melakukan penataan, dalam tugas pengawasannya,
daripada
melakukan
tindakan-tindakan
penghukuman
(punishment). Kalau terpaksa, institusi tersebut hanya melakukan rekomendasirekomendasi kepada Menteri LH/ Kepala Daerah, sebagai laporan atas hasil pemantauannya. Menteri LH/Kepala Daerahlah yang melakukan tindakantindakan berupa penghukuman, dalam bentuk: paksaan pemerintah, audit lingkungan, skorsing, pencabutan izin, dan sebagainya. Kesemuanya penjatuhan sangsi-sangsi administratif tersebut, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai objek sengketa di PTUN, dapat digugat dari segi legalitasnya. Penegakan hukum administrasi dilakukan, baik melalui sarana administrasi itu sendiri (kontrol intern), maupun melalui pengadilan (kontrol ekstern). Pengawasan melalui administrsi, dapat berupa pemberian izin, pengawasan oleh inspektur,
penjatuhan sangsi-sangsi administrasi, maupun melalui banding
adminstrasi (kuasi pengadilan) jika undang-undang menyebutkan demikian. Berdasarkan laporan World Commission on Environment and Development (WCED)
yang
Bersama),1987,
berjudul
“Our
mendefinisikan
Common
Future”
pembangunan
(Hari
Depan
berkelanjutan
Kita
sebagai
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.72 Di dalam konsep tersebut terkandung dua gagasan penting. Pertama, gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial, kaum miskin sedunia yang harus diberi prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang bersumber pada 72
http://rajamaroloansitio.blogspot.com/2009/10/bab-ii-hukum-lingkungan-indonesia-danpenegakannya. hlm. 3
82
kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. Jadi tujuan ekonomi dan sosial harus dituangkan dalam gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Ada empat syarat yang harus dipenuhi bagi suatu proses pembangunan berkelanjutan:73 1. Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi yang secara ekologis, benar; 2. Pemanfaatan sumber daya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi potensi lestarinya serta mencari upaya pengganti bagi sumberdaya tak-terbarukan (non-renewable resources); 3. Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi pencemaran. Dan 4. Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan. Konsep sustainable development merupakan model pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hidup (perekonomian) pada saat sekarang ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan berwawasan jangka panjang dengan pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan tetap memperhatikan kelangsungan sumber daya alam yang di eksploitasi.
73
Ibid.
83
D. Lingkungan Hidup Serta Otonomi Daerah Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.74 Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.75 Desenteralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.76 Tidak adanya lagi Komisi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) sektoral dan ditetapknnya satu Komisi Amdal Pusat di bawah Kementerian Negara Lingkungan Hidup -dimana semua pihak terkait duduk didalamya, baik wakil dari departemen terkait, pakar dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan wakil masyarakat- merupakan kemajuan penting. Seiring desentralisasi, proses Amdal akan diserahkan ke daerah. Di pusat hanya akan ada satu komisi Amdal yang menilai kegiatan yang mempunyai potensi berdampak negatif secara nasional. Sementara di masing-masing propinsi dan kabupaten/kota akan dibentuk satu komisi amdal yang menangani proses amdal di daerah yang bersangkutan. Dalam peraturan pemerintah dinyatakan penilaian amdal menjadi syarat mutlak pemberian izin usaha, dengan demikian tidak akan ada izin usaha sebelum amdal dianggap memenuhi syarat. Amdal atau UKL-UPL merupakan syarat untuk diterbitkannya izin lingkungan. Izin lingkungan diterbitkan sebelum 74
Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 75 Lihat Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 76 Lihat Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
84
penerbitan izin usaha dan/atau kegiatan lainnya (IMB, izin usaha tambang, izin usaha perindustrian, dll). Pelaksanaan izin lingkungan menunggu Peraturan Pemerintah (PP) yang akan mengatur lebih lanjut. Saat ini izin lingkungan belum dapat diberlakukan (menunggu PP), sehingga pelaksanaan amdal masih menggunakan mekanisme sesuai UU 23/1997.77 Dengan masuknya pelbagai pakar terkait dari perguruan tinggi, diharapkan amdal bisa menjadi dokumen ilmiah yang berdasarkan kebenaran dan kejujuran. Kepentingan
untuk menjadikan amdal sebagai rekomendasi murni, tidak
terbelenggu kepentingan politis dan ekonomis, harus dikedepankan. Desentralisasi kewenangan amdal merupakan bentuk penyelesaian masalah yang paling strategis untuk menyerap aspirasi masyarakat, penyederhanaan prosedur amdal, peningkatan efektivitas pelaksanaan dan keterpaduan serta ketetapan perencanaan daerah. Penyerahan wewenang proses amdal dan perizinan ke daerah menimbulkan pelbagai implikasi, antara lain masalah sumber daya manusia. Karena itu, kelembagaan di daerah diperkuat khususnya dilevel pemerintah.
E. Penegakan Hukum Lingkungan. 1. Perkembangan Hukum Lingkungan Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum, merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum administrasi/tata usaha negara, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata. Dengan demikian, tentu saja hukum lingkungan memiliki aspek yang lebih kompleks. Sehingga untuk mendalami hukum lingkungan itu sangat mustahil apabila dilakukan seorang diri,karena
77
Lihat Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan Hidup
85
kaitannya yang sangat erat denga segi hukum yang lain yang mencakup hukum lingkungan didalamnya. 78 Dalam pengertian sederhana hukum lingkungan diartikan sebagai hukum
yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), dimana
lingkungan mencakup semua benda dan kondisi, termasuk didalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya. Dalam pengertian secara modern, hukum lingkungan lebih berorientasi pada lingkungan atau Environment-Oriented Law, sedang hukum lingkungan secara klasik lebih menekankan pada orientasi penggunaan lingkungan atau Use-Oriented Law.79 Hukum lingkungan modern didalamya ditetapkan norma-norma dan keetentuan guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang. Hukum lingkungan modern berorientaasi kepada lingkungan, sehingga sifat dan waktunya juga mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih banyak berguru kepada ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, maka hukum lingkungan modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes. Hukum lingkungan klasik, sebaliknya menetapkan
ketentuan dan
norma-norma dengan tujuan utama untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam 78 79
http://rajamaroloansitio., op. cit., hlm. 1. Ibid.
86
jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Hukum lingkungan klasik bersifat sektoral,
serta kaku dan sukar berubah. Mochtar Kusumaatmadja
mengemukakan, bahwa sistem pendekatan terpadu atau utuh harus diterapkan oleh hukum utnuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia secara tepat dan baik, sistem pendekatan ini telah melandasi perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Drupsteen mengemukakan,
bahwa hukum
lingkungan (Millieu recht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (Naturalijk milleu) dalam arti seluas luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh Pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri atas Hukum Pemerintahan (bestuurecht).80 Hukum
lingkungan
merupakan
instrumentarium
yuridis
bagi
pengelolaan lingkungan hidup, dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya merupakan suatu bidang hukum yang terutama sekali dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum tata usaha negara atau hukum pemerintahan. Untuk
itu
dalam
pelaksanaannya
aparat
pemerintah
perlu
memperhatikan “Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik” (Algemene Beginselen
van 81
Administration).
Behoorlijk
Bestuur/General
Hal
dimaksudkan
ini
Principels
agar
dalam
of
Good
pelaksanaan
80
Ibid., hlm. 2. Disebut sebagai asas-asas pemerintahan yang adminstration/goverment) yaitu: a. Asas kepastian hukum b. Asas keseimbangan c. Asas bertindak cermat d. Asas motivasi. e. Asas jangan mencampuradukan kewenangan f. Asas permainan yang layak g. Asas keadilan atau kewajaran h. Asas menanggapi pengharapan yang wajar i. Asas meniadakan akibat putusan yang batal j. Asas perlindungan atas pandangan hidup k. Asas kebijaksanaan 81
baik
(the
general
principels
of
good
87
kebijaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan pengelolaan lingkungan hidup. a. Konferensi Stockholm, Wiced dan Konferensi Rio. Konferensi Stock Warisan Konfrensi Stockholm, pada tahun 1972, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pertama kalinya mengadakan konferensi
lingkungan
internasional
di
kota
Stockholm,
Swedia.konferansi ini kemudian disebut sebagai The UN Conference on the Human Environment. Konferensi ini menjadi penting karena menjadi salah satu tonggak bagi berbagai aktivitas yang ditujukan untuk penyelamatan lingkungan hidup dikemudian hari. Ada beberpa arti penting konferensi Stockholm 1972 menurut Ian K. Rowlands. Pertama, konferensi ini mendorong pandangan bahwa dunia manusia dan alam adalah tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua, partisipasi yang luas dari organisasi lingkungan non-pemerintah pada tingkat internasional untuk pertama kalinya. Ketiga, pembentukan aktor non-negara lainnya yaitu The United Nations Environment Programme (UNEP). Keempat, konferensi ini membawa isu pemabangunan pada agenda lingkungan internasional (Rowlands in Baylis and Rengger, 1992). Lebih jauh dapat pula dikatakan bahwa konferensi ini mewariskan semangat bahwa permasalahan lingkungan merupakan masalah bersama
sekaligus
mendorong kesadaran lingkungan ke masyarakat luas. Konferensi ini juga mnegajarkan
bahwa
untuk
mewujudkan
perubahan
liingkungan
memerlukan kesadaran dari semua pihak yang berkepentingan. b. Komisi
Dua
Lingkungan
dan
Pembangunan
(WCED),
istilah
pemabangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh UNEP, International Union for Conservation of Nature and natural Resources l.
Asas penyelenggaraan kepentingan umum
88
(IUCN) dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Pada 1982, UNEP menyelenggarakan sidang istimewa memperingati 10 tahun gerakan lingkungan dunia (1972-1982) di Nairobi, Kenya, sebgai reaksi ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama ini. Dalam sidang istimewa tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (Word Comission on Environment and Development-WCED). Konsep pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul “Our Common Future” (Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada 1987. c. Konferensi Rio de Jeneiro, 1970-an. Muncul keprihatinan masyarakat internasional
mengenai dampak
pertumbuhan ekonomi terhadap pembangunan sosial dan lingkungan hidup. Kemunculan negara baru pasca Perang
Dunia II dan negara-
negara yang memenangkan perang mulai membangun perekonomiannya. Hal ini terlihat dengan perkembangan industri manufaktur yang cukup pesat sejalan dengan perkembangan kapasitas ilmu dan teknologi masa itu yang belum ramah lingkungan. Keterkaitan antara pembangunan ekonomi dalam hal ini perdagangan dan lingkungan hidup yang saling mempengaruhi itulah pada akhirnya menimbulkan suatu permasalahan baru di dunia internasional. PBB mengadakan koferensi mengenai lingkungan hidup yang kemudian dikenal dengan The United Nation Conference on the Human Environment pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia dan merupakan sejarah penting dalam kepedulian terhadap lingkungan
hidup
global.
Dalam
konferensi
tersebut
dihasilkan
kesepakatan mengenai keterkaitan antara konsep pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Persoalan lingkungan hidup diidentikan dengan kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pembangunan yang masih rendah dan pendidikan rendah, intinya faktor kemiskinan yang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan hidup di dunia. Sehingga dalam
89
forum tersebut disepakati suatu isu lingkungan hidup: Potensi Ancaman Perdagangan Internasional Negara Berkembang. Tahun 1992 dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro, menjadikan persoalan lingkungan hidup ini semakin jelas dengan adanya hubungan antara ekonomi perdagangan dan lingkungan hidup dengan adanya pembahasan tentang kesepakatan hambatan non-tarif dalam perdagangan sebagai kontrol terhadap produk ekspor yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. 2. Penegakan Hukum Lingkungan. Penegakan hukum sebenarnya tidak terlepas pada suatu sistem pemerintahan yang berlaku disuatu negara. Dalam perkembangnnya, terdapat asas-asas yang memberikan batasan apakah suatu pemerintahan di suatu negara dapat dikategorikan baik atau belum. Asas-asas ini disebut sebagai asas-asas pemerintahan
yang
baik
(the
general
principels
of
good
82
adminstration/goverment) yaitu:
a) Asas kepastian hukum (principels of legal certainty), yaitu asas yang menghendaki dihormatinya hak telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat administrasi negara. b) Asas keseimbangan (principels of proporsionality), yaitu asas yang menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dengan kelalaian atau kealpaan seorang pegawai. c) Asas bertindak cermat (principles of carefulnes), yaitu asas yang memperingatkan agar aparatur negara senantiasa bertindak hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. d) Asas motivasi untuk setiap keputusan administrasi negara (principels of motivation) yaitu asas yang menghendaki agar setiap putusan adminstrasi negara diberikan alasan dan motivasi yang cukup dan sifatnya benar. 82
http://rajamaroloansitio. op. cit., hlm. 6-7.
90
e) Asas
jangan mencampuradukan kewenangan (principels of nonmixed of
competence) f) Asas permainan yang layak (principels of fairplay), yaitu asas yang memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mencari kebenaran dan keadilan. g) Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonables), yaitu asas yang menentang tindakan yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang relevan dengan khusus yang bersangkutan sehingga timbul ketimpangan. h) Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raisde expectation), yaitu asas yang menghendaki tindakan pemerintah dapat menimbulkan harapan yang wajar bagi berbagai kepentingan. i) Asas meniadakan akibat putusan yang batal (principle of undoing the consequences of an anulled dicission), yaitu asas yang menghendaki bila terjadi pembatalan atas suatu keputusan, akibat keputusan yang dibatalkan itu harus dihilangkan sehinggga yang bersangkutan diberikan ganti rugi atau rehabilitasi. j) Asas perlindungan atas pandangan hidup (principle of protection the personal way of life), yaitu asas yang menghendaki agar setiap pegawai diberi kebebasan dan hak untuk mengatur kehidupan pribadinya sesuai dengan pandangan hidup yang dianutnya. k) Asas kebijaksanaan (principle of wisdom), yaitu asas yang menghendaki pelaksanaan tugas pemerintah diberikan kebebasan untuk melakukan kebijaksanaan tanpa harus selalu menunggu instruksi. l) Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service), yaitu asas yang menghendaki penyelenggaraan tugas pemerintahan, pemerintah selalu mengutamakan kepentingan umum.
91
PERATURAN PERUNDANGAN PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN 1. Kep Men LH No. 07/MENLH/2001 Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah. 2. Kep men LH No. 56/MENLH/2002 Pedoman Umum Pengawasan Penataan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas. 3. Kep Men LH No. 58/MENLH/2002 Tata Cara Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Propinsi/ Kabupaten Kota. 4. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-60/E/Ejp/01/02 Perihal Pedoman Teknis Yustisial Penanganan Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup. 5. Keputusan Bersama Kementrian LH, Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Terpadu
Kejaksaan,
Kepolisian.
(SATU
ATAP)
No.
KEP-
04/MENLH/04/2004, KEP. Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik 208/A/J.A/04/2004, KEP-19/IV/2004 Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
92
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Granit. 2004. Azhar. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Palembang: Universitas Sriwijaya. September. 2003. Baiquni, M dan Susilawardani, Pembangunan yang tidak Berkelanjutan, Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Yogyakarta: Transmedia Global Wacana. 2002. Brotowidjoyo, Mukayat D. Penulisan Karangan Ilmiah. Akademika Pressindo. 1985. Danusaputro, Munajat. Hukum Lingkungan Buku I. Bandung: Bina Cipta. 1981. Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yayasan Penerbitan Fakultas psikologi Universitas Gajah Mada. 1987. Hadjon, Philipus.M, et al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta. UGM Press. 1998. Ibrahim, Jimmi Muhammad. Prospek otonomi Daerah. Dahora Prize, 1997. Isjwara. Pengantar Ilmu politik. Bina Cipta. 1974. Keraf, Sonny D. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Kompas. 2000. Kusnardi, Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indenesia dan CV Sinar Bakti. 1988. Magnar, Kuntana. Pokok-Pokok Pemerintah Daerah Otonom dan Wilayah Administratif. Armico. 1984. Marfai, M.A. Moralitas Lingkungan. Yogyakarta. Wahana Hijau. 2005. Miller. G.T. Jr.. Environmental Science Sustaining the Earth. Wadsworth Publishing Co.Belmont. 1995.. Pamudji, Drs. MPA. Perbandingan Pemerintahan. Bumi Aksara. 1989.
93
Puspa, Yan pramadya. Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu. 1977. Rangkuti, Siti Sundari. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional, (Disertasi). Surabaya: Fakultas Pascasarjana Universitas Airlangga. 1986. ----------. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Hukum Lingkungan Nasional. Surabaya: Airlangga University Press. 2000. Raihan. Lingkungan dan Hukum Lingkungan, Universitas Islam Jakarta, 2007. Riyanto, Eggi Sudjana. Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektif Etika Bisnis di Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. 1999. Salim, Emil. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.1993. Shihab, Quraish.M. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan. 2001. Silalahi, Daud. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Edisi Revisi. Bandung: Alumni. 1996. Slaymaker, O and Spencer, T., Physical Geography and Global Environmental Change. Addison Wesley Longman Limited, Edinburg Gate, Harlow. 1998. Soekanto, Soerjono. Tata Cara Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Hukum, Ghalia Indonesia. 1991. Soerjani. Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 1987. Sulaiman, Abdullah. DR., S.H., M.H.,. Metode Penulisan Ilmu Hukum, Program Megister Ilmu Hukum Pascasarjana UIJ. 2008. Supriadi, SH.M.Hum. Hukum Lingkungan di Indonesia Sebuah Pengantar, Jakarta: Sinar Grafika. 2006
Surakhmad, Winarno. DR., Pengantar penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik. Bandung: Tarsito. 1982.
94
Susanto, Hery dkk. Otonomi Daerah dan Kompetensi Lokal (Pikiran serta Konsep Syaukani HR), Jakarta: Dyatama Milenia. 2003. Usman, Suparman.,DR.,S.H., Hukum Agraria di Indonesia (Pengantar Bagian Hukum Tanah), Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten. 2003. Yakin, Addinul, Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Akademia Presindo.1997. Wijoyo, Suparto. Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Setelement of Environmental Dispute). Surabaya: Airlangga University Press. 1999. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. 1997. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Kementerian Lingkungan Hidup RI, Himpunan Peraturan PerundangUndangan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2006. Koran Jakarta, 20 Oktober 2009. Otonomi Daerah dan Pemberantasan KKN, Lembaga Informasi Nasional. Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. ------------, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. ------------, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. ------------, Undang-Undang No. 8 Tahun 2005 tentang Penetapan PERPU No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU RI No. 32 Th.2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang.
95
-----------, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Internet.
96
LAMPIRAN 1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. Bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupamkan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; n. Bahwa
pembangunan
ekonomi
nasional
sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; o. Bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, termasuk dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; p. Bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan;
97
q. Bahwa
pemanasan
global
yang
semakin
meningkat
mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; r. Bahwa
agar
lebih
menjamin
kepastian
hukum
dan
memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem. Perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; s. Bahwa berdasarkan pertimmbangan sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, perlu membentuk Undnag-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Mengingat
: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
DAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yan gdimaksud dengan:
98
3. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang merupakan alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia seta mahluk hidup lain. 4. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpasu yan gdilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hiudp dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 5. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencanan yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi kedalam strategi pembangunan untuk menjamin
keutuhan
lingkungan
hidup
serta
keselamatan,
kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 6. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. 7. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkunga hidup. 8. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 9. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung prikehidupan manusia, mahluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. 10. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan kedalamnya.
99
11. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. 12. Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. 13. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan pada proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. 14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. 15. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya. 16. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
100
17. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan
tetap
memelihara
dan
meningkatkan
kualitas
nilai
serta
keanekaragamannya. 19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. 20. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. 21. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. 22. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. 23. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan. 24. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu. 25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup. 26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
101
27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup. 28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. 29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. 30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. 31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. 32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 33. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. 34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat. 35. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. 36. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.
102
37. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 38. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. 39. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
BAB II ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP Bagian Kesatu Asas Pasal 2 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: a. tanggung jawab negara; b. kelestarian dan keberlanjutan; c. keserasian dan keseimbangan; d. keterpaduan; e. manfaat; f. kehati-hatian; g. keadilan; h. ekoregion; i. keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif; l. kearifan lokal; m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. otonomi daerah.
103
Bagian Kedua Tujuan Pasal 3 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan: a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j. mengantisipasi isu lingkungan global.
Bagian Ketiga Ruang Lingkup Pasal 4 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi: a. perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e. pengawasan; dan f. penegakan hukum. BAB III PERENCANAAN
104
Pasal 5 Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan: a. inventarisasi lingkungan hidup; b. penetapan wilayah ekoregion; dan c. penyusunan RPPLH.
Bagian Kesatu Inventarisasi Lingkungan Hidup Pasal 6 (1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas inventarisasi lingkungan hidup: a. tingkat nasional; b. tingkat pulau/kepulauan; dan c. tingkat wilayah ekoregion. (2) Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi: a. potensi dan ketersediaan; b. jenis yang dimanfaatkan; c. bentuk penguasaan; d. pengetahuan pengelolaan; e. bentuk kerusakan; dan f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan. Bagian Kedua Penetapan Wilayah Ekoregion Pasal 7 (1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion dan dilaksanakan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait.
105
(2) Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan: a. karakteristik bentang alam; b. daerah aliran sungai; c. iklim; d. flora dan fauna; e. sosial budaya; f. ekonomi; g. kelembagaan masyarakat; dan h. hasil inventarisasi lingkungan hidup. Pasal 8 Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam.
Bagian Ketiga Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 9 (1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas: a. RPPLH nasional; b. RPPLH provinsi; dan c. RPPLH kabupaten/kota. (2) RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun berdasarkan inventarisasi nasional. (3) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun berdasarkan: a. RPPLH nasional; b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan c. inventarisasi tingkat ekoregion.
106
(4) RPPLH kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun berdasarkan: a. RPPLH provinsi; b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan c. inventarisasi tingkat ekoregion. Pasal 10 (1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disusun oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan: a. keragaman karakter dan fungsi ekologis; b. sebaran penduduk; c. sebaran potensi sumber daya alam; d. kearifan lokal; e. aspirasi masyarakat; dan f. perubahan iklim. (3) RPPLH diatur dengan: a. peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional; b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH provinsi; dan c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH kabupaten/kota. (4) RPPLH memuat rencana tentang: a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam; b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; dan d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. (5) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah. Pasal 11
107
Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB IV PEMANFAATAN Pasal 12 (1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. (2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan: a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup; b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat. (3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh: a. Menteri untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup nasional dan pulau/kepulauan; b. gubernur untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup provinsi dan ekoregion lintas kabupaten/kota; atau c. bupati/walikota untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.
BAB V PENGENDALIAN Bagian Kesatu
108
Umum Pasal 13 (1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pencegahan; b. penanggulangan; dan c. pemulihan. (3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing. Bagian Kedua Pencegahan Pasal 14 Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas: a. KLHS; b. tata ruang; c. baku mutu lingkungan hidup; d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup; e. amdal; f. UKL-UPL; g. perizinan; h. instrumen ekonomi lingkungan hidup; i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; j. anggaran berbasis lingkungan hidup; k. analisis risiko lingkungan hidup; l. audit lingkungan hidup; dan
109
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan. Paragraf 1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis Pasal 15 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau evaluasi: a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup. (3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme: a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah; b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program; dan c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Pasal 16 KLHS memuat kajian antara lain: a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan; b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; c. kinerja layanan/jasa ekosistem; d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam; e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
110
Pasal 17 (1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) menjadi dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah.. (2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui; a. kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS; dan b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi. Pasal 18 (1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 2 Tata Ruang Pasal 19 (1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS. (2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Paragraf 3 Baku Mutu Lingkungan Hidup Pasal 20 (1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. (2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi: a. baku mutu air; b. baku mutu air limbah;
111
c. baku mutu air laut; d. baku mutu udara ambien; e. baku mutu emisi; f. baku mutu gangguan; dan g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f diatur dalam peraturan menteri.
Paragraf 4 Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Pasal 21 (1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. (2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. (3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi: a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa; b. kriteria baku kerusakan terumbu karang; c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan; d. kriteria baku kerusakan mangrove;
112
e. kriteria baku kerusakan padang lamun; f. kriteria baku kerusakan gambut; g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada paramater antara lain: a. kenaikan temperatur; b. kenaikan muka air laut; c. badai; dan/atau d. kekeringan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Paragraf 5 Amdal Pasal 22 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. (2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria: a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 23
113
(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas: a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan; c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik; g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati; h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 24 Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Pasal 25 Dokumen amdal memuat: a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan; c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;
114
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan; e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Pasal 26 (1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. (2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. yang terkena dampak; b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal. (4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal. Pasal 27 Dalam menyusun dokumen amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan kepada pihak lain. Pasal 28 (1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. (2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penguasaan metodologi penyusunan amdal; b. kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi dampak serta pengambilan keputusan; dan c. kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
115
(3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi penyusun amdal yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun amdal diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 29 (1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 30 (1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 terdiri atas wakil dari unsur: a. instansi lingkungan hidup; b. instansi teknis terkait; c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan f. organisasi lingkungan hidup. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu. (3) Pakar independen dan sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
116
Pasal 31 Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya. Pasal 32 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah membantu penyusunan amdal bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. (2) Bantuan penyusunan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan amdal. (3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 33 Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 6 UKL-UPL Pasal 34 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKLUPL. (2) Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL. Pasal 35 (1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. (2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria:
117
a. tidak termasuk dalam kategori berdampak penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1); dan b. kegiatan usaha mikro dan kecil. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri. Paragraf 7 Perizinan Pasal 36 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL. (3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. (4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 37 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL. (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan apabila: a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan
data,
dokumen, dan/atau informasi; b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau
118
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Pasal 38 Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara. Pasal 39 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat. Pasal 40 (1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. (2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. (3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan. Pasal 41 Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 8 Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup Pasal 42 (1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. (2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b. pendanaan lingkungan hidup; dan
119
c. insentif dan/atau disinsentif. Pasal 43 (1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi: a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup; b. penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup; c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah; dan d. internalisasi biaya lingkungan hidup. (2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi: a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup; b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan c. dana amanah/bantuan untuk konservasi. (3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk: a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup; b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup; c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup; d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi; e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup; f. pengembangan asuransi lingkungan hidup; g. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; dan h.
sistem
penghargaan
kinerja
di
bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkunganhidup.
120
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 9 Peraturan Perundang-undangan Berbasis Lingkungan Hidup Pasal 44 Setiap penyusunan peraturan perundangundangan pada tingkat nasional dan daerah wajib
memperhatikan
perlindungan
fungsi
lingkungan
hidup
dan
prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Paragraf 10 Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup Pasal 45 (1) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai: a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan b. program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. (2) Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus lingkungan hidup yang memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Pasal 46 Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup.
121
Paragraf 11 Analisis Risiko Lingkungan Hidup Pasal 47 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup. (2) Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengkajian risiko; b. pengelolaan risiko; dan/atau c. komunikasi risiko. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 12 Audit Lingkungan Hidup Pasal 48 Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup. Pasal 49 (1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada: a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup; dan/atau b. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaksanakan audit lingkungan hidup. (3) Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu yang berisiko tinggi dilakukan secara berkala. Pasal 50
122
(1) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau menugasi pihak ketiga yang independen untuk melaksanakan audit lingkungan hidup atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. (2) Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup. Pasal 51 (1) Audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 dilaksanakan oleh auditor lingkungan hidup. (2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup. (3) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kemampuan: a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana audit lingkungan hidup; b. melakukan audit lingkungan hidup yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan kesimpulan, dan pelaporan; dan c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut audit lingkungan hidup. (4) Sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut mengenai audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan Peraturan Menteri.
123
Bagian Ketiga Penanggulangan Pasal 53 (1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat; b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Pemulihan Pasal 54 (1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. (2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan: a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; b. remediasi; c. rehabilitasi; d. restorasi; dan/atau e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
124
Pasal 55 (1) Pemegang izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup. (2) Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalamPeraturan Pemerintah. Pasal 56 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB VI PEMELIHARAAN Pasal 57 (1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya: a. konservasi sumber daya alam; b. pencadangan sumber daya alam; dan/atau c. pelestarian fungsi atmosfer. (2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan: a. perlindungan sumber daya alam; b. pengawetan sumber daya alam; dan c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam. (3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu. (4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
125
a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan c. upaya perlindungan terhadap hujan asam. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN Bagian Kesatu Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal 58 (1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal 59 (1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. (2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3. (3) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain. (4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
126
(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin. (6) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Dumping Pasal 60 Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Pasal 61 (1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VIII SISTEM INFORMASI Pasal 62 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
127
(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH Pasal 63 (1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan nasional; b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS; e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca; g. mengembangkan standar kerja sama; h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik; j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon; k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3; l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut; m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
128
n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah; o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundangundangan; p. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa; r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat; s. menetapkan standar pelayanan minimal; t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional; v.
mengoordinasikan,
mengembangkan,
dan
menyosialisasikan
pemanfaatan
teknologi ramah lingkungan hidup; w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; x. mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup; y. menerbitkan izin lingkungan; z. menetapkan wilayah ekoregion; dan aa.melakukan penegakan hukum lingkungan hidup. (2) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi; b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH provinsi; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi; f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
129
g. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten/kota; h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota; i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; j. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antarkabupaten/antarkota serta penyelesaian sengketa; l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan; m. melaksanakan standar pelayanan minimal; n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi; o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi; p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup; q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; r. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi. (3)
Dalam
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup,
pemerintah
kabupaten/kota bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota; b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
130
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota; f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan; g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; h. memfasilitasi penyelesaian sengketa; i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundangundangan; j. melaksanakan standar pelayanan minimal; k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota; l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota. Pasal 64 Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri.
BAB X HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN Bagian Kesatu Hak Pasal 65 (1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
131
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. (4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 66 Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Bagian Kedua Kewajiban Pasal 67 Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 68 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
132
Bagian Ketiga Larangan Pasal 69 (1) Setiap orang dilarang: a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; e. membuang limbah ke media lingkungan hidup; f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan; h. melakukan pembukaan lahan denga cara membakar; i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal;dan/atau j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
BAB XI PERAN MASYARAKAT Pasal 70 (1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial;
133
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau c. penyampaian informasi dan/atau laporan. (3) Peran masyarakat dilakukan untuk: a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; d.
menumbuhkembangkan
ketanggapsegeraan
masyarakat
untuk
melakukan
pengawasan sosial; dan e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
BAB XII PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Kesatu Pengawasan Pasal 71 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
134
Pasal 72 Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan. Pasal 73 Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 74 (1) Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) berwenang: a. melakukan pemantauan; b. meminta keterangan; c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan; d. memasuki tempat tertentu; e. memotret; f. membuat rekaman audio visual; g. mengambil sampel; h. memeriksa peralatan; i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau j. menghentikan pelanggaran tertentu. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil. (3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup. Pasal 75
135
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Sanksi Administratif Pasal 76 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. (2) Sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis; b. paksaan pemerintah; c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin lingkungan. Pasal 77 Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 78 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Pasal 79
136
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Pasal 80 (1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa: a. penghentian sementara kegiatan produksi; b. pemindahan sarana produksi; c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; d. pembongkaran; e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. (2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya. Pasal 81 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Pasal 82 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.
137
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Pasal 83 Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB XIII PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 84 (1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. (2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa. (3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan Pasal 85 (1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
138
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Pasal 86 (1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan Paragraf 1 Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan Pasal 87 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. (2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut. (3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
139
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan. Paragraf 2 Tanggung Jawab Mutlak Pasal 88 Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Paragraf 3 Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan Pasal 89 (1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dihitung sejak diketahui adanya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan dan/atau mengelola B3 serta menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3. Paragraf 4 Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah Pasal 90 (1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
140
Paragraf 5 Hak Gugat Masyarakat Pasal 91 (1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. (3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Paragraf 6 Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup Pasal 92 (1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. (3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan: a. berbentuk badan hukum; b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
141
Paragraf 7 Gugatan Administratif Pasal 93 (1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila: a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal; b. badan atau pejabat tata usaha negaramenerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPL; dan/atau c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. (2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
BAB XIV PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN Bagian Kesatu Penyidikan Pasal 94 (1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup. (2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil Berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
142
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain; f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; h. menghentikan penyidikan; i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual; j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana. (3) Dalam melakukan penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. (4) Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri sipil melakukan penyidikan, penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan. (5) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. (6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum.
143
Pasal 95 (1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan perundangundangan. Bagian Kedua Pembuktian Pasal 96 Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa; dan/atau f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundangundangan. BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.
Pasal 98 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakanlingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
144
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00
(empat
miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 99 (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) mengakibatkan orang lukaberat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). Pasal 100 (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
145
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Pasal 101 Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 102 Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 103 Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 104 Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
146
Pasal 105 Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 106 Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan dendapaling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 107 Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang– undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 108 Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 109 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
147
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 110 Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana
penjara
paling
lama
3
(tiga)
tahun
dan
denda
paling
banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 111 (1) Pejabat pemberi izin lingkungan yangmenerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 112 Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 113 Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana
148
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 114 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 115 Setiap
orang
yang
dengan
sengaja
mencegah,
menghalang-halangi,
atau
menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 116 (1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. (2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Pasal 117 Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 118 Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang
149
berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional. Pasal 119 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalamUndang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 120 (1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi. (2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 121 (1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup. (2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
150
Pasal 122 (1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, setiap penyusun amdal wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. (2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, setiap auditor lingkungan hidup wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup. Pasal 123 Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak UndangUndang ini ditetapkan. BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 124 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 125 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 126 Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
151
Pasal 127 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan
Undang-Undang
ini
dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 140
152
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri, Setio Sapto Nugroho
153
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP I. UMUM 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. 2. Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan wawasan Nusantara. Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati.
154
Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat.
Kegiatan
pembangunan
juga
mengandung
risiko
terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah. 3. Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan
155
rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi. 4. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi
limbah
bahan
berbahaya
dan
beracun.
Hal
itu
menuntut
dikembangkannya sistem pembuangan yang aman dengan risiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Di
samping
menghasilkan
produk
yang
bermanfaat
bagi
masyarakat,
industrialisasi juga menimbulkan dampak, antara lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah Indonesia. Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) adalah salah satu perangkat preemtif pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui peningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai amdal dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal, serta dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang amdal. Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh izin usaha. 5. Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah
156
terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain. Undang-Undang ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan. 6. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak
pidana
korporasi.
Penegakan
hukum
pidana
lingkungan
tetap
memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan. 7. Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola
157
pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. 8. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur: a. keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup; b. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah; c. penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup; d. penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundangundangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; e. pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian; f. pendayagunaan pendekatan ekosistem; g. kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global; h. penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; i. penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas; j. penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan k. penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
158
9. Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan UndangUndang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab negara” adalah: a. negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. b. negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
159
c. negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kelestarian dan keberlanjutan” adalah bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas keserasian dan keseimbangan” adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Huruf g
160
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender. Huruf h Yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal. Huruf i Yang dimaksud dengan “asas keanekaragaman hayati” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untukmempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Huruf j Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung
jawab
yang
usaha
dan/atau
kegiatannya
menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. Huruf k Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.
161
Huruf l Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilainilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Huruf m Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang baik” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan. Huruf n Yang dimaksud dengan “asas otonomi daerah” adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas.
162
Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kearifan lokal dalam ayat ini termasuk hak ulayat yang diakui oleh DPRD. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas.
163
Pasal 13 Ayat (1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dimaksud dalam ketentuan ini, antara lain pengendalian: a. pencemaran air, udara, dan laut; dan b. kerusakan ekosistem dan kerusakan akibat perubahan iklim. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “wilayah” adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan/atau aspek fungsional. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dampak dan/atau risiko lingkungan hidup yang dimaksud meliputi: a. perubahan iklim; b. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati; c. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan; d. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam; e. peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;
164
f. peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau g. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Pelibatan masyarakat dilakukan melalui dialog, diskusi, dan konsultasi publik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggangkeberadaannya di dalam air. Huruf b Yang dimaksud dengan “baku mutu air limbah” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air .
165
Huruf c Yang dimaksud dengan “baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut. Huruf d Yang dimaksud dengan “baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Huruf e Yang dimaksud dengan “baku mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara. Huruf f Yang dimaksud dengan “baku mutu gangguan” adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)
166
Huruf a Yang dimaksud dengan “produksi
biomassa”
adalah bentuk-bentuk
pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa. Yang dimaksud dengan “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa” adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitan dengan kegiatan produksi biomassa. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan budi daya dan hutan. Huruf b Yang dimaksud dengan “kriteria baku kerusakan terumbu karang” adalah ukuran batas perubahan fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang. Huruf c Yang dimaksud dengan “kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan” adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas.
167
Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Jasad renik dalam huruf ini termasuk produk rekayasa genetik. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
168
Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dimaksudkan untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi, dan/atau
mengompensasikan
dampak suatu usaha dan/atau kegiatan. Pasal 26 Ayat (1) Pelibatan masyarakat dilaksanakan dalam proses pengumuman dan konsultasi publik dalam rangka menjaring saran dan tanggapan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
169
Pasal 27 Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain lembaga penyusun amdal atau konsultan. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Rekomendasi UKL-UPL dinilai oleh tim teknis instansi lingkungan hidup. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
170
Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Pengumuman dalam Pasal ini merupakan pelaksanaan atas keterbukaan informasi. Pengumuman tersebut memungkinkan peran serta masyarakat, khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan keputusan izin. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan izin usaha dan/atau kegiatan dalam ayat ini termasuk izin yang disebut dengan nama lain seperti izin operasi dan izin konstruksi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Perubahan yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain, karena kepemilikan beralih, perubahan teknologi, penambahan atau pengurangan kapasitas produksi, dan/atau lokasi usaha dan/atau kegiatan yang berpindah tempat. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
171
Huruf a Yang
dimaksud
dengan
“instrumen
ekonomi
dalam
perencanaan
pembangunan” adalah upaya internalisasi aspek lingkungan hidup ke dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan dan kegiatan ekonomi. Huruf b Yang dimaksud dengan “pendanaan lingkungan” adalah suatu sistem dan mekanisme penghimpunan dan pengelolaan dana yang digunakan bagi pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pendanaan lingkungan berasal dari berbagai sumber, misalnya pungutan, hibah, dan lainnya. Huruf c Insentif merupakan upaya memberikan dorongan atau daya tarik secara moneter dan/atau nonmoneter kepada setiap orang ataupun Pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan kegiatan yang berdampak positif pada cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup. Disinsentif merupakan pengenaan beban atau ancaman secara moneter dan/atau nonmoneter kepada setiap orang ataupun Pemerintah dan pemerintah daerah agar mengurangi kegiatan yang berdampak negatif pada cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup. Pasal 43 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “neraca sumber daya alam” adalah gambaran mengenai cadangan sumber daya alam dan perubahannya, baik dalam satuan fisik maupun dalam nilai moneter. Huruf b Yang dimaksud dengan “produk domestik bruto” adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu.
172
Yang dimaksud dengan “produk domestik regional bruto” adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu daerah pada periode tertentu. Huruf c Yang dimaksud dengan “mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah” adalah cara-cara kompensasi/imbal yang dilakukan oleh orang, masyarakat, dan/atau pemerintah daerah sebagai pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup. Huruf d Yang dimaksud dengan “internalisasi biaya lingkungan hidup” adalah memasukkan biaya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu usaha dan/atau kegiatan. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana jaminan pemulihan lingkungan hidup” adalah dana yang disiapkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya. Huruf b Yang dimaksud dengan “dana penanggulangan” adalah dana yang digunakan untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan. Huruf c Yang dimaksud dengan “dana amanah/bantuan” adalah dana yang berasal dari sumber hibah dan donasi untuk kepentingan konservasi lingkungan hidup. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “pengadaan barang dan jasa ramah lingkungan hidup” adalah pengadaaan yang memprioritaskan barang dan jasa yang berlabel ramah lingkungan hidup.
173
Huruf b Yang dimaksud dengan “pajak lingkungan hidup” adalah pungutan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sumber daya alam, seperti pajak pengambilan air bawah tanah, pajak bahan bakar minyak, dan pajak sarang burung walet. Yang dimaksud dengan “retribusi lingkungan hidup” adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sarana yang disiapkan pemerintah daerah seperti retribusi pengolahan air limbah. Yang dimaksud dengan “subsidi lingkungan hidup” adalah kemudahan atau pengurangan beban yang diberikan kepada setiap orang yang kegiatannya berdampak memperbaiki fungsi lingkungan hidup. Huruf c Yang dimaksud dengan “sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup” adalah sistem lembaga keuangan yang menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan pembiayaan dan praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Yang dimaksud dengan “pasar modal ramah lingkungan hidup” adalah pasar modal
yang menerapkan persyaratan perlindungan dan
pengelolaan
lingkungan hidup bagi perusahaan yang masuk pasar modal atau perusahaan terbuka, seperti penerapan persyaratan audit lingkungan hidup bagi perusahaan yang akan menjual saham di pasar modal. Huruf d Yang dimaksud dengan “perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi” adalah jual beli kuota limbah dan/atau emisi yang diizinkan untuk dibuang ke media lingkungan hidup antar penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
174
Huruf e Yang dimaksud dengan “pembayaran jasa lingkungan hidup” adalah pembayaran/imbal yang diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup. Huruf f Yang dimaksud dengan “asuransi lingkungan hidup” adalah asuransi yang memberikan perlindungan pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Huruf g Yang dimaksud dengan “sistem label ramah lingkungan hidup” adalah pemberian tanda atau label kepada produk-produk yang ramah lingkungan hidup. Huruf h Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kriteria kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi, antara lain, kinerja mempertahankan kawasan koservasi dan penurunan tingkat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 46 Cukup jelas.
175
Pasal 47 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “analisis risiko lingkungan” adalah prosedur yang antara lain digunakan untuk mengkaji pelepasan dan peredaran produk rekayasa genetik dan pembersihan (clean up) limbah B3. Ayat (2) Huruf a Dalam ketentuan ini “pengkajian risiko” meliputi seluruh proses mulai dari identifikasi bahaya, penaksiran besarnya konsekuensi atau akibat, dan penaksiran kemungkinan munculnya dampak yang tidak diinginkan, baik terhadap keamanan dan kesehatan manusia maupun lingkungan hidup. Huruf b Dalam ketentuan ini “pengelolaan risiko” meliputi evaluasi risiko atau seleksi risiko yang memerlukan pengelolaan, identifikasi pilihan pengelolaan risiko, pemilihan tindakan untuk pengelolaan, dan pengimplementasian tindakan yang dipilih. Huruf c Yang dimaksud dengan “komunikasi risiko” adalah proses interaktif dari pertukaran informasi dan pendapat di antara individu, kelompok, dan institusi yang berkenaan dengan risiko. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi” adalah usaha dan/atau kegiatan yang jika terjadi kecelakaan dan/atau
176
keadaan darurat menimbulkan dampak yang besar dan luas terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup seperti petrokimia, kilang minyak dan gas bumi, serta pembangkit listrik tenaga nuklir. Dokumen audit lingkungan hidup memuat: a. informasi yang meliputi tujuan dan proses pelaksanaan audit; b. temuan audit; c. kesimpulan audit; dan d. data dan informasi pendukung. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
177
Huruf b Yang dimaksud dengan ”remediasi” adalah upaya pemulihan pencemaran lingkungan hidup untuk memperbaiki mutu lingkungan hidup. Huruf c Yang dimaksud dengan ”rehabilitasi” adalah upaya pemulihan untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan manfaat lingkungan hidup termasuk upaya pencegahan kerusakan lahan, memberikan perlindungan, dan memperbaiki ekosistem. Huruf d Yang dimaksud dengan ”restorasi” adalah upaya pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau bagian-bagiannya berfungsi kembali sebagaimana semula. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemeliharaan lingkungan hidup” adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan manusia.
178
Huruf a Konservasi sumber daya alam meliputi, antara lain, konservasi sumber daya air, ekosistem hutan, ekosistem pesisir dan laut, energi, ekosistem lahan gambut, dan ekosistem karst. Huruf b Pencadangan sumber daya alam meliputi sumber daya alam yang dapat dikelola dalam jangka panjang dan waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan. Untuk melaksanakan pencadangan sumber daya alam, Pemerintah, pemerintah provinsi,
atau
pemerintah
kabupaten/kota
dan
perseorangan
dapat
membangun: a. taman keanekaragaman hayati di luar kawasan hutan; b. ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit 30% dari luasan pulau/kepulauan; dan/atau c. menanam dan memelihara pohon di luar kawasan hutan, khususnya tanaman langka. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”pengawetan sumber daya alam” adalah upaya untuk menjaga keutuhan dan keaslian sumber daya alam beserta ekosistemnya. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
179
Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan ”mitigasi perubahan iklim” adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak perubahan iklim. Yang dimaksud dengan ”adaptasi perubahan iklim” adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 58 Ayat (1) Kewajiban untuk melakukan pengelolaan B3 merupakan upaya untuk mengurangi terjadinya kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup yang berupa terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, mengingat B3 mempunyai potensi yang cukup besar untuk menimbulkan dampak negatif. Ayat (2) Cukup jelas.
180
Pasal 59 Ayat (1) Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pihak lain adalah badan usaha yang melakukan pengelolaan limbah B3 dan telah mendapatkan izin. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Sistem informasi lingkungan hidup memuat, antara lain, keragaman karakter ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, dan kearifan lokal. Ayat (2) Cukup jelas.
181
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan, dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup dan rencana tata ruang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
182
Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 66 Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b B3 yang dilarang dalam ketentuan ini, antara lain, DDT, PCBs, dan dieldrin. Huruf c Larangan dalam ketentuan ini dikecualikan bagi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Huruf d Yang dilarang dalam huruf ini termasuk impor. Huruf e Cukup jelas.
183
Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Ayat (2) Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemberian saran dan pendapat dalam ketentuan ini termasuk dalam penyusunan KLHS dan amdal. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
184
Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Yang dimaksud dengan “pelanggaran yang serius” adalah tindakan melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan keresahan masyarakat. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “ancaman yang sangat serius” adalah suatu keadaan yang berpotensi sangat membahayakan keselamatan dan kesehatan banyak orang sehingga penanganannya tidak dapat ditunda.
185
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup Jelas. Pasal 84 Ayat (1) Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup untuk menjamin kepastian hukum. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula
186
dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk: a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan; b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 88 Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup. Pasal 89 Cukup jelas.
187
Pasal 90 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kerugian lingkungan hidup” adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat. Tindakan tertentu merupakan tindakan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta pemulihan fungsi lingkungan hidup guna menjamin tidak akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan koordinasi adalah tindakan berkonsultasi guna mendapatkan bantuan personil, sarana, dan prasarana yang dibutuhkan dalam penyidikan. Ayat (4) Pemberitahuan dalam Pasal ini bukan merupakan pemberitahuan dimulainya penyidikan, melainkan untuk mempertegas wujud koordinasi antara pejabat
188
penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.
189
Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Yang dimaksud dengan “melepaskan produk rekayasa genetik” adalah pernyataan diakuinya suatu hasil pemuliaan produk rekayasa genetik menjadi varietas unggul dan dapat disebarluaskan setelah memenuhi persyaratan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “mengedarkan produk rekayasa genetik” adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran komoditas produk rekayasa genetik kepada masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas.
190
Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Informasi palsu yang dimaksud dalam Pasal ini dapat berbentuk dokumen atau keterangan lisan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta yang senyatanya atau informasi yang tidak benar. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Yang dimaksud dengan pelaku fungsional dalam Pasal ini adalah badan usaha dan badan hukum. Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka
191
yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik tersebut. Yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal ini termasuk menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Izin dalam ketentuan ini, misalnya, izin pengelolaan limbah B3, izin pembuangan air limbah ke laut, dan izin pembuangan air limbah ke sumber air. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5059
192
Curiculum Vitae Nama
: Ikomatussuniah. SH.MH.
Tempat/tanggal lahir
: Serang, 24 februari 1980
Alamat
: Jl. Kagungan No. 55 Rt.01/ Rw.03 Lontar Kidul Serang. BANTEN. 42115.
Status
: Menikah
Pendidikan
:
1. Taman Kanak-kanak Pertiwi Serang. Lulus tahun 1996. 2. Sekolah Dasar Negeri 6 Serang. Lulus tahun 1992. 3. Sekolah menengah Pertama Negeri 1 Serang. Lulus tahun 1995. 4. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Serang. Lulus tahun 1998. 5. Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Lulus tahun 2003. 6. Program Magister Hukum Pascasarjana Universitas Islam Jakarta. Lulus tahun 2011. Riwayat pekerjaan: 1. Dosen luar biasa Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sejak tahun 2008 sampai dengan sekarang. Mata kuliah yang diampu: A. Hukum Perusahaan (2008 – sekarang). B. Hukum Ketenagakerjaan (2009 – sekarang). C. Perbandingan Hukum Pidana (2009). D. Hukum Perizinan (2010 – sekarang). E. Pendidikan Pancasila (2010). F. Perbandingan Hukum Perdata (2010-sekarang). G. Hukum Pajak (2011). H. Hukum Kepariwisataan (2011). I. Hukum Lingkungan (2011) 2. Dosen hukum perdata di STKIP BANTEN tahun 2010.
193
JUDUL PENELITIAN / KARYA ILMIAH: 1. Refleksi Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 22 Tahun 1999 Pasal 72 Dihubungkan Dengan Keputusan Bupati Serang No. 511.24/Kep.88HUK/2003 Tentang Penetapan Harga Kios dan Los Pasar Rau Serang. 2. Implementasi Tata Kelola Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Pabrik di Daerah Cikande Kabupaten Serang Provinsi Banten.
DIKTAT / BAHAN AJAR: 1. Hukum Ketenagakerjaan Tahun 2010. 2. Hukum Perizinan Tahun 2011. 3. Hukum Lingkungan Tahun 2011. 4. Perbandingan Hukum Perdata 2011.
194