Bab Satu
Pendahuluan So go utana kita abus-abus tako utana, so go suatta kita abus-abus tako suata. Sei balwaitta, ale waitta nabesati 1).
Orang Bati 2). Seperti itu adalah persepsi Orang Maluku terhadap Orang Bati sampai saat ini. Menguatnya fenomena Orang Bati di Maluku karena sampai sekarang belum dijumpai informasi yang benar mengenai mereka. Selama ini informasi yang berkembang mengenai Orang Bati berupa ceritera lisan (penuturan) secara turun-temurun dari orang tua-tua di Maluku. Sebagian besar Orang Maluku yang mendiami negeri-negeri adat di Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Nusa Laut, Seram, Buru, Banda, Manipa, Kelang, Buano, Geser, dan lainnya ketika menutur tentang Orang Bati menurut cara masing-masing sehingga hakikatnya berbeda-beda. Akibat cara penuturan orang luar (Orang Maluku) mengenai Orang Bati berbeda-beda, sehingga menimbulkan perdebatan yang tidak pernah berakhir mengenai eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa sampai masa kini. Kondisi yang terjadi seperti ini menyebabkan fenomena Orang Bati terus bertentangan (paradoks). Pengalaman empirik ketika peneliti mulai menelusuri fenomena Orang 1) Makna kalimat di atas adalah, satu makan sayur, semua makan sayur, satu makan sagu semua makan sagu. Siapa balik batu, maka batu akan tindis (gepe) dia. Kapata (bahasa tanah) tersebut identik dengan suku-suku dari kelompok Patasiwa Putih di Pulau Seram yaitu Sei hale hatu, hatu lisa pei. Sei lisa sou, sou lisa ei. Tua ua wari-waliu. 2)Dalam interaksi sosial, Orang Maluku menyebut Dong itu kan orang ilang-ilang (mereka itu orang hilang-hilang), dong itu Alifuru Seram yang tinggal di negeri ilangilang (mereka itu Alifuru Seram yang mendiami negeri hilang-hilang). Makna orang dan negeri ilang-ilang yaitu, orang dan negeri itu ada, tetapi tidak kelihatan secara jelas (tersamar) oleh pandangan mata orang lain. Anggapan umum Orang Maluku mengenai Orang Bati seperti itu adalah mitos yang berkembang ratusan tahun sehingga nasib Orang Bati terabaikan sampai masa kini.
1
Esuriun Orang Bati
Bati sejak tahun 1985 kemudian melakukan Studi Budaya Tutur Orang Ambon-Maluku Tentang Orang Bati tahun 2005 dijumpai anggapan umum yaitu; (1) Sebagian besar Orang Maluku yang mendiami negerinegeri adat di Ambon, Lease (Saparua, Haruku, dan Nusa Laut), Buru, Seram, dan lainnya sering mengkaitkan kehidupan Orang Bati dan dunia mereka dengan hal-hal yang bersifat mistis, misteri, sakral, dan sebagainya ; (2) Nama Orang Bati dianggap pamali (tabu) 3) untuk disebut-sebut secara sembarang; (3) Sebagian besar Orang Maluku beranggapan bahwa Orang Bati adalah orang yang jahat karena sering menyusahkan orang lain; (4) Nama Orang Bati sering disamakan dengan Alifuru Seram 4) yang disteriotipkan (dianggap negatif) 5); (5) Orang Bati dianggap bukan manusia maupun sukubangsa. Walaupun semua persepsi Orang Maluku terhadap Orang Bati diucapkan dengan irama bahasa yang santun, tetapi hakikatnya adalah stigma 6) (anggapan negatif). Anggapan seperti ini oleh Sumner karena terdapat sikap etnosentrisme, sedangkan Allport menyebut sebagai prasangka (Feagin, 1993). Terdapat sikap antipati yang didasarkan pada generalisasi yang keliru, dan menjadi rintangan dalam berkomunikasi (Effendy, 1981; Jones, 1986; Liliweri, 2001). Anggapan negatif dari sebagian besar Orang Maluku terhadap Orang Bati seringkali diungkapkan melalui dialek lokal yaitu dong itu kan Alifuru Seram (mereka itu 3)Kebanyakan orang tua, mapun orang tua-tua yang mendiami negeri-negeri adat tertentu di Pulau Ambon, Saparua, Nusa Laut, Seram Barat, dan Seram Selatan, sering melarang warga mereka (terutama anak-anak) agar tidak boleh menyebut nama Bati secara sembarangan, karena pamali (tabu) dan bisa menyebabkan mereka menjadi sakit, disakiti, diculik, dan sebagainya. Larangan bagi anak-anak agar tidak boleh ke luar dari rumah pada saat hari cerah tetapi tiba-tiba turun hujan (hujan-panas) karena ada persepsi kuat dari masyarakat bahwa saat itu Orang Bati sedang berjalan, sehingga orang yang berjumpa dengan Orang Bati bisa mengalami sakit yang sulit disembuhkan, diculik untuk di bawa ke perkampungan Orang Bati dan sebagainya. Nama Orang Bati seringkali membuat orang luar (Orang Maluku) menjadi takut sampai saat ini. 4)Seram atau Ceram dimaknai oleh sebagian besar Orang Maluku sebagai wilayah dan manusia yang menyeramkan, menakutkan, dan lainnya yang identik. Makna Seram dapat dilihat pada Bab IV. 5)Kehidupan manusia yang masih primitif, liar, kotor, meyeramkan, menakutkan, tidak beragama, dan berbagai persepsi lain yang identik dengan itu. 6)Anggapan negatif Orang Maluku terhadap Orang Bati seperti dicontohkan di atas sering menimbulkan rasa ketakutan pada anggota maupun kelompok masyarakat Maluku sampai saat ini.
2
Pendahuluan
adalah Alifuru Seram). Akibat paling nyata yaitu ber-kembang sikap saling mengingatkan di kalangan Orang Maluku agar menghindari perjumpaan dengan Orang Bati. Dalam interaksi sosial Orang Maluku sering mengatakan yaitu jang sampe ale baku dapa deng dong Orang Bati (jangan sampai kamu berjumpa dengan Orang Bati). Artinya, berjumpa dengan Orang Bati berarti ale (kamu) bisa menjadi susah sendiri. Anggapan negatif dari orang luar (Orang Maluku) terhadap Orang Bati sering berkembang menjadi isu yang sangat krusial dalam kehidupan bermasyarakat sampai masa kini. Isu Orang Bati makin menguat apabila terjadi kasus orang hilang seperti anak kecil, orang perempuan, pencurian barang berharga milik penduduk, penculikan, dan sebagainya. Walaupun kasus yang sering dialami Orang Maluku tidak disertai dengan yang bukti kuat, tetapi nama Orang Bati seringkali dituduh sebagai pelaku dalam peristiwa tersebut. Apabila nama Orang Bati sudah muncul sebagai wacana dalam interaksi sosial, biasanya isu yang fenomenal ini makin dipercaya oleh anggota maupun kelompok masyarakat, kemudian secara diam-diam isu tersebut menjadi reda dan hilang tanpa bekas. Pada waktu yang lain, apabila isu Orang Bati muncul kembali dengan kasus yang sama walaupun lokasinya berbeda, tetapi sebagian besar anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku percaya bahwa penyebabnya yaitu Orang Bati. Sebagian besar Orang Maluku percaya bahwa orang yang bertemu dengan Orang Bati secara sengaja atau tidak sengaja dapat menyebabkan orang yang bersangkutan bisa mengalami sakit yang sulit disembuhkan, diculik untuk di bawa ke perkampungan Orang Bati, dan sebagainya. Kondisi tersebut menyebabkan isu Orang Bati menjadi krusial, sehingga persoalan yang berkaitan dengan eksistensi Orang Bati sebagai manusia, sukubangsa atau kelompok etnik (ethnic group) terus mengalami paradoks 7). Pertentangan pendapat dari Orang Maluku yang teridentifikasi melalui Studi Budaya Tutur Orang Pertentangan pendapat di kalangan Orang Maluku mengenai Orang Bati berada pada 2 (dua) kutub yang sangat berbeda yaitu, Orang Bati itu dianggap ada dan Orang Bati tidak ada, Orang Bati itu adalah orang jahat dan orang baik, Orang Bati itu sering menolong orang lain dan orang Bati sering menyusahkan orang lain, dan sebagainya.
7)
3
Esuriun Orang Bati
Ambon-Maluku Tentang Orang Bati yaitu; (1) Pengalaman dari Orang Maluku tertentu yang pernah berjumpa dan bergaul dengan Orang Bati secara langsung, tetapi hal ini senantiasa dirahasiakan 8) terhadap orang lain; (2) Cara pe-nuturan Orang Maluku mengenai Orang Bati tidak sama kemudian berkembang interpretasi yang berbeda oleh masingmasing anggota maupun kelompok masyarakat sehingga fenomena Orang Bati menjadi krusial; (3) Sampai sekarang sebagian besar Orang Maluku yang men-diami negeri-negeri adat tertentu, tidak percaya bahwa Orang Bati adalah manusia, maupun sukubangsa yang memiliki peradaban, dan telah menjalani kehidupan bermasyarakat; (4) Informasi tentang Orang Bati selalu terbingkai dalam mitos, kemudian tersosialisasi melalui ceritera turun-temurun oleh anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku yang hakikatnya tidak benar. Berdasarkan pengamatan peneliti bahwa; (1) Orang Maluku yang berjumpa maupun berinteraksi secara langsung dengan Orang Bati di tempat-tempat tertentu seperti Kota Ambon, Masohi, Bula, dan lainnya ternyata sama sekali tidak mengenal dan mengetahui tentang keberadaan Orang Bati; (2) Dalam interaksi sosial Orang Bati tidak pernah menyebut nama dan identitas mereka secara terang-terangan pada orang luar yang belum dikenal; (3) Ternyata Orang Bati sudah tersebar di mana-mana, dan jumlah mereka cukup banyak; (4) Dalam interaksi sosial dengan orang luar, ternyata Orang Bati menyebut diri sebagai Orang Kian Darat, Orang Geser, maupun Orang Seram Timur. Pengalaman peneliti ketika memperoleh informasi mengenai Orang Bati yaitu; (1) Pertamakali mendengar nama Orang Bati pada tahun 1973 9) melalui penuturan orang tua-tua mengenai kemunculan orang ilang-ilang (hilang-hilang) dalam wilayah petuanan (wilayah keOrang Seram dikenal oleh Orang Maluku sebagai orang-orang yang sangat kuat memegang rahasia, maupun menyembunyikan rahasia terhadap orang luar. Orang Seram di mata Orang Maluku dikenal sebagai orang yang memilih mati dengan rahasia. 9)Waktu itu orang tua-tua berceritera tentang peristiwa kehadiran orang ilang-ilang (hilang-hilang) pada malam hari dalam wilayah petuanan Negeri Siri Sori Serani. Ada warga yang berusaha mengejar orang tersebut, tetapi tidak berhasil ditangkap. Orang yang dikejar kemudian bisa melarikan diri secara cepat kemudian menghilang ibarat ditelan bumi. Peristiwa seperti ini kemudian nama Orang Bati mulai dituduh sebagai pelaku. Setelah muncul nama Orang Bati maka secara diam-diam isu yang fenomenal ini menjadi reda dan hilang dari pembicaraan orang tua-tua. 8)
4
Pendahuluan
kuasaan) Negeri Siri Sori Serani. Saat itu peneliti sedang membersihkan rumput yang terdapat di kintal 10) pada pagi hari. Diskusi serius dari orang tua-tua dengan fokus kemunculan orang ilang-ilang (hilanghilang) ternyata tidak tuntas karena mereka kaitkan dengan nama Orang Bati. Timbul pertanyaan dalam hati dan pikiran peneliti yaitu, ada apa sebenarnya dengan orang ilang-ilang (hilang-hilang), mengapa mereka menyebut nama Orang Bati di Seram. Orang tua-tua mengatakan bahwa jang saloro sebab Seram masih gelap 11); (2) Secara tidak sengaja pada bulan September 1976, peneliti berjumpa dengan orang tua bernama bapak DaKe. Ia baru datang dari Seram. Penuturan bapak DaKe pada peneliti tentang kehidupan Orang Seram, khususnya Orang Bati ternyata berbeda dengan ceritera orang tua-tua sebelumnya. Setelah peneliti membandingkan penuturan orang tua-tua di Negeri Siri Sori Serani dengan penuturan bapak DaKe mengenai kehidupan Orang Bati ternyata hakikatnya tidak sama 12). Ungkapan bapak DaKe pada peneliti bahwa informasi orang tua-tua mengenai kehidupan Orang Seram, dan khususnya Orang Bati ibarat telepon tali hulaleng 13).
Artinya tanah pekarangan milik marga atau klen yang terdapat di sekitar rumah.
10)
Kintal biasanya ditanami dengan jenis tanaman umur pendek seperti cabe, terong, sayur-sayuran, dan lainnya. Kintal milik marga yang tidak ditanami biasanya di-
manfaatkan oleh anak-anak kecil untuk tempat bermain. 11)Maknanya yaitu, tidak boleh pergi ke Pulau Seram sembarangan, sebab Pulau Seram masih gelap (sama sekali belum diketahui secara benar). 12)Bapak DaKe mengemukakan pada peneliti waktu itu bahwa, sesungguhnya Orang Bati itu ada. Negeri Orang Bati juga ada. Mereka adalah penduduk asli Pulau Seram. Untuk mencari dan menemukan Orang Bati tidak mudah. Suatu waktu kamu akan menemukan Orang Bati. Bapak DaKe mengatakan pada peneliti bahwa semua ceritera orang luar mengenai Orang Bati belum tentu benar, bahkan ada indikasi kuat bahwa ceritera mengenai Orang Bati tersebut tidak benar, karena pengalaman hidupnya dengan Orang Seram, termasuk Orang Bati tidak seperti itu. 13)Makna tali hulaleng yaitu sumber ceritera yang disampaikan berindikasi tidak benar, karena talinya ada tetapi tidak bisa mengantarkan bunyi ke telinga pendengar.
5
Esuriun Orang Bati
Dong (mereka) hanya bisa sinoli 14), atau istilah umum yang digunakan Orang Ambon-Maluku yaitu kewel 15) karena tidak mengalami sendiri. Berdasarkan informasi tersebut, peneliti makin percaya pada penuturan bapak DaKe karena ia memiliki pengalaman bergaul selama 39 tahun dengan Orang Seram. Ungkapan bapak DaKe yang menguatkan pendirian peneliti saat itu adalah Orang Bati itu ada di mana-mana, tetapi tidak mudah untuk bertemu dengan mereka. Ia mengatakan pada peneliti, kalau umur panjang suatu waktu ia akan mengantarkan peneliti ke Negeri Orang Bati di Seram. Dalam perkembangannya, niat peneliti bersama bapak DaKe untuk datang ke Negeri Orang Bati tidak dapat diwujudkan, karena bapak DaKe berpamitan untuk pergi ke Ambon dan selanjutnya peneliti memperoleh informasi dari keluarga di Ambon bahwa bapak DaKe telah meninggal dunia pada bulan Oktober 1978 di Negeri Tuni-Pulau Ambon. Sebelum kami berpisah pada tahun 1978, bapak DaKe pernah berpesan pada peneliti apabila suatu waktu ia tidak dapat mengantarkan peneliti ke Negeri Orang Bati di Seram, nanti cari teman dekatnya di Pulau Seram yang bernama bapak Suriti, dan ia pasti bersedia membantu. Janji antara peneliti dengan bapak DaKe dipegang kuat, kemudian peneliti berusaha mencari keberadaan bapak Suriti. Langkah peneliti untuk memasuki Pulau Seram dengan tujuan mencari bapak Suriti mulai dilakukan pertama kali pada 15 Oktober 1985 dengan cara menemui tokoh masyarakat di Negeri Amahai, Kampung Hatumari, Kampung Yalahatan di Negeri Negeri Tamilou. Lokasi tersebut dijadikan sebagai tujuan karena berdasarkan penuturan bapak DaKe sewaktu masih hidup yaitu ia sering datang ke tempattempat tersebut. Selain itu juga masyarakat di daerah ini masih me-
Makna sinoli yaitu campur aduk. Sinoli adalah sejenis makanan khas Orang Maluku yang terbuat dari sari sagu yang dicampur dengan gula aren, kelapa, dan garam yang dicampur sampai merata kemudian dimasak pada tungku api sehingga bisa dikonsumsi. Sinoli adalah makanan yang dicampur, diaduk, tetapi enak untuk dimakan. Jadi cerita orang yang dimaknai sebagai sinoli karena ceritera tersebut campur aduk tetapi enak di dengar. 15)Penuturan yang dilakukan belum tentu benar karena tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya, ada rekayasa, dan sebagainya. 14)
6
Pendahuluan
miliki hubungan basudara atau gandong yang disapa bongso 16) dengan peneliti. Sesuai tradisi dan adat-istiadat dalam relasi orang gandong (bongso) tidak boleh membohongi basudara sendiri, karena itu adalah pamali (tabu). Setelah peneliti menemui tokoh masyarakat di lokasi tersebut mereka mengakui bahwa bapak DaKe sering berada di sini, tetapi sudah lama tidak melihatnya. Sebagian besar warga di lokasi tujuan sama sekali tidak mengetahui kalau bapak DaKe telah meninggal dunia. Ada warga yang menyarankan pada peneliti agar menanyakan informasi tersebut pada tokoh masyarakat di Negeri Tehoru, Hatumete, Moso, Lapa, Laimu, Werinama, Kairatu, Hunitetu, Buria, Besi, Wahai, Hote, Banggoi, Geser, dan lainnya karena bapak DaKe sering datang ke tempat-tempat tersebut. Usaha mencari bapak Suriti pernah mengalami hambatan karena kondisi wilayah Pulau Seram saat itu masih sulit sarana transportasi, komunikasi, dan lainnya. Hambatan lainnya yaitu konflik sosial di Maluku yang berlangsung cukup lama sejak tahun 1999 sampai dengan 2004. Langkah peneliti untuk mencari bapak Suriti baru dilakukan kembali pada tanggal 14 Januari 2006 dengan lokasi tujuan yaitu Negeri Tamilou di Seram Tengah bagian selatan. Pada saat peneliti tiba di lokasi tersebut, tokoh masyarakat di Negeri Tamilou memberi informasi lisan agar peneliti bisa mencari bapak Suriti ke wilayah Hote-Banggoi yang terletak di perbatasan Kabupaten Seram Bagian Timur dan Kabupaten Maluku Tengah. Informasi tersebut kembali menguatkan tekad peneliti untuk mencari bapak Suriti. Bulan Mei 2006 peneliti datang ke wilayah Hote-Banggoi. Setelah tiga hari peneliti menelusuri wilayah pedalaman Hote-Banggoi di Pulau Seram, ternyata peneliti belum memperoleh informasi mengenai keberadaan bapak Suriti. Pada hari ke empat peneliti telah berada di antara Sungai (Alsul) 17) Bobi dan Sungai (Alsul) Manis. Cuaca Sapaan yang digunakan oleh masyarakat adat dari Negeri Tamilou di Pulau Seram, Hutumuri di Pulau Ambon, dan Siri Sori di Pulau Saparua sebagai Orang gandong yang disapa bongso karena asal-usul leluhur dari satu kandungan (rahim) ibu yang sama.
16)
17)Sungai atau Alsul adalah bahasa lokal (Minakyesu atau Minakesi) yang digunakan Orang Bati. Sungai dalam bahasa lokal dari orang-orang yang berada di perbatasan Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Timur menyebutnya wai.
7
Esuriun Orang Bati
menunjukkan sore hari, dan peneliti menghentikan perjalanan untuk sementara waktu, kemudian beristirahat untuk menghilangkan kelelahan. Pada saat peneliti sedang beristirahat, tampak dari jauh sosok seorang pemuda yang berjalan mendekati lokasi di mana peneliti duduk. Setelah pemuda tersebut mendekat, kami saling menegur dan bercakap-cakap, kemudian dilanjutkan dengan perkenalan. Pemuda tinggi berbadan tegak tersebut menyebut namanya yaitu OkHe. Waktu itu matahari sudah hampir terbenam. Pada dataran rendah sekitar Sungai (Alsul) Manis, kemudian OkHe menyarankan agar peneliti bisa mampir ke rumah kediamannya karena cuaca makin gelap. Peneliti mengikuti ajakan OkHe, dan selanjutnya di bawa untuk bertemu dengan keluarganya. Ketika sampai di rumah kediamannya, OkHe memperkenalkan peneliti pada anggota keluarga, kemudian menjelaskan tentang maksud kedatangan peneliti ke daerah ini untuk mencari basudara bernama bapak Suriti. Orang tertua di rumah itu bernama bapak HaHe yang sehari-hari disapa dengan nama Tete Haya langsung menjawab bahwa pada beberapa waktu sebelumnya ia sering bertemu dengan bapak Suriti di daerah Banggoi pedalaman. Tetapi belakangan ini mereka jarang bertemu karena bapak Suriti sudah cukup lama tidak datang. Ketika mendengar jawaban bapak HaHe atau Tete Haya, hati peneliti mulai tenang. Artinya perjumpaan dengan bapak Suriti pasti akan terjadi, hanya tinggal menunggu waktu (saat yang tepat). Perjumpaan antara peneliti dengan bapak HaHe atau Tete Haya berlangsung pada tanggal 5 Mei 2006. Bapak HaHe atau Tete Haya berpesan pada peneliti bahwa ia akan membantu untuk mencari informasi mengenai keberadaan bapak Suriti. Bapak HaHe atau Tete Haya menyarankan pada peneliti kalau melewati daerah ini agar sewaktu-waktu mampir ke rumah kediamannya untuk menanyakan informasi mengenai keberadaan bapak Suriti. Sejak perjumpaan antara peneliti dengan bapak HaHe atau Tete Haya pada bulan Mei 2006, setiap dua minggu sekali peneliti datang berkunjung ke rumah kediamannya di Banggoi Pedalaman. Pada akhir bulan Juli 2006 peneliti sudah datang ke rumah kediaman bapak HaHe atau Tete Haya untuk ke tujuh kali. Pada pertemuan kami yang ke
8
Pendahuluan
tujuh kali peneliti mengutarakan niat yang pernah disampaikan pada bapak DaKe untuk datang di Negeri Orang Bati atau ke atas 18), sekaligus memberitahukan isi pesan yang pernah ditinggalkan bapak DaKe pada peneliti tahun 1978. Jawaban bapak HaHe atau Tete Haya pada peneliti yaitu bapak DaKe sudah meninggal dunia 19). Ungkapan bapak HaHe atau Tete Haya pada peneliti bahwa untuk pergi ke atas atau ke Negeri Orang Bati tidak mudah. Untuk itu peneliti perlu menyiapkan diri secara baik. Apabila hendak pergi ke Negeri Orang Bati, dan tidak menyiapkan diri secara baik mungkin saja kamu tidak bisa sampai, atau kalau kamu sampai di atas (maksudnya di Negeri Orang Bati) kemungkinan besar tidak bisa kembali 20). Peneliti harus menyiapkan diri secara baik, sambil menunggu waktu atau saat yang tepat (katika) atau tanoar untuk pergi ke atas (ke Negeri Orang Bati). Proses menyiapkan diri oleh peneliti sampai penentuan waktu yang tepat (katika) oleh Oyang Suriti atau Tete Haya 21). Setiap bulan peneliti harus datang selama satu minggu untuk mendalami kehidupan Orang Bati. Dalam menjalani proses tersebut, peMakna dari kata ke atas yaitu ke Negeri Orang Bati, atau Tana (Tanah) Bati untuk bertemu dengan Orang Bati. 19)Ketika bapak HaHe atau Tete Haya memberikan jawaban tersebut, peneliti mulai mencurigainya, dan terus mengejarnya dengan pertanyaan-pertanyaan susulan melalui pertimbangan bahwa selama hidup ia berada di wilayah pedalaman Pulau Seram Bagian Timur dan tidak pergi ke mana-mana karena usianya makin tua. Mengapa ia bisa mengetahui kalau bapak DaKe telah meninggal dunia di Ambon. Peneliti langsung mencurigai dan mengatakan bahwa orang yang berada di depan peneliti sesungguhnya adalah Oyang Suriti yang sedang peneliti cari-cari. Bapak HaHe atau Tete Haya tidak bisa mengelak, dan ia langsung menarik tangan peneliti ke belakang rumah kebunnya dan mengatakan jangan kamu menyebut nama itu lagi, karena isteri dan anak-anak tidak mengetahui nama tersebut. Beta (saya) ini Suriti yang kamu cari. Terima kasi Oyang Suriti atas kejujuranmu dan bersedia membimbing peneliti untuk datang ke Negeri Orang Bati. Mahakuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia Kapua Upu Ila Kahuresi, Upu Lanite, Aupu Lahata, Upu Kuahatana, dan Tata Nusu Si akan membalas kebaikanmu. Ucapan peneliti seperti ini membuat Oyang Suriti mengeluarkan air mata karena menangis. Ia ingat pada teman baiknya yang bernama bapak DaKe yang sudah meninggal dunia, dan perjalanan peneliti untuk mencarinya bertahun-tahun. 20)Pernyataan Oyang Suriti atau Tete Haya pada peneliti tergolong cukup mengetarkan hati dan pikiran peneliti saat itu. Tetapi niat peneliti untuk datang ke Negeri Orang Bati sudah bulat, sehingga rintangan sulit apapun pasti peneliti berusaha menghadapi dan mengatasinya karena sudah menjadi tekad peneliti untuk menemukan Orang Bati. 21)Proses tersebut dimaknai oleh peneliti sebagai inisiasi, dan dijalani selama dua tahun yaitu dari bulan Juli 2006 sampai dengan bulan Agustus 2008. 18)
9
Esuriun Orang Bati
neliti harus mempelajari bahasa Minakyesu atau Minakesi (bahasa gunung) yang digunakan Orang Bati untuk berkomunikasi, adatistiadat, tata cara pergaulan, dan cara memasuki wilayah sakral di Pulau Seram, khususnya Tana (Tanah) Bati di Pulau Seram Bagian Timur. Semua anjuran Oyang Suriti atau Tete Haya peneliti turuti. Proses inisiasi tersebut berlangsung sampai dengan awal bulan Juli 2008, Oyang Suriti atau Tete Haya mengatakan pada peneliti bahwa tanggal 1 Agustus 2008 peneliti harus berangkat dari Ambon untuk menuju Negeri Orang Bati, dan tepat tanggal 15 Agustus 2008 peneliti harus tiba di Tana (Tanah) Bati. Apabila tanggal 15 Agustus 2008 peneliti tidak menginjak kaki di Tana (Tanah) Bati, maka sampai di situlah perjalanan untuk mencari Orang Bati. Tidak boleh mengulangi perjalanan yang sama karena itu adalah pantangan atau pamali (tabu) bagi orang yang berniat untuk datang di Tana (Tanah) Bati. Tanggal 1 Agustus 2008 peneliti mulai bertolak dari Ambon menuju Pulau Seram. Waktu itu keadaan alam di Maluku sedang berada pada musim pancaroba (musim peralihan) dari musim penghujan (musim timor) ke musim kemarau (musin barat). Peneliti melakukan perjalanan menuju Tana (Tanah) Bati di Pulau Seram Bagian Timur dalam kondisi alam yang tidak ramah. Hujan turun sepanjang saat. Angin laut bertiup sangat kencang sehingga kondisi laut bergelombang besar. Sungai-sungai di Pulau Seram pada umumnya mengalami banjir besar, dan lainnya. Peneliti terus melakukan perjalanan secara bertahap. Pada tanggal 11 Agustus 2008 peneliti telah memasuki wilayah adat Kelbarin di Pulau Seram Bagian Timur yaitu Sungai (Alsul) Matakabu, dan langsung menuju Banggoi Pedalaman. Perjalanan dalam wilayah adat Kelbarin dilakukan sampai dengan tanggal 13 Agustus 2008 peneliti tiba di Kampung atau Dusun Madak yang terletak di lembah Sungai (Alsul) Masiwang sebagai batas wilayah adat Kelbarin dan wilayah adat Weurartafela. Pada lokasi ini peneliti berjumpa pertama kali dengan Orang Bati yang sehari-hari disapa dengan nama Tete Madak. Perjumpaan dengan Tete Madak merupakan peristiwa bersejarah karena Orang Bati yang dicari-cari oleh peneliti sudah ditemukan. Tete
10
Pendahuluan
Madak menerima kedatangan peneliti secara baik, kemudian turut membantu untuk menyeberangkan peneliti dengan perahu (wona) melewati Sungai (Alsul) Masiwang yang dihuni oleh banyak sekali buaya (waya) ganas. Saat itu Sungai (Alsul) Masiwang sedang banjir bandan. Setelah peneliti berhasil menyeberangi Sungai (Alsul) Masiwang dengan baik dan selamat atas bantuan Tete Madak sebagai penjaga batas wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati, berarti peneliti telah meninggalkan wilayah adat Kelbarin, dan memasuki wilayah adat Weurartafela sebagai watas nakuasa (wilayah kekuasaan) Orang Bati. Setelah meninggalkan lembah Sungai (Alsul) Masiwang, peneliti terus melanjutkan perjalanan menuju Negeri Orang Bati. Pada tanggal 14 Agustus 2008 peneliti tiba di Negeri Kian Darat 22). Maksud peneliti untuk mampir di Negeri Kian Darat yaitu melaporkan diri secara resmi pada Pemerintah Negeri Kian Darat, sekaligus mengutarakan niat untuk datang menemui Orang Bati. Ketika peneliti berada di rumah kediaman Sekretaris Negeri Kian Darat, tiba-tiba muncul empat Orang Bati yang berasal dari gunung yaitu dari Kampung atau Dusun (Wanuya) Rumbou (Bati Tengah) dengan maksud untuk menjemput peneliti atas anjuran Kepala Adat. Setelah melakukan negosiasi dengan tokoh Pemerintah Negeri Kian Darat kemudian peneliti di bawa ke Dusun Rumbou (Bati Tengah) untuk bertemu dengan tokoh masyarakat dan pemerintah. Malam hari itu juga dilakukan pertemuan adat secara informal, kemudian disepakati bahwa keesokan harinya yaitu Jumat tanggal 15 Agustus 2008 peneliti dapat melanjutkan perjalanan ke Kampung atau Dusun Bati Kilusi (Bati Awal), dan diantara oleh Kepala Adat guna menyampaikan niat (lamino) pada Orang Bati melalui rapat adat 23). 22)Kian
Darat artinya sungai yang terdapat gundukan pasir. Lokasi kediaman Orang Bati yang berada pada wilayah adat Weurartafela memiliki pemerintahan di Negeri Kian Darat. 23)Mengawali rapat adat pertama tanggal 15 Agustus 2008 di Tana (Tanah) Bati, Kapitan Tana Bati mengatakan bahwa maforu tata anak esuriun damul nai wanu tana (Nusa Ina panggil pulang anak cucu Alifuru). Maknanya yaitu Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Seram telah memanggil pulang anak cucu Alifuru untuk membangun, karena membangun Maluku dan mengabaikan Seram tidak ada artinya. Seram memiliki sejarah yang sangat penting bagi Orang Maluku, karena ale deng beta dari sana. Tetapi selama ini Seram menjadi terlupakan, bahkan terabaikan.
11
Esuriun Orang Bati
Pada saat peneliti bermalam di Kampung atau Dusun (Wanuya) Rumbou (Bati Tengah), Orang Bati mengatakan pada peneliti bahwa di Kota Ambon, Masohi, Bula, Geser dan tempat lainnya ada saudara (roina kakal) 24) mereka di sana. Bahkan Orang Bati sering datang ke Pulau Jawa, Kalimantan, Papua, dan tempat-tempat lainnya. Informasi ini membuat peneliti bertanya-tanya mengenai cara bergaul dengan orang luar. Mereka menjawab bahwa orang luar tidak mengetahui hal ini karena Orang Bati merahasiakan identitas agar tidak diketahui orang luar, dan menghindari stigma (anggapan negarif) sehingga Orang Bati memiliki ruang yang leluasa untuk dapat berinteraksi dengan orang luar (Orang Maluku). Belajar dari kondisi lokal yang dimiliki Orang Bati ketika berinteraksi maupun beradaptasi dengan suatu lingkungan ternyata secara genealogis semua kelompok Orang Bati memiliki asal-usul yang sama. Mereka menyebut diri sebagai anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina dari Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram yang mendiami Gunung Bati. Mengenai keterkaitan antara Orang Bati dengan Orang Seram maupun Orang Maluku, dikemukakan bahwa Orang Bati memiliki asal-usul dari keturunan Manusia Awal (Alifuru) 25) di Bumi Seram, dan menyebut diri sebagai Orang Bati adalah Manusia Gunung 24)Roina Kakal adalah Bahasa Minakyesu atau Minakesi yang digunakan Orang Bati untuk menyapa saudara mereka sebagai orang satu asal, dan memiliki makna yang identik dengan sapaan orang basudara. Basudara artinya orang yang memiliki hubungan darah (genealogis). Sapaan ini dijumpai pada Orang Maluku yang memiliki relasi dalam Pela, Gandong di Maluku Tengah dan Ambon, Ain nin ain di Kei, Duan Lola di Maluku Barat Daya, Wari atau Waliu di Seram Selatan, Laham di Seram Utara, dan lainnya pada lingkungan masyarakat adat di Maluku. 25)Alifuru terdiri dari dua kata yaitu Alif yang artinya Awal dan Uru yang artinya manusia. Makna dari Alifuru yaitu Manusia Awal. Dalam kosmologi Orang Seram, Alifuru adalah Manusia Awal yang diciptakan oleh Mahakuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia yaitu seorang perempuan (Ibu atau Ina) di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu). Namun dalam interaksi sosial dikalangan Orang Maluku, sebutan Alifuru seringkali dimaknai sebagai stigma (anggapan negatif) sebagai orang atau manusia yang menakutkan, menyeramkan, jahat, dan lainnya yang identik dengan itu. Stigma Alifuru yang dikemukakan orang luar terhadap Orang Seram sebenarnya merupakan strategi untuk melindungi Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) sebagai “Pulau Suci Berkelimpahan” agar orang luar merasa takut untuk masuk ke wilayah Pulau Seram atau Ceram secara leluasa untuk melakukan penaklukan terhadap suku dan wilayah karena Seram atau Ceram disteriotipkan sebagai wilayah dan manusia yang menyeramkan, menakutkan.
12
Pendahuluan
(Mancia Atayesu). Kondisi nyata yang sementara ini dijalani Orang Bati di Seram Timur, dapat dikemukakan bahwa makna dari kalimat pertama dalam tulisan ini yaitu Orang Bati adalah bagian dari Orang Maluku yang memiliki asal-usul dari keturunan Alifuru atau Alifuru Ina. Tetapi mengapa stigma (anggapan negatif) orang luar (Orang Maluku) senantiasa dialamatkan pada Orang Bati. Mengenai penamaan Alifuru pada Orang Seram yang mendiami wilayah pegunungan dijumpai dalam tulisan Sachse (2002) yaitu turunan Orang Seram dari penghuni pegunungan yang dinamakan Alifoeroe (Alifuru) terdiri dari suku-suku kecil dengan dialek, adat-istiadat dan kebiasaan yang berbeda. Terjadi bahwa dua kampung yang menyatu, namun kebiasaan dan bahasa yang digunakan sangat berbeda. Ada tiga suku utama di Pulau Seram yaitu Patasiwa, Patalima, dan mereka yang terdapat di bagian timur Pulau Seram tidak mempunyai nama khusus. Sebutan Alifuru pada Orang Seram dikemukakan oleh Bartles (1977) bahwa pada zaman Pemerintahan Belanda, kelompok yang mendiami pegunungan Seram dinamakan Alifuru5), dan pela adalah ciri khas yang paling menonjol pada persekutuan masyarakat di pedalaman Seram maupun Maluku lainnya. Pertukaran darah antar sekutu ke dalam ikatan persaudaraan hampir terdapat pada semua masyarakat. Selain itu juga oleh Taurn (1918) secara garis besar penduduk Pulau Seram terdiri dari dua kelompok besar yaitu, kelompok penduduk pesisir dan kelompok penduduk pegunungan. Kelompok penduduk pesisir sebenarnya bukan penduduk asli, tetapi mereka terdiri dari campuran sukusuku lain yang datang dan menetap. Mereka memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan penduduk pedalaman. Kebudayaan penduduk pesisir lebih bercorak Melayu, sedangkan kebudayaan yang benar-benar asli bisa ditemukan pada kelompok penduduk yang berdiam di pedalaman. Penamaan Alifuru pada lingkungan Orang Bati apabila dilakukan upacara adat Esuriun Orang Bati (Esu = Hutan, dan Riun = Ribuan). Makna Esuriun Orang Bati sebagai kisah Alifuru Bati atau Orang Bati yang terdiri dari ribuan orang turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi hak milik yang
13
Esuriun Orang Bati
berharga (bernilai). Dalam interaksi sosial Orang Bati menyebut diri sebagai Orang Gunung (Mancia Atayesu) dan Orang Pantai (Mancia Layena). Penyebutan diri sebagai Orang Pantai bukan berarti mereka mendiami perkampungan di sekitar daerah pantai, tetapi ada juga yang mendiami perkampungan sekitar lereng bukit di wilayah pedalaman. Artinya jarak dari perkampungan tersebut tidak jauh dari pesisir pantai yang diperkirakan sekitar 2 sampai dengan 3 Km. Lokasi bermukim yang terdapat di lereng bukit tetapi laut tampak secara jelas. Misalnya Orang Bati yang mendiami Kampung atau Dusun (Wanuya) Rumoga, Uta, yang letaknya di lereng bukit maupun Orang Bati yang mendiami Kampung atau Dusun (Wanuya) Kilaba, Angar, dan sebagainya yang berada di sekitar pesisir pantai, termasuk kelompok Bati Pantai. Lokasi perkampungan (wanuya) seperti dikemukakan adalah contoh bahwa secara adat tidak semua kampung atau dusun (wanuya) di Tana (tanah) Bati menggunakan sebutan nama Bati untuk perkampungan mereka. Sesuai adat-istiadat yang berlaku di Tana (Tanah) Bati satu-satunya kampung atau dusun (wanuya) yang boleh menggunakan nama Bati yaitu Orang Bati yang mendiami Kampung atau Dusun (Wanuya) Bati Kilusi (Bati Awal). Orang Bati Kilusi (Bati Awal) tetap menggunakan nama Bati untuk menyebut diri dan kampung atau dusun (wanuya) mereka karena berdasarkan adat Esuriun Orang Bati pada masa lampau ketika leluhur mereka turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) dipimpin oleh Kilusi sebagai Kapitan 26) Esuriun 27) Orang Bati yang mengantarkan mereka semua sampai di Bati Kilusi (Bati Awal).
26)Artinya
pemimpin perang pada setiap kelompok marga atau suku, adalah istilah khas
Alifuru Seram, dan sebutan Kapitan bukan istilah yang diadopsi dari luar. Penamaan tersebut diketahui melalui Esuriun Orang Bati yang dilakukan oleh keturunan Alifuru Seram yaitu Alifuru Bati atau Orang Bati setelah berakhirnya evolusi daratan Seram (daratan Seram Timur mulai kering). Artinya Esuriun Orang Bati telah dilakukan jauh
sebelum kedatangan bangsa-bangsa lain ke wilayah Maluku. 27)Esuriun terdiri dari 2 (dua) kata yaitu Esu = Hutan, dan Riun = Ribuan. Esuriun artinya kisah ribuan manusia (Alifuru) yang turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) pada masa lampau untuk menjaga dan melindungi hak milik untuk bertahan hidup (property protection for survival strategy) seperti manusia, tanah, hutan, gunung, pohon, adat, budaya, identitas, dan sebagainya.
14
Pendahuluan
Dalam interaksi sosial di antara sesama Orang Bati, penyebutan Orang Pantai (Mancia Layena) bukan memiliki makna sebagai pembeda, tetapi hal ini dilakukan untuk kepentingan interaksi, dan menegaskan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa. Untuk itu melalui studi ini dapat dikemukakan bahwa; (1) Orang Bati bukan manusia ilang-ilang (hilang-hilang); (2) Keberadaan Orang Bati sama seperti Orang Maluku lainnya, dan mereka telah menjalani kehidupan bermasyarakat di Pulau Seram Bagian Timur; (3) Orang Bati sudah ditemukan sendiri oleh peneliti dan hidup bersama dengan mereka dalam kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur sejak tanggal 15 Agustus 2008 untuk menyiapkan aktivitas penelitian ilmiah selama tiga musim (musim penghujan atau musim timor, musim kemarau atau musim barat, dan musim pancaroba atau musim peralihan; (4) Orang Bati menempati lokasi kediaman mereka yang dinamakan kampung atau dusun (wanuya) di Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) yang berada dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa); (5) Orang Bati menempati wilayah adat Weurartafela, dan memiliki hubungan roina kakal dengan Orang Bati yang mendiami wilayah adat Kelbarin dan Kwairumaratu di Pulau Seram Bagian Timur. Setelah peristiwa Esuriun Orang Bati secara sosial terdapat empat kelompok Orang Bati yang mendiami wilayah adat Weurartafela yaitu kelompok Orang Bati Awal, Bati Tengah, Bati Dalam, dan Bati Pantai. Sesuai dengan adat Esuriun, maka kelompok Bati Awal yang mendiami Kampung atau Dusun (Wanuya) Bati Kilusi (Bati Awal) boleh menggunakan nama Bati untuk lokasi kediaman mereka, sedangkan kampung atau dusun (wanuya) lainnya tidak menggunakan nama Bati. Orang Bati adalah suku asli Pulau Seram yang menghuni lokasi kediaman awal di Samos sekitar Gunung Bati maupun Soabareta di Pulau Seram Bagian Timur. Peneliti menyebut Orang Bati adalah penjaga, pelindung Pulau Seram dan Tanah Maluku karena Orang Bati adalah benteng terakhir Orang-Orang Seram yang sulit ditembusi oleh orang luar dari waktu ke waktu. Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan telah digunakan untuk menjalani hidup secara individu, kelompok, maupun komunitas guna mewujudkan eksistensi Orang Bati 15
Esuriun Orang Bati
sebagai manusia maupun sukubangsa yang selama ini dipertentangkan oleh orang luar (Orang Maluku). Peristiwa Esuriun Orang Bati berarti secara sengaja Orang Bati berusaha menciptakan rintangan yang tidak terkalahkan (invisible barriers) untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga seperti manusia, tanah, hutan, gunung, identitas, tradisi, adat-istiadat, budaya, lingkungan alam, dan sebagainya dari serbuan orang luar yang ingin mengeksploitasi sumber daya. Benteng tanpa tembok yang diciptakan Orang Bati sangat kokoh, kuat, ulet (berketahanan). Berdasarkan penamaan Alifuru sebagai penduduk asli yang mendiami pegunungan untuk memahami posisi Orang Bati dalam deretan suku-suku di Pulau Seram maupun Maluku dikemukakan bahwa berdasarkan sejarah lisan (oral story) pada awalnya leluhur Orang Bati mendiami lokasi kediaman dengan suku-suku lainnya di Pulau Seram pada tempat bernama Kepala Air Samal. Orang Bati memiliki hubungan roina kakal dengan orang-orang dari marga Tihulu, Henilau, dan lainnya yang mendiami Negeri Kabauhari, Banggoi, dan sebagainya di Seram Utara dan Seram Timur. Alifuru Bati atau Orang Bati yang mendiami lokasi kediaman bernama Samos (tempat kering pertama) yang dijumpai maupun Soabareta (tanjung kering pertama) yang dijumpai di Pulau Seram Bagian Timur. Kelompok yang mendiami Soabareta adalah leluhur Orang Bati yaitu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina yang bermigrasi dari Tanjung Sial yang terdapat di Pulau Seram Bagian Barat menuju Pulau Seram Bagian Timur. Mereka datang dengan korakora, dan menempati lokasi kediaman bernama Soabareta (tanjung kering pertama) yang dijumpai di Pulau Seram Bagian Timur. Keturunan Alifuru atau Alifuru Ina yang datang dari Tanjung Sial di Pulau Seram Bagian Barat menuju Soabareta (tanjung kering pertama) yang dijumpai, kemudian menjadi mata-rumah yang menurunkan rajaraja (Mata Lean) atau Jou di Tana (Tanah) Bati. Lokasi awal di mana leluhur Orang Bati berdiam yaitu di Samos maupun Soabareta berada di sekitar Gunung Bati atau berada di Kepala Air Masiwang, dan dianggap sebagai tempat sakral. Sampai saat ini kawasan yang dihuni Orang Bati masih mengalami isolasi geografi sehingga akses mereka untuk berinteraksi, memenuhi kebutuhan hidup, dan lainnya menjadi 16
Pendahuluan
terbatas. Akibat isolasi geografi, kondisi alam yang tidak ramah, dan menguatnya stigma (anggapan negatif) menyebabkan Orang Bati menjadi terasing dengan dunia luar sampai saat ini.
Esuriun Orang Bati memiliki multi fungsi dan peran untuk bertahan hidup (survive) dan mewujudkan eksistensi Orang Bati. Strategi menguasai wilayah kekuasaan atau watas nakuasa sebagai ruang hidup melalui kisah nyata turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk mewujudkan
eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun suku-bangsa telah menempatkan manusia sebagai pagar (sirerun) dengan batas yaitu bahasa, adat-istiadat, identitas, dan lainnya yang sama dalam satu konsep yaitu Esuriun Orang Bati. Strategi yang digunakan melalui Esuriun Orang Bati ternyata memberi ruang yang leluasa untuk berkomunikasi dengan bahasa lokal (bahasa Minakyesu atau Minakesi) yang sama berarti di situlah adalah batas wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati. Strategi menentukan batas wilayah adat dengan cara menempatkan manusia dan adat sebagai benteng berarti merupakan strategi melindungi hak milik yaitu manusia, tanah, idntitas, dan lainnya yang dilakukan secara damai. Strategi ini tidak menimbulkan kekerasan pada orang lain karena pengalaman hidup yang dijalani oleh kelompok sosial Patasiwa dan Patalima sering bermusuhan. Kelompok Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati dapat menyatu sebagai roina kakal sebagai orang satu asal yaitu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina. Terintegrasinya kelompok sosial Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati melalui adat Esuriun Orang Bati yang berlangsung secara kultural dimaksudkan untuk mewujudkan integrasi eksistensial sehingga jati diri (identitas) Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa (kelompok etnik) di Seram-Maluku diakui oleh orang luar. Dalam interaksi sosial di Maluku, tampak bahwa nama Orang Bati sering digunakan oleh orang luar sebagai wacana dan mekanisme untuk meredam konflik maupun pertikaian antar kelompok (Patasiwa dan Patalima) yang seringkali terlibat konflik dan pertikaian. Kondisi yang sering melanda kelompok sosial Patasiwa dan Patalima di Maluku oleh Colley (1961 : 120) yaitu mereka sering bermusuhan karena
17
Esuriun Orang Bati
pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang saling bersaing di sebelah utara ketika Kesultanan Ternate dan Tidore terus-menerus bersaing, paling tidak semenjak tahun 1450. Sebab terjadi perluasan kekuasaan politik ke selatan setelah pendirian kesultanan-kesultanan yang kuat di Ternate dan Tidore terjadi dalam paruh kedua abad ke-15. Kondisi yang dialami kemudian pada suku-suku di Pulau Seram sebenarnya telah disadari oleh leluhur Alifuru Bati atau Orang Bati jauh sebelumnya. Untuk itu implementasi dari strategi menguasai ruang hidup yang dimaknai sebagai watas nakuasa (wilayah kekuasaan) Orang Bati dengan mengintegrasikan kelompok sosial Patasiwa dan Patalima dalam identitas Bati yang dinamakan Bati Awal, Bati Tengah, Bati Dalam, dan Bati Pantai merupakan perilaku politik dari manusia untuk menguasai teritorial agar dapat mewujudkan kekuatan bertahan hidup (survival strategy) jangka panjang bagi keturunannya sehingga tidak mengalami kepunahan dalam wilayah milik mereka sendiri. Mekanisme yang ditempuh melalui adat Esuriun Orang Bati sehingga terbentuk pengelompokan sosial baru dengan identitas Orang Bati yang dinamakan Bati Awal, Bati Tengah, Bati Dalam, dan Bati Pantai berarti kehidupan kelompok sosial Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati memiliki kesadaran yang tinggi sebagai orang satu asal yaitu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina atau Manusia Awal di Pulau Seram (Pulau Ibu) atau Nusa Ina . Selain itu juga dalam interaksi sosial di kalangan Orang Bati terdapat penamaan lain yaitu Silimaya (orang-orang dari dara) atau Bati Rei, atau orang-orang yang berasal dari gunung atau hutan untuk kepentingan identifikasi diri dengan Orang Bati Lau atau Orang Bati yang mendiami perkampungan atau dusun di daerah pantai. Tetapi asal-usul leluhur Orang Bati pada awalnya dari gunung. Orang Bati yang mendiami perkampungan atau dusun di daerah pantai saat ini karena berdasarkan pembagian (tabagu) yaitu tanah sesuai adat Esuriun agar masing-masing marga dapat menempati wilayah kekuasaan (etar) pada saat itu.
18
Pendahuluan
Studi ilmiah untuk mengungkap integrasi eksistensial Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa di wilayah adat Weulartafela 28), sedangkan untuk kepentingan klarifikasi data lapangan dilakukan pada wilayah adat Kelbarin, Kwairumaratu, dan lainnya karena memiliki kaitan dengan fenomena Orang Bati. Kondisi Orang Bati di lokasi penelitian saat ini yaitu 8.044 jiwa. Laki-laki 4.041 jiwa, dan perempuan 3.963 jiwa. Terdapat 27 lokasi bermukim dari Orang Bati yang dinamakan kampung atau dusun (wanuya) yang terdapat dalam wilayah adat Weurartafela. Dalam wilayah adat ini terdapat 16 dusun atau kampung (wanuya) yang berada di bawah Pemerintahan Negeri Kian Darat, Kecamatan Seram Timur, dan terdapat kelompok Bati Awal, Bati Tengah, dan sebagian dari Bati Pantai. Terdapat 7 kampung atau dusun (wanuya) lainnya di bawah Pemerintahan Desa Kilimoi, Kecamatan Tutuk Tolo, yaitu kelompok Bati Dalam dan sebagian Bati Pantai. Akibat tekanan (presure) yang berasal dari dalam seperti isolasi geografis, alam yang tidak ramah, tidak tersedianya infrastruktur perhubungan darat maupun laut yang layak, terbatasnya sarana transportasi darat, laut, dan lainnya menyebabkan Orang Bati menjadi terasing dengan lingkungan sekitarnya. Tekanan dari luar yang bersifat sosial seperti menguatnya stigma (anggapan negatif) menyebabkan kehidupan Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa menjadi terabaikan oleh masyarakat dan negara (pemerintah). Kehidupan komunitas yang mengalami stigma (anggapan negatif) seperti Orang Bati cukup memilukan karena mereka memiliki ruang yang terbatas untuk berakses. Menghadapi kondisi tersebut, Orang Bati mengembangkan interaksi dengan cara menyembunyikan identitas Bati agar keberadaan mereka di luar wilayah Tana (Tanah) Bati tidak diketahui orang luar. Strategi yang dilakukan Orang Bati dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan orang luar dapat dimaknai sebagai kecakapan hidup untuk survive dalam stigma. Melalui studi ini diOrang Bati dalam wilayah adat Weurartafela yaitu berkedudukan di Negeri Kian Darat. Ada juga Orang Bati yang mendiami wilayah adat Kelbarin yang berkedudukan di Negeri Waru, dan Kwairumaratu yang berkedudukan di Negeri Kelimuri. Mereka memiliki hubungan genealogis (hubungan darah) atau basudara (roina kakal) dengan Orang Bati, tetapi tidak menyebut diri secara langsung dengan nama Orang Bati. 28)
19
Esuriun Orang Bati
temukan bahwa stigma yang ditujukan pada Orang Bati tidak saja berdampak negatif, tetapi stigma juga memiliki dampak positif. Dampak negatif dari stigma (anggapan negatif) yang ditujukan pada Orang Bati sehingga nasib mereka terabaikan karena belum ada pengakuan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa oleh masyarakat. Dampak positif dari stigma pada Orang Bati yaitu wilayah atau ruang hidup menjadi terlindungi dari serbuan orang luar untuk masuk melakukan eksploitasi sumber daya, sehingga lingkungan untuk bertahan hidup (survive) tetap lestari. Orang Bati dianggap sebagai manusia atau orang ilang-ilang (hilang-hilang), orang atau manusia terbang-terbang, orang atau manusia jahat adalah salah karena itu adalah mitos yang harus diakhiri. Akibat berkembangnya mitos tersebut maka kehidupan Orang Bati menjadi terabaikan karena belum ada pengakuan masyarakat maupun pihak terkait seperti pemerintah (negara) yang meragukan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa. Menguatnya anggapan negatif (stigma) terhadap Orang Bati selama ini karena belum ditemukan informasi ilmiah yang benar mengenai kehidupan Orang Bati yang sesungguhnya. Melalui studi ini diketahui bahwa telah terjadi kesalahan orang luar ketika melakukan interpretasi maupun interaksi sehingga Orang Bati dinamakan sebagai orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang), orang atau manusia terbang-terbang, orang atau manusia jahat, orang atau manusia misteri, dan sebagainya. Sebenarnya yang misteri adalah ceritera (penuturan) orang luar (Orang Maluku) yang sama sekali tidak mengerti, mengetahui, dan memahami tentang konsep "Bati" dan "Batti" dalam kehidupan Alifuru Seram. Untuk itu perlu ditegaskan bahwa sebutan "Orang Bati" adalah penduduk yang mendiami Pulau Seram Bagian Timur. Orang Bati memiliki eksistensi sebagai manusia maupun sukubangsa atau kelompok etnik (ethnic group) karena mereka memiliki kebudayaan, teritorial, peradaban, pemerintah, dan lainnya. Sebutan "Orang Batti" adalah “Manusia Batti” yang memiliki kaitan dengan sistem kepercayaan (religi) Alifuru Seram. Manusia Batti adalah leluhur (Tata Nusu Si) yang menjadi basis tumbuhnya ideologi Batti. Tampak bahwa dalam
20
Pendahuluan
interaksi sosial yang berlangsung di kalangan orang luar (Orang Maluku) yaitu konsep "Bati" dan "Batti" disamakan, bahkan dimaknai sama. Dalam realitasnya, konsep “Bati” dan “Batti” memiliki makna yang sangat berbeda. Nilai dasar (ngavin) yang terdapat dalam kepercayaan Orang Bati terhadap Manusia Batti (manusia berhati bersih) memberikan kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy) karena Manusia Batti dianggap oleh Orang Bati yaitu tidak pernah meninggal dunia dan senantiasa berada dengan mereka sebagai anak cucu. Selama ini Orang Bati berusaha untuk bertahan hidup (survive) dengan kekuatan sendiri, atau membiayai diri sendiri dalam membangun diri dan komunitas. Studi untuk mengungkap fenomena Orang Bati di Maluku berpedoman pada permasalahan pokok penelitian yaitu ”bagaimana Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan untuk mewujudkan eksistensinya?”. Berdasarkan permasalahan pokok tersebut, kemudian dikemukakan pertanyaan penelitian bagaimana; (a) Bumi Seram dan Manusia Batti?; (b) Basis nilai budaya Orang Bati?; (c) Pengelompokan sosial di Tana (Tanah) Bati?; (d) Tata kelola pemerintahan di Tana (Tanah) Bati?; (e) Ekonomi dan mata pencaharian Orang Bati?; (f) Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan? Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan; pertama, Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan; kedua, fungsi dan peran Esuriun sebagai nilai dasar yang memberi penguatan pada kebudayaan Orang Bati untuk menghadapi dan mengatasi tekanan yang bersumber dari dalam maupun dari luar lingkungan; ketiga, usaha mewujudkan eksistensi, maupun cara membiayai dan membangun diri maupun komunitas dengan kemampuan sendiri. Penelitian ini diharapkan berguna untuk; pertama, pengembangan teori tentang kekuatan bertahan hidup (survival strategy); kedua, pengembangan teori tentang pembangunan pada orang-orang yang mengalami stigma sehingga nasib mereka terabaikan, dan berusaha untuk bertahan hidup (survive) dengan kekuatan sendiri; ketiga, menjadi dasar bagi penelitian ilmiah serupa
21
Esuriun Orang Bati
dalam konteks lebih luas demi pengembangan ilmu pengetahuan pada sukubangsa yang mendiami wilayah terpencil dengan geografis terisolasi; empat, memberikan masukan ilmiah maupun praktis kepada berbagai pihak terkait untuk pengembangan masyarakat berbasis kearifan lokal. Hasil penulisan disertasi ini dianalisis secara teoritis dengan menggunakan teori yang relevan sesuai temuan empirik, sehingga perlu diorganisasikan melalui bab-bab di mana setiap bab menyajikan materi yang substansinya berbeda tetapi keseluruhan bab selalu terkait. Bab satu tentang pendahuluan. Bab dua mengenai telaah pustaka untuk mengkaji literatur yang relevan dengan survival strategy, adaptasi, integrasi, kelembagaan, identitas, modal sosial, nilai, dan pembangunan. Bab tiga menjelaskan tentang eksistensi berbagai sukubangsa di Seram-Maluku. Bab empat menguraikan tentang Bumi Seram dan Manusia Batti. Bab lima menampilkan Esuriun : nilai budaya Orang Bati. Bab enam mengenai pengelompokan sosial di Tana (Tanah) Bati. Bab tujuh mengenai Tata kelola pemerintahan di Tana (Tanah) Bati. Bab delapan mengenai ekonomi dan mata pencaharian Orang Bati. Bab sembilan meyajikan sintesa temuan penelitian tentang Esuriun Orang Bati: kekuatan bertahan hidup (Survival Strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan. Bab sepuluh merupakan kesimpulan dari seluruh bab.
22