SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENDIDIKAN KIMIA “Kontribusi Penelitian Kimia Terhadap Pengembangan Pendidikan Kimia”
PEMISAHAN DAN PEMURNIAN SENYAWA METABOLIT SEKUNDER TURUNAN FLAVONOID DARI KULIT BATANG Ficus virens Ait. (Moraceae) Yandri Nurhayati, Gebi Dwiyanti, Iqbal Musthapa Kelompok Penelitian Kimia Organik Bahan Alam Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudi 229 Bandung ABSTRAK Dari penelitian kandungan senyawa flavonoid terhadap ekstrak etil asetat kulit batang Ficus virens Ait. (Moraceae) didapat senyawa metabolit sekunder turunan flavonoid dengan kerangka fla vonol, yang berupa kristal berwarna kuning pucat dengan titik leleh 322°C (terurai). Senyawa tersebut dipisahkan dan dimurnikan dengan mempergunakan teknik maserasi dengan metanol, ekstraksi cair-cair (berturut-turut dengan pelarut n-heksan, diklorometan dan etil asetat), kromatografi cair vakum menggunakan eluen campuran n-heksan - etilasetat bergradien, kromatografi kolom gravitasi dengan eluen etilasetat: heksan (3:7), dan kromatografi lapis tipis. Karakterisasi senyawa mempergunakan teknik spektroskopi UV dan IR dan pendekatan jalur biogenesis serta uji golongan senyawa. Kata kunci: Flavonol, Ficus virens Ait ABSTRACT From etil-acetate extract stem bark of Ficus virens Ait. (Moraceae) has been isolated secondary metabolite compound of flavonoid with flavonol structure, which colors is yellow with melting point at 322 °C (decomposed). This compound was separated and purified by chromatography technique by using gradient eluen simultaneously with nhexane, metilen chloride and etil-acetate. Spectros copic method (UV and IR) and biogenesis pathway were done to characterize this compound. Keywords : Flavonol, Ficus virens Ait
PENDAHULUAN Senyawa-senyawa kimia metabolit sekunder antara lain alkaloid, flavonoid dan terpenoid, umumnya mempunyai kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan hama penyakit dan atau sebagai senyawa penarik ma ngsa. Akhir-akhir ini senyawa tersebut diper gunakan untuk kepentingan antara lain sebagai zat warna, racun serangga, aroma makanan, dan obat-obatan. (Djaswir , 2001).
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
1
Senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan di alam adalah senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid (Sjamsul Arifin Achmad, 1986:modul3). Penelitian terhadap senyawa ini banyak dikembangkan karena memiliki sifat farmakoterapi yang cukup luas misalnya sebagai antioksidan dan mencegah peradangan. (http://www gu edu.av/ins/colle ctions/webb/html). Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis yang luas dan kaya akan keanekaragaman hayati. Kekayaan ini merupakan sumber variasi genetik, yang digunakan untuk mengeksplorasi bahan -bahan kimia yang sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Salah satu kelompok tumbuhan yang banyak ditemukan dan terdistribusi merata diseluruh Indonesia adalah famili Moraceae. Famili ini terdiri dari 75 genus dan 1850 spesies (Hutchinson,1967).Di Indonesia ditemukan lebih dari 80 spesies tumbuhan Moraceae dari 17 Genus, salah satunya genus Ficus (Heyne,1987). Berdasarkan studi literatur beberapa spesies dari genus Ficus yang telah diteliti antara lain: Ficus Glossularioides Burm F, Ficus Lepicapra BL, Ficus Ribes Reinw, dari spesies tersebut ditemukan senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid, dan alkaloid. Sedangkan senyawa metabolit sekunder golongan terpenoid dan steroid jarang ditemukan. (Mundahar, 1994). Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan dari tumbuhan Ficus ternyata mempunyai manfaat yang begitu besar. Namun, penelitian mengenai tumbuhan tersebut masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam tumbuhan Ficus lainnya khususnya Ficus virens Ait. Menurut Bakhuizen (1965:375) tanaman Ficus virens, Ait dapat diklasifikasikan se perti yang tertera dalam tabel 1.1. Tabel 1.1. Klasifikasi Tumbuhan Ficus virens, Ait Divisi Kelas Subkelas Ordo Famili Genus Spesies
Magnoliophyta Magnoliopsida Magnoliidae Urti cales Moraceae Ficus Ficus virens
Ficus virens dikenal dengan nama daerah Pohon Kiara untuk orang Sunda, sedangkan orang Jawa menyebutnya Pohon Ara. Ficus virens memiliki tulang daun yang membujur dengan ujungnya membulat, permukaan daun mengkilat serta urat daun menonjol. Pohon ini dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi, atau di pinggir aliran sungai. Akar-akarnya kuat sehinnga dapat berfungsi sebagai penyimpan cadangan air. Tumbuhan ini bersifat epifit yaitu mendapat makanan dengan cara menempel pada inangnya. Ficus virens membentuk sinusia yang dari segi biologi merupakan bentuk antara tumbuhan yang tidak merdeka dan tumbuhan yang merdeka. Biji-bijinya berkecambah di tempat terjadinya percabangan pada batang suatu pohon yang tinggi, dan tumbuhan tersebut akan membentuk akar-akar panjang yang turun ke Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
2
tanah, dan akar -akar yang paling dekat dengan batang pokok inangnya kemudian bercabang-cabang (anastomosing) sampai batang inangnya itu terkurung, dalam suatu jalinan akar yang kuat. Setelah waktu tertentu pohon inang mati, sementara itu tanaman Ficus virens menjadi besar dan lebat (Bakhuizen,1965:375). PERCOBAAN •
Bahan Tumbuhan Bahan yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian adalah bagian kulit batang tumbuhan Ficus virens, Ait. Determinasi tumbuhan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.Lokasi penelitian isolasi dan karakterisasi senyawa metabolit sekunder turunan flavonoid dari kulit batang tumbuhan Ficus virens, Ait. dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Lingkungan, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia, Jalan Dr. Setiabudi 229 Bandung. • Isolasi dan Ekstraksi Pada tahap isolasi dilakukan maserasi, yaitu sampel yang sudah ditimbang direndam didalam pelarut organik dan ditempatkan dalam tempat yang tertutup selama 6 x 24 jam. Pelarut yang digunakan dalam hal ini adalah metanol yang sudah didestilasi sebanyak 7 liter untuk 2 kg sampel yang digunakan. Setelah 6x 24 jam ekstrak di saring menggunakan Corong Buchner dan hasilnya dipekatkan menggunakkan Rotary evaporator, sehingga didapatkan ekstrak yang lebih kental. Ekstrak yang sudah dipekatkan kemudian diekstraksi cair-cair menggunakan alat corong pisah, berturut-turut dengan pelarut n-heksan, diklorometan dan etil asetat. Masing-masing ekstrak kemudian ditempatkan dalam botol terpisah, dan dilakukan uji golongan senyawa metabolit sekunder pada tiap-tiap ekstrak. • Kromatografi Cair Vakum (KCV) Ekstrak etil asetat yang telah dipekatkan selanjutnya dipisahkan dengan teknik KCV. Sampel diikatkan pada silika berukuran 60-70 mesh. Fasa gerak yang digunakan adalah campuran etil asetat dan heksan yang bergradien, sedangkan fasa diamnya silika gel dengan mutu KLT. Pemisahan dimulai dengan eluen 100% heksan hingga 100% etil asetat. Masing-masing fraks i yang diperoleh ditampung dalam botol terpisah . • Kromatografi Kolom Gravitasi Teknik pemisahan dengan kromatografi kolom dilakukan setelah teknik kromatografi cair vakum, tujuannya untuk menyempurnakan pemisahan senyawasenyawa dalam fraksi etil asetat. Fraksi yang akan dimurnikan diikatkan pada silika gel berukuran 60-70 mesh, sampel kemudian diletakkan diatas bagian kolom yang berisi fasa diam. Fasa diam yang digunakan adalah kiesel gel 60 silanisiert (0,063-0,2 mm). Fasa gerak yang digunakan untuk pemisahan diperoleh dari pengujian dengan KLT, eluen dengan perbandingan tertentu yang menghasilkan pemisahan dengan baik dipilih sebagai fasa gerak pada kromatografi kolom gravitasi. Hasil pemisahan ditampung dalam botol secara terpisah dan diberi nomor. Fraksi-fraksi yang diperoleh selanjutnya di analisis dengan KLT, untuk melihat keberhasilan pemisahan yang dilakukan. Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
3
•
Uji Golongan Sampel yang telah dimurnikan kemudian di uji menggunakan pereaksi kimia untuk menguji adanya senyawa flavonoid. Sampel dilarutkan dalam pelarut etil asetat, selanjutnya ditambahkan magnesium yang berbentuk padat dan direaksikan dengan beberapa tetes HCl 1M, perubahan warna menjadi kuning menunjukkan adanya flavonoid dalam sampel. • Uji Titik Leleh Uji titik leleh dilakukan untuk mengetahui sifat fisik senyawa yang telah berhasil diisolasi. Sampel dimasukkan kedalam pipa kapiler yang telah disumbat dengan cara melelehkan salah satu ujungnya. Selanjutnya pipa kapiler yang telah berisi sampel dimasukkan kedalam alat uji titik leleh dan diamati suhunya • Spektroskopi Ultraviolet Sampel yang didapat dari hasil pemurnian dikeringkan dan dilarutkan dalam metanol. Selanjutnya sampel diukur dalam alat instrumentasi UV-Vis Camspec 4020. Untuk penggunaan pereaksi geser, sejumlah volume sampel direaksikan dengan Natrium Asetat. • Spektroskopi Inframerah Penentuan gugus fungsi dengan menggunakan alat spektofotometri Inframerah (IR), jenis Shimadzu FTIR-8400. Sampel berupa padatan dicampur dengan KBr dan dibuat pelet yang berwarna transparan. PEMBAHASAN Ekstraksi Proses pemisahan awal dilakukan melalui teknik ekstraksi, ekstraksi yang dilakukan meliputi dua tahap, yaitu tahap ekstraksi padat-cair dan ekstraksi caircair. Teknik ekstraksi padat-cair yang digunakan adalah maserasi. Ekstrak hasil maserasi yang berwarna merah tua dipekatkan dengan menggunakan alat Rotary evaporator dan dilarutkan kembali dengan campuran metanol air sampai volumenya mencapai 200 mL. Selanjutnya terhadap ekstrak metanol-air tersebut dilakukan ekstraksi dengan ekstraksi cair-cair menggunakan pelarut organik yang memiliki tingkat kepolaran berbeda, mula dari n-heksan, diklorometan, dan etil asetat. Ekstraksi ini bertujuan untuk memisahkan berbagai senyawa dalam sampel berdasarkan kepolarannya. Uji golongan senyawa metabolit se kunder dilakukan terhadap masing-masing ekstrak untuk mengetahui kandungan senyawa kimia dalam tiap ekstrak tersebut. Hasil uji golongan masing-masing ekstrak diperlihatkan dalam tabel1.2 berikut:
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
4
Tabel 1.2 Hasil Uji Golongan Senyawa Metabolit Sekunder Ekstrak Ekstrak Ekstrak Golongan senyawa heksan diklorometan etil asetat Tanin + Antosianin + Leukoantosianin + Flavonoid + Steroid Terpenoid + Keterangan : + menunjukkan hasil positif untuk golongan senyawa yang diuji - menunjukkan hasil negatif untuk golongan senyawa yang diuji
Berdasarkan hasil uji golongan senyawa metabolit sekunder pada tiap-tiap ekstrak, dapat disimpulkan bahwa senyawa flavonoid terdapat pada ekstrak etil asetat. Oleh karena itu, ekstrak etil asetat dipilih untuk dianalisis lebih lanjut. Pemisahan dan Pemurnian Pemisahan dan pemurnian selanjutnya dilakukan terhadap ekstrak etilasetat yang diperoleh dari hasil ekstraksi cair -cair. Ekstrak tersebut dipekatkan dan dikeringkan dengan menggunakan alat Rotary evaporator dan Freeze dryer sehingga diperoleh ekstrak kering dengan berat 0,56 gram. Pemisahan tahap pertama terhadap ekstrak ini dilakukan dengan teknik Kromatografi Cair Vakum (KCV). Fasa diam yang digunakan adalah silika gel 60 dengan mutu KLT, sedangkan fasa geraknya adalah campuran n-heksan-etilasetat bergradien, dimulai dari n-heksan 100% sampai etil asetat 100%. Pemisahan dengan teknik KCV mengahasilkan 7 fraksi utama. Ketujuh fraksi tersebut dipekatkan menggunakan alat Rotary evaporator dan di analisis dengan Kromatografi Lempeng Tipis (KLT) menggunakan eluen etil asetat 100%. Kromatogram 7 fraksi utama hasil KCV diperlihatkan pada Gambar 1.1 berikut:
EA 7 EA 6 EA 5 EA4EA3 EA2EA 1 Gambar 1.1 Kromatogram 7 fraksi hasil KCV Ekstrak Etil asetat Dari 7 fraksi utama hasil pemisahan dengan KCV menunjukkan, fraksi EA 7 memiliki berat fraksi yang lebih besar dibandingkan fraksi lainnya yaitu sebesar 0,65 gram, sehingga fraksi EA7 memungkinkan untuk dilakukan pemisahan lebih lanjut. Sebelum dilakukan pemisahan pada fraksi EA 7 dilakukan Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
5
pemilihan eluen yang tepat, adapun kromatogram pemilihan eluen tersebut diperlihatkan pada Gambar 1.2 berikut:
(a)
(c)
(b)
Gambar 1.2 Kromatogram Hasil Pemilihan Eluen pada Fraksi EA 7 Eluen (a), (b), (c) menggunakan etil asetat : heksan , ( 5 :5 ), ( 4 : 6 ), ( 3 : 7 ). Pemisahan lebih lanjut pada fraksi EA7 dilakukan dengan teknik Kromatografi Kolom Gravitasi (KKG) menggunakan eluen etil asetat:heksan (3:7). Pemisahan Kromatografi Kolom Gravitasi menghasilkan 23 fraksi. Pola noda pada fraksi-fraksi bernomor ganjil dianalisis dengan KLT menggunkan eluen etil asetat 100%. Kromatogram hasil KKG fraksi bernomor ganjil diperlihatkan pada gambar 1.3 berikut:
Rf 0.57
Gambar 1.3. Kromatogram Hasil KKG Fraksi Ganjil Eluen: Etil Aseta t 100% Kromatogram hasil KKG pada Gambar 1.3 menunjukkan pemisahan yang cukup baik. Pada fraksi 9 diperoleh pola noda yang sederhana pada KLT dan pada botol tampungan fraksi 9 terdapat kristal berbentuk jarum yang menandakan fraksi 9 ini cukup murni. Untuk mengetahui kemurnian dari fraksi 9, maka dilakukan analisis dengan KLT menggunakan eluen yang berbeda. Hasil uji kemur nian diperlihatkan pada Gambar 1.4 berikut:
Rf 0.68 Rf 0.29
(a)
(b)
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
6
Gambar 1.4 Kromatogram Hasil Uji Kemurnian pada Fraksi 9 (a) Eluen: Diklorometan : Metanol (6:4) dan (b) Eluen Etil asetat: Heksan (6:4) Hasil KLT yang memperlihatkan noda tunggal dengan Rf 0,68 (a) dan Rf 0.29 (b) pada fraksi 9 dengan eluen yang berbeda menandakan bahwa fraksi 9 sudah murni dan selanjutnya diberi label isolat. Karakterisasi isolat dilakukan dengan metode uji golongan, analisis spektroskopi serta pendekatan biogenesis. Isolat yang telah dimurnikan, dikarakterisasi melalui beberapa tahapan, tahapan pertama uji golongan, tahapan kedua uji titik leleh, tahapan ketiga analisa spektrofotometri dan tahapan keempat pendekatan biogenesis. Uji golongan dilakukan terhadap isolat untuk mengetahui kandungan senyawa kimia. Pereaksipereaksi yang digunakan sama seperti yang dilakukan pada uji pendahuluan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa isolat termasuk kedalam golongan flavonoid.Pemeriksaan titik leleh dilakukan terhadap isolat untuk mengetahui sifat fisik senyawa tersebut. Isolat berubah bentuk dari kristal jarum berwarna kuning pucat menjadi serbuk berwarna hitam pada suhu 322°C. Berdasarkan hal tersebut maka kristal terurai pada suhu 322°C.Pengukuran dengan spektofotometer Ultraviolet mempunyai tujuan untuk mengetahui gugus kromofor pada isolat. Spektrum Ultraviolet isolat menunjukkan adanya dua serapan yait u pada 336 nm dan pada 216 nm Serapan maksimum spektrum Ultraviolet isolat tersebut mendekati pola serapan senyawa flavonoid dengan kerangka karbon utama flavonol . Pengukuran spektroskopi UV dilanjutkan dengan penambahan pereaksi geser. Hal ini diperlukan untuk mengetahui posisi gugus hidroksi pada kerangka flavon tersebut. Pereaksi geser yang digunakan adalah serbuk natrium asetat yang berfungsi untuk menentukan gugus hidroksi pada posisi 7. Penambahan serbuk natrium asetat dilakukan setelah pengukuran pertama diperoleh. Berikut adalah spektrum UV isolat dengan penambahan pereaksi geser: Hasil pengukuran spektroskopi UV isolat memperlihatkan bahwa tidak terdapat pergeseran batokromik . Hal ini menunjukkan pada posisi 7 kerangka flavonol tidak terdapat gugus hidroksil bebas. Untuk memperkuat dugaan hasil pengukuran dengan menggunakan spektroskopi UV, dilakukan pengukuran dengan spektroskopi inframerah dan pendekatan biogenesis. ` Spektroskopi inframerah bertujuan untuk mengidentifikasi gugus -gugus fungsi yang terdapat dalam isolat. Berdasarkan data-data spektrum IR, dapat disimpulkan bahwa isolat memiliki gugus fungsi –OH, yang ditunjukkan dengan adanya serapan pada daerah 3000-2800 cm-1. Selain itu, terdapat pula serapan pada daerah 3000-2800 cm -1 , yang menunjukkan adanya uluran C-H. Gugus fungsi lainnya seperti gugus C=O pada 1705 cm-1 , serta serapan pada 1650-1450 cm-1 yang diidentifikasikan sebagai daerah ulur cincin aromatik. Dari hasil pengukuran melalui spektroskopi IR, menunjukkan bahwa isolat memiliki gugus fungsi yang sama dengan senyawa flavonoid jenis flavonol. Pendekatan biogenesis bertujuan untuk mengetahui posisi gugus hidroksil pada kerangka flavonol. Pembentukan flavonol dimulai dengan memperpanjang unit fenilpropanoid (C6-C3) yang berasal dari turunan asam sinamat (asam sinamat, asam kafeat, asam p-kumarat, asam ferulat, asam sinapat) dengan kerangka C6-C3 yang bereaksi dengan asetil koenzim A. Reaksi selanjutnya, fenilpropanoid yang telah bereaksi dengan asetil koenzim A tersebut, membentuk calkon dan adanya oksidasi pada calkon mengubah calkon menjadi flavanonol. Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
7
Enzim flavonoid oksidase menyebabkan flavanonol teroksidasi menjadi flavonol. Biogenesis senyawa flavonol selengkapnya diperlihatkan pada gambar 4.8 dibwah ini: O C o AS
OH
HO
C
+
O 3 H OO C -CH2 -CO
OH
SC o A
3 CO 2 + 4 Co AS
C alk o n sin tet ase OH
O
C alk o n C alk o n i so m erase
3 C O2 3C H 3-C O
OH SCo A
O
HO
OH OH
O
Flav an o n OH
O
HO
OH OH
O
Fl avo n o n ol F lav o no id o k sid as e Fl avo n o id 3 ' hi dro k sil ase OH
O
HO
OH OH
O
Fl av on o l
Gambar 4.9 Biogenesis Flavonol Dari hasil interkonversi flavanonol menjadi flavonol, dapat dilihat bahwa gugus OH pada flavonol terbentuk pada posisi 3, 5, 7, dan 4’. Jalur biosintesa ini memperkuat prediksi letak gugus hidroksil (OH) pada senyawa flavonol, melengkapi hasil analisis pada UV dan IR. Perkiraan Struktur Kimia Isolat Berdasarkan Uji golongan, analisis spektroskopi ultraviolet dan inframerah, serta perkiraan jalur biogenesis, maka kemungkinan struktur senyawa tersebut adalah sebagai berikut: OR' RO
O OH OH
O R = Me R'= H, Me
Gamba r 4.10 Prediksi Struktur Senyawa Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
8
KESIMPULAN Penelitian terhadap ekstrak etil asetat kulit batang Ficus virens Ait (Moraceae), menghasilkan suatu senyawa berbentuk kristal berwarna pucat yang terurai pada suhu 322°C dan disimpulkan bahwa senyawa tersebut termasuk senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid dengan kerangka karbon utama flavonol. DAFTAR PUSTAKA Ahmadsyah,(1995), “Isolasi Flavonoid dari Daun Ficus Ribes Reinw. ex. Bi (Moraceae)”, Skripsi JF FMIPA UNAND: tidak diterbitkan. Creswell, J.C., et al, (1982), Analisis Spektrum Senyawa Organik, (terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro), Bandung, Penerbit ITB. Daniel F.A. et al, (2001), “Flavones from Leaves of Ficus glomelleria” Journal Brazil Chemistry Society, 12, (4), 538-541. Fesenden and Fesenden, (1982), Kimia Organik, (terjemahan Aloysius Hadyana Pudjaatmaka), Jakarta, Penerbit Erlangga. Erjon,(1995), “Isolasi Flavonoid dari Daun Ficus lepicepra Bi. (Moraceae)”, Skripsi JF FMIPA UNAND: tidak diterbitkan. Harborne, J.B., (1987), Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, (terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro), Bandung, Penerbit ITB. Harborne, J.B., and T.J. Marby, (1982), The Flavonoid: Advances in Research. London: Chapman and Hall Ldt. Harfia Mundahar, (1994), “Isolasi Flavonoid dari Ficus Grosstilarioides Burn.f. (Moraceae)”, Skripsi JF FMIPA UNAND: tidak diterbitkan. Markham, K.R., (1998), Cara Mengidentifikasi Flavonoid , (terjemahan Kosasih Padmawinata), Bandung, Penerbit ITB. Munson, James W (1991), Pharmaceutical Analysis__Part B Modern Methods, Marcel Dekker Inc. Robinson, T., (1995), Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, (terjemahan Kosasih Padmawinata), Bandung, Penerbit ITB. Sjamsul A.A., (1986), Buku Materi Pokok Kimia Organik Bahan Alam , Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sjamsul A.A., E.H. Hakim, Lukman Makmur, (1990) “ Flavonoid dan Phytomedica, Kegunaan dan Prospek”, Phytomedica, 1,(2), 120-126.
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
9