PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKALAN NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKALAN, Menimbang
: a. bahwa dengan semakin meningkatnya kebutuhan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan dukungan dana seimbang untuk operasional di sektor
Pajak
Penerangan Jalan,
maka dipandang
perlu untuk
melaksanakan perubahan yang mengarah pada sistem yang sederhana, adil, efektif, dan efisien serta dapat menggerakkan peran serta masyarakat dalam pembiayaannya; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu mengatur Pajak Penerangan Jalan dengan Peraturan Daerah. Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerahdaerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 41) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984); 4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048);
2
5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4138); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4578); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah; 14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah; 15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2006 tentang Lembaran Daerah dan Berita Daerah; 16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah; 17. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 170 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah; 18. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 173 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pajak Daerah; 19. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999 tentang Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Penerimaan Pendapatan Lain-lain;
3
20. Peraturan Daerah Kabupaten Bangkalan Nomor 5 Tahun 2006 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Bangkalan Tahun 2006 Nomor 4/E); 21. Peraturan Daerah Kabupaten Bangkalan Nomor 3 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Bangkalan Tahun 2008 Nomor 2/D). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANGKALAN dan BUPATI BANGKALAN MEMUTUSKAN: Menetapkan : .
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Bangkalan. 2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Bangkalan. 3. Bupati adalah Bupati Bangkalan. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bangkalan. 5. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Bangkalan. 6. Pejabat yang ditunjuk adalah Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten Bangkalan. 7. Kas Umum Daerah adalah Kas Umum Daerah Kabupaten Bangkalan. 8. Pajak Penerangan Jalan yang selanjutnya disebut Pajak adalah pungutan daerah atas pemakaian dan/atau penggunaan tenaga Listrik baik yang berasal dari PLN maupun yang berasal bukan dari PLN. 9. Tenaga Listrik adalah tenaga listrik yang dihasilkan oleh PLN maupun bukan berasal dari PLN. 10. Perusahaan Listrik Negara yang selanjutnya disingkat PLN adalah Perusahaan Listrik Negara (Persero). 11. Tenaga Listrik bukan PLN adalah tenaga listrik yang dihasilkan oleh suatu mekanik atau mesin pembangkit tenaga listrik yang mengeluarkan daya aliran listrik yang dimiliki/dikelola oleh orang pribadi atau badan. 12. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu. 13. Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak daerah.
4
14. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya. 15. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. 16. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. 17. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dan penghimpunan data obyek dan subyek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan
penagihan
pajak
kepada Wajib
Pajak
serta
pengawasan
penyetorannya. 18. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, Obyek Pajak dan/atau bukan Obyek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. 19. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kas Daerah atau ke tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Bupati. 20. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak. 21. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar. 22. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. 23. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor kode lokasi domisili/ nomor pokok yang disusun secara berurutan per wilayah kabupaten, bersifat tetap dan selalu dicantumkan pada setiap dokumen perpajakan daerah dan surat-surat lain yang ada hubungannya dengan pemberian pelayanan Pemerintah Daerah kepada wajib pajak seperti dalam hal perijinan dan pelayanan lainnya.
5
24. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. 25. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. 26. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. 27. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil atau Surat Tagihan Pajak Daerah. 28. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh Pihak Ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak. 29. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. 30. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data dan/atau keterangan Iainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Perpajakan Daerah dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. 31. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir. 32. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang Perpajakan Daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
6
BAB II NAMA, OBYEK DAN SUBYEK Pasal 2 (1) Dengan nama Pajak Penerangan Jalan dipungut pajak atas setiap pemakaian dan/atau penggunaan tenaga listrik. (2) Obyek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik di wilayah yang tersedia penerangan jalan yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah. (3) Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), meliputi pemakaian dan/atau penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN maupun bukan PLN. Pasal 3 Subyek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan tenaga listrik. Pasal 4 (1) Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tenaga listrik baik yang berasal dari PLN maupun bukan PLN. (2) Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh PLN, maka pemungutan Pajak Penerangan Jalan dilakukan oleh PLN. Pasal 5 Dikecualikan dari obyek pajak adalah: a. penggunaan tenaga listrik oleh Instansi Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah; b. penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat Perwakilan Asing dan Lembaga-lembaga Internasional dengan azas timbal balik sebagaimana berlaku untuk Pajak Negara; c. penggunaan tenaga listrik yang berasal dari bukan PLN dengan kapasitaskapasitas tertentu, tidak memerlukan ijin dari instansi teknis terkait; d. penggunaan tenaga listrik lainnya yang digunakan untuk tempat-tempat ibadah. BAB III DASAR PENGENAAN DAN TARIF PAJAK Pasal 6 (1) Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Jual Tenaga Listrik. (2) Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai berikut:
7
a. dalam hal tenaga listrik berasal dari PLN dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban ditambah dengan biaya pemakaian kwh yang ditetapkan dalam rekening listrik; b. dalam hal tenaga listrik berasal dari bukan PLN dengan tidak dipungut bayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, penggunaan listrik atau taksiran penggunaan listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku; (3) Khusus untuk kegiatan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 30% (tiga puluh persen). Pasal 7 (1) Untuk Non Industri, tarif Pajak ditetapkan sebagai berikut: a. penggunaan Tenaga Listrik yang berasal dari PLN, bukan untuk industri sebesar 9% (sembilan perseratus). b. penggunaan Tenaga Listrik yang berasal dari bukan PLN, bukan untuk industri sebesar 9% (sembilan perseratus). (2) Penggunaan Tenaga Listrik yang berasal dari PLN dan bukan PLN untuk Industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif pajak ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh perseratus) dari 30 % (tiga puluh perseratus) terhadap pembayaran/tagihan penggunaan tenaga listrik. BAB IV WILAYAH PEMUNGUTAN DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK Pasal 8 (1) Pajak yang terutang dipungut di wilayah daerah. (2) Besarnya Pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7, dengan dasar
pengenaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. BABV MASA PAJAK, SAAT PAJAK TERUTANG DAN SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK DAERAH Pasal 9 Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Pasal 10 Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
8
Pasal 11 Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pemakaian tenaga listrik. Pasal 12 (1) Wajib Pajak yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD), setiap awal tahun pajak atau masa pajak wajib mengisi SPTPD. (2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Kuasanya. (3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan kepada Bupati selambat--lambatnya 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa pajak. (4) Bentuk, isi dan tata cara pengisian SPTPD diatur dengan Peraturan Bupati. BAB VI TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PENETAPAN PAJAK Pasal 13 (1) Berdasarkan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Bupati menetapkan Pajak terutang dengan menerbitkan SKPD. (2) Apabila SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak atau kurang dibayar setelah lewat waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak SKPD diterima, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih dengan menerbitkan STPD. Pasal 14 (1) Wajib Pajak yang membayar sendiri, SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), digunakan untuk menghitung, memperhitungkan dan menetapkan pajak sendiri yang terutang. (2) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutang pajak, Bupati dapat menerbitkan: a. SKPDKB; b. SKPDKBT; dan/atau c. SKPDN. (3) SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, diterbitkan apabila: a. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang bayar, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak;
9
b. SPTPD tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dan telah ditegur secara tertulis, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak; dan/atau c.
Kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan, dan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(4) SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, diterbitkan apabila ditemukan data baru atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, akan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. (5) SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, ditebitkan apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. (6) Kewajiban membayar pajak terutang dalam SKPDKB dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b tidak dibayar atau tidak sepenuhnya dibayar dalam menerbitkan STPD ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda 2% (dua persen) sebulan. (7) Penambahan jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan pemeriksaan. BAB VII TATA CARA PEMBAYARAN Pasal 15 (1) Pembayaran pajak dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain yang ditunjuk oleh Bupati sesuai waktu yang ditentukan dalam SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan STPD. (2) Apabila pembayaran pajak dilakukan di tempat lain yang ditunjuk, hasil penerimaan pajak harus disetor ke Kas Daerah selambat-Iambatnya 1X 24 jam atau dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bupati. (3) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan menggunakan SSPD.
10
Pasal 16 (1) Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus atau lunas. (2) Bupati atau Pejabat dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur pajak terutang dalam kurun waktu tertentu, setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan. (3) Angsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilakukan secara teratur dan berturut-turut dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang dibayar. (4) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk menunda pembayaran pajak sampai batas waktu yang ditentukan
setelah
memenuhi
persyaratan
yang
ditentukan
dengan
dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari jumah pajak yang belum atau kurang dibayar. (5) Persyaratan untuk dapat mengangsur dan menunda serta tata cara pembayaran angsuran dan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 17 (1) Setiap pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diberikan tanda bukti pembayaran dan dicatat dalam buku penerimaan. (2) Bentuk, jenis, isi, ukuran tanda bukti pembayaran dan buku penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. BAB VIII TATA CARA PENAGIHAN PAJAK Pasal 18 (1) Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran. (2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Wajib Pajak harus melunasi Pajak yang terutang. (3) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikeluarkan oleh Pejabat yang ditunjuk. Pasal 19 (1) Apabila jumlah pajak masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis jumlah pajak yang harus dibayar ditagih dengan Surat Paksa.
11
(2) Pejabat yang ditunjuk menerbitkan Surat Paksa segera setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis. Pasal 20 Apabila pajak yang harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu. 2X24 jam sesudah tanggal pemberitahuan Surat Paksa, Pejabat yang ditunjuk segera menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. Pasal 21 Setelah dilakukan penyitaan dan Wajib Pajak belum juga melunasi utang pajaknya, setelah lewat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan Surat Perintah
Melaksanakan
Penyitaan,
Pejabat
yang
ditunjuk
mengajukan
permintaan penetapan tanggal pelelangan kepada Kantor Lelang Negara. Pasal 22 Setelah Kantor Lelang Negara menetapkan hari, tanggal, jam dan tempat pelaksanaan lelang, Juru Sita memberitahukan dengan segera secara tertulis kepada Wajib Pajak. Pasal 23 Bentuk, jenis dan isi formulir yang digunakan untuk pelaksanaan penagihan Pajak Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB IX PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN PAJAK Pasal 24 (1) Bupati
berdasarkan
permohonan
Wajib
Pajak
dapat
memberikan
pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak. (2) Tata cara pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
12
BAB X TATA CARA PEMBETULAN, PEMBATALAN PENGURANGAN KETETAPAN DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI Pasal 25 (1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: a. membetulkan SKPD atau SKPDKB atau SKPDKBT atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah; b. membatalkan atau mengurangkan ketetapan pajak yang tidak benar; dan/atau; c.
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan pajak terutang dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kelalaian Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.
(2) Permohonan
pembetulan,
pembatalan,
pengurangan
ketetapan
dan
penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, dan STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati, atau Pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD dengan memberikan alasan yang jelas. (3) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Permohonan dimaksud pada ayat (2) diterima, sudah harus memberikan keputusan. (4) Apabila setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati atau Pajabat yang ditunjuk tidak memberikan keputusan, permohonan
pembetulan,
pembatalan,
pengurangan
ketetapan
dan
penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi dianggap dikabulkan. BAB XI KEBERATAN DAN BANDING Pasal 26 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas suatu: a.
Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD);
b.
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB);
c.
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT);
d.
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar (SKPDLB);
e.
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN); dan/atau
f.
Pemotongan atau pemungutan oleh Pihak Ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang berlaku.
13
(2) Permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia paling lama (3) (bulan) sejak tanggal SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB dan SKPDN diterima oleh Wajib Pajak, atau tanggal pemotongan/pemungutan oleh Pihak Ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan alasan yang jelas, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya. (3) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Permohonan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, sudah memberikan keputusan. (4) Apabila setelah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan keputusan, permohonan keberatan dianggap dikabulkan. (5) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunda kewajiban membayar pajak. (6) Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa menerima sebagian atau seluruhnya, menolak atau menambah besarnya pajak terutang. Pasal 27 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah diterimanya Keputusan Keberatan. (2) Pengajuan permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak menunda kewajiban membayar pajak. Pasal 28 Apabila pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 atau banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. BAB XII PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK Pasal 29 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk secara tertulis dengan menyebutkan sekurang-kurangnya: a. Nama dan Alamat Wajib Pajak; b. Masa Pajak; c.
besarnya kelebihan Pembayaran Pajak; dan/atau
d. alasan yang jelas.
14
(2) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan. (3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampaui, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar (SKPDLB) harus diterbitkan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan. (4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak lainnya, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak dimaksud. (5) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP). (6) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 2 (dua) bulan, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak. Pasal 30 Apabila kelebihan pembayaran pajak diperhitungkan dengan utang pajak Iainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4), maka pembayarannya dilakukan dengan cara pemindahbukuan dan bukti pemindahbukuan juga berlaku sebagal bukti pembayaran, BAB XIII KADALUWARSA PENAGIHAN Pasal 31 (1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang Perpajakan Daerah. (2) Kadaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tertangguh apabila: a. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa; dan/atau b. ada pengakuan utang pajak dan Wajib Pajak baik Iangsung maupun tidak langsung.
15
BAB XIV PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN Pasal 32 (1) Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu wajib menyelenggarakan pembukuan. (2) Kriteria Wajib Pajak sabagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tata cara pembukuan diatur oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk. Pasal 33 (1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. (2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib: a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar dan dokumen lain yang berhubungan dengan obyek pajak yang terutang; b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau c. memberikan keterangan yang diperlukan. (3) Tata cara pemeriksaan pajak diatur oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk. Pasal 34 (1) Setiap Pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan
atau
pekerjaannya
untuk
menjalankan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. (3) Dikecualikan dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: a. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam Sidang Pengadilan; dan/atau b. pejabat dan tenaga ahli yang memberikan keterangan kepada pihak yang ditetapkan oleh Bupati.
16
(4) Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dan atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya. (5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Bupati dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. (6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut. BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 35 (1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama I (satu) tahun dan/atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang. (2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak Iengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang. Pasal 36 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak dapat dituntut setelah melampaui jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutang pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Pasal 37 (1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah). (2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban Pejabat hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan (2), dipidana dengan pidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
17
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. BAB XVI PENYIDIKAN Pasal 38 (1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan Penyidikan Tindak Pidana di bidang Perpajakan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana; (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan Tugas Penyidikan Berwenang untuk : a.
menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b.
meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan Hukum tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
c.
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan Hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
d.
memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan Dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
e.
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f.
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
g.
menyuruh berhenti atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat
memeriksa
pada
saat
identitas
pemeriksaan
orang
dan
atau
sedang
berlangsung
dokumen
yang
dan
dibawa
sebagaimana dimaksud pada huruf c; h.
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
i.
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j.
menghentikan penyelidikan;
k.
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
18
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya diaturkan lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 40 Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bangkalan Nomor 6 Tahun 1989 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kabupaten Bangkalan Tahun 1996 Nomor 2/A) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bangkalan Nomor 7 Tahun 1997 (Lembaran Daerah Kabupaten Bangkalan Tahun 1998 Nomor 1/A), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 41 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bangkalan. Ditetapkan di Bangkalan pada tanggal 7 Agustus 2009 BUPATI BANGKALAN ttd R. FUAD AMIN Diundangkan di Bangkalan pada tanggal 27 Agustus 2009 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BANGKALAN ttd SUDARMAWAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKALAN TAHUN 2009 NOMOR 1/B.
19
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKALAN NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN I. UMUM Bahwa untuk lebih memantapkan Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, pembiayaan pemerintahan dan pembangunan Daerah yang bersumber dan Pendapatan Asli Daerah, khususnya yang berasal dari Pajak Daerah, pengaturannya perlu ditingkatkan lagi, sejalan dengan semakin meningkatnya pelaksanaan pembangunan. Bahwa untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemungutan Pajak Daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga wajib pajak dapat dengan mudah memahami dan memenuhi kewajiban retribusinya, maka Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bangkalan Nomor 6 Tahun 1989 tentang Pajak Penerangan Jalan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bangkalan Nomor 7 Tahun 1997 perlu ditinjau kembali dan mengatur kembali dalam sebuah Peraturan Daerah.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal ini memuat pengertian istilah yang dipergunakan dalam Peraturan Daerah ini. Dengan adanya pengertian istilah tersebut dimaksudkan untuk mencegah timbulnya salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan melaksanakan Peraturan Daerah ini. Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas
20
Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas
21
Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas