Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
PEMEKARAN DAERAH, DAPATKAH MENJADI MODEL PEMERATAAN PEMBANGUNAN? (Kasus Pemekaran Di Provinsi Banten) Kandung Sapto Nugroho, M.Si Prodi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Pakupatan-Serang, Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pembangunan, kemampuan orang untuk mempengaruhi masa depan dimana akan berimplikasi pada pemberian perhatian terhadap kapasitas, aspek keadilan, penumbuhan kuasa dan wewenang, agar dapat menerima manfaat pembangunan dan pemenuhan aspek sustainability (Briant & white, 1987). Pemekaran daerah bahkan pemekaran wilayah seringkali menjadi pilihan dalam proses menuju ke arah yang lebih baik, menjadi pilihan jalan pintas mendapatkan kue pembangunan. PP 129 Tahun 2000 yang merupakan operasionalisasi dari Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan direvisi dengan PP 78 Tahun 2007 yang merupakan operasionalisasi dari Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah untuk payung pemekaran daerah sedangkan pemekaran wilayah payungnya adalah PP 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Provinsi Banten terbentuk dengan UU No. 23 Tahun 2000 adalah representasi pemekaran daerah untuk level provinsi, Kota Serang terbentuk dengan UU No. 32 Tahun 2007 adalah representasi pemekaran daerah untuk level kabupaten/kota dan masih ada calon kabupaten baru yakni Cilangkahan, Caringin, Cibaliung. Sedangkan pemekaran wilayah misalnya Di Kabupaten Lebak telah terjadi beberapa pemekaran (wilayah) kecamatan yakni diantaranya adalah Kecamatan Cijaku dimekarkan kecamatan baru yakni Kecamatan Cigemblong, Kecamatan Malingping dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Wanasalam, Kecamatan Panggarangan dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cihara, dan Kecamatan Bayah dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cilograng. Nampaknya pemekaran dipilih karena dapat mewujudkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan, melalui : Peningkatan pelayanan kepada masyarakat, Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, Percepatan pengelolaan daerah, Peningkatan keamanan dan ketertiban dan Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Namun bisakah pemekaran menjadi model untuk memeratakan pembangunan di Indonesia, ataukah pemekaran dipilih hanya untuk meredam disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia karena kita sebenarnya sudah menganut ideological federalism. Kata Kunci: Pemekaran, Provinsi Banten 1. PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Amandemen 1945 menjelaskan bahwa pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas perbantuan. Artinya pemberian otonomi luas kepada daerah adalah dalam rangka memberikan/mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, memprioritaskan kesejahteraan dan menghendaki adanya partisipasi publik dalam setiap pentahapan proses pembangunan yang ada. Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dimana dalam usaha untuk menerapkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini diperlukan paling tidak ada 33 peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut dari undang-undang ini agar bisa dilaksanakan dengan baik di tingkat daerah.
Prinsip pemberian otnomi seluas-luasnya kepada daerah dalam bentuk pemberian kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan memungkinkan daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan publik di daerah untuk yang berwajah pelayanan, peningkatan peranserta publik, pemberdayaan masyarakat yang tentunya berujung pada kesejahteraan masyarakat. Apalagi, tidak dapat dihindari bahwa tantangan global menuntut kinerja pemerintahan daerah lebih sigap, fleksibel, dan responsif. Ini artinya pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah dengan disertai pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi keniscayaan. Isi dari otonomi adalah pelayanan rakyat, dalam hal ini adalah pelayanan kebutuhan pokok dari sandang, papan, pangan dan lain sebagainya juga pelayanan pengembangan sektor unggulan dalam suatu daerah tertentu. Dimana ini semua dapat terwujud apabila pemerintah daerah otonom dalam memberikan atau menciptakan public goods dan [137]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
public regulations, sehingga apa yang menjadi semangat dari otonomi dapat tercapai dengan baik.
semangat kedaerahan yang selalu mewarnai dinamika masyarakat. Semangat untuk menonjolkan keegosentrisannya seringkali berbenturan dengan semangat jati diri kebangsaan. Bagaimana menonjolkan kesukuannya dengan tanpa mau berinteraksi dengan suku yang lain adalah hal yang sering terjadi. Jangan sampai Suku Minahasa mendirikan Propinsi Minahasa, Suku Mongondouw mendirikan Provinsi Totabuan, Suku Sanger Talaud mendirikan Provinsi Nusa Utara. Sekarang ini di beberapa daerah sedang ngetrend mengenai isu pemekaran wilayah, baik itu pemekaran menjadi beberapa kecamatan, pemekaran menjadi beberapa kabupaten bahkan pemekaran menjadi beberapa propinsi. Pemekaran di beberapa dikatakan sebagai sebuah harga mati dari seluruh aspirasi masyarakat yang berkembang, terlepas dari isu kepentingan-kepentingan politik yang berkembang di masyarakat, karenanya pemekaran adalah sebuah cita-cita politik masyarakat. Pemekaran sebenarnya adalah wujud dari proses dinamika sosial, ekonomi, politik, budaya, kesejahteraan yang terjadi di masyarakat daerah setempat. Ini adalah cermin dari dinamika perubahan/reformasi dan pembaharuan yang dilakukan oleh semua tingkatan masyarakat kita yang berusaha untuk mendapatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, penerapan dari welfarestate dalam konsep kenegaraan Indonesia. Benarkah pemekaran daerah dapat mendekatkan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam pembangunan di Indonesia? Pembentukan daerah otonom pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pemberdayaan publik, termasuk juga pendidikan politik lokal didalamnya. Untuk itu, pembentukan daerah harus mempertimbangkan pelbagai faktor, seperti: (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah, (3) luas wilayah, (4) kependudukan, (5) pertimbangan aspek sosial-politik, (6) pertimbangan aspek sosial-budaya, serta (7) pertimbangan dan syarat lainnya, untuk dapat memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan mewujdukan tujuan dibentuknya daerah otonom Contohnya Pada tanggal 8 Desember 2006 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI melalui sidang paripurna DPR mengesahkan 16 Rancangan Undang-undang pembentukan daerah otonom baru, dari 17 wilayah yang telah disetujui pemekarannya, hanya satu daerah gagal disahkan melalui rapat paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno yakni daerah Memberano Raya (Papua). Padahal sebuah pembentukan atau pemekaran wilayah baru apakah itu kabupaten ataupun propinsi selalu berakibat pada adanya
2.
BAIK BURUK PEMEKARAN DAERAH Di beberapa daerah implementasi otonomi daerah ini telah menghasilkan best practice, seperti di Kabupaten Jembrana yang dikomandani oleh I Gede Winasa, Kabupaten Sragen yang dikomandani oleh Untung Wiyono yang sukses dengan Kantor Pelayanan Terpadu), Kabupaten Solok, Provinsi Gorontalo yang dikomandani oleh Fadel Muhammad, dengan kesuksesan yang telah diraih, akhirnya rakyat dalam Pilkada Gubernur Gorontalo yang dilaksanakan 26 November 2006 tetap memilih Gubernur yang lama yakni Fadel Muhammad dengan angka yang saat ini menjadi rekor tertinggi kemenangan secara nasional yakni sebesar 82,2 %. Walaupun sekarang ini yang bersangkutan sudah diangat menjadi menteri dalam negeri di era pemerintahan Susilo Bambang YudhoyonoBoediono sekarang ini Salah satu contoh konkret dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Menyadari banyaknya lulusan SMU di Muba yang kesulitan pendidikan ke perguruan tinggi. Pemerintah Daerah Musi Banyuasin menyediakan fasilitas kuliah gratis di Politeknik Sekayu. Pada tahun akademik 2007-2008 ini, makasiswa belajar Program Studi Akuntansi. Dan di tahun 2008-2009 tersedia Program Studi Manajemen Informatika dan Teknik Informatika. Selain di Politeknik Sekayu, warga Musi Banyuasin juga bisa studi di Akademi Perawat Muba secara Cuma-Cuma. Bahkan tidak hanya bebas studi, para mahasiswa ini juga mendapat fasilitas akomodasi (asrama) dan konsumsi, sehingga bisa fokus berkonsentrasi menyelesaikan studinya. Lain halnya dengan Pemerintah Kabupaten Jembrana guna membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan kebijakan yang diambil adalah membebas biaya sekolah untuk sekolah negeri melalui Keputusan Bupati No. 24 Tahun. 2003 dan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2006, kemudian memberikan beasiswa untuk siswa sekolah swasta Rp.7.500 SD, Rp. 12.500 SLTP, Rp. 50.000,SMA/siswa/bulan, Rp.75.000,SMK/siswa/bulan, Pemberian buku paket bagi siswa, pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi dan tidak mampu melalui Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2006, serta pengadaan bus sekolah untuk siswa. Kemudian dalam bidang kesehatan Pemerintah Kabupaten Jembrana mengeluarkan Keputusan Bupati No. 31 Tahun 2003 tentang Asuransi Kesehatan Masyarakat (JKJ) Jaminan Sosial Daerah Jembrana. Namun tidak sedikit pula implementasi otonomi daerah ini memberikan imbas negatif dari semangat otonomi daerah (bad practice), timbulnya [138]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
penambahan Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK) ataupun dalam bentuk lainnya. Bahkan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono pun pernah menyatakan statement yang intinya daerah pemekaran akan dihentikan, ini akan semakin membebani keuangan negara kita, ini harus dihentikan. Sehingga sekarang ini kebijakan Moratorium sedang dijalankan Masyarakat sepertinya berusaha untuk menarik dana yang ada di pusat untuk ditarik ke daerah dengan jalan membentuk kabupaten/kota atau propinsi baru yang mana ini akan mendapatkan dana alokasi baik DAU maupun DAK. Pemekaran pun terjadi di tanah Banten, melalui Undang-undang No 23 tahun 2000 Propinsi Banten akhirnya terbentuk setelah memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat. Dahulu semangat yang dibangun agar mendapatkan pelayanan yang lebih baik, kesejahteraan yang lebih baik. Namun setelah 11 tahun berjalan yang dapat dihasilkan masih sangat jauh dari apa yang dulu diusung atau yang diharapkan. Memang secara kalkulasi jarak pelayanan untuk sekarang lebih dekat, karena tidak perlu ke Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat, namun kita tahu bahwa gizi buruk masih terjadi dimana-mana, sarana kesehatan masih amburadul, sarana pendidikan masih banyak sekali yang hancur, gedung perkantoran masih sewa yang harganya sangat tidak rasional hingga pembangunan Kawasan Pusat Pemerintahan Propinsi Banten (KP3B) yang sampai sekarang masih juga belum selesai. Terjadi pula isu pemekaran pada tingkat kabupaten/kota di Propinsi Banten yakni pemekaran dari Kabupaten Pandeglang menjadi 2 kabupaten baru, yakni Calon Kabupaten Caringin dan Calon Kabupaten Cibaliung. Sedangkan isu pemekaran di Kabupaten Lebak menjadi Calon Kabupaten Cilangkahan (Lebak Selatan) yang telah melewati kajian akademik Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri maupun dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan predikat lulus bersyarat, serta di Kabupaten Serang saat ini telah dimekarkan dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2007 tentang pembentukan Kota Serang dimana sekarang ini Kabupaten Serang sedang mencari lokasi untuk menentukan ibu kota kabupaten. Kemudian Kabupaten Tangerang yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Tangerang Selatan. Isu-isu pemekaran ini menimbulkan pro dan kontra diantara masyarakat banyak, bahkan terkadang antara eksekutif dengan legislatif mengalami perbedaan pandangan apakah mendukung atau tidak mendukung proses pemekaran suatu daerah. Factor kepentingan jua lah yang bermain, cost and benefitlah yang cukup menentukan dalam membagi kelompok pro dan kontra, yang akan diuntungkan otomatis akan mendukung proses
pemekaran sedangkan yang dirugikan akan menolak proses pemekaran ini. Sebuah kabupaten induk akan menolak proses pemekaran apabila akibat dari pemekaran yang terjadi akan mengurangi PAD kabupaten tersebut, bahkan akan mengganggu kelangsungan pendapatan kabupaten induk. Lain halnya ketika kabupaten baru yang terbentuk dari proses pemekaran ini adalah beban bagi kabupaten induk, proses pemekaran akan didukung. Demikian pula pemekaran di level kecamatan pun banyak terjadi di berbagai wilayah, dimana seharunya memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Di Kabupaten Lebak telah terjadi beberapa pemekaran dalam level kecamatan yakni diantaranya adalah Kecamatan Cijaku dimekarkan kecamatan baru yakni Kecamatan Cigemblong, Kecamatan Malingping dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Wanasalam, Kecamatan Panggarangan dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cihara, dan Kecamatan Bayah dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cilograng. Pada level desa, jumlah desa/kelurahan di Provinsi Banten pada tahun 2008 hanya terdapat 1.504 desa/kelurahan bertambah menjadi 1.535 desa/kelurahan pada akhir tahun 2010 berarti ada penambahan sebanyak 31 desa dalam rentang 24 bulan, artinya setiap bulan lebih dari satu desa (1,29) baru terbentuk/dimekarkan. Akan lebih menjadi ironi dimana kondisi desa yang masih memprihatinkan. Perhatikan tabel berikut ini :
Dari tabel di atas nampak bahwa 45,81 persen desa/kelurahan di Provinsi Banten masih belum memiliki sarana MCK yang memadai, dalam bahasa local sering disebut dengan “dolbon”, MCK tidak dipandang sebagai perihal yang harus diperhatikan cukup dengan pergi ke kebon untuk buang hajat, bahkan untuk sebuah yang berpredikat sebagai kota, yakni Kota Serang 42,42 persen desa/kelurahan di Kota Serang masih terdapat warganya yang “dolbon”, sebuah ironi karena Kota Serang adalah Pusat Pemerintahan Provinsi Banten.
[139]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Pemekaran dipilih adalah karena untuk mempercepat kesejahteraan. Salah satu gambaran kesejahteraan adalah gambaran tingkat penderita gizi buruk yang terjadi di Provinsi Banten pada tahun 2008 adalah sebagai berikut :
Kajian pemekaran bila dilihat dalam perundang-undangan yakni Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah haruslah meliputi 8 aspek yang sangat berpengaruh dalam menentukan proses lebih jauh, yakni : 1. Kamampuan ekonomi 2. Potensi daerah 3. Luas Wilayah 4. Kependudukan 5. Pertimbangan aspek sosial politik 6. Pertimbangan aspek sosial budaya 7. Pertahanan dan keamanan 8. Pertimbangan dan syarat lainnya. Kemampuan ekonomi adalah sebuah aspek yang sangat vital dalam menentukan layak tidaknya sebuah daerah untuk dimekarkan, demikian pula untuk digabungkan, yang dalam konteks sekarang ini spirit yang ada adalah semangat pemekaran bukan pada semangat penggabungan atau dihapuskan. Indikator kemampuan ekonomi diantaranya adalah tingkat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu daerah, dan PDRB calon kabupaten pemekaran itu sendiri. Dari sini akan diketahui pendapatan per kapita penduduk suatu daerah. Indikator lain adalah pertumbuhan ekonomi yang ada. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah haruslah dikomparasikan dengan pertumbbuhan nasional tahun 2006 yang hanya 5,6%, apakah sudah menggambarkan kondisi riil indikator pertumbuhan ekonomi atau hanya hitunghitungan diatas kertas. Laju inflasi nasional tahun 2006 yang mencapai 6,6% pun harus dipergunakan sebagai pembanding. Apakah pertumbuhan ekonomi di daerah pemekaran baik itu kabupaten baru maupun kabupaten induk lebih baik atau lebih buruk dari laju pertumbuhan ekonomi nasional? Apakah laju inflasi di daerah pemekaran baik itu kabupaten baru maupun kabupaten induk lebih baik atau lebih buruk dari laju inflasi nasional? Kemudian bagaimanakah kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap PDRB total Pendapatan Asli Daerah, semakin tinggi akan semakin baik pula kinerja ekonomi yang ada. Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap kesehatan anggaran APBD akan mendorong tingkat besarnya pembangunan di daerah tersebut. Rasionya terhadap pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan dalam APBD akan sangat signifikan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan di daerah tersebut, sehingga tidak membebani keuangan negara APBN karena harus mengeluarkan Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK) setiap tahunnya yang apabila semakin banyak daerah pemekaran baik itu di tingkat kabupaten maupun propinsi akan semakin besar pula dana DAU dan DAK yang harus diberikan oleh Pemerintah Pusat, karena kenyataan
Dari tabel di atas nampak sangat jelas bahwa 63,69 persen desa di Provinsi Banten masih terdapat warga yang menderita gizi buruk, sedang khusus di Kota Serang sebagai Ibu Kota Provinsi 83,33 persen dari jumlah desa warganya masih terdapat yang menderita gizi buruk, padahal salah satu semangat ketika pembentukan Provinsi Banten Tahun 2000 maupun pembentukan Kota Serang Tahun 2007 adalah untuk meningkatkan kesejahteraan warga terlebih lagi Provinsi Banten merupakan Provinsi dengan Ibu Kota terdekat dengan Ibu Kota Negara Jakarta. Semoga pemekaran yang di terjadi di Banten, Kota Serang bukan karena alasan politis untuk dimekarkan, melainkan karena kajian akademik yang memang layak untuk dimekarkan. Nampaknya pemekaran adalah sebuah pilihan yang realistis (baca: instant) untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik, walaupun terkadang usulan pemekaran yang diajukan tidak berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Dimana pada pasal 2 disebutkan bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan, melalui : 1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat 2. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi 3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah 4. Percepatan pengelolaan daerah 5. Peningkatan keamanan dan ketertiban dan 6. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
[140]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
sekarang ini lebih dari setengah kabupaten dan propinsi di Indonesia mengandalkan dana-dana ini. Yang juga tidak kalah signifikan adalah rasio PAD terhadap PDRB. Indikator aspek potensi daerah diantaranya adalah jumlah lembaga keuangan seperti bank baik itu bank yang sifatnya bank konvensional maupun bank syarifah yang sekarang ini menjamur tumbuh di berbagai daerah. Lembaga keuangan simpan pinjam, pemberi kredit, seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Jumlah lembaga keuangan ini dibandingkan dengan jumlah per 10.000 penduduk dalam masyarakat itu. Semakin tingkat rasionya banyaknya bank dan semakin sedikit jumlah penduduk akan semakin ideal tingkat potensi daerah dalam hal aspek lembaga keuangan. Karena akan mendorong pergerakan ekonomi, dinamika masyarakat akan lebih aktif dalam kesehariannya. Tingkat ketersediaan sarana dan prasarana ekonomi yang tersedia dalam wilayah daerah tersebut, misalnya dihitung dari jumlah pasar, jumlah swalayan, jumlah komplek pertokoan per 10.000 penduduk. Semakin banyaknya pasar, swalayan dan pusat-pusat perekonomian akan semakin tinggi tingkat perputaran uang ini berarti roda ekonomi terus berjalan yang pada akhirnya akan tercapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tahun 2006 tingkat pertumbuhan ekonomi disamping ditentukan oleh program dan proyek pembangunan pemerintah juga dipengaruhi oleh faktor konsumsi yang dilakukan masyarakat. Karena tingkat serapan dana program dan proyek pembangunan terhadap pelaksanaannya pada tahun 2006 hanya mencapai kurang lebih 40%. Disinyalir ini disebabkan karena intensnya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga banyak para pejabat negara enggan untuk menjadi pimpinan proyek (pimpro) karena takut salah melangkah, sehingga akan bermasalah secara hukum dan ujung-ujungnya masuk bui. Alhasil tingkat serapan dana program dan proyek pembangunan terhadap APBN hanya kisaran 40% akibatnya pertumbuhan ekonomi hanya rendah sehingga sedikit banyak mengharapkan faktor pertumbuhan ekonomi dapat tinggi dengan mengharapkan tingkat konsumsi masyarakat. Salah satu indikator potensi daerah adalah tingkat ketersediaan sarana pendidikan baik dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai dengan tingkat perguruan tinggi (PT). Ketersediaan ini harus dibandingkan dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut, sehingga akan ditemukan angka rasio ketersediaan sarana pendidikan di wilayah tersebut. Semakin tinggi rasio yang ada akan semakin tinggi tingkat potensi daerah tersebut. Faktor sarana kesehatan di suatu wilayah akan bisa menjadi sebuah potensi bagi daerah tersebut untuk maju. Rasio jumlah fasilitas kesehatan yang ada per 10.000 penduduk akan
menggambarkan tingkat kesehatan masyarakat tersebut. Demikian pula halnya dengan rasio jumlah tenaga medis yang tersedia per 10.000 penduduk. Semakin tinggi rasio yang akan semakin tinggi potensi daerah tersebut. Faktor sarana transportasi dan komunikasi, juga akan menjadi potensi suatu daerah misalnya jumlah kendaraan roda dua, tiga, empat atau lebih. Setidakya itu akan menggambarkan tingkat mobilitas penduduk dalam kesehariannya di suatu daerah. Panjang jalan yang tersedia, apakah itu jalan kabupaten, jalan propinsi maupun jalan negara, atau bahkan jalan tol. Rasio jumlah kendaraan dengan panjang jalan yang tersedia akan menjadi indikator utama dalam hal potensi sarana transportasi. Demikian pula halnya dengan faktor komunikasi, jumlah sambungan telepon yang tersedia dan yang terpasang. Faktor lain dari potensi daerah adalah jumlah sarana obyek wisata, misalkan jumlah obyek wisata, berikut dengan tingkat hunian hotel, semakin tinggi tingkat hunian hotel maka akan semakin berpotensi, karena ini menunjukkan besarnya potensi wisata yang ada. Jumlah restoran/rumah makan yang ada sebagai salah satu pendukung obyek wisata. Di bidang ketenagakerjaan pun bisa menjadi ukuran potensi kemampuan daerah. Ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang mempunyai kompetensi dalam berbagai bidang, paling tidak untuk kebutuhan industrialisasi tersedianya buruh/tenaga kerja dengan kualifikasi yang memadai (buruh murah dalam bahasa penanam modal). Tingkat prosentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun keatas, kemudian presentase penduduk yang bekerja dalam daerah tersebut, tingkat partipasi angkatan kerja. Sedangkan dalam memenuhi kebutuhan pemerintahan indikator yang digunakan adalah rasio pegawai negeri sipil per 10.000 penduduk Aspek luas wilayah dapat diketahui dengan menggunakan indikator luas wilayah seluruhnya, rasio jumlah penduduk urban terhadap jumlah penduduk dan luas wilayah efektif yang bisa dimanfaatkan dan diberdayakan. Sedangkan aspek kependudukan indikator utamanya adalah jumlah penduduk yang ada di daerah tersebut dan prosentase laju pertumbuhan penduduk, angka kematian dan kelahiran penduduk. Aspek sosial-politik menjadi salah satu bahan kajian untuk menentukan pemekaran atau tidaknya sebuah wilayah. Aspek ini diukur dengan mengetahui tingkat partisipasi politik masyarakat yang mempunyai hal pilih dalam kegiatan-kegiatan politik seperti dalam pelaksanaan pemilihan presiden, pemilihan legislatif termasuk di dalamnya pemilihan kepala daerah baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten bahkan ke desa [141]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
sekalipun. Indikator lainnya dalah jumlah organisasi kemasyarakat yang ada di wilayah tersebut. Aspek sosial budaya di suatu daerah akan ikut mempengaruhi kondisi socio cultutal daerah tersebut, yang terwakili dari rasio tempat peribadatan yang tersedia per 10.000 penduduk untuk semua jenis agama dan kepercayaan yang ada. Jumlah institusi sosial yang bisa digambarkan melalui rasio pertunjukan seni per 10.000 penduduk dan rasio panti sosial per 10.000 penduduk misalkan jumlah panti jompo, atau jumlah rumah singgah untuk anak jalanan (anjal). Aspek sosial budaya lainnya adalah dalam hal sarana olah raga, misalkan kegiatan olah raga yang dilaksanakan dan jumlah rasio lapangan olah raga yang tersedia per 10.000 penduduk. Bahan pertimbangan dalam menentukan pemekaran sebuah kabupaten atau propinsi selanjutnya adalah aspek pertahanan dan keamanan. Ini tergambarkan pada angka kriminalitas per 10.000 penduduk, semakin tinggi tingkat kriminalitas suatu daerah akan sangat tidak mendukung iklim pembangunan. Namun permasalahan tingginya tingkat kriminalitas di suatu daerah juga sangat tergantung dengan rasio jumlah polisi dalam wilayah tersebut. Berapa rasio ideal untuk satu orang polisi dengan jumlah masyarakat yang harus dilayani? Demikian pula halnya dengan tentara yang tergambarkan dengan jumlah koramil, korem atau kodim atau bahkan kodam sekalipun. Kemudian adalah perbandingan jumlah sistem keamanan keliling (siskamling) yang aktif dalam wilayah tersebut dengan jumlah penduduk yang ada. Aspek selanjutnya adalah pertimbangan dan syarat lainnya yang dalam hal ini bisa diwakili mengenai aspek ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan. Sebuah calon kabupaten pemekaran haruslah mempunyai gedung persiapan guna mengantisipasi proses transisi pemerintahan baru. Ini dapat dihitung dengan mengetahui rasio gedung yang ada terhadap kebutuhan minimal gedung pemerintahan. Selain kebutuhan gedung adalah rasio lahan yang ada terhadap kebutuhan minimal gedung pemerintahan. Sehingga pada akhirnya apabila pemekaran adalah opsi yang dipilih proses transisi pemerintahan tidak mengalami stagnan yang mengakibatkan proses pelayanan publik terganggu, padahal faktor pelayanan publik inilah yang menjadi semangat awal gagasan pemekaran. Pertimbangan lainnya adalah rata-rata jarak kecamatan ke pusat pemerintahan (dalam hal ini ibukota kabupaten induk), dengan pemekaran setidaknya akan memotong jarak yang ada, sehingga dapat mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sebagai contohnya di Kabupaten Lebak, titik terjauh yang harus ditempuh masyarakat untuk dapat mencapai Ibukota Kabupaten Lebak yakni Kota Rangkasbitung mencapai jarak 185 km. demikian pula rata-rata lama waktu perjalanan yang
dibutuhkan untuk mencapai ibukota kabupaten. Kedua hal ini akan mempengaruhi rentang kendali dalam menjalankan proses pemerintahan. Kedelapan item ini harus dikaji secara objektif, rasional, empiris dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Pengkajian pemekaran sebuah daerah haruslah dilakukan secara objektif tanpa didorong oleh faktor-faktor yang mengatasnamakan rakyat padahal hanya cerminan dari kelompok elit yang terpinggirkan sehingga ingin memisahkan diri. Riset yang dilakukan pun haruslah obyektik, hasil riset bukanlah pesanan sekelompok orang tertentu yang akan dirugikan atau diuntungkan dengan adanya pemekaran, oleh karena harus tetap dilakukan dengan kaidah-kaidah ilmiah dari sebuah penelitian. Aspek rasionalitasnya jangan sampai sebuah calon kabupaten baru yang akan dibentuk setelah dikaji memang “tidak mampu” tetap memaksakan diri untuk menjadi kabupaten baru, yang terjadi justru hanya akan membenani keuangan negara. Pemekaran yang terjadi tingkat kecamatan, tingkat kabupaten bahkan tingkat propinsi yang marak terjadi setelah era reformasi ini menimbulkan kekawatiran, karena isu yang digunakan dan selalu muncul dalam pemekaran adalah isu kedaerahan, egosentrisme, kesukuan sehingga yang muncul adalah semangat menonjolkan kelokalan atau primordialisme. Termasuk dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah isu kedaerahan ini selalu dikait-kaitkan dalam upaya mencari dukungan suara. Ini adalah bibit-bibit perpecahan yang apabila dibiarkan lebih luas akan sangat mengganggu kelangsungkan entitas Negara Indonesia. Nampaknya pemerintah mengambil sikap bahwa pemekaran wilayah adalah instrumen yang bisa digunakan untuk memeratakan pembangunan, ini dapat dilihat dari isi PP 129 tahun 2000, karena dalam PP itu berjudul tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah namun pada kenyataan isinya hanya mengatur tentang pemekaran wilayah, artinya insturmen-instrumen pemekaran wilayah sudah diatur, namun isu tentang penggabungan wilayah sama sekali belum diatur. Pada pertengahan Desember 2007 ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 mengatur hal yang sama, walaupun sebenarnya ini sudah cukup terlambat mengingat acuan dari Peraturan Pemerintah ini adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Karena memang Peraturan Pemerintah 129 Tahun 2000 mengacu pada Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, sehingga memang Peraturan Pemerintah ini secara yuridis patut dipertanyakan. Sehingga dewasa ini ketika Undangundang 32 Tahun 2004 sedang atau akan direvisi
[142]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
maka hendaknya adalah pilihan yang tepat untuk mengambill langkah moratorium sekarang ini. Apapun itu, yang jelas dengan adanya pemekaran wilayah ini akan semakin membebani keuangan negara, nemun jangan sampai semangat pemekaran adalah semangat post power sindrom dari para elit lokal yang tidak kebagian jatah kue pembangunan di daerah, sehingga berniat membentuk daerah otonom sendiri, jadi pemekaran wilayah bukan untuk kepentingan sekelompok elit namun adalah demi rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam konteks keluarnya Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 sekarang ini, semua daerah yang mengajukan untuk dimekarkan baik itu menjadi kabupaten/kota ataupun propinsi harus menyesuaikan kembali dengan peraturan perundangundangan yang terbaru ini, termasuk dalam memenuhi segala persyaratan dalam Peraturan Pemerintah tersebut, seperti Calon Kabupaten Cibaliung, Calon Kabupaten Caringan dan Calon Kabupaten Cilangkahan.
percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan pemberdayaan masyarakat, percepatan pembangunan sarana dan prasarana sosial, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi lokal, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan yang harmonis antara Pusat dan Daerah, bukan diadakan pemekaran karena faktor kedaerahan, egosentrisme, kesukuan, primordialisme dan semacamnya yang mana itu merupakan bibit-bibit disintegrasi bangsa sehingga tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dengan kata lain pemekaran daerah ketika menjadi pilihan kebijakan karena memang telah diketahui akar masalahnya, Karena seringkali kita bukannya tidak mampu untuk membuat kebijakan atas masalah yang benar, namun seringkali kita tidak mampu untuk merumuskan masalah dengan benar. Daftar Pustaka Anderson, James E. 1994. Public Policy Making: An Introduction. New York: Holt, Rinehart and Winston.
3.
PENUTUP Semangat pemekaran ini apabila ditarik lebih luas cakupannya mungkin akan terjadi pemekaran dalam level nasional, yang dalam hal ini adalah entitas sebuah negara, maka ini adalah pemekaran menjadi beberapa negara. Di awal reformasi kita pernah mendengar isu yang dilontarkan oleh Prof. Dr. HM Amien Rais, tentang isu negara federal, yang terdiri dari negara-negara bagian, yang tentu saja pada saat itu banyak menimbulkan pro dan kontra, walaupun sepertinya kita sudah memasuki ideological federalism. Ataukah pemekaran adalah sebuah jawaban atas ketakutan akan (menjadi) negara federal, ketakutan akan disintegreasi bangsa? Oleh karena itu pemekaran yang terjadi haruslah tetap dalam bingkai pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat yang dilakukan secara terus menerus sejak dari proses pemekarannya sampai dengan setelah pemekaran pun tetap harus ada pengawasan secara holistik. Dan bila dirasakan perlu bukanlah hal yang tabu untuk diambil kebijakan penggabungan daerah otonom oleh Pemerintah Pusat. Karena otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan, dan bila hak otonom itu diberikan tidak bisa digunakan, tidak digunakan sebagaimana mestinya dan daerah otonom dirasakan tidak mampu mengelola daerahnya, maka hak otonom yang diberikan tadi hendaknya dicabut oleh Pemerintah Pusat. Oleh karenanya pemekaran yang dilakukan adalah benar-benar bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, meningkatkan pelayanan publik, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian,
Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lebak. 2006. Profil Daerah dan Peluang Investasi. Lebak: BAPPEDA Lebak
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2010. Banten Dalam Angka 2010. Banten: BPS Banten ISBN : 978-979-1426-31-2 Bardach, Eugene. 1977. The Implementation Game. Cambridge, Mass.: MIT Press. Center of Law and Good Governance Studies Tim Kajian Rencana Pembentukan Kabupaten Caringin. 2004. Laporan IIIlmiah Tentang Rencana Pembentukan Kabupaten Caringin. Depok: Fakultas Hukum UI DPRD Provinsi Banten, 2008. Potret Kinerja Pembangunan Di Banten Tahun 2008 Dalam Bentuk Angka Statistik Dye, Thomas R. 1995. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall. Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan Dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 Tentang Penggaraan Desentralisasi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Persyaratan Pembentukan Dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah [143]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Suharso, Babar. 2010. Banten Yang Ideal Di Era Otonomi Daerah, Bappeda Provinsi Banten Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Winasa, I Gede. 2010. Inovasi Pembangunan Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat Di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali Identitas Penulis Kandung Sapto Nugroho, Lahir di Kulonprogo, Yogyakarta; menempuh Program Sarjana Ilmu Administrasi Negara di FISIP UNSOED Purwokerto; selanjutnya menempuh Magister Ilmu Administrasi Publik di almamater yang sama. Aktif sebagai peneliti di Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta. Saat ini menjadi ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta Serang Banten.
[144]