BAB I STRATEGI ELIT LOKAL MEMBANGUN WACANA PEMEKARAN (Studi Kasus Wacana Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya) A. Latar Belakang Desentralisasi, Otonomi dan Pemekaran Wilayah merupakan jalan yang telah ditempuh Indonesia untuk mewujudkan demokrasi pasca bangkrutnya kekuatan sentralistik Orde Baru. Proses semacam ini merupakan kecenderungan yang tak terhindarkan dari demokrasi politik yang menghendaki adanya perluasan partisipasi dan pemberian otonomi bagi warga daerah. Tentu kondisi ini membawa dampak positif dan negatif bagi kondisi bangsa Indonesia baik secara sosial, ekonomi dan politik. Secara politik misalkan, keberadaan desentralisasi telah membawa warga daerah kepada proses demokrasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan pada masa Orde Baru. Saat ini lewat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) warga daerah bisa ikut berpartisipasi dan menentukan sendiri siapa saja yang layak memimpin daerahnya.
Secara
ekonomi, banyaknya Transfer dana pusat (APBN) dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus ke daerah harusnya semakin meningkatkan ekonomi daerah. Tetapi sampai saat ini masih banyak Daerah Otonom Baru (DOB) yang belum bisa memaksimalkan dana transfer dari pusat ini untuk kesejahteraan daerahnya. Tujuan Pemekaran daerah secara normatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah -yang diatur lebih lanjut lewat Peraturan pemerintah dengan PP Nomor 78 Tahun 2007- pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Hasil evaluasi dan monitoring pada tahun 2012 Daerah Otonom Baru (DOB) yang dilaksanakan oleh Kementrian Dalam Negeri menunjukan ternyata, 65% daerah
1
tersebut gagal meningkatkan pelayanan pada masyarakat.1 Data ini menunjukan secara empirik bahwa Pemekaran wilayah tidak secara otomatis memberikan kesejahteraan bagi warga daerah seperti yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan dan Desentralisasi. Hasil riset dari Demos2 memperlihatkan ada penyalahgunaan, yaitu desentralisasi dan pemilihan umum telah memungkinkan sebagianelit Indonesia untuk melakukan mobilisasi dukungan rakyat. Akantetapi tentu saja para elit seringkali memobilisasi dukungan itu denganmemanfaatkan jaringan klientilistik mereka, menggunakan kontrolmereka atas sumberdaya serta membangun aliansi dengan kelompok bisnis dan pemimpin-pemimpin komunal. Kepentingan kelompok elit semacam itu dalam pemilihan umum menjadi basis terpenting d dalam demokrasi yang berjalan saat ini dan sekaligus menjadi kelemahannya. Tanpa dukungan elit, demokrasi Indonesia tak akan dapat bertahan.Namun dengan dukungan elit yang berkuasa, demokrasi Indonesia akan menjadi domain bagi para politisi busuk yang memperkaya diri melalui korupsi.3 Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam proses pemekaran elitlah yang paling dominan karena elit memiliki banyak sumber daya untuk meloloskan tujuan tersebut. Cerita sukses pemekaran cenderung kurang bila dibandingkan dengan realita yang terjadi saat ini. Beberapa contoh permasalahan tersebut, misalnya terjadi peningkatan tindak kekerasan, menurunnya jumlah penduduk dan PAD secara
1
http://www.depdagri.go.id/news/2012/04/23/peluang-pemekaran-daerah-masih-terbuka diakses tanggal 6 -10- 2012. 2 Törnquist Olle.Demokrasi diatas pasir : Kemajuan dan Kemunduran Demokrasasi diIndonesia, diterjemahkan oleh Debbie Prabawati DKK(Yogyakarta : PCD Prees dan Demos2009) ha.l 22. 3 Ibid, hal 22
2
drastis, menyempitnya luas wilayah dan beban daerah induk, perebutan wilayah dan masalah ibukota pemekaran dan perebutan aset.4 Fenomena Pemekaran telah menimbulkan sikap pro dan kontra diberbagai kalangan politisi, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah dan diantara para pakar. Mereka memperdebatkan manfaat ataupun kerugian yang timbul dari banyaknya wilayah yang dimekarkan. Berbagai pandangan dan opini disampaikan untuk mendukung sikap masing-masing pihak. Pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri.5 Lebih lanjut dikatakan bahwa, karena adanya tuntutan untuk menunjukkan kemampuan menggali potensi wilayah, maka banyak daerah menetapkan berbagai pungutan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Lebih jauh lagi timbul pula tuduhan bahwa pemekaran wilayah merupakan bisnis kelompok elit didaerah yang sekedar menginginkan jabatan dan posisi. Euforia demokrasi dan partai partai politik yang memang terus tumbuh, dimanfaatkan kelompok elit ini untuk menyuarakan aspirasinya mendorong terjadinya pemekaran. Melihat kondisi Otonomi Daerah diIndonesia saat ini yang memiliki begitu banyak kekurangan masih ada elit yang masih berupaya untuk memekarkan wilayahnya dengan alasan normatif yaitu “Demi Kesejahteraan Rakyat”. Pada tahun 2012 saja usulan pemekaran wilayah baik itu Provinsi maupun Kabupaten/Kota berjumah 19 usulan. Walaupun sudah berjalan kurang lebih 13 tahun (sejak tahun 1999) 4
Tri Tarnawati, Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi (Yogyakarta, Pustaka Pelajar 2009) hlm. 16 5 Fitria Fitriani, Bert Hofman, Kai Kaiser “Unity in Diversity? The Creation of NoewLocal Governments in A Decentralising Indonesia” dalam jurnal Bulletin of Indonesia Economic Studies Vol.41 No. 1, 2005, hlm.76
3
pemekaran wilayah masih menjadi perdebatan politik yang masih menghangat baik ditingkat nasional terlebih ditingkat lokal. Studi-studi sebelumnya mengungkapkan wacana pemekaran muncul kepermukaan yang juga menjadi alasan utama mengapa sebuah daerah ingin untuk melakukan pemekaran daerah, yaitu: 6 1. Kebutuhan untuk pemerataan ekonomi daerah Menurut data IRDA (Indonesia Rapid Desentralization Appriasal), kebutuhan untuk pemerataan ekonomi menjadi alasan paling poluler digunakan untuk memekarkan suatu daerah. Misalnya kasus pemekaran Minahasa Utara diSulawesi Utara. 2. Kondisi geografis yang terlalu luas. Banyak kasus diIndonesia, proses Delivery pelayanan publik tidak pernah terlaksana dengan optimal karena infrastruktur yang tidak memadai. Akibatnya luas wilayah yang sangat luas membuat pengelolaan pemerintahan dan pelayanan publik tidak efektif seperti kasus pemekaran kabupaten Bone Bolango diProvinsi Gorontalo. 3. Perbedaan basis identitas Alasan perbedaan identitas (etnis, asal muasal keturunan) juga muncul menjadi salah satu alasan pemekaran. Tuntutan pemekaran muncul karena biasanya masyarakat yang berdomisili didaerah pemekaran merasa sebagai komunitas budaya tersendiri yang berbeda dengan komunitas induk. Ini terlihat dalam kasus pembentukan Kabupaten Solok Selatan diSumatera Barat, Kabupaten Wakatobi diSulawesi Tenggara dan Pembentukan Kabupaten Pakpak Bharat diSumatera Utara.
6
Pratikno dan Hasrul Hanif, “Kerangka Pikir Kebeijakan Pemekaran”, dalam Perjuangan Menuju Puncak: Kajian Akademik Rancana pembentukan Kabupaten Puncak Pemekaran Kabupaten Puncak Jaya Provinsi Papua (Program Pascasarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada)hlm. 4-5
4
4. Kegagalan Pengelolaan Konflik Komunal. Kekacauan politik yang tidak bisa diselesaikan seringkali menimbulkan tuntutan adanya pemisahan daerah seperti pada kasus usulan pembentukan Sumbawa Barat diNusa Tenggara Barat dan Wacana pembentukan Provinsi Sulawesi Timur dan sebagainya. Beberapa referensi juga menunjukan bahwa pemekaran sering juga berhubungan dengan kepentingan elit. Beberapa penyebab dari kuatnya hasrat elit dan warga daerah untuk memekaran wilayahnya, Fitria Fitriani, Bert Hofman dan Kai Kaiser menyimpulkan ada empat faktor utama pendorong dari pemekaran, yaitu:7 1. Motif untuk efektifitas/efisiensi administrasi pemerintahan mengingat wilayah daerahyang
begitu
luas,
penduduk
yang
menyebar
dan
ketertinggalan
pembangunan; 2. Kecenderungan homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban-rural, tingkat pendapatan dan lain-lain); 3. Adanya kemanjaan fiskal yang dijamin oleh undang-undang (disediakanya DAU, DAK, bagi hasil sumber daya alam serta sumber-sumber pendapatan asli daerahPAD); dan 4. Motif Pemburu Rente (buereaucratic and political rent-seeking). Dampak negatif dari jalan desentralisasi diantaranya adalah terbukanya konflik (baik Horisontal dan Vertikal) antara elit yang berkepentingan dengan pemekaran tersebut serta terciptanya ruang kekuasaan baru didaerah yang disalahgunakan oleh para elit lokal. Sudah banyak contoh bagaimana Kepala Daerah menjadi ‘Raja’ didaerah. Mereka menciptakan program-program baik secara langsung dan tidak langsung menguntungkan elit lokal itu sendiri ataupun kelompoknya. 7
Fitria Fitriani, Bert Hofman, Kai Kaiser “Unity in Diversity? The Creation of NoewLocal Governments in A Decentralising Indonesia” dalam jurnal Bulletin of Indonesia Economic Studies Vol.41 No. 1, 2005, hlm.57.59
5
Pemetaan makna Politik pemekaran Daerah diIndonesia pasca orde baru yang dilakukan oleh Syafarudin tahun 2009 menyebutkan, Pemekaran daerah dapat dikategorikan dalam empat kuadran besar, yaitu:8Pertama, Pemekaran daerah bermakna substantif dan pekat pengaruh atau keinginan pusat. Misalkan, pemekaran daerah dipandang sebagai politik integritas, politik nasionalime dll. Kedua, pemekaran daerah bermakna substantif dan pekat pengaruh atau keinginan daerah. Misalkan pemekaran daerah dipandang sebagai politik percepatan pembangunan, mengatasi rentang kendali, mensejahterakan masyarakat dll. Ketiga, pemekaran daerah bermakna bias/dissubstantif dan pekat pengaruh atau keinginan daerah, semisal pemekaran daerah dipandang sebagai arena kontestasi elit lokal, politik indentitas lokal, politik etnis, politik uang dll. Kempat, pemekaran daerah bermakna bias/dissubstantif dan pekat pengaruh atau keinginan pusat. Misalkan pemekaran daerah dipandang sebagai politik parpol pusat untuk memenangkan pemilu, politik uang dan lain sebagainya. Kemudian dalam hasil riset ini makna pemekaran daerah secara garis besar adalah (a) politik percepatan pembangunan; (b) politik identitas etnis/agama; dan (c) politik kontestasi elite lokal. Sedangkan makna politik yang minor mengenai pemekaran adalah (a) politik integrasi; (b) politik uang; dan (c) politik partai memenangkan pemilu. Politik percepatan pembangunan erat kaitanya dengan upaya pemerintah Pusat dan Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lewat pemekaran. Dengan dimekarkan suatu wilayah diharapkan bisa membuka peluang masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Politik model ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2007. Upaya
8
Syafarudin, “pemetaan makna politik pemekaran daerah diIndonesia Pasca Ordebaru” (hasil riset disampaikan pada seminar dan prosiding dies natalis Unila ke 44 tanggal 5 oktober 2009)
6
pemekaran daerah yang bersifat normatif ini terjadi dibeberapa daerah seperti kasus-kasus pemekaran diProvinsi Kalimantan Barat.9 Politik indentitas etnis dan agama juga menjadikan pemekaran marak terjadi di Indonesia seperti kasus pemekaran Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat yang merasa identitas meraka berbeda (to sallang, orang Islam dan to sarani orang kristen) sehingga hasrat untuk berpisah dengan kabupaten induk semakin kuat. Begitu juga dengan perbedaan basis identitas etnis seringkali menjadialasan untuk memekarkan diri, seperti kasus pemekaran Kabupaten Wakatobi, Buton Utara, Buton, Manggarai Barat dan lain-lain. Elit yang menjadi motor penggerak utama pemekaran seringkali juga menjadikan pemekaran sebagai arena kontestasi dan perebutan kekuasaan. Dengan adanya pemekaran, ruang kekuasaan baru akan terbuka. Semisal, jika ada wilayah mereka dimekaran secara otomatis akan ada posisi-posisi Politik dan Birokrasi strategis (Kepala Daerah Baru, Anggota DPRD yang baru sampai dengan Kepala Dinas yang baru). Untuk contoh kasus seperti ini terjadi secara umum diIndonesia secara.10 Hal ini mengindikasikan bahwa elitlah yang paling mungkin dan paling berkentingan dalam Pemekaran daerah. Salah satu daerah yang mewacanakan pemekaran wilayah dan ingin berpisah dengan dari Provinsi induknya (Sulawesi Utara) adalah Kab. Bolaang Mongondow, Kab. Bolaang Mongondow Utara, Kota Kotamobagu, Kab. Bolaang Mongondow Selatan dan Kab. Bolaang Mongondow Timur. Ada berbagai hal yang mungkin bisa menjadikan elit Mongondow semakin gencar dalam mewacanakan pemekaran daerah, diantaranya adalah menguatnya isu Identitas dan Agama diSulawesi Utara 9
Syafarudin “pemetaan makna politik pemekaran daerah diIndonesia Pasca Ordebaru” (hasil riset disampaikan pada seminar dan prosiding dies natalis Unila ke 44 tanggal 5 oktober 2009) 10 Riwanto Tirto Sudarmo dalam Syafarudin “pemetaan makna politik pemekaran daerah diIndonesia Pasca Ordebaru” (hasil riset disampaikan pada seminar dan prosiding dies natalis Unila ke 44 tanggal 5 oktober 2009)
7
saat ini, dimana warga Boalaang Mongondow yang sebagian besar beragama Islam menjadi kelas minoritas dalam peta kekuasaan Sulawesi Utara.11 Sebelumnya Gorontalo yang mayoritas penduduknya beragama Islam dengan presentasi 90%, menjadi penyeimbang bagi kekuatan kristen dibidang politik, birokrasi dan politik. sehingga ketika Gorontalo talah menjadi Provinsi pada tahun 2002 otomatis Islam menjadi kekuatan minor yang direpresentasikan oleh mayoritas penduduk Bolaang Mongondow.12 Elit lokal bisa dikatakan sukses memekarkan Bolmong menjadi beberapa kabupaten dan kota dalam waktu yang singkat. Pada tahun 2007 Elit menjadikan dua daerah baru yaitu Kota Kotamobagu dan Bolaang Mongondow Utara. Selanjutnya pada tahun 2008 Elit Bolmong kembali ‘sukses’ dengan lahirnya dua otonom baru yaitu Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel). Untuk kasus pemekaran Kabupaten dan kota ini, elit menggunakan wacana yang berbeda dengan rencana pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya dimana basis identitas yang homogen tidak menjadi wacana utama tetapi lebih kepada wacana pelayan publik, mengejar DAU dan DAK, bisa menciptakan lapangan pekerjaan formal dan wacana kesejahteraan. Wacana pembentukan daerah otonom baru berupa Provinsi Bolaang Mongondow Raya nampaknya mendapatkan dukungan yang cukup besar dari lapisan masyarakat yang ada diBMR. Masyarakat sangat antusias dengan wacana pemekaran ini. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya warga BMR memperbincangakan serta memperdebatkan pembentukan Provinsi BMR dibeberapa kesempatan seperti, dialog terbuka sampai dengan diskusi nonformal dan dibeberapa media online sampai dengan koran lokal. Isi dari dialog-dialog tersebut menyatakan dukungan terhadap pembentukan Provinsi BMR. 11
Data pra-tesis Agustus-September 2013 Tri Ratnawati, Potret Pemerintahan Lokal diIndonesia diMasa Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). Hal 250. 12
8
Kebanyakan wacana yang beredar ditengah-tengah masyarakat BMR adalah wacana yang menghadirkan sisi positif dari sebuah pemekaran, seperti dengan adanya pemekaran maka akses pelayanan publik akan semakin baik dan wacana akan bertambahnya dana dari pusat ketika Provinsi BMR terbentuk. Sementara itu sisi negatif dari pemekaran kurang mendapatkan tempat dan ruang dalam perdebatan warga BMR, seperti wacana ketika ada daerah baru maka akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan, konflik antar elit, korupsi dan lain sebagainya. Selama ini penelitian tentang pemekaran daerah masih berputar pada motif pemekaran, konflik dan kontestasi elit lokal, studi kelayakan pemekaran, evaluasi pemekaran daerah, pro dan kontra pemekaran, politik identitas dan lain sebagainya. Sementara untuk studi tentang bagimana wacana pemekaran bekerja masih relatif kurang sehingga penting untuk penulis mengkaji dan mendalami wacana pemekaran untuk menambah warna dan khasanah studi-studi tentang politik lokal diera otonomi daerah saat ini. Untuk itu, Wacana Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow bisa menjadi salah satu contoh kasus untuk membahas dan mendalami bagaimana wacana pemekaran bekerja. B. Rumusan Masalah Dari penjelasan latar belakang diatas dapat ditegaskan bahwa rumusan masalah kajian ini adalah: “Bagaimana
strategi (cara) elit
di
Bolaang
Mongondow
Raya
dalam
mengkonsolidasikan wacana Pemekaran Provinsi BMR?” Dari rumusan masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan pertanyaan turunan sebagai berikut: 1. Apa sesungguhnya wacana utama yang dibangun oleh elit dalam konteks pemekaran di Bolaang Mongondow Raya? 2. Apa-apa saja strategi Elit dalam membangun wacana tersebut?
9
C. Tujuan Penelitian Berangkat dari rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Melacak wacana dominan dari rencana pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya. 2. Untuk mengetahui cara elit memainkan wacana pemekaran. 3. Melihat cara elit membangun wacana dengan menggunakan modal yang ada pada dirinya. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini secara umum mempunyai manfaat untuk menjelaskan fenomena maraknya pemekaran daerah serta lewat penelitian ini bisa diketahui bagaimana cara kerja kuasa dalam membangun wacana pemekaran. Walaupun Desentralisasi sudah berjalan lebih dari 12 tahun tetapi keinginan untuk berpisah dari daerah induk masih sangat kuat sehingga perlu untuk mengungkap makna wacana kesejahteraan bisa terwujud dengan cara pemekaran, sehingga ‘hasrat’ untuk memekarkan daerah agar sejahtera berkurang. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan akademik bagi perkembangan studi ilmu politik khusunya studi tentang elit yang sedang berkuasa dimasa desentralisasi dan dapat digunakan sebagai referensi tambahan dalam melihat kondisi politik lokal (mencakup didalamnya elit dan desentralisasi) diIndonesia. E. Kerangka Teoritik Sebelum membingkai dan mengkerangkai penelitian ini ada beberapa hal yang perlu dipertegas dan diclearkan dalam kerangka teori ini. Pertama adalah wacana dalam penelitian ini dilihat sebagai sesuatu yang berefek kuasa, tidak dilihat sebagai serangkaian teks atau kata-kata semata. Artinya tulisan ini melihat wacana lebih luas. Kedua, kuasa yang dimasksud dalam penelitian ini adalah kuasa yang bersifat makro dan beroperasi pada level masayarakat bukan individu. Ketiga, cerita pertarungan wacana (antara pro dan kontra pemekaran) akan sangat sedikit ditampilkan karena saat ini telah ada wacana dominan yang muncul yaitu 10
mendukung pemekaran, sehingga yang akan dibicarakan dalam kerangka teori ini adalah bagaimana cara elit bisa menguasai warga BMR dengan cara berwacana. Untuk itu penulis akan menggunakan teori wacana Foucault, sedikit konsep hegemoni Gramsci, modal sosial Bourdieu dan juga teori analisis wacana kritis (Discourse Analysis) Van Dijk yang mengedepankan fungsi media yang begitu strategis dalam membentuk dan membangun sebuah wacana. Secara History, kajian wacana pada awalnya hanya berkutat diseputar Bahasa atau teks. Wacana sering dilhat hanya sebagai rangkaian teks yang memiliki arti, sedangkan konteks diabaikan pada waktu itu, sehingga kajian wacana menjadi sangat ekslusif dan sulit berkembang. Baru pada tahun 1952, seorang linguis kenamaan bernama Zellig S. Harris menyatakan ketidakpuasanya terhadap ‘tata bahasa kalimat’ tersebut. Menurutnya, masih banyak persoalan kebahasaan yang tidak tersentuh oleh pisau bedah yang bernama’gramatika kalimat’ itu.13 Maka sejak itu mulailah kajian wacana masuk keranah disiplin ilmu yang lain, seperti ilmu politik yang memfokuskan pada kuasa. Salah satu tokoh penting wacana dibidang politik adalah Van Dijk (1952). Tujuan dari analisis wacana tidak lain adalah untuk mengetahui wacana yang berkembang dimasyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan. Suatu wacana tidak lahir dengan begitu saja tanpa ada latar belakang dan sebab yang jelas. Kasus wacana pemekaran dan pembentukan daerah otonomi baru, bisa saja lahir dari perdebatan panjang yang melibatkan pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan dan pengalaman kegagalan orde baru dalam mengelola negara telah membawa wacana dan praktek membagi kekuasaan sampai kepada tingkatan terkecil dalam struktur kekuasaan negara.14 Dari mana kita bisa memastikan ketika 13
Mulyana, Kajian wacana: Teori, Prakte dan aplikasi prinsip-prinsip Analisis WAcana (Yogyakarta, Tiara wacana, 2005). Hal. 67 14 Kita bisa melihat dimana Desa saat ini memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menjalankan fungsinya. Berbeda ketika masa orde baru.
11
kekuasaan dibagi maka negara akan sejahtera, damai, aman dan sentosa? Tentu dari pengalaman dan pengetahuan yang terbangun selama ini bukan. 1. Wacana, Elit dan Kekuasaan Sebelum memahami strategi elit perlu dijelaskan sedikit tentang konsep elit. Elit adalah seseorang atau sekelompok orang yang memiki kelebihan dalam berbagai aspek kehidupan yang berada ditengah masyarakat. Elit bisa begitu berkuasa karena memiliki sumberdaya berupa kekayaan, kehormatan, pengetahuan dan lain-lain. Menurut Suzanne Keller elit berasal dari kata “eligere” yang berarti memilih. Dalam pemakaian biasa kata tersebut bermakna “bagian yang menjadi pilihan” atau “bunga” suatu bangsa, budaya, kelompok usia dan juga orang-orang yang menduduki posisi sosial yang lebih tinggi.15 Mereka yang memiliki pertimbangan, keputusan-keputusan, dan tindakan-tindakanya mempunyai akibat-akibat penting dan menguntungkan kebanyakan anggota-anggota masyarakat. Kita sebut kelompok ini sebagai kelompok elit penentu.16 Jika dilihat dari proses lahirnya elit, terdapat dua persepektif. Pertama adalah perspektif pertama melihat elit lahir karena proses yang alami dan kedua adalah kelompok elit yang lahir dari kompleksitas organisasi sosial, atau elit yang mendapatkan ‘gelar’ elit dari konsensus seperti pemilu. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa elit adalah sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kemampuan, kelebihan dan sumberdaya dalam segela aspek kehidupan masyarakat. Dalam konteks kajian tesis ini, penulis menempatkan wacana (discourse) sebagai praktik, dan perjuangan kewacanaan (discursive struggle). Wacana tidak dipahami 15
Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan elit penentu dalam masyarakat modern (Jakarta, Rajawali Perss, 1984). Hal. 4 16 Ibid, hal 8.
12
sebagai serangkian kata atau preposisi teks, tetapi adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (gagasan, konsep atau praktik). Oleh karena itu wacana adalah siapa yang memproduksi wacana dan apa efek yang muncul dari produksi wacana tersebut. Dengan kata lain setiap produksi wacana selalu ada efek yang terpinggirkan. Sehingga wacana berkaitan dengan “kuasa” (power). Bagi Foucault, kekuasaan selalu terartikulasi lewat pengetahuan dan pengetahuan selalu memiliki efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, menurut Foucault selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaanya. Lebih lanjut, hubungan kita dengan realitas diatur melalui berbagai wacana yang menentukan bagaimana seharusnya dan sebaiknya kita bertindak, membentuk kepercayaan-kepercayaan, konsep dan ide-ide yang kita anut. Melalui wacana, individu bukan hanya didefinisikan tetapi juga dibentuk, dikontrol dan didisiplinkan.17 Foucault juga menyatakan bahwa wacana adalah alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan pengetahuan.Kekuasaan dalam masyarakat modern, tidak berkerja secara terang-terangan dengan adanya raja yang memerintah atau adanya otoritas individual yang berkuasa dan mengatur kehidupan seseorang. Kekuasaan justru bekerja dengan sangat smooth, tanpa terlihat, tanpa disadari dengan praktek pendisiplinan tubuh.18 Lebih lanjut Foucault menyebutkan ciri utama dari wacana ialah kemampuanya untuk menjadikan suatu himpunan wacana yang berfungsi untuk membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajian mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan, Foucault menunjukan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit dan salah bukanlah konsep yang abstrak yang datang begitu saja dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh
17
Eriyanto, analisis wacana: pengantar analisis teks media (Yogyakarta: LkiS 2001) hlm. 72 Ibid. hlm. 70
18
13
wacana-wacana yang berkaitan dengan bidang-bidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran serta ilmu pengetahuan pada umumnya.19 Menurut Foucault pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif.20Praktik diskursif tersebut berlangsung melalui proses normalisasi, yakni melalui teknik pendisiplinan dan surveillances. Melalui normalisasi inilah kekuasaan bekerja, yang artinya pendisiplinan merupakan bentuk baru kekuasaan. Tujuannya, ingin membentuk docile body (tubuh yang patuh).21 Seperti wacana pemekaran untuk kesejahteraan merupakan wacana yang dibentuk dan dilestarikan untuk suatu kepentingan yaitu kuasa. Ini artinya masyarakat tidak lagi dikontrol atau dikuasai oleh penguasa dengan cara kekerasan dan pemaksaan, tetapi dengan cara mewacanakan suatu ide, mekanisme, aturan dan lain sebagainya. Kontrol seperti yang telah dijelaskan oleh Foucault tidak lagi bersifat fisik, tetapi bersifat lebih halus lewat proses yang disebut dengan pendisplinan diri untuk membentuk tubuh yang patuh.22 Bentuk konkritnya adalah elit yang menguasai berbagai sumberdaya (semisal sumberdaya ekonomi dan pengetahuan) sengaja membentuk wacana pemekaran lewat media. Selain konsep wacana, penelitian ini juga akan meminjam konsep Hegemoni Antonio Gramsci. Dimana hegemoni menurut Gramsci bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan Ideologi. Konsep hegemoni dalam penelitian ini untuk melihat bagaimana elit bisa begitu berkuasa dalam wacana-wacana yang diproduksinya dan memaksa publik secara halus. 19
Ibid. hlm. 76 Ibid. Hal 76 21 Longgina N. Bayo, Kuasa Adat Atas Gereja dan Negara diAdonara, Tesis. 2010. Hal. 13 22 Michael Foucault, Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern, Penyadur Petrus Sanu Hardinyanta (Yogyakarta: LKiS 1997) 20
14
Kuasa disini tidak bekerja melalui penindasan dan represif, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi.23 Artinya jika ingin berkuasa, wacana bisa digunakan oleh pemangku kepentingan dengan tidak harus menggunakan sumber kekerasan dan lain sebagainya untuk memuluskan ataupun mewujudkan keinginanya. 2. Strategi Elit melalui Konstruksi Wacana Untuk dapat berkuasa lewat wacana dibutuhkan upaya untuk membangun dan melestarikan suatu wacana agar menjadi wacana dominan. Dalam membangun wacana pemekaran, elit menggunakan sumberdaya atau kapital. Gagasan sentral modal sosial adalah bahwa jaringan sosial merupakan aset yang sangat bernilai. Jaringan memberikan dasar bagi kohesi sosial karena mendorong orang bekerja satu sama lain.24 Bourdieu menyatakan ada empat modal yang bisa menjadikan seseorang atau sekelompok orang bisa berkuasa.25Pertama, modal ekonomi (economic capital), yakni berupa harta kekayaan seperti properti, uang dan sejenisnya. Kedua, modal sosial (social capital), yakni berupa sumber-sumber sosial seperti jaringan dan hubungan timbal balik yang menguntungkan. Ketiga, modal kultural, yakni berupa aset-aset informasi seperti pengetahuan dan keterampilan (skills) yang dapat dimiliki melalui proses sosialisasi dan edukasi. Keempat, modal simbolik (symbolic capital), yang wujudnya berupa legitimasi otoritas berupa prestise, gelar kehormatan, maupun reputasi. Modal-modal inilah yang digunakan seseorang atau sekelompok orang untuk berkuasa. Kempat modal tersebut kemudian dapat dikonversi atau diakumulasi menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi pemiliknya, semisal menggunakanya untuk kepentingan politik. Caranya modal ekonomi digunakan untuk membeli barangbarang yang bisa mendukung tujuan politiknya atau dengan modal ekonomi 23
Eriyanto, analisis wacana: pengantar analisis teks media (Yogyakarta: LkiS 2001). Hal. 67. John Field, Modal Sosial (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 18 25 Pierre Bourdieu ,“Social Space and Symbolic Power”,Sociological Theory, Vol. 7, No. 1: 14 – 25. 1989. Hal 17. 24
15
sesorang mendapatkan modal kultural seperti pendidikan yang tinggi. Menurut penulis Keempat modal sosial tersebut diatas memiliki fungsi yang signifikan dalam melestarikan suatu wacana agar tetap menjadi wacana dominan. Dalam masyarakat kapitalis, modal ekonomi sangat menentukan dalam aktifitas politik, misalnya dalam untuk bisa beriklan menggunakan media dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Jaringan elit juga memiliki peran signifikan dalam membangun wacana seperti hubungan yang saling menguntungkan antara elit dan media, hubungan-hubungan tersebut bisa berupa hubungan ekonomi, politik dan sosial. Pengetahuan yang menjadi “roh” untuk membangun wacana sangat diperlukan. Bisa dibayangkan ketika pengetahuan elit tidak cukup untuk membangun suatu wacana, maka dipastikan elit akan kalah dalam pertarungan kewacanaan. karena wacana-wacana yang kontra dengan wacana yang dibungun elit, lebih berisi dan bermutu karena memiliki cukup pengetahuan. Yang terakhir adalah modal simbolik yang sangat efektif bekerja dalam tatanan sosial yang menjunjung tinggi adat istiadat serta budaya. Untuk wilayah BMR adat dan istiadat masih memiliki posisi dan tempat dalam tubuh sosial warganya, dimana masih terdapat gelar-gelar kehormatan yang tersemat kepada beberapa warganya. Kempat modal
tersebut digunakan dan beroperasi secara bergantian ataupun
bersamaan dalam suatu arena atau field. Bourdieu melihat lingkungan (field) sebagai arena pertarungan.26Field diandaikan sebagai arena permainan kartu, dimana modal-modal tersebut dipertaruhkan, dipertahankan bahkan ditukar. 27Bourdieu melihat arena sebagai sebuah arena pertarungan dan juga lingkungan perjuangan, arena adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antar individu, antarkelompok demi mendapatkan posisinya. Posisi-posisi ini ditentukan oleh 26
George Ritzerdan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern(Jakarta: Prenada Media,2010) Hal. 525 27 John Field, Modal Sosial (Yogyakarta: Kreasi Wacana). Hal. 67
16
banyaknya kapital atau modal yang mereka miliki. Semakin banyak jumlah dan jenis modal yang mereka miliki, maka ia akan mendapatkan posisi terbaik dalam arena tersebut, atau menduduki posisi yang dominan dalam suatu arena. Contohnya, dalam ranah pendidikan, misalnya dalam suatu kelas, terjadi sebuah kompetisi antar individu, yaitu sesama murid. Dalam ranah tersebut, seorang murid yang memiliki pengetahuan paling banyak maka ia dapat memenangkan pertarungan dalam ranah kelas tersebut, misalnya dapat mengerjakan ujian dengan lancar, dapat menjawab semua pertanyaan dari guru, dapat ikut aktif dalam diskusi, dan lain-lain dibanding dengan murid lain yang kurang pengetahuannya. Tentu dalam suatu permainan agen atau aktor membutuhkan strategi untuk menang dan bisa mencapai tujuan atau bisa mendominasi. Bourdieu menyebutkan ada tiga jenis strategi yang biasa dipakai agen dalam perjuangan kekuasaan.28 Pertama, conservation (Pelestarian), yaitu strategi yang biasa dipakai oleh pemegang posisi dominan dan senior dalam sebuah ranah. Kedua, succession (Penggantian), yaitu strategi yang bertujuan untuk mendapatkan akses terhadap posisi-posisi dominan didalam ranah. Posisi dominan tersebut biasanya dikejar oleh para agen pendatang baru. Ketiga, subversion (Subversi), yaitu strategi yang dipakai oleh mereka yang mengharapkan mendapat bagian kecil saja dari kelompok-kelompok dominan. Masing-masing agen menggunakan strategi yang berbeda sesuai dengan kepentingan kelas mereka. Strategi pelestarian sering digunakan oleh kelas atas, penguasa, atau kelompok dominan. Strategi penggantian biasanya dipilih oleh kelompok pendatang baru. Sedangkan strategi subversi bisanya disukai oleh mereka yang terdominasi, kaum marjinal, yang jumlah modalnya sedikit.
28
Longgina N. Bayo, Kuasa Adat Atas Gereja dan Negara diAdonara, Tesis: UGM. 2010. Hal. 25.
17
Terus bagaimana modal-modal yang ada pada elit digunakan dalam rangka membangun wacana pemekaran? Seperti telah disinggung diatas, elit adalah mereka yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan kelas lainya dalam tubuh sosial. Dalam strategi menuju dominasi disebutkan bahwa strategi conservation sering digunakan kelompok yang berkuasa untuk tetap memenangkan dan menggolkan tujuanya. Jika menggunakan logika strategi conservation, dominanya wacana pemekaran diBMR bisa dilihat dari bagaiamana elit menggunakan sumberdaya yang ada pada dirinya untuk tetap melestariakan wacana tersebut dan membuat wacana pemekaran tetap menjadi wacana dominan. Contohnya, menggunakan media sebagai alat kampanye pemekaran, dimana dalam upaya mengiklankan wacana tersebut membutuhkan dana. Contoh lainya elit bisa menggunakan hubungan kekerabatan yang ada dengan para wartawan untuk bisa memasukan iklan pemekaran tersebut kedalam media. Selanjutnya himpunan wacana ini secara sosial didistribusikan ke tengah masyarakat dan wacana-wacana tersebut membawa beragam ideologi, pada akhirnya bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat yang menjadi objek dari proses penyebaran wacana itu. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa melihat bagaimana iklan-iklan dari produk pemutih kulit membawa ideologi rasisme, yaitu putih itu cantik, baik, sehat, dan bagus, sedangkan kulit tidak putih (coklat, sawo matang, hitam) itu jelek, buruk dan tidak sepantasnya ada seorang wanita berkulit hitam.29 Untuk tahap awal penelitian ini, penulis melihat media sebagai sarana, saluran atau medium wacana tanpa mengesampingkan bahwa media juga mempunyai ideologi tersendiri dalam melihat suatu realitas. Media massa juga diyakini bukan sekedar medium lalu lintas pesan antara unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat,
29
Eriyanto, analisis wacana: pengantar analisis teks media (Yogyakarta: LkiS, 2001) Hal. 67
18
melainkan juga berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan konsensus oleh sekelompok yang secara ekonomi dan politik dominan.30 Salah satu medium efektif dalam rangka memuluskan proyek pemekaran dan mendapatkan dukungan dari masyarakat adalah dengan menggunakan media. Media saat ini memiliki peranan penting dalam dunia politik dan media juga akan sangat mempengaruhi pola pikir dan pemahaman masyarakat tantang suatu isu (wacana). BudiIrawanto dalam bukunya yang berjudul Film, Ideologi dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia, sedikit memberikan gambaran tentang begitu kuatnya peran media dalam membentuk suatu wacana. Militer dengan sumberdayanya memproduksi film- Enam Djam diJogja, Janur Kuning dan Serang Fajar- heroik yang dikonsumsi luas oleh masyarakat. Implikasinya adalah masyarakat percaya bahwa hanya tentara yang bisa melakukan tindakan-tindakan heroik dalam rangka membebaskan Bangsa Indonesia dari penjajah Belanda. Sementara elemen lain yang terlibat dalam proses kemerdekaan pada waktu itu –seperti mahasiswa yang melakukan mobilisasi masa- tidak mendapatkan “gelar” pahlawan31. Lewat medium film militer bisa berkuasa (baca: Hegemoni) masyarakat. Lebih lanjut dalam buku tersebut32 disebutkan bahwa Hegemoni merupakan terminologi penting yang digunakan Gramsci (1971) dalam bukunya yang terkenal Selection from the Prison Notebooks. Bagi Gramsci, hegemoni (dalam bahasa Italia egemonia atau hadirnya kekuasaan) adalah cara yang kuat atau kehadiran dimanamana (omnipresence) sesuatu secara penuh.
30
Agus Sudibyo DKK, Ekonomi Politik Media Penyiaran(Yogyakarta: Lkis, 2004). Hal 1 BudiIrawanto, Film, Ideologi dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia (Yogyakarta: Media Presindo, 1999). Hal xii 32 Ibid, hlm 21 31
19
Hegemoni bukanlah supremasi kelompok atau kelas sosial melalui dominasi atau koersi, namun lewat kepemimpinan moral atau intelektual. Dasar dari hegemoni adalah kontrol sosial secara internal dengan membentuk keyakinan-keyakinan ke norma yang berlaku. Karena hegemoni lebih sebagai kemenangan lewat konsensus, ketimbang penindasan kelas sosial atas kelas lainya. Ini dicapai melalui berbagai cara, misalnya melalui lembaga-lembaga masyarakat yang menentukan secara langsung struktur-struktur kognitif33. Media sebagai intrumen hegemoni yang tidak disadari, memiliki pengaruh yang kuat, karena dapat membentuk orang-orang dengan gagasan dengan dunianya sendiri. Ringkasnya, lewat media elit bisa membentuk pandangan dunia dari orangorang atau ketika wacana pemekaran terus-menerus diberitakan dan diwartakan secara intensif dan masif akan menjadikan masyarakat yang mengkonsumsi berita tersebut ikut mendukung gagasan pemekaran dan memperjuangkanya. Media tidak hanya bekerja dalam dunia bahasa semata, tetapi media massa juga mengkonstruksi realitas sosial melalui konstruksi sosial. Menurut Berger dan Luckman34 realitas sosial merupakan pengetahuan yang bersifat keseharian dan berkembang dimasyarakat, seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik adalah hasil dari konstruksi sosial. Lebih lanjut menurut Berger dan Luckman, konstruksi yang dilakukan media massa tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan. Kontrol media dalamkehidupan sosial sangat mungkin dilakukan dengan cara mengkonstruksi realitas. Braston dan Stafford secara sederhana mendefinisikan konstruksi sebagai istilah yang digunakan untuk menjelaskan bahwa teks-teks dan
33
Ibid, hlm 21 Peter L. Berger, & Thomas Luckmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.1990. Hal xx. 34
20
laporan berita yang dibuat tidak semata-mata diambil dari dunia nyata.35 Melalui perangkat bahasa, ekspresi non verbal, ilustrasi, gambar gerak, foto, ikon, grafis, audio tersebut media massa bekerja sebagai agen konstruksi realitas dalam menghasilkan produk-produknya. Dalam hal ini prinsip proses konstruksi realitas adalah setiap upaya menceritakan sebuah peristiwa, keadaan, atau benda. Van Dijk mengemukakan bahwa Praktik kekuasaan dalam analisis wacana dapat terlihat dalam media massa. Lebih lanjut Van Dijk mengatakan bahwa media bersifat membujuk dan mempengaruhi karena ia berpotensi mengontrol pikiran pembaca atau penonton walaupun tidak secara langsung mengontrol tindakan mereka. Namun apabila kita mampu memengaruhi pikiran seseorang, secara tidak langsung kita juga mampu memengaruhi tindakan mereka. Dengan demikian dapat terlihat ada praktik kuasa didalam media massa.36 Tentu tidak hanya lewat media, wacana pemekaran menjadi dominan, lewat sosialisasi, seminar dan diskusi misalkan wacana pemekaran akan menjadi dominan dan menguasai masyarakat. Ketika wacana-wacana menudukung tersebut semakin kuat, maka masyarakat tersebut akan ikut mendukung dan memberikan legitimasinya kepada elit untuk memperjuangkan pemekaran tersebut. Analisis wacana model Van Dijk juga memberi perhatian besar pada power (kekuasaan) dan akses.Van Dijk mendefinisikan kekuasaan tersebut sebagai kepemilikan yang dimiliki suatu kelompok (atau anggotanya) untuk mengontrol kelompok lain. Kekuasaan ini biasanya sangat berhubungan dengan kepemilikan modal atau sumberdaya yang bernilai, seperti uang, status dan pengetahuan. Selanjutnya akses diantara kelompok masyarakat berbeda-beda dimana, Elit mempunyai akses lebih besar dibandingkan kelompok masyarakat yang tidak 35
Gilang Desti Prahita, (Konstruksi Pembaruan Etinis Cina-Yogya dalam Suplemen Komunitas Jogja Harian Umum Bernas, 2007). Yogyakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Skripsi. 36 Teun A. Van Dijk. News as Discourse. (p.2, 53-56). (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers, 1988). Hal 2.
21
berkuasa. Oleh karena itu, mereka yang lebih berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempunyai akses pada media dan kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak.37 Lebih lanjut Van Dijk menyebutkan “Critical discourse analysis (CDA) is a type of discourse analytical research that primarily studies the way social power abuse, dominance, and inequality are enacted, reproduced, and resisted by text and talk in the social and political context”.38 Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa analisis wacana kritis fokus kepada penyelahgunaan kekuasan, dominasi, ketidaksetaraan dan keberpihakan dalam suatu teks. Analisis wacana kritis juga tidak hanya membahas unsur kebahasaan semata melainkan bagaimana suatu teks dibentuk, dihasilkan, diproduksi dan dimaknai oleh masyarakat. Teks disini dapat berbentuk lisan maupun tulisan. Dari penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa elit juga bisa menggunakan berbagai media iklan seperti Baliho dan Stiker dalam mewacanakan pemekaran. Pembuatan iklan seperti ini tentu memerlukan dana dan tenaga yang tidak sedikit, keberadaan elit yang secara ekonomi kuat memungkinkan terselenggaranya proses membangun wacana lewat media publik ini. Modal dan akses yang dimiliki elit tentu lebih besar dibandingkan dengan warga biasa.
37
Eriyanto, analisis wacana: pengantar analisis teks media (Yogyakarta: LkiS, 2001) Hal. Teun A. Van Dijk. Critical Disourse Analysis. In D. Tannen, D. Schiffrin, & H. Hamilton, Handbook of Discourse Analysis. (p.352). (Oxford: Blackwell, 2011). Hal. 352. 38
22
Secara singkat, berikut alur fikir dari penelitian ini:
Media
Isu Pemekaran
Strategi Elit
Wacana
Modal
Skema/Alur Fikir
Dari gambar diatas dapat dijelaskan dengan singkat bahwa, elit memiliki keinginan untuk memekarkan wilayahnya yang kemudian berusaha mendapatkan dukungan atau legitimasi dari warga dengan cara membangun wacana pro pemekaran. Pesanpesan tentang kebaikan dan alasan pemekaran wilayah dibangun dengan menggunakan modal-modal yang telah dimiliki oleh elit tersebut. Saluran penyampaian wacana tersebut menggunakan media, baliho, poster dan lain sebagainya. selanjutnya strategi untuk memperkokoh wacana pro pemekaran, elit menyampaikan isu ini secara terus-menerus dan masif kepada warga, serta melestarikanya. F. Definisi Konseptual Untuk mempermudah penelitian maka peneliti akan mempergunakan beberapa istilah khusus untuk menggambarkan fenomena yang hendak diteliti. Gambaran fenomoena yang hendak diteliti itu adalah konsep. Dalam penelitian ini konsep diartikan sebagai istilah dan definisi yang mengabstraksikan suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, kelompok atau individu-individu tertentu. Dengan demikian konsep berperan sebagai katalis
23
yang menghubungkan dunia teoritis dengan dunia observasi, antara dunia abstraksi dan realitas sebenarnya. Untuk mencegah terjadinya distorsi dan bias, maka perlu untuk membuatkan definisi yang tepat sebagaimana berikut: 1. Elit adalah mereka (baik kelompok maupun individu) yang berhasil menempati posisi tertinggi dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Elit memiliki berbagai kelebihan. 2. Wacana merupakan alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, domonasi budaya dan
pengetahuan. Lewat wacana sekelompok orang atau seseorang bisa
terus berkuasa. 3. Strategiadalah upaya atau teknik seseorang atau kelompok dalam memenangkan pertarungan politik demi kekuasaan. 4. Mediaadalah sarana, alat atau medium pewacanaan yang sering digunakan elit politik dalam rangka menghegemoni masyarakat. G. Definisi Operasional 1. Elit. Sekelompok orang yang memiliki kemampuan dalam mengambil keputusankeputusan strategis yang berhubungan dengan masyarakat. Termasuk keputusan untuk melakukan pemekaran disuatu wilayah. Elit yang akan dijadikan sumber data primer adalah elit yang sedang memerintah, kalangan pers dan elit kultural. 2. Wacana.Wacana adalah alat kuasa yang digunakan elit untuk berkuasa terhadap sekelompok masyarakat atau individu. Kehadiran wacana dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari peran elit dan media. Wacana pemekaran Provinsi BMR menjadi dominan
karena masyarakat beranggapan bahwa dengan adanya
pemekaran akan tercipta “kesejahteraan”. Sementara itu wacana tandingan tentang
24
“banyaknya daerah pemekaran baru yang gagal mensejahterakan masyarakat” tidak muncul kepermukaan dan menjadi bahan perbincangan. 3. Strategi. Elit menjalankan peranya yang strategis untuk memperkuat wacana pemekaran agar mendapat dukungan dari masyarakat BMR. misalnya dengan menggandeng atau menggunakan media sebagai saluran, sarana dan alat untuk menyampaikan pesan-pesan “baik” tentang pemekaran. 4. Media mempunyai peran strategis dalam membangun wacana, karena media adalah medium efektif dalam membangun sebuah opini publik. Walaupun media sering digunakan oleh elit untuk kepentingan ekonomi dan politiknya tetapi media sendiri mempunyai ideologi dan tujuan tertuntu. Media-media (koran lokal) tersebut adalah media yang memiliki jumlah pembaca relatif lebih banyak dari pada beberapa media lainya, yaitu Radar Bolmong, Manado Post, Tribun Manado dam totaobuan.co (media lokal online). H. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi didaerah Bolaang Mongondow Bersatu, dimana wacana ini tumbuh dan berkembang. Daerah-daerah tersebut terdiri dari Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kota Kotamobagu, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini direncanakan akan dimulai pada Bulan Oktober sampai dengan bulan November 2013. 3. Jenis Penelitian Mengingat tujuan Penelitian ini bertujuan mendekripsikan suatu fenomena pemekaran, maka jenis penelitian yang akan digunakan adalah metode pendekatan
25
deskriptif-kualitatif dengan maksud untuk memperoleh penjelasan yang mendalam tentang wacana pemekaran diwilayah Bolaang Mongondow. Penelitian kualitatif ini bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian seperti sikap, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.39 Adapun secara khsusus, penelitian yang akan digunakan dalam tesis ini adalah peneltian studi kasus yaitu, suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu (wacana pemekaran Provinsi BMR).40 Studi kasus atau penelitian kasus adalah penelitian tentang status subjek peneudilitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian bisa perupa Individu, kelompok, lembaga ataupun masyarakat. Sehingga itu Penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus bermakna sebagai penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Ditinjau dari wilayahnya, maka penelitian kasus hanya meliputi daerah atau subjek yang sempit. 4. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data Teknik pengumpulan data adalah metode atau cara memperoleh jawaban dan data dalam proses penelitian. Sumber Data untuk tulisan ini terdiri dari: a. Data Utama, Diperoleh dari para elit lokal yang sedang mewacanakan pemekaran. Baik elit formal maupun elit non-formal. Teknik yang dapat digunakan peneliti untuk mengumpulkan data primer antara lain dengan 39
Moelong Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosydakarya). Hal. 6 Suharmi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek: Edisi Revisi V (Jakarta Bineka Cipta, 2002). Hal 120 40
26
cara wawancara dan observasi. Informan yang akan diwawancarai adalah elit lokal terdiri dari Panitia Pemekaran, Bupati, Walikota, Ketua DRPD yang berada diwilayah Bolaang Mongodow Raya dan sejumlah elit yang relevan dengan penelitian ini. Untuk keperluan itu akan disusun “interview guide” dan hasil setiap interview tersebut akan direkam dengan baik guna mempertanggungjawabkanya. Wawancara Mendalam (in depth interviews) Wawancara dilakukan secara langsung untuk mendapatkan informasi yang mendalam dari informan menyangkut masalah penelitian. Dalam proses wawancara akan dipandu dengan daftar pertanyaan atau interview guide demi fokusnya pertanyaan tetapi tidak menutup kemungkinan wawancara dengan informan akan dibuat se-mengalir mungkin dan keluar dari daftar pertanyaan yang telah disiapkan guna menggali informasi yang sebenar-benarnya dari para informan. Proses interview tentu membutuhkan teknik khusus agar bisa menggali data yang sebenarnya tentang latar belakang atau motif dari elit mendorong pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow. menurut Koentjoroningrat, metode wawacara mencakup cara yang digunakan kalau seseorang untuk tujuan sesuatu dan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau dapat secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan dengan orang tersebut.41 Untuk kegiatan tersebut diatas, penulis akan berusaha mencari informasi langsung dari pemangku kepentingan berkaitan dengan pemekaran wilayah. Dalam bayangan penulis, panitia pemekaran akan menjadi sumber utama wawancara ini, karena hampir semua proses pemekaran diketahui oleh panitia pemekaran.
41
Koentjoroningrat, Metode-metode penelitian masyarakat (Jakarta: Gramedia 1977). Hal 162.
27
Elit yang akan menjadi informan utama adalah Bupati Bolaang Mongondow Timur yaitu, Sehan Landjar. Elit ini yang sangat menginginkan Bolaang Mongodow mekar menjadi Provinsi. Hal ini bisa dilihat dari dukungan pembiayaan sebesar Rp. 200.000.000,- dari APBD Kab. Bolaang Mongondow Timur tahun 2011 untuk Panitia Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow. Informasi yang bisa digali dari elit ini adalah wacana yang ingin dibangun elit dalam rangka memekarkan BMR menjadi Provinsi dan cara elit mengkonstruksi wacana pemekaran. Penulis sadar bahwa terdapat keterbatasan dalam mengumpulkan data-data penelitian, baik keterbatasan akses, waktu serta biaya dalam mengumpulkan data, sehingga penulis hanya akan mengambil data dari beberapa tokoh/elit kunci. Observasi Observasi dibutuhkan untuk memperkaya data interview yang masih dirasa kurang. Observasi dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap objek penelitian, seperti melihat aktifitas sehari-hari para elit mulai dari gaya hidup sampai dengan kehidupan pribadi dari subjek penelitian, kondisi kesejahteraan masyarakat sebelum/sesudah pemekaran dan lain sebagainya. Selain untuk memperkaya data observasi juga diperlukan untuk
mengecek
dan membandingkan kembali
keabsahan data wawancara. Data observasi bisa juga menjadi data utama dalam riset ini. Terkadang data wawancara tidak begitu memuaskan karena elit yang diwawancarai tidak begitu terbuka dan terkadang menutupi kondisi yang sebenarnya ataupun jawaban-jawaban yang diberikan oleh elit bersifat normatif. Disini penulis akan mencoba masuk ke dalam rapat-rapat panitia pemekaran, seminar tentang pemekaran, dan lain sebagainya untuk melihat dan mencari tahu isi pembahasan dari rapat-rapat tersebut.
28
b.Data Sekunder (Dokumentasi) Cara ini dilakukan dengan cara pengkajian atas bahan-bahan objek penelitian dengan cara mengkaji bahan-bahan tertulis berupa referensi buku ilmiah, dokumendokumen, arsip dan laporan-laporan termasuk laporan atau informasi yang termuat dalam media cetak lokal maupun nasional yang berhubungan wacana pemekaran ini. Adapun dokumen-dokumen tersebut terdiri dari: Berita-berita yang berkaitan dengan pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow baik media cetak maupun media online. Dengan Berita koran lokal, penulis akan mencoba memilah berita-berita tentang pemekaran. Ini penting dilakukan untuk bagaimana cara media dan elit menyampaikan wacana pemekaran. Yang akan menjadi sumber berita tersebut adalah media lokal yang memiliki banyak pembaca serta media-media yang sering memuat berita terkait pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya. Beberapa media lokal tersebut adalah Tribun Sulut, Radar Totabuan, Manado Post, Media Sulut, Kontra Online dan Totabuan.co. Data-data Statistik seperti pertumbuhan ekonomi untuk melihat serta membandingkan pertumbuhan ekonomi Bolaang Mongondow sebelum dan sesudah pemekaran. Data demografi juga sangat dibutuhkan khususnya data yang berdasarkan agama, suku dan etnis Sulawesi utara serta Bolaang Mongondow. Struktur APBD Sulut mencakup PAD dan DAU+DAK, untuk melihat distribusi dan pembagian APBD Provinsi Sulut ke beberapa daerah Kabupaten dan Kota. Data Pemekaran atau sejarah pemekaran Bolaang Mongondow. Cerita pemekaran dibutuhkan untuk melacak kembali sejarah pemekaran. Data komposisi pembagian kekuasaan elit birokrasi diProvinsi Sulawesi Utara dari latar belakang etnisitas (Minahasa dan Mongondow). Kecemburuan distribusi kekuasaan yang timpang menjadi salah satu wacana yang dilontarkan oleh elit. Untuk itu data komposisi pembagian kekuasaan dalam birokrasi akan
29
sangat membantu memperjelas dan membuktikan benar atau tidaknya klaim tersebut. I. Teknik Analisis Data Dalam analisis data, digunakan langkah-langkah penelitian kualitatif yang menurut Lexi Moleong terdiri dari Pengumpulan Data, Penilaian Data, Penafsiran Data dan Penyimpulan Data.42 Pada tahapan ini data yang terkumpul akan disusun, dipilah atau dikategorisasikan sebelum diolah. Setelah mengumpulkan data, langkah selanjutnya adalah melakukan penilaian keabsahan data dengan teknik “triangulasi”, yaitu membandingkan dengan data yang diperoleh dari satu sumber dengan sumber yang lain sehingga keabsahan data dan dapat dipertanggungjawabkan. Setelah langkah penilaian selesai, selanjutnya adalah melakukan penafsiran data. Pada tahap ini data diberi makna, menjelaskan pola dan mencari hubungan antara berbagai konsep. Dan langkah yang terakhir adalah membuat suatu kesimpulan dan argumen terhadap interpretasi tersebut. J. Sistematika Penulisan Demi mempermudah pembaca dalam memahami isi tulisan, penulis merencanakan akan mengurai tesis ini kedalam 5 Bab. Setiap bab akan memberikan kontribusi dalam menjelaskan dan menjawab pertanyaan Apa sesungguhnya wacana utama yang dibangun oleh elit dalam konteks pemekaran diBolaang Mongondow Raya? Dan
Bagaimana
strategi (cara) elit
diBolaang
Mongondow Raya
dalam
mengkonsolidasikan wacana tersebut? Bab pertama berisi tentang latar belakang kenapa penelitian ini dilakukan serta meneguhkan kerangka pikir untuk menuntun penulis sampai kepada jawaban yang hendak dicari dari penelitian ini.
42
Moelong Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosydakarya). Hal 178.
30
Bab ke dua akan memberikan informasi tentang latar belakang wilayah/lokasi penelitian, semisal data luas wilayah, kondisi Bolaang Mongondow dalam struktur sosial, politik dan ekonomi di Sulawesi Utara serta data-data yang sekiranya bisa memberikan kontribusi dalam membangun bab-bab selanjutnya. Bab ke tiga akan membicarakan dan membahas wacana yang diperdebatkan secara terbuka.Melihat strategi elit membangun wacana tersebut beserta modalitas yang mengiringinya Bab ke empat menampilkan wacana tertutup yang sangat sensitive. Kesimpulan, tidank lanjut dan saran akan ditulis dalam Bab terakhir.
31