UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PEMBUATAN MIKROPARTIKEL DILTIAZEM HIDROKLORIDA MENGGUNAKAN METODE PENGUAPAN PELARUT
SKRIPSI
EVI NURUL HIDAYATI 1111102000131
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JULI 2015
i
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PEMBUATAN MIKROPARTIKEL DILTIAZEM HIDROKLORIDA MENGGUNAKAN METODE PENGUAPAN PELARUT
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
EVI NURUL HIDAYATI 1111102000131
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JULI 2015
ii
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul Penelitian
: Evi Nurul Hidayati : Farmasi : Pembuatan Mikopartikel Diltiazem Hidroklorida Menggunakan Metode Penguapan Pelarut
Mikropartikel merupakan salah satu sistem penghantaran obat yang berpotensi untuk dikembangkan karena sistem ini dapat menjadi alternatif penghantaran beberapa sediaan konvensional. Metode penguapan pelarut adalah metode pembuatan mikropartikel yang sederhana dan efektif untuk menghasilkan mikropartikel. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penguapan pelarut menggunakan sistem emulsi minyak/air. Tujuan penelitian ini adalah formulasi dan karakterisasi mikropartikel diltiazem hidroklorida. Bahan yang digunakan adalah etil selulosa, diltiazem hidroklorida dan polivinil alkohol. Mikropartikel dibuat dalam dua formula yaitu F1 dan F2 dengan variasi pada konsentrasi surfaktan. Konsentrasi surfaktan yang digunakan untuk F1 dan F2 berturut-turut adalah 0,8% dan 1%. Mikropartikel yang terbentuk dianalisa apakah berpotensi untuk dihantarkan melalui paru-paru. Berikutnya dilakukan karakterisasi mikropartikel, yaitu ukuran mikropartikel, kadar obat, efisiensi penjerapan, perolehan kembali, dan pelepasan obat. Hasil karakterisasi mikropartikel F1 dan F2 berturut-turut yaitu perolehan kembali 77,51% dan 57,51%. Rentang ukuran yaitu sebesar 0,680-159,740 µm dan 0,340-117,674 µm. Kadar obat yaitu 3,51±0,02 % dan 3,91±0,01 %. Efisiensi penjerapan yaitu 9,57±0,02 % dan 7,87±0,01 %. Hasil disolusi selama 8 jam mencapai 7,44±0,32% pada F1 dan 6,94±0,05% pada F2. Apabila dianalisa dari hasil karakterisasi mikropartikel, metode ini belum bisa menghasilkan mikropartikel yang sesuai untuk sistem penghantaran obat melalui paru-paru.
Kata kunci
: mikropartikel, metode penguapan pelarut, etil selulosa, diltiazem hidroklorida, polivinil alkohol
vi
ABSTRACT Name Major Title
: Evi Nurul Hidayati : Pharmacy : Formulation Microparticle of Diltiazem Hydrochloride using Solvent Evaporation Methode
Microparticle is a drug delivery system that has potential to be developed because this system can be an alternative to deliver some conventional dosages. Solvent evaporation method is a microparticle preparation method that is simple and effective to produce microparticles. The method that was used for this study is solvent evaporation method using o/w system. The purpose of this study is to formulate and characterize diltiazem hydrochloride microparticles. Materials used in this study are ethyl cellulose, diltiazem hydrochloride and polyvinyl alcohol. Microparticle were formulated in two formulas termed F1 and F2 with variation in surfactant concentration. Surfactant concentration used for F1 and F2 respectively 0,8% and 1%. Microparticles from this method is analyzed whether it has potential to be delivered through the pulmonary drug delivery system. Microparticles was characterized with various parameters such us, the microparticle size, drug loading, drug entrapment efficiency, % yield, and drug release. The characterization results of microparticle F1 and F2 were respectively 77.51% and 57.51%. The size range was 0.680 to 159.740 μm and 0.340 to 117.674 μm. The drug contentwas3.51 and 3.91 ± 0.02% ± 0.01%. The drug entrapment efficiency was 0.02% ± 9.57 and 7.87 ± 0.01%. The dissolution results for 8 hours reached 7.44 ± 0.32%for F1 and 6.94 ± 0.05% for F2. If its analyzed from the microparticle characterization, this method can not produce sufficient microparticle for pulmonary drug delivery system. Keywords
: microparticles, solvent evaporation method, ethyl cellulose diltiazem hydrochloride, polyvinyl alcohol
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, ridho dan hidayah-Nya sehingga penulis dapaat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Penulisan skripsi berjudul “Pembuatan Mikropartikel Diltiazem Hidroklorida Menggunakan Metode Penguapan Pelarut” bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sejak masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini, sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karna itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada: 1.
Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt dan Ibu Nelly Suryani, Ph.D., Apt, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, wakt, tenaga, saran, dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.
2.
Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM.,M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Uiniversitas Isalam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3.
Bapak Yardi, Ph.D., Apt selaku ketua program studi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Uiniversitas Isalam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
4.
Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada saya.
5.
Kedua orang tua, ayahanda Drs. Abd. Rochim dan ibunda Dra. Elik Zunniaroh yang senantiasa memberikan doa, semangat dan kasih sayang yang tidak pernah putus, serta dukungan moril maupun materil. Sungguh besar jasa beliau, tidak ada apapun di dunia ini yang mampu membalas pengorbanan beliau.
Semoga
Allah
selalu
memberikan
keberkahan,
kesehatan,
keselamatan, perlindungan, rahmat kepada kedua orang tua hamba. 6.
Kedua kakak saya, Muhammad Syaifuddin Zuhri dan Nurur Rahmawati yang telah memberikan doa, semangat, kasih sayang, dan dukungan moril maupun materil sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar
viii
7.
Seluruh keluarga besar Prodi Farmasi FKIK yang telah memberikan kesempatan, kemudahan dan dukungan dalam melakukan penelitian
8.
Kakak-kakak laboran FKIK, kak Eris, kak Rahmadi, mba Rani, kak Tiwi, kak Lisna atas dukungan dan kerjasamanya selama kegiatan penelitian
9.
Lela Laelatu R, Athiyah, Silvia Aryani, Annisa Tiana S.P, Annisa Nurul Azzahra serta teman-teman seperjuangan yang telah memberikan semangat dan kebersamaannya, terima kasih atas kerjasama dalam penelitian ini
10. Teman-teman seperjuangan farmasi angkatan 2011 atas dukungan dan kebersamaannya 11. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengehtahuan pada umumnya, dan ilmu farmasi pada khususnya. Akhir kata penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
Ciputat, 2 Juli 2015 Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iii DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................
3
1.3 Hipotesis ...........................................................................................
3
1.4 Tujuan...............................................................................................
3
1.5 Manfaat .............................................................................................
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
5
2.1 Mikropartikel ....................................................................................
5
2.2 Metode Pembuatan Mikropartikel ....................................................
8
2.2.1 Presipitasi Partikel dengan Penambahan Bukan Pelarut (Koaservasi) ....................................................
8
2.2 2 Presipitasi Partikel dengan Partisis Pelarut .............................
9
2.2 3 Semprot Kering (Spray Drying) .............................................. 10 2.2 4 Metode Ekstraksi Cairan Superkritis....................................... 11 2.2 5 Metode Penguapan Pelarut ...................................................... 12 2.2 5.1 Proses Emulsi Tunggal ............................................... 13 2 5.1.2 Proses Emulsi Ganda .................................................. 16 2.3 Pembuatan Mikropartikel Menggunakan Metode Penguapan Pelarut ............................................................................ 18 2.3 1 Material ................................................................................... 18 2.3 1.1 Fase Dispersi ............................................................... 18 2.3 1.1 Fase Kontinyu ............................................................. 22 2.3.2 Kondisi dalam Pembuatan Mikropartikel Menggunakan Metode Penguapan Pelarut ..................................................... 23 2.3 2.1 Agitasi dan Prediksi Ukuran ....................................... 23 xi
2.3 2.2 Suhu dan Tekanan....................................................... 24 2.4 Penghantaran Obat Melalui Paru-Paru ............................................. 26 2.5 Diltiazem Hidroklorida .................................................................... 28 2.6 Etil Selulosa...................................................................................... 29 2.9 Polivinil Alkohol .............................................................................. 30 BAB 3. METODE PENELITIAN ..................................................................... 32 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 32 3.2 Alat dan Bahan ................................................................................ 32 3.2.1 Alat .......................................................................................... 32 3.2.2 Bahan ...................................................................................... 32 3.3 Prosedur Kerja .................................................................................. 32 3.3.1 Formula Mikropartikel ............................................................ 32 3.3.2 Pembuatan Mikropartikel ........................................................ 33 3.3.3 Penentuan Perolehan Kembali ................................................ 33 3.3.4 Penentuan Ukuran Partikel Mikropartikel .............................. 34 3.3 5 Pembuatan Panjang Gelombang Maksimum dan Kurva Kalibrasi ....................................................................... 34 3.3 6 Penentuan Kadar Obat dan Efisiensi Penjerapan .................... 34 3.3 7 Pelepasan Obat Secara In Vitro ............................................... 35 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 36 4.1 Formulasi Mikropartikel .................................................................. 36 4.2 Perolehan Kembali ........................................................................... 36 4.3 Ukuran Mikropartikel ....................................................................... 37 4.4 Pembuatan Panjang Gelombang Maksimum dan Kurva Kalibrasi ............................................................................... 41 4.5 Kadar Obat dan Efisiensi Penjerapan ............................................... 41 4.6 Pelepasan Obat ................................................................................. 42 BAB 5 . KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 45 5.1 Kesimpulan....................................................................................... 45 5.2 Saran ................................................................................................. 45 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 47 LAMPIRAN ........................................................................................................ 58
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Variasi Formula Mikropartikel......................................................
5
Gambar 2.2. Skema Empat Prinsip Proses Dalam Pembuatan Mikrosfer Menggunakan Penguapan Pelarut (Minyak/Air) .......................... 14 Gambar 2.3. Enkapsulasi Menggunakan Teknik Emulsi Minyak Dalam Air..... 14 Gambar 2.4. Skema empat proses utama pada proses penguapan/ekstraksi pelarut (Air/Minyak/Air) ............................................................... 18 Gambar 2.5. Struktur Kimia Diltiazem Hidroklorida ......................................... 28 Gambar 2.6. Stuktur Kimia Etil Selulosa ........................................................... 29 Gambar 2.7. Stuktur Kimia Polivinil Alkohol .................................................... 31 Gambar 4.1. Diagram Distribusi Frekuensi Mikropartikel F1 ........................... 39 Gambar 4.2. Diagram Distribusi Frekuensi Mikropartikel F2 ........................... 40 Gambar 4.3. Kurva kalibrasi Diltiazem Hidroklorida dalam Dapar Fosfat pH 7,4 ...................................................................... 41 Gambar 4.4. Profil Pelepasan Mikropartikel Diltiazem HCl ............................. 43
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Formula Mikropartikel Diltiazem Hidroklorida ............................... 33 Tabel 4.1. Efek Variabel Konsentrasi Surfaktan pada Mikropartikel Diltiazem Hidroklorida ..................................................................... 37 Tabel 4.2. Efek Variabel Konsentrasi Surfaktan pada Ukuran Mikropartikel ... 37 Tabel 4.3. Distribusi Ukuran Mikropartikel F1 ................................................. 39 Tabel 4.4. Distribusi Ukuran Mikropartikel F2 ................................................. 40 Tabel 4.5 Efisiensi Penjerapan dan Kadar Obat Mikropartikel ........................ 42 Tabel 4.6. Persen Pelepasan Obat Mikropartikel Diltiazem HCl....................... 43
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Alur Penelitian .............................................................................. 58
Lampiran 2.
Pembuatan Dapar Fosfat ............................................................... 58
Lampiran 3.
Scanning Panjang Gelombang Maksimum DIltiazem Hidroklorida Medium Dapar Fosfat pH 7,4 ................................. 59
Lampiran 4.
Data Absorbansi Kurva Standar Diltiazem Hidroklorida Medium Dapar Fosfat pH 7,4 ....................................................... 59
Lampiran 5.
Hasil Mikropartikel Diltiazem Hidroklorida ................................ 60
Lampiran 6.
Hasil Uji Perolehan Kembali (PK) ............................................... 60
Lampiran 7.
Hasil Uji Disolusi pada Mikropartikel.......................................... 60
Lampiran 8.
Bobot dan Persentase Terdisolusi F1 ........................................... 61
Lampiran 9.
Bobot dan Persentase Terdisolusi F2 ........................................... 61
Lampiran 10. Gambar Alat .................................................................................. 62 Lampiran 11. Contoh Perhitungan Nilai Efisiensi Penjerapan dan Kadar Obat . 62 Lampiran 12. Contoh Perhitungan Persentase Disolusi ...................................... 62 Lampiran 13. Contoh Perhitungan Persentase Disolusi ...................................... 64 Lampiran 14. Contoh Perhitungan Volume Mikropartikel ................................. 66 Lampiran 15. Sertifikat Analisis Etil Selulosa .................................................... 67 Lampiran 16. SertifikatAnalisis Poli Vinil Alkohol ........................................... 68 Lampiran 17. Sertifikat Analisis Diltiazem Hidroklorida ................................... 69
xv
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sediaan mikropartikel adalah sediaan dengan ukuran partikel sebesar 11000 µm. Mikropartikel dapat menjadi penghantaran obat yang akurat, mengurangi konsentrasi obat pada target dan memberikan sistem penghantaran yang efektif untuk zat aktif yang sedikit larut dalam air. Selain itu sediaan mikropartikel dapat melepaskan lebih dari 80% zat aktif dalam waktu 10 menit. Mikropartikel dapat digunakan untuk memproduksi obat amorf dengan karakter fisik yang diinginkan dan dapat mengurangi efek samping lokal, misalnya iritasi saluran pencernaan pada pemberian oral (Parida, K et al., 2013). Mikropartikel merupakan salah satu sistem penghantaran yang dapat diberikan melalui oral, transdermal, intramuskular, intraperitonial, dan paru-paru. Salah satu syarat penghantaran obat melalui paru-paru adalah ukuran partikel sediaan tidak boleh lebih dari 10 µm (Hillery, A.M et al., 2005). Apabila ukuran sediaan melebihi 10 µm, sediaan akan terdeposit pada saluran nafas atas dan dapat dengan cepat terlepas karena batuk, tertelan dan proses pembersihan mukus. Partikel dengan ukuran lebih kecil dari 0,5 µm akan dikeluarkan dari paruparu melalui proses ekspirasi sebelum terjadi sedimentasi (Taylor, G., Kellawa, I., 2001). Obat yang dapat dihantarkan melalui paru-paru dapat berupa obat dengan efek lokal atau efek sistemik. Karakteristik obat dengan efek sistemik yang dapat dihantarkan melalui paru-paru di antaranya obat yang memiliki kekurangan apabila diberikan melalui oral, misalnya obat yang memiliki bioavaibilitas rendah dan memiliki efek samping terkait saluran pencernaan ketika diberikan melalui oral. Salah satu obat tersebut adalah diltiazem hidroklorida. Terdapat
beberapa
metode
pembuatan
mikropartikel,
diantaranya
penguapan pelarut (solvent evaporation), gelasi ionik, semprot kering, koaservasi, ekstraksi cairan superkritis (Muhaimin, 2013). Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penguapan pelarut. Metode ini memiliki
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
beberapa keunggulan diantaranya reprodusibilitas bagus, waktu pembuatan yang tidak lama dan alat yang digunakan mudah digunakan (Tiwari, S., P, Verma., 2011).
Beberapa
hal
yang
dapat
mempengaruhi
ukuran
mikropartikel
menggunakan metode penguapan pelarut adalah kecepatan pengadukan, volume fase encer eksternal dan konsentrasi polimer. Pada faktor konsentrasi surfaktan, semakin besar konsentrasinya maka dihasilkan ukuran mikropartikel yang lebih kecil (Muhaimin, 2013). Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dibuat mikropartikel diltiazem hidroklorida menggunakan metode penguapan pelarut. Bahan yang digunakan pada metode penguapan pelarut ini diantaranya polimer, pelarut yang mudah menguap, surfaktan dan zat aktif. Polimer yang digunakan pada penelitian ini adalah etil selulosa. Etil selulosa adalah polimer hidrofilik yang pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa mikropartikel etil selulosa dengan zat aktif natrium diklofenak menunjukan pola pelepasan lepas lambat (Giri, T.K et al., 2012). Adapun pelarut yang digunakan pada formulasi diltiazem hidroklorida ini adalah diklorometan. Diklorometan adalah pelarut yang paling banyak digunakan untuk enkapsulasi menggunakan metode penguapan pelarut karena volatilitas yang tinggi, titik didih rendah dan ketidakbercampuran dengan air yang tinggi (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013). Bahan selanjutnya adalah poli vinil alkohol (PVA) sebagai surfaktan. Fungsi surfaktan disini untuk menurunkan tegangan permukaan antara dua fase (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013). Berdasarkan penelitian Pandav, S., A, Lokhande., J, Naikk (2013), PVA terbukti lebih mampu menghasilkan mikropartikel dengan stabilitas lebih baik daripada Tween 80. Komponen berikutnya adalah zat aktif. Zat aktif yang digunakan sebagai sampel dalam pembuatan mikropartikel ini adalah diltiazem hidroklorida. Tujuan penggunaan zat aktif ini dalam pembuatan mirkopartikel untuk meningkatkan bioavaibilitas zat aktif melalui sistem lepas lambat. Pada penelitian ini akan dibuat dua formula mikropartikel dengan variasi pada konsentrasi surfaktan. Adapaun evaluasi yang akan dilakukan adalah perolehan kembali, ukuran mikropartikel, efisiensi penjerapan, kadar obat, dan pelepasan obat secara in vitro.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
1.2. Rumusan Masalah a. Bagaimana karakteristik mikropartikel diltiazem hidroklorida menggunakan metode penguapan pelarut? b. Berapa nilai perolehan kembali, efisiensi penjerapan, kadar obat, dan pelepasan obat secera in vitro dari mikropartikel diltiazem hidroklorida yang telah diformulasi? c. Apakah ukuran mikropartikel diltiazem hidroklorida yang terbentuk sudah memenuhi syarat untuk sediaan penghantaran obat melalui paru-paru?
1.3. Tujuan a. Mengetahui karakteristik mikropartikel diltiazem hidroklorida menggunakan metode penguapan pelarut b. Mengetahui nilai perolehan kembali, efisiensi penjerapan, kadar obat, dan pelepasan obat secera in vitro mikropartikel diltiazem hidroklorida c. Mengetahui apakah mikropartikel yang dihasilkan memenuhi syarat sediaan penghantaran obat melalui paru-paru
1.4. Manfaat Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang formulasi dan karakteristik
mikropartikel
diltiazem
hidroklorida
menggunakan
metode
penguapan pelarut yang berguna untuk pengobatan angina pektoris, hipertensi dan aritmia.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mikropartikel Mikropartikel adalah sediaan dengan ukuran partikel antara 1-1000 µm. Mikropartikel
umumnya diberikan melalui
intraperitonial,
intramuskular,
subkutan atau langsung ke organ target. Mikropartikel merupakan sistem penghantaran yang dapat digunakan untuk lepas lambat. Obat dilepaskan secara perlahan melalui mekanisme erosi dan difusi dari partikel. Kecepatan pelepasan dapat ditingkatkan dengan menurunkan berat molekul polimer, ukuran partikel dan mengontrol polimer alam (Parida et al., 2013). Mikropartikel diklasifikasi menjadi dua, yaitu mikropkapsul dan mikrosfer. Mikrokapsul adalah sistem reservoir mikrometik. Pada mikrokapsul obat terpusat dalam kulit polimer dengan ketebalan tertentu dan pelepasannya dikontrol melalui proses disolusi, difusi atau keduanya. Mikrokapsul dengan dinding tebal umumnya melepas obat dengan mengikuti orde nol. Mikrosfer berbentuk padat dan hampir berbentuk sistem matriks mikrometik sferis (Parida et al., 2013). Selain itu, menurut Muhaimin (2013), mikrosfer adalah mikropartikel sferis sedangkan mikropkapsul adalah mikropartikel dengan inti yang dikelilingi oleh material berbeda secara nyata dari inti tersebut. Inti dapat bersifat padatan, cairan ataupun gas. Mikropartikel juga dideskripsikan sebagai sediaan yang terdiri dari campuran homogen dari polimer dan zat aktif.
Gambar 2.1. Varasi Formula Mikropartikel [sumber : Birnbaum and Peppas, 2004]
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
Mikrosfer dapat menjaga konsentrasi obat dalam darah untuk tetap konstan sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien, menurunkan dosis dan menurunkan kemungkinan terjadinya toksisitas. Selain itu mikrosfer juga dapat melindungi obat dari reaksi enzimatik dan pemutusan fotolitik sehingga bentuk sediaan ini dapat digunakan untuk penghantaran protein (Tiwari, S., P, Verma., 2012). Mekanisme pelepasan obat dari sediaan mikrosfer menurut Tiwari, S., P, Verma (2012) adalah sebagai berikut: a. Sistem monolitik degradasi terkontrol Pada sistem ini, obat larut dalam matriks dan pelepasannya tergantung pada degradasi matriks polimer. Difusi obat lebih pelan apabila dibandingkan dengan degradasi matriks. b. Sistem monolitik difusi terkontrol Obat dilepaskan melalui proses difusi sebelum atau saat degradasi matriks polimer. c. Sistem reservoir difusi terkontrol Disini zat aktif dienkapsulasi dengan membran pengontrol kecepatan pelepasan dimana obat akan berdifusi melewati membran ini. Membran polimer akan terkikis hanya jika penghantaran obat sudah sempurna. d. Erosi Bahan polimer pelapis seperti beeswax dan stearil alkohol dipengaruhi oleh hidrolisisi enzimatik dan pH. Alasan pemilihan mikroenkapsulasi diantaranya dapat menutupi rasa dan bau obat, obat dalam bentuk cairan dapat dirubah menjadi bentuk serbuk yang mengalir bebas, mencegah inkompatibilitas antar obat, dan dapat mengubah tempat absorpsi protein (Tiwari, S., P, Verma., 2012). Mikropartikel dibuat dari polimer biocompatable dan biodegradable misalnya Polylactic acid (PLA), dan Polylactid-co-glycolic (PLGA). Polimer alam seperti gelatin dan albumin juga digunakan dalam pembuatan mikrosfer. Mikropartikel memberikan penghantaran akurat untuk obat poten, mengurangi konsentrasi obat pada target dan menjadi sistem penghantaran yang efektif untuk zat aktif yang sedikit larut dalam air. Selain itu mikropartikel dapat memperlihatkan karakteristik pelepasan dipercepat (immediate release) dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
menghantarkan lebih dari 80% zat aktif dalam 10 menit. Misalnya nimesulid (Parida et al., 2013). Menurut Muhaimin (2013), sistem penghantaran obat dengan pelepasan terkontrol telah dikembangkan untuk mengatasi kesulitan pemberian obat secara tradisional. Penghantaran obat dengan pelepasan terkontrol menggunakan device (alat) seperti piringan berbasis polimer, rod, pil atau mikropartikel yang mengenkapsulasi obat dan pelepasan obat ini terjadi dengan kecepatan terkontrol selama periode waktu tertentu. Sistem ini memberikan beberapa keuntungan apabila dibandingkan dengan pemberian obat dengan metode tradisional. Adapun keuntungan itu adalah sebagai berikut: a. Kecepatan pelepasan obat dapat digunakan untuk aplikasi spesifik b. Sistem pelepasan terkontrol dapat melindungi obat, terutama protein yang mudah rusak ketika berada di tubuh c. Sistem pelepasan terkontrol dapat meningkatkan kepatuhan pasien. Ketika berbagai alat digunakan untuk penghantaran obat dengan pelepasan terkontrol, mikropartikel berbasis polimer adalah tipe yang paling umum digunakan
karena
memiliki
beberapa
keuntungan.
Mikropartikel
dapat
mengenkapsulasi berbagai obat dengan molekul kecil, vaksin, protein, dan asam nukleat (Azevedo., et al, 2006; Feng., et a.l, 2006; Little., et al, 2005 dalam Muhaimin, 2013). Mikropartikel dapat menghantarkan makromolekul, berbagai faktor diantaranya tipe polimer, berat molekul polimer, komposisi kopolimer, sifat eksipien yang ditambahkan pada formula mikropartikel, dan ukuran mikropartikel dapat memberikan efek pada kecepatan penghantaran (Muhaimin, 2013). Polimer dapat digunakan untuk mengontrol kecepatan pelepasan obat dari formulasi. Polimer dapat mengikat partikel dari bentuk sediaan dan mengubah sifat aliran. Aplikasi polimer pada penghantaran obat telah meningkat karena polimer memberikan sifat unik yang saat ini masih belum dimiliki oleh material lain. Polimer adalah makromolekul yang memiliki ikatan yang besar, memiliki berbagai gugus fungsi, dapat dicampur dengan material dengan berat molekul yang besar atau kecil. Pemahaman mengenai konsep dasar polimer diperlukan untuk pemahaman lebih jauh mengenai produk obat dan model sistem penghantaran yang lebih baik. Kemajuan ilmu tentang polimer telah membuka
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
peluang untuk penggunaan berbagai polimer sebagai sistem penghantaran obat (Leong and Langer, 1988; Wang et al., 2002 dalam Muhaimin, 2013). Pelepasan terkontrol teofilin telah berhasil dibuat dengan pengembangan formula untuk penghantaran chronotherapeutic menggunakan guar gum, mikrosfer teofilin dibuat dengan teknik emulsifikasi. Pelapisan mikrosfer menggunakan metode penguapan pelarut dengan polimer Eudragit® yang sensitif dengn pH. Chronotherapeutic berbasis sistem penghantaran obat teofilin dengan target usus besar memanfaatkan sifat sensitif pH enzim dibuat untuk menghindari serangan asma episodik pada pagi hari. Kelarutan bergantung pH dai Eudragit dan sifat gel guar gum berperan dalam penundaan pelepasan (Soni et al., 2011). Chronotherapeutic adalah metode pengobatan dimana ketersediaan obat secara in vivo diberikan batas waktu untuk menyesuaikan dengan ritme penyakit sehingga dapat mengoptimalkan hasil terapi dan meminimalisir efek samping (Sajan, J et al., 2009).
2.2. Metode Pembuatan Mikropartikel Terdapat banyak metode dalam pembuatan mikropartikel yang digunakan dalam berbagai aplikasi. Metode ini digunakan untuk mengenkapsulasi obat dalam polimer (Jalil and Nixon, 1990a, 1990b dalam Muhaimin, 2013). Metode pembuatan ini harus memiliki syarat tertentu, diantaranya stabilitas dan aktivitas biologi obat tidak boleh terpengaruh oleh parameter proses yang digunakan dalam produksi mikropartikel yang mengandung obat. Selain itu hasil mikropartikel harus memiliki ukuran partikel yang diinginkan dan efisiensi enkapsulasi obat harus tinggi. Syarat berikutnya adalah kualitas partikel dan profil pelepasan obat harus reprodusibel (Muhaimin, 2013).
2.2.1. Presipitasi Partikel dengen Penambahan Bukan Pelarut (Koaservasi) Pada metode ini mikropartikel dibuat dengan mendispersikan partikel kristal padat atau larutan encer obat dalam larutan organik yang mengandung polimer, diikuti dengan pemisahan fase dengan penambahan pelarut organik kedua dimana polimer tidak larut (yang didefinisikan disini sebagai bukan pelarut). Obat larut air misalnya naferalin asetat, dimasukan dalam mikropartikel
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
DL-PLG menggunakan metode ini (Sanders et al., 1984, 1985 dalam Muhaimin, 2013). Larutan encer obat diemulsifikasi dalam larutan polimer DL-PLG dan diklorometan untuk memproduksi emulsi air/minyak. Penambahan bukan pelarut menghasilkan presipitasi polimer di sekitar larutan encer obat untuk membentuk mikropartikel. Penambahan bukan pelarut dalam volume besar melengkapi proses ekstraksi pelarut polimer dan pengerasan mikrosfer. Metode yang sama telah digunakan pada obat oksitetrasiklin, tetapi pada proses ini partikel obat padat dicampurkan pada larutan polimer organik (Vidmar et al., 1984 dalam Muhaimin, 2013). Partikel yang diproduksi dengan metode ini memiliki distribusi ukuran yang luas dimana hal ini tidak diinginkan untuk penggunaan klinis. Mikropartikel yang diproduksi dengan metode ini juga memiliki kecenderungan besar untuk teragregasi. Hasil dari metode ini dapat dirubah dengan perubahan parameter penyiapan misalnya obat, rasio polimer, pelarut polimer, kecepatan pengadukan, suhu, volume bukan pelarut, dan tipe bukan pelarut (Muhaimin, 2013).
2.2.2. Presipitasi Partikel dengan Partisi Pelarut Pada metode ini, larutan atau suspensi obat dalam larutan polimer/pelarut organik dimasukan pada aliran minyak mineral secara perlahan. Pelarut organik larut dalam
minyak, tetapi obat dan polimer tidak larut dalam minyak,
kopresipitasi obat dan polimer terjadi sebagai partisi campuran dalam minyak. Hasil pada metode ini tergantung pada kelarutan obat. Apabila obat larut dalam larutan polimer, obat dan polimer akan terpresipitasi bersama. Apabila obat dicampurkan dalam larutan polimer, polimer akan terpresipitasi mengelilingi partikel obat padat (Muhaimin, 2013). Hidrokortison telah berhasil diformulasi dalam mikropartikel polimer polilaktida menggunakan metode ini. Namun mikropartikel yang terbentuk relatif lebih besar. Ukuran partikel berkisar antara 144 µm-412 µm, bergantung pada kecepatan aliran dan diameter jarum suntik dimana campuran obat/polimer dimasukan (Leelarasamee et al., 1988 dalam Muhaimin, 2013). Dengan metode ini, parameter penyiapan yang memberikan efek terhadap ukuran mikropartikel adalah diameter jarum suntik, rasio obat:polimer, kecepatan aliran minyak mineral, dan pilihan pelarut polimer (Muhaimin, 2013).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
2.2.3. Semprot Kering (Spray Drying) Semprot kering adalah perubahan bentuk emulsi, suspensi atau suatu dispersi menjadi bentuk kering melalui atomisasi produk dan pendispersian bahan pada udara panas. Teknik ini merubah cairan menjadi serbuk kering dalam satu langkah. Selain itu metode ini mudah dilakukan untuk proses scale up mikroenkapsulasi. Akhir-akhir ini di dunia industri, metode ini digunakan memproduksi berbagai macam makanan, kosmetik dan industi farmasi untuk memproduksi serbuk obat dan sediaan kering lainnya. Bahan yang larut air atau larut dalam pelarut organik dapat dikeringkan melalui proses semprot kering. Proses semprot kering terdiri dari tiga tahap, yaitu atomisasi, pengeringan, dan pengumpulan serbuk. Mula-mula cairan didispersikan ke dalam atomizer dan akan terdispersi menjadi droplet dalam udara hangat atau gas inert dalam chamber kering. Hal ini menyebabkan luas permukaan partikel besar sehingga tahapan penguapan pelarut terjadi dengan cepat. Setelah itu partikel kering melewati putaran udara dan terjadi pemisahan partikel berdasarkan energi sentrifugasi. Partikel yang terbentuk umumnya memiliki rentang distribusi ukuran yang sempit antara satu dan beberapa mikron tergantung pada kondisi proses dan formula awal. Obat hidrofobik dan hidrofilik dapat dienkapsulasi ke dalam polimer melalui semprot kering (Patel, H.V. et al., 2013). Pada pembuatan mikropartikel menggunakan metode ini, parameter yang harus dipertimbangkan adalah suhu inlet, kapasitas aspirator dan kapasitas pompa. Suhu inlet adalah parameter penting yang mempengaruhi dimensi dan hasil partikel. Suhu inlet yang digunakan harus sesuai dengan bahan (obat dan polimer) dan pelarut. Aspirator udara dapat mempengaruhi pengubahan droplet nebulizer menjadi partikel padat. Pompa peristaltik mempengaruhi waktu dan efikasi proses pengeringan (Patel, A.S., T. Soni., V. Thakkar., T Gandhi., 2012) Keuntungan teknik ini adalah senyawa larut air dan senyawa tidak larut air dapat dimasukan pada bulatan mikropartikel. Hal ini berbeda dengan sistem penguapan dengan emulsi tunggal minyak/air dimana metode ini tidak cocok untuk senyawa yang larut air. Progesteron dan teofilin telah berhasil dimasukan dalam mikropartikel polilaktida menggunakan metode semprot kering (Bodmeier and Chen, 1988 dalam Muhaimin 2013).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
Akan tetapi sistem ini memiliki beberapa kekurangan, misalnya kristal berbentuk jarum dibentuk ketika kafein dimasukan menggunakan metode ini ke dalam polimer polilaktida. Hal ini memungkinkan terjadinya inkompatibilitas antara obat dan polimer (Bodmeier and Chen, 1988 dalam Muhaimin, 2013). Begitu pula pada serat yang dapat terbentuk karena kekuatan dispersi yang tidak cukup untuk memtuskan larutan polimer. Pemilihan pelarut organik menjadi penting, polimer harus larut dalam pelarut, misalnya metilen klorida, etil asetat atau hexafluoroisopropanol, karena pelarut dapat menguap dengan cepat dalam udara panas pada fase pengeringan. Selain itu polimer yang digunakan juga biasanya tidak larut dalam pelarut organik (Muhaimin, 2013). Pada metode ini, selama tahap ekstraksi partikel dipaparkan pada udara panas dengan volume besar sehingga stabilitas obat termolabil atau obat sensitif oksidasi dapat berubah. Meskipun nitrogen akan mencegah proses oksidasi obat apabila digunakan untuk menggantikan udara pada fase ini, kemampuan konduksi nitrogen lebih kecil dari udara sehingga akan mempengaruhi hasil mikropartikel yang terbentuk. Pembuatan mikroparikel dengan metode ini mengasilkan partikel dengan ukuran diameter 5 sampai 125 µm (Muhaimin, 2013).
2.2.4. Metode Ekstraksi Cairan Superkritis Mikronisasi dan pengurangan ukuran partikel adalah hal menarik dalam teknologi farmasetik yang telah digunakan untuk menyelesaikan masalah kelarutan
atau
penargetan
obat.
Metode
pengurangan
ukuran
partikel
konvensional memerlukan proses kirstalisasi substansi sebelum proses dimulai. Selama fase ini, ukuran kristal tidak terkontrol. Ketika tenaga mekanis digunakan untuk mengurangi ukuran kristal, partikel yang terbentuk sering memiliki muatan permukaan dan menjadi lebih kohesif. Kekurangan lain yang berhubungan dengan kristalisasi diantaranya memerlukan biaya dan waktu yang besar, distribusi ukuran partikel bersifat polidispersi dengan jarak ukuran yang besar, dan pelarut organik yang bersifat toksik digunakna pada proses kristalisasi serta residu pelarut dalam proses rekristalisasi obat mungkin dapat melebihi batas yang diizinkan (Muhaimin, 2013).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
Penggunaan cairan superkritis sebagai media ekstraksi merupakan alternatif dalam pembuatan mikropartikel obat dan eksipien farmasi (Eckert et al., 1996; Fredriksen et al., 1997; Hanna et al., 1995; Marr and Gamse, 1999; McHugh and Krukonis, 1994; Subramaniam et al., 1997; York, 1999 dalam Muhaimin 2013). Penelitian yang memelopori pembuatan mikropartikel dari polimer biodegradabel menggunakan metode ekstraksi cairan superkritis sudah dilaporkan (Bleich et al., 1993, 1996; Bodmeier et al., 1995; Pablo et al., 1993; Thies and Müller, 1998; Tom et al., 1993 dalam Muhaimin 2013). Terdapat dua alasan utama dalam penggunaan teknik ini. Alasan pertama adalah cairan superkritis mampu melarutkan secara selektif sehingga dapat memungkinkan untuk memisahkan komponen tertentu dari campuran multikomponen. Alasan berikutnya adalah sifat perpindahan massa yang mneguntungkan dan kelarutan pelarut yang tinggi dalam cairan superkritis membuat proses pengeringan mikropartikel lebih cepat dan efisien dengan jumlah residu pelarut yang rendah (Folker et al., 1996 ; Shariati and Peters, 2003 dalam Muhaimin 2013). CO2 superkritis adalah cairan superkritis yang banyak digunakan karena memiliki kondisi kritis yang rendah (Tc = 31,1oC, Pc = 7,38 MPa), nontoksik, tidak mudah terbakar, dan memiliki hargayang murah. Teknik yang digunakan untuk
pembentukan
partikel
menggunakan
CO2
superkritis
diantaranya
penyebaran cepat larutan superkritis, berbagai macam proses antipelarut misalnya antipelarut gas, sistem ekstraksi pelarut, partikel dari larutan gas jenuh, proses antipelarut superkritis, dan disperse peningkat kelarutan melalui cairan superkritis (Kang,Yunqing et al., 2008)
2.2.5. Metode Penguapan Pelarut Metode penguapan pelarut banyak digunakan pada pebuatan mikropartikel polimer yang mengandung obat yang berbeda (Jalil and Nixon, 1990a; Lewis et al., 1984; Suzuki and Price, 1985; Wang et al., 1999 dalam Muhaimin, 2013). Beberapa variable yang dapat mempengaruhi mikropartikel telah diteliti diantaranya kelarutan obat, morfologi internal, tipe pelarut, kecepatan difusi, suhu, komposisi polimer, viskositas polimer, dan muatan obat (Benoit et al., 1996; Bodmeier and McGinity, 1988a, 1988b; Bodmeier et al.,1994; Jalil and Nixon,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
1990a, 1990b; Jaraswekin et al., 2007 dalam Muhaimin, 2013). Efektivitas metode penguapan pelarut untuk memproduksi mikrosfer tergantung pada keberhasilan penjerapan zat aktif dalam mikropartikel. Proses ini paling berhasil pada obat yang tidak larut atau sulit larut dalam medium cairan yang mengandung fase kontinyu (Bodmeier
and
McGinity,
1987 dalam Muhaimin, 2013).
Berbagai tipe obat dengan sifat fisika dan kimia yang berbeda dapat diformulasi menggunakan sistem polimer, termasuk obat antikanker (Abraham et al., 2010; Boisdron-Celle et al., 1995; Verrijk et al., 1992 dalam Muhaimin, 2013), zat narkotik (Mason
et al., 1976), anastesi lokal (Lalla and Sapna, 1993 dalam
Muhaimin, 2013), steroid (Cowsar et al., 1985; Giunchedi et al., 1995 dalam Muhaimin, 2013), zat pengontrol fertilitas (Beck et al., 1981; O’Hern et al., 1993 dalam Muhaimin, 2013). Terdapat perbedaan metode dalam membuat mikropartikel menggunakan metode penguapan pelarut. Peningkatan efisiensi enkapsulasi obat bergantung pada hidrofilisitas dan hidrofobisitas obat (Muhaimin, 2013).
2.2.5.1. Proses Emulsi Tunggal Menurut Muhaimim (2013), proses ini melibatkan emulsifikasi minyak dalam air (minyak/air). Sistem emulsi minyak/air terdiri dari fase organik yang mengandung pelarut mudah menguap dengan polimer terlarut dan obat yang telah terenkapsulasi, kemudian diemulsifikasi dalam fase cairan yang mengandung larutan surfaktan. Untuk obat yang tidak larut atau sulit larut dalam air, sering digunakan metode minyak dalam air. Metode ini adalah metode paling sederhana daripada metode lain. Metode ini terdiri dari 4 tahapan utama, yaitu: a. Disolusi obat hidrofobik dalam pelarut organik yang mengandung polimer b. Emulsifikasi fase organik, yang disebut fase dispersi, dalam fase encer yang disebut fase kontinyu c. Ekstraksi pelarut dari fase dispersi menggunakan fase kontinyu, diiringi penguapan pelarut, proses perubahan droplet dari fase dispersi menjadi partikel padat d. Proses recovery (perolehan kembali) dan pengerinagn mikrosfer untuk menghilangkan residu pelarut.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
Gambar 2.2. Skema Empat Prinsip Proses Dalam Pembuatan Mikrosfer Menggunakan Penguapan Pelarut (Minyak/Air) (sumber : Muhamin, 2013)
Sebagian besar sistem emulsi minyak dalam air digunakan untuk pembuatan mikropartikel yang mengandung fase organik yang terdiri dari pelarut mudah menguap dengan polimer terlarut dan obat yang terenkapsulasi kemudian diemulsifikasi dalam fase encer yang mengandung surfaktan terlarut (gambar 2.3). Surfaktan dimasukan pada fase kontinyu untuk mencegah koalesen droplet organik ketika terbentuk droplet (Muhamimin, 2013).
Gambar 2.3. Enkapsulasi Menggunakan Teknik Emulsi Minyak Dalam Air (sumber : Birnbaum and Peppas, 2004)
Larutan polimer-pelarut-obat diemulsifikasi (dengan kecepatan dan suhu tertentu) untuk menghasilkan emulsi minyak/air. Emulsi ini terbentuk dengan menggunakan baling-baling atau bar magnetic untuk mencampur fase organik dan fase kontinyu. Seperti yang terlihat pada gambar 3, surfaktan digunakan untuk menstabilkan pembentukan droplet fase dispersi selama proses emulsifikasi dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
mencegah terjadinya koalesen. Surfaktan besifat ampifatik di alam dan akan mengelilingi permukaan droplet untuk menstabilkan pembentukan droplet melalui pengurangan energi bebas pada interfase diantara dua fase. Surfaktan juga menyebabkan resistensi untuk terjadinya koalesen dan flokulasi mikrosfer. PVA adalah salah satu surfaktan yang banyak digunakan untuk memproduksi mikropartikel polimer biodegradabel dan non biodegradabel. Ketika emulsi terbentuk, kemudian dilakukan penghilangan pelarut melalui penguapan dan ekstraksi untuk memadatkan droplet polimer. Pada proses penghilangan pelarut melalui penguapan, emulsi dijaga pada tekanan rendah atau tekanan asmosfer dan kecepatan pengadukan dikurangi sehingga pelarut volatil dapat menguap (Muhaimin, 2013). Pelarut organik larut dari droplet menuju fase kontinyu eksternal sebelum menguap pada interfase air-udara. Pada proses ekstraksi, emulsi berpindah menuju air dalam jumlah besar atau medium lain, dimana pelarut dapat dikeluarkan dari droplet minyak. Kecepatan penghilangan pelarut melalui ekstraksi tergantung pada suhu medium, rasio volume emulsi dengan medium dan sifat kelarutan polimer, pelarut, dan medium dispersi. Hasil ekstraksi yang tinggi akan menyebabkan pembentukan partikel dengan porositas yang tinggi sehingga dapat menimbulkan profil pelepasan obat yang tidak dikehendaki (Arshady, 1991; Jeyanthi, 1996 dalam Muhaimin, 2013). Metode penghilangan pelarut melalui ekstraksi lebih cepat terjadi (umumnya kurang dari 30 menit) daripada proses penguapan dan hasil mikrosfer yang terbentuk dengan metode ekstraksi sering lebih berpori daripada menggunakan metode penguapan pelarut. Salah satu kekurangan proses emulsi minyak/air adalah efisiensi enkapsulasi yang rendah pada obat dengan kelarutan sedang dalam air. Obat berdifusi atau memisah dari fase terdispersi minyak menuju fase kontinyu dan fragmen mikrokristalin obat hidrofilik terdeposit pada permukaan mikrosfer (Cavalier et al., 1986 Muhaimin, 2013) serta terdispersi dalam matriks polimer. Hal ini menyebakan rendahnya penjerapan obat hidrofilik dan pelepasan awal obat yang cepat (efek ledakan/burst effect) (Jalil and Nixon, 1990b; Jones et al., 1995 Muhaimin, 2013). Proses emulsifikasi minyak/air banyak digunakan untuk enkapsulasi obat larut lemak. Untuk meningkatkan efisiensi enkapsulasi obat larut air, digunakan metode emulsi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
minyak dalam minyak (Tsai, 1986). Pada metode ini, obat dapat terlarut atau bercampur pada fase minyak sebelum didispersikan dalam fase minyak lainnya. Pelarut organik yang dapat bercampur dengan air, seperti asetonitril digunakan untuk melarutkan obat dalam PLGA atau PLA. Kemudian larutan ini didispersikan dalam minyak seperti minyak mineral ringan dengan ditambahkan surfaktan larut lemak seperti sorvitan oleat (Span) untuk menghasilkan emulsi minyak/minyak. Setelah itu mikropartikel didapatkan dengan penguapan atau ekstraksi pelarut organik dari droplet minyak terdispersi dan minyak yang dicuci dengan pelarut seperti n-heksan. Proses ini juga disebut metode emulsi air dalam minyak (Jalil and Nixon, 1990a; O’Hagan et al., 1994 Muhaimin, 2013).
2.2.5.1.Proses Emulsi Ganda Metode minyak dalam air sesuai untuk enkapsulasi obat hidrofilik tinggi karena terdapat dua alasan utama. Alasan pertama adalah obat hidrofilik tidak larut dalam pelarut organik. Alasan berikutnya adalah obat akan berdifusi menuju fase kontinyu selama proses emulsi yang dapat menyebabkan kehilangan obat yang tinggi. Terdapat empat alternatif untuk membuat obat hidrofilik dapat dienkapsulasi adalah: a. Metode
emulsi
ganda
air/minyak/air:
larutan
encer
obat
hidrofilik
diemulsifikasi dengan fase organik (emulsi air/minyak) kemudian emulsi ini terdispersi menuju larutan encer kedua untuk membentuk emulsi kedua. b. Metode kosolven minyak/air: ketika obat tidak larut dalam pelarut organik utama, pelarut kedua atau yang disebut kosolven diperlukan untuk melarutkan obat. c. Metode dispersi minyak/air: obat didispersikan pada serbuk padat dalam larutan polimer dan pelarut organik d. Metode penguapan pelarut bukan kontinyu minyak/minyak: fase kontinyu digantikan dengan bukan air (misalnya minyak mineral) (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013) Proses emulsi ganda biasa digunakan untuk obat yang tidak larut dalam pelarut organik. Proses emulsi padat minyak/air dapat digunakan untuk mengenkapsulasi obat yang dapat menghasilkan bentuk dengan ukuran kecil.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
Kristal dengan ukuran yang lebih kecil dapat disitribusikan secara homogen selama pembentukan droplet organik pada emulsi. Obat hidrofilik (cisplatin, doxorubicin) telah dienkapsulasi menggunakan metode ini. Masalah dalam enkapsulasi obat hidrofilik adalah kehilangan obat pada fase kontinyu eksternal selama pembentukan mikropartikel. Adanya kehilangan obat pada fase eksternal menyebabkan sisa obat akan bermigrasi ke permukaan droplet sebelum proses pemadatan. Untuk meminimalisisr masalah ini, droplet organik perlu dipadatkan menjadi mirkopartikel secepat mungkin (Thies, 1992 dalam Muhaimin, 2013). Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan larutan organik polimer yang kental dan meningkatkan volume sekunder air sehingga dapat menarik pelarut organik menuju fase encer dengan cepat. Setelah itu terbentuk mikropartikel dengan obat yang telah terenkapsulasi di dalamnya. Fase dispersi yang kental dapat mengurangi volume pelarut organik, memfasilitasi penghilangan pelarut organik secara cepat dari droplet, juga dapat menghalangi partikel/kristal obat padat untuk berpindah ke permukaan. Hal ini mengakibatkan distribusi obat dalam partikel menjadi lebih homogen (Muhaimin, 2013). Alternatif lain untuk mengenkapsulasi obat hidrofilik adalah dengan menggunakan proses emulsi air-minyak-air (gambar 4). Larutan encer obat ditambahkan pada fase organik yang mengandung polimer dan pelarut organik dengan pengadukan untuk membentuk emulsi pertama yaitu emulsi minyak dalam air. Emulsi ini kemudian didispersikan ke fase kontinyu yang mengandung surfaktan untuk membentuk emulsi kedua yaitu emulsi air/minyak/air. Beberapa obat hidrofilik seperti peptida leuprolida asetat (Okada, 1994; Toguchi, 1992), vaksin (Azevedo et al., 2006; Feng et al., 2006; Little et al., 2005; O'Hagan et al.,
1991;
Singh,
1995;), protein/peptida dan molekul konvensional telah
berhasil dienkapsulasi menggunakan metode ini. Masalah dalam tipe emulsi ini terjadi ketika emulsi dalam tidak stabil sehingga menyebabkan kehilangan droplet encer yang mengandung obat menuju fase kontinyu. Pemilihan surfaktan yang dapat digunakan untuk menstabilkan emulsi terbatas pada material yang akan terlarut dalam pelarut organik. Biasanya ester asam lemak dari polioksietilen atau sorbiton digunakan untuk obat dengan kelarutan tinggi pada pelarut organik dan memiliki kompatibilitas biologi yang baik (Muhaimin, 2013).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
Gambar 2.4. Skema empat proses utama pada proses penguapan/ekstraksi pelarut (Air/Minyak/Air) (sumber : Muhaimin, 2013)
2.3. Pembuatan Mikropartikel Menggunakan Metode Penguapan Pelarut Pembuatan mikropartikel menggunakan metode penguapan pelarut memerlukan beberapa bahan dan kondisi agar mikropartikel yang dihasilkan memiliki karakteristik yang ditargetkan.
2.3.1. Material Material yang digunakan pada pembuatan mikropartikel menggunakan metode ini terdiri dari dua fase, yaitu fase dispersi dan fase kontinyu.
2.3.1.1. Fase Dispersi Fase disperse pada metode ini terdiri dari polimer, pelarut dan komponen lain yang perlu diperhatikan oleh peneliti agar mikropartikel yang terbentuk sesuai dengan yang ditargetkan. a. Polimer Metode pembuatan mikropartikel adalah faktor penting dalam enkapsulasi dan pelepasan obat. Penyiapan bahan termasuk tipe polimer, berat polimer, komposisi
kopolimer,
sifat
eksipien
yang
ditambahkan
pada
formula
mikropartikel, dan ukuran mikropartikel dapat berpengaruh besar pada kecepatan penghantaran obat (Muhaimin, 2013). Tipe dan mekanisme polimer degradasi dapat mempengaruhi kecepatan pelepasan. Berdasarkan kecepatan terhidrolisis pada gugus fungsional, polimer dapat dikategorikan menjadi dua tipe, yaitu surface eroding (pengikisan permukaan) dan bulk eroding (pengikisan bulk) (Burkersroda et al., 2002; Kang et al., 2012; Kumar et al., 2002; Tabata et al., 1993; Tamada and Langer, 1993; UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
Wagdare et al., 2011 dalam Muhaimin, 2013). Polimer tipe pengikisan bulk seperti PLG, dapat menyebar pada air kemudian menjadi matriks polimer dan terdegradasi pada seluruh matriks mikropartikel. Berbeda dengan polimer pengikisan permukaan seperti polianhidrida yang mengandung monomer hidrofobik dengan ikatan lemah. Tipe polimer ini mencegah agar air tidak berpenetrasi ke dalam polimer bulk, dimana akan terdegradasi secara cepat menjadi oligomer dan monomer pada interfase polimer/air melalui proses hidrolisis (Saltzman, 2001 Muhaimin, 2013). Mikropartikel polimer pengikisan bulk sering terjadi obat pecah sebesar 50% dari total obat yang terdapat dalam mikropartikel tersebut (O’Donnell and McGinity, 1997 dalam Muhaimin, 2013). Pelepasan obat terjadi selama inkubasi pada beberapa jam pertama, diikuti dengan difusi pelepasan obat terkontrol secara pelan dan kadang-kadang fase ketiga dimana obat tersisa akan dilepaskan secara cepat. Hal ini terjadi akibat degradasi matriks polimer yang parah. Pada mikropartikel yang mengandung polimer pengikisan permukaan, obat dilepaskan pada permukaan ketika polimer pecah. Erosi pada polimer ini umumnya terjadi dengan kecepatan konstan (Gopferich and Langer, 1993; Kanjickal et al., 2004 Muhaimin, 2013). Apabila obat yang diinginkan terdispersi secara homogen dalam mikropartikel, kecepatan pelepasan yang tinggi akan terjadi pada awalnya. Seiring berjalannya waktu, area permukaan sferis dan kecepatan pelepasan akan menurun secara asimtomatis (Muhaimin, 2013). Polimer dengan berat molekul besar dapat mempengaruhi degradasi polimer dan kecepatan pelepasan obat. Peningkatan berat molekul dapat menurunkan kemampuan difusi dan mengurangi kecepatan pelepasan obat (Alonso et al., 1994; Katou et al., 2008; Le Corre et al., 1994; Liggins and Burt, 2001; Mabuchi et al., 1994; Yang et al., 2001dalam
Muhaimin, 2013).
Mekanisme utama pelepasan obat adalah difusi melalui pori yang terisi air. Degradasi polimer menghasilkan monomer dan oligomer yang larut sehingga dapat berdifusi keluar dari partikel. Produk yang lebih kecil akan dihasilkan oleh degradasi cepat dari polimer dengan berat molekul yang lebih rendah. Penurunan kecepatan pelepasan yang sejalan dengan kenaikan berat molekul polimer digunakan untuk molekul kecil, peptida dan protein (Blanco and Alonso, 1998;
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
Mehta et al., 1996 dalam Muhaimin, 2013). Akan tetapi pada mikrosfer polianhidrida (polimer tipe pengikisan permukaan), berat molekul hanya memberikan efek kecil pada pelepasan obat (Hanes et al., 1996; Tabata and Langer, 1993dalam Muhaimin, 2013). Rasio kopolimer pada berbagai kopolimer juga dapat memberikan efek pada kecepatan pelepasan. Selain itu peningkatan bahan yang dapat mempercepat degradasi monomer dapat meningkatkan kecepatan pelepasan (Lin et al., 2000; Shen et al., 2002; Spenlehauer et al., 1989 dalam Muhaimin, 2013). Ketika pelepasan obat dikontrol dengan polimer pengikis, kecepatan pelepasan dapat meningkat sejalan dengan tingginya konsentrasi monomer yang larut atau monomer yang lebih kecil (Tabata and Langer, 1993 dalam Muhaimin, 2013). Efek komposisi polimer dapat menjadi kompleks dengan adanya perbedaan fase polimer atau termodinamik obat yang terenkapsulasi (Kipper et al., 2002 dalam Muhaimin, 2013).
b. Pelarut Sifat pelarut yang sesuai digunakan dalam pembuatan mikropartikel menggunakan metode penguapan pelarut adalah dapat melarutkan polimer yang digunakan, sedikit larut pada fase kontinyu, volatilitas tinggi, titik didih rendah, dan toksisitas rendah (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013) Sebelumnya kloroform sering digunakan, akan tetapi karena toksisitas dan tekanan uap yang rendah, pelarut ini digantikan oleh diklorometan. Diklorometan (metilen klorida) adalah pelarut yang paling banyak digunakan untuk enkapsulasi menggunakan metode penguapan pelarut karena volatilitas yang tinggi, titik didih rendah dan ketidakbercampuran dengan air yang tinggi (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013). Selain itu etil asetat juga berpotensi digunakan karena memiliki toksisitas yang lebih rendah dari diklorometan. Akan tetapi kebercampuran parsial etil asetat dalam air (4,5 kali lebih tinggi dari diklorometan), mikrosfer tidak dapat terbentuk apabila fase terdispersi dikenali secara langsung oleh fase kontinyu. Ekstraksi mendadak etil asetat dari fase terdispersi menyebabkan polimer terpresipitasi menjadi serat seperti aglomerat (Freytag et al, 2000 dalam Muhaimin, 2013). Guna menyelesaikan masalah ketercampuran pelarut dengan air dapat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
menggunakan tiga metode,yaitu larutan encer dijenuhkan terlebih dahulu dengan pelarut (Bahl and Sah, 2000 dalam Muhaimin, 2013). Metode kedua dengan mengemulsifikasikan fase dispersi dengan sedikit larutan encer. Setelah pembentukan droplet, emulsi ini dimasukan ke dalam larutan encer dalam jumlah besar (Freytag et al, 2000 dalam Muhaimin, 2013). Metode terakhir adalah mengemulsikan fase dispersi dengan sedikit larutan encer kemudian larutan diagitasi dan pelarut menguap sehingga terjadi pemadatan mikrosfer (Sah, 1997 dalam Muhaimin, 2013). Kesimpulannya, pelarut dengan toksisitas rendah telah diuji dan menunjukan bahwa pelarut tersebut dapat digunakan untuk pembuatan mikropartikel. Akan tetapi belum ada hasil yang cukup untuk membandingkan kualitas mikrosfer dengan pelarut yang berbeda. Diklorometan masih menjadi pelarut yang paling banyak digunakan karena cepat menguap, efisiensi enkapsulasi obat tinggi, menghasilkan bentuk mikrosfer yang sferis dan lebih seragam (Muhaimin, 2013).
c. Komponen Lain Pada beberapa kasus, bahan lain yang ditambahkan pada fase dispersi seperti kosolven dan generator penyerap (Muhaimin, 2013). Kosolven digunakan untuk melarutkan obat yang tidak larut dalam pelarut pada fase dispersi (Graves et al., 2006; Hsu and Lin, 2005; Li et al., 2008; Luan et al., 2006; Reithmeier et al., 2001 dalam Muhaimin, 2013). Generator penyerap atau yang disebut porosigen atau porogen digunakan untuk menghasilkan pori di dalam mikropartikel sehingga dapat meningkatkan kecepatan degradasi polimer dan meningkatkan kecepatan pelepasan obat (Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013). Pelarut organik seperti heksan yang tidak melarutkan poli asam laktat dan poli asam laktat koglikol dapat dicampurkan ke dalam mikrosfer untuk membentuk pori (Li et al., 2008; Spenlehauer et al, 1986 dalam Muhaimin, 2013). Penggabungan Sephadex (sambung silang gel dekstran) dalam mikrosfer insulin-PLA dapat meningkatkan porositas mikrosfer secara signifikan (Li et al, 2008; Watts et al, 1990 dalam Muhaimin, 2013). Sejumlah
n-heptan
dengan
volume
tertentu
ditambahkan
pada
emulsi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
etilselulosa/diklorometan untuk enkapsulasi aspirin, juga untuk meningkatkan porositas obat. Akan tetapi pemberian n-heptan yang berlebihan menyebabkan mikrosfer memiliki porositas tinggi sehingga menyebabkan efisiensi enkapsulasi obat rendah (Li et al, 2008; Yang et al, 2000a dalam Muhaimin, 2013).
2.3.1.2. Fase Kontinyu a. Surfaktan Surfaktan atau juga disebut agen tensioaktif sering digunakan untuk mendispersikan satu fase ke fase lain yang tidak bercampur dan menstablikan emulsi. Surfaktan dapat mengurangi tegangan permukaan fase kontinyu, menghindari koalesen dan aglomerasi droplet dan menstabilkan emulsi. Surfaktan yang sesuai dapat menghasilkan mikropartikel dengan ukuran umum dan distribusi ukuran partikel yang kecil. Selain itu surfaktan dapat menjamin pelepasan obat untuk menjadi lebih terprediksi dan stabil. Sebelum memilih tipe dan konsentrasi surfaktan, perlu terlebih dahulu mengetahui polaritas kedua fase tidak
bercampur,
ukuran
mikropartikel
yang
diinginkan
dan
sferisitas
mikropartikel. Surfaktan untuk emulsi bersifat ampifilik. Salah satu bagian molekul memiliki afinitas untuk menjadi zat terlarut yang polar seperti air dan bagian lain memiliki afinitas menjadi zat tidak polar seperti hidrokarbon (hidrofobik). Ketika surfaktan dicampurkan dalam emulsi, surfaktan akan menutupi permukaan droplet dengan bagian hidrofobiknya dalam droplet dan bagian hidrofilik terdapat dalam air (Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013). Terdapat empat klasifikasi surfaktan berdasarkan bagian hidrofilik dalam molekulnya, yaitu anionik, kationik, amfoterik, dan non ionik. Surfaktan anioik menghasilkan muatan negatif pada larutan kontinyu. Surfaktan ini memiliki HLB atau hydrophilic-lipophile balance (keseimbangan hidrofilikk-lipofilik) tinggi karena surfaktan jenis ini memiliki kecenderungan bersifat hidrofil. Tipe kedua adalah surfaktan kationik. Surfaktan ini memberikan muatan positif pada larutan encer. Tipe selanjutnya adalah surfaktan amfoterik. Surfaktan amfoterik bersifat anionik pada pH basa dan bersifat kationik pada pH asam. Tipe terakhir adalah surfaktan non ionik. Surfaktan non ionik tidak memiliki muatan (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
Sebagian besar emulsi diklorometan/air, menggunakan beberapa tipe surfaktan. Pertama adalah tipe non ionik misalnya PVA (Polivinil Alkohol) terhidrolisis sebagian, metil selulosa (Berchane et al., 2006; Lee et al., 1999 dalam Muhaimin, 2013), tweenn (Yang et al., 2000 dalam Muhaimin, 2013) dan span (Jalil and Nixon., 1990a dalam Muhaimin, 2013). Tipe kedua adalah tipe anionik, misalnya SDS atau sodiun dodecyl sulphate (natrium dodesil sulfat) (Muhaimin, 2013). Tipe selanjutnya adalah tipe kationik: CTAB atau cetyltrimethyl ammonium bromide (setiltrimetil amonium bromida) (Muhaimin, 2013) Dari kesekian surfaktan ini, yang paling umum digunakan adalah PVA karena PVA dapat menghasilkan ukuran mikrosfer yang paling kecil (Jeffery et al., 1991 dalam Muhaimin, 2013). Peningkatan konsentrasi surfaktan dapat mengurangi ukuran
mikropartikel (Pachuau,
L., B, Mazumder,
2009).
Penambahan surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan fase kontinyu sehingga dapat mengurangi ukuran partikel. Akan tetapi selama konsentrasi misel kritis atau critical micelle concentration (CMC), tegangan permukaan tidak dapat menurun. Ketika konsentrasi surfaktan mencapai level tertentu, permukaan larutan dapat diisi secara sempurna. Penambahan surfaktan lebih lanjut dapat menyebabkan terbentuknya misel dan tegangan permukaan fase encer tidak akan menurun lagi (Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013).
b. Antifoam (Antibusa) Selain surfaktan, antibusa terkadang ditambahkan pada fase kontinyu ketika dilakukan agitasi yang kuat karena busa dapat mengganggu pembentukan mikrosfer. Ketika kecepatan pengadukan ditingkatkan, udara akan banyak masuk dan membentuk busa. Antibusa yang digunakan dapat berupa silika atau nonsilika dan digunakan saat kecepatan dinaikan dimana gelembung udara sudah tidak teratur (Berchane et al, 2006; Li et al, 2008; Torres et al, 1998 dalam Muhaimin, 2013).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
2.3.2. Kondisi dalam Pembuatan Mikropartikel Menggunakan Metode Penguapan Pelarut Faktor lain yang perlu diperhatikan oleh peneliti pada pembuatan mikropartikel menggunakan metode penguapan pelarut adalah kondisi dalam pembuatan mikropartikel. Kondisi tersebut adalah agitasi, prediksi ukuran, suhu, dan tekanan. 2.3.2.1. Agitasi dan Prediksi Ukuran Agitasi adalah salah satu parameter paling penting untuk mengontrol ukuran mikropartikel selain sifat fisikokimia material yang digunakan. Banyak faktor yang berhubungan dengan agitasi yang dapat memberikan efek pada ukuran mikropartikel, misalnya geometri wadah, dorongan, posisi dorongan, dan rasio diameter dorongan apabila dibandingkan dengan diameter wadah (Li et al, 2008; Maa and Hsu, 1996 dalam Muhaimin, 2013). Terdapat beberapa korelasi yang dapat memprediksi ukuran dan distribusi droplet dalam emulsi dua cairan tidak bercampur (Maa and Hsu, 1996 dalam Muhaimin, 2013). Korelasi ini memiliki dua aspek, yaitu: a.
Sifat fisik bahan, seperti masa jenis fase kontinyu dan tegangan antarmuka
b.
Faktor yang berhubungan dengan agitasi (Li et al. 2008 dalam Muhaimin, 2013) Peningkatan kecepatan agitasi dapat menurunkan rata-rata ukuran
mikropartikel (Mateovic et al., 2002; Yang et al.,2000b dalam Muhaimin, 2013). Disisi lain dilaporkan bahwa peningakatan volume fase dispersi dapat menurunkan ukuran mikropartikel (Jeffery et a., 1991, 1993; Jeyanthi et al, 1997; Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013), namun pada studi lain tidak ada pengaruh yang diteliti (Sansdrap and Moës, 1993 dalam Muhaimin, 2013).
2.3.2.2. Suhu dan tekanan Kecepatan penguapan pelarut dapat dipercepat dengan peningkatan suhu fase kontinyu (Li, 1994; Li et al., 2008; Miyazaki et al., 2006 dalam Muhaimin, 2013) atau dengan mengurangi tekanan wadah atau reaktor (Izumikawa et al., 1991; Chung et al., 2001, 2002; Meng et al., 2004 dalam Muhaimin, 2013). Akan tetapi terdapat kekurangan saat suhu dinaikan, yaitu terjadi penurunan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
massa total perolehan kembali, perubahan distribusi ukuran menjadi lebih besar, penurunan efisiensi enkapsulasi obat, dan morfologi menjadi lebih kasar (Freitas et al., 2005 dalam Muhaimin, 2013). Suhu yang digunakan tidak boleh terlalu tiggi supaya obat tetap bersifat alami dan agar pelarut dapat mencapai titik didih. Oleh karena itu pengurangan tekanan menjadi pilihan yang lebih baik (Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013). Studi yang dilakukan oleh Meng et al (2004), pengisian hemoglobin bovin pada mikrosfer PELA atau poly(d,l-lactic acid)-co-poly(ethylene glycol) (poli asam
laktat
kopolietilen
glikol)
dibuat
menggunakan
metode
emulsi
air/minyak/air dengan kondisi tekanan atmosfir dan kondisi penurunan tekanan (30 kPa). Waktu pemadatan mikropartikel menurun dari 240 menit menjadi 40 menit akibat penurunan tekanan. Pengurangan tekanan dapat meningkatkan efisiensi enkapsulasi pada beberapa kasus (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013). Progesteron yang dimasukan pada mikrosfer polilaktida menggunakan teknik penguapan pelarut minyak/air, didapatkan hasil bahwa efisensi enkapsulasi lebih besar pada mikrosfer yang dibuat menggukan metode penguapan pelarut dengan penurunan tekanan, yaitu 200 mmHg lebih rendah daripada tekanan atmosfir mula-mula yaitu 760 mmHg. Akan tetapi penelitian lain menunjukan hasil yang berbeda (Izumikawa et al., 1991 dalam Muhaimin, 2013). Efisiensi enkapsulasi lidokain (Chung et al., 2001 dalam Muhaimin, 2013) atau albumin (Chung et al., 2002 dalam Muhaimin, 2013) pada mikrosfer PLA yang dibuat dengan penurunan tekanan lebih rendah daripada mikropartikel yang dibuat menggunakan tekanan atmosfir. Morfologi permukaan mikrosfer yang diukur menggunakan scanning electron microscopy pada mikrosfer yang dibuat menggunakan metode tekanan atmosfir menunjukan permukaan yang berpori dan keras (Izumikawa et al., 1991 dalam Muhaimin, 2013). Sementara mikrosfer yang dibuat menggunakan metode pengurangan tekanan memiliki permukaan yang halus. Mikrosfer yang dibuat dengan tekanan yang berbeda memiliki ukuran yang mirip dengan penelitian Meng et al (2004). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Chung et al (2001, 2002) dimana mikrosfer yang dibuat menggunakan metode penurunan tekanan memiliki ukuran yang lebih kecil daripada yang dibuat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
menggunakan tekanan atmosfir. Pengaruh tekanan pada ukuran mikrosfer masih belum jelas karena penelitian yang masih kurang (Muhaimin, 2013). Penurunan tekanan dapat meningkatkan kecepatan penguapan sehingga tekanan yang digunakan sebaiknya serendah mungkin. Namun apabila tekanan lebih rendah dari tekanan uap jenuh pelarut pada suhu tertentu, pelarut akan mendidih. Pembentukan gelembung dapat merusak droplet fase dispersi, jadi pengurangan tekanan perlu dijaga agar tidak melebihi tekanan uap jenuh pelarut pada suhu tertentu. Analisi lain menunjukan bahwa suhu harus dijaga pada titik didih saat dilakukan pengurangan tekanan (Li et al, 2008 dalam Muhaimin, 2013).
2.4. Penghantaran Obat Melalui Paru-Paru Pengembangan terapi inhalasi yang memiliki efikasi dan keamanan yang tinggi tidak hanya dipengaruhi oleh sifat farmakologi zat aktif, tetapi juga sistem penghantaran dengan desain dan formulasi yang baik. Optimasi keseluruhan sistem, yaitu obat, formulasi obat dan device (alat) perlu dilakukan untuk mengembangkan terapi inhalasi, baik untuk terapi penyakit lokal maupun penyakit sistemik. Kombinasi obat-alat harus dapat membuat kondisi aerosol obat dengan distribusi ukuran partikel yang tepat dan konsentrasi untuk meningkatkan optimasi deposisi serta dosis pada area paru-paru yang diinginkan (Labiris, N.R., MB, Dolovich., 2003). Penghantaran obat melalui paru-paru sudah digunakan semenjak ribuat tahun yang lalu. Awal mula terapi inhalasi adalah 4000 tahun yang lalu dimana masyarakat India menghirup asap tanaman Atropa belladonna untuk mengobati batuk. Pada abad ke 19 dan ke 20, sigaret asma yang mengandung serbuk stramonium
dengan
campuran
rokok
untuk
mengobati
penyakit
asma
dikembangkan. Pengembangan alat inhalasi modern dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu nebulizer, MDI (Metered Dose Inhaler), dan DPI (Dry Powder Inhaler) (Labiris,N.R.,MB, Dolovich., 2003). a.
Nebulizer Nebulizer telah digunakan selama beberapa tahun yang lalu untuk mengobati asma dan penyakit pernafasan lainnya. Terdapat dua tipe dasar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
nebulizer yaitu jet nebulizer dan ultrasonik (Labiris,N.R.,MB, Dolovich., 2003). b.
MDI (Metered Dose Inhaler) MDI adalah alat inhalasi yang mudah dibawa dan saat ini paling banyak digunakan untuk penghantaran aerosol. MDI hanya menghantarkan dosis obat fraksi kecil pada paru-paru. Hanya 10-20% dosis obat yang terdeposit di paru-paru. Efisiensi penghantaran MDI bergantung pada pola pernafasan pasien, kecepatan aliran pernafasan dan koordinasi tangan-mulut. Menurut penelitian Bernnett et al dan Dolvich et al, untuk partikel dengan ukuran partikel 1 dan 5 µm pada mass median aerodynamic diameter (MMAD), deposisi lebih tergantung pada kecepatan aliran pernafasan daripada variabel lain. Peningkatan kecepatan aliran pernafasan dapat menurunkan deposisi dosis obat pada paru-paru dan penetrasi ke aliran (Labiris,N.R.,MB, Dolovich., 2003).
c.
DPI (Dry Powder Inhaler). DPI
digunakan
untuk
menyelesaikan
kesulitan
koordinasi
yang
berhubungan dengan MDI. Deposisi paru-paru dapat bermacam-macam pada DPI yang berbeda. Sekitar 12-40% dosis dihantarkan ke paru-paru sementara 20-25% obat akan tertinggal pada alat (Labiris,N.R.,MB, Dolovich., 2003). Formulasi obat memberikan peranan penting dalam produksi inhalasi yang efektif. Pengobatan dengan inhalasi tidak hanya penting dari segi farmakologi zat aktif tetapi juga harus bisa dihantarkan secara efisien, tepat target dan tertinggal di paru-paru sampai terjadi efek farmakologi yang diinginkan. Obat yang didesain untuk mengobati penyakit sistemik misalnya insulin untuk diabetes, harus terdeposit pada perifer paru-paru untuk memastikan bioavaibilitas sistemiknya maksimum. Untuk terapi gen atau pengobatan antibiotik di cairan serebrospinal, obat perlu dikondisikan untuk tertinggal di paru-paru agar tercapai efek terapi optimal. Oleh karena itu diperlukan formula yang dapat membuat obat tertinggal di paru-paru sesuai dengan waktu yang diinginkan dan menghindari mekanisme pembersihan paru-paru. Formulasi serbuk kering untuk inhalasi melibatkan mikronisasi melalui pencampuran jet, presipitasi, freeze dryng (pembekuan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
kering), atau semprot kering menggunakan berbagai eksipien misalnya lipid, polimer, atau sistem pembawa seperti laktosa. Masing-masing sistem ini memiliki keunggulan dan kekurangan bergantung pada agen terapetik yang diformulasikan (Labiris, N.R., MB, Dolovich, 2003). Salah satu formulasi serbuk kering untuk produk inhalasi adalah menggunakan polimer biodegradabel. Mikrosfer polimer biodegradabel telah diteliti sebagai pembawa dalam penghantaran obat lepas lambat melalui paruparu. Polimer seperti poli asam laktat (PLA) digunakan pada aplikasi medis seperti benang bedah. Implan ortopedi dan pembalut medis. Namun poli asam laktat tidak cocok digunakan sebagai penghantaran obat melalui paru-paru karena waktu paruh biologi yang lama dengan dosis satu kali selama beberapa minggu. Penelitan tentang pelepasan BDP lepas lambat yang dimuat dalam mikrosfer PLA bertahan selama 6 hari. Asam oligolaktat, oligomer dari asam laktat memiliki waktu paruh biologis yang lebih pendek dari PLA sehingga lebih sesuai digunakan untuk penghantaran obat melalui paru-paru. Polimer mukoadhesif seperti hydroxypropyl cellulose (HPC) dapat memperlama farmakokinetik dan farmakodinamik kristal BDP dengan menghindari pembersihan mukus (Labiris, N.R., MB, Dolovich, 2003).
2.5. Diltiazem Hidroklorida Diltiazem hidroklorida adalah antagonis saluran kalsium yang banyak digunakan untuk pengobatan angina pektoris, hipertensi dan aritmia (Gilman, A.G., 2012). Kelarutan diltiazem menurun secara signifikan seiring dengan peningkatan pH saluran pencernaan (Gowda D.V, 2010).
Gambar 2.5. Struktur Diltiazem Hidroklorida (sumber : Kelly,J.G., O’Malley,K, 1992 dalam Sweetman, Sean C., 2009)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
Pemberian diltiazem hidroklorida melalui oral menyebabkan beberapa efek samping, misalnya sakit kepala, bengkak pada pergelangan kaki, mual, muntah, anoreksia, konstipasi, diare, dan gangguan gastrountestinal lainnya (Kelly, J.G., O’Malley,K., 1992 dalam Sweetman, Sean C., 2009). Diltiazem diabsorpsi dengan baik melalui saluran pencernaan setelah pemberian oral, namun obat ini akan mengalami metabolisme hepatik lintas pertama (first pass metabolism) yang berlebih sehingga menyebabkan bioavaibilitas dilttiazem dalam plasma sebesar 40% meskipun terdapat variasi individual pada konsentrasi plasma. Diltiazem terikat 80% dengan protein plasma. Obat ini dimetabolisme di hati, terutama oleh Sitokrom P450 isoenzim CYP3A4. Salah satu hasil metabolitnya, yaitu desasetildiltiazem telah dilaporkan memiliki aktivitas lebih besar 25 sampai 50% dari senyawa utamanya (parent compound). Diltiazem hidroklorida berbentk serbuk kristal dengan warna putih atau hampir putih. Obat ini mudah larut dalam air, diklorometan dan metil alkohol, namun sedikit larut dalam alkohol terdehidrasi. Diltiazem hidroklorida memiliki waktu paru 3 sampai 5 jam. Sedangkan waktu puncaknya (Tmax) terjadi pada 3 sampai 4 jam setelah pemberian oral. Obat ini harus disimpan dalam wadah tertutp rapat dan terlindung dari cahaya (Kelly,J.G., O’Malley,K., 1992 dalam Sweetman, Sean C., 2009).
2.6. Etil Selulosa Etil selulosa dengan nama lain Aquacoat ECD; Aqualon; Ashacel; E426; Ethocel, Ethylcellulosum; Surelease memiliki berbagai berat molekul (Rowe, Paul., Marian, 2009).
Gambar 2.6. Struktur Kimia Etil Selulosa [sumber : Rowe, Paul., Marian, 2009]
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
Etil selulosa berbentuk serbuk, tidak berasa, mudah mengalir, bewarna putih sampai coklat muda. Praktis tidak larut dalam gliserin, propilen glikol dan air. Etil sellosa yang mengandung gugus etoksi kurang dari 46,5% bersifat mudah larut dalam kloroform, metil asetat, tetrahidrofuran, dan campuran hidrokarbon aromatik dengan etanol (95%). Sedangkan etil selulosa yang mengandung tidak kurang dari 46,5% gugus etoksi bersifat mudah larut dalam kloroform, etanol (95%), etil asetat, metanol, dan toluen. Berbagai macam jenis viskositas tersedia secara komersial, mulai dari 7 sampai 100 mPa s (7-100 cP) (Rowe, Paul., Marian, 2009). Etil selulosa banyak digunakan dalam sediaaan oral dan topikal. Fungsi utama polimer ini dalam sediaan oral adalah sebagai agen penyalut untuk tablet dan granul. Pelapis etil selulosa digunakan untuk obat dengan pelepasan termodifikasi; menghilangkan rasa tidak enak; meningkatkan stabilitas sediaan, misalnya granul yang dilapisis dengan etil selulosa akan terhindar dari reaksi oksidasi. Selain itu etil selulosa yang dilarutkan dalam pelarut organik atau campuran pelarut dapat digunakan untuk membuat film yang tidak larut dalam air. Etil selulosa dengan viskositas tinggi cenderung menghasilkan film yang kuat dan dapat tahan lebih lama. Pelepasan obat melalui sediaan yang dilapisis dengan etil selulosa dapat dikontrol dengan difusi melalui pelapis film. Etil selulosa dengan viskositas tinggi digunakan untuk enkapsulasi obat. Pelepasan obat dari mikrokapsul etil selulosa tergantung pada ketebalan dinding dan luas permukaannya. Pada sediaan topikal, etil selulosa digunakan sebagai agen penebal (thickening agent) dalam krim, losion atau gel. Selain itu etil selulosa juga digunakan sebagai agen penstabil pada emulsi. Etil selulosa juga digunakan pada kosmetik dan produk makanan (Rowe,Paul., Marian, 2009). Etil selulosa bersifat stabil dan sedikit higroskopis. Degradasi etil selulosa terjadi ketika polimer ini terpapar sinar matahari atau sinar UV saat suhu naik. Selain itu etil selulosa tidak bercampur dengan lilin parafin dan lilin mikrokristalin. Etil selulsa harus disimpan dalam wadah kering yang terhindar dari sumber panas dan disimpan pada suhu tidak lebih dari 32oC. Polimer ini harus dijauhkan dai agen peroksida atau agen pengoksidasi (Rowe, Paul., Marian, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
2.9 Polivinil Alkohol (PVA) Polivinil alkohol adalah polimer sintetis yag larut air dengan rumus (C2H3O)n. Nilai n secara komersial berkisar antara 500 dan 5000 yang ekuivalen dengan berat molekul yaitu 20.000-200.000. Polimer ini berbentuk serbuk granul tidak bewarna, putih sampai bewarna krem (Rowe,Paul., Marian, 2009).
Gambar 2.7. Rumus Struktur Polivinil Alkohol [sumber : Rowe, Paul., Marian, 2009]
Polimer ini sering digunakan pada sediaan topikal dan optalmik. Selain itu digunakan pula sebagai agen penstabil pada emulsi (0,25-3,0% b/v). PVA digunakan sebagai agen peningkat viskositas pada sediaan optalmik. Polimer ini digunakan pula pada formulasi lepas lambat untuk pemberian oral. PVA dibuat menjadi mikrosfer ketika dicampur dengan larutan glutaraldehida. Polimer
ini
dapat larut dalam air, sedikit larut dalam etanol (95%), tidak larut dalam pelarut organik. Pada proses pelarutan PVA dalam air, PVA dicampur dengan air pada suhu 90oC selama sekitar 5 menit. Proses pencampuran harus tetap dillanjutkan ketika larutan sudan menjadi dingin kembali (pada suhu ruang) (Rowe, Paul., Marian, 2009). PVA akan stabil apabila disimpan dalam wadah tertutup rapat pada tempat yang sejuk dan kering. Polimer ini akan stabil pada wadah korosif. Selain itu material ini akan terdegradasi secara perlahan pada suhu 100oC dan akan cepat terdegradasi pada suhu 200oC. Polimer ini bersifat stabil terhadap paparan cahaya. Selain itu, materal ini akan mengalami reaksi spesifik pda senyawa yang memiliki gugus hidroksi sekunder, misalnya reaksi esterifikasi. Bahan ini akan menjadi rusak apabila terpapar asam kuat. Kemudian akan larut pada asam lemah dan basa. Polimer ini berifat inkompatibel dengan garam anorganik khususnya sulfat dan fosfat pada konsentrasi tinggi. Presipitasi PVA 5% b.v dapat terjadi akibat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
adanya fosfat. Selain itu akan terbentuk gel polivinilalkohol apabila terdapat boraks (Rowe,Paul., Marian, 2009). .
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1.
Tempat dan Waktu Penelitian Tempat
penelitian
dilaksanakan
di
Laboratorium
Penelitian
1,
Laboratorium Penelitian 2, Laboratorium Farmakologi, Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Laboratorium Farmakognosi dan Fitkimia, dan Laboratorium Sediaan Padat Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian berlangsung 6 bulan, dari bulan Januari hingga Juni 2015.
3.2.
Alat dan Bahan
3.2.1. Alat Homogenizer (Ace Homogenizer), timbangan analitik (AND GH-202), hotplate (Thermo Scientific), desikator, sentrifugator (Hettich Zentrifugen EBA 20), mikroskop optik (Olympus TH4 200), spektrofotometer UV-Vis (Hitachi U2910), shaking bath (Advantex), pH meter (Horiba), gunting, spuit, kaca arloji, spuit, vial, dan alat-alat gelas yang sering dipakai di laboratoirum.
3.2.2. Bahan Diltiazem hidroklorida (PT. Indofarma), akuades, etil selulosa N10 (Ashland), diklorometan, polivinil alkohol (Shadong Bio-technologi), metanol, KH2PO4, NaOH, air deionisasi, aluminium foil, lem sianoakrilat, kertas Sartorius 0,45 µm, kertas penyaring hidrofilik 0,45 µm, dan plastik wrap.
3.3.
Prosedur Kerja
3.3.1. Formula Mikropartikel Melalui perhitungan, maka setiap formula mikropartikel diltiazem hidroklorida mengandung komponen seperti yang ada dalam tabel 3.1.
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
3.3.2. Pembuatan Mikropartikel Mikropartikel diltiazem hidroklorida berbasis etil selulosa dibuat menggunakan metode penguapan pelarut dengan sistem emulsi minyak/air. Pada penelitian ini dibuat 2 formulasi. Mula-mula diltiazem hidroklorida dilarutkan menggunakan 6 ml diklorometan. Kemudian etil selulosa dilarutkan dalam 20 ml diklorometan dan ditambahkan sampai diklorometan mencapai volume 120 ml. Disisi lain poli vinil alkohol (PVA) dilarutkan dalam air panas. Setelah itu larutan PVA didispersikan ke dalam larutan diltiazem hidroklorida dan etil selulosa. Proses pembentukan emulsi minyak/air dilakukan dengan homogenizer dengan kecepatan 8000 rpm selama 4 jam. Setelah 4 jam mikropartikel dipisahkan dari fase cairan eksternal dengan sentrifugasi dan dilanjutkan dengan mencuci mikropartikel dengan air deionisasi. Kemudian sampel disimpan pada desikator selama 24 jam
setelah itu dilakukan evaluasi (Muhaimin, 2013, dengan
modifikasi). Tabel 3.1. Formula Mikropartikel Diltiazem Hidroklorida FORMULA BAHAN F1 F2 Diltiazem hidroklorida
120 mg
120 mg
Etil selulosa
300 mg
300 mg
Larutan PVA 8%
400 ml
-
Larutan PVA 1%
-
400ml
120 ml
120 ml
Diklorometan
[sumber: Muhaimin, 2013, dengan modifikasi]
3.3.3. Penentuan Perolehan Kembali Perolehan kembali ditentukan dengan menghitung persentasi mikropartikel terhadap semua bahan yang digunakan
Keterangan : %PK = faktor perolehan kembali, Wm = bobot mikropartikel yang diperoleh (mg), Wt= bobot bahan pembentuk mikropartikel (mg). (sumber: Jelvehgari, M., S,Dastmalch., N,Derafshi., 2010)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
3.3.4. Penentuan Ukuran Mikropartikel Penentuan ukuran mikropartikel dilakukan menggunakan mikroskop optik. Sejumlah mikropartikel didispersikan ke dalam olive oil kemudian diletakan di kaca objek dan dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali dan 200 kali (Weerakody, R., Fragan, P., Kosaraju, A.L., 2008 dikutip dalam Kasih, Nirmala., 2014).
3.3.5. Penetuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembuatan Kurva Kalibrasi Dibuat satu seri konsentrasi larutan diltiazem hidroklorida dengan cara ditimbang saksama 5 mg bahan baku diltiazem hidroklorida kemudian dilarutkan di dalam 50 ml dapar fosfat pH 7,4. Setelah itu dibuat seri konsentrasi 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, dan 15 ppm. Pada sampel dengan konsentrasi 10 ppm dilakukan pengukuran panjang gelombang maksimum yaitu sampel diukur serapannya pada panjang gelombang 400-200 nm menggunakan spektrofotometer UV. Setelah itu dilakukan pengukuran pada sampel dengan konsentrasi 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15 ppm (Sofiah, S., Faizatun, Y, Riyana., 2007; Nadia, A., Al-Assady., 2011; dengan modifikasi).
3.3.6. Penentuan Kadar Obat dan Efisiensi Penjerapan Sebanyak 10 mg mikropartikel diekstraksi dalam 2 ml metanol kemudian diagitasi dalam shaking bath selama 2 jam. Setelah itu dilakukan pengenceran 100 kali dalam dapar fosfat pH 7,4 (Muhaimin, 2013). Polimer yang tidak larut di dapar fosfat dipisahkan dari larutan encer dengan filtrasi menggunakan kertas penyaring hidrofilik 0,45 µm. Konsentrasi diltiazem HCl dalam larutan encer diukur dengan spektrofotometer UV dengan panjang gelombang gelombang maksimum (Muhaimin, 2013 dengan modifikasi). Kadar obat dan efisiensi penjerapan dihitung menggunakan rumus:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
Kadar Obat (%)= (Wm/Wp) x 100% Efisiensi Penjerapan= (Co/Ct) x 100% Keterangan
: Wm = Massa obat dalam mikropartikel Wp = Massa mikropartikel Co = Kadar obat Ct = Kadar obat secara teori (sumber: Muhaimin, 2013 dengan modifikasi)
3.3.7. Pelepasan Obat secara In Vitro Pelepasan obat secara in vitro dari mikropartikel dilakukan menggunakan alat uji disolusi modifikasi. Ditimbang 50 mg mikropartikel kemudian mikropartikel dibungkus dalam membran sartorius dengan pori 0,45 µm dan diameter 4,7 cm. Setelah itu membran dilem menggunakan lem sianoakrilat. Berikutnya membran yang berisi mikropartikel dimasukan ke dalam medium disolusi, yaitu 50 ml dapar fosfat pH 7,4. Kecepatan pengadukan yang digunakan sebesar 100 rpm dan suhu dijaga konstan 37±2oC. Selanjutnya sampel diambil sebanyak 4 ml pada menit ke 5, 15, 30, 60, 90, 120, 150, 180, 240, 300, 360, 420, 480. Untuk menjaga volumenya tetap,ditambahkan 4 ml medium disolusi dengan menggunakan spuit. Penyuplikan sampel dilakukan dengan menggunakan spuit yang telah dikalibrasi. Kemudian spuit disolusi dipasangkan kertas penyaring hidrofilik 0,45 μm setelah itu sampel disaring. Larutan sampel diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum. Percobaan dilakukan duplo (Shah, N et al., 2011, dengan modifikasi).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Formulasi Mikropartikel Pada
penelitian
ini
diformulasikan
mikropartikel
diltiazem
HCl
menggunakan metode penguapan pelarut. Tipe emulsi yang digunakan pada penelitian ini adalah tipe emulsi tunggal minyak dalam air dimana fase minyak disini adalah larutan diklorometan. Pada metode ini, emulsi droplet yang mengandung diltiazem hidroklorida berubah menjadi bentuk padat disebabkan sifat hidrofobisitas etil selulosa dan penguapan diklorometan ketika dilakukan pengadukan (Giri, Tapan Kumar et al, 2012). Lambatnya kecepatan pengerasan droplet dapat menyebabkan obat berdifusi keluar dari droplet sehingga mengakibatkan kecilnya efisiensi penjerapan (Jeyanthi, et al., 1997; Maa and Hsu, 1997; Mehta et al., 1994, 1996; Sansdrap and Moes, 1993 dikutip dalam Muhaimin. 2013 ). Proses pengerasan droplet juga dipengaruhi oleh ukuran mikropartikel. Semakin besar ukuran mikropartikel maka waktu yang dibutuhkan untuk mengeraskan droplet lebih lama. Oleh karena itu diperlukan waktu yang tepat dalam mengeraskan droplet agar efisiensi penjerapan mikropartikel tidak rendah. Mikropartikel yang terbentuk menggunakan metode ini memiliki berupa serbuk putih dan memiliki bentuk asimetris. 4.2. Perolehan Kembali Hasil perolehan kembali F1 dan F2 berturut-turut adalah 77,81% dan 57,51%. Persentase
hasil F1 lebih besar dari F2. Hasil perolehan kembali
mikropartikel pada kedua formula tersebut berbeda. Pada penelitian Pandav, S., Lokhande, A., Naik, J. (2013), didapatkan hasil bahwa pada dua formula dengan variasi pada konsentrasi surfaktan, mikropartikel yang mengandung konsentrasi surfaktan lebih tinggi memiliki nilai perolehan kembali yang lebih kecil. Pada proses pembuatan mikropartikel dengan konsentrasi surfaktan lebih besar memiliki nilai perolehan kembali yang lebih kecil karena saat proses homogenisasi terjadi peningkatan jumlah partikel yang menempel pada dinding 36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
wadah. Menurut Patel, B., V, Modi., K, Patel., M, Patel. (2012), faktor lain yang dapat mempengaruhi perolehan kembali mikropartikel adalah konsentrasi polimer dan kecepatan pengadukan. Tabel 4.1. Efek Variabel Konsentrasi Surfaktan pada Mikropartikel Diltiazem Hidroklorida Kode Formula
Konsentrasi Surfaktan (%)
Perolehan Kembali (%)
F1
0,8
77,81%
F2
1
57,51%
4.2. Ukuran Mikropartikel Banyak metode yang tersedia untuk menentukan ukuran partikel, diantaranya metode pengayakan, mikroskop, sedimentasi, penentuan volume partikel (coulter counter), dan penyebaran sinar laser (Aulton, M.E., 2002). Tidak ada satu pun cara pengukuran yang benar-benar merupakan metode langsung. Walaupun dengan mikroskop dapat dilihat gambaran partikel yang sesungguhnya, namun hasil yang didapat kemungkinan besar tidak lebih langsung daripada menggunakan metode lain karena hanya dua dari tiga dimensi partikel yang biasanya terlihat (Martin, A., J, Swarbrick., A, Cammarata., 2008). Metode mikroskop dibagi menjadi tiga, yaitu mikroskop cahaya, scanning electron microscopy dan transmission electron microscopy (Aulton, M.E., 2002). Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode mikroskop optik. Menurut Aulton M.E (2008), jumlah partikel yang harus dihitung adalah 300 sampai dengan 500 partikel agar didapatkan suatu perkiraan yang baik. Tabel 4.2. Efek Variabel Konsentrasi Surfaktan pada Ukuran Mikropartikel. Rentang Ukuran
Kode Formula
Mikropartikel (µm)
Modus Ukuran Mikropartikel (µm)
F1
0,680-159,740
1-10
F2
0,340-117,674
1-10
Rentang ukuran mikropartikel pada F1 dan F2 berturut-turut adalah 0,680159,740 µm dan 0,340-117,674 µm. Penyebab kecilnya ukuran mikropartikel ini
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
salah satunya karena tingginya kecepatan pengadukan. Kecepatan pengadukan yang digunakan pada pembuatan mikropartikel diltiazem hidroklorida ini adalah 8000 rpm. Penentuan penggunaan kecepatan pengadukan sebesar 8000 rpm adalah hasil dari optimasi metode. Tingginya kecepatan pengadukan dapat menurunkan ukuran mikropartikel karena kecepatan tinggi dapat mencegah koalesen droplet dalam fase kontinyu (Jelvehgar, M., S, Dastmalch., Derafshi. 2010). Formula dengan konsentrasi surfaktan lebih besar (F2) memiliki ukuran lebih kecil. Apabila dianalisa dari segi jumlah mikropartikel yang terbentuk, ukuran dominan pada kedua formula adalah 1-10 µm. Distribusi ukuran mikropartikel pada kedua formula dapat dilihat pada tabel 4.3 dan tabel 4.4. Jumlah mikropartikel dengan ukuran 1-10 µm pada F2 lebih banyak dihasilkan daripada F1. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan konsentrasi surfaktan menyebabkan penurunan ukuran mikropartikel dan
peningkatan jumlah
mikropartikel dengan ukuran 1-10 µm. Pada penelitian yang dilakukan Patel, B., V, Modi., K, Patel., M, Patel. (2012) disimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi surfaktan menyebabkan penurunan energi antarmuka kedua fase (fase air dan fase minyak) sehingga menyebabkan penurunan ukuran partikel. Adapun faktor lain penyebab penurunan ukuran mikropartikel adalah adanya peningkatan kecepatan pengadukan dan penurunan konsentrasi polimer. Pada pembuatan mikropartikel ini kecepatan pengadukan yang digunakan sebesar 8000 rpm. Penentuan penggunaan kecepatan pengadukan ini berdasarkan hasil optimasi metode. Kecepatn pengadukan yang digunakan ini cukup tinggi sehingga dimungkinkan dengan tingginya kecepatan pengadukan ini maka dapat dihasilkan ukuran mikropartikel yang lebih kecil.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
Tabel 4.3. Distribusi Ukuran Mikropartikel F1 Rentang Ukuran (µm)
Diameter RataRata (µm)
Jumlah Mikropartikel (buah)
% Jumlah Partikel
Volume % Volume Mikropartikel Mikropartikel 3 (µm )
<1
1
1
0,23
0,52
0,00
1-5
3
99
22,86
1398,87
0,01
6-10
8
78
18,01
20899,84
0,13
11-15
13
22
5,08
25294,79
0,16
16-20
18
20
4,62
61041,60
0,39
21-25
23
16
3,70
101878,35
0,65
26-30
28
11
2,54
126370,35
0,80
31-35
33
16
3,70
300912,48
1,91
36-40
38
15
3,46
430745,20
2,73
41-45
43
14
3,23
582521,29
3,70
46-50
48
18
4,16
1041776,64
6,61
51-55
53
19
4,39
1480333,64
9,40
56-60
58
16
3,70
1633737,81
10,37
> 60
60
88
20,32
9947520,00
63,14
Gambar 4.1. Diagram Distribusi Frekuensi Mikropartikel F1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
Tabel 4.4. Distribusi Ukuran Mikropartikel F2 Rentang Ukuran (µm)
Diameter Jumlah RataMikropartikel Rata (µm) (buah)
% Jumlah Partikel
Volume %Volume Mikropartikel Mikropartikel 3 (µm )
<1
1
12
3,2
6,28
0,00
1-5
3
299
79,5
4224,87
0,25
6-10
8
29
7,7
7770,45
0,46
11-15
13
6
1,6
6898,58
0,41
16-20
18
7
1,9
21364,56
1,28
21-25
23
5
1,3
31836,98
1,90
26-30
28
0
0
0,00
0,00
31-35
33
1
00,3
18807,03
1,12
36-40
38
1
00,3
28716,35
1,72
41-45
43
2
00,5
83217,33
4,97
46-50
48
1
00,3
57876,48
3,46
51-55
53
1
00,3
77912,30
4,66
56-60
58
2
00,5
204217,23
12,20
> 60
60
10
2,7
1130400,00
67,56
Gambar 4.2.Diagram Distribusi Frekuensi Mikropartikel F2
Persen volume menunjukan efisiensi metode untuk menghasilkan mikropartikel dengan ukuran sesuai target yang ingin dicapai. Persen volume mikropartikel dengan ukuran 1-10 µm pada F1 dan F2 berturut-turut adalah 0,14% dan 0,71%. Hal ini menunjukan bahwa nilai persen volume untuk ukuran mikropartikel dengan ukuran 1-10 µm cukup kecil, dengan kata lain bahan baku
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
yang digunakan dalam pembuatan mikropartikel menggunakan metode ini lebih banyak menghasilkan mikropartikel dengan ukuran lebih dari 10 µm.
4.4. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Kurva Kalibrasi Panjang
gelombang
diltiazem
hidroklorida
diukur
menggunakan
spektrofotometer UV Vis. Panjang gelombang yang didapatkan adalah 236,4 nm. Standar panjang gelombang maksimum diltiazem hidroklorida adalah 240 nm (British Pharmacopoiea, 2009)
Gambar 4.3. Kurva Kalibrasi Diltiazem Hidroklorida dalam Dapar Fosfat pH 7,4
4.5. Kadar Obat dan Efisiensi Penjerapan Evaluasi kadar obat dan efisiensi penjerapan dilakukan untuk mengamati efisiensi metode dalam enkapsulasi zat aktif. Efisiensi penjerapan menunjukan efisiensi metode dalam mengenkapsulasi zat aktif sedangkan kadar obat menunjukan jumlah kadar obat yang terkandung dalam mikropartikel yang terbentuk. Kadar obat pada F1 dan F2 berturut-turut adalah 3,51±0,02 % dan 3,91±0,01 %. Nilai kadar pada kedua formula ini mirip akan tetapi kadar obat pada F2 lebih besar dari F1. Pada proses pembentukan mikropartikel, mikropartikel dengan ukuran lebih besar (F1) memerlukan waktu pengerasan lebih lama sehingga obat akan cenderung berdifusi menuju fase kontinyu dan menyebabkan penurunan nilai kadar obat (Chella, N., K,K Yada., R, Vempati., 2010).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
Nilai efisiensi penjerapan F1 dan F2 berturut-turut adalah 9,57±0,01% dan 7,87±0,02%. Nilai efisiensi kedua formula ini mirip, akan tetapi nilai efisiensi penjerapan F2 lebih besar dari F1. Nilai efisiensi penjerapan dan kadar obat pada kedua formula tersebut rendah karena sifat hidrofilisitas diltiazem hidroklorida pada fase kontinyu serta terjadinya proses difusi diltiazem hidroklorida melewati matriks polimer menuju fase kontinyu sesaat setelah terjadi penguapan pelarut dan pembentukan mikropartikel (Perez et al., 2000, 2003 dalam Muhaimin 2013). Apabila dibandingkan, nilai kadar obat F2 lebih kecil dari F1 sedangkan efisiensi penjerapan F1 lebih besar dari F2. Faktor lain penyebab rendahnya nilai efisiensi penjerapan dan kadar obat adalah ukuran mikropartikel. Semakin kecil ukuran mikropartikel maka kapasitas penjerapan obat di dalam mikropartikel juga semakin kecil. Efisiensi penjerapan berbanding lurus dengan konsentrasi polimer dan surfaktan. Hal ini disebabkan konsentrasi polimer dapat meningkatkan kapasitas penjerapan obat sedangkan surfaktan menurunkan tegangan permukaan antara fase dispersi dan fase kontinyu. Hal ini menyebabkan droplet mikropartikel akan lebih stabil dan mengurangi terjadinya difusi obat menuju fase kontinyu (Giri, T.K. et al., 2012).
Tabel 4.5. Efisiensi Penjerapan dan Kadar Obat Mikropartikel Kode Formula
Konsentrasi Surfaktan (%)
Efisiensi Penjerapan (%)
Kadar Obat (%)
F1
0,8
9,57±0,02
3,51±0,02
F2
1
7,87±0,01
3,91±0,01
4.5. Pelepasan Obat Disolusi adalah proses di mana suatu zat padat menjadi terlarut dalam suatu pelarut (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2004). Evaluasi pelepasan obat secara in vitro ini dilakukan dengan cara modifikasi disolusi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
Tabel 4.6. Persen Pelepasan Obat Mikropartikel Diltiazem HCl Menit Ke-
% Pelepasan Obat F1
F2
5
7,17±2,23
2,53±0,01
15
6,53±1,19
1,25±0,01
30
6,68±0,47
3,84±0,01
60
6,59±1,58
4,75±0,03
90
7,33±1,31
4,77±0,04
120
7,28±0,04
4,19±0,04
180
7,53±0,29
4,53±0,03
240
8,09±1,02
4,70±0,02
300
7,24±0,04
5,62±0,04
360
7,12±0,06
6,08±0,05
420
7,32±0,09
6,49±0,05
480
7,44±0,32
6,94±0,05
Gambar 4.4.Profil Pelepasan Mikropartikel Diltiazem HCl
Pelepasan obat melibatkan penetrasi cairan di sekeliling mikropartikel kemudian obat akan terlarut. Setelah itu obat akan keluar melalui kanal interstitial atau pori (Higuchi WI. 1967). Setelah menit ke 480, obat yang terlepas dari F1dan F2 berturut-turut adalah 7,44±0,32% dan 6,94±0,05%. F2 melepaskan obat lebih lama dari F1 namun kedua data ini mirip. Berdasarkan penelitian Chella,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
N., KK, Yada., R, Vempati (2010), etil selulosa dengan viskositas 25 cps memerlukan waktu 10 jam untuk melepaskan 90% obat. Dapat disimpulkan bahwa etil selulosa memerlukan waktu yang cukup lama untuk melepaskan obat. Pada 5 menit pertama, pelepasan obat pada F1 dan F2 cukup besar. Hal ini dimungkinkan terjadi karena obat tidak terenkapsulasi di inti, melainkan teradsorpsi di permukaan mikropartikel. Salah satu penyebabnya adalah konsentrasi PVA yang kurang tepat. Konsentrasi PVA pada mikropartikel ini kurang dapat menstabilkan partikel, hal
ini menyebabkan obat tidak
terenkapsulasi di inti partikel melainkan teradsorpsi pada permukaan partikel (Giri, TK et al, 2012). Salah satu faktor yang mempengaruhi pelepasan obat adalah ukuran mikropartikel. Semakin kecil ukuran mikropartikel, maka obat akan semakin cepat dilepaskan (Maji, R., S,Ray., B, Das., AK, Nayak., 2012). Pada uji disolusi kedua formula, terjadi fluktuasi persen pelepasan obat setiap menitnya. Selain itu kadar obat yang terukur di setiap rentang waktu mirip satu sama lain. Hal ini terjadi karena kadar obat pada sampel terlalu kecil dan sensitivitas alat spektrofotometer tidak dapat mendeteksi perubahan kadar yang terlalu kecil tersebut. Apabila dilihat dari pelepasan obat pada menit-menit awal, formula yang lebih tepat untuk dijadikan sistem lepas lambat adalah F2 karena pada menitmenit awal persen pelepasan obat lebih kecil dari F1.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Rentang ukuran mikropartikel F1 dan F2 berturut-turut sebesar 0,680159,740 µm dan 0,340-117,674 µm dengan modus ukuran kedua formula sebesar 1-10 µm. 3. Nilai efisiensi penjerapan F1 dan F2 berturut-turut adalah 9,57±0,02 % dan 7,87±0,01 %. 4. Nilai kadar obat F1 dan F2 berturut-turut adalah 3,51±0,02 % dan 3,91±0,01 %. 5. Hasil Uji Perolehan Kembali F1 dan F2 berturut-turut adalah 77,51% dan 57,51%. 6. Nilai pelepasan obat F1 dan F2 berturut-turut adalah 7,44±0,32% dan 6,94±0,05%. 7. Berdasarkan nilai ukuran mikropartikel, efisiensi penjerapan, kadar obat dan pelepasan obat, F2 lebih baik daripada F1. 8. Metode ini masih belum bisa menghasilkan mikropartikel yang sesuai untuk penghantaran obat melalui paru-paru
5.2. Saran 1. Diperlukan optimasi metode untuk meningkatkan nilai perolehan kembali, efisiensi penjerapan, kadar obat, dan pelepasan obat. 2. Pada proses emulsifikasi minyak/air disarankan untuk menggunakan zat aktif hidrofobik. 3. Menggunakan tipe emulsi air/minyak/air apabila zat aktif yang digunakan bersifat hidrofilik. 4. Digunakan polimer etil selulosa yang memiliki viskositas lebih rendah dan gugus etoksi yang lebih besar. 5. Mengganti polimer etil selulosa dengan polimer lain yang dapat melepaskan obat lebih cepat.
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
6. Pembuatan mikropartikel dengan metode lain, misalnya gelasi ionik, semprot kering, koaservasi, atau ekstraksi cairan superkritis.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, M.H., Smith. R.E., Luchtefeld. R., Boorem. A.J., Luo. R., Acree. W.E. 2010. Prediction of Solubility of Drugs and Other Compounds in Organic Solvents. J. Pharm. Sci. 99. 1500-1515. Alonso, M.J., Gupta, R.K., Min, C., Siber, G.R., Langer, R. 1994. Biodegradable Microspheres as Controlled Release Tetanus Toxoid Delivery Systems. Vaccine 12. 299-306. Arshady, R. 1991. Preparation of Biodegradable Microspheres and Microcapsules: 2. Polyactides and related polyesters. J. Control. Rel. 17. 1-22 Aulton, M.E. 2002. Pharmaceutics: The Science of Dosage Form Design second edition. Chemical Livingstone. Azevedo, A.F., Galhardas, J., Cunha, A., Cruz, P., Goncalves, L.M.D., Almeida, A.J. 2006. Microencapsulation of Streptococcus Equi Antigens in Biodegradable Microspheres and Preliminary Immunisation Studies. Eur. J. Pharm. Biopharm. 64. 131-137. Beck, L.R., Ramos, R.A., Flowers, C.E., Lopez, G.Z., Lewis, D.H. 1981. Clinical Evaluation of Injectable Biodegradable Contraceptive System. Am. J. Obstet. Gynecol. 140. 799-806. Benoit, J.P., Painbeni, T., Venier-Julienne, M.C. 1996. Internal Morphology of Biodegradable BCNU-Loaded Microspheres. Proc. Int. Symp. Control. Rel. Bioact. Mater. 23. 379-380. Berchane,N.S., Jebrail, F.F.,,Carson, K.H., Rice-Ficht, A.C., Andrews. M.J. 2006. About Mean Diameter and Size Distributions of Poly(lactide-co-glycolide) (PLG) Microspheres. J. Microencap. 23. 539-552. Birnaum, D.T., Peppas, L.B. 2004. Microparticle Drug Ddelivery Ssystems. In: Brown. D.. (Editor). Drug delivery systems in cancer therapy. Humana Press. Totowa N.J. Blanco, D., Alonso, M.J. 1998. Protein Encapsulation and Release From Poly(lactide-coglycolide) Microspheres: Effect of The Protein and Polymer Properties and of Coencapsulation of Surfactants. Eur. J. Pharm. Biopharm. 45. 285-294. Bleich J., Müller, B.W. 1996. Production of Drug Loaded Microparticles by The Use of Supercritical Gases with The Aerosol Solvent Extraction System (ASES) Process. J. Microencap. 13. 131-139.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
Bleich, J., Müller, B.W., Waβmus, W. 1993. Aerosol Solvent Extraction System– a New Microparticle Production Technique. Int. J. Pharm. 97. 111-117. Bodmeier, R., Wang, H., Dixon, D.J., Mawson, S., Johnston, K.P., 1995. Polymeric microspheres prepared by spraying into compressed carbon dioxide. Pharm. Res. 12, 1211-1217 Bodmeier, R., Wang, H., Herrmann, J., 1994. Microencapsulation of chlorpheniramine maleate, a drug with intermediate solubility properties, by a non-aqueous solvent evaporation technique, STP Pharma. Sci. 4, 275-281. Bodmeier, R., Chen, H. 1988. Preparation of Biodegradable Poly(±)lactide Microparticles using A Spray-Drying Technique. J. Pharm. Pharmacol. 40. 754757 Boisdron-Celle, M., Menei, P., Benoit. J.P. 1995. Preparation and Characterization of 5-Fluorouracil Loaded Microparticles as A Biodegradable Anticancer Drug Carrier. J. Pharm. Pharmacol. 47. 108-114. Cavalier, M., Benoit, J.P., Thies, C. 1986. The Formation and Characterization of Hydrocortisone-Loaded Poly((+/-)-lactide) Microspheres. J. Pharm. Pharmacol. 38. 249-253. Chella, Naveen., K.K. Yada., R Vempati. 2010. Preparation and Evaluation ofEthyl Cellulose Microsphere Containing Diclofenac Sodium by Novel W/o/o Emulsion Method. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. Hal: 884888. Chung, T.-W., Huang, Y.-Y., Liu, Y.-Z. 2001. Effects of The Rate of Solvent Evaporation on The Characteristics of Drug Loaded PLLA and PDLLA Microspheres. Int. J. Pharm. 212. 161-169. Chung, T.-W., Huang, Y.-Y., Tsai, Y.-L., Liu. Y.-Z. 2002. Effects of Solvent Evaporation Rate on The Properties of Protein-Loaded PLLA and PDLLA Microspheres Fabricated by Emulsion Solvent Evaporation Process. J. Microencap. 19. 463-471. Cowsar, D.R., Tice, T.R., Gilley, R.M., English, J.P. 1985. Poly(lactide-coglycolide) Microcapsules for Controlled Release of Steroids. Methods Enzymol. 112. 101-116. Departemen Kesehatan. 1979. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Deparemen Kesehatan Republik Indonesia. Eckert, C.A., Knutson, B.L., Denbenedetti, P.G. 1996. Supercritical fluids as Solvents for Chemical and Materials Processing. Nature 383. 313-318.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Feng, L., Qi, X.R., Zhou, X.J., Maitani, Y., Cong Wang, S., Jiang, Y., Nagai, T. 2006. Pharmaceutical and Immunological Evaluation of A Single-Dose Hepatitis B Vaccine using PLGA Microspheres. J. Control. Rel. 112. 35-42 Folker, R., Kleinebudde, P., Müller, B.W. 1996. Residual Solvent in Biodegradable Microparticles. Influence of Process Parameter on The Residual Solvent in Microparticles Produced by The Aerosol Solvent Extraction System (ASES) process. J. Pharm. Sci. 86. 101-105. Fredriksen, L., Anton, K., Hoogevest, P.V., Keller, H.R., Leuenberger, H. 1997. Preparation of Liposomes Encapsulating Water-Soluble Compounds using Supercritical Carbon Dioxide. J. Pharm. Sci. 86. 921-928. Freitas, S., Merkle, H.P., Gander, B. 2005. Microencapsulation by Solvent Extraction/Evaporation: Reviewing The State of The Art of Microsphere Preparation Process Technology. J. Control. Rel. 102. 313–332. Gilman, AG. 2012. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta: EGC. Giri, Tapan Kumar., C, Choudhary., Ajazuddin., A, Alexander., H, Badwaik., D.K Tripathi. 2012. Prospect of Pharmaceuticals and Biopharmaceuticals Loaded Microparticles Prepared By Double Emulsion Technique for Controlled Delivery. Saudi Pharmaceutical Journal (2013)21. 125-141. Giunchedi, P., Benvenga, A., Alpar, H.O., Conte, U. 1995. PDLLA Microspheres Containing Steroids: Spray-Drying and w/o/w Emulsification as Preparation Methods. World Meet. Pharm. Biopharm. Pharm. Technol. 1. 389-390. Göpferich, A., Langer, R. 1993. Modeling of Polymer Erosion. Macromolecules 26. 4105-4112. Gowda, D.V., M.S. Khan., Venkatesh M.P., Sowjaya A.S., Shivakumar H.G. 2010. Preparation and Evaluation of HPMC and Eudragit Microparticle Loaded with Diltiazem Hidroklorida untuk Penghantaran Terkontrol. Scholar Research Library ISSN 0975-5071. Graves, R.A., Freeman, T., Pamajula, S., Praetorius, N., Moiseyev, R., Mandal, T.K. 2006. Effects of Co-Solvents on The Characteristics of Enkephalin Microcapsules. J. Biomater. Sci. Polym. Edit. 17. 709-720 Giri, Tapan Kumar et al. 2012. Prospect of Pharmaceuticals and Biopharmaceuticals Loaded Microparticles Prepared by Double Emulsion Technique for Controlled Delivery. Saudi Pharmaceutical Journal (2013) 21. 125-141. Higuchi, WI. Diffusional models useful in biopharmaceutics drug release rate processes. J Pharm Sci 1967; 56: 315-324. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
Hanes, J., Chiba, M., Langer, R. 1996. Synthesis and Characterization of Degradable Anhydride-co-imide Terpolymers Containing Trimellitylimido-Ltyprosine: Novel Polymers for Drug Delivery. Macromolecules 29. 5279-5287 Hanna, M.H., York, P., Rudd, D., Beach, S. 1995. A Novel Apparatus for Controlled Particle Formation using Supercritical Fluids. Pharm. Res. 12. 141146. Hsu, J.P., Lin, S.H. 2005. Diffusivity of Solvent in A Polymer Solution-Expansive Free Volume Effect. Eur. Polym. J. 41. 1036-1042 Izumikawa, S., Yoshioka, S., Aso, Y., Takeda, Y. 1991. Preparation of Poly(llactide) Microspheres of Different Crystalline Morphology and Effect of Crystalline Morphology on Drug Release Rate. J. Control. Rel. 15. 133-140. Jalil, R., Nixon, J.R. 1990a. Microencapsulation using Poly(dl-lactic acid) I: Effect of Preparative Variables on The Microcapsule Characteristics and Release Kinetics. J.Microencap. 7. 229-244. Jalil,R., Nixon, J.R. 1990b. Biodegradable Poly(lactic acid) and Poly(lactidecoglycolide) Microcapsules: Problems Associated with Preparative Techniques and Release Properties. J. Microencap. 7. 297-325. Jaraswekin, S., Prakongpan, S., Bodmeier, R. 2007. Effect of Poly(lactide-coglycolide) Molecular Weight on The Release of Dexamethasone Sodium Phosphate from Microparticles. J. Microencap. 24. 117-128. Jeffery, H., Davis, S.S., O’Hagan, D.T. 1993. The Preparation and Characterization of Poly(lactide-co-glycolide) Microparticles: II. The Entrapment of A Model Protein using A (water-in-oil)-in Water Emulsion Solvent Evaporation Technique. Pharm. Res.10. 417-423. Jeffery, H., Davis, S.S. O’Hagan, D.T. 1991. Preparation and Degradation of Poly(lactideco-glycolide) Microspheres. J. Control. Rel. 77. 169-175. Jelvehgari, Mitra., Siavosh Dastmalch., Nazira Derafshi. 2010. TheopyllineEthylcellulose Microparticles: Screaning of the Process and Formulation Variables for Preparation of USstained Release Particles. Iranian Journal of Basic Medical Sciences. Hal 608-622 Jeyanthi, R., Metha, R.C., Thanoo, B.C., Deluca, P.P. 1997. Effect of Processing Parameters on The Properties of Peptide Containing PLGA Microspheres. J. Microencap. 14. 163-174. Jeyanthi, R., Thanoo, B.C., Metha, R.C., Deluca, P.P. 1996. Effect of Solvent Removal Technique on The Matrix Characteristics of Polylactide/glycolide Microspheres for Peptide Delivery. J. Control. Rel. 38. 235–244.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
Kang, M.K., Dai, J., Kim, J.C. 2012. Ethylcellulose microparticles containing chitosan and gelatin: pH-dependent release caused by complex coacervation. J. Ind. Eng. Chem. 18. 355-359.
Kang, Yunqing et al. 2008. Preparation of PLLA/PLGA Microparticles using Solution Enhanced DIspersionby Supercritical Fluid (SEDS). Journal of Colloid and Interface Science. Hal: 87-94. Kanjickal, D.G., Lopina, S.T. 2004. Modeling of drug release from polymeric delivery systems - a review. Crit. Rev. Ther. Drug Carrier Syst. 21. 345-386. Kasih, Nirmala. 2014. Formulasi dan Karakterisasi Mikropartikel EKstrak Etanol 50% Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana K.,) dengan Metode Semprot Kering (Spray Drying). Skripsi. Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Katou, H., Wandrey, A.J., Gander, B. 2008. Kinetics of solvent extraction/evaporation process for PLGA microparticle fabrication. Int. J. Pharm. 364. 45-53. Kelly, JG., O’Malley K. Clinical Pharmacokinetics Calcium Antagonist. Clin Pharmacokinet. Hal: 416-33 Kumar, N.L., Robert, S., Abraham, D.J. 2002. Polyanhydrides: an overview. Adv. Drug Del. Rev. 54. 889-910. Labiris, N.R., M.B Dolovich. 2003. Pulmonary Drug Delivery. Part II: The Role of Inhalant Delivery Devices and Drug Frmulation In Therapeutic Effectiveness of Aerosolized Medication. J Clin Pharmacol. 56. 600-612. DOI:10.1046/j.13652125.2003.01893.x Lalla, J.K., Sapna, K. 1993. Biodegradable microspheres of poly(dl-lactic acid) containing piroxicam as a model drug for controlled release via the parenteral route. J. Microencap. 10. 449-460. Le Corre, P., Le Guevello, P., Gajan, V., Chevanne, F., Le Verge, R. 1994. Preparation and characterization of bupivacaine-loaded polylactide and poly(lactide-glycolide) microspheres. Int. J. Pharm. 107. 41-49. Leelarasamee, N., Howard, S.A., Malanga, C.J., Ma, J.K. ., 1988. A method for the preparation of poly(lactic acid) microcapsules of controlled particle size and drug loading. J. Microencap. 52, 147-157. Leong, K.W., Langer, R. 1988. Polymeric controlled drug delivery. Adv.Drug Deliv.Rev. 1. 199-233.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
Lewis, D.H., Tice, T.R., Zatuchni, G.I., 1984. Polymeric considerations in the design of microencapsulation of contraceptive steroids. Long Acting Contracept. Delivery Syst. 1, 77-95. Li, M., Rouaud, O., Poncelet, D. 2008. Microencapsulation by solvent evaporation: State of the art for process engineering approaches. Int. J. Pharm. 363. 26-39. Liggins, R.T., Burt, H.M. 2001. Paclitaxel loaded poly(L-lactic acid) microspheres: properties of microspheres made with low molecular weight polymers. Int. J. Pharm. 222. 19-33. Lin, S.Y., Chen, K.S., Teng, H.H., Li, M.J. 2000. In vitro degradation and dissolution behaviours of microspheres prepared by three low molecular weight polyesters. J. Microencap. 17. 577-586. Little, S.R., Lynn, D.M., Puram, S.V., Langer, R.. 2005. Formulation and characterization of poly (beta amino ester) microparticles for genetic vaccine delivery. J. Control. Rel. 107. 449-462. Luan, X., Skupin, M., Siepmann, J., Bodmeier, R., 2006. Key parameters affecting the initial release (burst) and encapsulation efficiency of peptidecontaining poly(lactide-co-glycolide) microparticles. Int. J. Pharm. 324, 168-175. Martin, Alfred. James Swarbrick., Arthur Cammarata. 2008. Farmasi Fisik: Dasar-Dasar Kimia Fisik Dalam Ilmu Farmasetika. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Maji,Ruma., Somasree Ray., Biswarup Das. Amit Kumar Nayak. 2012. Ethyl Cellulose Microparticle Containing Metformin HCl by Emulsification-Solvent Evaporation Technique: Effect of Formulation Variables. International Scholarly Research Network volume 2012. Article ID 801827. 7 pages. Maa, Y.F., Hsu, C. 1996. Microencapsulation reactor scale-up by dimensional analysis. J. Microencap. 13. 53-66. Mabuchi, K., Nakayama, A., Iwamoto, K. 1994. Preparation and in vitro evaluation of poly(lactic acid) microspheres containing carmofur. Yakuzaigaku 54. 42-48. Marr, R., Gamse, T. 1999. Use of supercritical fluids for different processes including new developments-A review. Chem. Eng. Process. 39. 19-28 Mason, N., Thies, C., Cicero, T.J. 1976. In vivo and in vitro evaluation of a microencapsulated narcotic antagonist. J. Pharm. Sci. 65. 847-850
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
Mateovic, T., Kriznar, B., Bogataj, M., Mrhar, A. 2002. The influence of stirring rate on biopharmaceutical properties of Eudragit RS microspheres. J. Microencap. 19. 29-36. McHugh, M.A., Krukonis, V.J. 1994. Supercritical fluid extraction. Butterworth Heinemann. Boston. Mehta, R.C., Thanoo, B.C., DeLuca., P.P. 1996. Peptide containing microspheres from low molecular weight and hydrophilic poly(D.L-lactide-co-glycolide). J. Control. Rel. 41. 249-257. Meng, F.T., Ma, G.H., Liu. Y.D., Qiu, W., Su, Z.G. 2004. Microencapsulation of bovine hemoglobin with high bio-activity and high entrapment efficiency using a W/O/W double emulsion technique. Colloids Surf. B: Biointerf. 33. 177-183. Miyazaki, Y., Onuki, Y., Yakou. S., Takayama, K. 2006. Effect of temperatureincrease rate on drug release characteristics of dextran microspheres prepared by emulsion solvent evaporation process. Int. J. Pharm. 324. 144-151 Muhaimin. 2013. Study of Microparticle Preparation By The Solvent Evaporation Method Using Focused Beam Reflectance Measurement (FBRM) Disertation. University Berlin Nadia A. Al-Assady. 2011. Preparation. Characterization. and Diltiazem Release Study of Chtosan/ poly (vinyil alcohol) Microspheres. National Journal of Chemystry. Volume 41. 113-126. O’Donell., P.B., McGinity, J.W. 1997. Preparation of microspheres by the solvent evaporation technique. Adv. Drug Delivery Rev. 28. 25-42 O’Hagan, D. T., Jeffery, H., Davis, S. S. 1994. The preparation and characterization of PLGA microspheres: III. Microparticle/polymer degradation rates and the in vitro release of a model protein. Int. J. Pharm. 103. 37-45. O’Hern, P.A., Goldberg, E., Roseman. T.J., Peppas, N.A., Gabelnick, H.L. 1993. Development of a contraceptive peptide vaccine for use with PGAL microspheres. Proc. Int. Symp. Control. Rel. Bioact. Mater. 20th. 394-395. Okada, H. 1994. Preparation of three-month depot injectable microspheres of leuprorelin acetate using biodegradable polymers. Pharm. Res. 11. 1143-1147. Pablo, G., Debenedetti, J.W., Tom, S-D., Yeo, G-B.L. 1993. Application of supercritical fluids for the production of sustained delivery devices. J. Control. Rel. 24. 27-44. Pachuau, Lalduhsanga., Bhaskar, Mazumder. 2009. A Study on The Effectc of DIfferent Surfactants on Ethylcellulose Microspheres. International Journal of PharmTech Research.Vol.1.No.4. Hal: 966-971 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
Pandav, S., Lokhande, A., Naik, J. 2013. Assessment of Microparticulate Drug Delivery System of Propanolol Hydrochloride Prepared by Multiple Solvent Emulsion Technique. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. Hal: 831-835. Pérez, M.H., Siepmann, J., Zinutti, C., Lamprecht, A., Ubrich, N., Hoffman, M., Bodmeier, R., Maincent, P., 2003. Non-degradable microparticles containing a hydrophilic and/or a lipophilic drug: preparation, characterization and drug release modeling. J. Control. Rel. 88, 413-428. Pérez, M.H., Zinutti, C., Lamprecht, A., Ubrich, N., Astier, A., Hoffman, M., Bodmeier, R., Maincent, P., 2000. The preparation and evaluation of poly(єcaprolactone) microparticles containing both a lipophilic and a hydrophilic drug. J. Control. Rel. 65, 429-438. Patel, Hemul., V, Mangesh., R, Shah., Sanjay. B., Kapadlya., Naynika, K., Patel. 2013. Spray Dried Microparticles for Controlled Delivery of Fluconazole using Factorial Design. International Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical Sciences. Hal: 582-589. Pandav, Satish., Jitendra, Naik. 2014. Preparation and In Vitro Evaluation of Ethylcellulose and Polymethacrylate Resins Loaded Microparticles Containing Hydrophilic Drug. Journal of Pharmaceutics Volume 2014. Article ID 904036. 5 pages. Patel, Balkrushna., Vidhi, Modi., Komal, Patel., Manisha, Patel. 2012. Preparation and Evaluation of Ethyl Cellulose Microspheres Prepared by EmulsificationSolvent Evaporation Method. International Journal for Research in Management and Pharmacy (IJRMP) Volume 1. Hal: 82-91. Parida, K., Panda, S., Ravanan, P., Roy, H., Manickam, M., Talwar, P. 2013. Microparticles Based Drug Delivery Systes: Preparation and Application in Cancer Therapeutics. International Archieve of Applied Science and Technology. Vol 4 (3) September 2013: 68-75 ISSN 2277-1565 Patel, A.S., T.Soni., V, Thakkar., T, Gandhi. 2012. Efect of Spray Drying Condition on the Physicochemical Properties of the Tramadol-HCl Microparticles Containing Eudragit RS and RL. Journalof Pharmacy & Bioallied Sciences. Reithmeier, H., Herrmann, J., Göpferich, A. 2001. Lipid microparticles as a parenteral controlled release device for peptide. J. Control. Rel. 73. 339-350 Rowe, R.C., Paul, J.S., Marian, E.Q. 2009. Handbook of Pharmaceutical .Excipient Sixth Edition. Chicago. London : Pharmaceutical Press.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Sah, H. 1997. Microencapsulation techniques using ethyl acetate as a dispersed solvent: effects of its extraction rate on the characteristics of PLGA microspheres. J. Control. Rel. 47. 233-245. Sajan, J et al. 2009. Chronotherapeutics and Chronotheraupetic Drug Delivery Systems. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. October 2009; 8 (5); 467475. Saltzman, W.M. 2001. Drug Delivery: Engineering Principles for Drug Therapy. Oxford University Press. New York. Sanders, L.M., McRae, G.I., Vitale, K.M., Kell, B.A. 1985. Microencapsulation of LHRH analogue using biodegradable polymers. J. Control. Rel. 2. 187-195. Shah, Nutan et al. 2011. Sustained Release of Spray-Dried Combination Dry Powder Inhaler Formulation For Pulmonar Delivery. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research Vol.4. Issue 4. 2011. ISSN -0974-2441. Shariati, A., Peters, C.J. 2003. Recent developments in particle design using supercritical fluids. Curr. Opin. Solid State Mater. Sci. 7. 371-383. Shargel, L., Wu-Pong, Susanna, Yu., B.C, Andrew. (2004). Biofarmasetika dan Farmakoknetika Terapan Edisi Kelima. Alih Bahasa: Fasich. Budi Suprapti. Pusat penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga: Surabaya. Shen, E., Kipper, M.J., Dziadul, B., Lim, M.-K., Narasimhan, B. 2002. Mechanistic relationships between polymer microstructure and drug release kinetics in bioerodible polyanhydrides. J. Control. Rel. 82. 115-125 Singh, M. 1995. Biodegradable delivery system for a birth control vaccine: immunogenicity studies in rats and monkeys. Pharm. Res. 12. 1796-1800 Sofiah., Siti, Faizatun., Yulia, Riyana. 2007. Formulasi Tablet Matriks Mukoadhesif Diltiazem Hidroklorida Menggunakan Hidroksi Propil Metil Selulosa dan Carbopol 940. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. September 2007. hal 53-58 Vol. 5. No.2. ISSN 1693-1831. Soni, M.L., Namdeo, K.P., Jain, S.K., Gupta, M., Dangi, J.S., Kumar, M. 2011. pHenzyme di-dependent chronotherapeutic drug delivery system of theophylline for nocturnal asthma. Chem. Pharm. Bull. 59. 191–195 Spenlehauer, G., Veillard, M., Benoit, J.P. 1986. Formation and characterization of cisplatin loaded poly(d.l-lactide) microspheres for chemoembolization. J. Pharm. Sci. 75. 750-755 Spenlehauer, G., Vert, M., Benoit, J.P., Boddaert, A. 1989. In vitro and in vivo degradation of poly(DL-lactide/glycolide) type microspheres made by solvent evaporation method. Biomaterials 10. 557-563. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
Subramaniam, B., Rajewski, R.A., Snavely, K. 1997. Pharmaceutical processing with supercritical carbon dioxide. J. Pharm. Sci. 86. 885-890 Suzuki, K., Price, J.C. 1985. Microencapsulation and dissolution properties of a neuroleptic in a biodegradable polymer. poly(dl-lactide). J. Pharm. Sci. 74. 2124. Sweetman, Sean C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty Sixth Edition. Pharmaceutical Press. Tabata,Y.S., Gutta, Langer R. 1993. Controlled delivery systems for proteins using polyanhydride microspheres. Pharm. Res. 10. 487-495. Tamada, J.A., Langer, R. 1993. Erosion kinetics of hydrolytically degradable polymers. Proc. Natl. Acad. Sci. 90. 552-556. Taylor, G., Kellaway, I. 2001. Drug Delivery and Targeting. London: Taylor & Francis. The Department of Health Social Services and Public Safety. 2009.British Pharmacopoiea. London: British Pharmacopoeia Commision Office Thies, C. 1992. Formation of degradable drug-loaded microparticles by inliquid drying processes. In: Dunbrow. M.. (Editor). Microcapsules and nanoparticles in medicine and pharmacy. CRC. Boca Raton Thies, J., Müller, B.W. 1998. Size controlled production of biodegradable microparticles with supercritical gases. Eur. J. Pharm. Biopharm. 45. 67-74. Tiwari, Shashank., Prerana, Verma. 2012. Microencapsulation Technique By Solvent Evaporation Method (Study Of Effect Of Process Variables). International Journal of Pharmasy and Life Sciences ISSN: 0976-7126. Toguchi, H. 1992. Formulation study of leuprorelin acetate to improve clinical performance. Clin. Ther. 14. 121-130. Tom, J.W., Lim, G.B., Denbenedetti, P.G., Prudhomme, R.K. 1993. Applications of supercritical Fluids in the Controlled Released of Drugs. In: Brennecke. J.F.. Kiran. E.. (Editors). Supercritical Fluid Engineering Science. ACS Symp. Ser. 514. American Chemical Society. Washington DC. 238-257. Torres, D., Boado, L., Blanco, D., Vila-Jato, J.L. 1998. Comparison between aqueous and non-aqueous solvent evaporation methods for microencapsulation of drug-resin complexes. Int. J. Pharm. 173. 171-182 Tsai, D.C. 1986. Preparation and in vitro evaluation of polylactic acid mitomycin C microcapsules. J. Microencap. 3. 181-193. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
Verrijk, R., Smolders, I.J.H., Bosnie, N., Begg, A.C. 1992. Reduction of systemic exposure and toxicity of cisplatin by encapsulation in poly(lactide-co-glycolide). Cancer Res. 52. 6653-6656. Vidmar, V., Smolcic-Bubalo, A., Jalsenjak, I. 1984. Poly(lactic) microencapsulated oxytetracycline: in vitro and in vivo evaluation. J. Microencap. 1. 131-136. Wagdare, N.A., Baggerman, J., Marcelis, A.T.M., Boom, R.M., Rijn, C.J.M. 2011. Polymer microspheres with structured surfaces. Chem. Eng. J. 175. 561568. Wang, J., Schwendeman, S.P. 1999. Mechanisms of solvent evaporation encapsulation processes: prediction of solvent evaporation rate. J. Pharm. Sci. 88. 1090-1099. Watts, P.J., Davies, M.C., Melia, C.D. 1990. Microencapsulation using emulsification/solvent evaporation: an overview of techniques and applications. Int. J. Pharm. 7. 235-250. Weerakody, R., Fagan, P., Kosaraju, S.L. (2008). Chitosan Microspheres For Encapsulation Of α-Lipoic Acid. Australia : Food Science Australia. Yang, C.Y., Tsay, S.Y., Tsiang, R.C.C. 2000a. An enhanced process for encapsulating aspirin in ethylcellulose microcapsules by solvent evaporation in an O/W emulsion. J. Microencap. 17. 269-277. Yang, Y.Y., Chung, T.S., Bai, X.L., Chan, W.K., 2000b. Effect of preparation conditions on morphology and release profiles of biodegradable polymeric microspheres containing protein fabricated by double-emulsion method. Chem. Eng. Sci. 55, 2223-2236.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
Lampiran 1. Alur Penelitian
Pembuatan Mikropartikel
Penentuan Ukuran Mikropartikel Setelah ukuran partikel 0,5-10 µm
Penentuan panjang gelombang maksimum dan kurva kalibrasi
Pelepasan obat secara in vitro
Penentuan kadar obat dan Efisiensi Penjerapan
Penentuan Perolehan Kembali dan Ukuran Mikropartikel
Analisis data
Pembahasan
Kesimpulan
Lampiran 2. Pembuatan Dapar Fosfat
Dapar fosfat dibuat dengan cara memasukan 50 ml kalium fosfat monobasa 0.2 M ke dalam labu ukur 200 ml. tambahkan NaOH 0.2 M sebanyak 39.1 ml kemudian tambahkan akuades sampai tanda batas (Depkes. 1979).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
Lampiran 3. Scanning Panjang Gelombang Maksimum DIltiazem Hidroklorida Medium Dapar Fosfat pH 7,4 (λ maks = 236,4 nm)
Lampiran 4. Data Absorbansi Kurva Standar Diltiazem Hidroklorida Medium Dapar Fosfat pH 7,4 C (ppm)
Absorbansi
1
0,057
3
0,161
5
0,273
7
0,374
9
0,480
11
0,573
13
0,687
15
0,787
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
Lampiran 6. Hasil Mikropartikel Diltiazem Hidroklorida
Formula 1
Formula 2
Lampiran 7. Hasil Uji Perolehan Kembali (PK) Formula
Wm (mg)
Wt (mg)
% PK
F1
420
326,8
77,81%
F2
420
241,55
57,51%
Lampiran 8. Hasil Uji Disolusi pada Mikropartikel Menit Ke
Bobot Terdisolusi (mg)
Persen Terdisolusi (%)
F1
FII
F1
FII
0
0
0
0
0
5
0,116±0,04
0,046±0,01
7,17±2,23
2,53±0,60
15
0,105±0,02
0,023±0,01
6,53±1,19
1,25±0,49
30
0,108±0,01
0,070±0,01
6,68±0,47
3,84±0,79
60
0,106±0,03
0,087±0,03
6,59±1,58
4,75±1,38
90
0,118±0,02
0,087±0,04
7,33±1,31
4,77±2,46
120
0,118±0,00
0,077±0,04
7,28±0,04
4,19±2,42
180
0,122±0,00
0,083±0,03
7,53±0,29
4,53±1,48
240
0,131±0,02
0,086±0,02
8,09±1,02
4,70±1,30
300
0,117±0,00
0,103±0,04
7,24±0,04
5,62±1,95
360
0,115±0,00
0,111±0,05
7,12±0,06
6,08±2,58
420
0,118±0,00
0,119±0,05
7,32±0,09
6,49±2,66
480
0,120±0,01
0,127±0,05
7,44±0,32
6,94±2,76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
Lampiran 9. Bobot dan Persentase Terdisolusi F1 Menit Ke
Bobot Terdisolusi (mg)
RataRata±SD
Persen Terdisolusi (%)
RataRata±SD
0
0
0
0
0
0
0
5
0,090
0,141
0,116±0,04
5,60
8,75
7,17±2,23
15
0,092
0,119
0,105±0,02
5,69
7,37
6,53±1,19
30
0,102
0,113
0,108±0,01
6,34
7,01
6,68±0,47
60
0,088
0,125
0,106±0,03
5,47
7,71
6,59±1,58
90
0,103
0,133
0,118±0,02
6,40
8,25
7,33±1,31
120
0,117
0,118
0,118±0,00
7,26
7,31
7,28±0,04
180
0,125
0,118
0,122±0,00
7,74
7,32
7,53±0,29
240
0,142
0,119
0,131±0,02
8,82
7,37
8,09±1,02
300
0,117
0,116
0,117±0,00
7,27
7,21
7,24±0,04
360
0,116
0,114
0,115±0,00
7,17
7,07
7,12±0,06
420
0,119
0,117
0,118±0,00
7,39
7,26
7,32±0,09
480
0,124
0,116
0,120±0,01
7,66
7,21
7,44±0,32
Lampiran 10. Bobot dan Persentase Terdisolusi F2 Menit Ke
Bobot Terdisolusi (mg)
RataRata±SD
Persen Terdisolusi (%)
RataRata±SD
0
0
0
0
0
0
0
5
0,0385
0,054
0,046±0,01
2,11
2,95
2,53±0,60
15
0,0165
0,029
0,023±0,01
0,91
1,60
1,25±0,49
30
0,0599
0,080
0,070±0,01
3,28
4,40
3,84±0,79
60
0,0673
0,106
0,087±0,03
3,68
5,83
4,75±1,38
90
0,0537
0,121
0,087±0,04
2,94
6,61
4,77±2,46
120
0,0435
0,110
0,077±0,04
2,38
6,00
4,19±2,42
180
0,0620
0,104
0,083±0,03
3,39
5,67
4,53±1,48
240
0,0673
0,104
0,086±0,02
3,69
5,71
4,70±1,30
300
0,0758
0,130
0,103±0,04
4,15
7,10
5,62±1,95
360
0,0759
0,146
0,111±0,05
4,16
8,00
6,08±2,58
420
0,0825
0,155
0,119±0,05
4,52
8,46
6,49±2,66
480
0,0893
0,164
0,127±0,05
4,89
8,98
6,94±2,76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
Lampiran 11. Gambar Alat Penelitian
pH Meter Modifikasi Disolusi
Mikroskop IX-71
Ace Homogenizer
Lampiran 12. Contoh Perhitungan Nilai Efisiensi Penjerapan dan Kadar Obat Formula 1 (F1) Diketahui : Absorbansi zat aktif (y)= 0,091 Bobot total mikropartikel : 326,8 mg Persamaan Kurva Kalibrasi: y= 0,0556x -0,0067 Jawaban
:
y= 0,0556x -0,0067 0,091= 0,0556x – 0,0067 x = 1,757 ppm Konsentrasi= 1,757 µg/ml x 2 ml x Faktor Pengenceran = 1,757 x 2 x 100 = 351,4 µg (dalam 10 mg mikropartikel)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
Formula 2 Diketahui : Absorbansi zat aktif (y)= 0,102 Bobot total mikropartikel : 241,55 mg Persamaan Kurva Kalibrasi: y= 0,0556x -0,0067 Jawaban
:
y= 0,0556x -0,0067 0,102= 0,0556x – 0,0067 x = 1,955 ppm Konsentrasi= 1,955 µg/ml x 2 ml x Faktor Pengenceran = 1,955 x 2 x 100 = 391 µg (dalam 10 mg mikropartikel)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
Lampiran 13. Contoh Perhitungan Persentase Disolusi Formula 1 (F1) Diketajui : y = 0,052x+ 0,007 y0 = 0,000 y5 = 0,128 y15 = 0,107 Kadar zat aktif untuk F1 tiap 50 mg = 1,615 mg Ditanya: a. C0 = ?
d. % disolusi zat aktif pada t0 = ?
b.C5 = ?
e. % disolusi zat aktif pada t5 = ?
c. C15 = ?
f. % disolusi zat aktif pada t15 = ?
Jawaban: a. Mencari nilai x pada menit ke-0 y
= 0,052x+ 0,007
0,000
= 0,052x – 0,001
Co
= 0,000 ppm
Bobot dalam 4 ml = C0 x 50 ml = 0,000 µg /ml x 4 ml = 0,000 µg b. Mencari nilai x pada menit ke-5 y
= 0,052x+ 0,007
0,128
= 0,052x – 0,001
C5
= 2,317 ppm
c. Mencari nilai x pada menit ke-5 y
= 0,052x+ 0,007
0,107
= 0,052x – 0,001
C15
= 1,923 ppm
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
d.
% disolusi zat aktif pada t0 Faktor koreksi = Bobot t0 dalam 4 ml = C0 x 4 ml = 0,000 µg /ml x 4 ml = 0,000 µg = 0 mg Bobot terdisolusi = (C0 x 50 ml) + Faktor koreksi = (0 µg /ml x 50 ml) + 0,000 mg = 0 µg + 0,000 mg = 0 mg + 0,000 mg = 0 mg
e. % disolusi zat aktif pada t0 Faktor koreksi (FK) = Bobot t0 dalam 4 ml = C0 x 4 ml = 0,000 µg /ml x 4 ml = 0,000 µg = 0 mg Bobot terdisolusi = (C5 x 50 ml) + FK C0 = (2,317 µg /ml x 50 ml) + 0,000 mg = 115,865 µg + 0,000 mg = 0,115865 mg + 0,000 mg = 0,116 mg
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
= 7,17% f. % disolusi zat aktif pada t15 Faktor koreksi (FK) = Bobot t5 dalam 4 ml = C5 x 4 ml = 2,317 µg /ml x 4 ml = 9,269 µg = 0,009269 mg Bobot terdisolusi = (C15 x 50 ml) + FK C0 + FK C5 = (1,923 µg /ml x 50 ml) + 0,000 mg + 0,009269 mg = 96,154 µg + 0,000 mg + 0,009269 mg = 0,096154 mg + 0,009269 mg = 0,105 mg
= 6,53%
Lampiran 14. Contoh Perhitungan Volume Mikropartikel Diketahui
: Diameter mikropartikel = 8 µm Jumlah mikopartikel berdiameter 3 µm = 31
Jawaban
:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
Lampiran 15. Sertifikat Analisis Etil Selulosa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
Lampiran 16. Sertifikat Analisis Poli Vinil Alkohol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
Lampiran 17. Sertifikat Analisis Diltiazem Hidroklorida
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta