UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PREPARASI DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL ZINK PEKTINAT MENGANDUNG DILTIAZEM HIDROKLORIDA DENGAN METODE GELASI IONIK
SKRIPSI
SUBHAN ASFARI 1111102000086
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JUNI 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PREPARASI DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL ZINK PEKTINAT MENGANDUNG DILTIAZEM HIDROKLORIDA DENGAN METODE GELASI IONIK
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
SUBHAN ASFARI 1111102000086
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JUNI 2015
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
ii
HALAMAN PENGESAHAN
iii
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul Skripsi
: : :
Subhan Asfari Farmasi Preparasi dan Karaterisasi Nanopartikel Zink Pektinat Mengandung Diltiazem Hidroklorida dengan Metode Gelasi Ionik.
Nanopartikel zink pektinat mengandung diltiazem hidroklorida telah dibuat dengan metode gelasi ionik. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh penambahan diltiazem hidroklorida serta perbedaan medium preparasi (akuades dan NaCl 0,05M) terhadap karakteristik fisik nanopartikel. Nanopartikel diperoleh dari tiga formula yang berbeda. Formula 1 merupakan nanopartikel zink pektinat kosong yang dipreparasi dalam medium NaCl 0,05 M. Formula 2 merupakan nanopartikel zink pektinat mengandung diltiazem hidroklorida yang dipreparasi dalam medium NaCl 0,05 M. Formula 3 merupakan nanopartikel zink pektinat mengandung diltiazem hidroklorida yang dipreparasi dalam medium akuades. Pembuatan nanopartikel dilakukan dengan menambahkan larutan ZnCl2 ke dalam larutan pektin dan campuran pektin-diltiazem hidroklorida tetes demi tetes di bawah pengadukan ultrasonik. Ukuran partikel, potensial zeta, efisiensi penjerapan, spektrum FT-IR, dan sifat termal dari setiap formula nanopartikel dikarakterisasi. Ukuran partikel formula 1, 2 dan 3 masing-masing 433,82 nm, 502,41 nm dan 765,47 nm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan diltiazem hidroklorida ke dalam nanopartikel dapat menyebabkan peningkatan ukuran partikel, penurunan potensial zeta dan derajat sambung silang. Sementara itu, keberadaan natrium klorida selama preparasi menyebabkan penurunan ukuran partikel, potensial zeta dan derajat sambung silang. Perbedaan medium preparasi tidak menyebabkan perbedaan dalam efisiensi penjerapan. Kata Kunci
:
Nanopartikel, diltiazem hidroklorida, pektin, zink klorida, gelasi ionik, ultrasonik.
iv
ABSTRACT
Name Program Study Title
: : :
Subhan Asfari Pharmacy Preparation and Characterization Zinc Pectinate Nanoparticles Containing Diltiazem Hidrochloride by Ionic Gelation
Zinc pectinate nanoparticles containing diltiazem hydrochloride had been prepared by ionic gelation method. The aim of the research was to investigate effect of diltiazem hydrochloride addition and the differences of preparation media (aquadest and NaCl 0,05M) toward physical characteristics of nanoparticles. Nanoparticles were obtained from three different formula. Formula 1 was blank zinc pectinate nanoparticles which prepared in 0,05 M NaCl media. Formula 2 was zinc pectinate nanoparticles containing diltiazem hydrochloride which prepared in 0.05 M NaCl media. Formula 3 was zinc pectinate nanoparticles containing diltiazem hydrochloride which prepared in aquadest media. Preparation of nanoparticles was done by adding ZnCl2 solution into pectin and pectin-diltiazem hydrochloride mixture solution dropwise under ultrasonic stirring. Particle size, zeta potential, entrapment efficiency, FT-IR spectrum, and thermal properties of each nanoparticles formula were characterized. Particle size of formula 1, 2 and 3 were 433,82 nm, 502,41 nm and 765,47 nm respectively. The results showed that the addition of diltiazem hydrochloride into nanoparticles can lead to increase in particle size, decrease in zeta potential and degree of crosslinking. Meanwhile, the presence of sodium chloride during the preparation can lead to decrease in particle size, zeta potential, and degree of crosslinking. The differences of preparation media did not cause differences in entrapment efficiency. Keyword
:
Nanoparticle, diltiazem hydrochloride, pectin, zinc chloride, ionic gelation, ultrasonic.
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Preparasi dan Karakterisasi Nanopartikel Zink Pektinat Mengandung Diltiazem Hidroklorida dengan Metode Gelasi Ionik”. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada junjungan, Nabi Muhammad SAW, teladan bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi tugas akhir guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada penulisan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari bimbingan, arahan, bantuan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan dan kesungguhan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Arif Sumantri S.K.M., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Yardi, Ph.D., Apt., selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. sebagai Pembimbing I dan Ibu Nelly Suryani, Ph.D., Apt. sebagai Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, ilmu, nasihat serta dedikasinya selama masa penelitian hingga penulisan skripsi. 4. Ibu Pricilia dari PT Rotaryana Prima yang telah membantu dalam memperoleh bahan penelitian. 5. Seluruh dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan. 6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Asmawi dan Ibunda Maliyah yang senantiasa memberikan cinta dan kasih sayang, doa yang tidak pernah terputus, serta dukungan moral dan materi terbaiknya untuk penulis.
vi
7. Segenap laboran FKIK, Kak Rachmadi, Kak Eris, Kak Anis, Mbak Rani, Kak Lisna, Kak Tiwi dan Kak Liken yang telah banyak membantu penulis melakukan penelitian di laboratorium. 8. Teman-teman seperjuangan teknologi farmasi yang telah saling mendukung, menyemangati, dan memberikan pertolongan selama penelitian dan penulisan skripsi. 9. Rekan-rekan Mahasiswa/i S1 Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2011, yang telah menjadi bagian penting hidup penulis selama menjalankan pendidikan tinggi. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu dengan ikhlas baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Semoga semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga ilmu dan pengetahuan yang penulis tuangkan dalam skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi rekan sejawat dan semua pihak yang membutuhkan, serta menjadi keberkahan tersendiri bagi penulis.
Jakarta, Juni 2015
Penulis
vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
viii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii ABSTRAK ............................................................................................................ iv ABSTRACT ............................................................................................................v KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI....................... viii DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................1 1.1 Latar Belakang ................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah...........................................................................3 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................3 1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................................3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................5 2.1 Diltiazem Hidroklorida ...................................................................5 2.2 Pektin ..............................................................................................6 2.3 Zink Klorida ...................................................................................9 2.4 Natrium Klorida ..............................................................................9 2.5 Nanopartikel Sebagai Sistem Penghantaran Obat ........................10 2.6 Gelasi Ionik...................................................................................12 2.7 Sifat dan Karaterisasi Fisik Nanopartikel Sambung Silang..........14 2.7.1 Analisis Spektrum FT-IR ...................................................14 2.7.2 Persen Efisiensi Penjerapan ...............................................15 2.7.3 Ukuran Partikel dan Indeks Polidispersitas........................15 2.7.4 Potensial Zeta .....................................................................17 2.7.5 Differential Scanning Calorimetry (DSC) .........................19 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................21 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian.......................................................21 3.2 Bahan dan Alat .............................................................................21 3.2.1 Bahan..................................................................................21
ix
3.3
3.4
3.2.2 Alat .....................................................................................21 Prosedur Kerja ..............................................................................21 3.3.1 Preparasi Larutan NaCl 0,05 M .........................................21 3.3.2 Preparasi Nanopartikel Diltizem Hidroklorida ..................22 3.3.3 Pengeringan Nanopartikel ..................................................23 Karakterisasi Nanopartikel ...........................................................23 3.4.1 Perubahan Transmitan (%) Suspensi Nanopartikel ...........23 3.4.2 Penetapan Ukuran Partikel dan Indeks Polidispersitas ......24 3.4.3 Penetapan Potensial Zeta....................................................24 3.4.4 Penetapan Efisiensi Penjerapan (%) Diltiazem Hidroklorida .......................................................................24 3.3.6 Analisis Spektrum Inframerah ...........................................25 3.3.7 Analisis Differential Scanning Calorimetry ......................25
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................26 4.1 Preparasi Nanopartikel .................................................................26 4.2 Penurunan Transmitansi (%) ........................................................28 3.3 Ukuran Partikel dan Indeks Polidispersitas ..................................29 4.4 Potensial Zeta ...............................................................................32 4.5 Efisiensi Penjerapan (%) Diltiazem Hidroklorida ........................35 4.6 Spektrum Inframerah ....................................................................37 4.7 Analisis Differential Scanning Calorimetry (DSC)......................40 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................43 5.1 Kesimpulan ...................................................................................43 5.2 Saran .............................................................................................43 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................44 LAMPIRAN......................................................................................................... 49
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.6 Gambar 4.7
Halaman Struktur molekul diltiazem hidroklorida.......................................... 5 Struktur dasar molekul pektin.......................................................... 6 Skema struktur pektin...................................................................... 7 Mekanisme gelasi............................................................................ 8 Spektrum IR sambung silang pektin dengan ZnO.......................... 14 Ilustrasi diameter hidrodinamik...................................................... 16 Skema ilustrasi percobaan DLS....................................................... 16 Skema ilustrasi partikel bermuatan negatif pada media air............. 18 Hasil preparasi nanopartikel............................................................ 28 Penurunan transmitan (%) suspensi nanopartikel........................... 29 Hubungan pH terhadap formula..................................................... 30 Konformasi rantai polimer pektin.................................................. 31 Hubungan potensial zeta terhadap formula.................................... 33 Gugus fungsional pektin................................................................. 34 Hubungan efisiensi penjerapan terhadap formula.......................... 36 Perbandingan spektrum inframerah nanopartikel kering dan pektin.............................................................................................. 38
Gambar 4.7 Perbandingan termogram nanopartikel kering dan pektin.............. 40
xi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 3.1 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3
Formula preparasi nanopartikel........................................................ 22 Ukuran partikel dan indeks polidispersitas....................................... 30 Estimasi jumlah ion dalam 50 mL suspensi nanopartikel................. 35 Daftar ikatan dan bilangan gelombang spektrum inframerah........... 37
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21. Lampiran 22. Lampiran 23. Lampiran 24.
Alur Penelitian .............................................................................. 51 Sertifikat Analisis Diltiazem Hidroklorida ................................... 52 Sertifikat Analisis Pektin .............................................................. 53 Sertifikat Analisis Natrium Klorida .............................................. 54 Perhitungan Preparasi Larutan NaCl 0,05M ................................. 56 Perhitungan Bahan dalam Preparasi Nanopartikel ........................ 56 Perhitungan Persen Transmitan .................................................... 57 Data Distribusi Ukuran Partikel dan Indeks Polidispersitas ......... 58 Data Pengukuran Potensial zeta .................................................... 59 Data Perhitungan Jumlah Ion ........................................................ 59 Data Perhitungan pH. .................................................................... 62 Spektrum Serapan Diltiazem Hidroklorida dalam Akuades. ........ 63 Spektrum Serapan Diltiazem Hidroklorida dalam NaCl 0,05 M. . 63 Kurva Kalibrasi Diltiazem Hidroklorida dalam Pelarut Akuades. 64 Kurva Kalibrasi Diltiazem Hidroklorida dalam Pelarut NaCl 0,05 M ................................................................................................... 64 Data Efisiensi Penjerapan ............................................................. 65 Contoh Perhitungan Persen Penjerapan Diltiazem Hidroklorida. . 65 Data Spektrum Inframerah ............................................................ 67 Data Hasil Analisa DSC ................................................................ 71 Alat-alat penelitian ........................................................................ 74 Proses Sambung Silang ................................................................. 75 Suspensi Nanopartikel ................................................................... 76 Hasil Sentrifugasi Suspensi Nanopartikel ..................................... 76 Hasil Pengeringan Suspensi Nanopartikel .................................... 77
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Nanoteknologi saat ini sering digunakan untuk berbagai aplikasi, di
antaranya serat dan tekstil, pertanian, elektronik, ilmu forensik, antariksa, dan terapi medis (Kumar, Yadav dan Yadav, 2010). Salah satu bidang penelitian yang paling aktif dari nanoteknologi adalah nanomedicine yang menerapkan nanoteknologi untuk intervensi medis yang sangat spesifik untuk pencegahan, diagnosis dan pengobatan penyakit (Lobatto dkk., 2011). Nanopartikel merupakan bagian studi nanomedicine dalam sistem penghantaran obat. Nanopartikel dapat bertindak sebagai sistem penghantaran obat dengan menjerap molekul obat dalam struktur interiornya, mengadsorpsi molekul obat di permukaan, atau terikat secara kovalen dengan suatu bahan prekursor (Tiwari dkk., 2012). Teknologi nanopartikel menawarkan keuntungan besar di antaranya meningkatkan
solubilisasi
bahan
aktif
obat
hidrofobik,
meningkatkan
bioavailabilitas, memperbaiki farmakokinetik bahan aktif obat, melindungi bahan aktif obat dari degradasi fisik, kimia atau biologis (Gupta & Kumar, 2012), dan meningkatkan waktu retensi sediaan (Petros & DeSimone, 2010). Saat ini sedang berkembang pembuatan nanopartikel dari polisakarida alam. Menurut Racovita dkk. (2009), polisakarida alam seperti pektin dapat diaplikasikan dalam sistem penghantaran obat sebagai nanopartikel. Hal ini karena, sifat mukoadhesif pektin membuat nanopartikel berbasis polisakarida ini menjadi sistem penghantaran obat yang menjanjikan (Jonassen, Treves, Kjøniksen, Smistad & Hiorth, 2013). Selain itu, pektin memiliki kelebihan diantaranya toksisitas rendah, biokompatibel, biodegradable (Chakraboty dkk., 2012) dan biaya produksi yang rendah sehingga membuat pektin menjadi unsur penting dalam produk farmasi (Sriamornsak, 2011). Namun, dibandingkan dengan nanopartikel berbasis polisakarida lain, masih sedikit studi literatur mengenai nanopartikel pektin. Sifat kompleks dari molekul pektin sebagian dapat menjelaskan hal ini (Sande, 2005).
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Pembuatan nanopartikel pektin didasarkan atas kemampuan pektin untuk membentuk gel dengan penyambung silang berupa kation divalen, umumnya kalsium dan zink. Gel terbentuk karena adanya ikatan ionik antara gugus karboksil yang bermuatan negatif dari pektin dengan ion divalen (Racovita dkk.2009). Telah dilakukan penelitian bahwa zink merupakan penyambung silang yang lebih baik untuk pektin dibandingkan dengan kalsium, karena membentuk ikatan yang lebih kuat pada pektin (Das, Ng, & Ho, 2010 dan Adingsih, 2012). Berbeda dengan pembuatan gel pektin makroskopik, pembuatan nanopartikel pektin harus dilakukan pada konsentrasi pektin encer (Vauthier & Bouchemal, 2009), yaitu di bawah konsentrasi tumpang tindih antar rantai polimer. Konsentrasi tumpang tindih dari larutan polimer tergantung pada konformasi rantai polimer dalam larutan dan pada sifat pelarut serta kondisi termodinamika (Jonassen, Treves, Kjøniksen, Smistad & Hiorth, 2013). Konformasi rantai pektin dalam media air juga tergantung pada derajat ionisasi yaitu derajat esterefikasi pektin dan pH larutan. Dalam air murni, ionisasi rantai pektin akan memiliki konformasi terentang karena tolakan elektrostatik (Sriamonsrak, 2011). Jonassen, Treves, Kjøniksen, Smistad & Hiorth (2013) meneliti pengaruh natrium klorida terhadap konformasi rantai polimer dalam proses pembentukan nanopartikel pektin. Penambahan garam akan menyaring beberapa tolakan elektrostatik sehingga mengubah konformasi rantai polimer membentuk kumparan yang semula terentang. Partikel yang lebih kecil dan lebih kompak dapat dibentuk dalam air garam dibandingkan dengan air murni. Hal ini dipicu oleh dominasi taut silang intramolekul dibandingkan intermolekul polimer. Penambahan NaCl dalam pembuatan nanopartikel pektin juga dilakukan pada penelitian ini. Hal tersebut diharapkan dapat memicu salting-out dan meningkatkan kecenderungan agregrasi rantai polimer, sehingga nanopartikel pektin lebih mudah terbentuk. Meskipun pembuatan nanopartikel pektin yang disambung silang dengan zink telah dilakukan, dan pengaruh penambahan NaCl telah dipelajari, nanopartikel pektin yang dibuat belum mengandung agen terapeutik. Sebagai model agen terapi yang akan ditambahkan, digunakan diltiazem yang merupakan pemblok kanal kalsium keluarga benzodiazepin yang telah banyak digunakan secara luas untuk pengobatan angina pektoris dan hipertensi (Yan dkk., 2013). Diltiazem dianggap
3
sebagai model agen terapi yang tepat untuk dimodifikasi sebagai nanopartikel karena bioavailabilitas oral hanya 30-40% (Shukla, Kharia & Kaur, 2012), dan tablet atau kapsul konvensional perlu diberikan 3 atau 4 kali sehari karena waktu paruh biologis hanya sekitar 6 jam (Mahale & Sreenivas, 2013). Dalam penelitian ini, akan dibuat nanopartikel pektin sambung silang dengan zink yang mengandung diltiazem hidroklorida. Sumber logam monovalen berupa NaCl ditambahkan untuk mempermudah terbentuknya nanopartikel. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh penambahan diltiazem hidroklorida dan NaCl terhadap karakteristik fisik dari nanopartikel serta jumlah diltiazem hidroklorida yang dapat dijerap dalam nanopartikel yang dihasilkan. 1.2
Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini di antaranya;
a) Bagaimana pengaruh penambahan diltiazem hidroklorida terhadap karakteristik fisik nanopartikel sambung silang zink pektinat? b) Bagaimana pengaruh penambahan NaCl terhadap karakterisitik fisik nanopartikel yang dibuat dan jumlah diltiazem hidroklorida yang terjerap? 1.3 a)
Tujuan Penelitian Membuat nanopartikel sambung silang zink pektinat mengandung diltiazem hidroklorida.
b) Mempelajari pengaruh penambahan diltiazem hidroklorida terhadap karakteristik fisik nanopartikel yang dihasilkan. c)
Mempelajari pengaruh penambahan NaCl terhadap jumlah diltiazem hidroklorida yang terjerap dan karakteristik fisik nanopartikel yang dihasilkan.
1.4
Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut:
a)
Meningkatkan nilai guna pektin dalam bidang farmasetik terutama dalam sistem penghantaran obat.
b) Meningkatkan bioavabilitas dan efektivitas terapi diltiazem.
4
c)
Memberikan peluang terhadap penelitian lebih lanjut mengenai formulasi sediaan berbasis nanopartikel zink pektinat mengandung diltiazem hidroklorida
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Diltiazem Hidroklorida Diltiazem adalah penghambat kanal kalsium golongan benzotiazepin
(Golan dkk., 2011) yang biasa digunakan untuk terapi hipertensi dan angina pektoris.
.
Gambar 2.1
HCl
Struktur molekul diltiazem hidroklorida.
Sumber : Sweetman, 2009 (telah diolah kembali).
Diltiazem
hidroklorida
atau
(2S-cis)-3-(asetiloksi)-5-[2
(dimetil
amino)etil]-2,3–dihidro–2-(4–metoksifenil)-1,5–benzotiazepin-4-(5H)-on memiliki rumus molekul C22H26N2O4S.HCl dan berat molekul 451,0. Diltiazem hidroklorida berupa serbuk hablur atau hablur kecil putih, tidak berbau, melebur pada suhu sekitar 210oC disertai peruraian. Senyawa ini mudah larut dalam kloroform, dalam metanol, dalam asam format dan dalam air, agak sukar larut etanol mutlak, dan tidak larut dalam eter (Departemen Kesehatan RI, 1995). Obat golongan ini bekerja dengan menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah (Gormer, 2007). Diltiazem HCl diberikan secara oral untuk pengobatan angina pektoris dan hipertensi serta perlu dikonsumsi 3–4 kali sehari untuk tetap mempertahankan tekanan darah normal dan mencegah serangan angina pektoris. Bioavailabilitas diltiazem HCl pada pemberian oral sekitar 40% dengan konsentrasi plasma yang
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
bervariasi antar individu (Sweetman, 2009). 2.2
Pektin Pektin merupakan satu di antara polisakarida anionik alam yang
diperoleh dari ekstraksi kulit jeruk dan apel dengan asam mineral encer panas pada pH ± 2 (Sriamornsak, 2011). Pektin adalah polisakarida alami yang biasa digunakan dalam industri makanan sebagai gelling dan thickening agent (Jonassen, 2014). Pektin memiliki sifat hidrofilik, sehingga dapat digunakan sebagai matriks hidrofilik yang dapat digunakan untuk sistem penghantaran obat oral dan untuk formulasi yang pelepasannya dimodifikasi (Adiningsih, 2012 dan Bhatia dkk., 2008).
Gambar 2.2
Struktur dasar molekul pektin
Sumber: Racovita dkk., 2009
Struktur pektin sangat sulit untuk ditetapkan karena pektin dapat berubah selama isolasi, penyimpanan, dan pengolahan dari bahan tanaman (Novosel'skaya dkk., 2000). Komposisi utama pektin adalah unit-unit asam D-galakturonik (GalA) yang membentuk rantai ikatan α-(1,4) glikosidik. Asam uronat ini mempunyai kelompok gugus karboksil yaitu metil ester dan gugus lainya yang apabila direaksikan dengan amonia akan menghasilkan gugus karboksiamida. Terdapat ratusan hingga ribuan sakarida dengan bentuk konfigurasi rantai dan berat molekulnya sekitar lima puluh ribu Dalton (Srivastava dan Malviya, 2011). Polisakarida pektin terbuat dari beberapa struktur elemen penting di antaranya homogalakturonat (HG) dan rhamnogalakturonat tipe I (RG-I), di mana daerah tersebut masing-masing digambarkan sebagai daerah "halus" dan "berbulu". Wilayah HG terdiri dari residu (1 → 4) α-D-GalpA yang sebagian dapat termetilasi pada C-6 dan mungkin sebagian terasetil-esterifikasi di O-2 dan/atau O-3. Wilayah RG-I terdiri dari unit disakarida berulang [→ 4) -α-D-GalpA- (1 → 2) -α-LRhap(1 →] n dengan rantai samping beragam terdiri dari residu L-arabinosa dan D-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
galaktosa .Telah dilaporkan bahwa residu GalA di wilayah RG-I sebagian dapat terasetilasi tetapi tidak termetilasi (Morris dkk., 2010).
Gambar 2.3
Skema struktur pektin, asam galakturonat ( ), galaktosa ( arabinosa ( ), ramnosa ( ), gugus metil ( ).
),
Sumber: Morris dkk., 2010.
Rantai asam poligalakturonat sebagian dapat teresterifikasi dengan gugus metil, dan gugus asam bebas dapat sebagian atau seluruhnya dinetralkan dengan ion natrium, kalium atau amonium. Rasio gugus GalA yang teresterifikasi terhadap total gugus GalA disebut sebagai DE (derajat esterefikasi). Kelas pektin berdasarkan DE di antaranya high methoxyl (HM) pektin, dan low methoxyl (LM) baik yang secara konvensional terdemetilasi atau hasil modifikasi dengan amidasi menjadi amidated low methoxyl (AM) pektin. Nilai DE untuk HM-pektin komersial biasanya berkisar 60-75% dan untuk LM-pektin antara 20 sampai 40%. Kedua kelompok pektin membentuk gel dengan mekanisme yang berbeda (Sriamornsak, 2011) HM-pektin membentuk gel pada pH rendah (<4.0) dan di hadapan sejumlah besar (>55%) padatan terlarut, biasanya sukrosa. Gel HM-pektin stabil dengan adanya ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik yang secara individual lemah tetapi kuat pada zona sambungan kumulatif. Sebaliknya, LM-pektin membentuk jaringan gel stabil secara elektrostatis dengan/atau tanpa gula dan dengan kation logam divalen, biasanya kalsium dalam suatu model egg-box yang tergantung pada distribusi gugus karboksilat negatif dan struktur rantai samping rhamnosa (Morris dkk., 2010). Kemampuan pembentuk gel dari pektin dengan kation divalen mirip dengan yang ditemukan pada alginat: Mg2+ << Ca2+, Sr2+
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
(a)
Gambar 2.4
(b)
Mekanisme gelasi, (a) HM-pektin, di mana daerah sambungan ditandai dengan arsiran, (b) LM-pektin. Sumber: Morris dkk., 2010 (telah diolah kembali).
Kemampuan pektin dalam membentuk gel sangat bergantung dari ukuran molekul, derajat esterifikasinya, pH, konsentrasi, ion kalsium (crosslinker), kekuatan ionik larutan dan suhu, sehingga pektin yang berasal dari sumber yang berbeda tidak mempunyai kemampuan yang sama dalam membentuk gel (Ovodov, 2009). Faktor-faktor yang meningkatkan kekuatan gel akan meningkatkan kecenderungan untuk membentuk gel, menurunkan kelarutan, dan meningkatkan viskositas, serta sebaliknya. Sifat pektin ini merupakan fungsi dari struktur mereka, yang berupa polianion linear (polikarboksilat). Dengan demikian, pektin sangat terionisasi dalam larutan, dan distribusi muatan ion di sepanjang molekulnya cenderung untuk rantai polimer pektin tetap dalam bentuk terentang oleh karena tolakan Coulomb (Sriamornsak, 2011). Tolakan Coulomb yang sama antar anion karboksilat mencegah agregasi dari rantai polimer, di mana jumlah muatan negatif ditentukan oleh DE. Selain itu, masing-masing rantai polisakarida, dan terutama setiap kelompok karboksilat akan sangat terhidrasi. Larutan pektin menunjukkan kekentalan yang sangat stabil karena setiap rantai polimer terhidrasi, diperpanjang, dan terpisah (Sriamornsak, 2011). Pada pH rendah, ionisasi dari gugus karboksilat ditekan, dan ini mengakibatkan pengurangan hidrasi gugus asam karboksilat. Sebagai hasil dari pengurangan ionisasi, molekul polisakarida tidak lagi saling tolak di sepanjang rantai polimernya, dan pada akhirnya antar rantai polimer dapat saling mengait dan membentuk gel (Sriamornsak, 2011). Pektin telah digunakan sebagai agen pembentuk gel untuk waktu yang lama, namun telah ada penelitian baru terhadap penggunaan gel pektin dalam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
penghantaran obat terkontrol. Hal ini karena sifatnya yang tidak toksik, biaya produksi yang relatif rendah dan ketersediaan tinggi. Telah diusulkan bahwa pektin dapat digunakan untuk penghantaran obat oral, nasal dan vaginal, yang umumnya diterima baik oleh pasien (Morris dkk., 2010). Pektin mempunyai beberapa sifat yang digunakan secara luas sebagai matriks untuk menjerap dan menghantarkan beberapa obat, protein dan sel (Ovodov, 2009). 2.3
Zink Klorida Zink klorida memiliki pemerian serbuk hablur atau granul hablur, putih atau
hampir putih. Dapat berupa massa seperti porselen atau berbentuk silinder. Sangat mudah mencair. Larutan (1 dalam 10) bereaksi asam terhadap lakmus. Senyawa ini mudah larut dalam air, mudah larut dalam etanol dan dalam gliserin. Larutan dalam air atau dalam etanol biasanya agak keruh, tetapi kekeruhan hilang jika ditambahkan sedikit asam klorida (Departemen Kesehatan RI, 1995). Zink klorida akan terionisasi menjadi Zn2+ dan 2Cl- di mana ion Zn2+ akan digunakan sebagai penyambung silang (crosslinker) dalam pembuatan nanopartikel zink-pektinat. 2.4
Natrium Klorida Natrium klorida merupakan hablur bentuk kubus atau serbuk hablur putih,
rasa asin. Senyawa ini mudah larut dalam air, sedikit lebih mudah larut dalam air mendidih, larut dalam gliserin, sukar larut dalam etanol (Departemen Kesehatan RI, 1995). Natrium klorida banyak digunakan dalam berbagai formulasi farmasi parenteral dan nonparenteral, di mana penggunaan utamanya untuk menghasilkan larutan isotonik. Natrium klorida digunakan sebagai lubrikan dan pengisi dalam formulasi kapsul dan tablet cetak langsung di masa lalu, meskipun hal ini tidak lagi umum. Natrium klorida digunakan sebagai channeling agent dan sebagai agen osmotik dalam inti tablet lepas terkontrol. Senyawa ini juga digunakan sebagai pengubah porositas dalam lapisan tablet, dan untuk mengontrol pelepasan obat dari mikrokapsul (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
Pada penelitian ini ion Na+ dari natrium klorida diharapkan berinteraksi dengan gugus karboksilat pektin untuk menyaring sebagian tolakan Coulomb sehingga konformasi rantai polimer pektin dapat berubah. 2.5
Nanopartikel sebagai Sistem Penghantaran Obat Nanoteknologi adalah teknik untuk mendesain dan menyusun materi pada
skala nano yang memungkinkan untuk memanfaatkan dan merekayasa struktur atom per atomnya (Yokoyama, 2007). Salah satu bidang penelitian yang paling aktif dari nanoteknologi adalah nanomedicine, yang menerapkan nanoteknologi untuk intervensi medis yang sangat spesifik untuk pencegahan, diagnosis dan pengobatan penyakit (Lobatto dkk., 2011). Nanopartikel merupakan bagian studi nanomedicine dalam sistem penghantaran obat. Nanopartikel dapat didefinisikan sebagai partikel dengan berbagai bentuk yang memiliki ukuran dalam kisaran 1 sampai 1000 nm. (Jonassen, 2014). Nanopartikel terdiri dari nanokapsul dan nanosfer. Nanokapsul adalah sistem vesikular di mana obat hanya berada pada rongga yang dikelilingi oleh membran polimer, sedangkan nanosfer adalah sistem matriks di mana obat secara fisik tersebar merata dalam matriks polimer (Singh & Lillard, 2009). Nanopartikel harus bersifat stabil, tidak beracun, tidak trombogenik, tidak imunogenik, tidak memicu inflamasi, biodegradable, mencegah penyerapan oleh sistem retikulo endotel dan harus dapat diaplikasikan ke berbagai molekul seperti obat, protein, vaksin atau asam nukleat (Kumari, Yadaf & Yadaf, 2010) Nanopartikel dapat terbuat baik dari unsur anorganik maupun organik (Jonassen, 2014). Dalam bidang farmasi, nanopartikel lebih banyak dibuat dari polimer alam. Polimer hidrofilik alam digunakan luas dalam berbagai industri farmasi untuk pengembangan sistem penghantaran obat baru karena sifat toksisitasnya yang rendah, biokompatibilitas dan biodegradabel (Chakraborty dkk., 2012). Polimer alam yang digunakan untuk nanopartikel penghantaran oral di antaranya kitosan, dekstran, gelatin, alginat, agar, dan di antaranya kitosan adalah yang paling populer (De Jong & Borm, 2008). Salah satu sifat dasar dari nanopartikel yang berbeda dengan material lain adalah besarnya rasio luas permukaan terhadap volume (Kohane, 2007). Sifat ini
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
dapat dimanfaatkan dalam formulasi obat hidrofobik, dengan peningkatan luas permukaan yang akan meningkatkan laju disolusi dan penyerapan obat (MeriskoLiversidge & Liversidge, 2008). Nanopartikel juga dapat diserap langsung oleh sel mukosa melalui endositosis (Fröhlich & Roblegg, 2012). Selain ukuran dan bentuk, karakteristik permukaan nanopartikel juga dapat menentukan jangka hidup partikel selama sirkulasi dalam aliran darah. Salah satu kemajuan besar saat ini adalah temuan bahwa partikel yang dilapisi dengan molekul polimer hidrofilik, seperti PEG, dapat menahan adsorpsi protein serum, sehingga memperpanjang sirkulasi sistemik partikel (Bamrungsap dkk., 2012). Hal ini terjadi karena PEG memodifikasi muatan permukaan partikel. Muatan permukaan partikel mempengaruhi internalisasi oleh makrofag. Partikel bermuatan positif telah terbukti menunjukkan internalisasi yang lebih tinggi oleh makrofag dan sel dendritik, dibandingkan dengan partikel netral atau bermuatan negatif (Doshi, & Mitragotri, 2009). Nanopartikel juga dapat berguna dalam meningkatkan stabilitas suatu agen terapeutik. Bahan farmasetik tertentu seperti protein dan peptida mudah terdegradasi ketika diberikan secara oral dan sering cepat tereliminasi setelah injeksi intravena (Balmayor, Azevedo & Reis, 2011). Penggabungan molekul obat dalam nanopartikel telah dimanfaatkan untuk melindungi bahan sejenis dari degradasi dan eliminasi fisiologis dini (Plapied, Duhem, des Rieux, & Préat 2011). Permukaan nanopartikel juga dapat dimodifikasi dengan ligan untuk penghantaran tertarget, misalnya penggabungan nanopartikel dengan folat untuk menargetkan sel kanker manusia yang mengekspresi reseptor folat berlebih (Bamrungsap dkk., 2012). Terdapat pula nanopartikel responsif rangsangan yang dapat menargetkan atau melepaskan obat di tempat yang diinginkan, atau setelah terpapar berbagai rangsangan, seperti perubahan fisiologis pada pH atau medan magnet eksternal yang diberikan (Ding & Ma, 2013). Teknologi nanopartikel juga dapat memperoleh keuntungan profil pelepasan terkontrol. Sebagai contoh, nanokapsul baru-baru ini menghasilkan banyak minat dalam bidang pelepasan terkontrol dengan berbagai polimer biokompatibel dan biodegradable. Dispersi polimer nanokapsul dapat berfungsi sebagai pembawa obat berukuran nano untuk mencapai pelepasan terkontrol serta
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
penargetan obat yang efisien. Stabilitas dispersi dan respon fisiologis primer terutama ditentukan oleh jenis surfaktan dan sifat lapisan luar. Sifat rilis dan degradasinya sangat tergantung pada komposisi dan struktur dinding kapsul (Gupta & Kumar, 2012). Nanopartikel dalam sistem penghantaran obat memang telah memberikan banyak keuntungan. Namun demikian, masih terdapat kelemahan dalam nanopartikel sebagai nanocarrier (pembawa nano). Keterbatasan pembawa nano di antaranya: a)
Pembawa nano masih sulit dibuat, disimpan dan diberikan karena rentan terhadap agregasi.
b) Nanocarrier tidak cocok untuk obat yang efikasinya belum jelas. c)
Hal utama yang menjadi perhatian terkait dengan ukurannya yang kecil sebagai nanocarrier yaitu dapat masuk ke bagian tubuh yang tidak diinginkan dengan konsekuensi berbahaya, misalnya dapat menyeberangi selubung nukleus sel dan menyebabkan kerusakan genetik dan mutasi yang tidak diinginkan (Gupta & Kumar, 2012).
2.6
Gelasi Ionik Gelasi ionik merupakan metode pembuatan nanopartikel yang melibatkan
proses sambung silang antar polielektrolit dengan adanya pasangan ion multivalennya. Gelasi ionik seringkali diikuti dengan kompleksasi polielektrolit dengan polielektrolit yang berlawanan. Pembentukan ikatan sambung dapat meningkatkan kekuatan mekanis dari partikel yang terbentuk (Iswandana, Effionora & Jufri, 2013). Gelasi ionik adalah teknik sederhana dan cepat untuk pembuatan dispersi nanopartikel (Jonassen, Treves, Kjøniksen, Smistad & Hiorth, 2013). Penemu fenomena gelasi ionik adalah seorang ilmuwan koloid Jerman, Heinrich Thiele yang menggagas mekanisme pemisahan fase segregasi droplet. Proses gelasi; Larutan Polimer + Elektrolit ↔ Gelisfer + Elektrolit + Air Gelisfer merupakan suatu kesatuan polimer hidrofilik sambung silang sferik yang mampu tergelasi dan mengembang di dalam cairan biologis simulasi serta
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
dapat merilis obat melalui kesatuan tersebut yang dikendalikan oleh relaksasi polimer (Patil, Chavanke, & Wagh, 2012). Metode gelasi ion telah banyak digunakan pada proses enkapsulasi polisakarida alam seperti alginat, pektin, kitosan, dan karboksimetil selulosa (Patil, Chavanke, & Wagh, 2012). Penaut silang yang digunakan untuk gelasi ionik dapat dibagi menjadi dua macam yaitu penyambung silang dengan bobot molekul rendah misalnya kalsium klorida, barium klorida, magnesium klorida, zink asetat, pirofosfat, tripolifosfat, tetrapolifosfat, serta penyambung silang bobot molekul tinggi seperti lauril dan setilstearil sulfat (Racovita dkk., 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi metode gelasi ionik: a)
Konsentrasi polimer dan elektrolit sambung silang. Konsentrasi polimer dan elektrolit memiliki pengaruh besar pada formulasi partikel dengan metode gelasi ionik. Konsentrasi keduanya harus dalam rasio tertentu yang dihitung dari jumlah unit sambung silang. Variasi persen efisiensi penjerapan berasal dari jenis elektrolit dan konsentrasi elektrolit.
b) Suhu Suhu juga memainkan peran pada ukuran partikel yang dibentuk oleh metode gelasi ionik. Selain itu, waktu reaksi juga berpengaruh, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk terbentuk ikatan silang. c)
pH larutan sambung silang pH larutan sambung silang juga faktor yang dipertimbangkan selama formulasi karena menunjukkan efek pada laju reaksi, bentuk dan ukuran partikel.
d) Konsentrasi Obat Obat yang akan terperangkap dalam partikel harus dalam rasio yang tepat dengan polimer, karena konsentrasi obat sangat mempengaruhi efisiensi penjerapan, jika rasio obat-polimer melebihi kisaran maka dapat dilihat efek bursting, densitas partikel meningkat serta ukuran dan bentuk dari partikel juga meningkat. e)
Konsentrasi zat pembentuk gas Agen pembentuk gas seperti kalsium karbonat dan natrium bikarbonat yang ditambahkan ke formulasi untuk menghasilkan partikel berpori sangat mempengaruhi ukuran dan bentuk gelisfer. Oleh karena zat pembentuk gas
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
membentuk partikel berpori, lapisan partikel rusak dan hasilnya permukaan tidak teratur (Patil, Chavanke, & Wagh, 2012). Pektin memiliki kemampuan untuk membentuk gel dengan penyambung silang berupa kation divalen (ion zink atau ion kalsium) (Racovita dkk., 2009). Kalsium klorida adalah penyambung silang yang biasa digunakan untuk preparasi gel makroskopik pektin. Mekanisme sambung silang biasanya digambarkan oleh model egg-box, di mana Ca2+ yang bermuatan positif berinteraksi dengan dua gugus asam yang terpisah pada rantai polimer secara paralel (Sriamornsrak, 2011). Pembentukan gel pektin dengan dua mekanisme yaitu reaksi sambung silang berdasarkan model egg box dan ikatan hidrogen non ionik. (Chambin dkk., 2006). 2.7
Sifat dan Karaterisasi Fisik Nanopartikel Sambung Silang
2.7.1 Analisis Spektrum FT-IR FTIR (Fourier Transform Infrared) merupakan metode analisis dengan memanfaatkan spektroskopi sinar inframerah yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kandungan gugus kompleks pada senyawa dengan melihat ikatanikatan yang dihasilkan. Pada FTIR radiasi inframerah ditembakkan pada sampel. Sebagian dari radiasi inframerah diserap oleh sampel dan sebagian lainnya diteruskan. Frekuensi dari suatu vibrasi akan menentukan spektrum yang dihasilkan dengan penggambaran transmitan. Dari spektrum inilah dilihat ikatan-ikatan apa saja yang berubah maupun yang dihasilkan dari sampel (Harahap, 2012).
Gambar 2.5
Spektrum IR sambung silang pektin dengan ZnO. Sumber: Shi & Gunasekaran, 2008.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
2.7.2 Persen Efisiensi Penjerapan Istilah efisiensi penjerapan berhubungan dengan jumlah obat yang terkandung dalam nanopartikel. Kandungan obat menyatakan persen berat bahan aktif terjerap dengan berat nanopartikel, sedangkan efisiensi penjerapan adalah rasio persentase eksperimen dari jumlah obat yang ditentukan dibanding dengan jumlah obat yang diberikan, atau massa teoritis obat yang digunakan untuk penyusunan nanopartikel (Kharia, Singhai, & Verma, 2012). Efisiensi penjerapan bergantung pada kombinasi obat polimer dan metode yang digunakan. Polimer hidrofobik menjerap jumlah yang lebih besar dari obat hidrofobik, sedangkan polimer hidrofilik menjerap jumlah yang lebih besar dari obat yang lebih hidrofilik. Beberapa parameter formulasi, seperti jenis emulsifier, rasio berat polimer terhadap obat, dan rasio organik fase berair, akan mempengaruhi tingkat muatan obat (Kharia, Singhai, & Verma, 2012). 2.7.3 Ukuran Partikel dan Indeks Polidispersitas Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel merupakan faktor penting dalam nanopartikel, di mana nanopartikel dengan distribusi ukuran partikel luas menunjukkan variasi yang signifikan dalam pemuatan dan pelepasan obat, bioavailabilitas, serta efikasi (Kharia, Singhai, & Verma, 2012). Menurut Jonassen (2014), suatu partikel dapat disebut nanopartikel jika memiliki kisaran ukuran 101000 nm. Indeks polidispersitas adalah parameter yang menyatakan distribusi ukuran partikel dari sistem nanopartikel (Nidhin dkk., 2008), di mana rentang nilai 0,10,25 menunjukkan distribusi ukuran yang sempit, sementara nilai lebih dari 0,5 menunjukkan distribusi yang luas (Lu dkk., 2011). Nilai ini menunjukan hasil perhitungan dari berat rata-rata berat molekul dibagi dengan jumlah rata-rata berat molekul. Semakin mendekati nol berarti distribusinya semakin baik (Haryono, Restu & Harmami, 2012). Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel dapat ditentukan dengan menggunakan teknik hamburan cahaya dan transmisi atau pemindaian mikroskop elektron (Kharia, Singhai, & Verma, 2012). Metode yang paling umum digunakan untuk karakterisasi partikel menggunakan hamburan cahaya dinamis (Dynamic
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
Light Scattering /DLS) (Cho dkk., 2013). Hamburan cahaya dinamis adalah teknik non-invasif dan baik untuk mengukur ukuran dan distribusi ukuran partikel di wilayah submikron, dan juga dapat digunakan untuk mempelajari perilaku cairan kompleks, seperti konsentrat larutan polimer (Jonnasen, 2014). Ukuran partikel yang diukur menggunakan DLS merupakan nilai dari diameter lingkaran partikel yang terdifusi dengan kecepatan yang sama pada saat pengukuran (Shabrina, 2011). Diameter tersebut disebut juga diameter hidrodinamik. Diameter yang diperoleh dengan teknik ini merujuk pada asumsi bentuk sferik partikel yang memiliki koefisien difusi translasi sama dengan partikel yang diukur (Malvern Instruments Worldwide, 2012).
Gambar 2.6
Ilustrasi diameter hidrodinamik
Sumber: Malvern Instruments Worldwide, 2012
Ukuran
partikel
dihitung dari
koefisien difusi
translasi
dengan
menggunakan persamaan Stokes-Einstein;
dh =
kT
(2.1)
3πηD
di mana dh merupakan diameter hidrodinamik, k adalah konstanta Boltzman, T adalah temperature dalam satuan Kelvin, D merupakan koefisien difusi translasi dan η merupakan viskositas medium pendispersi.
Gambar 2.7
Skema ilustrasi percobaan DLS.
Sumber: Jonassen, Treves, Kjøniksen, Smistad & Hiorth., 2014
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
Penentuan ukuran partikel dengan DLS juga memanfaatkan pemendaran cahaya akibat gerak Brown yang terjadi pada partikel submikron dalam medium pendispersi tertentu. Pada saat pengukuran, pancaran berkas cahaya monokromatik dari alat ke larutan berpartikel sferis dalam gerak Brown menyebabkan pergeseran Doppler, sehingga mengubah panjang gelombang cahaya yang masuk (Sartor, 2003). Perbedaan besaran antara cahaya yang diteruskan dengan cahaya yang dihamburkan disebut vektor gelombang (q). Vektor gelombang didefinisikan sebagai;
q=
θ 2
4πn sin( )
(2.2)
λL
di mana λL adalah panjang gelombang cahaya insiden dalam ruang hampa, di mana θ adalah sudut hamburan, dan n adalah indeks bias sampel (Jonnasen dkk., 2014). Oleh karena partikel terus bergerak intensitas cahaya yang diterima detektor berfluktuasi konstan. Tingkat di mana fluktuasi intensitas terjadi bergantung pada ukuran partikel. Partikel-partikel kecil menyebabkan intensitas berfluktuasi lebih cepat daripada yang besar. Sistem dari instrumen akan mengukur tingkat fluktuasi intensitas dan kemudian menggunakan hal tersebut untuk menghitung ukuran partikel. Berkaitan dengan fluktuasi intensitas yang diterima, maka dibuat sebuah autokorelator sebagai pembanding sinyal. Hal ini dirancang untuk mengukur tingkat kesamaan antara dua sinyal, atau satu sinyal dengan dirinya sendiri pada interval waktu yang berbeda-beda. Autokorelator ini berguna untuk menafsirkan ukuran partikel dari data fluktuasi sinyal yang diterima. 2.7.4 Potensial Zeta Potensial zeta adalah ukuran umum dari besarnya muatan elektrostatik partikel dalam dispersi, dan sangat sesuai dalam studi stabilitas suspensi nanopartikel. Umumnya, potensial zeta di atas nilai absolut dari 30 mV dianggap perlu untuk menjamin stabilitas koloid yang baik (Frietas & Muller, 1998)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
Partikel bermuatan dalam dispersi cair dikelilingi oleh ion dalam lapisan ganda listrik. Lapisan ganda cair ini terdiri dari bagian dalam (stern layer) dengan ion berlawanan (dari permukaan partikel) yang terikat relatif kuat, dan wilayah luar dengan ion yang terikat kurang kuat. Potensial zeta adalah potensial listrik di bidang terluar (slipping plane), yaitu pada permukaan lapisan cair ganda stationer (Jonassen, 2014).
Gambar 2.8
Skema ilustrasi partikel bermuatan negatif pada media air Sumber: Jonassen, 2014
Selain berperan dalam stabilitas fisik, potensial zeta nanopartikel juga mempengaruhi efektivitasnya sebagai sistem penghantaran obat. Partikel bermuatan negatif dapat dengan cepat dibersihkan oleh makrofag. Selain itu sistem retikuloendotelial, terutama di hati dan limpa, menjadi kendala utama untuk pentargetan
aktif
karena
kemampuannya
untuk
mengenali
sistem
ini,
menghapusnya dari sirkulasi sistemik, dan akibatnya menghindari pengiriman efektif obat nano ke organ lain (Honary & Zahir, 2013). Perlekatan antara nanopartikel dengan membran sel juga terpengaruh oleh muatan permukaan partikel. Nanopartikel dengan muatan permukaan tinggi sangat terikat pada membran sel dan menunjukkan serapan seluler tinggi, di mana interaksi elektrostatik antara membran anionik dan nanopartikel kationik memfasilitasi penyerapan tersebut. Setelah adsorpsi nanopartikel pada membran sel, penyerapan terjadi melalui beberapa mekanisme yang mungkin seperti pinositosis, endositosis dan fagositosis. Senyawa kationik juga dapat memiliki efek positif pada permeasi kulit, dimana komponen penyusun jaringan kulit seperti fosfatidil kolin dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
karbohidrat yang ditemukan di sel mamalia mengandung gugus bermuatan negatif (Honary & Zahir, 2013). Nanopartikel dengan muatan positif lebih cenderung diserap oleh sel tumor dan waktu retensi yang lebih lama dibandingkan dengan partikel bermuatan negatif atau netral karena fosfatidil serin, residu bermuatan negatif, ditranslokasikan ke permukaan sel kanker dan nanopartikel dengan muatan positif dapat ditranslokasikan oleh sel-sel tumor baik melalui endositosis, atau interaksi muatan dan penambatan ligan-reseptor (Honary & Zahir, 2013).
2.7.5 Differential Scanning Calorimetry (DSC) DSC adalah teknik analisis termal yang paling sering digunakan. Teknik ini dikembangkan oleh E. S. Watson dan M. J. O'Neill pada tahun 1962 dan diperkenalkan secara komersial pada 1963 dalam Konferensi Kimia Analitik dan Spektroskopi Terapan Pittsburgh (O’Neill & Watson, 1966). Sejak saat itu, DSC banyak digunakan pada berbagai disiplin ilmu. Analisis DSC digunakan untuk mengukur perubahan entalpi atau perubahan kapasitas panas dalam sampel sebagai fungsi temperatur atau waktu. Selain itu, DSC dapat menentukan kapasitas panas (heat capacity), suhu perubahan dari keadaan kaku ke keadaan elastis (Tg), suhu pembentukan kristal (Tc), suhu perubahan dari padat menjadi cair (Tm), dan derajat pengkristalan (cristallinity) (Jumadi & Sari, 2014). Teknik Differential Scanning Calorimetry (DSC) mengukur jumlah energi yang diabsorpsi atau dibebaskan oleh sampel saat dipanaskan, didinginkan atau dipertahankan pada suhu konstan. Energi ini dihubungkan dengan perbedaan aliran panas antara sampel dengan pembanding. Bahan sampel dan bahan pembanding ditempatkan dalam wadah terpisah dan temperatur setiap wadah dinaikkan atau diturunkan dengan kecepatan yang sudah ditetapkan. Ketika sampel mengalami peristiwa termal (eksotermik atau endotermik), kenaikan atau penurunan panas dialirkan pada sampel atau pembanding agar keduanya dapat dipertahankan pada suhu yang sama. Panas yang diberikan kepada sampel atau pembanding per satuan waktu diberikan kepada suatu pencatat (Riskafuri, 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
Hasil percobaan DSC adalah kurva fluks panas terhadap suhu atau terhadap waktu. Selain dapat digunakan untuk mengidentifikasi parameter yang telah disebutkan sebelumnya, kurva ini juga dapat digunakan untuk menghitung entalpi transisi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengintegrasikan puncak sesuai dengan transisi yang diberikan. Entalpi transisi dapat dinyatakan dengan menggunakan persamaan berikut: ∆H = KA di mana ΔH adalah entalpi transisi, K adalah konstanta kalorimetrik, dan A adalah luas di bawah kurva. Konstanta kalorimetrik akan bervariasi antar instrumen, dan dapat ditentukan dengan menganalisis sampel yang entalpi transisinya telah dikenal baik (Erno, 1995).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Kimia
Obat, Laboratorium Farmakologi, Laboratorium Formulasi Sediaan Padat, dan Laboratorium Kesehatan Lingkungan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam kurun waktu Januari Juni 2015. 3.2
Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan Pektin (Grindsted Pectin LA 415, Danisco, Amerika), diltiazem hidroklorida (Dr. Reddy's, India), zink klorida (Merck, Jerman), natrium klorida (Merck, Jerman), akuades. 3.2.2 Alat Neraca analitik (GH-202, AND, Jepang), pengaduk magnetik (Nuova Strirrer, Thermolyne, Amerika), overhead stirrers (RW 20 Digital, IKA) buret (50 ml, Pyrex), sonicator bath (Bransonic 5510J-MT, Branson Ultrasonic, Amerika) spektrofotometer inframerah (IRPrestige-21, Shimadzu, Jepang), spektrofotometer UV-VIS (U-2900, Hitachi, Amerika), particle size analyzer (VASCO-Particle Size Analyzer, Particulate Systems, Amerika), zeta analyzer (Delsa Nano C, Beckman Coulter, Amerika), sentrifus (EBA 20, Hettich Zentrifugen, Inggris), vortex (Wiggen Houser), differential scanning calorimeter (DSC 60, Shimadzu, Jepang), dan alat gelas. 3.3
Prosedur Kerja
3.3.1 Preparasi Larutan NaCl 0,05 M Sebanyak 2.922,0 mg NaCl ditimbang secara seksama, kemudian dilarutkan dengan akuades sehingga volume total mencapai 1000,0 mL
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
3.3.2
Preparasi Nanopartikel Diltizem Hidroklorida Optimasi jumlah bahan dalam preparasi nanopartikel berdasarkan penelitian
Jonassen, Treves, Kjøniksen, Smistad & Hiorth (2013). Preparasi dilakukan pada konsentrasi awal pektin 0,0875% dan ZnCl2 0,062%. Perbandingan jumlah pektin dengan diltiazem hidroklorida adalah 1:1 (b/b) (Adiningsih, 2012). Gelasi dilakukan pada medium akuades dan NaCl 0,05 M. Perbandingan jumlah larutan ZnCl2 dan larutan pektin yang akan dicampurkan adalah 1:4 (v/v). Proses gelasi yang pada umumnya dilakukan di bawah pengaduk magnetik dimodifikasi dengan ultrasonikasi selama 60 menit Tabel 3.1 Formula preparasi nanopartikel. Diltiazem Zink Medium Formula Pektin hidroklorida klorida pendispersi 1 √ √ NaCl 0,05 M 2 √ √ √ NaCl 0,05 M 3 √ √ √ Akuades a) Formula 1 Sebanyak 87,5 mg pektin didispersikan dalam 100 mL larutan NaCl 0,05 M di bawah pengaduk magnetik. Setelah terdispersi sempurna, pengadukan larutan pektin dilanjutkan dengan overhead stirrers selama 1 jam. Dalam wadah lain, zink klorida sebanyak 31 mg dilarutkan dalam 50 mL larutan NaCl 0,05 M. Masingmasing larutan disaring terpisah menggunakan membran penyaring berpori 0,45 µm. Larutan zink klorida dimasukkan ke dalam buret yang ujungnya telah diberi jarum suntik 23G. Sementara itu 40 mL larutan pektin ditempatkan didalam gelas beacker 250 mL yang telah diberi pelampung dari bahan sterefoam. Sebanyak 10 mL larutan ZnCl2 tetes demi tetes ditambahkan ke dalam larutan pektin di bawah pengaruh ultrasonikasi menggunakan alat sonicator bath. Kecepatan rata-rata tetesan larutan ZnCl2 0,17 mL/menit. Setelah penambahan larutan ZnCl2 selesai, campuran didiamkan dalam pengaruh ultrasonikasi selama 1 jam. Selama proses preparasi suhu dijaga 25oC. b) Formula 2 Sebanyak 87,5 mg diltiazem hidroklorida dan 87,5 mg pektin didispersikan dalam 100 mL larutan NaCl 0,05 M di bawah pengaduk magnetik. Setelah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
terdispersi sempurna, pengadukan campuran diltiazem hidroklorida-pektin dilanjutkan dengan overhead stirrers selama 1 jam. Dalam wadah lain, zink klorida sebanyak 31 mg dilarutkan dalam 50 mL larutan NaCl 0,05 M. Masing-masing larutan disaring terpisah menggunakan membran penyaring berpori 0,45 µm. Prosedur selanjutnya sama seperti pada formula 1. c)
Formula 3 Prosedur yang dilakukan pada formula 3 sama dengan formula 2. Perbedaan
dilakukan pada medium pendispersi di mana pada formula 3 diganti menjadi akuades. 3.3.3
Pengeringan Nanopartikel (Shi & Gunasekaran, 2008) Sebanyak 13 mL suspensi nanopartikel disentrifugasi pada 6000 rpm selama
15 menit. Kemudian supernatan dan sedimen hasil sentrifugasi dipisahkan. Supernatan akan digunakan untuk pengukuran persen efisisensi penjerapan sementara sedimen digunakan untuk analisis spektrum inframerah dan differential scanning calorimetry. Sedimen nanopartikel didispersikan kembali dalam akuades dengan alat vortex. Dispersan disentrifugasi lagi untuk memperoleh kembali sedimen. Perlakuan tersebut dilakukan dua kali untuk menghilangkan pengotor pada sedimen nanopartikel. Kemudian sedimen diliofilisasi selama 12 jam untuk mendapatkan nanopartikel kering dengan menggunakan alat freeze dryer. 3.4
Karakterisasi Nanopartikel
3.4.1 Perubahan Transmitan (%) Suspensi Nanopartikel Sebanyak 3 mL suspensi nanopartikel diukur persen transmitan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 600 nm. Pengukuran dilakukan secara triplo. Larutan pektin dan campuran pektin-diltiazem hidroklorida sebelum disambung silang menjadi pembanding. Penurunan transmitan dihitung sebagai berikut: RT (%) =
TBC−TAC TBC
× 100%
(4.1)
Dimana RT dan penurunan transmitan, TBC merupakan transmitan sebelum sambung silang, dan TAC merupakan transmitan setelah sambung silang. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
3.4.2 Penetapan Ukuran Partikel dan Indeks Polidispersitas (Sharma, Ahuja & Kaur, 2012 dan Yurika, 2012) Tiga tetes
suspensi
nanopartikel
ditentukan
ukuran dan
indeks
polidispersitas partikelnya menggunakan teknik Dynamic Light Scattering (DLS) dengan alat Particle Size Analyzer (PSA). 3.4.3
Penetapan Potensial Zeta (Jonassen, Treves, Kjøniksen, Smistad & Hiorth, 2013) Sebanyak 0,7 mL suspensi nanopartikel ditempatkan ke dalam flow cell lalu
dikarakterisasi sifat elektrokinetiknya pada 25oC menggunakan alat zeta analyzer. 3.4.4 Penetapan Efisiensi Penjerapan (%) Diltiazem Hidroklorida Pengukuran persen efisiensi penjerapan dilakukan pada formula B dan C untuk mempelajari pengaruh penambahan NaCl terhadap jumlah obat terjerap dalam nanopartikel. 3.4.4.1 Pembuatan Spektrum Serapan dan Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Diltiazem Larutan diltiazem hidroklorida dengan konsentrasi 9 ppm dibuat dalam larutan NaCl 0,05 M dan akuades, kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 200-400 nm. 3.4.4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan induk standar sebesar 500 ppm, dibuat dengan menimbang secara seksama diltiazem hidroklorida sebanyak 25 mg, kemudian dilarutkan dalam larutan NaCl 0,05 M sampai volume total mencapai 50 mL. Dari larutan induk standar, diambil sebanyak 150, 300, 450, 600, 750 dan 900 µL kemudian dicukupkan volumenya dengan NaCl 0,05 M sampai 25 ml, sehingga dihasilkan larutan dengan konsentrasi 3, 6, 9, 12, 15 dan 18 ppm. Masing-masing larutan diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh dari pembuatan spektrum serapan. Setelah didapat data serapan, maka dicari persamaan regresi liniernya. Pembuatan kurva kalibrasi juga dilakukan pada pelarut akuades.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
3.4.4.3 Pengukuran Efisiensi Penjerapan (%) Diltiazem Hidroklorida (Sahu, Kumar & Jain, 2014) Jumlah diltiazem hidroklorida bebas dalam supernatan hasil sentrifugasi dihitung dengan mengukur absorbansinya dalam spektofotometer UV-Vis. Efisiensi penjerapan nanopartikel dihitung sebagai rasio diltiazem hidroklorida yang terjerap ke dalam nanopartikel dibandingkan dengan jumlah total diltiazem klorida yang digunakan dalam pembuatan nanopartikel. Secara matematis persen efisiensi penjerapan sebagai berikut; EE(%) =
Jumlah obat digunakan− Jumlah obat bebas Jumlah obat digunakan
× 100%
(4.2)
Dimana EE (%) adalah efisiensi penjerapan (%).
3.3.6 Analisis Spektrum Inframerah (Shi & Gunasekaran, 2008) Spektrum inframerah dari nanopartikel kering dilihat pada daerah 4000-400 cm dengan menggunakan spektofotometer FT-IR. Serbuk disiapkan menggunakan KBr dalam bentuk pellet. Sebagai pembanding, spektrum FT-IR pektin juga dianalisis. 3.3.7
Analisis Differential Scanning Calorimetry (Hu dkk., 2015) Sifat termal dari nanopartikel kering dikarakterisasi menggunakan
differential scanning calorimeter (DSC). Tujuh miligram nanopartikel kering disegel di atas plat aluminium dan dipanaskan dari 20 sampai 400 oC dengan laju 10oC per menit. Udara digunakan sebagai referen. Pektin dan diltiazem hidroklorida juga dianalisis sifat termalnya sebagai pembanding.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Preparasi Nanopartikel Preparasi nanopartikel dibuat dengan tiga formula, yaitu formula 1, 2 dan 3.
Formula 1 merupakan nanopartikel zink pektinat kosong yang dibuat dalam medium NaCl 0,05 M. Formula ini dijadikan sebagai acuan (blanko) untuk mengetahui perubahan karakteristik nanopartikel akibat penambahan diltiazem hidroklorida. Formula 2 merupakan nanopartikel zink pektinat mengandung diltiazem hidroklorida yang dibuat dalam medium NaCl 0,05 M. Perbedaan karakteristik fisik antara formula 1 dan 2 akibat penambahan diltiazem hidroklorida menjadi parameter yang akan diteliti dalam penelitian ini. Formula 3 merupakan nanopartikel zink pektinat mengandung diltiazem hidroklorida yang dibuat dalam medium akuades. Perbandingan karakteristik fisik antara formula 2 dan 3 juga akan menjadi parameter yang akan diteliti sebagai akibat perbedaan medium preparasi nanopartikel. Metode yang digunakan dalam preparasi nanopartikel adalah metode gelasi ionik. Metode ini dipilih dalam preparasi nanopartikel karena dinilai sebagai metode yang paling mudah dilakukan. Proses gelasi utamanya terjadi karena sambung silang antara gugus COO- pektin dengan ion Zn2+. Sambung silang yang terbentuk ini disebut model egg-box, di mana rantai galakturonat terikat bersama dengan ion penyambung silang yang berada di antara rantai tersebut, sehingga diibaratkan seperti telur dalam sebuah kotak telur (Chambina, Dupuis, Champion, Voilley & Pourcelot, 2006). Interaksi hidrofobik dan ikatan hidrogen yang diinduksi gugus amida juga berkontribusi pada proses gelasi (Jonassen dkk., 2013) Terdapat dua fase cair dalam preparasi, di antaranya fase polimer-obat dan fase penyambung silang. Fase polimer-obat berisi pektin dan diltiazem hidroklorida sedangkan fase penyambung silang berisi ZnCl2. Kedua fase tersebut dibuat sedemikian rupa sesuai dengan penelitian Jonassen, Treves, Kjøniksen, Smistad, dan Hiorth (2013), sehingga setelah pencampuran konsentrasi pektin sebesar 0,07% dan jumlah ZnCl2 berbanding 15:85 (b/b) terhadap pektin. Sementara itu jumlah
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
diltiazem diadaptasi sesuai dengan penelitian Adiningsih (2012), yaitu setara dengan jumlah pektin (b/b). Larutan polimer pada formula 1 serta larutan polimer-obat pada formula 2 dan 3 terlebih dahulu diaduk dengan overhead strirrers selama 1 jam sebelum dicampurkan dengan larutan penyambung silang. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan semua komposisi larutan polimer-obat agar terdispersi sempurna. Selain itu pada formula 2 dan 3, perlakuan ini diharapkan dapat mendorong molekul diltiazem hidroklorida agar terperangkap dalam kumparan rantai polimer pektin. Selanjutnya, kedua larutan tersebut disaring secara terpisah menggunakan membran filter berpori 0,45 µm untuk menghilangkan pengotor dan komponen lain yang tidak larut. Proses gelasi dilakukan dengan mencampurkan fase penyambung silang ke dalam fase polimer-obat tetes demi tetes. Kecepatan tetesan dibuat konstan dengan harapan distribusi ukuran partikel yang dihasilkan homogen. Biasanya reaksi antara polimer dan penyambung silang dibantu dengan pengadukan kecepatan tinggi menggunakan pengaduk magnetik. Akan tetapi, pengadukan tersebut dapat menimbulkan buih yang berpotensi mengganggu proses gelasi (Iswandana, Anwar & Jufri, 2013). Pengadukan dengan pengaduk magnetik juga dapat menyebabkan hasil gelasi menempel pada magnet pengaduk. Berdasarkan pertimbangan tersebut, reaksi gelasi dilakukan dengan bantuan ultrasonikasi. Penggunaan ultrasonik pada dasarnya memanfaatkan sifat kuvitasi akustik gelombang ultrasonik yang dapat merambat melalui medium yang dilewati. Pada saat gelombang merambat, medium yang dilewati akan mengalami getaran. Getaran tersebut akan memberikan pengadukan yang intensif terhadap proses gelasi. Suhu gelasi dijaga 25oC untuk menghindari efek hidrotermal saat sonikasi yang dapat mengoyak partikel dan mengganggu kristalinitas sehingga memberikan partikel lebih amorf (Sahroni, Darmawan & Sumarno, 2014). Setelah proses gelasi, terjadi perubahan larutan dari jernih menjadi transparan translusen. Perubahan tingkat kejernihan ini menjadi indikator terbentuknya nanopartikel. Meskipun perubahan kejernihan dapat dilihat, tingkat perubahannya tidak dapat ditentukan secara kasat mata. Oleh karena dilakukan uji pendahuluan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
berupa pengukuran penurunan transmitansi (%) untuk menilai perbedaan kekeruhan yang dihasilkan pada tiap formula.
Gambar 4.1
4.2
Hasil preparasi nanopartikel (a) formula 1, (b) formula 2, dan (c) formula 3.
Penurunan Transmitansi (%) Pengukuran penurunan transmitansi (%) dilakukan sebagai pengujian awal
untuk memastikan sistem telah membentuk suspensi nanopartikel. Selain itu, pengujian ini bertujuan untuk menilai perbedaan tingkat kekeruhan tiap formula. Pengujian ini memanfaatkan aktivitas pemendaran cahaya oleh partikel akibat efek Tyndall-Faraday. Transmitan larutan sebelum dan setelah proses sambung silang ditentukan, serta selisih antara keduanya didefinisikan sebagai penurunan transmitan. Adanya penurunan transmitan menjadi indikator perubahan fase sistem dari dispersi molekuler menjadi dispersi partikulat (koloid). Penurunan transmitansi ditunjukan baik pada formula 1, 2 dan 3. Hal ini menjadi bukti awal bahwa formula 1, 2 dan 3 telah membentuk sistem nanopartikel. Tingkat penurunan transmitansi (%) beragam pada tiap formula nanopartikel, di mana pada formula 1, 2 dan 3 masing-masing 8,60%; 6,53%; dan 9,37%. Besar penurunan transmitan (%) setara dengan tingkat kekeruhan. Menurut Martin, Swarbrick dan Cammarata (1983), pada suatu konsentrasi fase terdispersi tertentu, kekeruhan sebanding dengan berat molekul dan ukuran partikel koloid liofilik. Sementara itu, pada berat molekul dan ukuran partikel koloid tertentu, kekeruhan juga sebanding dengan konsentrasi fase terdispersi. Berdasarkan penjelasan tersebut, nilai penurunan transmitansi formula 1, 2 dan 3 berhubungan dengan jumlah dan ukuran partikel yang dihasilkan setelah preparasi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
Formula 1
Formula 2
Formula 3 8,60
6,53
9,37
4
5
Gambar 4.2
6 7 8 Penurunan Transmitan (%)
9
10
Penurunan transmitan (%) suspensi nanopartikel
Besar penurunan transmitansi (%) formula 3 > formula 1 > formula 2. Formula 3 memiliki penurunan transmitansi paling besar yang dapat memprediksi kemungkinan ukuran atau jumlah partikel yang dihasilkan lebih besar dibandingkan formula 1 dan 2, serta seterusnya pada formula 1. 3.3
Ukuran Partikel dan Indeks Polidispersitas Penentuan ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel merupakan faktor
penting dalam preparasi nanopartikel. Ukuran partikel berpengaruh terhadap pelepasan obat dan kestabilan nanopartikel. Semakin kecil ukuran partikel dapat memberikan pelepasan obat yang lebih baik. Sementara itu, ukuran partikel yang semakin kecil biasanya menunjukkan kestabilan yang semakin rendah. Penentuan ukuran partikel dilakukan secara tidak langsung menggunakan prinsip hamburan cahaya dinamis dengan alat particle size analyzer (PSA). Menurut Jonassen (2014), suatu partikel dapat disebut nanopartikel jika memiliki kisaran ukuran 10-1000 nm. Dari penentuan ukuran partikel dengan PSA diketahui bahwa semua formula telah memasuki rentang ukuran nanopartikel. Ukuran partikel yang berbeda ditunjukkan pada tiap formula di mana formula 1 memiliki rentang ukuran partikel terkecil sedangkan formula 3 yang terbesar. Hasil tersebut disebabkan adanya beberapa parameter preparasi yang berbeda di tiap formula yang dapat menunjukkan pengaruhnya terhadap ukuran partikel.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
Tabel 4.1 Ukuran partikel dan indeks polidispersitas. Formula
Ukuran Partikel (nm)
PDI
1 2 3
433,82 502,41 765,47
0,2580 0,0030 0,0070
Konsentrasi polimer, penyambung silang, obat dan pH medium pendispersi (Patil, Chavanke, & Wagh, 2012), merupakan parameter umum yang dapat mempengaruh preparasi nanopartikel dengan metode gelasi ionik. Selain itu, kekuatan ion pelarut juga dapat mempengaruhi ukuran nanopartikel yang dihasilkan (Jonassen, Kjøniksen & Hiorth, 2013). Pada tahap pengujian ini, dipelajari pengaruh penambahan obat dan kekuatan ion pelarut terhadap ukuran nanopartikel. Formula 2 memiliki ukuran nanopartikel yang lebih besar dibandingan dengan formula 1. Parameter yang berbeda antara formula 1 dan 2 adalah keberadaan obat, di mana formula 2 mengandung diltiazem hidroklorida sedangkan formula 1 tidak. Pada formula 2, keberadaan molekul dilitazem hidroklorida dalam kumparan rantai polimer pektin mungkin dapat meningkatkan ruang geometri kumparan rantai polimer sehingga dihasilkan ukuran partikel yang lebih besar dibanding formula 1. Formula 1
Formula 2
Formula 3
4.676
4.434
4.919
4.0
4.2
4.4
4.6
4.8
5.0
pH
Gambar 4.3
Grafik ubungan pH terhadap formula.
Penambahan diltiazem hidroklorida juga dapat menurunkan pH formula akhir. Oleh karena pH diturunkan, ionisasi dari gugus karboksilat pada pektin ditekan, dan hal ini menyebabkan pengurangan hidrasi gugus asam karboksilat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
Sebagai hasil dari pengurangan ionisasi, antarmolekul polisakarida tidak lagi saling tolak disepanjang rantai polimernya (Sriamornsak, 2003). Penurunan tolakan ini meningkatkan potensi sambung silang intermolekul yang dapat menyebabkan peningkatan ukuran partikel. Meskipun perbedaan pH antara formula 1 dan 2 tidak signifikan, hal ini menunjukkan perubahan sedikit pH masih dapat merubah karakteristik fisik nanopartikel yang dihasilkan.
Gambar 4.4
Konformasi rantai polimer pektin, (a) dalam akuades sebelum sambung silang, (b) dalam NaCl 0,05 M sebelum sambung silang, (c) dalam akuades setelah sambung silang dan (d) dalam NaCl 0,05 M setelah sambung silang. Sumber: Jonassen, Treves, Kjøniksen, Smistad & Hiorth, 2013.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
Formula 3 memiliki ukuran partikel yang lebih besar dibanding formula 2. Medium preparasi sistem nanopartikel formula 3 berupa akuades sedangkan formula 2 berupa NaCl 0,05 M. Polimer pektin yang berada dalam medium air akan terionisasi, sehingga memiliki konformasi terentang karena tolakan elektrostatik. Sementara itu, keberadaan garam NaCl 0,05 M pada formula 2 akan menyaring beberapa tolakan elektrostatik di antara rantai polimer yang mendorong pengurangan muatan. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya konformasi rantai polimer yang terentang dan lebih banyak kumparan polimer kompak dalam larutan, serta mencegah pembentukan jaringan polimer (Jonassen, Treves, Kjøniksen, Smistad, & Hiorth, 2013). Perbedaan konformasi rantai polimer ini menyebabkan perbedaan ukuran partikel yang dihasilkan formula 2 dan 3. Pengukuran distribusi ukuran partikel menunjukkan indeks polidispersitas formula 1 sebesar 0,258, formula 2 sebesar 0,003, dan formula 3 sebesar 0,007. Formula 2 dan 3 menghasilkan indeks polidispersitas di bawah 0,25 yang menunjukkan hasil preparasi memberikan distribusi ukuran yang sempit. Formula 1 yang memiliki indeks polidispersitas sedikit diatas 0,25 juga masih dianggap memiliki distribusi ukuran yang sempir. Hal ini berarti semua hasil preparasi memiliki homogenitas ukuran partikel yang baik. Informasi mengenai ukuran partikel dapat melengkapi penjelasan besarnya penurunan transmitan yang berbeda pada setiap formula. Formula 1 memiliki ukuran partikel yang lebih kecil namun menghasilkan penurunan transmitansi (%) lebih besar dibandingkan formula 2. Hal ini disebabkan jumlah nanopartikel yang dihasilkan pada formula 2 lebih sedikit dibandingkan formula 1. Sementara itu, formula 3 yang memiliki ukuran partikel paling besar mendukung data yang menyatakan bahwa penurunan transmitansi (%) pada formula tersebut juga paling besar. 4.4
Potensial Zeta Potensial zeta adalah istilah ilmiah untuk potensial elektrokinetik dalam
sistem koloid yang memiliki pengaruh besar pada berbagai sifat dari sistem penghantaran obat nano (Honary & Zahir, 2013). Potensial zeta mempunyai aplikasi praktis dalam stabilitas sistem yang mengandung partikel-partikel
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
terdispersi, karena potensial ini mengatur derajat tolak-menolak antara partikelpartikel terdispersi yang bermuatan sama dan saling berdekatan (Sinko, 2006). Potensial zeta sistem nanopartikel diukur menggunakan alat zeta analyzer. Dari hasil pengukuran, potensial zeta formula 1, 2 dan 3 masing-masing sebesar +80,13 mV,-16,72 mV, dan +76,51 mV. Nanopartikel dengan nilai potensial zeta lebih dari ±30 mV telah terbukti stabil dalam suspensi sebagai muatan permukaan yang mencegah agregasi (Mohanraj & Chen, 2006). Dalam hal ini berarti formula 1 dan 3 memiliki sistem nanopartikel yang stabil sedangkan formula 2 tidak. 100
80.13
76.51
Potensial Zeta (mV)
80 60 40 20 0 -20
-16.72
-40
Formula 1
Gambar 4.5
Formula 2
Formula 3
Hubungan potensial zeta terhadap formula
Formula 1 dan 3 memiliki potensial zeta bernilai positif. Nilai positif atau negatif potensial zeta dipengaruhi oleh muatan permukaan partikel dari pektin yang mengandung gugus fungsional yang dapat terionisasi (Doymus, 2007). Dalam penelitian ini, pektin yang digunakan memiliki gugus fungsional COOH yang ketika terioniasi bermuatan negatif, serta gugus NH2 yang ketika terionisasi bermuatan positif. Semua sistem nanopartikel yang dibuat memiliki pH rendah berkisar 4 yang menyebabkan ionisasi gugus karboksil pektin ditekan (Sriamornsak, 2003) sedangkan gugus amida ditingkatkan sesuai kaidah pH-partisi. Selain itu, gugus bermuatan negatif juga mengalami netralisasi oleh ion Zn2+ melalui proses sambung silang. Oleh karena jumlah muatan negatif lebih sedikit, resultan muatan permukaan partikel menjadi positif sehingga menyebabkan potensial zeta nanopartikel bernilai positif.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
Gambar 4.6
Gugus fungsional pektin.
(Sumber: Kral dkk., 2011)
Berbeda dengan formula 1 dan 3, nanopartikel formula 2 memiliki potensial zeta bernilai negatif. Hal ini mungkin disebabkan karena pengaruh kekuatan ion pelarut pada potensial zeta sistem nanopartikel. Kekuatan ion pelarut formula 2 meningkat dengan penambahan NaCl dan diltiazem hidroklorida. Hal ini berpengaruh pada potensial zeta sebagai akibat dari berubahnya komposisi dan jumlah kation dan anion dalam sistem nanopartikel. NaCl akan menyumbangkan ion Na+ dan Cl-, sedangkan diltiazem akan menyumbangkan ion Cl-. Pengaruh ion terhadap potensial zeta berhubungan dengan Hukum SchultzeHardy yang menyatakan muatan-muatan yang berlawanan dapat menghasilkan netralisasi muatan permukaan koloid sehingga mengakibatkan potensial zeta menuju nol (Sukardjo, 1997). Pengaruh ion terhadap potensial zeta suatu partikel hidrofilik tergambar dalam suatu deret Hofmeister, di mana untuk anion CO32- > SO42- > HPO42- > OH- > F- > HCOO- > CH3COO- > Cl- > Br- > NO3- > ClO3- > I- > ClO4-> SCN-, dan untuk kation Ca2+ > Mg2+ > Li+ > Na+ >K+ > Rb+ > Cs+> NH4+ (Salgin, Salgin & Bahadir, 2012). Berdasarkan deret Hofmeister, ion Na+ dan Cldiprediksi memiliki pengaruh yang moderat terhadap perubahan potensial zeta, sedangkan ion Zn2+ tidak dapat diprediksi dengan deret Hofmeister. Secara umum, nilai potensial zeta setiap formula merupakan resultan dari aktivitas kation dan anion yang terdapat dalam sistem nanopartikel. Pada formula 2 yang memiliki nilai negatif, terjadi adsorbsi ion-ion negatif pada permukaan partikel yang semula bermuatan positif, menghasilkan perubahan nilai potensial zeta mendekati nol. Oleh karena adsorpsi ini tidak spesifik memungkinkan muatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
yang berlebih dapat diserap dibandingkan dengan kebutuhan untuk menetralkan muatan permukaan. Hal ini dapat menyebabkan perubahan potensial zeta nanopartikel dari positif ke negatif. Penurunan nilai potensial zeta oleh anion berkorelasi dengan data yang menunjukkan bahwa estimasi ion Cl- pada formula 2 lebih banyak dibandingkan formula 1 dan 3. Tabel 4.2 Estimasi jumlah ion dalam 50 mL suspensi nanopartikel Jumlah Ion (mEq) Formula + Na Zn2+ Cl1 2,5 0,049 2,5910 2 2,5 0,049 2,6686 3 0 0,049 0,1686 Aktivitas penurunan potensial zeta oleh anion diperkuat dengan menurunnya pH sistem nanopartikel. Semakin asam pH medium, maka jumlah gugus basa (NH2) yang terionisasi akan semakin banyak (Sinko, 2006). Peningkatan gugus basa yang terionisasi
meningkatkan
muatan
positif
permukaan
partikel,
sehingga
meningkatkan kecendurungan ion dengan muatan berlawanan untuk diserap. Aktivitas penurunan potensial zeta oleh anion pada formula 2 paling besar karena pH sistem pelarutnya paling kecil dibanding formula lain. 4.5
Efisiensi Penjerapan (%) Diltiazem Hidroklorida Pengujian efisiensi penjerapan (%) dilakukan untuk mengetahui jumlah
diltiazem hidroklorida yang terjerap dalam matriks nanopartikel. Selain itu, evaluasi ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan medium preparasi nanopartikel terhadap efisiensi penjerapan (%) diltiazem hidroklorida. Pengujian dilakukan pada formula 2 dengan medium preparasi NaCl 0,05 M dan formula 3 dengan medium preparasi akuades. Efisiensi penjerapan (%) dari nanopartikel ditentukan secara tidak langsung melalui pemisahan nanopartikel dengan sentrifugasi 6000 rpm selama 15 menit dari medium yang mengandung diltiazem hidroklorida bebas. Selanjutnya jumlah diltiazem hidroklorida bebas pada supernatant dihitung dengan spektofotometri pada panjang gelombang 236 nm. Efisiensi penjerapan nanopartikel dihitung sebagai rasio jumlah diltiazem terjerap terhadap jumlah diltiazem hidroklorida yang ditambahkan ketika preparasi (Sharma, Ahuja & Kaur, 2012). Jumlah diltiazem
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
hidroklorida yang terjerap sendiri merupakan selisih dari jumlah diltiazem hidroklorida yang ditambahkan ketika preparasi dengan jumlah diltiazem hidroklorida bebas. Sistem nanopartikel yang sukses memiliki penjerapan obat yang tinggi sehingga dapat menurunkan jumlah komponen matriks saat pemberian (Mohanraj & Chen, 2006). Penjerapan dapat dikatakan tinggi jika efisiensinya mendekati 100%. Dari hasil pengujian, diketahui efisiensi penjerapan diltiazem hidroklorida pada formula 2 dan formula 3 masih rendah, di mana masing-masing hanya sebesar 64,13% dan 64,29%.
Efisiensi penjerapan (%)
70
64.09
64.32
Formula 2
Formula 3
60 50 40 30 20
10 0
Gambar 4.6
Hubungan efisiensi penjerapan terhadap formula
Efisiensi penjerapan (%) yang rendah juga mungkin disebabkan oleh rendahnya konsentrasi obat. Semakin rendah konsentrasi obat, maka kemungkinan terjadinya interaksi obat dan polimer semakin kecil sehingga peristiwa penjerapan molekul obat dalam rantai polimer juga sedikit. Namun demikian, jumlah diltiazem hidroklorida yang ditambahkan harus setara dengan jumlah pektin. Jika diltiazem hidroklorida ditingkatkan maka jumlah pektin juga harus ditingkatkan. Sementara itu, untuk menjaga partikel yang dihasilkan masih dalam rentang ukuran nano, maka pektin harus dijaga pada konsentrasi 0,07% (Jonassen dkk., 2013). Di samping itu, persen efisiensi penjerapan yang rendah pada penelitian ini diakibatkan karena tidak adanya pengaturan tingkat keasaman (pH) pada saat pembentukkan nanopartikel dilakukan, sehingga tingkat disosiasi antara molekul obat, polimer, dan bahan penyambung silang yang digunakan tidak diatur. Hal ini
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
akan berdampak pada pembentukan gugus ionik antara obat, polimer, dan bahan penyambung silang yang memungkinkan terjadinya ikatan menjadi sedikit, sehingga efisiensi penjerapan menjadi rendah (Iswandana, Anwar & Jufri, 2013). Efisiensi penjerapan (%) formula 2 dan 3 menghasilkan nilai yang hampir sama. Hasil yang setara ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada jumlah obat yang terjerap dalam nanopartikel yang dipreparasi dalam medium NaCl 0,05 M maupun dalam akuades. 4.6
Spektrum Inframerah Spektrum inframerah memberikan informasi mengenai kelompok gugus
fungsi serta struktur dari nanopartikel yang dihasilkan. Analisis spektrum inframerah dilakukan terhadap serbuk nanopartikel zink pektinat dan pektin sebagai pembanding untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada pektin sebelum dan sesudah dibuat nanopartikel. Serbuk nanopartikel dan pektin dianalisis pada bilangan gelombang 4000-400 cm-1.
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tabel 4.3 Daftar ikatan dan bilangan gelombang spektrum inframerah Bilangan Gelombang (cm-1) Ikatan Pektin Formula 1 Formula 2 Formula 3 Zn-O 472,73 488,41 489,89 C-O regang, dalam RCO-OH atau 1010,95 1017,50 1014,84 1018,10 RCOOR' C-O regang, dalam 1149,91 1095,51 1147,41 1149,67 ROR' C-H tekuk 1424,58 1412,64 1416,65 1418,85 NH2 out of plane, 1597,16 1617,59 1619,24 1624,95 dalam RCONH2 C=O regang dalam RCO-OH atau 1727,40 1733,16 1740,78 1740,86 RCOOR' C-H regang 2935,66 2924,61 2937,80 2943,51 O-H 3412,54 3437,64 3408,74 3427,68 Hasil analisis spektrum inframerah ditunjukkan pada table 4.3 dan lampiran
18. Spektrum inframerah memberikan pita serapan lebar pada bilangan gelombang 3500-3000 cm-1 yang berhubungan dengan vibrasi ulur ikatan O-H. Pita serapan pada bilangan gelombang 3000-2850 cm-1 merupakan vibrasi ulur ikatan C-H dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
gugus CH2. Ikatan C=O kelompok metil ester dan asam karboksilat memberikan pita serapan pada bilangan gelombang yang sama sekitar 1740 cm-1 (Assifaoui, Loupiac, Chambin & Chayot, 2010). Amida dalam RCONH2 memberikan serapan pada bilangan gelombang 1640-1600 cm-1. Vibrasi tekuk ikatan C-H memberikan pita serapan pada bilangan gelombang sekitar 1450 dan 1375 cm-1 (Pavia, Lampman, Kriz & Vyvyan, 2008). Pita serapan pada bilangan gelombang 11501070 cm-1 merupakan vibrasi regang ikatan C-O kelompok eter. Vibrasi regang ikatan C-O dari kelompok asam karboksilat dan metil ester juga menunjukan serapan pada bilangan gelombang sama sekitar 1320-1000 cm-1. 140
Pektin
Formula 1
Formula 2
Formula 3
Transmitan (%)
120
100
80
60
40 4000
3600
3200
2800
2400
2000
1600
1200
800
400
Bilangan Gelombang (cm-1)
Gambar 4.7
Perbandingan spektrum inframerah nanopartikel kering dan pektin
Menurul Wise (2000), sambung silang dapat mengubah karakteristik pita serapan pada bilangan gelombang kelompok yang berhubungan dengan proses sambung silang. Perubahan tersebut dapat berupa pergeseran bilangan gelombang, perubahan intensitas, perubahan area puncak, hilang atau muncul pita serapan baru. Bilangan gelombang 3500-3000 cm-1 berhubungan dengan ikatan O-H baik yang terikat pada cincin gula maupun pada karboksil bebas. Ikatan O-H pada kelompok karboksil berhubungan dengan proses sambung silang di mana ikatan tersebut menjadi target dari ion Zn2+. Pada pita serapan ini terjadi perubahan karakteristik berupa perubahan ketinggian puncak, di mana pektin memiliki ketinggian puncak sebesar 12,14% sedangkan peningkatan terjadi pada nanopartikel zink pektinat formula 1, 2 dan 3 dengan ketinggian masing-masing sebesar 35,30%, 18,97% dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
38,00%. Perubahan ketinggian puncak berhubungan dengan interaksi gugus O-H dengan kation Zn2+ Assifaoui, Loupiac, Chambin & Chayot (2010) mengamati pola spektrum inframerah film zink dan kalsium pektinat. Mereka menemukan pergeseran bilangan gelombang ke arah bilangan gelombang lebih besar serta peningkatan area serapan kelompok karboksilat dan amida pada film zink pektinat. Pergeseran bilangan gelombang dan peningkatan area serapan diartikan sebagai hasil interaksi antara ion penyambung silang dengan gugus karboksilat dan amida. Pergeseran bilangan gelombang yang serupa terjadi pada penelitian ini, di mana pektin memiliki serapan kelompok karboksilat (C=O) pada bilangan gelombang 1727,40 cm-1, sementara nanopartikel zink pektinat formula 1, 2 dan 3 bergeser kearah bilangan gelombang lebih besar, masing-masing 1733,12 cm-1, 1740,83 cm-1 dan 1741,80 cm-1. Pita serapan amida (NH2) juga mengalami pergeseran kearah bilangan gelombang lebih besar, di mana pada pektin 1596,13 cm-1 sementara pada nanopartikel zink pektinat formula 1, 2, dan 3 masing-masing 1617,59 cm-1, 1619,24 cm-1 dan 1624,95 cm-1. Peningkatan area serapan juga ditemui pada kedua pita serapan tersebut. Hal ini ditunjukkan secara tidak langsung dengan peningkatan ketinggian puncak pada lebar serapan yang hampir sama. Ketinggian puncak serapan karboksilat (C=O) pektin sebesar 1,17%, sementara nanopartikel zink pektinat formula 1, 2 dan 3 masing-masing 2,02%, 3,27% dan 8,15%. Pada ketinggian puncak serapan amida, pektin memiliki ketinggian puncak sebesar 2,32%, sementara pada nanopartikel zink pektinat formula 1, 2 dan 3 masing-masing sebesar 13,74%, 12,86% dan 20,69%. Puncak serapan yang jelas pada sekitar 480 cm-1 dapat ditemukan pada spektrum inframerah nanopartikel zink pektinat formula 1, 2 dan 3, namun tidak ditunjukkan pada pektin. Pita serapan pada bilangan gelombang tersebut merupakan serapan khas yang berasal dari vibrasi ulur ikatan Zn-O (Shi & Gunasekaran, 2008). Tidak adanya puncak serapan tersebut pada pektin murni disebabkan karena pektin tidak melalui proses sambung silang, di mana pada proses tersebut, atom Zn akan menggantikan atom H untuk berikatan secara ionik dengan gugus karboksilat membentuk ikatan Zn-O.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
4.7
Analisis Differential Scanning Calorimetry (DSC) Untuk mengetahui sifat termal dari nanopartikel, dilakukan analisis
menggunakan teknik differential scanning calorimetry (DSC). Analisis ini dilakukan pada nanopartikel kering ketiga formula serta pektin dan diltiazem hidroklorida sebagai standar. Dari hasil pengujian dapat diketahui adanya transisi gelas, suhu lebur dan perubahan entalpi dari suatu sampel. Temp [C]
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Pektin Formula 1 Formula 2 Formula 3
Tg 33.20 C
Tg 64.66 C
Peak 120.06 C Heat -1.13 J/g Peak 151.35 C Heat -41.39 J/g
Tg 84.15 C Tg 32.51 C
Tg 79.14 C
Peak 121.88 C Heat -4.75 J/g
Tg 37.38 C
Tg 78.58 C
Peak 122.03 C Heat -2.08 J/g
Tg 33.05 C
Tg 88.59 C
Gambar 4.7
Peak 120.15 C Heat -3.09 J/g
Perbandingan termogram nanopartikel kering dan pektin
Hasil analisis DSC diltiazem hidroklorida dapat dilihat pada lampiran 19. Termogram diltiazem hidroklorida menunjukkan puncak endotermik tajam yang dimulai pada temperatur sekitar 213oC. Puncak tersebut berhubungan dengan pelelehan kristal diltiazem hidroklorida murni. Pada temperatur sekitar 213oC, diltiazem menyerap kalori sebesar 71,86 J/g yang menyebabkan molekulnya bergerak lebih intensif sehingga terjadi pelelehan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
Pada termogram pektin, menunjukkan adanya tiga temperatur transisi gelas (Tg) yaitu 33,20 oC, 64,66 oC, dan 84,15oC. Temperatur transisi gelas tidak muncul sebagai puncak yang jelas namun sebagai perluasan anomali dari baseline pada kurva DSC. Temperatur transisi gelas (Tg) merupakan salah satu sifat fisik penting dari polimer di mana pada saat temperatur luar mendekati temperatur transisi gelasnya maka suatu polimer mengalami perubahan dari keadaan yang keras kaku menjadi lunak seperti karet (Karelson dkk., 1997). Selain itu, termogram pektin menunjukkan dua puncak endotermik pada suhu 120,06oC dengan entalpi penyerapan 1,13 J/g dan suhu 151,35oC dengan entalpi penyerapan 41,39 J/g. Berbeda dengan pektin, termogram formula 1, 2 dan 3 hanya menunjukkan dua temperature transisi gelas (Tg) yaitu pada temperatur berkisar 30oC dan 80oC, serta satu puncak endotermik pada temperatur berkisar 120oC dengan entalpi penyerapan yang beragam. Lai, Sung & Chien (2000) menyebut Tg pada temperatur sekitar 30oC dengan istilah sub Tg sedangkan pada temperatur yang lebih tinggi disebut Tg. Nilai sub Tg dapat berhubungan dengan kandungan lembab dari sampel yang dianalisis (Lai, Sung & Chien, 2000), di mana penurunan nilai tersebut berhubungan dengan peningkatan aktivitas air pada sampel. Air memiliki efek plastisasi pada temperatur transisi gelas di mana hal ini dapat menyebabkan peningkatan volume bebas dan interaksi inter-rantai polimer selama penyimpanan (Roos & Karel 1990). Hampir semua nilai sub Tg formula dan pektin tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan kandungan lembab yang hampir sama, kecuali pada formula 2 dengan sub Tg lebih tinggi (37,38oC) yang menunjukkan kandungan lembabnya lebih rendah. Pektin dan nanopartikel zink pektinat semua formula memiliki jumlah dan titik Tg yang berbeda. Perbedaan Tg ini disebabkan oleh berbagai faktor yang meliputi panjang molekul polimer, berat molekul polimer, efek elektrostatik seperti polarisabilitas, momen dwi kutub, stereokimia dan stereoregularitas rantai polimer maupun interaksi intermolekuler dari polimer melalui ikatan hidrogen dan gaya London (Steven, 1975). Efek sambung silang selalu dikaitkan dengan perubahan sifat mekanik polimer akibat perubahan beberapa parameter di atas yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan Tg. Efek ini dapat dilihat dari peningkatan Tg
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
nanopartikel semua formula yang nilainya selalu berada di antara atau lebih besar dari dua nilai Tg pektin. Sampel pektin dan nanopartikel formula 1, 2 dan 3 memberikan titik leleh endotermik sekitar 120oC. Tidak ada perubahan signifikan pada titik leleh pektin dengan nanopartikel sambung silang. Namun demikian, terjadi peningkatan ketinggian puncak pada pektin setelah proses sambung silang seperti yang telah diteliti Shaikh dkk. (2012). Mereka menghubungkan ketinggian puncak dengan derajat sambung silang, di mana nilai ketinggian yang lebih tinggi memiliki derajat sambung silang lebih besar. Formula 2 memiliki ketinggian puncak yang lebih rendah dari formula 1. Hal ini berarti penambahan diltiazem hidroklorida dapat menurunkan derajat sambung silang Zn terhadap pektin. Selain itu, formula 2 juga memiliki ketinggian puncak yang lebih rendah dari formula 3, yang berarti penambahan NaCl juga dapat menurunkan derajat sambung silang Zn terhadap pektin. Hal ini karena ion monovalen seperti natrium juga dapat bereaksi dengan gugus karboksil bebas (Sriamornsak, 2003) sehingga dapat mengurangi reaksi sambung silang. Iijima, Nakamura, Hatakeyama dan Hatakeyama (2000), menguji transisi fase pektin dengan DSC pada temperatur -150 sampai 180oC. Mereka menemukan puncak endotermik pada sekitar 150oC dan menjelaskan hal tersebut sebagai fase transisi dari struktur kristal ke amorf. Pada penelitian ini, termogram nanopartikel zink pektinat formula 1, 2 dan 3 tidak memberikan puncak serupa seperti pada pektin. Hal ini menunjukkan bahwa pektin memiliki sebagian struktur kristal sedangkan nanopartikel sepenuhnya berstruktur amorf.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 1.
Kesimpulan Penambahan diltiazem hidroklorida ke dalam nanopartikel dapat menyebabkan peningkatan ukuran partikel, penurunan potensial zeta dan derajat sambung silang.
2.
Keberadaan natrium klorida selama preparasi menyebabkan penurunan ukuran partikel, potensial zeta dan derajat sambung silang.
3.
Tidak ditemukan pengaruh natrium klorida pada efisiensi penjerapan nanopartikel.
5.2 1.
Saran Perlu diteliti lebih lanjut mengenai pengaruh pH terhadap karakteristik fisik nanopartikel.
2.
Perlu dicari metode preparasi lain yang dapat meningkatkan efisiensi penjerapan nanopartikel terhadap diltiazem hidroklorida.
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, U. T. 2012. Preparasi dan Karakterisasi Beads Zink Pektinat Mengandung Pentoksifilin Dengan Metode Gelasi Ionik. Skripsi Sarjana Farmasi: FMIPA UI. Malvern Instruments Worldwide. 2012. A Basic Guide to Particle Characterization. Malvern. Assifaoui, A.; Loupiac, C.; Chambin O.; Cayot, P. 2010. Structure of calcium and Zinc Pectinate Films Investigated by FTIR Spectroscopy. Carbo. Re. 345, 929–933. Balmayor, E., Azevedo, H., & Reis, R. 2011. Controlled Delivery Systems: From Pharmaceuticals to Cells and Genes. Pharm. Res. 28(6): 1241-1258. Bhatia, M.S., Rameswhar, D., Praffula, C., & Bhatia, N.M. 2008. Chemical Modification of Pectins, Characterization and Evaluation for Drug Delivery. Department of Pharmaceutical Chemistry, Bharati Vidyapeeth College of Pharmacy, 775-784. Bamrungsap, S., Zhao, Z., Chen, T., Wang L., Li, C., Fu, T., & Tan, W. 2012. Nanotechnology in Therapeutics: a Focus on Nanoparticles as a Drug Delivery System. Nanomedicine, 7(8). Basu, S.; Shivhare, U. S.; Muley, S. 2011. Moisture Adsorption Isotherms and Glass Transition Temperature of Pectin. J. Food Sci. Technol. Chakraborty, S.; Nayak, P.; Krishna, B. M.; Kandai, M.; Ghosh, A. K. 2012. Preparation and Preclinical Evaluation of Aceclofenac Loaded Pectinate Mucoadhesive Microspheres. Drugs and Therapy Studies, Volume 2:e8. Chambin, O., Dupuis, G., Champion, D., Voilley, A., & Pourcelot, Y. 2006. ColonSpecific Drug Delivery: Influence of Solution Reticulation Properties Upon Pectin Beads Performance. Inter. J. of Pharm., 321, 86-93.
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
Cho, E. J., Holback, H., Liu, K. C., Abouelmagd, S. A., Park, J., & Yeo, Y. 2013. Nanoparticle Characterization: State of the Art, Challenges, and Emerging Technologies. Mol. Pharmaceutics. Das, S., Ng K. Y, & Ho, C. P. 2010. Formulation and Optimization of Zincpectinate Beads For the Controlled Delivery of Resveratrol. AAPS Pharm. Sci. Tech., Vol. II, No. 2. De Jong, W. H., & Borm P.J. 2008. Drug Delivery and Nanoparticles: Applications and Hazards. Int. J. Nanomedicine, 3:133–49. Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Dhalleine, C.; Assifaoui, A.; Moulari, B.; Pellequer, Y.; Cayot, P.; Lamprecht, A.; Chambin, O. 2011. Zinc-pectinate Beads as an In vivo Self-assembling System for Pulsatile Drug Delivery. Int. J. of Pharmaceutics, 414, 28-34. Ding, H-M., & Ma, Y-Q. 2013. Controlling Cellular Uptake of Nanoparticles with pH-Sensitive Polymers. Sci. Rep., 3: 2804. Doshi, N., & Mitragotri, S. 2009. Designer Biomaterials for Nanomedicine. Adv. Funct. Mater. 19, 3843–3854. Doymus, Kemal. 2007. The Effect of Ionic Electrolytes and pH on the Zeta Potential of Fine Coal Particles. Turk. J. Chem., 31, 589 – 597. Fitria, V. 2013. Karaktedsasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisaug Kepok {Musa balbisiana ABB). Skripsi Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fröhlich, E., & Roblegg E. 2012. Models For Oral Uptake of Nanoparticles in Consumer Products. Toxicology 291(1–3): 10-17. Gormer, B. 2007. Hypertension – Pharmacological Management. Hospital Pharmacist, vol.14. Gupta, S., & Kumar P. 2012. Drug Delivery Using Nanocarriers: Indian Perspective. Proc. Natl. Acad. Sci., India, Sect. B. Biol. Sci. Haryono, A., Restu, W. K., & Harmami, S. B. 2012. Preparasi dan Karakterisasi Nanopartikel Aluminium Fosfat. Indonesian J. of Mat. Sci.: Vol. 14, No. 1.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
Honary, S.; & Zahir, F. 2013. Effect of Zeta Potential on the Properties of NanoDrug Delivery Systems - A Review (Part 1). Trop. J. of Pharmaceutical Research April 12 (2): 255-264. Iijima, M.; Nakamura, K.; Hatakeyama, T.; & Hatakeyama, H. 2000. Phase Transition of Pectin with Sorbed Water. Carbohydrate Polymers, 41, 101– 106. Ismail, N. S. M.; Ramli, N.; Hani, N. M.; Meon, Z. 2012. Extraction and Characterization of Pectin from Dragon Fruit (Hylocereus polyrhizus) using Various Extraction Condition. Sains Malaysiana. UKM: Malaysia. Iswandana, R., Anwar, E., & Jufri, M. 2013. Formulasi Nanopartikel Verapamil Hidroklorida dari Kitosan dan Natrium Tripolifosfat dengan Metode Gelasi Ionik. Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 6 No. 4 Juli 2013. Jonassen, H. 2014. Polysaccharide Based Nanoparticles for Drug Delivery Applications. Thesis School of Pharmacy, Faculty of Matematics and Natural Sciences, University of Oslo. Jonassen, H.; Treves, A.; Kjøniksen A-L.; Smistad, G.; & Hiorth, M. 2013. Preparation of Ionically Cross-Linked Pectin Nanoparticles in the Presence of Chlorides of Divalent and Monovalent Cations. Biomacromolecules 2013, 14, 3523−3531. Jumadi, S.; Sari, A. A. 2014. Pembuatan dan Karakterisasi Plastik Biodegradable dari Campuran Onggok Singkong-Poli Asam Laktat Menggunakan Metode Solution Casting. Program Studi Kimia, FMIPA Universitas Lampung. Karelson, M.; Katritzky, A.L.; Lobanov, V. &Sild, S. 1997. Quantitative StructureProperty Relationship (QSPR) Correlation of Glass Transition Temperature of High Molecular Weight Polymers, J. Chem. Inform. Comp. Sci., 98, 300304. Kharia, A. A., Singhai, A. K., & Verma, R. 2012. Formulation and Evaluation of Polymeric Nanoparticles of an Antiviral Drug for Gastroretention. Int. J. of Pharmaceutical Sci. and Nanotechnology, Vol. 4, Issue 4. Kohane D. S. 2007. Microparticles and Nanoparticles for Drug Delivery. Biotechnol Bioeng., 96(2): 203-209.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
Kumari, A., Yadav, S. K., & Yadav, S. C. 2010. Biodegradable Polymeric Nanoparticles Based Drug Delivery Systems. Colloids Surf. B. Biointerfaces 75:1–18. Lai Y-C.; Sung P-H.; & Chien, J. T. 2000. Evaluation of Compatibility of Rice Starch and Pectins by Glass Transition and Sub-Tg Endotherms and the Effect of Compatibility on Gel Viscosity and Water Loss. Cereal Chem. 77(5):544– 550. Lobatto, M.; Fuster, V,; Fayad, Z.; & Mulder, W.
2011. Perspectives and
Opportunities for Nanomedicine in the Management of Atherosclerosis. Nat. Rev. Drug Discov. 10 (11), 835–852. Mahale, A. M.; Sreenivas, S. A. 2013. Development and Characterization of Diltiazem Hydrochloride Microspheres. J. of Pharm. Bio. and Chem. Sci., 4(2) 567-575. Merisko-Liversidge, E. M.; & Liversidge, G. G. 2008. Drug Nanoparticles: Formulating Poorly Water-Soluble Compounds. Toxicol. Pathol. 36(1): 4348. Mohanraj, V.J.; & Chen, Y. 2006. Nanoparticle – A Review. Tropical J. of Pharmaceutical Research. 5 (1), 561 – 573 Morris, G. A., Kok, M. S., Harding, S. E., & Adams G. G. 2010. Polysaccharide Drug Delivery Systems Based on Pectin and Chitosan. Biotech. and Genetic Engin. Rev., Vol. 27, 257-284. Nidhin, M., Indumathy, R., Sreeram, K.J., & Nair, B., U. 2008. Synthesis of Iron Oxide Nanoparticles of Narrow Size Distribution on Polysaccharide Templates. Buletin. Mat. Sci. 31 (1), 93-96. Ovodov, Y. S. 2009. Current Views on Pectin Substances. Russian J. of Bioorganic Chem., Vol. 35, No. 3, 269–284. O'Neill M. J., & Watson E. S. 1966. Differential Microcalorimeter. Perkin Elmer Corp. Patil, P., Chavanke, D., & Wagh, M. 2012. A Review on Ionotropic Gelation Method: Novel Approach for Controlled Gastroretentive Gelispheres. Int. J. of Pharm. and Pharmaceutical Sci.. Vol. 4, Suppl. 4, 2012. ISSN- 0975-1491.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
Pavia, D. L.; Lampman, G, M.; Kriz G. S.; Vyvyan, J. R. 2008. Introduction to Spectroscopy Fourth Edition. USA: Brooks/Cole Cengage Learning. Petros, R. A., & DeSimone J. M. 2010. Strategies in the Design of Nanoparticles for Therapeutic Applications. Nat. Rev. Drug Discov. 2010; 9(8): 615-627. Plapied, L., Duhem, N., des Rieux, A., & Préat, V. 2011. Fate of Polymeric Nanocarriers for Oral Drug Delivery. Curr. Opin. Colloid Interface Sci. 16(3): 228-237. Pungor, E. 1995. A Practical Guide to Instrumental Analysis. Florida: Boca Raton. pp. 181–191. Racovita, Ş., Vasiliu, S., Popa, M., & Luca, C. 2009. Polysaccharides based on Micro-and Nanoparticles Obtained by Ionic Gelation and Their Application as Drug Delivery Systems. Revue Roumaine de Chimie, 54(9); 709–718 Riskafuri, H. 2011. Pengaruh Mikronisasi Vibrating Mill terhadap Kecepatan Disolusi Tablet Gliklazid. Skripsi Sarjana Farmasi: FMIPA UI. Roos, Y.; Karel, M. 1990. Differential Scanning Calorimetry Study of Phase Transitions Affecting the Quality of Dehydrated Materials. Biotech Prog 6:159–163. Rowe, R. C., Sheskey, P. J., Quinn, M. E., 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipient, Sixt Edition. London: Pharmaceutical Press. Rubina, P. S.; Viness, P.; Choonara, Y. E.; Du Toit, L. C.; Ndesendo V. M. K.; Kumar, P.; Khan, R. A. 2012. The Application of a Crosslinked Pectin-based Wafer Matrix for Gradual Buccal Drug Delivery. Society for Biomaterials. Sahu, A. K., Kumar, T., & Jain, V. 2014. Formulation Optimization of Erythromycin
Solid
Lipid
Nanocarrier
Using
Response
Surface
Methodology. BioMed Res. I., Vol. 2014. Sahroni, H.; Darmawan, Z.; & Sumarno. Pengaruh pre-treatment Sonikasi dan Suhu Proses Hidrothermal terhadap Degradasi Selulosa dalam Larutan Berionik. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Salgın, S.; Salgın, U.; & Bahadır, S. 2012. Zeta Potentials and Isoelectric Points of Biomolecules: The Effects of Ion Types and Ionic Strengths. Int. J. Electrochem. Sci., 7, 12404 – 12414.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Sande, S. A. 2005. Expert Opinion. Drug Delivery 2005, 2, 441−450. Shabrina, N. 2011. Nanopartikel Emas Termodifikasi Kitosan sebagai Pendeteksi Ion Logam Berat. Skripsi Departemen Kimia FMIPA UI. Depok. Shaikh, R. P.; Pillay, V.; Choonara, Y. E.; Du Toit, L. C.; Ndesendo, V. M. K. Kumar, P.; Khan, R. A. 2012. The Application of a Crosslinked Pectin-based Wafer Matrix for Gradual Buccal Drug Delivery. J. Biomed. Mater. Res. Part B: 100B: 1029–1043. Sharma, R.; Ahuja, M.; Kaur, H.; 2012. Thiolated Pectin Nanoparticles: Preparation, Characterization and Ex-vivo Corneal Permeation Study. Carbohydrate Polymers Vol. 87, (2) : 1606–1610. Shi, L.; & Gunasekaran, S. 2008. Preparation of Pectin–ZnO Nanocomposite. Nanoscale Res. Lett. 3:491–495. Shukla, V.; Kharia, A. A.; Kaur. I. P. 2012. Preparation and Evaluation of Antihypertensive Mucoadhesive Nanoparticle. J. of Pharm. and Sci. Innov, (1), Jan – Feb 2012, 1-15. Singh, R.; & Lillard, Jr. J.W. 2009. Nanoparticle-Based Targeted Drug Delivery. Exp. Mol. Pathol., 86:215–23. Sinko, P. J. 2006. Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika Edisi 5. Jakarta: EGC. Sriamornsak, P. 2003. Chemistry of Pectin and Its Pharmaceutica Uses : A Review. Silpakorn Univ. J. Of Soc. Sci., Hum. and Arts. Vol. 3 Number 1-2. ____________. 2011. Expert Opinion. Drug Delivery 2011, 8, 1009−1023. Srivastava, P., & Rishabha, M. 2011. Sources of Pectin, Extraction and Its Application in Pharmaceutical Industry – An Overview. Indian J. of Nat. Pro. and Res., Vol. 2, pp. 10-18. Stevens, M. P. 1975. Polymer Chemisry: An Introduction. New York: AddisonWesley Company Inc. Sukardjo. 1997. Kimia Fisika. Penerbit. Jakarta: Rineka Cipta. Sweetman, S. C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference. Edisi 36. London: Pharmaceutical Press.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
Tiwari, G.; Tiwari, R.; Sriwastawa, B.; Bhati, L.; Pandey, S.; Pandey, P.; & Bannerjee, S. K. Drug Delivery Systems: An Updated Review. Int. J. Pharm. Investig, 2(1): 2-11. Wise, D. L. 2000. Handbook of Pharmaceutical Controlled Release Technology. New York: Marcel Decker Inc. Yokoyama, T. 2007. Basic Properties and Measuring Method of Nanoparticles: 1.1. Size Effect and Properties of Nanoparticles. Dalam: Hosokawa, M., Nogi, K., Naito, M., & Yokozama, T. (Eds.) 2007. Nanoparticles Technology Handbook, 1-10.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
Lampiran 1. Alur Penelitian Preparasi nanopartikel
Sentrifugasi
Karakterisasi I Nanopartikel 1. Ukuran partikel dan indeks polidispersitas 2. Potensial zeta
Supernatan
Sedimen
Karakterisasi II Nanopartikel 1. Efisiensi Penjerapan
Pengeringan beku
Karakterisasi III Nanopartikel 1. Spektrum FT-IR 2. Spektrum DSC
Analisis data
Pembahasan Kesimpulan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
Lampiran 2. Sertifikat Analisis Diltiazem Hidroklorida
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
Lampiran 3. Sertifikat Analisis Pektin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
Lampiran 4. Sertifikat Analisis Natrium Klorida
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
Lampiran 5. Perhitungan Preparasi Larutan NaCl 0,05M Bobot molekul NaCl = 58,4425 g/mol. Dibuat larutan NaCl 0,05 M dalam 1000,0 mL. Jumlah NaCl yang dibutuhkan: M=
g 1000 × BM mL
g = M × BM ×
mL 1000
1000 1000 1000 g = 0,05 × 58,4425 × 1000 g = 0,05 × 58,4425 ×
g = 2,922125 g g = 2.922,125 mg gr ≈ 2.922,0 mg Lampiran 6. Perhitungan Bahan dalam Preparasi Nanopartikel Dalam suspensi nanopartikel akan mengandung 0,07% pektin. Perbandingan antara larutan pektin dan larutan zink klorida yang akan ditambahkan adalah 4:1 (v/v). Maka konsentrasi pektin dalam larutan awal: Konsentrasi pektin =
5 × 0,07 4
Konsentrasi pektin = 0,0875% Jumlah pektin yang akan ditimbang untuk membuat 100 mL larutan pektin awal adalah: Jumlah pektin =
0,0875 × 100 100
Jumlah pektin = 0,0875 g Jumlah pektin = 87,5 mg Perbandingan zink klorida terhadap pektin dalam suspensi nanopartikel adalah 15:85 (b/b). Dalam medium pendispersi yang sama, perbandingan dalam berat setara dengan perbandingan dalam persentase. Maka konsetrasi zink klorida (%) dalam suspensi nanopartikel adalah. Konsentrasi zink klorida 15 = Konsentrasi pektin 85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
(lanjutan) Konsentrasi zink klorida = Konsentrasi pektin × Konsentrasi zink klorida = 0,07 ×
15 85
15 85
Konsentrasi zink klorida = 0,0124% Dalam suspensi nanopartikel akan mengandung 0,0124% zink klorida. Perbandingan antara larutan pektin dan larutan zink klorida yang akan ditambahkan adalah 4:1 (v/v). Maka konsentrasi zink klorida dalam larutan awal: Konsentrasi zink klorida =
5 × 0,0124 1
Konsentrasi zink klorida = 0,062% Jumlah zink klorida yang akan ditimbang untuk membuat 50 mL larutan zink klorida awal adalah: Jumlah zink klorida =
0,062 × 50 100
Jumlah zink klorida = 0,031 g Jumlah zink klorida = 31 mg Perbandingan diltiazem hidroklorida dan pektin adalah 1:1 (b/b). Maka jumlah diltiazem hidroklorida yang ditimbang dalam larutan campuran diltiazem hidroklorida-pektin awal adalah 87,5 mg. Lampiran 7. Perhitungan Persen Transmitan
Formula Formula 1
Formula 2
Formula 3
Transmitansi (%) Sebelum Sambung Silang Setelah Sambung Silang Hasil Rata-rata Hasil Rata-rata 99,4 90,7 99,4 99,40 90,9 90,80 99,4 90,8 98,8 92,2 98,9 98,80 92,2 92,27 98,7 92,4 99,5 90,2 99,6 90,2 99,60 90,23 99,7
Selisih
8,60
6,53
9,37
90,3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
Lampiran 8. Data Distribusi Ukuran Partikel dan Indeks Polidispersitas 1.
Grafik Distribusi Ukuran Partikel Formula 1
2.
Grafik Distribusi Ukuran Partikel Formula 2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
(lanjutan)
3.
Grafik Distribusi Ukuran Partikel Formula 3
Lampiran 9. Data Pengukuran Potensial zeta Formula
1
2
3
Potensial zeta (mV) Hasil Pengujian Rata-rata 71,69 80,09 80,13 88,60 -15,89 -17,41 -16,72 -16,86 71,56 79,22 76,51 78,76
Lampiran 10. Data Perhitungan Jumlah Ion 1.
Kation Na+ Jumlah ion Cl- dari NaCl. Suspensi nanopartikel mengandung 0,05 M NaCl2 NaCl
Na+ + Cl-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
(lanjutan) Jumlah Na+ = Jumlah Cl− =
Jumlah Cl− = Jumlah Cl− = Jumlah Cl− =
g NaCl BE Na+ M × BM NaCl × mL ( ) 1000 BM NaCl ( ) E Na+ M × mL × E Na+ 1000 0,05 × 50 × 1 1000 2,5 × 10−3 Eq
Jumlah Cl− = 2,5 mEq 2.
Kation Zn2+ Terdapat 0,0124% ZnCl2 dalam suspensi nanopartikel yang setara dengan 0,0124 gram dalam tiap 100 mL volume suspensi. Diketahui BM ZnCl2 adalah 136,28 g/mol Zn+ + 2Cl-
ZnCl2 g ZnCl2 Jumlah Zn2+ = BE Cl− g ZnCl2 Jumlah Zn2+ = BM ZnCl2 ( ) E Zn2+ g ZnCl2 Jumlah Zn2+ = × E Zn2+ BM ZnCl2 50 × 0,0124 100 − Jumlah Cl = × 1 136,28 Jumlah Cl− = 0,046 × 10−3 Eq Jumlah Cl− = 0,046 mEq 3.
Anion Cl1.
Jumlah anion Cl- dari NaCl. Suspensi nanopartikel mengandung 0,05 M NaCl2 NaCl g NaCl Jumlah Cl− = BE Cl−
Na+ + Cl-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
(lanjutan)
Jumlah Cl− =
Jumlah Cl− = Jumlah Cl− = Jumlah Cl− =
M × BM NaCl × mL ) 1000 BM NaCl ( ) E Cl− M × mL × E Cl− 1000 0,05 × 50 × 1 1000 2,5 × 10−3 Eq (
Jumlah Cl− = 2,5 mEq 2.
Jumlah anion Cl- dari ZnCl2 Terdapat 0,0124% ZnCl2 dalam suspensi nanopartikel yang setara dengan 0,0124 g dalam tiap 100 mL volume suspensi. Diketahui BM ZnCl2 adalah 136,28 g/mol
Jumlah Cl− Jumlah Cl− Jumlah Cl− Jumlah Cl− Jumlah Cl−
Zn+ + 2Cl-
ZnCl2 g ZnCl2 = BE Cl− g ZnCl2 = BM ZnCl2 ( ) E Cl− g ZnCl2 = × E Cl− BM ZnCl2 50 × 0,0124 = 100 × 2 136,28 = 0,091 × 10−3 Eq
Jumlah Cl− = 0,091 mEq 2.
Jumlah anion Cl- dari diltiazem HCl Terdapat 0,07% diltiazem hidroklorida dalam suspensi nanopartikel yang setara dengan 0,07 gram dalam tiap 100 mL volume suspensi. Diketahui BM diltiazem hidroklorida adalah 450,98 g/mol. Diltiazem.HCl HCl gr Diltiazem. HCl Jumlah Cl− = BE Cl−
Diltiazem + HCl H+ + Cl-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
(lanjutan) gr Diltiazem. HCl BM Diltiazem. HCl ( ) E Cl− gr Diltiazem. HCl Jumlah Cl− = × E Cl− BM Diltiazem. HCl 50 × 0,07 100 Jumlah Cl− = × 1 450,98 Jumlah Cl− = 0,0776 × 10−3 Eq Jumlah Cl− =
Jumlah Cl− = 0,0776 mEq Konsentrasi ion Cl- dalam tiap 50mL suspensi nanopartikel Jumlah Ion Cl- per Sumber Ion (mEq) Diltiazem NaCl ZnCl2 Hidroklorida 2,5 0,091 0 2,5 0,091 0,0776 0 0,091 0,0776
Formula 1 2 3
Jumlah Total (mEq) 2,5910 2,6686 0,1686
Jumlah masing-masing ion dalam tiap 50 mL suspensi nanopartikel Formula 1 2 3
Na+ 2,5 2,5 0
Jumlah Ion (mEq) Zn2+ Cl0,049 2,5910 0,049 2,6686 0,049 0,1686
Lampiran 11. Data Perhitungan pH. pH Formula 1
2
3
Hasil Pengujian 4,677 4,676 4,674 4,436 4,434 4,431 4,919 4,920 4,919
Rata-rata 4,676
4,434
4,919
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
Lampiran 12. Spektrum Serapan Diltiazem Hidroklorida dalam Akuades.
Lampiran 13. Spektrum Serapan Diltiazem Hidroklorida dalam NaCl 0,05 M.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
Lampiran 14. Kurva Kalibrasi Diltiazem Hidroklorida dalam Pelarut Akuades. Konsentrasi Absorbansi 0 0 3 0,162 6 0,317 9 0,476 12 0,635 15 0,803 18 0,962 Kurva Kalibrasi Diltiazem HCl - Aquades 1.2 y = 0,0534x - 0,0014 R=1
Absorbansi
1 0.8 0.6 0.4
0.2 0 0 -0.2
5
10
15
20
Konsentrasi (ppm)
Lampiran 15. Kurva Kalibrasi Diltiazem Hidroklorida dalam Pelarut NaCl 0,05 M Konsentrasi Absorbansi 0 0 3 0,129 6 0,266 9 0,414 12 0,547 15 0,690 18 0,832
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
(lanjutan)
Kurva Kalibrasi Diltiazem dalam NaCl 0,05M 0.9 0.8
y = 0,0464x - 0,0066 R = 0,9999
Absorbansi
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 -0.1 0
5
10
15
20
Konsentrasi (ppm)
Lampiran 16. Data Efisiensi Penjerapan
Formula Absorbansi
2
3
Absorbansi Konsentrasi Rata-rata Obat Bebas
0,282 0,284 0,288 0,334 0,333 0,330
Konsentrasi Efisiensi Obat Penjerapan Terjerap (%)
0,285
251,38
448,62
64,09
0,332
249,74
450,26
64,32
Lampiran 17. Contoh Perhitungan Persen Penjerapan Diltiazem Hidroklorida. 1.
Formula 2 Persamaan regresi, y = 0,0464x - 0,0066 Absorbansi = 0,285 (absorbansi + 0,0066) × faktor pengenceran 0,0464 (0,285 + 0,0066) 10000 Jumlah Obat Bebas = × 0,0464 250 0,2916 10000 Jumlah Obat Bebas = × 0,0464 250 Jumlah Obat Bebas =
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
(lanjutan) Jumlah Obat Bebas = 251,3793 ppm Jumlah diltiazem hidroklorida yang ditambahkan sejumlah 0,07% (b/v) yang setara dengan 700 ppm. Maka efisiensi penjerapan diltiazem hidroklorida dalan nanopartikel adalah: Jumlah Obat digunakan − Jumlah Obat bebas × 100% Jumlah Obat digunakan 700 − 251,3793 EE(%) = × 100% 700 448,6207 × 100% EE(%) = 700 EE(%) = 64,0887 % EE(%) =
2.
Formula 3 Persamaan regresi, y = 0,0534x - 0,0014 Absorbansi = 0,332 (absorbansi + 0,0014) × faktor pengenceran 0,0534 (0,332 + 0,0014) 10000 Jumlah Obat Bebas = × 0,0534 250 0,3334 10000 Jumlah Obat Bebas = × 0,0534 250 Jumlah Obat Bebas = 249,7378 ppm Jumlah Obat Bebas =
Jumlah diltiazem hidroklorida yang ditambahkan sejumlah 0,07% (b/v) yang setara dengan 700 ppm. Maka efisiensi penjerapan diltiazem hidroklorida dalan nanopartikel adalah: Jumlah Obat digunakan − Jumlah Obat bebas × 100% Jumlah Obat digunakan 700 − 249,7378 EE(%) = × 100% 700 450,2622 EE(%) = × 100% 700 EE(%) = 64,3232 % EE(%) =
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
Lampiran 18. Data Spektrum Inframerah 1. Spektrum Inframerah Pektin Peak 437.87 534.70 585.61 639.77 685.73 713.88 767.08 839.12 888.35 916.53 957.02 1010.95 1104.34 1149.91 1242.16 1330.66 1368.88 1424.58 1597.16 1661.62 1727.40 2935.66 3412.54
Intensity 82.83 79.34 79.27 78.14 78.08 78.37 78.09 80.94 83.47 82.44 82.35 78.74 82.23 81.17 80.49 78.35 78.50 78.12 79.99 81.49 83.60 80.01 78.02
Height 5.42 1.38 0.54 1.00 0.59 0.47 1.68 0.39 0.14 1.21 0.57 4.12 0.67 2.51 1.90 1.26 0.63 2.46 2.32 0.50 1.17 1.01 12.14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
(lanjutan) 2. Spektrum Inframerah Formula 1 Peak At 436.04 472.73 519.48 631.67 763.58 899.57 965.27 1017.50 1095.51 1327.42 1412.64 1617.59 1733.16 2924.61 3437.64
Intensity 96.82 95.24 97.71 99.78 105.76 109.47 104.45 96.58 93.70 110.31 107.35 103.92 116.14 106.38 83.77
Height 0.37 2.42 0.89 2.80 0.59 0.98 1.49 5.41 5.64 1.98 7.26 13.74 2.02 9.25 35.30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
(lanjutan) 3. Spektrum Inframerah Formula 2 Peak 437.97 488.41 532.07 555.71 602.42 634.33 704.08 768.73 831.11 892.16 919.46 958.46 1014.84 1102.97 1147.41 1238.69 1331.14 1416.65 1619.24 1740.78 2937.80 3408.74
Height 72.43 73.09 71.99 72.50 71.91 71.65 73.40 74.34 76.08 78.17 78.88 72.30 68.09 68.63 71.54 76.74 74.24 71.87 68.70 79.40 76.91 66.22
Height 4.08 0.84 1.32 0.57 0.64 0.63 0.50 1.38 1.60 1.34 0.40 4.40 5.70 4.31 4.91 2.87 2.02 5.96 12.86 3.27 1.60 18.97
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
(lanjutan) 4. Spektrum Inframerah Formula 3 Peak 429.58 489.89 535.20 596.59 639.71 768.99 830.61 891.06 918.80 958.91 1018.10 1105.41 1149.67 1238.07 1331.89 1418.85 1624.95 1740.86 2943.51 3427.68
Intensity 45.08 46.85 44.35 45.67 45.13 48.69 51.21 54.94 57.27 46.55 42.13 40.98 44.36 53.83 50.20 47.31 42.95 59.70 54.34 41.46
Height 5.13 1.29 2.74 0.88 0.64 2.33 4.02 3.24 0.74 7.48 5.97 6.24 8.77 6.34 5.00 10.89 20.69 8.15 2.41 38.00
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
Lampiran 19. Data Hasil Analisa DSC 1.
Diltiazem HCl
DSC mW 0.00
Diltiazem HCL.tad DSC
Onset
0 213.99x10 C
Endset
0 221.57x10 C
-10.00
Peak
0 218.25x10 C
Heat
0 -71.86x10 J/g
-20.00 100.00
200.00 Temp [C]
2.
Pektin DSC mW
5.00
0.00 Tg 33.20 C
-5.00 Tg 64.66 C
Peak 120.06 C Heat -1.13 J/g
-10.00
Peak 151.35 C Heat -41.39 J/g Tg 84.15 C
-15.00 0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
Temp [C]
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
(lanjutan) 3.
Formula 1 DSC mW
5.00
0.00 Tg 32.51 C
Peak 121.88 C Heat -4.75 J/g
Tg 79.14 C
-5.00
-10.00
-15.00 0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
300.00
400.00
Temp [C]
4.
Formula 2 DSC mW
5.00
0.00 Tg 37.38 C
Peak 122.03 C Heat -2.08 J/g
Tg 78.58 C
-5.00
-10.00
-15.00 0.00
100.00
200.00 Temp [C]
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
(lanjutan) 5.
Formula 3 DSC mW
5.00
0.00 Tg 33.05 C
-5.00
Peak 120.15 C Heat -3.09 J/g
Tg 88.59 C
-10.00
-15.00 0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
Temp [C]
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
Lampiran 20. Alat-alat penelitian
Buret yang dimodifikasi
Pengaduk Magnetik
Timbangan Analitik
Homogenizer
Sonicator Bath
Spektofotometer UV-Vis
Particle Size Analyzer
Zeta Analyzer
pH Meter
Sentrifus
Spektofotometer FT-IR
Differential Scanning Calorimeter
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
(lanjutan)
Mikropipet
Crimper
Vortex
Lampiran 21. Proses Sambung Silang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
Lampiran 22. Suspensi Nanopartikel
Formula 1
Formula 2
Formula 3
Formula 2
Formula 3
Lampiran 23. Hasil Sentrifugasi Suspensi Nanopartikel
Formula 1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
Lampiran 24. Hasil Pengeringan Suspensi Nanopartikel
Formula 1
Formula 2
Formula 3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta