Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 1
PEMBINAAN NELAYAN SEBAGAI UJUNG TOMBAK PEMBANGUNAN PERIKANAN NASIONAL Oleh: Prof. Tridoyo Kusumastanto dan Yudi Wahyudin, M.Si. ABSTRAKSI Masyarakat pesisir diharapkan dapat memperoleh manfaat terbesar dalam pembangunan wilayah pesisir sesuai dengan kapasitas ekonomi yang sesuai dengan daya dukung serta kebijakan sosial ekonomi yang berpihak kepada kelompok yang terpinggirkan. Kebijakan sosial ekonomi perlu direkayasa-ulang, yakni diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat pesisir sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat pesisir dapat dipercepat dan dilakukan secara berkelanjutan. Program pengelolaan daerah aliran sungai, pesisir dan laut pada intinya dilakukan untuk menjawab dua hal mendasar, yaitu: (1) kebutuhan untuk menjaga dan mempertahankan sumberdaya yang terancam seperti tanah, air, pemandangan dan nilai-nilai estetika lainnya, serta komponen-komponen alamiah dari pesisir seperti pantai, bukit pasir, daerah estuari, pulau-pulau kecil dan lain sebagainya; dan (2) kebutuhan untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya pesisir secara rasional, mencari resolusi atas konflik pemanfaatan, dan mencapai keseimbangan rasional antara pembangunan dan pelestarian sumberdaya. Pengembangan masyarakat pesisir harus didasarkan pada pengelolaan wilayah pesisir, daerah aliran sungai dan lautan yang komperehensif, sehingga menuntut (1) perhatian yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai sumberdaya alam yang unik; (2) optimalisasi pemanfaatan serbaneka dari ekosistem pesisir dan laut dengan mengitegrasikan segenap informasi ekologis, ekonomis dan sosial; dan (3) peningkatan pendekatan multidisipliner dan koordinasi antar sektoral dalam mengatasi permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan lautan yang kompleks. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat memberikan hasil yang diharapkan, yaitu (1) terpeliharanya kualitas lingkungan pesisir dan lautan beserta sumberdaya di dalamnya, dan (2) membaiknya kondisi sosial ekonomibudaya masyarakat pesisir. Kebijakan pembangunan perlu memberikan keberpihakan kepada masyarakat pesisir agar kelompok masyarakat yang selama ini kurang diperhatikan dapat segera mengejar ketertinggalan dari kelompok masyarakat lainnnya sehingga tujuan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan yang adil bagi segenap bangsa Indonesia dapat diwujudkan. Upaya pembinaan nelayan untuk pembangunan nasional dapat dilakukan melalui program: (i) pembinaan nelayan memerlukan pemahaman yang bersifat menyeluruh terhadap setiap persoalan, terutama kemiskinan nelayan yang terjadi; (ii) pembinaan nelayan memerlukan pendekatan social engineering yang tepat, efektif dan efisien; (iii) penetapan jumlah pemanfaat (users) dan daya dukung lingkungannya sesuai dengan karakteristik sumberdaya dan pemanfaatannya; (iv) penguatan dan pembinaan masyarakat pesisir; (v) pengembangan mata pencaharian alternatif; (vi) penanganan penangkapan ikan ilegal, tidak tercatat dan tidak diatur; (vii) dukungan kebijakan pengembangan perikanan tangkap; dan (viii) dukungan kebijakan pengembangan perikanan budidaya. Kata Kunci: Pengelolaan, pembangunan, kebijakan, pembinaan kapasitas dan pengembangan masyarakat ABSTRACT Coastal communities are expected to gain the greatest benefit in the development of coastal areas in accordance with the economic capacity and the environmental carrying capacity. Socio-economic policies need to be re-engineered, which is directed to the welfare of the people of Indonesia, especially the coastal communities as well as to conserve resources so that social and economic activities can be accelerated and be sustainable. Integrated riverbasin, coastal and ocean management program was essentially carried out to answer two basic points, namely: (1) the need to maintain and preserve the threatened coastal resources such as land, water, landscape and other aesthetic values, as well as natural components of the coastal beaches, sand dunes, estuarine areas, small islands and so on, and (2) the need to rational manage the utilization of coastal resources, seeking resolution of the conflict utilization, and achieve a rational balance between development and resources conservation. Coastal communities development should be based on integrated riverbasin, coastal and ocean management and it demands (1) attention to a deeper and comprehensive understanding of the unique
1 Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=2167875
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 2
natural resources, (2) optimizing coastal and marine ecosystems utilization with in integrating all ecological and socio-economic informations, and (3) increasing multidisciplinary approach and intersectoral coordination in addressing the complexity existing problems in coastal areas and oceans. Through this approach, is expected to deliver results, (1) maintaining the quality of coastal and marine environment and its resources, and (2) improving the socio-economic-cultural conditions of coastal communities. Development policies need to favor the coastal community, so that the community development objectives to achieve equitable prosperity for all Indonesian people can be realized. Fishermen capacity building in the content of national development can be done through the program: (i) construction of fishing requires a thorough understanding of the nature of any problems, especially poverty fishermen occurred, (ii) construction of social engineering fisherman needs a proper, effective and efficient, (iii) determination of the number of beneficiaries (users) and the carrying capacity of the environment according to the characteristics and resource utilization, (iv) strengthening and development of coastal communities, (v) the development of alternative livelihoods; (vi) handling of illegal fishing, unrecorded and unregulated; (vii ) fisheries development policy support, and (viii) support aquaculture development policy. Key Words: management, development, policy, capacity building and community development
1.
PENDAHULUAN Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
mencanangkan program agar Indonesia mampu menjadi produsen ikan terbesar di dunia. Pencanangan sebagai produsen terbesar di dunia ini mengharuskan Indonesia untuk segera memacu produksi perikanannya hingga lebih dari 16 juta ton per tahun. Hal ini tentu bukan persoalan yang mudah, mengingat pencapaian produksi perikanan Indonesia saat ini masih sekitar 10,83 juta ton per tahun. Potensi lestari perikanan laut Indonesia terhitung sebesar 6,4 juta ton per tahun, sedangkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah sebesar 5,12 juta ton per tahun (80% dari potensi lestari). Saat ini, Indonesia baru mampu memanfaatkan potensi tangkapan tersebut sebesar 4,3 juta ton atau sekitar 83,98 persen dari jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan. Namun demikian, terdapat potensi penangkapan illegal yang dilakukan oleh nelayan asing serta penangkapan yang tidak dilaporkan kepada lembaga yang berwenang sebesar 1,5 juta ton per tahun, sehingga bilamana ini ditambahkan dengan pemanfaatan aktual, maka sesungguhnya perikanan laut Indonesia telah memasuki kriteria kelebihan penangkapan. Menilik bahwa target produksi perikanan Indonesia harus melebihi 16 juta ton per tahun, maka ada kecenderungan pemenuhan target produksi perikanan akan menemui kegagalan, kendati saat ini potensi budidaya mampu memberikan peluang produksi yang lebih besar dibandingkan dengan perikanan tangkap. Namun demikian, mengingat bahwa karakteristik masyarakat pesisir cenderung melakukan perburuan (hunting), maka diperlukan sistem pembinaan dan pendanaan yang akomodatif dan bersahabat dengan nelayan, sehingga
2 Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=2167875
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 3
target yang diharapkan dapat digenjot untuk mendukung program produksi sebesar 16 juta ton per tahun dapat diwujudkan. 2.
PERMASALAHAN AKTUAL Pembinaan nelayan tidak dapat dilakukan secara sembarangan, mengingat bahwa
permasalahan yang terjadi sangat bersifat multi dimensi dan membentuk lingkaran yang saling berpengaruh, sehingga diperlukan penanganan yang lebih arif dan holistik. Beberapa permasalahan utama yang perlu segera dicarikan solusinya terkait dengan upaya pembinaan nelayan sebagai ujung tombak perikanan diantaranya adalah: (i) kemiskinan masyarakat pesisir; (ii) banyaknya praktek penangkapan ilegal, tidak tercatat dan tidak diatur (illegal-, unreported-, & unregulated fishing, IUU); (iii) biaya operasional impor kapal sangat tinggi dan tidak mampu dipenuhi nelayan; dan (iv) sistem pembinaan nelayan belum berjalan baik. Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multi dimensi dan ditengarai disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir (Azman, 2009). Penangkapan ikan laut secara (illegal), tidak dicatatkan dalam log book lembaga berwenang (unreported), serta yang tidak diatur (unregulated) sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku sangat marak terjadi di Indonesia. Kecenderungan terbatasnya armada penangkapan ikan Indonesia yang berdaya jelajah hingga ZEEI membuat nelayan asing memanfaatkan atau mencuri ikan di wilayah tersebut, sehingga menyebabkan potensi kerugian yang tidak sedikit.
Permasalahan ini perlu segera diantisipasi agar dapat
memberikan ruang lebih besar kepada nelayan Indonesia untuk menangkap ikan secara optimal dan menguntungkan. Impor pengadaan 1000 kapal tidak berjalan mulus. Kapal yang diimpor memerlukan modal operasional yang sangat tinggi untuk ukuran nelayan lokal, yaitu mencapai Rp.150 juta/trip, sehingga tidak mampu dipenuhi nelayan. Akibatnya, tidak banyak yang mampu memanfaatkan kapal tersebut yang digadang-gadang dapat menambah produksi perikanan tangkap, terutama untuk open sea atau pada zona ekonomi eksklutif Indonesia (ZEEI). Sistem pembinaan tidak berjalan dengan semestinya, program PEMP yang digadanggadang sebagai bentuk pemberdayaan dan kebangkitan ekonomi masyarakat pesisir belum 3
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 4
mampu memberikan jaminan kemandirian nelayan.
Tidak sedikit program yang telah
berjalan selama lebih kurang satu dekade ini mengalami kemunduran bahkan cenderung gagal.
Salah satu yang paling nyata adalah guliran dana yang diharapkan dapat
dikerjasamakan
dengan
bank
dan
atau
lembaga
keuangan
lainnya
tidak
dapat
diimplementasikan, mengingat risiko usaha perikanan tangkap sangat tinggi. Selain itu, MOU guliran dana tidak dilakukan secara kontinu, sehingga mengundang keraguan akan simpang siurnya jaminan usaha kepada bank dan atau lembaga keuangan lainnya. 3.
ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH Memperhatikan beragam isu dan permasalahan seperti diungkapkan pada Bab 2,
maka alternatif upaya pemecahan masalah yang dapat dilakukan adalah melalui program: (i) pembinaan nelayan memerlukan pemahaman yang bersifat menyeluruh terhadap setiap persoalan, terutama kemiskinan nelayan yang terjadi; (ii) pembinaan nelayan memerlukan pendekatan social engineering yang tepat, efektif dan efisien; (iii) penetapan jumlah pemanfaat (users) dan daya dukung lingkungannya sesuai dengan karakteristik sumberdaya dan pemanfaatannya; (iv) penguatan dan pembinaan masyarakat pesisir; (v) pengembangan mata pencaharian alternatif; (vi) penanganan penangkapan ikan ilegal, tidak tercatat dan tidak
diatur; (vii) dukungan kebijakan pengembangan perikanan tangkap; dan (viii) dukungan kebijakan pengembangan perikanan budidaya.
a.
Pembinaan nelayan memerlukan pemahaman yang bersifat menyeluruh terhadap setiap persoalan, terutama kemiskinan nelayan yang terjadi Masyarakat pesisir secara harafiah diartikan sebagai masyarakat yang berdomisili di
wilayah pesisir. Namun pemahaman dalam konteks pengembangan masyarakat (community development), “nomenklatur” masyarakat pesisir dipadankan dengan kelompok masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir yang hidupnya masih “tertinggal” (e.g. nelayan, pembudidaya ikan, buruh pelabuhan, dsb) dibandingkan dengan kelompok masyarakat pesisir lainnya (e.g. pedagang, pengusaha perhotelan, dsb) yang lebih sejahtera. Kebijakan sosial ekonomi (pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur, kelembagaan) dalam pengembangan masyarakat pesisir yang “tertinggal” tersebut perlu ditinjau kembali (revisited) dan direkayasa ulang (re-engineering) mengingat perbaikan kehidupannya sangat lambat khususnya nelayan yang sebagian besar masuk kategori miskin dari kelompok yang paling miskin (poor of the poorest) (Kusumastanto, 2010).
4
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 5
Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang plural (merupakan akulturasi budaya perkotaan dan pedesaan dari berbagai wilayah). Ada beberapa karakteristik masyarakat pesisir,(1) budaya terbuka, (2) sumber kehidupannya tergantung pada sumberdaya alam, (3) aktivitas ekonominya sangat dipengaruhi oleh cuaca dan musim, (4) peran pasar sangat menentukan dalam berkembangnya aktivitas masyarakat.. Sebagai ilustrasi : masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, sangat tergantung dari kondisi lingkungan laut yang sangat rentan dari kerusakan, seperti penghancuran terumbu karang (coral reef), mangrove, serta padang lamun (seagrass), pencemaran, maupun bencana laut. Masyarakat pesisir sering disebut sebagai masyarakat miskin, jika dilihat dari tingkat perekonomian. Kusumastanto (2006) mengemukakan faktor–faktor penyebab kemiskinan masyarakat pesisir dapat diakibatkan oleh tiga hal yaitu (1) biaya tinggi yang harus dibayar sedangkan penerimaan rendah, hal ini terjadi karena struktur pasar yang cenderung monopoli/oligopoli - monopsoni/oligopsoni sehingga terjadi ekonomi biaya tinggi, tidak efisien dan eksploitatif (misal: hubungan patron-client), (2) penerimaan yang rendah disebabkan oleh volume hasil eksploitasi sumberdaya berbanding terbalik dengan harga sehingga peningkatan eksploitasi tidak berdampak pada peningkatan pendapatan, (3) Struktur ekonomi pesisir yang tidak berkembang karena aspek pasar, kebijakan, infrastruktur sosial ekonomi sangat terbatas sehingga penciptaan peluang sosial dan ekonomi untuk memenuhi kehidupan yang layak sulit berkembang. Beberapa uraian tersebut menunjukkan bahwa implikasi dari faktor-faktor diatas membawa masyarakat pesisir tidak memperoleh pendapatan yang memadai sedangkan kebijakan sosial ekonomi tidak memberikan solusi nyata maka akhirnya berdampak kepada kemiskinan. Alasan utama kemiskinan dapat dibagi ke dalam empat hal, yaitu (1) kemiskinan karena aspek teknis biologis sumberdaya pesisir dan laut, (2) kemiskinan karena kekurangan prasarana, (3) kemiskinan karena kualitas sumber daya manusia yang rendah, dan (4) kemiskinan karena struktur ekonomi yang tidak mendukung dalam memberikan insentif usaha.
Charles (2001), mengemukakan bahwa keberlanjutan sistem pesisir ditopang
beberapa dimensi, yaitu (i) dimensi ekologi (ecological sustainability) yang mencakup kelestarian sumberdaya, kelestarian spesies, serta kelestarian ekosistem; (ii) dimensi sosialekonomi (socio-economic sustainablity), yang berarti kelestarian kesejahteraan sosialekonomi para pelakunya, yang basisnya adalah keberlanjutan keuntungan dan distribusinya kepada seluruh pelaku, serta keberlanjutan sistem sumberdaya pesisir, baik di tingkat ekonomi lokal maupun global; (iii) dimensi masyarakat (community sustainaibility) yang berorientasi pada keberlanjutan masyarakat sebagai sebuah sistem, yang di dalamnya 5
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 6
mencakup nilai budaya, aturan lokal, pengetahuan, dan kohesivitas; dan (iv) dimensi kelembagaan (institutional sustainablity), yakni kesinambungan kapasitas finansial, administrasi, dan organisasi, yang menjaga keberlanjutan tiga dimensi sebelumnya. Kebijakan sosial ekonomi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pesisir harus didasarkan kepada kondisi sosial, kearifan dan budaya masyarakat pesisir yang tumbuh dan berkembang di akar rumput. Kebijakan yang diambil harus integratif sehingga tidak bias sektoral, wilayah serta kepentingan dan dapat diimplementasikan dalam rangka pengentasan kemiskinan. Kebijakan tersebut harus diarahkan untuk mengantisipasi kerusakan, daya dukung maupun ketidakseimbangan sumber daya pesisir, yang akhirnya akan berakibat kepada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Keberpihakan kebijakan yang secara adil (fair) memberikan perhatian kepada kelompok masyarakat yang yang lemah, tertindas dan rawan perlu diberikan prioritas khususnya pemenuhan basic need melalui kerja produktif bukan belas kasihan. Kebijakan ekonomi seperti insentif, nilai tambah, kelembagaan ekonomi yang mendorong kemandirian masyarakat berbasis desa seyogyanya menjadi pilar penting bagi tumbuhnya kesejahteraan yang lestari. Pemahaman dan komitmen seluruh stakeholders terhadap kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan menjadi syarat keberhasilan pengembangan masyarakat pesisir yang lebih sejahtera dan dapat menjadi mesin utama pertumbuhan pembangunan nasional. b.
Pembinaan nelayan memerlukan pendekatan social engineering yang tepat, efektif dan efisien Mengingat bahwa nelayan merupakan masyarakat yang unik yang cenderung bersifat
subsisten, maka pembinaannya perlu dibangun dan dipersiapkan secara khusus melalui reengineering kebijakan pengembangan sosial ekonomi dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir.
Terdapat 3 (tiga) kebijakan utama yang perlu dilakukan, yaitu (i)
perlunya penetapan jumlah pemanfaat (users) dan daya dukung lingkungannya sesuai dengan karakteristik sumberdaya dan pemanfaatannya; (ii) perlu dilakukannya pembinaan dan pembinaan masyarakat pesisir secara kontinu; dan (iii) perlu dikembangkannya mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir sebagai social engineering model dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah pesisir dan laut. c.
Penetapan jumlah pemanfaat (users) dan daya dukung lingkungannya sesuai dengan karakteristik sumberdaya dan pemanfaatannya
6
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 7
Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya pesisir, terdapat tiga kategori sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, yaitu (a) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (b) sumberdaya tidak dapat pulih (nonrenewable resources), dan (c) jasa-jasa lingkungan pesisir (environmental services). Sumberdaya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas, maupun jasa seperti pariwisata, transportasi laut, perdagangan dan sebagainya. Pemanfaatan sumberdaya pesisir khususnya sumberdaya perikanan, meskipun oleh banyak pihak masih dikatakan belum optimal (sekitar 60%) dan masih dapat ditingkatkan hingga hingga 40%, namun kenyataannya di berbagai wilayah perairan telah mengalami overeskploitasi dan berbagai permasalahan pengelolaan lingkungan lainnya. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa besar jumlah nelayan optimum yang dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan di suatu kawasan perairan?. Hal ini penting, karena kita menginginkan masyarakat pesisir umumnya dan nelayan khususnya memiliki tingkat kesejahteraan tertentu, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup. Demikian juga, jumlah petani tambak harus mempertimbangkan karakteristik biofisik, teknologi, sosial, ekonomi dan budaya sehingga tidak melampaui daya dukung alami kawasan pesisir. Dengan demikian upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir harus didasarkan pada daya dukung kawasan. Upaya yang perlu dilakukan adalah melakukan diversifasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan peningkatan nilai tambah melalui pemanfaatan teknologi sehingga beban terhadap sumberdaya dapat memberikan kontribusi langsung kepada peningkatan pendapatan dan bukannya hanya menambah produksi tetapi kondisi kesejahteraan tidak berkembang. Dengan demikian diperlukan kebijakan yang dapat menetapkan berapa jumlah pemanfaat sumberdaya pulih yang optimum sehingga dapat didorong kebijakan pengembangan alternatif pendapatan dari sumberdaya tidak pulih yang diperlukan bagi pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir. d.
Penguatan dan pembinaan masyarakat pesisir Penguatan dan pembinaan sumberdaya manusia pesisir juga menjadi factor yang
menentukan dalam upaya meningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya sumberdaya pesisir bagi mereka yang kemudian diaktualisasikan dalam upaya-upaya pemanfaatan sehari-hari singga sumberdaya tersebut tetap lestari.
Dalam kerangka penguatan dan pembinaan faktor-faktor penentu dalam 7
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 8
pembinaan masyarakat meliputi, Pembinaan Manusia, Pembinaan Lingkungan, Pembinaan Sumberdaya dan Pembinaan Usaha. Pembinaan manusia adalah strategi pemberdayaan dan pembinaan masyarakat kecil melalui pengembangan SDM. Strategi ini meliputi (a) investasi pada modal manusia dalam bidang pendidikan dan kesehatan, (b) peningkatan kapasitas organisasi
dan
kelompok
baik
formal
maupun
informal,
(c)
memperluas
dan
mengintegrasikan mandat organisasi dan kelompok sehingga efisiensi dapat tercapai, (d) memperbaiki budaya/etos kerja, dan (e) menghilangkan sifat dan mental negatif yang memasung produktivitas dan menghambat pembangunan. Pembinaan lingkungan merupakan strategi pemberdayaan dan pembinaan masyarakat pesisir melalui perbaikan lingkungan tinggal, lingkungan dan prasarana produksi serta meningkatkan peran masyarakat dalam menata dan mengelola lingkungan hidupnya. Strategi ini mencakup hal-hal berikut: (1) meningkatkan peran masyarakat dalam mengelola dan menata lingkungan hidup, baik tempat tinggal mereka maupun habitat atau kawasan tempat kegiatan ekonomi produktif dijalankan, (2) membangun infrastruktur terutama yang menyangkut dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan ekonomi, (3) meningkatkan perencaaan dan pembangunan secara spasial di wilayah pesisir dengan mempertimbangkan kompatabilitas wilayah pesisir dan daya dukungnya, (4) mengenal sumberdaya serta faktor yang mempengaruhi eksistensinya, dan (5) memperkaya sumberdaya melalui kegiatan pengkayaan stok ikan dan habitatnya, rehabilitasi, mitigasi bencana, dan mengendalikan pencemaran. Pembinaan sumberdaya adalah strategi pemberdayaan dan pembinaan masyarakat pesisir melalui pelibatan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam pesisir.
Bina sumberdaya meliputi strategi (a) memberikan konsesi pengelolaan dan
pemanfaatan laut dan pesisir, (b) menghidupkan kembali hak ulayat dan hak masyarakat lokal, (c) menerapkan MCS dengan prinsip partisipasi masyarakat lokal, (d) menerapkan teknologi ramah lingkungan, mendorong pengembangan teknologi asli (indigenous technology), (e) membangun kesadaran akan pentingnya nilai strategi sumberdaya bagi generasi kini dan yang akan datang, (f) merehabilitasi habitat dan memperkaya sumberdaya pulih (restocking dll). Pembinaan usaha meliputi peningkatan akses masyarakat terhadap permodalan yang dapat ditempuh melalui hubungan langsung antara masyarakat dengan sumber modal, hubungan secara kelompok antara masyarakat dengan sumber modal dengan atau tanpa jaminan dari pihak ketiga, hubungan antara pengusaha skala kecil secara inividu atau secara kelompok dengan pengusaha skala besar atau BUMN, serta penyatuan kekuatan modal 8
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 9
dimiliki rakyat kecil secara individu.
Bina usaha meliputi strategi
(a) meningkatkan
ketrampilan usaha, pengelolaan bisnis skala kecil dan penguasaan teknologi, (b) meningkatkan dan mempermudah akses terhadap teknologi, modal, pasar, dan informasi pembangunan, (c) membangun kemitraan mutualistis diantara sesama pelaku ekonomi rakyat dan melalui kerjasama perusahaan skala besar , (d) membangun sistem insentif administrasi serta pendanaan formal dan informal, dan (e) menyediakan peraturan perundangan yang menjamin berjalannya proses pengentasan kemiskinan. e.
Pengembangan mata pencaharian alternatif Kendala keterbatasan sumberdaya pesisir khsususnya pada kawasan yang telah
overeksploitasi menuntut perlunya terobosan-terobosan dalam mencari sumber-sumber mata pencaharian alternatif. Konsep pengembangan mata pencaharian alternatif ini, juga sedang dikembangkan bagi masyarakat pesisir yang selama ini mengembangkan praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bom dan zat kimia khususnya dalam perikanan terumbu karang. Ketika mengembangkan mata pencaharian alternatif, hendaknya dilakukan dengan perencanaan yang tepat. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pengembangan mata pencaharian alternatif, yaitu pertama keseimbangan antara pasokan (supply based) dan permintaan (demand based) dari barang atau jasa yang dihasilkan dari mata pecaharian alternatif yang akan dikembangkan harus seimbang dan berkelanjutan.
Jangan sampai mata pencaharian yang dikembangkan
tidak memiliki pasar yang akan menampung, sehingga produk yang dihasilkan menjadi mubazir. Kedua, mata pencaharian alternatif yang dikembangkan harus mudah diadopsi oleh masyarakat yang akan melaksanakannya dan sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat seperti adat istiadat, sosial budaya, kebiasaan, tatanan kemasyarakatan dan lain-lain. Ketiga, mata pencaharian alternatif yang dikembangkan harus mempunyai resiko kegagalan kecil, waktu yang cepat dan modal terjangkau. Keempat, apabila dalam pengembangan mata pencaharian alternatif dibutuhkan bantuan dana atau subsidi untuk keperluan hidup sebelum mata pencaharian alternatif tersebut menghasilkan, maka bantuan dana tersebut harus memperhatikan: kategori penerima subsidi, besarnya subsidi sama dengan kebutuhan hidup minimum (sesuai pendapatan awal atau lebih kecil dari pendapatan yang akan didapat dari hasil mata pencaharian alternatif yang akan dikembangkan), jangka waktu pemberian subsidi dibatasi sampai dengan hasil mata pencaharian alternatif menghasilkan, kesepakatan bersama dan sebagainya.
Kelima mata pencaharian yang akan dikembangkan harus tetap
memperhatikan aspek pelestarian lingkungan secara umum (daya dukung, karakterisitk, dsb). 9
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 10
Dan keenam mata pencaharian alternatif yang akan dikembangkan harus dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, menetapkan mata pencaharian alternatif, maka beberapa langkahlangkah yang dapat dilakukan unttuk memperoleh hasil yang optimal diantaranya adalah (i) mengidentifikasi
jenis-jenis/bentuk-bentuk
mata
pencaharian
alternatif
yang
akan
dikembangkan yang disesuaikan dengan syarat syarat di atas; (ii) melakukan uji keberhasilan dari mata pencaharian tersebut sebelum diterapkan; dan (iii) menyiapkan perangkat baik teknis maupun non teknis dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. f.
Penanganan penangkapan ikan ilegal, tidak tercatat dan tidak diatur Penanganan praktik-praktik IUU fishing bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan,
diantaranya yaitu hukum dan ekonomi. Untuk hukum, ada beberapa aturan-aturan internasional yang harus Indonesia perhatikan. Adapun beberapa aturan internasional yang terkait dengan pemberantsan IUU fishing, antara lain: (1) hukum yang sifatnya mengikat atau legal binding, yaitu Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, the UN Fish Stock Agreement 1995, dan FAO Compliance Agreement 1993; serta (2) hukum yang tidak mengikat atau not legally binding, yaitu Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) tahun 1995, dan International Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing sebagai panduan dalam menghadapi permasalahan IUU fishing. Untuk itu, negara-negara anggota FAO dihimbau untuk menuangkan IPOA IUU fishing ini kedalam suatu rencana aksi nasional atau National Plan of Action (NPOA) (Adrianto, 2005). Dalam perspektif negara berkembang yang memiliki sumberdaya ikan melimpah seperti Indonesia, prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang termaktub dalam CCRF dapat dijadikan panduan penting bagi implementasi perikanan yang bertanggung jawab pada level lokal dan nasional. Upaya ini diperlukan dalam konteks bahwa Indonesia berkontribusi dalam upaya pencapaian tujuan pengelolaan perikanan global berkelanjutan, seperti halnya amanat Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Namun demikian, dalam adopsi CCRF tersebut perlu dilakukan modifikasi atau penyesuaian karena perikanan di negara berkembang adalah multi dan kompleks, tidak hanya melibatkan aspek teknologi, namun juga eksosistem sistem sosial ekonomi masyarakat perikanan1. Secara ekonomi, untuk mengatasi IUU fishing adalah penguatan armada tangkap nasional. Berdasarkan data statistik perikanan DKP tahun 2004, jumlah armada perikanan 1
Luky Adrianto, “Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam Perspektif Negara Berkembang”, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Jakarta, Jurnal Hukum Internasional, Vol 2, No. 3, April 2005, hlm 481.
10
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 11
tangkap Indonesia adalah 549.100 unit, didominasi oleh perahu tanpa motor, yaitu 256.830 unit (46,78%), motor tempel 165.337 unit (30,11%), dan kapal motor 126.933 unit (23,11%). Sementara itu, kapal motor yang berjumlah 126.933 unit didominasi oleh kapal motor yang berukuran di bawah 5 GT, yaitu 90.148 unit (71,02%)2. Dengan demikian, sekitar 76% armada tangkap nasional didominasi oleh armada tangkap skala kecil yang hanya beroperasi di sekitar pesisir pantai, yaitu perahu tanpa motor dan motor tempel. Dengan kata lain, daya jangkau armada tangkap nasional ke zona ekonomi eksklusif Indonesia (200 mil) sangat rendah, apalagi untuk memasuki perairan internasional atau laut lepas. Oleh karena itu sangat wajar, bila kapal ikan asing berkeliaran secara leluasa di perairan Indonesia.
Untuk
mengatasi “kekosongan” armada tangkap nasional di perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI), maka perlu dilakukan penguatan armada tangkap nasional. Dengan demikian, armada tangkap nasional tidak akan menjadi tamu di wilayah negaranya sendiri, sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Beberapa hal yang patut diperhatikan dalam
penguatan armada tangkap nasional, diantaranya yaitu: Pertama, modernisasi armada “semut” nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar pesisir pantai. Dengan kuatnya armada tangkap nasional di ZEEI, maka dengan sendirinya menjadi pesaing dan bahkan menjadi informan bila terjadi praktik-praktik IUU fishing. Kedua, modernisasi armada tangkap nasional dapat dilakukan dengan cara pemberian kebijakan bantuan modal. g.
Dukungan kebijakan pengembangan perikanan tangkap Besarnya potensi sumberdaya ikan di Indonesia, seharusnya dapat meningkatkan
perekonomian nasional. Namun demikian, yang terjadi adalah sebaliknya, negara dirugikan triliunan rupiah dan sumberdaya ikan mengalami penurunan yang disertai semakin miskinnya masyarakat nelayan.
Beberapa kebijakan yang saat ini urgen untuk dilakukan guna
menyelamatkan dan mengembangkan perikanan tangkap di Indonesia, adalah: (i) subsidi BBM untuk nelayan; (ii) regulasi terhadap permasalahan-permasalahan mendasar seperti Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, serta persoalan yang menyangkut perijinan terhadap operasi penangkapan ikan; (iii) kebijakan yang terkait dengan
dukungan
(supporting) pendanaan dan investasi; (iv) advokasi dan diplomasi perikanan; seperti Peningkatan partisipasi Indonesia dalam perikanan regional, utamanya sebagai anggota (contracting party) dari Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Commission for Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Kebijakan ini untuk membuka akses Indonesia sebagai pemanfaat sumberdaya ikan (utamanya tuna) di perairan internasional 2
DKP, Statistik Kelautan dan Perikanan tahun 2006, 2006, hlm 16.
11
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 12
(high seas), dan membuat Indonesia memiliki kuota produksi dan kuota pasar internasional serta menghindari Indonesia dari kemungkinan embargo produk perikanan-nya; dan (v) kebijakan pengembangan perikanan terpadu lintas sektoral yang sustainable, hulu-hilir. Dimulai dari fishing ground-Pelabuhan Perikanan-Pasar. Terkait dengan dukungan infrastruktur dan kebijakan. h.
Dukungan kebijakan pengembangan perikanan budidaya Keberhasilan pengembagan bisnis budidaya di Indonesia sangat memerlukan empat
prasyarat yang harus dilaksanakan secara integral dan simultan (Mahifal dan Wahyudin, 2011). Pertama, pengembangan bisnis budidaya di Indonesia memerlukan kebijakan makro yang efektif dan efisien terutama untuk menempatkan pengembangan bisnis ini sebagai salah satu prime mover pembangunan ekonomi sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Oleh karena itu, disain kebijakan ekonomi makro Indonesia seoptimal mungkin harus berpihak pada proses pengembangan bisnis budidaya ini untuk memberikan keleluasaan ruang pertumbuhan dan pengembangan bisnis. Salah satu kebijakan makro yang dapat diberikan, misalnya, proteksi terhadap datangnya (impor) komoditas kelautan (price protection, tax, dan sebagainya) dan menjaga supply produk lokal agar tetap kontinu. Pemerintah selaku pembuat kebijakan diwajibkan memberikan perhatian yang lebih besar lagi terhadap pengembangan bisnis ini. Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan keleluasaan kepada masyarakat Indonesia untuk menggarap dan memproduksi komoditas budidaya secara bebas dengan perhitungan tanpa takut mengalami kerugian. Kebebasan tersebut harus dibarengi dengan adanya pemberian property right yang efisien secara ekonomi. Efisien secara ekonomi akan terwujud jika property right yang dimiliki masyarakat menunjukkan sifat universal, eksklusif, dapat diperjualbelikan secara sah dan memperoleh jaminan keamanan.
Selain itu, pemerintah diharapkan memberikan insentif, berupa
pemberian kredit lunak yang diintegrasikan dengan sistem pembinaan berkala dan kontinu, sehingga pemberian kredit tidak hanya dijadikan sebagai charity saja, melainkan lebih ditujukan untuk memberikan stimulasi kepada pada pembudidaya agar dapat meningkatkan kemampuan produksinya. Pemerintah diharapkan mampu memberikan jaminan keamanan kepada para pembudidaya berupa jaminan pasar yang kontinu dan stabilitas harga jual. Dalam hal ini, pemerintah diharapkan dapat menetapkan harga dasar atau harga break even point yang ditetapkan berdasarkan harga minimal pembelian dan mempertimbangkan costbenefit usaha budidaya tersebut.
12
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 13
Kedua, pengembangan bisnis budidaya di Indonesia memerlukan infrastruktur dan fasilitas pendukung budidaya lainnya, karena infrastruktur dan fasilitas pendukung ini merupakan hal yang sangat krusial bagi pengembangan bisnis budidaya. Pemerintah diharapkan dapat menyediakan prasarana dan sarana jalan, telekomunikasi, energi dan sebagainya. Bahkan pemerintah diharapkan dapat membangun prasarana jalan yang mampu menghubungkan pusat-pusat produksi kelautan dan perikanan dengan kapasitas jalan yang dapat dilalui kontainer. Selain itu, sistem transportasi yang ramah terhadap pengembangan bisnis budidaya juga diperlukan, dimana alat atau sarana dan prasarana transportasi tersebut terbilang efektif dan efisien dalam mengangkut dan mendistribusikan komoditas yang dihasilkan. Pengembangan infrastruktur hatchery udang, pabrik pengolah rumput laut, pabrik pakan, dan sebagainya diharapkan dapat didorong pengembangannya oleh pemerintah, melalui berbagai program pengembangan.
Revitalisasi dan peningkatan kapasitas dan
kapabilitas balai budidaya yang tersebar di seluruh Indonesia juga penting dilakukan agar supply bahan baku, benih, bibit dan sebagainya terkait dengan pengembangan industri budidaya sangat perlu untuk dilakukan. Ketiga, pengembangan bisnis budidaya juga memerlukan dukungan penelitian dan pengembangan teknologi. Pengembangan teknologi ini diarahkan untuk menghasilkan teknologi tepat guna terutama bagi upaya pengembangan komoditas yang bernilai jual tinggi (high value) dan mempunyai peluang untuk bersaing di pasar domestik maupun internasional. Pengembangan teknologi dalam hal ini tidak saja berkutat dalam pengembangan teknologi budidaya semata, melainkan juga semua faktor terkait dalam hal teknologi pengolahan, teknologi distribusi atau pengangkutan, dan teknologi-teknologi terkait lainnya.
Hal
terpenting lainnya adalah adanya teknologi penanggulangan dan pencegahan penyakit serta peningkatan kualitas produk, baik bagi produk mentah maupun produk olahan agar kualitas produk yang dihasilkan dapat bersaing secara kompetitif di pasar lokal dan internasional. Keempat, pengembangan bisnis budidaya di Indonesia memerlukan pendekatan pengembangan yang dapat mengakomodasi secara integral dan efisien setiap aktivitas produksi, pasca panen, distribusi dan pemasaran, yaitu pendekatan sistem agribisnis berbasis komoditas budidaya. Sesuai dengan sifat dan karakteristik komoditas budidaya yang mempunyai tingkat rentanitas tinggi terhadap varibel waktu, maka pengembangan teknologi produksi, pasca panen, strategi pemasaran, sistem angkutan produk dan sebagainya menjadi bagian yang harus diperhatikan sebagai prasyarat pengembangan bisnis budidaya di Indonesia ini. Sistem agribisnis berbasis budidaya ini akan sangat tergantung pada seberapa besar pemerintah mampu mendorong sektor swasta untuk dapat berpartisipasi dalam 13
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 14
pelaksanaannya.
Aktivitas produksi yang dijalankan para pembudidaya akan sangat
membutuhkan modal dan pembinaan bisnis agar dapat berkembang, mandiri dan berkelanjutan. Dalam hal ini yang dapat dilakukan pemerintah adalah menyiapkan agar kebijakan makro seperti yang digambarkan di muka dapat diimplementasikan. Ketika produksi berjalan, maka produk atau komoditas yang dihasilkan harus dijual dan dalam hal ini jelas ketersediaan pasar sangat diperlukan.
Dalam hal ini, penting
dikembangkan agar pasar utama adalah industri pengolahan dalam negeri.
Diharapkan
melalui stimulans terhadap berkembangnya sektor industri pengolahan dapat mengatasi persoalan pentingnya penyediaan pasar yang membutuhkan bahan mentah untuk diolah. Selanjutnya hasil olahan juga perlu pasar agar produktivitas usaha pengolahannya dapat kontinu, maka yang perlu dilakukan adalah memberikan jaminan bahwa produk olahan yang dihasilkan mempunyai daya saing yang tidak kalah dengan produk olahan dari luar, sehingga kembali lagi pasar lokal dapat diambil sebagai pasar utama penjualan produk olahan dari hasil budidaya ini. Keberadaan pasar yang tidak berada langsung di tempat atau sentra produksi budidaya tentunya memerlukan prasarana dan sarana transportasi yang efektif dan efisien.
Pemerintah juga dapat turut serta mempromosikan komoditas budidaya yang
dihasilkan melalui program-program promosi, seperti himbauan cinta produksi dalam negeri, pameran internasional, dan promosi terkait lainnya. Pada intinya adalah bagaimana produk yang dihasilkan di dalam negeri dapat sejajar dan bersaing atau bahkan melebihi kualitas dan kuantitas produk luar, minimal hal ini terjadi di bumi pertiwi tercinta ini sendiri. 4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan Masyarakat pesisir diharapkan memperoleh manfaat terbesar dalam pembangunan wilayah pesisir. Dalam rangka mendukung pembangunan pesisir maka kebijakan sosial ekonomi perlu direkayasa-ulang (re-engineering), yakni diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat pesisir dapat
dipercepat serta dilakukan secara berkelanjutan.
Berbagai program pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang dikembangkan saat ini, pada intinya harus menjawab dua hal mendasar, yaitu: (1) kebutuhan untuk menjaga dan mempertahankan sumberdaya pesisir yang terancam seperti tanah, air, pemandangan dan nilai-nilai estetika lainnya, serta komponen-komponen alamiah seperti pantai, bukit pasir, daerah estuari, pulau-pulau kecil dan lain sebagainya; dan (2) kebutuhan untuk mengelola
14
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 15
pemanfaatan sumberdaya pesisir secara rasional, mencari resolusi atas konflik pemanfaatan, dan mencapai keseimbangan rasional antara pembangunan dan pelestarian sumberdaya. Pengembangan masyarakat pesisir harus didasarkan pada pengelolaan wilayah pesisir, daerah aliran sungai dan laut yang komperehensif, sehingga menuntut (1) perhatian yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai sumberdaya alam yang unik; (2) optimalisasi pemanfaatan serbaneka dari ekosistem pesisir dan lautan dengan mengitegrasikan segenap informasi ekologis, ekonomis dan sosial; dan (3) peningkatan pendekatan multidisipliner dan koordinasi antar sektoral dalam mengatasi permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan laut yang kompleks. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat memberikan hasil diantaranya, yaitu (1) terpeliharanya kualitas lingkungan pesisir dan lautan beserta sumberdaya di dalamnya, dan (2) membaiknya kondisi sosial ekonomi-budaya masyarakat pesisir. 4.2. Saran Kebijakan pembangunan perlu memberikan keberpihakan kepada masyarakat pesisir agar kelompok masyarakat yang selama ini kurang diperhatikan dapat segera mengejar ketertinggalan dari kelompok masyarakat lainnnya sehingga tujuan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan yang adil bagi segenap bangsa Indonesia dapat diwujudkan. BAHAN BACAAN Adrianto, L. 2005. Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam Perspektif Negara Berkembang. Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Jakarta, Jurnal Hukum Internasional, Vol 2, No. 3, April 2005, hlm 481. Clark, J.R. 1992. Integrated Management of Coastal Zones. FAO Fisheries Technical Paper No 327. Rome. Italy. _______, 1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis/CRC Press, Boca Raton, Florida. Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri di Era Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Kusumastanto, T. 2005. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Pesisir dan Lautan Terpadu (Integrated River Basin, Coastal and Ocean Management): Studi Kasus Pengelolaan Teluk Jakarta. PKSPL-IPB Bogor. Kusumastanto, T. 2006. Ekonomi Kelautan (Oceanomics). PKSPL-IPB. Bogor. Kusumastanto, T. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dalam rangka Pengembangan Ekonomi Masyarakat Secara Lestari. PKSPL IPB. Bogor. Krom, M.D. 1986. An Evaluation of the Concept of Assimilative Capacity as Applied to Marine Waters. Ambio 15 (4). Pernetta , J. C. dan Elder, D. L. 1993. Cross-sectoral; Integrated Coastal Area Planning (CICAP): Guidelines and Principles for Coastal Area Development. IUCN. Switzerland.
15
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 16
Pernetta, J. C., dan J. D. Milliman, 1995. Land-Ocean Interactions in the Coastal Zone: Implementation Plan. The International Geosphere-Biosphere Programme. Stockholm. Sorensen, J. C., dan Mc.Creary, 1990. Coast: Institutional Arrangements for Managing Coastal Resources. University of California, Berkeley. World Commission on Environment and Development (WCED), 1987. Our Common Future. Oxford University Press., New York.
BIODATA Prof.Dr.Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS adalah Guru Besar di bidang Kebijakan Ekonomi Kelautan IPB. Saat ini menjabat sebagai Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika IPB dan Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB (PKSPLIPB). Penulis dilahirkan di Klaten, 07 Mei 1958. S1 dan S2 penulis selesaikan di Institut Pertanian Bogor, sedangkan S3 di bidang Ekonomi Bisnis penulis peroleh dari Auburn University Amerika Serikat. (Email:
[email protected]) Yudi Wahyudin, M.Si. adalah Peneliti Senior pada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 Maret 1974. Gelar kesarjanaan dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 1997, sedangkan gelar master diperoleh dari perguruan tinggi yang sama pada tahun 2005. Saat ini penulis menjabat sebagai Ketua Alumni Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika IPB. (Email:
[email protected]; Webblog: http://komitmenku.wordpress.com).
16