Pembiayaan Low Emission Development Strategies (LEDS) di Indonesia Lamria Noviana R Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia Luki Karunia STIA Lembaga Administrasi Negara, Jakarta Abstract This paper described an attempt to finance Low Emission Development Strategies (LEDS) in Indonesia. LEDS as development strategy has been implemented in many countries in need of the world community and the government's commitment to achieve its objectives. The analysis result showed that the LEDS financing in Indonesia was sourced mainly from government savings and state budget. It was found that there are still many bodies / organizations that have diverse functions and settings overlap making it difficult to measure accurately the results of the financing. In addition, the public savings did not play a major role in the financing LEDS scheme than foreign or international funds although it was difficult to measure. It was recommended to improve the shape of the hierarchy and coordination through the formation of LEDS governing body. In addition, the legislative body needs to participate in the formation, approval and supervision of the rules and the law to coordinate the tracking of the funding in partnership with nongovernmental organizations to improve the LEDS implementation in Indonesia. Keywords: Public Financing, Low Emission Development Strategies, climate change financing Abstrak Makalah ini menggambarkan upaya membiayai Low Emission Development Strategies (LEDS) di Indonesia. LEDS sebagai strategi pembangunan telah dilaksanakan di banyak negara yang membutuhkan komitmen komunitas dunia dan pemerintah untuk mencapai tujuannya. Hasil analisis menunjukan bahwa pembiayaan LEDS di Indonesia bersumber terutama dari tabungan pemerintah dan anggaran negara. Ditemukan bahwa masih banyak badan / lembaga yang memiliki pengaturan fungsi beragam dan tumpang tindih sehingga sulit mengukur hasil pembiayaan itu secara akurat. Selain itu diketahui bahwa tabungan masyarakat tidak berperan besar pada skema pembiayaan LEDS dibandingkan dana luar negeri atau internasional meski sulit diukur. Disarankan agar meningkatkan bentuk hirarki dan koordinasi melalui pembentukan badan pengelola LEDS. Selain itu, Lembaga legislatif perlu berpartisipasi dalam pembentukan, persetujuan, dan pengawasan aturan maupun undang-undang yang tepat untuk mengkoordinasikan pelacakan pembiayaan pembiayaan LEDS bermitra dengan Organisasi Non Pemerintah untuk memperbaiki pelaksanaan LEDS di Indonesia. Kata kunci : Pembiayaan publik, Low Emission Development Strategies, pembiayaan perubahan iklim
1
menengah Indonesia, yaitu, menuju pertumbuhan hijau yang pro masyarakat miskin, mengurangi dampak lingkungan dan menciptakan lapangan kerja untuk mencapai sasaran pertumbuhan jangka panjang tahun 2005 sampai dengan 2025. Hal ini juga diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 meliputi keamanan persediaan pangan, adaptasi perubahan iklim, pengembangan teknologi energi bersih, manajemen lingkungan dan mitigasi bencana alam. Kebijakan tersebut menjadi bagian penting dalam rencana pembangunan jangka menengah kedua (2010-2014) yang mengutamakan pembangunan berkelanjutan dan manajemen sumber daya alam dan lingkungan.
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ekonomi global sering kali diterjemahkan sebagai upaya pertumbuhan industri meski menyampingkan dampak lingkungan seperti emisi karbon yang akhirnya akan mempengaruhi masyarakat juga. Konsep keseimbangan antara dampak industri dan perkembangan ekonomi dan masyarakat sering menjadi bahan utama dari debat kebijakan. Krisis keuangan global yang belum begitu lama terjadi merupakan kesempatan bagi PBB untuk mempromosikan ekonomi hijau sebagai stimulus pemulihan krisis. Untuk itu bertempat di Rio de Janeiro di bulan Juni 2012, Majelis Umum PBB mengadakan konferensi pertumbuhan berkelanjutan atau UN Conference on Sustainable Development (UNCSD) dengan salah satu pokok agenda bertema “a green economy in the context of sustainable development and poverty eradication”(Waas et al, 2011).
Menurut Speth (2010) terdapat urgensi gerakan lingkungan hidup sebagai empat basis ilmu pengetahuanberimbang dengan komponen politik, ekonomi, sosial, dan ekologi. Namun, hal itu membutuhkan political will yang kokohuntuk mewujudkan gagasan ekonomi hijau sehingga aktivitas produksi disesuaikan dengan perhitungan pasokan sumberdaya alam yang tersedia.Selain itu juga harus mempertimbangkan ambang batas bagi pemenuhan kebutuhan generasi saat ini danmemastikan tersedianya pasokan sumberdaya ekonomi, sosial, politik, alam bagi generasi mendatang dengan kualitas yang setara.
Melalui agenda tersebut, kemudian diluncurkan kampanye program Low Emission Development Strategies (LEDS) dimana negara-negara berkembang didorong membangun ekonomi hijau, mengingat kekayaan keanekaragaman hayati mereka (Mann et al, 2009). Hal ini penting diterapkan di negara berkembang, termasuk Indonesia dikarenakan sistem ekonomi hijau membantu penanggulangan masalah ekonomi nasional. Dengan demikian, terdapat tantangan untuk menanggulangi kemiskinan dan mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
LEDS memiliki komponen yang berperan besar dalam ekonomi hijau nasional termasuk di dalamnya yaitu transportasi, efisiensi energi, pertanian, air dan energi terbarukan. Di setiap negara terdapat variasi fokus LEDS tergantung kondisi masing-masing negara tersebut. sebagai kerangka kerja
Hal tersebut telah tercantum dalam rancangan jangka panjang dan
2
rancangan strategis global, LEDS mengangkat pertumbuhan ekonomi ketahanan iklim sementara secara simultan mengurangi emisi gas rumah kaca dalam jangka panjang. Sementara LEDS berfokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca, kerangka kerja LEDS bertujuan memastikan ketahanan dan adaptasi iklim yang masuk dalam rencana nasional jangka pendek dan jangka panjang.
partisipasi dalam LEDS, Negara itu memperoleh pengakuan atas peranannya pada lingkungan ekonomi hijau internasional. Skema LEDS juga memberikan kesempatan besar pada berbagai pihak untuk merumuskan strategi yang terintegrasi dan konsisten atas mitigasi perubahan iklim dan menyediakan pedoman pelaksanaan. Berdasarkan hal tersebut, di tahun 2010 Persetujuan Cancún menyatakan bahwa strategi perkembangan rendah karbon sangat diperlukan bagi perkembangan berkelanjutan (Decision 1/CP. 16, Para. 6). Hal itu menunjukkanbahwa LEDS sangat baik untuk dipraktikkan. Melalui kewajibantercantum dalam Art. 4.1.b United Nations Framework Convention on Climate Change,Negara anggoa PBB harus merumuskan program mitigasi perubahan iklim melalui skema LEDS terutama pihak yang terlibat di Kopenhagen dan Cancún.
Untuk itu dibutuhkan skema yang tept agar mendukung pelaksanaan LEDS terutama yang berfokus pada penanggulangan kemiskinan dan pencapaian pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Secara umum, LEDS dianggap dapat memenuhi tujuan perkembangan ekonomi dan sosial sejalan dengan tujuan pengurangan atau perlambatan emisi gas rumah kaca. Dalam kenyataannya, terdapat variasipenyesuaian terutama di tahap awal yang harus dilakukan berbagai pemerintah dalam penerapan LEDS. Dibutuhkan penyesuaian secara struktural untuk menerapkan sistem ekonomiterutama dari segi pendanaan maupun efek ekonomi langsung. Bahkan, terdapat hambatan kurangnya dukungan dari institusi politik sehingga pada praktiknya sistem ini tidak dapat dilaksanakan secara utuh yang menghambat pencapaian tujuan tersebut. Kendala tersebut berkaitan dengankelayakannya untuk diterapkan di Indonesia.
Persetujuan Kopenhagen merujuk kepada strategi perkembangan rendah emisi (Draft Decision -/CP.15, Para. 2). Secara rinci Persetujuan Cancún menetapkan bahwa negara maju wajib merancang LEDS sedangkan negara berkembang dianjurkanmelakukan hal yang serupa (Decision 1/CP.16, Para.s 45 and 65). Indonesia sebagai salah satu dari negara berkembang yang menerapkan LEDS telah menunjukkan komitmen tinggi kepada dunia Internasional salah satunya melalui pidato yang disampaikan presiden Republik Indonesia terdahulu, Susilo Bambang Yudhoyono pada Copenhagen COP15 yang dikutipsebagai berikut:
Sebagai bagian dari sistem ekonomi global, banyak negara berkembang harus mengelola produktivitas komoditas pertanianmerekamelaluikebijakan dan produksi domestik agar dapat berperan dalam perdagangan global. Dengan
3
“We are devising an energy mix policy that will reduce our emissions by 26% by 2020. With international support, we are confident we can reduce the emissions by as much as 41%”(Yudhoyono, 2009)
investasi LEDS di berbagai negara maju memiliki kemiripan dari segi pola dan karakteristiknya di mana pemerintah memiliki peranan besar. Pengaruh besar pemerintah ini didukungkebijakan fiscal dan danaproduk sekuritas tertentu.
Keseriusan pemerintah Indonesia mengenai ekonomi lingkungan hijau ini juga ditunjukkanketika menjadi tuan rumah kegiatan The 13th Conference of The Parties (COP13) dan The 3rd Meeting of The Parties (MOP13) yang dilaksanakan di Bali pada Desember 2007 dan menghasilkan The Bali Road Map yang dikenal cukup ambisius.
Indonesia memiliki potensi tersendiri mengingat kondisi alam dengan kekayaan hujan tropis. Dengan demikian, tidak heran bila Indonesia merupakan salah satu negara yang berkomitmen untuk aktif berperan dalam penanggulangan emisi karbon melalui LEDS. Komitmen tersebut dapat dilihat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional serta kebijakan pendukung lainnya.
Pandangan pentingnya LEDS mendorong negara-negara maju terus mengejar pencapaian sasaran kendati keterlambatan perkembangan ekonomi. Hal tersebut disebabkan keuntungan yang diyakini dapat dicapai pada masanya. Sebagai contoh melalui Rio+20, ada dua tema Konferensi PBB yang dianggap sama pentingnya bagi negara-negara Eropa Tengah dan Timur yaitu ekonomi hijau dan kerangka institusi bagi perkembangan berkelanjutan. DalamRio+20 negaranegara Eropa Tengah dan Timur telah memiliki sasaran dan fokus masingmasing dengan pengaturan waktu yang telah dipetakan (www.rec.org). Namun bagi negara-negara berkembang, LEDS dianggap memiliki tujuan yang bertentangan dengan kebutuhan dan seringkali terhambat anggaran yang terbatas.
Melalui kebijakan tersebut,Pemerintah melakukan evaluasi terhadap trade-off, kesempatan dan akibatmenjalankan LEDSterutama di sektor energy, pengurangan emisi gas rumah kaca. Dengan cara ini,pemerinth dapatmenjajaki kemungkinan perkembangan ekonomi masa depan dalam cakupan cara yang rendah emisi atau rendah karbon. Untuk itu pemerintah memastikan LEDS ini dapat diterapkan dengan mencarimekanisme pembiayaan yang tepat. Pemerintah Indonesia telah berkomitmenmenurunkan emisi pada tahun 2020 sebesar 26% dengan upaya dalam negeri dan sampai dengan 41% dengan dukungan internasional melaluibenchmarking ke tingkat emisi tertentu tanpa usaha mitigasi (business as usual). Implementasi kegiatan pendukung penerapan LEDS ini tentu
Dalam menjalankan LEDS tentu saja dibutuhkan pembiayaan. Mekanisme pembiayaan LEDS merupakan hal penting untuk menjamin terlaksananya kerangka kerja yang ada untuk mencapaitujuan pelaksanaan. Secara umum mekanisme pembiayaan dan
4
saja melibatkan pembiayaan dan kerangka kebijakan pendukung. Kombinasi kebijakan, program, dan instrumen sungguh penting untuk mendorongstakeholderterlibat aktif dalam usaha nasionalmenurunkan emisi gas rumah kaca.
Pada penelitian Li dan Kai (2012) berjudul “Chongqing Low-Carbon Economic Development Study – Fokus on Fiscal and Taxation Policies”, mereka menganalisa situasi penerapan kebijakan pendukung pendapatan dan pengeluaran keuangan untuk mendukung konservasi energi dan pengembangan energi baru. Penelitiantersebut membandingkan kebijakan fiskal yang mendukung pengembangan ekonomi rendah karbon di negara-negara maju. Terdapat beberapa masalah penerapan di Chongqing yaitu kurangnya aturan pajak khusus terkait ekonomi rendah karbon, kebijakan yang kurang sistematis, ruang lingkup yang terbatas, perhatian yang kurang pada masalah rendah karbon, serta kurangnya kompleksitas interorganisasi. Secara garis besar, penelitian tersebut mengangkat kebijakan fiskal dan pajak untuk mendukung pengembangan ekonomi rendah karbon di Chongqing yang seharusnya berfokus pada pengembangan sistem perpajakan rendah karbon yang terperinci, memperluas ruang lingkup pengurangan pajak tertentu, seperti PPN, PPh Badan, pemberian keringanan PPh pribadi bagi yang menerapkan rendah karbon, menaikkan subsidi keuangan untuk mendukung pemnegmbangan dan penggunaan energi baru, meningkatkan kesadaran publik akan rendah karbon dan memulainya secara umum.
Komitemen pemerintah tersebut membutuhkan kerangka kerja yangdapat diterapkanditahap awal terutama dilihat dari segi pembiayaan. Sebagaimana disebutkan dalam Perpres Nomor 71 Tahun 2011, pasal 19 disebutkan: “Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Presiden ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau sumber pendanaan lainnya yang sah sesuai peraturan perundangundangan”. Hal ini juga sebagimana disebutkan Perpres Nomor 61 Tahun 2011, pasal 11 dimana pendanaan RAN-GRK bersumber dari APBN, APBD, dan sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai peraturan perundangundangan. Berdasarkan uraian diatas dan memandang besarnya komitmen pemerintah dalam menjalankan Low Emission Development Strategies dengan harapan tercapainya pengaruh dan tujuan penting dari sistem ini dimana pembiayaan menjadi perhatian. Terdapat penelitian-penelitian terdahulumengenai LEDS yang dapatdigunakan sebagai referensi.Terkaitpenerapan strategi yang serupa di China,terdapat kemiripan situasi dengan Indonesia yang terbilang baru dalam pengaplikasian sistem rendah emisi maupun rendah karbon.
Penelitian lain oleh Zhang, Du, dan Sheng (2013) berjudul “An International Comparison Study on LowCarbon Investment and Financing Mechanism” menunjukkan perbedaan mekanisme pembiayaan rendah karbon yang terjadi di China dan negara maju yang telah melakukan pengembangan
5
ekonomi rendah karbon terlebih dahulu. Pada saat ini, China telah melaksanakan berbagai investasi dengan pola pembiayaan ekonomi rendah karbon yang didominasi pembiayaan pemerintah dan didukung oleh lembaga kredit, termasuk pendanaan pasar modal dan perdagangan emisi karbon. Melalui pembelajaran dari pengalaman pendanaan dan investasi rendah karbon dari negara-negara maju, China dapat menciptakan permintaan domestik
komoditas karbon dan mendorong persediaan dana rendah karbon dengan berbagai mekanisme regulasi investasi dan pendanaan pemerintah. Selain itu, China telah mengembangkan dan memperbaiki mekanisme pasar karbon untuk mengurangi tekanan modal bagi pengembangan ekonomi rendah karbon China. Secara singkat, keseluruhan Kerangka Pembiayaan LEDS di Indonesia diberikan pada Gambar 1.
Pembiayaan LEDS
Penerimaan DN
Tabungan Masyarakat
Dana Luar Negeri
Penanaman Modal
Perbankan dan LK
Gb.1. Kerangka Pembiayaan LEDS di Indonesia
(berpikir, berperasaan dan bertindak), disimpulkan (disintesa oleh peneliti) dan diverifikasi (dikonsultasikan kembali kepada responden). Dalam penelitian ini akan digambarkan karakteristik pelaku (stakeholders), kegiatan atau kejadiankejadian yang terkait dengan penelitian, dan kondisi atau karakteristik tertentu yang mempengaruhi Penelitian.Desain penelitian secara deskriptif kualitatif digunakan oleh penulis sebagaimana penggunaan lebih tepat dan dapat memberikan hasil maksimal dalam menjelaskan penelitian (Poerwandari, 1998). Melalui jenis penelitian ini, penulis akan menjelaskan mengenai bagaimana pembiayaan untuk tujuan
3. METODOLOGI Sebagaimana tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan pembiayaan LEDS di Indonesia secara sistematis, faktual dan akurat sesuai fakta yang ada, untuk itu penulis lebih menitikberatkan pada jenis penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Usman (2009:130), penelitian deskriptif kualitatif merupakan penelitian yang diuraikan dengan katakata menurut responden, apa adanya sesuai dengan pertanyaan penelitiannya, kemudian dianalisis pula denganpenjelasan yang melatarbelakangi pemikiran responden
6
LEDS telah diterapkan di Indonesia. Untuk itu akan dijelaskan mekanisme pelaksanaan pembiayaan dan dukungan kebijakan yang dibutuhkan untuk memastikan tercapainya tujuan.
Di samping menggunakan data primer, penulis menggunakan data sekunder berupa telaah literatur melalui laporan, jurnal ilmiah, artikel, dan lain-lain. Penelitian kepustakaan tentu saja tidak terlepas dari bahan kajian primer berupa peraturan yang berhubungan dengan LEDS.
Sehubungan penelitian ini bersifat kualitatif, variabel yang digunakan umumnya berupa konsep, sehingga tidak penting untuk dilakukan pengukuran (Sugiono, 2009). Konsep yang menjadi landasan dasar yaitu LEDS dan mekanisme pembiayaannya. Definisi dari konsep yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut:
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penentuan prioritas dan kategori Low Emission Development Strategies (LEDS) di Indonesia bermula dari munculnya komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam negeri pada tahun 2020 sebesar 26%- 41% melalui dukungan internasional dengan perbandingan ke tingkat emisi tanpa usaha mitigasi (business as usual). Untuk mencapainya, pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang akan ditindaklanjuti dengan “Nationally Appropriate Mitigation Actions” (NAMAs) berdasarkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC). NAMAs merupakan suatu kumpulan kebijakan dan kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (Febriyani, 2011).
LEDS mencakup seluruh sektor ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sementara mengurangi emisi dan efek rumah kaca. Penelitian ini menggambarkan strategi tertentu yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan tidak menyampingkan masalah emisi, karbon dan gas rumah kaca. Wawancara langsung dengan: a. praktisi yang berhubungan dengan kebijakan terkait LEDS di Badan Kebijakan Fiskal; b. Dewan Nasional Perubahan Iklim; dan c. Indonesia Joint Crediting Mechanism. Pengumpulan data menggunakan wawancara yang dilakukan dengan beberapa model wawancara yaitu wawancara tidak terstruktur dan terbuka serta wawancara semi struktur yang dijadikan satu melalui email, chatting, dan berhadapan langsung yang dilakukan peneliti guna mendapatkan gambaran umum tentang pembiayaan Low Emission Development Strategies (LEDS) di Indonesia.
Implementasi LEDS diatur pemerintah Indonesia melalui RAN-GRK sebagai acuan bagi masyarakat dan pelaku usaha dalam menurunkan emisi GRK. RANGRK merupakan dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pembangunan nasional. Untuk lebih mengarahkan pelaksanaan LEDS, setiap daerah di
7
Indonesia juga memiliki RAD-GRK. RAD-GRK merupakan bagian dari RAN-GRK, sehingga dalam pencapaian target nasional sebesar 26% dan 41% dari baseline BAU di tahun 2020, pemerintah daerah dapat berkontribusi untuk pencapaian target tersebut sesuai dengan kemampuan dan kewenangan masing-masing daerah (Indra,2006).
Dampak ekonomi dari implementasi LEDS terhadap masing-masing daerah sangat tergantung dari beberapa faktor: a. Apabila aksi mitigasi memberikan investasi positif seperti aksi efisiensi energi, manajemen hutan yang berkelanjutan, dan penggunaan energi terbarukan, maka pembangunan ekonomi daerah akan memiliki dampak positif. b. Prioritas pemilihan aksi mitigasi tidak hanya yang berkontribusi signifikan terhadap penurunan emisi GRK namun juga yang sejalan dengan prioritas pembangunan dan dapat memberikan investasi positif terhadap daerah/provinsi. c. Pembiayaan aksi mitigasi dengan biaya abatement yang rendah maka aksi mitigasi tersebut harus dikategorikan ke dalam aksi mitigasi yang didukung oleh dana APBN/APBD untuk mencapai target nasional 26%. Sedangkan untuk aksi mitigasi dengan biaya abatement yang lebih tinggi dapat diajukan untuk mendapat dukungan internasional.
RAD-GRK menjadi panduan daerah dalam menyusun rencana aksi untuk mencapai target penurunan emisi GRK nasional. Dalam pedoman tersebut berisi penjelasan tentang keterkaitan RANGRK dengan kebijakan pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah, pengorganisasian, langkah teknis dan jadwal penyusunan RAD-GRK, sistematika RAD-GRK, dan matrik kegiatan yang perlu disusun. Selain dengan diterbitkannya Perpres No.61 Tahun 2011 sebagai dasar penerapan LEDS di Indonesia, pemerintah juga mengatur penyelenggaraan inventarisasi gas rumah kaca nasional melalui Perpres No.71 Tahun 2011. Hasil inventarisasi GRK tersebut harus digunakan sebagai input untuk pembentukan baseline BAU Republik Indonesia, 2011).
4.2. Implementasi di lapangan Penyusunan implementasi LEDS di Indonesia dalam bentuk RAN-GRK melibatkan koordinasi beberapa kementerian dan badan di Indonesia. Kondisi negara Indonesia dengan luas dan penyebaran wilayah yang besar menyebabkan diperlukan RAD GRK. Penyusunan RAD GRK ini difasilitasi oleh Menteri Dalam Negeri bersama dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Menteri Lingkungan Hidup sebagaimana diatur melalui Perpres No.61 Tahun 2011.
Dengan menggunakan RAN GRK sebagai landasan dasar LEDS, maka Indonesia memiliki lima pokok perhatian: a. Bidang Berbasis Lahan Untuk sektor berbasis lahan, RAN GRK mengacu pada set kebijakan dan tindakan mitigasi untuk mengurangi emisi GRK dari tiap tipe penggunaan lahan yang berpengaruh terhadap penutupan lahan dan cadangan karbon, sehingga lingkup RAN GRK juga
8
termasuk REDD+. Sebagaimana negara dengan 70% areanya terdiri atas hutan, aksi terkait kehutanan mengambil perhatian besar.
rumah kaca yang meliputi masukan, proses industri, dan sisa hasil industri. Pemerintah Indonesia banyak menggunakan kebijakan sebagai insentif dalam implementasi penurunan emisi GRK oleh sektor industri.
b. Bidang Energi Ketergantungan Indonesia pada energi fosil yang sangat tinggi menyebabkan lambatnya upaya mitigasi sektor energi. Dengan tingginya harga energi di pasar dunia, menyebabkan biaya energi Indonesia semakin tinggi terutama dengan subsidi energi. Mata internasional memberi perhatian yang juga lebih terhadap upaya pemanfaatan energi alternatif.
d. Bidang Transportasi Besarnya jumlah penggunaan kendaran bermotor di Indonesia menyebabkan pemerintah perlu memberi perhatian mengenai emisi yang dihasilkan dari penggunaan kendaraan bermotor. Salah satu proyek andalan LEDS yang telah dijalankan dapat dilihat dari adanya bus Transjakarta maupun proyek monorel yang sedang dijalankan.
c. Bidang Industri Kegiatan industri merupakan salah satu kontributor utama emisi gas
Tabel.1. Emisi Sektor Industri Sektor ManufacturingSIC dalam Kode GHG Emissions 2005 Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Sektor
ISIC Code
Semen industri baja rolling Besi dan industri dasar baja Tenun pabrik kecuali goni dan karung lainnya Pakaian terbuat dari tekstil (garmen) Bubur Persiapan serat tekstil Bahan struktural yang terbuat dari porselen Komponen kendaraan bermotor dan peralatan Pupuk baku crumb rubber Mainan Tekstil Hilir Pabrik pemintalan Cultural Paper Ban Luar dan Ban Dalam Sayuran mentah dan minyak goreng daging Produk dari plastik untuk keperluan teknis / industri kimia dasar, tidak diklasifikasikan di tempat lain Minyak goreng sawit
Sumber: World Bank (2009)
9
26411 27102 27101 12114 18101 21011 17111 26202 34300 24122 25123 36941 17122 17112 21012 25111 15141 25206 24119 15144
Emisi GHG 2005 11.5 5.5 4.6 4.1 3.9 3.8 3.6 2.9 2.5 1.9 1.5 1.4 1.2 1.1 1.1 1.1 1.0 1.0 1.0 0.9
e. Bidang Pengelolaan Limbah
4.3.1.
Emisi GRK yang harus dihitung dan dipertimbangkan dalam pengelolaan limbah diantaranya adalah emisi CO2 (contohnya dari pembakaran sampah) dan emisi CH4 (contohnya proses biologi di lahan landfill)
Pembiayaan yang Bersumber dari Tabungan Pemerintah
Pada tahun 2011, setidaknya sebesar 8,377 triliun rupiah digunakan untuk pembiayaan publik atas perubahan iklim di Indonesia(Indra, 2009). Sebesar 66% pendanaan berasal dari sumber nasional. Anggaran negara yang digunakan yaitu sebesar 5,526 triliun rupiah. Sedangkan sumber pembiayaan yang berasal dari pendanaan perubahan iklim nasional sebesar 21 miliar rupiah. Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa narasumber, pembiayaan sebagian besar memang diatur oleh pemerintah. Namun, masih terdapat ketumpang tindihan dari badan/lembaga koordinasi yang dibentuk, sehingga sulit melakukan pelacakan detail pembiayaan (Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustafadidjaja, 1986). Salah satu bentuk komitmen pemerintah dalam memastikan berjalannya LEDS ini juga dapat dilihat dari dibentuknya dan berjalannya Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).
Secara keseluruhan, bidang-bidang yang tercantum dalam RAN GRK sebagai landasan dasar LEDS diberikan pada Tabel.1 diatas. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui gambaran besar situasi pembiayaan LEDS yang mana bersifat umum. Besaran nominal yang dianggap cukup valid untuk dijadikan bahan analisis data hanyalah yang berasal dari tahun 2011 dikarenakan sampai saat penelitian ini dilakukan, berdasarkan sumber yang didapatkan, tahun 2011 merupakan tahun terkini dengan data belanja publik yang relatif lengkap. Data angka yang digunakan tersebut adalah sesuai laporan Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Climate Policy Initiative. Data sumber pembiayaan yang dianalisa oleh penulis yaitu yang berasal dari tabungan pemerintah, tabungan masyarakat, dan dana luar negeri.
Dari pembiayaan tabungan pemerintah, tidak ada sumber pembiayaan yang dikhususkan untuk LEDS. Selain itu berdasarkan informasi disampaikan narasumber, pembiayaan semacam ini masih bergantung pada pemerintah walau seharusnya tidak demikian. Sebetulnya ada scheme yang bisa memberikan insentif kepada swasta untuk memberikan kontribusi juga.
LEDS sebagai strategi pembangunan yang melibatkan pembiayaan publik atas perubahan iklim berdasarkan gambar di atas menunjukkan sumber yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, kerjasama pembangunan internasional dan pendanaan.
Dari hasil wawancara dan data rujukan, diketahui bahwa anggaran negara dari pemerintah menjadi sumber pembiayaan terbesar dalam LEDS yaitu sekitar 66% dari alur pembiayaan perubahan iklim di Indonesia (Suparmoko, 2013). Sebagaimana hal tersebut menunjukkan dominasi pemerintah dalam pembiayaan
4.3. Sumber pembiayaan LEDS Terdapat tiga sumber pembiayaan LEDS di Indonesia sesuai teori sumber pembiayaan pembangunan yang dijelaskan dalam tiga kelompok di bawah ini.
10
LEDS, di samping itu juga memberikan gambaran pola pembiayaan LEDS di Indonesia yang utamanya diatur oleh pemerintah. Pola utama dimana pembiayaan cenderung diatur oleh pemerintah turut terjadi di investasi dan pembiayaan pembangunan low carbon di China secara umum, maupun di daerah percontohan rendah karbon di kota Chongqing sebagaimana digambarkan pada penelitian sebelumnya.
Menurut salah satu narasumber, green credit atau green banking di Indonesia sendiri belum ada kejelasan maupun keistimewaannya untuk menarik berbagai sektor untuk berpartisipasi dalam LEDS. Selain itu sumber pembiayaan ini merupakan satu potensi pendanaan yang besar, tapi tidak banyak diperhatikan (Laily, Nur dan Pristyadi, Ec. Budiyono,2013). Berdasarkan keterbatasan data dimana tidak terdapat data angka valid atas pembiayaan LEDS yang bersumber dari tabungan masyarakat sulit untuk memberikan gambaran pembiayaan dengan sumber ini. Namun berdasarkan hasil wawancara didapatkan opini dari para ahli bahwa green credit atau green banking belum menunjukkan keistimewaan yang dapat mendorong berbagai sektor terlibat dalam LEDS yang artinya belum ada signifikansi jelas atas pembiayaan LEDS di Indonesia yang bersumber dari tabungan masyarakat, baik itu dari bank maupun lembaga keuangan lainnya yang juga dikaitkan dengan penanaman modal.
Pembiayaan ini dilakukan pemerintah dengan menyediakan dukungan finansial secara langsung maupun tidak langsung. Pembiayaan langsung ditunjukkan dari penggunaan penerimaan fiskal yang tergambar dari data penelitian, sedangkan pembiayaan tidak langsung dilakukan pemerintah dengan cara mengubah cost yield curve perusahaan rendah emisi melalui pajak dan subsidi, yang tidak dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini.
4.3.2.
Pembiayaan yang Bersumber dari Tabungan Masyarakat
Hal tersebut berbeda dengan yang terjadi di negara maju, di mana pada penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa pemerintah di negara maju mendorong bank dan perusahaan pembiayaan lainnya untuk menyediakan green credit terutama memberikan pinjaman dengan bunga rendah dan pinjaman tanpa jaminan untuk beberapa proyek penting. Dalam memenuhi tanggung jawab dan tanggapan sosial, pemerintah, bank, dan lembaga keuangan lainnya telah memulai mengangkat kegiatan pembiayaan ramah lingkungan, mengkombinasikan pinjaman dan aset relevan. Saat ini ada lebih dari 60 bank komersial
Berdasarkan penelitian tidak ditemukan data nominal valid mengenai jumlah pembiayaan yang bersumber dari tabungan masyarakat terutama padaProgram Green Banking yang semula menjadi kewenangan Bank Indonesia. Pada bulan Mei 2014 dilakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) tentang peningkatan peran lembaga jasa keuangan dalam perlindungan dan pengelolaan ling-kungan hidup melalui pengembangan jasa keuangan berkelanjutan oleh Menteri Lingkungan, Balthasar Kambuaya dan Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad.
11
internasional besar Equator Principles.
4.3.3.
yang
mengikuti
maupun kewajiban untuk melaporkan hal tersebut. Dari hasil analisis data pembiayaan LEDS yang bersumber dari dana luar negeri memiliki signifikansi penting setelah pembiayaan yang bersumber dari pemerintah. Hal ini didukung pula dari hasil wawancara narasumber. Sedangkan bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, umumnya pembiayaan yang memegang peranan selain dari tabungan pemerintah adalah pembiayaan dari pasar atau perdagangan emisi. Di Indonesia sendiri pembiayaan dari pasar emisi atau pasar karbon sudah berjalan, namun saat dilakukan penelitian belum bisa didapatkan data mengenai hal ini, dikarenakan belum ada aturan yang mengatur mengenai pelaporan oleh swasta terkait perdagangan emisi atau karbon yang dilakukan.
Pembiayaan yang Bersumber dari Dana Luar Negeri
Berdasarkan data susunan pembiayaan publik atas perubahan iklim yang terjadi di tahun 2011, sumber pembiayaan internasional berkontribusi sebesar 34%. Pembiayaan yang bersumber dari dana luar negeri ini terdiri dari bantuan internasional sebesar 1,327 triliun rupiah, bantuan konsesional sebesar 1,024 triliun rupiah, anggaran belanja dari pinjaman internasional sebesar 464 miliar rupiah, anggaran belanja dari bantuan internasional sebesar 15 miliar rupiah, lain-lain 12 miliar rupiah, dan ekuitas 9 miliar rupiah (Sonny, 2010). Menurut narasumber, dana luar negeri memegang peranan yang cukup signifikan, terutama mengingat komitmen dunia internasional, dan perhatian akan alam indonesia yang kaya seperti hutannya, menjadi salah satu faktor signifikansi dana luar negeri untuk pembiayaan LEDS di Indonesia.
Meskipun LEDS merupakan suatu strategi pembangunan, berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa pembiayaannya akan sulit bila dibagi berdasarkan sumbernya. Sebagaimana sifatnya yang membaur dalam pembiayaan misalnya pembagian pembiayaan antara pemerintah dan non pemerintah akan sulit ditelusuri. LEDS selain strategi pembangunan juga menjadi komitmen dunia internasional, sehingga setiap stackholder dalam aktivitas perekonomian mulai dilibatkan, salah satunya adalah perusahaan atau pasar. Dalam hal ini pengkategorian pembiayaan dari sektor swasta dan pasar ke dalam pembiayaan luar negeri, karena pada umumnya memang saat ini dana yang diterima perusahaan berasal dari kerjasama dengan luar negeri, baik itu pemerintah maupun badan atau lembaga.
Dalam pembiayaan LEDS sesungguhnya ada yang disebut sebagai pasar karbon. Menurut narasumber sesungguhnya pasar karbon ini juga memiliki signifikansi tersendiri dalam pembiayaan LEDS. Sayangnya sampai saat penelitian dilakukan belum ada data valid yang berisi keseluruhan pembiayaan LEDS di Indonesia yang berasal dari pasar karbon maupun sektor swasta. Hal ini dikarenakan belum adanya pengawasan terkait hal tersebut. Selain itu dari sektor swasta yang melakukan transaksi di pasar karbon juga tidak memiliki kepentingan
12
Di dalam LEDS sendiri, seharusnya pemerintah menjadi pendorong dimana peranan pemerintah hanya menjadi koordinator maupun pengatur, akan sulit apabila kemudian membawa konsep pembiayaan itu sendiri. 5.
Internasional dan perusahaan juga sangat berperan dalam pembiayaan LEDS ini. DAFTAR PUSTAKA Bastian, Indra. (2006). Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan sehubungan dengan pembiayaan LEDS di Indonesia, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :
Bastian, Indra. (2009). Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Edisi ke-1. Cetakan ke-2. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Febriyani, N. (2011). Kebijakan luar negeri cina dalam The United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) pada konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009.
a. Pembiayaan LEDS di Indonesia bila dilihat dari skala nasional memang banyak diatur oleh pemerintah dengan bersumber dari tabungan pemerintah atau anggaran negara. Hanya saja dengan banyaknya badan / lembaga yang kurang jelas pengaturan fungsinya, banyak yang bersifat tumpang tindih sehingga sulit untuk mengukur kinerja pembiayaan tersebut secara akurat. b. Pembiayaan LEDS di Indonesia yang bersumber dari tabungan masyarakat tidak begitu besar peranannya walaupun sudah diciptakan produk pembiayaannya. c. Pembiayaan LEDS di Indonesia yang bersumber dari dana luar negeri atau internasional cukup berperan, walau untuk beberapa hal sehubungan dengan pasar, sulit untuk melakukan penakaran.
Laily, Nur dan Pristyadi, Ec. Budiyono. (2013). Teori Ekonomi. Edisi ke-1. Cetakan 1. Yogyakarta: Graha Ilmu. Li,
Linlin dan Kai, Wu. (2012). Chongqing Low-Carbon Economic Development Study – Focus on Fiscal and Taxation Policies. Advances in Asian Social Science. Vol. 3. 3. 2012.
Mann, T., & Surya, M. T. (2009). REDD wrong path: Pathetic ecobusiness. R. Syumanda (Ed.). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, support by Nature and Poverty Allience.
Kesimpulan secara keseluruhan menunjukan hasil pengujian dari ke tiga sumber di atas bahwa sebagaimana sumber pembiayaan pembangunan, LEDS juga dalam pembiayaannya bersumber dari tabungan pemerintah, tabungan masyarakat, dan dana luar negeri. Munculnya pasar karbon yang bermula dari inisiatif pemerintah, dunia
Ocampo, Jose Antonio. (2005). The Quest for Dynamic Efficiency: Structural Dynamics and Economic Growth in Developing Countries. In Beyond Reforms: Structural Dynamics and Macroeconomic Vulnerability. Palo Alto: Stanford
13
University Press, World Bank.
ECLAC
Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan Kualitatif Penelitian Psikologi. LPSP3 FP-UI.
and
Sugiono. (2009). Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfa Beta.
(1998). dalam Jakarta:
Sumarsono, Sonny. (2010). Manajemen Keuangan Pemerintahan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Republik Indonesia. (2007) UndangUndang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Sekretariat Negara. Jakarta.
Suparmoko, M. (2013). Keuangan Negara. Edisi ke-6. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustafadidjaja. (1986). Teori Strategi dan Pembangunan Nasional. Jakarta: Gunung Agung.
Republik Indonesia. (2010). Peraturan Pemerintah R.I. No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.
Usman dan Akbar. (2009). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Waas, T., Hugé, J., Verbruggen, A., & Wright, T. (2011). Sustainable development: A bird’s eye view. Sustainability, 3(10), 1637-1661.
Republik Indonesia. (2011). Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.
YUDHOYONO, H. D. S. B. (2009). Intervention by HE Dr. Susilo Bambang Yudhoyono President of the Republic of Indonesia on climate change at the G-20 Leaders Summit.
Republik Indonesia. (2011). Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.
Zhang, Aiwei, Juan Du, dan Zhijun Sheng. An International Comparison Study on Low Carbon Investment and Financing Mechanism. Journal of Business Administration Research. Vol. 2. 2. 2013.
Speth, James Gustave. (2010). A New American Environmentalism and The New Economy. Makalah disajikan dalam Teenth Annual John H. Chafee Memorial Lecture on Science and the Environment, National Council for Science and the Environment, Washington, DC 21 Januari
14