PEMBELAJARAN SASTRA MENGEMBANGKAN KARAKTER ANAK BANGSA
Tri Mulyono*)
Pendahuluan Dikemukan Steven R Covey (1997) bahwa sukses seseorang bukan ditentukan oleh kepribadian, melainkan oleh karakter. Kepribadian merupakan berbagai aspek yang namtak pada diri seseorang, seperti penampilan yang rapi, wajah cantik, ramah, selalu berdasi, sepatu mengkilap, rambut selalu licin, berbau wangi, dan sebagainya. Sedangkan karakter merupakan sifat tersembunyi pada diri seseorang. Kemauan bekerja keras adalah karakter. Kejujuran adalah karakter. Rendah hati adalah karakter. Kesederhanaan adalah karakter. Sifat pantang menyerh, ulet, dan tekun adalah karakter. Penanaman aspek karakter pada diri seseorang dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Jalan pendidikan dimaksud antara lain adalah melalui pembelajaran astra. Khususnya sastra anak. Karena karakter hanya bisa dibentuk pada diri anak. Untuk orang dewasa tidak bisa. Makalah pendek ini akan membicarakan hal itu, yaitu persoalan penanaman aspek karakter pada diri anak melalui pembelajaran sastra anak. Oleh karena itu, beberapa persoalan yang akan dibicarakan dalam makalah ini adalah: fungsi sastra, sastra anak, peran guru dalam pembelajaran, peran perpustakaan, peran pengarang atau penyair, dan hasil penelitian MC Slailen.
Fungsi Sastra Seperti dikutip Wellek dan Austin Warren (1989) dalam bukunya Teori Kesusastraan (terjemahan Budianta) Horace mengatakan bahwa fungsi sastra adalah dulce dan utile. Dulce itu artinya ‘indah’, sedangkan utile artinya ‘berguna’. Karena sastra indah, maka karya sastra dapat menghibur pembacanya. Dan karena dapat menghibur pembacanya itulah sastra senantiasa diburu, dibaca, dan dikejar-kejar pembacanya. Keindahan dalam karya sastra adalah keindahan yang imajinatif, yaitu keindahan yang mempunyai dunianya sendiri, yaitu dunia rekaan. Mengapa karya sastra dikatakan berguna? Karena karya sastra di dalamnya terdapat nilainilai. Nilai-nilai tersebut seperti nilai pendidikan, nilai agama, nilai filsafat, nilai social, nilai
politik, dan berbagai nilai yang lainnya. Nilai pendidikan, misalnua nilai pendidikan karakter. Pendidikan karakter itu misalnya disampaikan dalam bentuk tokoh utama. Misalnya tokoh utamanya berkarakter: tekun, ulet, sabar, suka menolong, dan sebagainya. jika karya sastra seperti ini dibaca oleh anak-anak, maka anak-anak itu akan mencontoh, karena sudah merupakan sifat anak-anak itu yang suka meniru. Berkaitan dengan nilai karakter ini, maka aspek perencanaan berkaitan dengan karya sastra akan menjadi penting. Sejak awal, pengarang atau penyair harus sudah memiliki kesadaran bahwa karya sastra yang akan ditulisnya harus mengandung nilai membangun karakter anak bangsa. Dengan seperti ini, maka peran pengarang dan penyair akan menjadi penting.
Sastra Anak Dalam forum perkuliahan S.3 Unnes Sabtu 20 Oktober 2012, Nurgiantoro mengatakan bahwa jenis sastra yang dapat membangun karakter anak bangsa adalah sastra anak. Karena hanya anak-anaklah yang karakternya dapat berubah atau dibentuk. Orang dewasa, menurut Nurgiantoro sangat sulit untuk diubah karakternya. Lalu apa yang dimaksud dengan sastra anak? Sastra anak adalah sastra untuk kalangan anak. Persoalan yang dibahas adalah persoalan anak. Cara membicarakannya menurut sudut pandang anak. Dunia yang dibicarakan juga dunia anak. Namun demikian, sastra anak ditulis bisa oleh orang tua, bisa juga oleh anak-anak. Pembacanya pun bisa orang tua, bisa pula anak-anak. Hunt (1995: 61) menyatakan bahwa sastra anak adalah buku bacaan yang dibaca oleh anak dan yang secara khusus dan cocok untuk sekelompok pembaca anak-anak. Dengan kata lain, sastra anak adalah karya sastra yang pembaca utamanya adalah anak-anak. Sarumpaet (1976: 23) membuat tumusan mengenai sastra anak sebagai berikut. Pertama, sastra anak itu bersifat tradisional. Artinya bahwa bacaan anak-anak ini merupakan bacaan yang tumbuh dari lapisan masyarakat sejak zaman dahulu dengan bentuknya seperti: mitologi, fable, dongeng, legenda, dan kisah-kisah kepahlawanan yang romantis. Kedua, sastra anak itu bersifat idealistis. Sastra anak itu pada umumnya bersifat patut dan universal. Artinya adalah bahwa sastra anak itu berasal dari persoalan-persoalan terseleksi yang diambil dari kisah-kisah masa lalu oleh pengarang masa kini.
Ketiga, sastra anak itu bersifat popular. Artinya adalah bahwa sastra anak itu lebih mengutamakan aspek hiburan dan menyenangkan daripada aspek yang lain. Mengapa? Karena usia anak-anak adalah masa yang harus lebih banyak melakukan kegiatan yang menyenangkan, seperti bermain. Keempat, sastra anak bersifat teoretis. Sastra anak adalah karya sastra yang dikonsumsi anak-anak, namu demikian dalam penikmatannya dalam bimbingan orang tua (dewasa), dan ditulis oleh orang dewasa. Dibandingkan dengan bacaan orang dewasa, sastra anak menurut Sarumpaet (1976: 24) memiliki tiga ciri. Ketiga cirri tersebut adalah adanya sejumlah pantangan, langsung, dan terapan. Sastra anak memiliki sejumlah pantangan. Artinya adalah bahwa karena pembacanya anakanak dari sejumlah usia, maka hanya hal-hal tertentu yang dapat diceritakan dalam sastra anak. Unsure pantangan ini, terutama yang berkaitan dengan tema dan amanatnya. Yang dimaksuk dengan tema adalah ide, gagasan, atau persoalan yang diungkapkan dalam cerita. Dalam hal ini penulis benar-benar harus mempertimbangkan tema apa yang dapat dan pantas dikonsumsi oleh anak-anak. Misalnya tema-tema yang dapat membangkitkan motivasi berprestasi. Sastra atau cerita anak pada umumnya ditulis dengan alur yang datar. Ini sesuai dengan pola piker anak-anak yang masih polos dan lugu. Tidak cocok apabila ceritanya berbelitbelitnatau ngalor-ngidul. Sastra anak pada umumnya ditulis dengan tujuan untuk pendidikan, yaitu untuk menanamkan nilai-nilai tertentu pada diri anak. Misalnya nilai perjuangan, nilai kejujuran, nilai keagamaan, dan sebaginya. Berdasarkan hal itu, sastra anak memang memiliki manfaat yang banyak sekali. Dalam bukunya yang berjudul Pengajaran Sastra Teknik Mengajar Sastra Anak Berbasis Aktifitas (2010: 10-11) Ampera menyebutkan delapan fungsi sastra anak sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Memberikan kesenangan dan kenikmatan pada anak. Mengembangkan imajinasi pada diri anak sebagai pembacanya. Memberikan pengalaman yang luar biasa. M engembangkan intelektualitasnya. Meningkatkan kemampuan berbahasa anak. Meningkatkan pemahaman kehidupan social. Meningkatkan pemahaman nilai keindahan. Memperkenalkan nilai-nilai bidaya.
Peran Guru Peran guru dalam pembelajaran adalah sebagai perencana, pelaksana, dan pengevaluasi hasil pembelajaran. Peran ini tidak ringan keciali guru itu menjalaninya dengan sungguh-sungguh dan akhlas. Artinya professional. Dalam perencanaan, guru harus dapat membuat sekenario pembelajaran yang tepat sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. Guru harus dapat memilih bahan yang sesuai. Guru harus dapat menentukan metode dan teknik dengan tepat. Bahan yang dipilih tentu saja bahan yang sesuai dengan usia anak dan kompetensi yang diharapkan tercapai. Metode dan teknik yang dipilih diharapkan metode dan teknik yang dapat menumbuhkan daya apresiasi anak. Sebagai pembelajar. Agar kompetensi yang diharapkan dapat tercapai, maka pelaksanaan pembelajaran harus bermakna dan menyenangkan. Bermakna, misalnya dapat menumbuhkan kreativitas dan produktivitas anak. Menyenangkan, artinya pembelajaran dapat belajar dengan riang tetapi tetap serius. Karena pembelajaran yang efentif adalah pembelajaran yang berlangsung dengan menyenangkan itu. Salah satu fungsi evaluasi adalah untuk mengukur ketercapaian kompetensi yang diharapkan. Oleh karena itu, alat evaluasi yang dipilih hendaknya sesuai dengan kompetensi yang akan diukur.
Peran Perpustakaan Pembelajaran sastra membutuhkan perpustakaan. Karena perpustakaan menyediakan karyakarya sastra yang harus dibaca oleh pembelajar. Pada umumnya, perpustakaan sekolah kita masih lemah. Disamping ketersediaan buku-bukunya yang belum mencukupi, pelayanannya masih memprihatinkan. Oleh karena itu, jika pembangunan karakter siswa melalui pembelajaran sastra mau berhasil, maka perpustakaan-perpustakaan dibelahi kembali. Tidak hanya perpustakaan sekolah, tetapi juga perpustakaan desa, dan perpustakaan rumah. Membangun karakter anak bangsa tidak bisa sendirian, tetapi harus secara berjamaah.
Peran Pengarang Pengarang atau penyair dalam hal ini mempunyai fungsi yang tidak bisa dipandang enteng. Pengarang dan penyair bertugas menulis karya sastra yang benar-benar dapat membangun karakter, khusunya untuk anak bangsa. Pengarang menulus fiksi, sedangkan penyair menulis
puisi. Maka itu, jika saat ini pengarang dan penyair menulis atas kemauan sendiri, maka sudah waktunya mereka menulis karena “pesanan”. Yang dimaksud dengan “pesanan” di sini adalah menulis tema-tema yang sekiranya dapat membangkitkan motivasi berprestasi siswa. Oleh karena itu, mau tidak mau pemerintah harus turut campur memikirkan masa depan kehidupan pengarang dan penyair. Maksudnya adalah bahwa sudah saatnya pengarang diberlakukan seperti seorang guru. Mendapatkan gaji dari pemerintah. Mendapatka kesejahteraan dari pemerintah karena tugas mereka yang tidak ringan. Tentu saja, perlu ada aturan khusus yang berkaitan dengan pembinaan karir pengarang dan penyair itu. Seperti dikutip Noor (2011), dalam bukunya yang berjudul Membumikan Alquran Quraish Shihab menyebutkan dua fungsi sastrawan sebagaimana fungsi intelektual muslim. Pertama, sastrawan dituntut untuk secara terus menerus mempelajari kitab suci dalam rangka mengamalkan dan menjabarkan nilai-nilai. Tujuannya tidak lain adalah agar dapat ditarik sebuah petunjuk yang dapat diajarkan atau disumbangkan kepada anak-anak sebagai pembaca sastra anak itu. Kedua, sastrawan untuk mengamati ayat-ayat Tuhan di dunia ini. Baik ayat-ayat Tuhan yang ada pada diri manusia maupun yang tergelar dalam alam semesta ini. Kasus tawuran pelajar misalnya. Kasus bencana alam seperti gunung meletus, banjir bandang, lumpur panas, angin rebut, korupsi, terorisme, dan lain sebagainya. itu semua sebenarnya merupakan salah satu bentuk ayat-ayat Tuhan yang harus kita maknai.
Penemuan David McClelland David McClelland adalah seorang psikolog social yang tertarik pada masalah-masalah pembangunan. Melalui sebuah penelitiannya terhadap cerita anak dia sampai pada sebuah simpulan bahwa cerita anak itu tidak hanya menitipkan pesan, tetapi lebih dari itu. Cerita anak itu menentukan masa depan sebuah bangsa. Dalam penelitiannya dia mempersoalkan mengapa ada bangsa yang lebih maju, sementara itu bangsa lain tetap tertinggal. Penelitiannya itu, dilakukan terhadap dongeng dan cerita anak yang ada di Negara Inggris pada sekitar abad ke-16. Di dalam artikelnya yang berjudul “The Need for Achievement” McClelland mengungkapkan bahwa bangsa maju, khususnya Inggris yang cerita-cerita anaknya diteliti ternyata sastra anaknya mengandung virus nilai-nilai motivasi berprestasi. Khususnya cerita-cerita anak yang telah ditulis para sastrawan pada dua puluh lima yang lalu.
Oleh karena itu, juka sebuah bangsa ingin maju, maka sastra anaknya harus direncanakan sehingga di dalamnya mengandung nilai-nilai motivasi berprestasi. Nilai-nilai yang kemudian disebutnya dengan n-ACH itu, antara lain berupa: optimism yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan tidak mudah menyerah. (Marahimin dalam Titi WS dkk, 2003: 100).
Simpulan Berdasarkan paparan di atas, maka sebagai simpulannya adalah bahwa pembelajaran sastra dapat mengembangkan karakter anak bangsa. Akan tetapi, pembelajarannya itu harus dilakukan secara berjamaah atau terpadu. Artinya, berbelajaran itu harus melubatkan banyak unsur. Selain guru, pembelajaran sastra untuk mengembangkan karakter anak bangsa harus pula melibatkan perpustakaan dan para sastrawan.
*) Tri Mulyono dosen FKIP Universitas Pancasakti Tegal, Mahasiswa Semester 3 Pendidikan Ilmu Bahasa Unnes.
DAFTAR PUSTAKA
Ampera, Taufik. 2010. Pengajaran Sastra Teknik Mengajar Sastra Anak Berbasis Aktivitas. Bandung: Widya Pajajaran. Covey, Stephen R. 1997. The 7 Habits of Highly Effective People. Terjemahan Budiyanto, Jakarta: Bina Aksara. Hunt, Peter. 1995. Criticism, Theory and Children’s Literature. Cambridge. Massachusetts: Blackwell. Marahimin, Ismail. 2003. “Pembekalan, pada Bengkel Penulis Cerita Anak” dalam Teknik Menulis Cerita Anak karya Titi WS dkk. Jogyakarta: Pindbooks. Noor, Rohinah M. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra Solusi Pendidikan Moral yang Efektif. Jogjayarta: Ar-Ruzz Media. Wallek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. (terjemahan Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.