pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing akan berjalan dengan efektif jika pembelajar diberi banyak kesempatan untuk mengembangkan dan mengasah otonominya.
Pembelajaran Kemahirwacanaan (Literacy Learning) untuk Pengembangan Kemandirian Belajar (Learning Autonomy)
Hadirin yang saya hormati, Dalam konteks masyarakat Indonesia, kemahirwacanaan (literacy) dimaknai sebagai kemampuan membaca dan menulis kalimat sederhana dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin: literacy is defined as ability to read and write simple sentences of Indonesian language in Latin scripts (Jalal & Sardjunani, 2005). Dengan definisi yang seperti itu, maka tingkat kemahirwacanaan masyarakat Indonesia yang berusia 15 – 24 tahun dilaporkan meningkat dari 96,2% pada tahun 1990 menjadi 98,7% pada tahun 2002 (Jalal & Sardjunani, 2005). Upaya pemerintah meningkatkan kemahirwacanaan belumlah tuntas, karena jumlah warga Indonesia yang belum bisa membaca dan menulis masih sekitar 4% (Jawa Pos, 2010). Kendala dalam upaya pemerintah ini sering disebabkan oleh kaburnya akurasi data dari berbagai wilayah. Dengan definisi yang seperti itu, kemahirwacanaan masyarakat Indonesia sering dianggap belum memuaskan oleh banyak pihak. Kenaikan jumlah orang Indonesia yang melek huruf tidak serta merta diikuti dengan kenaikan minat membaca, bahkan menulis. Dengan kemampuan yang minimal dalam membaca dan menulis, serta diperparah oleh rendahnya usaha menjaga kemahirwacanaannya, menurut Jalal dan Sardjunani (2005), banyak masyarakat yang baru melek huruf bisa menjadi buta huruf kembali. Oleh karena itu, kemampuan kemahirwacanaan perlu terus menerus diupayakan melalui penumbuhan dan pengembangan kesadaran, motivasi, keterampilan, dan kegemaran berliterasi, dan ketika masyarakat masih belum memiliki budaya mengondisikan lingkungan bagi tumbuhkembangnya perilaku berliterasi, maka tanggung jawab tersebut berada pada lembaga pendidikan. Dengan perkembangan keilmuan dan keteknologian sesuai dengan tuntutan globalisasi seperti dewasa ini, definisi literasi menjadi tidak cukup sesederhana itu. Pada era informasi
Prof. Hj. Utami Widiati, M.A., Ph.D : Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ilmu Teaching English as a Foreign Language pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), pada tanggal 16 Desember 2010, di Aula Utama, Gd. A3 Lt. II UM, Jalan Semarang 5 Malang
11 | P a g e
seperti ini, setiap anggota masyarakat dituntut untuk memiliki kompetensi literasi yang bermakna kemampuan berkomunikasi melalui bahasa tulis. Terbentuknya kesadaran, motivasi, keterampilan, dan kegemaran berliterasi di masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Dalam konteks seperti ini, pembelajaran literasi (literacy learning) di lembaga pendidikan menunjukkan peranannya yang amat penting. Literasi adalah perpaduan antara kemampuan membaca, berpikir, dan menulis (Eanes, 1997). Dengan kata lain, membaca dan menulis merupakan inti literasi; pembelajaran membaca-menulis terpadu dapat dikategorikan sebagai pembelajaran literasi. Membaca dan menulis merupakan aktivitas membangun makna (Butler & Turbill, 1984). Dengan memanfaatkan latar belakang pengetahuan dan pengalamannya, pembaca membangun makna dari sebuah teks, sedangkan penulis membangun makna ke dalam sebuah teks. Oleh karena itu, pembelajaran yang dapat memadukan kegiatan membaca dan menulis sangat bermanfaat dalam mengembangkan keterampilan menulis siswa. Dalam hal ini Brown (2001:347) menyatakan bahwa banyak pembelajar yang memiliki keterampilan menulis yang baik karena kemampuannya dalam mengamati tulisan orang lain. Dengan kata lain, mereka mengembangkan keterampilan menulis melalui kegiatan mengamati bahasa yang tertulis, yaitu melalui kegiatan membaca. Lebih jauh Brown (2001) menyatakan bahwa melalui kegiatan membaca dan mempelajari berbagai jenis teks, pembelajar berkesempatan memperoleh pajanan tentang cara menulis, sekaligus memperdalam sebuah topik yang bisa dijadikan bahan untuk menulis. Kesamaan kegiatan membaca dan menulis dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel tersebut menggambarkan secara rinci kegiatan yang dilakukan oleh pembaca dan penulis selama proses membaca dan menulis pada tahapan pra, saat, dan pasca membaca atau menulis. Tabel 1. Kegiatan Pembaca dan Penulis dalam Proses Membaca dan Menulis (Butler & Turbill, 1984:11-14) Tahapan Kegiatan Pembaca Kegiatan Penulis Membaca/Menulis Pra -memanfaatkan pengetahuan -memanfaatkan pengetahuan tentang topik (semantic tentang topik (semantic knowledge) knowledge) -memanfaatkan pengetahuan -memanfaatkan pengetahuan tentang kebahasaan (syntactic tentang kebahasaan (syntactic knowledge) knowledge)
Prof. Hj. Utami Widiati, M.A., Ph.D : Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ilmu Teaching English as a Foreign Language pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), pada tanggal 16 Desember 2010, di Aula Utama, Gd. A3 Lt. II UM, Jalan Semarang 5 Malang
12 | P a g e
-memanfaatkan pengetahuan tentang sistem simbol (graphophonic knowledge) -membangun harapan berdasarkan: pengalaman membaca, organisasi teks, tujuan membaca, dan pembaca Saat
Pasca
-membaca, membaca ulang, dan memanfaatkan bantuan yang diberikan penulis -merespon -ingin membaca lagi
-memanfaatkan pengetahuan tentang sistem simbol (graphophonic knowledge) -membangun harapan berdasarkan: pengalaman menulis, pengalaman membaca, tujuan menulis, dan pembaca dari tulisan yang dihasilkan -menulis, menulis ulang, dan mempersiapkan untuk pembaca -mendapatkan respon -ingin menulis lagi
Tabel 1 merupakan sebuah model yang menunjukkan persamaan antara proses membaca dan proses menulis. Pemahaman seperti yang tertuang dalam tabel tersebut memberikan banyak implikasi kepada pengajar dalam melaksanakan pembelajaran membaca dan menulis di kelas. Menulis itu sendiri, dalam konsep Vygotsky, merupakan sarana untuk berpikir dan belajar. Seperti halnya membaca, menulis merupakan aktivitas membangun makna (Butler & Turbill, 1984). Dengan cara menuangkan pikiran ke dalam bentuk tulisan, seringkali kita lebih dapat mengenali dan memahami pikiran-pikiran tersebut. Kegiatan menulis mendorong tumbuhkembangnya perluasan pikiran, kemampuan investigasi, serta kemampuan menata gagasan. Mengingat menulis merupakan alat yang sangat ampuh dalam proses berefleksi, menemukan, serta memahami, pembelajar mendapatkan manfaat dari proses membaca melalui pengintegrasian kegiatan membaca dan menulis, yaitu melalui pengembangan kemahirwacanaan. Pengalaman membaca-menulis dapat saling mempengaruhi dan mendukung perkembangan kemampuan individu dalam membaca, menulis, dan berpikir, sehingga pengalaman membaca-menulis tersebut akan memperkuat kemampuan penulis untuk membaca dan kemampuan pembaca untuk menulis. Membaca-menulis dipadukan dengan tujuan mendorong atau meningkatkan kemampuan berpikir siswa pada semua usia. Untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis pembelajar bahasa, dibutuhkan integrasi pengajaran kemampuan membaca dan menulis, yakni melalui kegiatan menggali dan memperluas pemahaman teks untuk mengembangkan kemampuan menulis, seperti model yang sudah diadaptasi dari Richmond (1994) berikut.
Prof. Hj. Utami Widiati, M.A., Ph.D : Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ilmu Teaching English as a Foreign Language pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), pada tanggal 16 Desember 2010, di Aula Utama, Gd. A3 Lt. II UM, Jalan Semarang 5 Malang
13 | P a g e
Diagram 3 Hubungan antara Kompetensi dan Refleksi dalam Membaca dan Menulis
Diagram tersebut merepresentasikan gagasan utama Richmond (1994:278) yang menunjukkan bahwa pernyataan “rules definitions or distinctions lead to competence in language (pemahaman kaidah bahasa akan mengarah pada kompetensi berbahasa)” hanyalah mitos belaka. Kemampuan berbahasa hendaknya dikembangkan melalui pemberian pengalaman yang nyata dalam bentuk melakukan refleksi. Kegiatan saling membaca karya tulisan sejawat dapat membangun kesadaran di antara pembelajar tentang adanya peranan yang berbeda antara seorang pembaca dan seorang penulis. Jika kegiatan refleksi seperti ini dapat dilakukan secara terus menerus selama proses perkembangan kemampuan menulis, maka menurut Richmond
Prof. Hj. Utami Widiati, M.A., Ph.D : Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ilmu Teaching English as a Foreign Language pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), pada tanggal 16 Desember 2010, di Aula Utama, Gd. A3 Lt. II UM, Jalan Semarang 5 Malang
14 | P a g e
(1994) hal tersebut dapat secara signifikan mendorong perkembangan kemampuan kemahirwacanaan: “the eye of the reader informing the voice of the writer” (Richmond, 1994:285). Dalam konteks pendidikan secara umum, disebutkan bahwa modal dasar untuk pengembangan potensi akademik peserta didik dalam memasuki jenjang-jenjang pendidikan selanjutnya adalah the basics, 3 R’s (reading, writing, and arithmatics, membaca, menulis, dan berhitung). Keberhasilan dalam membaca, menulis, dan berhitung merupakan salah satu model tolok ukur capaian suatu satuan pendidikan. Kajian-kajian tentang ‘pemikir yang baik’ (good thinkers) mendukung pendapat bahwa kegiatan membaca dan menulis dapat membuat orang lebih cerdas (Krashen, 1990), karena kegiatan membaca dan menulis membuat kita dapat melalui keseluruhan lima tahapan berpikir (the five-stage thinking process) berikut: gathering ideas (tahap mengumpulkan informasi), preparing ideas (tahap menyiapkan gagasan), incubation (tahap mematangkan), illumination (tahap mempertajam), dan verification (tahap memverifikasi atau mengkonfirmasi). Dimensi kemahirwacanaan juga dicitrakan secara khas oleh empat komunitas berikut (Kucer, 2009): ahli bahasa (linguists), psikolog kognitif (cognitive psychologists), budayawan sosial (socioculturalists), dan ahli perkembangan (developmentalists), seperti tertuang pada Diagram 4. Ahli bahasa lebih menekankan pada dimensi bahasa dan tekstual dari aktifitas membaca dan menulis; psikolog kognitif mengeksplorasi proses mental yang terjadi ketika manusia melakukan kegiatan membangun makna melalui teks tulis; budayawan sosial memandang kegiatan berliterasi sebagai sebuah ekspresi identitas sosial yang menandakan sebuah hubungan kekuatan; sedangkan ahli perkembangan lebih tertarik pada pemanfaatan strategi dan penemuan pola-pola dalam pembelajaran membaca dan menulis.
Prof. Hj. Utami Widiati, M.A., Ph.D : Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ilmu Teaching English as a Foreign Language pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), pada tanggal 16 Desember 2010, di Aula Utama, Gd. A3 Lt. II UM, Jalan Semarang 5 Malang
15 | P a g e
Developmental Sociocultural Linguistic Cognitive Literacy events
Diagram 4 Dimensi Literasi (Kucer, 2009)
Menurut Kucer (2009), jika kita menginginkan pendidikan literasi yang efektif, maka kita perlu memandang literasi sebagai sebuah aktifitas yang dinamis dan multidimensional. Menjadi mahir dalam wacana tulis berarti belajar untuk secara efektif, efisien, dan bersamasama menguasai dimensi linguistik, dimensi kognitif, dimensi sosiokultural, serta dimensi perkembangan berliterasi. Dimensi linguistik memandang pembaca dan penulis sebagai code breaker (pengurai simbol) dan code maker (pembuat simbol); sedangkan dimensi kognitif memandang pembaca dan penulis sebagai meaning maker (penyusun makna). Dimensi sosiokultural lebih menekankan pada fungsi pembaca dan penulis sebagai text user (pengguna teks) dan text critic (kritikus teks), dan dimensi perkembangan memandang pembaca dan penulis sebagai scientist (ilmuwan) dan construction worker (pekerja konstruksi).
Prof. Hj. Utami Widiati, M.A., Ph.D : Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ilmu Teaching English as a Foreign Language pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), pada tanggal 16 Desember 2010, di Aula Utama, Gd. A3 Lt. II UM, Jalan Semarang 5 Malang
16 | P a g e
Dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing, argumen yang dikemukakan oleh Krashen (dalam Cox, 1996) mengisyaratkan pentingnya membangun kebiasaan membaca untuk membantu pembelajar mengembangkan kemampuan bahasanya sampai pada tingkat lanjut. Pembelajar bahasa kedua seyogyanya diarahkan pada tahap free voluntary reading (FVR), yaitu tahap pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing ketika pembelajar secara sukarela memilih kegiatan membaca bebas. Menurut Krashen, “Free reading is one of the best things an acquirer can do to bridge the gap from the beginning level to truly advanced levels of second language proficiency” (1996:291), kegiatan membaca secara sukarela merupakan salah satu cara yang sangat ampuh dalam menjembatani kompetensi bahasa dari tingkat belajar pemula menuju ke tingkat belajar lanjut. Di samping itu, Krashen (1990:373) juga menyebutkan bahwa kegiatan membaca merupakan sumber utama untuk mengembangkan kemampuan menulis: “reading is the primary source of our competence in writing style and grammar as well as vocabulary and spelling”. Keseluruhan hipotesis ini direpresentasikan oleh Krashen seperti pada Diagram 5.
READING
WRITING
language development writing style grammar vocabulary spelling
cognitive development gathering ideas preparing ideas verifying ideas
Diagram 5 Hubungan antara Membaca dan Menulis (Krashen, 1990)
Diagram tersebut memiliki implikasi bahwa kegiatan membaca dapat merangsang berkembangnya kemampuan bahasa, yang jika selanjutnya juga dimanfaatkan dan diasah dalam
Prof. Hj. Utami Widiati, M.A., Ph.D : Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ilmu Teaching English as a Foreign Language pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), pada tanggal 16 Desember 2010, di Aula Utama, Gd. A3 Lt. II UM, Jalan Semarang 5 Malang
17 | P a g e
kegiatan menulis, maka akan memberikan sumbangan yang signifikan terhadap berkembangnya kemampuan kognitif.
Hadirin yang saya muliakan, Selanjutnya yang perlu direnungkan dan dipikirkan bersama adalah: Bagaimana kita sebagai pengajar Bahasa Inggris sebagai bahasa asing dapat menumbuhkembangkan kemampuan pembelajar dalam membaca dan menulis? Apa yang perlu kita lakukan di kelas? Hasil kajian pustaka (misal, Smith, 1988; Krashen, 1990; Weaver, 1990; Cole, 1996; Brown, 2007b) mengisyaratkan pentingnya kegiatan membaca, free reading. Dengan kata lain, pengajar perlu mendorong tumbuhkembangnya kegiatan membaca di program-program pembelajaran bahasa, sehingga Diagram 5 di atas seharusnya diperluas menjadi seperti Diagram 6 berikut.
Free Reading
Enterprises
READING
WRITING
language development writing style grammar vocabulary spelling
cognitive development gathering ideas preparing ideas verifying ideas
Diagram 6 Perluasan Hubungan antara Membaca dan Menulis (Krashen, 1990)
Diagram 6 menunjukkan bahwa kegiatan membaca dapat memunculkan efek bola salju. Pada saat membaca, seorang pembaca membawa pengetahuan umumnya ke dalam teks bacaan. Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki, ada kecenderungan semakin bagus pemahamannya terhadap sebuah teks. Pada saat menulis, pengetahuan yang diperoleh dari banyak membaca dapat membantu seseorang mengembangkan gagasannya. Akan tetapi, pertanyaan selanjutnya
Prof. Hj. Utami Widiati, M.A., Ph.D : Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ilmu Teaching English as a Foreign Language pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), pada tanggal 16 Desember 2010, di Aula Utama, Gd. A3 Lt. II UM, Jalan Semarang 5 Malang
18 | P a g e
adalah: Apa yang kita baca? Apa yang kita tulis? Seperti yang nampak dalam Diagram 6 di atas, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah enterprises - problems, atau masalah. Hal terpenting yang harus disimak dari Diagram 6 tersebut adalah bahwa arah tanda panah berasal dari kiri ke kanan, dan bukan sebaliknya. Dari hubungan sebab – akibat, arah tanda panah ini mengimplikasikan bahwa kita tidak mempelajari komponen-komponen bahasa agar dapat membaca dan menulis. Hal ini sejalan dengan pendapat Richmond (1994:278) yang menyatakan bahwa pemahaman tentang kaidah bahasa tidak serta merta menjamin terbentuknya kompetensi menggunakan bahasa tersebut. Namun sebaliknya, Diagram 6 menunjukkan bahwa kita membaca dan menulis untuk kesenangan serta untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan masalah, dan dengan begitu pemerolehan bahasa kedua dan pengembangan intelektual bisa terjadi. Dengan kata lain, menurut Krashen (1990), kegiatan membaca dan menulis adalah kegiatan menyelesaikan masalah, reading and writing equate with problem solving (Krashen, 1990:375). Dan ketika pemahaman tentang kemahirwacanaan yang seperti ini terbentuk, maka itu berarti bahwa kita sebagai pengajar dan pendidik, menurut Samani (2002:3), “membekali peserta didik dengan kecakapan hidup dan kehidupan, yang secara integratif memadukan potensi … guna memecahkan masalah dan mengatasi problema kehidupan”. Pemanfaatan literasi untuk mengatasi problema yang dihadapi secara kreatif dapat membantu terbentuknya watak kemandirian belajar.
Strategi Pembelajaran Kemahirwacanaan (Literacy Learning) Untuk mengembangkan pembelajaran kemahirwacanaan, beberapa kegiatan berikut dapat diterapkan.
Pengintegrasian Tugas Terstruktur dengan Memanfaatkan SAC Sejalan dengan maraknya pembahasan tentang perlunya menciptakan kemandirian pembelajar, berkembang pula wacana tentang perlunya fasilitas belajar mandiri. Self access merupakan istilah yang paling sering dipakai untuk penyelenggaraan pembelajaran yang mendorong munculnya aunonomy (kemandirian) melalui pendekatan berbasis sumber belajar – resourcebased approach (Benson, 2001). Self Access Center (SAC) merupakan salah satu sarana belajar
Prof. Hj. Utami Widiati, M.A., Ph.D : Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ilmu Teaching English as a Foreign Language pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), pada tanggal 16 Desember 2010, di Aula Utama, Gd. A3 Lt. II UM, Jalan Semarang 5 Malang
19 | P a g e
mandiri yang menyediakan bahan belajar mandiri bagi para pengunjungnya (Harmer, 2001). Disebut sebagai sarana belajar mandiri karena dalam SAC pembelajar dapat belajar sendiri atau dengan teman, tanpa perlunya kehadiran seorang pengajar yang menerangkan suatu topik. SAC menyediakan materi-materi yang bervariasi, dari materi yang berupa buku-buku referensi dan buku-buku kerja atau kegiatan, sampai materi audio visual. Materi-materi dalam SAC disusun dengan tingkat kesulitan yang berjenjang sehingga pembelajar dapat menyesuaikan dengan tingkat kemampuan mereka. Selain itu, untuk materi yang berupa latihanlatihan, kunci jawaban juga telah disediakan. Dengan demikian, tersedia banyak kesempatan bagi pembelajar untuk memantau hasil belajarnya. Agar pemanfaatan SAC bisa menjadi lebih maksimal, diperlukan adanya kerja sama dengan para pengajar. Kerjasama ini misalnya adalah dalam bentuk penugasan terstruktur agar dalam menyelesaikan tugas-tugas, pembelajar mencari informasi dari SAC. Pengintegrasian kegiatan di SAC semacam ini akan menjadi bentuk pembiasaan untuk menumbuhkan kemandirian belajar. Penelitian oleh Widiati, dkk. (2007) yang melibatkan mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, FS, UM, dari berbagai angkatan menunjukkan bahwa ada kecenderungan semakin tua angkatan mahasiswa, semakin banyak yang tidak menjadi anggota SAC. Hasil ini selaras juga dengan temuan tentang frekuensi kunjungan mahasiswa ke SAC, yaitu bahwa semakin tua angkatan mahasiswa, semakin banyak yang menyatakan tidak pernah berkunjung ke SAC, sedangkan untuk mahasiswa baru, tidak ada satupun yang menyatakan tidak pernah mengunjungi SAC. Salah satu tengara untuk temuan ini adalah karena tidak adanya kerja sama antara Dosen pengampu mata kuliah di Jurusan Sastra Inggris agar pemanfaatan SAC oleh mahasiswa dari berbagai angkatan menjadi bisa lebih maksimal.
Penulisan Jurnal (Journal Writing) Penulisan jurnal di kelas-kelas bahasa, baik untuk tujuan individu maupun interaksi dua arah, telah berkembang sejak dekade 1980an (Peyton, 2001). Membuat jurnal merupakan salah satu teknik yang dapat dipilih untuk memberikan kesempatan kepada pengajar dan pembelajar dalam berkomunikasi langsung secara tertulis. Kajian pustaka menunjukkan bahwa penulisan jurnal memberikan manfaat yang banyak dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa (Burton &
Prof. Hj. Utami Widiati, M.A., Ph.D : Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ilmu Teaching English as a Foreign Language pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), pada tanggal 16 Desember 2010, di Aula Utama, Gd. A3 Lt. II UM, Jalan Semarang 5 Malang
20 | P a g e
Carroll, 2001). Melalui penulisan jurnal, pembelajar dapat meningkatkan wawasan mereka tentang cara belajar, serta mempertajam kemampuan mereka dalam memantau perkembangan belajarnya sendiri. Penulisan jurnal reflektif bermula dari keberadaannya sebagai sebuah alat penelitian. Selanjutnya, penulisan jurnal berkembang sebagai sebuah bentuk data dalam penelitian pembelajaran bahasa. Pada masa sekarang ini, penulisan jurnal seringkali dimanfaatkan sebagai sebuah sarana dalam pengembangan profesionalisme pengajar. Penelitian juga menunjukkan penulisan jurnal dapat membantu pembelajar memaknai pengalaman belajar mereka sendiri. Penulisan jurnal adalah alat untuk belajar bahasa dan mengatur diri karena dapat mendukung pembelajar dalam mengembangkan suara pribadi, kesadaran tentang pembaca, serta keberanian mengambil risiko dalam berpikir dan berbahasa. Secara lebih rinci, manfaat penulisan jurnal yang dapat diambil oleh pembelajar bahasa, menurut Burton & Carroll (2001:5), adalah sebagai berikut. 1) Dapat memperbaiki pemahaman mereka tentang cara belajar yang terbaik. 2) Dapat berkembang menuju pembelajaran yang mandiri. 3) Dapat memperkuat pemahaman lintas budaya dan rasa identitas diri. 4) Dapat menjadi pembelajar yang lebih efektif. 5) Dapat menjadi pemikir yang tajam. 6) Dapat mengembangkan rasa percaya diri sebagai pembelajar dengan cara melihat dan mengevaluasi keberhasilannya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penulisan jurnal memiliki potensi yang besar dalam mentransformasikan pengalaman pembelajaran ke dalam pemakaian bahasa tulis yang lebih hidup, yang secara nyata dapat dilihat oleh pembelajar. Keunggulan-keunggulan penulisan jurnal itu selanjutnya dapat diketegorikan sebagai kelebihan penulisan jurnal dari sisi conversational nature (hakikat bincang-bincang), social nature (hakikat sosial), pedagogic nature (hakikat pedagogis), dialogic nature (hakikat dialogis), serta cross-cultural boundaries (penembusan batas budaya). Salah satu bentuk implementasi pembelajaran membaca-menulis terpadu melalui jurnal adalah Buddy Journals, yaitu buku jurnal yang disusun oleh sepasang pembelajar; mereka
Prof. Hj. Utami Widiati, M.A., Ph.D : Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ilmu Teaching English as a Foreign Language pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), pada tanggal 16 Desember 2010, di Aula Utama, Gd. A3 Lt. II UM, Jalan Semarang 5 Malang
21 | P a g e
saling menulis dan saling memberikan respon, seolah-olah ”bercakap-cakap” dalam bahasa tulis (Bromley, 1989). Jurnal seperti ini menjadi interaktif karena pembelajar secara bergantian menulis, membaca, dan saling memberikan respon. Agar dapat menuliskan respon, seorang pembelajar harus melakukan kegiatan membaca jurnal yang telah ditulis pasangannya. Dalam Buddy Journals, kegiatan menulis menjadi lebih nyata dan berfungsi karena pembelajar dapat saling berbagi cerita, mengungkapkan perasaan, menceritakan aktifitas, serta membangun hubungan. Pada akhirnya, pembelajar diharapkan dapat melihat bahwa menulis memiliki fungsi komunikasi.yaitu jurnal yang dibuat oleh siswa/mahasiswa dan dibaca serta dikomentari oleh guru/dosen (Gambrell, 1985). Buddy Journals bermanfaat untuk menunjukkan kepada pembelajar bahwa bahasa tulis mempunyai fungsi yang nyata dalam komunikasi (Bromley, 1989), Buddy Journals dapat memadukan kegiatan membaca dan menulis secara alamiah dan bermakna. Penelitian oleh Widiati (2008) menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran membacamenulis terpadu melalui Buddy Journals dapat dinominasikan sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas produk dan proses pembelajaran menulis. Hal ini terbukti dari peningkatan kemampuan menulis mahasiswa yang terlibat dalam penelitian untuk aspek kualitas gagasan, organisasi karangan, dan tatabahasa. Walaupun persentase peningkatan kemampuan mahasiswa tampak kecil secara angka, peningkatan ini sangat bermakna secara value (nilai), mengingat kemampuan mahasiswa yang termasuk dalam kategori kelas yang dirancang khusus. Peningkatan kemampuan menulis dalam penelitian tersebut lebih dipandang sebagai sebuah nilai tambah (added value). Untuk variabel proses, hasil yang diharapkan dari penerapan Buddy Journals adalah terbangunnya hubungan yang baik antara Dosen dengan mahasiswa atau antara mahasiswa dengan mahasiswa melalui bahasa tulis serta tumbuhnya dinamika kelas yang lebih kondusif. Buddy Journals dapat juga mengembangkan rasa sosial mahasiswa karena dengan saling membaca dan merespon jurnal, mereka saling berinteraksi, berkomunikasi, dan berkolaborasi. Kegiatan semacam ini bisa menjadi sebuah forum untuk saling mengenal dan memahami satu dengan yang lain, bahkan dapat memberikan mahasiswa kesempatan untuk saling berbagi masalah dan saling membantu satu dengan yang lain. Suasana kelas yang seperti ini dapat menumbuhkan rasa kebersamaan, rasa menjadi warga sebuah
Prof. Hj. Utami Widiati, M.A., Ph.D : Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ilmu Teaching English as a Foreign Language pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), pada tanggal 16 Desember 2010, di Aula Utama, Gd. A3 Lt. II UM, Jalan Semarang 5 Malang
22 | P a g e
komunitas, yang dapat mendorong munculnya motivasi intrinsik dalam diri pembelajar untuk saling membelajarkan. Dalam komunitas yang semacam ini akan tumbuh mutual interdependence, saling ketergantungan yang bersifat positif. Selain itu, penerapan pembelajaran membaca dan menulis terpadu melalui Buddy Journals membuat mahasiswa menjadi aktif membaca dan bergairah menulis. Hasil observasi selama semester berlangsung menunjukkan bahwa mereka saling menukar buku jurnal, saling membaca, dan saling memberikan komentar penuh dengan antuasiasme.
Penciptaan Atmosfir Literasi yang Kondusif Apapun tahapan perkembangan literasi pembelajar, sebagai pengajar kita perlu menciptakan iklim suasana di kelas yang dapat mendorong tumbuhkembangnya kebiasaan dan kesenangan membaca dan menulis, atau disebut dengan kelas literasi. Dengan merujuk pada saran Orr (1999:79) tentang mengembangkan sebuah kelas menulis, maka kelas literasi adalah kelas yang dapat bercirikan seperti di bawah ini.
• Hasil tulisan pembelajar sangat dihargai. Dalam kelas yang seperti ini pengajar menunjukkan minat tulusnya dalam merespon apapun yang telah dihasilkan pembelajar. Oleh karenanya, kesalahan yang dibuat pemelajar akan dipandang sebagai sebuah proses perkembangan yang wajar. • Pembelajar secara terus menerus didorong menulis untuk berbagai pembaca yang otentik. Untuk menghasilkan kelas literasi yang seperti ini, pembelajar diberi kesempatan menulis topik-topik yang mereka pilih sendiri, yang bermakna, dan yang bertujuan. Oleh karenanya, mereka secara bersengaja diminta menulis untuk pembaca yang berbeda-beda, misalnya, guru, teman sejawat, orang tua, atau masyarakat sekitar. • Lingkungan pembelajaran yang kaya akan bahasa dan karya sastra. Kelas membaca dan menulis akan tumbuh jika berada pada budaya literasi. Pembelajar dipajankan pada berbagai contoh tulisan yang bagus, baik yang dihasilkan oleh penulis profesional maupun yang dihasilkan oleh teman sejawat. Setiap hari ada kegiatan mereka
Prof. Hj. Utami Widiati, M.A., Ph.D : Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ilmu Teaching English as a Foreign Language pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM), pada tanggal 16 Desember 2010, di Aula Utama, Gd. A3 Lt. II UM, Jalan Semarang 5 Malang
23 | P a g e