62
PEMBAHASAN
Optimasi Metode Ekstraksi DNA Mikroba di Tempe Kuantitas dan Kualitas DNA. Secara ideal, metode ekstraksi DNA haruslah merupakan metode yang sederhana, cepat dan efisien. Memilih metode ekstraksi seringkali harus mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan, hasil optimal yang diperoleh dan terbuangnya substansi yang dapat berpengaruh terhadap proses PCR. Walaupun demikian, metode yang dipilih haruslah metode yang benar-benar baik untuk sampel yang spesifik dengan kriteria utama yang harus dipenuhi didasarkan pada kualitas dan kuantitas DNA yang dihasilkan (Jara et al. 2008). Kuantitas dan kualitas DNA bersifat sangat kritis untuk interpretasi analisis komunitas mikroba (Thakuria et al. 2008). Ekstraksi DNA dari tempe belum banyak dipelajari, padahal metode ekstraksi bersifat spesifik untuk matriks makanan yang berbeda (Abrioruel et al. 2006; Jara et al. 2008). Jara et al. (2008) menyatakan bahwa ekstraksi DNA seringkali merupakan kompromi antara hasil dan kemurnian. Metode yang memberikan
hasil
konsentrasi
DNA
yang
tinggi
seringkali
membawa
ketidakmurnian yang berpengaruh terhadap analisis. Sebaliknya metode yang memberikan kemurnian DNA yang tinggi justru memberikan hasil konsentrasi DNA yang rendah. Ekstrasi DNA mikroba asal tempe dilakukan dengan dua metode ekstraksi DNA yaitu metode FDEK dan metode PFMDIK. Pemilihan kedua metode dilakukan atas dasar cara lisis sel yang berbeda. Pada metode FDEK, lisis sel dilakukan hanya dengan melakukan lisis secara kimiawi sedangkan lisis pada metode PFMDIK dilakukan secara kimiawi dan mekanik. Selain itu, metode PFMDIK juga memiliki tambahan tahapan penghilangan inhibitor PCR asal makanan. Metode PFMDIK lebih efektif melisis sel karena metode lisis yang digunakan merupakan kombinasi proses lisis kimiawi dan lisis mekanik. Tahapan penghilangan inhibitor PCR juga dilakukan pada metode ini dan DNA mikroba total hasil ekstraksi dicuci dalam kondisi terikat pada membran filter sehingga dapat diperoleh DNA dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik.
63
Metode FDEK merupakan metode ekstraksi DNA yang relatif murah, tetapi metode ini tidak memberikan hasil lisis yang baik. Hal ini terlihat dari rendemen DNA yang lebih rendah dan kemurnian DNA yang berfluktuatif. Hasil sebaliknya menunjukkan bahwa walaupun lebih mahal, ekstraksi DNA menggunakan metode PFMDIK menghasilkan DNA dengan kualitas yang lebih baik untuk nilai rasio A260/280 walaupun tidak mencapai nilai standar 1.8 (Sambroek et al. 1989). Metode PFMDIK mampu memberikan rendemen dan kemurnian DNA dengan rasio A260/280 yang tinggi dan menghasilkan dua hingga tiga kali konsentrasi DNA yang lebih banyak dibandingkan dengan metode FDEK. Kontaminasi protein pada ekstrak DNA dengan metode PFMDIK lebih rendah daripada dengan metode FDEK. Metode FDEK menghasilkan rasio relatif rendah untuk nilai rasio A260/280 dan kontaminasi protein relatif tinggi pada hasil ekstraksi DNA dengan metode FDEK. Walaupun menghasilkan rasio A260/230 yang kecil dan sangat kurang dari nilai 1.8 (sambroek et al. 1989), DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK tidak menimbulkan akibat negatif terhadap proses PCR. Metode ekstraksi yang memberikan rendemen DNA yang tinggi dibutuhkan karena memiliki kemampuan melisis sel secara efisien dan mampu mengekstraksi jumlah DNA yang dapat mewakili populasi yang akan diamplifikasi sehingga menjamin sensitivitas deteksi yang tinggi (Metwally et al. 2008). Uji Penghambatan PCR. Faktor yang dapat menghambat amplifikasi asam nukleat dengan PCR seringkali ditemukan bersama DNA target dari beberapa sumber. Inhibitor umumnya bekerja dengan salah satu mekanisme dari tiga reaksi yang mungkin terjadi: dengan menghambat lisis sel yang merupakan tahapan penting dalam ekstraksi, melakukan degradasi asam nukleat atau menghambat kerja enzim polimerase dalam proses amplifikasi DNA target (Wilson 1997). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selain rendemen DNA yang rendah, inhibitor PCR dan nuklease mungkin ikut diekstraksi dan terbawa pada ekstrak DNA total menggunakan metode FDEK. Hal ini teramati secara jelas ketika dilakukan amplifikasi gen 16S rRNA dan untuk analisis ARISA type, hasil amplifikasi tidak menunjukkan hasil yang baik karena pita 16S rRNA tidak teramplifikasi dan profil ARISA type tidak banyak memunculkan variasi OTU. Hasil amplifikasi akan berkurang bila proses PCR dilakukan dengan templat yang
64
sama dalam jarak waktu tertentu, bahkan dapat hilang sama sekali. Keberadaan nuklease akan mendegradasi DNA templat sehingga ketersediaan templat menjadi berkurang. Adanya inhibitor PCR juga akan menghambat proses amplifikasi PCR. Hasil yang juga menunjang pendapat ini ditunjukkan dengan ekstraksi yang menggunakan jumlah ‘slurry’ tempe yang ditingkatkan. Walaupun jumlah DNA yang diekstraksi dengan metode FDEK meningkat secara signifikan dan lebih tinggi dari metode PFMDIK, tetapi ketebalan pita 16S rRNA hasil amplifikasi tidak lebih tebal dari pita hasil amplifikasi gen 16S rRNA dari ekstrak DNA total dengan metode PFMDIK bahkan bila amplifikasi gen 16S rRNA diulang hasil amplikon dapat hilang sama sekali. Total genom hasil ekstraksi dengan metode FDEK juga tidak tervisualisasi pada gel agarosa, sebaliknya dengan metode PFMDIK tervisualisasi sebagai pita tipis walaupun terlihat agak terdegradasi (data tidak ditampilkan). Pirodini et al. (2010) menjelaskan bahwa DNA yang diekstrak dengan kit komersial dari matriks makanan cenderung terdegradasi dan terlihat sebagai pita yang sangat tipis karena banyaknya bahan pengganggu.
Fakta yang dikemukakan ini cukup memberi
petunjuk adanya nuklease dan inhibitor PCR yang terekstraksi bersama-sama. Matriks makanan seperti keju merupakan medium yang kaya akan nuklease dan inhibitor PCR (Rossen et al., 1992). Hal yang sama diduga terjadi pula pada tempe. Hasil yang berbeda justru diperoleh dengan menggunakan metode PFMDIK. Hasil amplifikasi gen 16S rRNA yang diperoleh cukup tebal, dan bila proses amplifikasi diulang dalam jangka waktu tertentu, hasil yang diperoleh tetap bersifat reprodusibel. Kontaminasi bahan organik yang terdeteksi melalui nilai A260/230 yang rendah tidak menghambat proses PCR. Hal ini disebabkan karena pada metode PFMDIK terdapat tahapan pembuangan inhibitor PCR yang spesifik untuk makanan. Kualitas DNA yang rendah dapat disebabkan karena terbawanya substansi yang mengganggu reaksi PCR (Rossen et al. 1992). Matriks makanan berbeda juga akan memberikan efek penghambatan yang berbeda dan sangat berpengaruh terhadap jumlah dan kemampuan amplifikasi DNA yang dihasilkan (Abrioruel et al. 2006; Jara et al. 2008). Sumber substansi penghambat PCR dapat berupa kontaminan endogenus seperti bahan organik, senyawa fenolik, glikogen, lemak
65
dan Ca2+ yang berasal dari bahan makanan. Keberadaan substansi ini menyebabkan DNA target untuk amplifikasi menjadi tidak murni. Pemblokiran DNA target atau DNA primer secara tidak spesifik dapat menghambat amplifikasi atau menyebabkan amplifikasi yang tidak spesifik dan munculnya pita yang bervariasi selama ‘typing’ dengan dasar PCR (Wilson 1997). Masalah lain yang sering dihadapi adalah terhambatnya fungsi enzim polimerase dari sumber yang berbeda oleh inhibitor PCR (Abu Al-.Soud & Radstrom 1998; Kim et al. 2000). Sel bakteri dan debris, protein dan polisakarida yang dapat menyebabkan penghambatan pada beberapa studi disebabkan karena efek fisik, seperti menyebabkan tidak tersedianya DNA bagi aktivitas enzim polimerase. Beberapa nuklease juga dihasilkan oleh beberapa bakteri dan menunjukkan stabilitas panas yang tidak umum dan mampu menghidrolisis DNA genom dan DNA primer selama reaksi amplifikasi (Wilson 1997). DNA yang diekstraksi dengan berbagai metode dapat tetap membawa inhibitor PCR. Usaha untuk mengatasi masalah ini, dapat dilakukan dengan penambahan fasilitator PCR dan perlakuan penghilangan inhibitor PCR (Rossen et al. 1992; Jiang et al. 2005). Jenis enzim polimerase perlu diprioritaskan karena enzim yang dipilih haruslah enzim yang tidak terlalu sensitif terhadap inhibitor PCR. Enzim Taq polymerase yang digunakan pada penelitian ini adalah enzim Taq polymerase yang berasal dari bakteri (Promega). Taq polymerase lebih tahan terhadap kontaminasi seperti kolagen dan lebih tepat digunakan untuk amplifikasi PCR yang bersifat sensitif dibandingkan dengan Pwo polymerase (Kim et al. 2000). Profil Automated ribosomal intergenic spacer analysis (ARISA). Pada analisis keragaman mikroba dalam proses fermentasi tempe, metode yang dipilih haruslah metode yang memberikan gambaran keragaman mikroba dalam populasi yang maksimal (Ogier et al. 2004; Abrioruel et al. 2006). ARISA merupakan metode yang potensial karena memungkinkan untuk memonitor adanya mikroba yang terkultur maupun tidak terkultur. Metode ini dapat diimplementasikan dalam aplikasi yang membutuhkan resolusi filogenetik yang tinggi, reprodusibel dan hasilnya akurat (Popa et al. 2009). Teknik ini juga memungkinkan pemisahan yang baik dan dapat memberi gambaran sidik jari komunitas mikroba dari lingkungan bahan makanan yang berbeda (Abriouel et al. 2006). Walaupun
66
demikian, teknik ini sangat bergantung pada metode ekstraksi DNA dan proses amplifikasi PCR, yang harus dioptimasi sebelum melakukan ARISA. Amplifikasi sekuen intergenik dan analisis ARISA dari DNA templat hasil ekstraksi dengan metode FDEK dan PFMDIK menghasilkan profil yang sangat berbeda. Profil ARISA yang diperoleh dengan metode PFMDIK lebih banyak karena kemampuan lisis sel mikoba lebih tinggi pada metode ini dan lebih banyak variasi intergenic sequence yang dapat teramplifikasi. Walaupun profil kedua ARISA type (BARISA dan FARISA type) dari metode FDEK dan metode PFMDIK menunjukkan beberapa profil OTU dengan ukuran yang sama, metode PFMDIK menunjukkan keragaman dan jumlah OTU dalam ARISA type yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode FDEK (Tabel 3). Ukuran OTU dalam ARISA type hasil amplifikasi DNA total dengan metode PFMDIK lebih bervariasi dibandingkan terhadap metode FDEK. Kedua metode menghasilkan profil yang reprodusibel untuk tiga ulangan. Walaupun demikian, profil ARISA hasil amplifikasi DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK lebih memungkinkan adanya penggambaran profil komunitas secara lebih menyeluruh. Metode ini menjamin tervisualisasinya semua populasi mikroba yang mungkin ada dalam komunitas mikroba pada tempe. Gambaran profil yang baik ini akan lebih memberikan gambaran komunitas sebenarnya dalam proses fermentasi tempe. Gambaran profil ini seringkali menjadi terbatas karena metode ekstraksi DNA mikroba yang digunakan. Reprodusibilitas metode PFMDIK selanjutnya diverifikasi menggunakan sampel tempe untuk tiga hari berurutan dari produsen tempe yang sama. Hasilnya menunjukkan bahwa walaupun ARISA type yang diperoleh berfluktuasi dalam kuantitas, namun jumlah OTU dalam ARISA type tetap ditemukan dalam jumlah yang tinggi dengan profil yang reprodusibel. Metode PFMDIK memberikan hasil keragaman yang tinggi dan sidik jari BARISA type dan FARISA type yang lebih reprodusibel dibandingkan terhadap metode FDEK. Hal ini disebabkan karena kualitas DNA yang dihasilkan lebih baik dengan metode PFMDIK. Proses amplifikasi PCR juga berlangsung tanpa gangguan inhibitor PCR karena adanya tahapan pembuangan inhibitor PCR. Metode ini memungkinkan untuk eksplorasi mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi tempe yang dapat digunakan
67
sebagai metode terbaik untuk penentuan sidik jari dan barcoding tempe dari daerah produsen yang berbeda. Secara keseluruhan terlihat bahwa metode PFMDIK merupakan metode yang sesuai untuk ekstraksi DNA dalam mempelajari komunitas mikroba dengan menggunakan metode ARISA.
Analisis Profil ARISA Type Tempe dari Sejumlah Produsen Tempe Variasi Proses Pembuatan Tempe dari Sejumlah Produsen. Lv et al. (2012) menyatakan bahwa kontrol mikroba pada suatu proses fermentasi perlu dipelajari karena akan berpengaruh terhadap kualitas makanan fermentasi yang akan dihasilkan. Kultur starter yang tidak sama dapat menyebabkan proses fermentasi yang tidak terkontrol dan kualitas produk fermentasi yang tidak stabil. Jung et al. (2012) juga menyatakan bahwa proses fermentasi dengan kondisi yang memungkinkan masuknya mikroba lain secara alami akan menyebabkan sulitnya diperoleh hasil fermentasi dengan kualitas yang seragam. Pada penelitian ini terlihat bahwa kontrol proses pembuatan tempe sangat bergantung pada proses pengolahan termasuk jenis kultur starter. Peluang mikroba muncul secara lebih spontan dari lingkungan lebih besar, sehingga sangat berpengaruh terhadap karakteristik tempe hasil fermentasi. Hal ini terlihat dengan beragamnya profil mikroba pada tempe yang diamati karena adanya proses pengolahan yang berbeda antar produsen tempe. Proses pengolahan antar produsen tempe sangat bervariasi terutama dalam urutan pengolahan bahan baku kedelai hingga tahapan fermentasi. Selain itu terdapat juga variasi jenis biji kedelai yang digunakan, starter yang berbeda serta penggunaan bahan tambahan yang berbeda. Pada proses pembuatan tempe, tahapan awal yang digunakan dalam persiapan kedelai sebagai bahan baku sangat berpengaruh terhadap mikroba yang akan terlibat pada proses fermentasi (Lampiran 1). Tuncel dan Goktan (1990) juga melaporkan bahwa proses perendaman awal sangat menentukan munculnya bakteri
patogen
seperti
Bacillus
cereus,
Klebsiella
pneumoniae
dan
Staphylococcus aureus. Kondisi asam yang terbentuk akan menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Proses degradasi makromolekul yang ada di biji kedelai oleh embrio biji yang muncul selama perendaman maupun oleh mikroba yang muncul kemudian juga sangat ditentukan oleh tahapan awal pengolahan.
68
Mulyowidarso et al. (1991a) melaporkan bahwa enzim invertase dan αgalaktosidase pada perendaman awalnya dihasilkan oleh fraksi embrio kedelai yang muncul. Hal ini karena perendaman untuk mendegradasi polisakarida yang ada pada kecambah kedelai. Proses ini selanjutnya menarik bakteri yang ada untuk bersama-sama melanjutkan degradasi polisakarida ini. Bakteri berbeda yang ada pada tahap awal akan menghasilkan gula-gula berbeda dan berakibat pada cita rasa yang berbeda yang ditimbulkannya. Bakteri Streptococcus faecium, Staphylococcus epidermidis dan khamir Pichia burtonii mampu menghasilkan enzim invertase sedangkan Klebsiella pneumonia mampu menghasilkan enzim invertase dan α-galaktosidase. Enzim invertase dan α-galaktosidase yang dihasilkan mikroba sangat penting karena walaupun dihasilkan oleh kecambah kacang yang muncul waktu perendaman biji kacang, aktivitas enzim ini akan menurun karena matinya kecambah dengan meningkatnya konsentrasi asam hasil fermentasi gula pada proses perendaman (Mulyowidarso et al. 1991a; 1989). Proses pemasakan biji kedelai sebelum perendaman akan mereduksi karbohidrat yang terdegradasi dan menyebabkan tidak terbentuknya gula-gula bebas yang dihasilkan oleh kecambah kacang kedelai. Hubert et al. (2008) juga melaporkan dalam kondisi berkecambah, kacang kedelai lebih banyak mengandung senyawa antioksidan yang bila difermentasi dengan adanya bakteri asam laktat, konsentrasinya akan lebih meningkat. Perlakuan pemasakan akan menghilangkan tahapan germinasi sehingga peluang terbentuknya senyawa antioksidan akan semakin berkurang pula. Proses fermentasi pada delapan produsen yang ada menunjukkan bahwa tahapan awal sebelum perendaman selalu diawali dengan pemasakan kacang kedelai sehingga akan mengurangi senyawa antioksidan pada tempe. Secara tidak langsung hal ini dan mengurangi komposisi senyawa penting dari tempe. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak semua tempe di Indonesia memiliki kandungan gizi yang sama. Keterbatasan kandungan gizi ini terjadi karena kurangnya pengetahuan akan peran masing-masing tahapan proses pengolahan tempe sehingga pengolahan lebih cenderung dilakukan atas dasar teknik yang diturunkan orang tua.
69
Mulyowidarso et al. (1991b) melaporkan bahwa bakteri yang muncul pada proses perendaman akan sangat berpengaruh terhadap konsentrasi asam organik yang terbentuk. Selama proses perendaman, keasaman air rendaman meningkat karena asam-asam pada biji kedelai (asam valerat, propionat, format dan asetat) akan tercuci ke dalam air rendaman dan dengan bantuan mikroba yang ada akan diubah menjadi asam laktat dan malat. Pada akhir proses rendaman asam laktat dan malat merupakan asam utama yang ditemukan dalam biji kedelai. Hal ini karena terdifusi dari air rendaman ke dalam biji kacang kedelai. Keberadaan asam ini juga akan mempengaruhi pH air rendaman. Bakteri asam laktat juga merupakan salah satu jenis bakteri yang juga ditemukan pada tahapan perendaman yang berfungsi menghasilkan asam-asam organik seperti asam laktat dan malat (Mulyowidarso et al. 1991b). Asam organik pada proses perendaman selain dihasilkan oleh biji kacang kedelai juga dihasilkan oleh bakteri asam laktat. Asam organik yang dihasilkan dapat menyebabkan timbulnya cita rasa asam (Ardhana & Fleet 2003). Selain itu asam organik yang dihasilkan dapat menciptakan kondisi pH yang baik untuk pertumbuhan fungi dan menekan pertumbuhan bakteri pembusuk (Tuncel & Goktan, 1990). Daerah yang berbeda memiliki proses pengolahan tempe yang sangat berbeda dengan urutan proses yang juga berbeda. Perlakuan awal berupa proses perebusan akan mereduksi pembentukan embrio dan menghambat baktei yang berperan dalam pembentukan enzim invertase dan α-galaktosidase. Perlakuan perendaman tanpa perebusan kembali seperti pada proses pengolahan tempe EMP memungkinkan masuknya bakteri pada tahap perendaman ke proses fermentasi. Kultur starter yang berbeda juga berkontribusi terhadap masuknya mikroba lain selain fungi yang dibutuhkan dalam proses pembentukan tempe. Bahan baku kedelai, skala produksi dan proses pengolahan yang berbeda juga berkontribusi terhadap variasi mikroba yang muncul.
70
Profil ARISA dan Keragaman OTU Komunitas Bakteri dan Fungi dari Delapan Tempe. Konsorsium mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi tempe perlu dipelajari. Teknik ARISA sangat baik digunakan karena memiliki resolusi yang lebih baik untuk mendeteksi taxa yang ada dalam jumlah yang kecil. Teknik ini juga mampu mendeteksi keragaman mikroba yang jauh lebih tinggi. Teknik ARISA lebih efektif untuk memilah filotipe spesies-spesies berdasarkan gen 16S rRNA dengan kesamaan 99%. Hal ini penting dari sisi implikasi ekologi karena daerah intergenik spacer (ITS) dengan panjang yang berbeda dapat berkorelasi dengan fenotipe dengan peran ekologi berbeda. Profil ARISA lebih baik digunakan sebagai sidik jari (fingerprinting) komunitas dibandingkan profil T-RFLP karena teknik ARISA memberikan gambaran keragaman komunitas yang lebih tinggi dan spesifik pada tingkat spesies bahkan galur (Danovaro et al. 2006). Profil ARISA diperoleh dengan menggunakan teknik metagenom yang memanfaatkan adanya heterogenitas dari daerah intergenik operon rRNA. Teknik ini sangat sensitif untuk mendeteksi perbedaan struktur genetik komunitas mikroba karena adanya perbedaan kondisi lingkungan (Yannarell & Triplett 2005; Banning et al. 2011). Karakteristik suatu komunitas yang bersifat diskriminatif dapat
dibedakan
dengan
melakukan
pengelompokan
berdasarkan
profil
komunitas. Analisis clustering dilakukan berdasarkan sidik jari (fingerprinting) komunitas yang ada (Ampe & Miambi 2000; Havemann & Foster 2008). Perbandingan komunitas mikroba yang ada pada tempe selanjutnya dapat dilakukan dengan melakukan pengelompokan berdasarkan Index Similarity antar komunitas OTU dalam ARISA type (Hewson & Fuhrman 2004; Nimnoi et al. 2010). Analisis clustering menunjukkan bahwa pengelompokan komunitas bakteri pada tempe tidak tergantung pada jenis starter yang digunakan karena tidak terlihat kecenderungan pengelompokan tempe karena penggunaan starter yang sama (Gambar 13). Pengelompokan komunitas bakteri tempe juga tidak dipengaruhi oleh lama fermentasi dan nilai Index Keragaman (H’), walaupun demikian, proses fermentasi yang sama terlihat dapat mengelompokkan komunitas bakteri pada tempe SDJD dan SDJK. Tempe ini adalah tempe yang berasal dari daerah yang sama dan diproduksi dalam lingkungan yang berdekatan
71
(bertetangga). Pengelompokan ini disebabkan karena proses fermentasi kedua tempe yang sama dalam hal waktu dan cara fermentasi. Jenis starter yang digunakan pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu keduanya menggunakan starter Jago dan starter modifikasi Raprima dan Jago. Komposisi OTU pada komunitas bakteri kedua tempe terlihat memiliki kemiripan karena kedua produsen ada di daerah yang berdekatan. Hasil lain juga menunjukkan bahwa tempe EMP membentuk cabang yang terpisah pada pohon filogenetk karena proses pembuatan tempe ini memiliki perbedaan. Pada pengolahan biji kedelai, tidak dilakukan proses perebusan lagi setelah proses perendaman. Hasil yang dikemukakan di atas secara jelas memberi gambaran bahwa komunitas bakteri pada tempe cenderung masuk sebagai kontaminan dari lingkungan proses karena tidak ditambahkan sebagai starter tetapi menunjukkan keragaman yang tinggi antar produsen. Pengelompokan pada komunitas fungi menunjukkan bahwa kemiripan komunitas sangat bergantung pada starter yang digunakan (Gambar 14). Profil OTU juga menunjukkan bahwa ada profil OTU fungi yang berulang (Lampiran 3) sedangkan OTU bakteri lebih bersifat spesifik produsen (Lampiran 2). Hasil ini menunjukkan bahwa ada fungi spesifik yang terlibat dalam proses fermentasi tempe, walaupun demikian ada juga fungi atau khamir lain yang masuk selama proses pembuatan tempe. Komunitas fungi dengan starter seperti daun Waru, Jago dan Raprima dan Jago cenderung mengelompok pada pohon filogenetik pada cabang bagian atas. Starter-starter ini cenderung menimbulkan variasi yang tinggi karena starter ini diproduksi sendiri atau diproduksi dengan bahan baku yang tidak diketahui komposisinya secara jelas. Komunitas tempe EMP dengan starter raprima mengelompok bersama komunitas tempe dengan starter yang berbeda karena proses pembuatan tempenya yang berbeda dari tempe lain. Pengelompokan komunitas fungi juga terlihat sangat dipengaruhi oleh Index Keragaman (H’). Komunitas fungi dengan nilai Index Keragaman yang kecil cenderung mengelompok pada cabang pohon terbawa pada komunitas fungi tempe WJB, WHR dan HTN. Tempe HTN dengan nilai Index Keragaman yang kecil membentuk cabang pohon yang terpisah karena dalam prosesnya, dilakukan penambahan tepung beras sebelum proses fermentasi dilakukan. Tepung beras
72
dapat menjadi substrat tambahan yang mempengaruhi pertumbuhan cendawan. Tempe WJB dan WHR mengelompok karena hari fermentasi yang berbeda dari tempe lain. Tempe WJB difermentasi dalam waktu satu malam dan diduga suksesi pertumbuhan fungi belum maksimal terjadi karena masih ada pada tahap awal pertumbuhan fungi (0-36 jam). Kondisi ini berpengaruh pada keragaman fungi yang tumbuh. Sebaliknya tempe WHR yang difermentasi selama tiga hari telah memasuki tahapan kematangan kedua (36-60 jam) dimana sudah mulai terjadi deteriorasi fungi sehingga mengurangi keragaman fungi yang ada di tempe (RuitzTeran & Owen 1996). Pada analisis pengelompokan fungi juga terlihat bahwa tempe SDJK dan SDJD memiliki kecenderungan pengelompokan yang sama dengan pada komunitas bakteri. Kecenderungan pengelompokan ini terlihat sangat dipengaruhi oleh proses fermentasi yang berbeda dari tempe yang lain. Penambahan bahan tambahan berupa jagung putih dan butiran beras tidak berpengaruh pada pengelompokan seperti pada tempe HTN karena ditambahkan setelah proses fermentasi pertama untuk mengurangi bahan baku biji kedelai yang digunakan. Barcoding system tempe dapat digunakan untuk menjamin keaslian komposisi mikroorganisme yang dapat berimbas pada komposisi nutrisi tempe Indonesia. Baik komunitas bakteri maupun fungi pada penelitian ini dapat digunakan sebagai barcoding system tempe, walaupun demikian dari koefisien Sorensen’s komunitas, terlihat bahwa bakteri lebih diskriminatif dalam memilah tempe karena memiliki nilai kemiripan yang kecil. Tempe SDJD dan SDJK yang cenderung mengelompok baik pada komunitas bakteri maupun komunitas fungi dapat digunakan sebagai pembanding. Pada komunitas bakteri, kemiripan komunitas pada kedua tempe ini cenderung kecil sebaliknya kemiripan komunitas funginya lebih besar. Hasil ini menunjukkan bahwa komunitas bakteri lebih baik digunakan dalam membedakan tempe dan dapat digunakan sebagai barcoding system tempe di Indonesia. Hal ini juga didukung oleh nilai index Simpson (D) OTU BARISA yang relatif lebih kecil dibandingkan OTU FARISA. Index Simpson (D) menunjukkan peluang dua OTU ditemukan sebagai OTU yang sama dalam suatu komunitas (Krebs 1989). Hal ini terjadi karena pada komunitas OTU BARISA, peluang ditemukan dua OTU yang sama relative lebih kecil
73
dibandingkan OTU FARISA dan keragaman OTU (nilai H’) juga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan fungi. Walaupun demikian, profil FARISA dapat tetap digunakan untuk melakukan pencirian berdasarkan komunitas fungi yang ada di tempe karena keragaman komunitas OTU fungi juga relatif tinggi. Pengelompokan mikroba yang terlihat membedakan satu produsen terhadap produsen yang lain terjadi karena proses pengolahan yang berbeda antar produsen dan kondisi lingkungan maupun sanitasi yang mendukung proses fermentasi tempe. Scheirlink et al. (2007) menyatakan bahwa untuk fermentasi yang terbuka, struktur komunitas mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat proses fermentasi. Komunitas mikroba utama yang berperanpun bahkan dapat bervariasi pada waktu yang berbeda. Variasi bakteri yang tinggi ini disebabkan karena proses pengolahan yang tidak terlalu bersih. Produsen SDJD lebih memilih untuk mencuci kedelai hasil perendaman dan fermentasi tahap pertama di kamar mandi. Produsen MLGA bahkan melakukan perebusan di toilet yang masih digunakan. Produsen di daerah Sidoarjo lebih cenderung melakukan proses fermentasi dua kali sehingga memungkinkan masuknya lebih banyak mikroba. Metode yang digunakan oleh delapan produsen sangat bervariasi dan tidak memiliki urutan pengolahan yang sama walaupun produsen dari daerah yang sama. Pada daerah Sidoarjo, variasi mikroba yang tinggi diduga disebabkan karena adanya proses fermentasi yang dilakukan dua kali dan adanya starter yang dimodifikasi dengan mencampur dua macam starter. Pada daerah Malang variasi mikroba yang tinggi disebabkan karena starter yang digunakan adalah starter yang berupa spora yang tumbuh di atas daun tanaman waru (Hibiscus tiliaceus) yang telah dijual bebas di pasar. Konsorsium mikroba yang kelihatan berbeda dapat digunakan untuk menghasilkan produk fermentasi yang sama. Konsorsium ini dapat mengandung spesies yang berbeda maupun spesies yang secara berulang ditemui (Ampe & Miambi 2000). Pada proses fermentasi tempe, terdapat OTU dalam FARISA type yang secara berulang dijumpai dan diduga merupakan penciri isolat yang sama karena ditambahkan sebagai kultur starter. Variasi OTU dalam BARISA type lebih bersifat diskriminatif karena tidak ditambahkan sebagai kultur starter
74
melainkan muncul secara spontan dari lingkungan tempat fermentasi dilakukan. Implikasi variasi mikroba yang berbeda menyebabkan karakteristik tempe hasil fermentasi yang berbeda. Komunitas mikroba yang berbeda dapat menimbulkan variasi cita rasa seperti pada fermentasi anggur atau keju. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan karakteristik karena adanya komposisi senyawa kimia yang berbeda dan berakibat pada sensori produk hasil fermentasi pada daerah geografis berbeda (Kallithraka et al. 2001). Produk fermentasi dengan kualitas yang sama dapat diperoleh, akan tetapi perancangan kultur starter perlu mempertimbangkan keberadaan beberapa spesies sehingga dapat diperoleh produk dengan cita rasa yang konsisten. Walaupun tidak dilakukan analisis organoleptik untuk delapan tempe yang digunakan, studi literatur menunjukkan bahwa komunitas berbeda yang ditemukan pada jenis proses fermentasi yang sama dapat memberikan hasil cita rasa yang berbeda (Andora et al. 2012; Yun et al. 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunitas bakteri pada delapan tempe dari daerah yang berbeda menunjukkan variasi yang signifikan. Variasi ini diduga berpengaruh terhadap cita rasa yang berbeda antara tempe satu daerah dengan daerah lain. Secara umum dapat terlihat bahwa bakteri yang berasal dari lingkungan proses fermentasi diduga berkontribusi dalam menentukan perbedaan karakter tempe antar daerah produsen yang berbeda. Peran bakteri ini terlihat dari BARISA type yang sangat berbeda yang ditemukan pada produsen yang berbeda meskipun menggunakan kultur starter yang sama. Dalam usaha untuk memahami peran bakteri ini lebih lanjut perlu dilakukan identifikasi bakteri-bakteri ini secara lebih detail.
Analisis Gen 16S rRNA yang Berasal dari Komunitas Bakteri pada Tempe Identifikasi Bakteri yang Melimpah pada Produsen yang Berbeda. Bakteri yang terlibat dalam proses fermentasi tempe perlu diidentifikasi lebih lanjut karena keunikan komposisi pada produsen yang berbeda yang diduga berperan dalam keunikan cita rasa tempe sesuai hasil yang ditunjukkan pada analisis clustering (Gambar 13). Analisis ini penting untuk melihat bakteri-bakteri yang secara dominan terlibat dalam proses fermentasi tempe pada produsen yang
75
berbeda. Identifikasi ini memungkinkan dipahaminya kondisi fermentasi tempe yang mampu membedakan karakter satu tempe terhadap tempe lain. Komunitas mikroba harus dipelajari dengan pendekatan ‘deep sequencing’ karena memberi gambaran lengkap tentang komposisi mikroba yang ada dalam suatu sistem fermentasi (Nam et al. 2012). Analisis pustaka gen 16S rRNA dapat menjadi salah satu pilihan pendekatan yang cukup baik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi komunitas mikroba pada suatu komunitas. Informasi pustaka gen 16S rRNA ini dapat menjadi data dasar dalam mempelajari komposisi, peran dan interaksi anggota komunitas ini lebih lanjut dalam suatu lingkungan (Lowe et al. 2011). Analisis gen 16S rRNA dilakukan dengan tujuan melihat komposisis bakteri dan profil bakteri yang dominan dalam proses fermentasi tempe. Komposisi bakteri tidak dapat dilihat dari profil ARISA karena walaupun bersifat diskriminatif dalam memilah komunitas mikroba, teknik ARISA memiliki kelemahan. Teknik ini tidak memungkinkan identifikasi langsung mikroba berdasarkan ukuran panjang fragmen OTU dalam electropherogram karena satu spesies dapat dicirikan oleh lebih dari satu peak (Popa et al, 2009). Analisis ini dilakukan pada tempe dari dua produsen, yaitu produsen dari Sidoarjo (SDJD-1) dan dari Bogor (EMP-3). Alasan pemilihan kedua produsen ini adalah berdasarkan inokulum yang digunakan, pada tempe SDJD digunakan starter modifikasi dengan mencapur dua macam starter dengan merek yang berbeda, sedangkan pada produsen EMP hanya digunakan satu macam starter. Kedua produsen sebenarnya menggunakan starter dengan jenis yang sama, akan tetapi pada produsen SDJD starter yang digunakan dikombinasikan dengan starter lokal dengan komposisi yang tidak diketahui. Pemilihan ini menarik karena seharusnya ditemukan komunitas fungi dan bakteri yang sama bila starter yang digunakan juga sama. Tetapi hasil ini akan berbeda jika dilakukan modifikasi dengan penambahan starter lain. Produsen EMP juga dipilih karena penelitian komunitas bakteri pernah dilakukan dan telah tersedia data sebelumnya yang dapat digunakan sebagai perbandingan (Barus et al. 2008).
76
Sebelum pembuatan pustaka gen 16S rRNA, kloning daerah intergenik antara gen 16S rRNA dan 23S rRNA telah dilakukan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa teknik ini cukup baik memberi gambaran tentang spesies pada tempe, akan tetapi identitas bakteri yang teridentifikasi tidak terlalu valid karena
prosentasi
kesamaan dengan database
yang ada di
European
Bioinformatics Institute (EBI) sangat rendah. Hal ini diduga karena ketersediaan data sekuen intergenik gen 16S-23S rRNA pada database yang masih sangat minim. Keterbatasan ini berpengaruh pada identifikasi daerah ITS yang terklon dari populasi tempe EMP dimana dari sepuluh klon yang dianalisa, hanya dua klon yang teridentifikasi walaupun dengan prosentasi identitas yang rendah. Tiga puluh klon dari masing-masing pustaka gen 16S rRNA tempe asal EMP dan SDJD diambil secara acak untuk disekuen dan diidentifikasi bakteri yang dominan. Hasil yang diperoleh (Gambar 15 dan 16) menunjukkan bahwa Klebsiella sp. dan uncultured Klebsiella sp. merupakan bakteri yang mendominasi komunitas bakteri pada tempe dari produsen SDJD. Pada tempe EMP teridentifikasi bahwa Acetobacter sp. merupakan bakteri yang paling dominan diikuti oleh bakteri Lactobacillus sp. Perbedaan komunitas bakteri pada tempe berbeda dapat disebabkan karena perbedaan bahan baku (Kim & Chun 2005) atau proses fermentasi (termasuk starter) yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan kualitas sensori tempe yang berbeda. Hal ini teramati pada proses fermentasi kimchi seperti yang dilaporkan oleh Jung et al. (2012). Proses fermentasi secara umum sangat bergantung pada mikroba indogenus yang terbawa oleh substrat makanan. Hal ini berimplikasi terhadap mikroba yang akan mempengaruhi komposisi dan aktivitas dari komunitas dalam proses fermentasi. Hal ini memberi dampak langsung terhadap kualitas dan konsistensi (reprodusibel) proses fermentasi. Substrat fermentasi memiliki komposisi fisiko-kimia yang sangat heterogen sehingga memungkinkan munculnya relung kehidupan mikroba berbeda oleh galur-galur terspesialisasi. Galur-galur yang ada akan berinteraksi untuk memperoleh nutrisi melalui berbagai mekanisme dan menghasilkan karakteristik berbeda pula (Siuwerts et al. 2008).
77
Spesies dominan juga dapat digunakan sebagai spesies indikator yang dapat menjadi penciri tempe. Pada tempe EMP, Lactobacillus dan Acetobacter adalah bakteri yang pernah dilaporkan muncul selama proses perendaman biji kedelai (Mulyowidarso 1991b; Barus et al. 2008) dan pada proses pengolahan pada produsen ini, setelah perendaman tidak dilakukan perebusan lagi seperti pada produsen lain. Keberadaan bakteri ini pada tempe dapat disebabkan karena terbawa dari air rendaman walaupun komposisi bakteri ini sangat berbeda dengan komposisi bakteri yang ditemukan Mulyowidarso et al (1989) pada air rendaman. Hal ini diduga karena proses perendaman yang dilakukan produsen EMP adalah setelah dilakukan perebusan dan setelah perendaman proses perebusan tidak dilakukan. Hal ini menyebabkan bakteri yang ada di air rendaman terbawa pada proses perendaman karena bakteri pada air perendaman tidak tereduksi oleh proses perebusan setelah perendaman. Bakteri yang dominan akan berkontribusi terhadap galur bakteri lain yang dimungkinkan tumbuh karena adanya aktivitas metabolisme dari isolat yang dominan tersebut dan berkontribusi pula terhadap karakteristik tempe yang dihasilkan. Publikasi sebelumnya telah melaporkan adanya rasa pahit dengan intensitas yang tinggi pada tempe EMP (Barus et al, 2008). Walupun demikian dominansi Acetobacter dan Lactobacillus pada tempe EMP (Bogor) yang ditemukan pada penelitian ini dapat menjelaskan salah satu penyebab munculnya rasa asam pada tempe. Bakteri asam asetat merupakan bakteri yang penting dalam industri cuka karena mampu menghasilkan asam asetat dari ethanol dengan adanya oksigen. Bakteri ini dapat diisolasi dari berbagai sumber seperti buahbuahan, bunga dan makanan fermentasi (Sengun & Karabiyikli 2011). Pada fermentasi cocoa, bakteri asam asetat ternyata sangat dibutuhkan bersama-sama dengan bakteri asam laktat dan khamir karena proses fermentasinya akan menghasilkan flavor. Karakteristik ‘vinegar-like’ pada fermentasi biji cocoa merupakan kontribusi bakteri asam asetat. Bakteri asam asetat juga dapat memetabolisme gula-gula dan asam organik untuk menghasilkan aldehid, senyawa keton dan produk volatil lain yang dapat berpengaruh terhadap kualitas sensori dari biji cocoa (Ardhana & Fleet 2003).
78
Bakteri asam laktat merupakan salah satu jenis bakteri yang dapat ditemukan pada tahapan perendaman tempe yang berfungsi menghasilkan asamasam organik seperti asam laktat dan malat yang dapat menekan pertumbuhan bakteri penyebab pembusukan dan bakteri patogen yang mungkin muncul selama proses perendaman (Mulyowidarso et al. 1991).
Hubert et al. (2008) juga
menyatakan bahwa fermentasi kecambah kacang kedelai dengan adanya bakteri asam laktat akan meningkatkan komposisi dan kandungan senyawa antioksidan. Bila proses pembuatan tempe dibuat dengan tahapan perendaman tanpa pemasakan terlebih dahulu dan dengan adanya bakteri asam laktat yang terlibat dalam proses fermentasi, maka kandungan senyawa antioksidan akan lebih tinggi. Walaupun bakteri asam laktat ditemukan pada tempe EMP, belum tentu tempe ini mengandung senyawa antioksidan yang tinggi karena pembuatan tempenya telah diawali dengan perebusan yang mencegah pembentukan kecambah biji kedelai. Lactobacillus reuteri CRL1098 merupakan salah satu bakteri yang diisolasi dari sourdough, telah dilaporkan mampu mereduksi gliserol dengan membentuk 1,3-propenediol sebagai produk akhir (Taranto et al. 2003). Santos et al. (2008) bahkan telah mengkonfirmasi bahwa corrinoid yang diproduksi oleh galur bakteri asam laktat pada kondisi anaerobik adalah suatu pseudovitamin B12. Saat ini, isolat ini telah digunakan dalam susu kedelai sebagai isolat yang bisa mensintesis vitamin B12 dan mencegah defisiensi vitamin pada mencit uji (Molina et al. 2012). Tidak tertutup kemungkinan bahwa secara alami isolat ini juga dapat ditemukan di tempe dan menghasilkan vitamin B12. Proses pembuatan tempe SDJD diawali perebusan sebelum fermentasi tanpa perendaman. Pada tempe ini, bakteri yang dilaporkan Tuncel dan Goktan (1990) muncul dan dapat tereduksi pada awal perendaman seperti Klebsiella pneumoniae tetap terbawa dan bahkan menjadi bakteri dominan. Tahapan perendaman tempe tidak ditemukan dalam proses pengolahan sehingga reduksi bakteri seperti Klebsiella tidak terjadi di awal fermentasi (Tuncel & Goktan 1990). Mulyowidarso et al. (1989) juga telah melaporkan peran Klebsiella pneumonia yang mampu menghasilkan asam laktat dan asam sitrat selama proses perendaman kacang kedelai. Walaupun demikian, konsentrasi asam yang dihasilkan masih jauh konsentrasinya dibandingkan bakteri asam laktat.
79
Dominansi bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae pada tempe SDJD (Sidoarjo) dapat disebabkan karena kelompok bakteri ini mampu menghasilkan bakteriosin sesuai laporan Moreno et al. (2002). Kondisi ini memungkinkan bakteri ini lolos karena proses pemasakan tidak terlalu mempengaruhi jumlah bakteri ini karena jumlah bakteri ini pada bahan baku dan karena kemampuan kompetisinya menyebabkan bakteri dari kelompok ini diduga bertahan dalam jumlah yang tinggi (Mulyowidarso et al. 1989). Masuknya bakteri ini juga dimungkinkan karena proses pencucian yang dilakukan setelah proses fermentasi tahap pertama dilakukan di kamar mandi dengan sumber kontaminasi yang besar. Keuth dan Bisping (1994) telah melaporkan bahwa bakteri Klebsiella pneumonia yang dihasilkan dari tempe mampu menghasilkan vitamin B 12 sehingga dapat diduga bahwa tempe SDJD akan mengandung banyak vitamin B12 berdasarkan komunitas bakteri yang ditemukan pada tempe SDJD. Klebsiella juga telah dilaporkan sebagai bakteri yang memiliki enzim invertase dan α-galaktosidase yang mampu medegradasi karbohidrat (sukrosa dan stachyose) yang ada pada tempe sehingga berkontribusi terhadap cita rasa yang terbentuk pada tempe (Mulyowidarso et al. 1991). Dominansi bakteri seperti Klebsiella dan Acetobacter menunjukkan bahwa proses produksi pada dua produsen sangat berbeda sehingga memungkinkan bakteri yang berbeda tumbuh dan bertahan dalam sistem fermentasi. Tidak tertutup kemungkinan bakteri Klebsiella dan Acetobacter juga telah terbawa dari starter yang digunakan. Bakteri-bakteri ini bisa tetap bertahan hidup atau hilang selama proses fermentasi karena tekanan seleksi oleh bakteri lain. Komposisi starter yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap cita rasa yang berbeda (Andora et al. 2012). Pada penelitian ini, teramati pula bahwa hasil identifikasi perbandingan gen 16S rRNA hasil kloning dengan data base NCBI memberikan kesamaan sekuen yang umumnya kurang dari 97% (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa spesies bakteri yang terlibat pada proses fermentasi tempe kemungkinan besar adalah isolat bakteri yang dapat dikategorikan sebagai isolat yang baru tereksplorasi dari tempe Indonesia.
80
Analisis Profil ARISA Isolat Tunggal Bakteri, Suatu Upaya Analisis Keamanan Pangan. Keamanan pangan tempe pada penelitian ini dilakukan dengan melihat perbandingan isolat tunggal antara isolat yang berasal dari tempe dengan isolat komersil patogen. Teknik ARISA lebih baik digunakan dalam menganalisis isolat tunggal karena teknik ini mampu memilah spesies-spesies dengan kesamaan 99% berdasarkan sekuen gen 16S rRNA. Danovaro et al. (2006) telah menggunakan teknik ini dan mampu memilah spesies Pseudomonas yang dengan teknik T-RFLP terdeteksi sebagai spesies yang sama. Popa et al. (2009) juga menyatakan bahwa metode ARISA sangat baik digunakan untuk monitoring bakteri dalam aplikasi yang membutuhkan resolusi filogenetik yang tinggi. Dengan teknik ini galur Shewanella dapat dibedakan secara baik berdasarkan sidik jari ARISA yang disebut filotipe. Analisis profil ARISA isolat tunggal juga dilakukan dengan tujuan melihat potensi isolat yang ditemukan ditempe sebagai isolat yang sama atau tidak dengan isolate ATCC yang bersifat patogen. Untuk melihat apakah isolat tersebut sama atau berbeda, dilakukan analisis perbandingan profil BARISA antara isolat yang telah diisolasi dari tempe dengan isolat ATCC. Isolat bakteri yang digunakan meliputi Klebsiela 135 yang teridentifikasi sebagai Klebsiella pneumoniae dengan uji biokimia (Hanjaya 2011) dan Bacillus GR9 yang teridentifikasi sebagai Bacillus cereus berdasarkan sekuen gen 16S rRNA (Wati 2011) yang diperoleh dari tempe (koleksi FTB-UNIKA Atmajaya Jakarta) dan dua isolat pembanding yaitu Bacillus cereus ATCC 10876 (koleksi IPBCC) dan Klebsiella pneumonia ATCC 35657 (koleksi FTB-UNIKA Atmajaya Jakarta). Profil ARISA isolat tunggal bakteri menunjukkan bahwa isolat tunggal terdiri dari lebih dari satu BARISA type yang menunjukkan bahwa analisis ARISA bersifat sangat spesifik bahkan pada tingkatan intraspesies. Walaupun ditemukan BARISA type yang merupakan penciri isolat dalam genus yang sama seperti BARISA type dengan ukuran 226 dan 227 yang mencirikan Bacillus (Gambar 17) dan BARISA type dengan ukuran 430, 507 dan 509 yang dapat mencirikan Klebsiella (Gambar 18) terlihat bahwa isolat yang ditemukan pada tempe adalah isolat yang berbeda dari
81
isolat ATCC (Tabel 6,7). Hal ini menunjukkan bahwa isolat yang ditemukan pada tempe belum tentu merupakan isolat yang sama karena berbeda secara genetik. Beberapa laporan menunjukkan bahwa proses fermentasi melibatkan Klebsiella pneumoniae (Liem et al. 1997; Keut & Bisping 1994) sebagai penghasil vitamin B12 dan Bacillus cereus (Tuncel & Goktan 1990; Kiers et al. 2000) sebagai penghasil enzim proteolitik dalam proses fermentasi. Walaupun menguntungkan, isolat-isolat ini tergolong isolat yang tidak aman untuk dikosumsi walaupun belum pernah dilaporkan adanya kasus penyakit akibat konsumsi tempe. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa isolat Klebsiella 135 yang teridentifikasi sebagai Klebsiella pneumoniae dengan uji biokimia (Hanjaya 2011) dan Bacillus GR9 yang teridentifikasi sebagai Bacillus cereus berdasarkan sekuen gen 16S rRNA (Wati 2011) merupakan isolat yang berbeda sama sekali dari galur ATCC secara genetik. Hasil ini didukung pula oleh penelitian Keuth & Bisping (1994) yang menyatakan tidak ditemukannya gen penyandi shiga like toxin pada bakteri Klebsiella pneumoniae yang digunakannya dalam proses fermentasi tempe. Walaupun demikian masih perlu dilakukan konfirmasi lebih lanjut. Konfirmasi ini dapat dilakukan dengan melakukan perbandingan dengan analisis genetik yang lebih diskriminatif antara lain Schizotyping (Macrorestriction Fragment Length Polymorphism) antara galurgalur bakteri (Suwanto & Kaplan 1989; Suwanto 1994), dan konfirmasi patogenisitasnya melalui amplifikasi gen yang mengkodekan sifat patogen.