PEMBACA DAN KARYA SASTRA Keterbatasan Peneliti dan Ketidakterbatasan Interpretasi Heru Marwata 1.
Pengantar Ilmu sastra biasanya dibagi menjadi tiga bidang, yakni teori, sejarah, dan kritik sastra. Dan ketiga bidang tersebut yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah kritik sastra, terutama salah satu tahap kritik yang disebut interpretasi. Sebagai salah satu tahap kritik, interpretasi memiliki peran yang sangat besar dalam proses penilaian. Keakuratan, kecermatan, dan ‘kecanggihan’ interpretasi seorang peneliti sangat menentukan ketepatan hasil evaluasi atas suatu karya sastra. Dalam hubungan antara peneliti dan fiksi, khususnya dalam kerangka kritik sastra, sebenamya interpretasi siapakah yang layak dianggap baik? Interpretasi seperti apakah yang bisa dianggap tepat? Seberapa jauhkan interpretasi seseorang
dapat
dianggap
memadai?
Pertanyaan-pertanyaan
mi
sangat
mengganggu pikiran saya. 2.
Beberapa Kasus Yang Mungkin a.
Seorang mahasiswa menghadapi ujian skripsi. Ia duduk di kursi kecil
(yang biasa dipakai di ruang kuliah, dilengkapi dengan bangku mungil). Di depannya sebuah meja besar bertaplak hijau (meja hijau). Di seberang meja hijau itu duduk penuh wibawa tiga orang dosen penguji. Mereka duduk di kursi besar, sandaran kepalanya tinggi, berlengan, dan bisa berputar-putar atau bergerak ke segala arah. Kursi dosen penguji itu kelihatan empuk, nyaman, dan gaya, di samping--tentu saja-- kentul-kentul karena memang ada pernya. “Saudara A, saya kira penafsiran Anda atas peristiwa yang menimpa B dalam novel C ini tidak tepat. Saya ‘kenal’ baik novelis itu, dan saya ‘tahu’ persis bahwa yang ingin disampaikannya dalam peristiwa itu bukanlah seperti yang Anda katakan. Saya harap Anda memperbaiki uraian pada bagian itu dengan ....“ Saat itu si mahasiswa mencoba membela din dengan berbagai alasan dan bukti ‘empiris’ yang didapatkannya. Namun, sayang, akhirnya pendapatnya ‘tergilas’ oleh kewibawaan sang penguji. Ia pun mengalah dan menyatakan sanggup merevisi bagian tersebut sesuai dengan keinginan sang penguji.
Dalam kasus di atas, sekiranya benar-benar terjadi, bagaimana komentar Anda? Bisakah kita berbicara tentang benar atau salah dalam hal itu? b.
Makalah kritik sastra seorang mahasiswa dari Medan ternyata
mendapatkan nilai ‘jelek’. Menurut dosen pengampu mata kuliah kritik sastra, yang kebetulan orang Jawa, mahasiswa tersebut melakukan beberapa kesalahan ketika menginterpretasikan salah seorang tokoh dalam suatu novel berlatar dunia pewayangan Jawa. Mahasiswa Medan itu membuat penafsiran berdasarkan epos Mahabharata yang pemah ‘disuntukinya’. Ia tidak mendalami dunia pewayangan Jawa sehingga interpretasinya dinilai kurang tepat oleh dosen pengampu yang memang menguasai dunia pewayangan Jawa. Seandainya kasus di atas sungguh-sungguh terjadi, bisakah kita bertanya tentang interpretasi siapa yang tepat atau benar? c.
Pernah seorang guru besar mengomentari disertasi yang akan diuji di
senat universitas. “Wong ora ngerti wayang kok neliti pengaruh wayang terhadap karya sastra, njur munine piye?” Siapakah sebenarnya yang paling berkompeten memberikan penafsiran atas suatu karya? d.
Suatu saat diadakan acara diskusi dan bedah buku. Pengarang buku
juga hadir dalam acara itu sebagai narasumber. Salah satu pernyataan penulis buku itu berbunyi, “Ada banyak hal yang saya setujui dan bahkan ada beberapa yang baru saja saya sadari kembali, tetapi banyak pula interpretasi yang menurut saya tidak atau kurang sesuai dengan harapan saya”. Secara berseloroh kemudian ada peserta diskusi yang menanggapi dengan usulan, “Kalau begitu, saya kira lebih baik pengarang menulis sebuah buku pendamping karya yang didiskusikan ini. Karya pendamping itu memberikan penjelasan dan uraian panjang lebar tentang segala hal yang ada dalam dan berkaitan dengan karya tersebut Dengan membaca buku penjelasan pengarang itu niscaya tidak akan ada pembaca yang tersesat memasuki dunia karya sang pengarang”. Tentu saja usulan itu mengundang komentar ‘minor’ peserta diskusi. Jika setiap karya disertai karya pendamping seperti itu, menurut sebagian besar peserta diskusi, karya sastra akan kehilangan daya tariknya, kehilangan misteri, dan pasti tidak akan menantang lagi. Dalam kasus ini sebenarnya bisakah kita
beranggapan bahwa pengarang adalah pemegang otoritas tertinggi dalam hal interpretasi atas suatu karya? Pernah ada suatu seminar membahas suatu novel. Dalam acara itu
e.
pengarang juga hadir sebagai narasumber dan tampil bersama dua pembicara ahli. Pada saat akan mengawali pembicaraan kedua pakar sastra yang menjadi pembicara itu selalu berkata, “Saya sebenarnya sungkan membicarakan novel ini di depan penulisnya. Saya takut salah. Apalagi novelis itu termasuk salah seorang yang saya kagumi karyanya dan kebetulan pernah menjadi dosen saya dalam mata kuliah penulisan kreatif”. Ketika itu sang novelis juga memberikan tanggapan. “Saya memang penulis karya itu. Namun, saya bukanlah satu-satunya pemilik karya itu, apalagi setelah karya itu beredar di pasaran. Saya merasa tidak berhak lagi mengklaim apa pun yang berkaitan dengan isi novel itu. Saya mohon karya itu ‘dibantai’ habis-habisan sehingga saya mendapatkan banyak masukan”. Ternyata sebagian besar peserta seminar menyetujui tanggapan si novelis. Meskipun demikian, ternyata juga bahwa dua pakar yang menjadi pembicara tetap merasa sungkan, apalagi ketika memberikan kritik, apalagi temyata juga bahwa ketika mendengar kritikan tersebut novelis kadang-kadang mengernyitkan alis dan menampakkan perubahan roman muka yang demikian kentara. Jika hal ini benarbenar terjadi, siapakah yang layak dipersalahkan? Panitia yang mengundang penulis
sebagai
narasumber
bersama
pembicarakah?
Atau,
sebenarnya,
interpretasi itu sendirikah yang tidak dapat menempatkan diri? Konon pemah terjadi ada seorang cerpenis yang ‘marah besar’ setelah
f. membaca
resensi
seseorang
atas
cerpennya.
Cerpenis
itu
kemudian
mengekspresikan kemarahannya di mana-mana, di setiap kesempatan yang dimilikinya, termasuk di media massa. Tidak hanya sampai di situ, bahkan cerpenis tersebut kemudian balas mengkritik habis-habisan cerpen-cerpen yang kebetulan pernah ditulis oleh orang yang meresensi karyanya. Dalam berbagai kesempatan yang dimiliki, si pemberi resensi pun selalu menyatakan sikapnya. Ia sangat menyayangkan sikap cerpenis yang cerpennya diresensi. Mendapati kenyataan seperti itu rata-rata mahasiswa sastra ternyata ikut menyalahkan sang cerpenis. “Kalau setiap karyanya dibahas lalu marahmarah, sebaiknya ia tidak usah menulis lagi, atau lebih baik ia menulis, tetapi tidak
usah diterbitkan. Lebih baik ia baca sendiri karya-karya itu sebagai sarana untuk melakukan ‘masturbasi’ intelektual.” Ada cerita menarik. Pada saat menjadi mahasiswa baru saya
g.
mempunyai hobi membaca novel. Saya meminjam novel dari berbagai perpustakaan dan membawanya pulang. Di rumah saya ada banyak orang, termasuk beberapa sepupu saya yang semuanya kuliah di IKIP Negeri (sekarang UNY) dan mengambil jurusan yang termasuk ilmu eksakta. Mereka pun ikut membaca novel-novel yang saya pinjam. Saya tertarik pada komentar-komentar mereka. Setelah ikut membaca karya-karya pujangga Balai Pustaka mereka mengatakan bahwa karya-karya itu bagus dan menyenangkan serta enak dibaca. Demikian pula ketika saya bawakan novel-novel Pujangga Baru. Karya-karya STA, misalnya, mereka katakan sebagai karya yang baik. Ketika membaca Belenggu Armijn Pane mereka sedikit mengkritik. “Apik ning rodok mbulet. Rodok angel dipahami,” komentar mereka. Saat saya bawakan karya-karya Motinggo, Eddy D. Iskandar, Ashadi Siregar, Mira W., atau N.H. Dini mereka menyatakan senang membacanya. Apalagi ketika saya bawakan model komik seperti yang ditulis S.H. Mintardjo, Kho Ping Hoo, atau Herman Pratikno. Mereka benar-benar sangat menyukainya. Karya-karya itu menarik hati mereka. Namun, ketika suatu saat saya bawakan Burung-Burung Manyar-nya Mangunwijaya saja mereka sudah mengeluh. “Akhire ora cetha,” kata mereka. Ketika saya bawakan Merahnya Merah, Ziarah, dan Koong-nya Iwan Simatupang mereka langsung tidak mau membaca. “Iki novel apa?” gerutu mereka. Menurut semua sepupu saya karya yang baik adalah yang jalan ceritanya lancar, dan yang sangat penting, akhirnya harus jelas. Mereka sangat menyukai novel yang gamblang, tidak memerlukan tafsiran apa pun, mudah dipahami isinya, gampang diikuti jalan ceritanya, dan tidak ada kerumitan atau pertanyaan yang tidak terjawab. Bagaimana seandainya mereka diminta menginterpretasikan suatu karya? Sama, berbeda, atau sangat berbedakah tafsiran mereka jika dibandingkan dengan tafsiran seorang mahasiswa sastra? Jika sepupu saya mengatakan novel yang dibacanya apik, samakah kriteria apik mereka dengan kriteria para mahasiswa sastra yang juga mengatakan apik?
h.
Suatu saat 150-an mahasiswa saya beri tugas membaca dan
memberikan tafsiran atas cerpen (-cerpen) Umar Kayam. Ternyata yang muncul juga hampir 150 penafsiran. Ada yang merasa yakin tafsiramiya mengena karena ia telah membaca tafsiran orang lain dalam bentuk karya ilmiah. Ada yang merasa lebih mudah menafsirkan karya Umar Kayam karena ia pemah membaca tulisantulisan seputar proses kreatif Umar Kayam. Ada yang memberikan tafsiran secara mantap karena merasa sebagai orang Jawa yang cukup mengetahui budaya Jawa secara baik. Ada yang mengatakan terbantu karena sering sekali mengikuti berbagai diskusi, seminar, dan pertemuan-pertemuan ilmiah yang membahas karya-karya Umar Kayam. Ada juga yang mengatakan memiliki bekal membuat interpretasi karena berkali-kali mewawancarai Umar Kayam. Ada pula yang merasa enjoy membuat tafsiran karena ia telah membaca hampir semua karya Umar Kayam, memhami tulisan tentang Umar Kayam, dan mengetahui pikiranpikiran Umar Kayam. Di antara sekian banyak mahasiswa itu, ada pula yang mengeluh dan menyatakan kesulitan merasa tidak mengerti/memahami bahasa dan budaya Jawa. Sikap ini perlu dipertanyakan. Tentu saja tidak ada jaminan bahwa analisis (interpretasi) orang luar Jawa terhadap karya-karya yang berlatar atau memuat budaya dan ada selipan kata-kata Jawa pasti kalah mendalam (tepat) dibandingkan analisis orang Jawa. Dalam
kasus
di
atas,
tafsiran
siapakah
yang
paling
bisa
dipertanggungjawabkan. Apakah semua tafsiran itu benar? Benar jugakah tafsiran seorang mahasiswa yang menyatakan bahwa ia sama sekali tidak mengetahui latar budaya Jawa, tidak mengetahui siapa Umar Kayam, baru membaca satu karya Umar Kayam (yang dibahas dalam tulisannya itu saja), dan tidak memiliki pengetahuan ‘instan’ tentang Umar Kayam dan karyanya? i.
Pada tahun 90-an saya menonton film yang ‘diputar’ TVRI. Film itu
ditayangkan dua kali, dan saya menonton kedua tayangan tersebut. Film itu berjudul Back Street. Kalau tidak salah film itu diangkat dari sebuah buku (novel). Saya lupa tahun pembuatannya, tetapi jelas film lama (sekitar tahun 60-an). Saya juga lupa siapa bintangnya, tetapi saya ingat persis bagaimana ceritanya. Saya tertarik pada film itu karena mengingatkan saya pada sebuah karya sastra Indonesia yang pernah saya baca. Kalau saya cermati, jalan cerita film itu persis sekali dengan jalan cerita sebuah novel karya pengarang terkenal Indonesia. Variasinya, terutama, hanya terlihat pada latar (Indonesia dan asing) dan tokoh (ada pembalikan posisi pria
pada wanita). Akan tetapi, motif, proses, alur, dan akhir ceritanya bisa dikatakan persis. Karena saya penasaran, ketika ada seminar di sebuah PT di Yogya dan kebetulan pengarang novel yang saya katakan mirip dengan Back Street itu hadir sebagai narasumber, saya pun menanyakan apakah ia pemah membaca novel Back Street atau menonton film dengan judul yang sama. Apa jawabannya? Ia mengatakan bahwa dirinya tidak atau belum pernah membaca novel atau menonton film yang saya maksud. Waktu itu saya sangat tidak percaya. Coba Anda terka, novel apakah (siapakah) yang saya maksud? 3.
Beberapa Pemikiran dan Pertanyaan Lagi Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa karya sastra bersifat banyak tafsir (polyinterpretable). Jika demikian, tafsiran siapakah yang paling dapat dijadikan acuan? Apakah setiap interpretasi adalah sah adanya? Jika muncul banyak sekali penafsiran atas suatu karya, siapakah yang paling berhak memberikan jastifikasi? Tentu saja sulit mengharapkan semua pembaca memiliki latar belakang pemikiran yang sama sehingga menghasilkan penafsiran yang seragam. Tentu sangat sulit mengharapkan bahwa semua pembaca adalah pembaca mahatahu sehingga dapat memberikan tafsiran maksimal atas suatu karya. Tentu juga sulit diterima jika ada pengarang yang mengatakan bahwa karyanya khusus diperuntukkan bagi sekelompok pembaca yang memang ditujunya. Yang paling mungkin, saya kira, adalah membiarkan karya itu seperti adanya dan bersikap legawa atas semua penafsiran yang muncul atasnya. Pengarang memang bisa bersikap demikian, tetapi bagaimana dengan pembaca lain, peneliti lain, penguji tulisan ilmiah, peresensi, atau kritikus? Dalam hal memberikan tafsiran paling tidak ada dua masalah mendasar. Pertama, masalah teknis dan kedua, masalah nonteknis. Jika (karena sudah) disepakati bahwa interpretasi merupakan salah satu langkah kritik sebelum sampai ke penilaian, masalah teknis itu bisa dikaitkan dengan model pendekatan terhadap karya, teori (dan metode) yang dipergunakan sebagai alat analisis, atau masalah-masalah teknis serupa. Sementara itu, masalah nonteknisnya bisa berhubungan dengan usia seseorang, jenis kelamin, agama, suku, pengalaman (baca), pendidikan, latar belakang budaya, dan seterusnya. Jika perbedaan penafsiran yang muncul diakibatkan oleh perbedaan pendekatan (salah satu aspek teknis), misalnya, tentu saja perbedaan itu bisa
lebih mudah dikaji dan dicek berdasarkan fakta/data yang bisa dilacak karena nilai objektivitas penafsiran-penafsiran itu cukup tinggi. Namun, jika perbedaan penafsiran atas suatu karya terjadi karena adanya perbedaan jenis kelamin pembaca (atau karena perbedaan suku, agama, latar budaya, atau salah satu elemen nonteknis lainnya), misalnya, tentu akan (agak) sulit mencari titik temu karena nilai subjektivitas dalam penafsiran itu pasti mi cukup tinggi. 4.
Penutup Sederhana Setelah menyampaikan beberapa uraian, dengan ini saya ingin: 1. mengajak
peserta
PIBSI
memikirkan
cara
mengatasi
ketidaksamaan
interpretasi agar tidak memunculkan ‘dongeng pahit’ yang beronentasi ke pemaksaan
kehendak
atau
pemerkosaan
arah
pemikiran
antar
pembaca/penafsir, khususnya antara pembaca biasa (yang lebih memiliki kewajiban membuat interpretasi) dan pembaca luar biasa (yang lebih memiliki kekuasaan (dan kekuatan) untuk menilai interpretasi; 2. mengajak peserta PIBSI beriur pemikiran untuk mengatasi keterbatasan peneliti dalam memasuki ketidakterbatasan dunia interpretasi (tentu saja jika dapat disetujui bahwa ternyata peneliti mengalami berbagai kendala dan keterbatasan saat memberikan interpretasi, dan juga jika dapat dimakiumi bahwa sebenamya dunia interpretasi atas fiksi sangatlah luas, bahkan tidak terbatas); 3. mengimbau agar setiap orang, terutama pengarang suatu karya, lebih berlapang dada dalam menyikapi interpretasi pembaca tanpa ‘cibiran’ dan ‘tuduhan’ apa pun; 4. mengajak kita semua berpikir (atau memohon kesediaan para pakar agar berkenan memberikan dan menularkan pikiran ‘lurusnya’) seputar masalah tafsir-menafsir karya sastra; 5. terakhir, kembali bertanya, “Dalam penafsiran, sebenarnya, manakah yang lebih penting, dasar pijakan penafsiran, tafsiran, penafsir, atau justru yang ditafsirkannya?” Setelah itu, pertanyaan saya adalah “Siapakah yang sebenarnya paling berhak menentukan ketepatan atau membenkan jastifikasi atas suatu tafsiran?” Anda?