PEMANFAATAN LATEKS KARET ALAM SEBAGAI BAHAN PEMODIFIKASI ASPAL UNTUK MENINGKATKAN MUTU PERKERASAN JALAN ASPAL
Oleh: DEGO YUSA ALI F34052557
2010 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PEMANFAATAN LATEKS KARET ALAM SEBAGAI BAHAN PEMODIFIKASI ASPAL UNTUK MENINGKATKAN MUTU PERKERASAN JALAN ASPAL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: DEGO YUSA ALI F34052557
2010 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PEMANFAATAN
LATEKS
KARET
PEMODIFIKASI
ASPAL
UNTUK
ALAM
SEBAGAI
BAHAN
MENINGKATKAN
MUTU
PERKERASAN JALAN ASPAL
DEGO YUSA ALI F34052557
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ono Suparno, STP, MT
Dr. Ir. Ary Achyar Alfa, MSi
NIP. 19721203 199702 1 001
NIK. 110 700 308
Mengetahui, Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP. 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus: 15 Januari 2010
Dego Yusa Ali F34052557. Pemanfaatan Lateks Karet Alam Sebagai Bahan Pemodifikasi Aspal Untuk Meningkatkan Mutu Perkerasan Jalan Aspal. Di bawah bimbingan Dr. Ono Suparno, STP, MT dan Dr. Ir. Ary Achyar Alfa, MSi.
RINGKASAN Indonesia merupakan produsen karet alam terbesar ke-2 di dunia setelah Thailand. Produksi karet alam Indonesia tahun 2007 mencapai 2,55 juta ton per tahun. Namun, produksi karet alam Indonesia mengalami penurunan akibat krisis global yang terjadi pada tahun 2008. Salah satu sektor yang terkena dampak langsung krisis tersebut adalah industri otomotif yang merupakan konsumen karet alam terbesar di dunia. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi menyebabkan bertambahnya beban lalu lintas (jalan) baik jumlah, beban, maupun kecepatannya. Beban lalu lintas yang berat, suhu permukaan jalan yang mencapai 70oC, curah hujan yang tinggi, serta drainase yang buruk, menyebabkan jalan mudah rusak. Oleh karena itu dibutuhkan modifikasi perkerasan jalan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, salah satunya dengan modifikasi aspal oleh lateks. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh jenis lateks dan dosis penambahan lateks dalam aspal terhadap nilai penetrasi dan titik lembek yang mempengaruhi mutu perkerasan aspal dan mendapatkan campuran beraspal yang terbaik untuk memperbaiki mutu perkerasan jalan aspal. Metodologi penelitian ini terdiri dari dua tahapan, yaitu persiapan bahan baku (penentuan sifat dan karakteristik lateks serta proses depolimerisasi lateks) dan penelitian utama (proses pencampuran lateks ke dalam aspal dan pengujian). Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua kali ulangan untuk masing-masing perlakuan. Faktor-faktor yang dikaji pengaruhnya adalah jenis lateks dan dosis penambahan karet dalam aspal dengan masing-masing 8 dan 3 taraf. Lateks yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu lateks pekat Kadar Karet Kering (KKK) 60% dan lateks depolimerisasi (lateks yang mengalami penurunan bobot molekul akibat pemutusan ikatan polimernya). Depolimerisasi lateks pada penelitian ini menggunakan metode depolimerisasi secara kimia dengan reaksi reduksi-oksidasi (redoks) dengan hidrogen peroksida (H2O2) sebagai oksidator dan natrium hipoklorit (NaOCl) sebagai reduktor. Secara umum, aspal modifikasi yang dihasilkan telah memenuhi syarat mutu atau standar mutu untuk aspal polimer pada nilai penetrasi dan titik lembeknya. Standar mutu nilai penetrasi adalah 50-75 dmm, sedangkan untuk titik lembek adalah minimal 54oC. Nilai penetrasi aspal modifikasi berkisar antara 49,33 sampai 61,25 dmm. Ada dua jenis aspal modifikasi yang nilainya di luar standar, yaitu aspal modifikasi dengan penetrasi 49,52 dan aspal modifikasi dengan
penetrasi 49,33. Nilai titik lembek aspal modifikasi berkisar antara 56,11oC sampai 65,27oC. Aspal modifikasi yang terbaik adalah sampel aspal L5K5 (Lateks depolimerisasi dengan konsentrasi 5% karet dalam aspal). Pemilihan aspal modifikasi yang terbaik tidak hanya ditentukan oleh kesesuaian nilai penetrasi dan titik lembek dengan standar, tetapi juga ditentukan oleh homogenitas antara aspal dan karet.
Dego Yusa Ali F34052557. Utilization of Natural Rubber Latex As Modifying Materials To Improve Quality of Asphalt Road Pavement. Supervised by: Dr. Ono Suparno, STP, MT and Dr. Ir. Ary Achyar Alfa, MSi.
SUMMARY
Indonesia is the second largest producer of natural rubber in the world after Thailand. Indonesia's natural rubber production in 2007 reached 2.55 million tons per year. However, Indonesia's natural rubber production has decreased due to the global crisis that occurred in 2008. One of the sectors directly affected by the crisis is the automotive industry which is the largest consumer of natural rubber in the world. On the other hand, economic growth will increase the traffic load in terms of quantity, weight and speed. The burden of heavy traffic, road surface temperature reaches 70oC, high rainfall and the poor drainage, causing the road can be easily damaged. Therefore, paving way’s modification is required to fulfill those needs, one with the latex modified asphalt. The purposes of this study were to determine the effect of types and additional doses of latex in the asphalt toward penetration value and softening point which affecting the quality of asphalt pavement and to get the best mixture of asphalt to improve the quality of asphalt road pavement. This research methodology consiststed of two stages, namely preparation of raw materials (determination of the nature and characteristics of latex and latex depolymerization process) and the main research (the mixing process of latex into the asphalt and testing). Experimental design used in this study was Complete Random Factorial design with two replications for each treatment. Factors that influence were types and additional doses of latex rubber in the asphalt with each level of 8 and 3. There were two types of latex used in this study, namely concentrated latex which have dry rubber content (DRC) and depolimerization latex (latex which has decreased due to the molecular weight of polymer bonds break). Depolimerization latex in this study employed chemical methods with reduction-oxidation reaction (redox) with hydrogen peroxide (H2O2) as an oxidant and sodium hypochlorite (NaClO) as a reductant. In general, asphalt modification which has produced fulfill the quality requirements or quality standards for asphalt polymer at the value of penetration and softening point. Quality standard of penetration value is 50-75 dmm, whereas minimum value for softening point is 54oC. Modification of asphalt penetration values ranged from 49.33 to 61.25 dmm. There are two types of asphalt modifications outside the standard value, namely the modification of asphalt with a penetration of 49.52 and 49.33. Softening point value of asphalt modification ranged from 56.11oC to 65.27oC.
The best asphalt modification was L5K5 sample (depolimerization latex with 5% additional doses of rubber in asphalt). Selection of the best asphalt modification was not only determined by the suitability of the penetration value and softening point with quality standard, but also was determined by homogenity between the asphalt dan rubber.
BIOD DATA PENU ULIS
Deego Yusa Alii dilahirkan di Bogor paada tanggal 10 1 Februari 19888. Penulis merupakan putra keduua dari dua bersaudara darri bapak R Resta Bustoommy dan ibu Cucuu Mulyati. Penndidikan daasar diselessaikan di S Sekolah Dassar Negeri Suk kadamai 3 Bogor padaa tahun 19999. Setelah lulus dari sekkolah dasar, penulis meelanjutkan peendidikannyya di SLTP N Negeri 5 Bo ogor (1999-2002) dan SM MU Negeri 2 Bogor (20002-2005). Padaa tahun 20055, penulis ditterima di Insstitut Pertaniian Bogor melalui m jalur U Undangan S Seleksi Masu uk IPB (USMI) dengann kurikulum mayor minor. Setelah m melalui Ting gkat Persiappan Bersamaa, penulis diterima d di D Departemen Teknologi I Industri Perrtanian. Padda tahun 20008, penulis berkesempaatan untuk melakukan P Praktek Lappangan di PT T Zehat Intternational Bogor B dengaan judul “M Mempelajari A Aspek Prosees Produksi pada Produuk Olahan Kedelai K di PT T Zehat Inteernational”. S Selama maasa kuliah, penulis terrcatat pernaah aktif dii beberapa organisasi Teknologi k kemahasisw waan seperti UKM MA AX IPB, Himpunan H M Mahasiswa I Industri (HIM MALOGIN)), dan BEM Fakultas Tek knologi Perttanian (FATETA). Penuulis melaksaanakan peneelitian di Balai B Peneliitian Teknologi Karet B Bogor dari bulan b Februuari hingga Mei M 2009 daan menyusunn skripsi deengan judul ” ”Pemanfaata an Lateks Karet K Alam m Sebagai Bahan B Pemoodifikasi Asspal Untuk M Meningkatk an Mutu Peerkerasan Jaalan Aspal”,, sebagai saalah satu sy yarat untuk m mendapatkan n gelar sarjaana pada Faakultas Teknnologi Pertannian, Institutt Pertanian B Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul ”Pemanfaatan Lateks Karet Alam Sebagai Bahan Pemodifikasi Aspal Untuk Meningkatkan Mutu Perkerasan Jalan Aspal” dibuat berdasarkan penelitian yang dilakukan di Balai Penelitian Teknologi Karet, Bogor. Dalam pelaksanaa penelitian dan penulisan Skripsi ini penulis mendapatkan banyak sekali bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ono Suparno, STP, MT sebagai dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Ary Achyar Alfa, Msi selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. 3. Arief Ramadhan, STP sebagai peneliti bidang teknologi karet yang telah memberikan arahan berkaitan dengan skripsi ini. 4. Papa, Mama, Kakak serta Neza Fadia Rayesa tercinta yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan doa kepada penulis. 5. Segenap karyawan Balai Penelitian Teknologi Karet (BPTK) Bogor atas bantuan selama penelitian: Mba Woro, Mba Tri, Mas Syarif, Teh Yati, Mba Desi, Pak Ridwan, Kiki, dan Pak Yusuf. 6. Teman-teman satu penelitian di BPTK: Novi, Mbok T, Wenny, dan Adit atas kerjasama dan suka duka yang dialami bersama. 7. Sahabat-sahabatku: Ragil, Jo, Mba Denok, Amel, Deni, Doni, Fitrah, Indra, Tara, Huda atas segala dukungan kepada penulis selama ini. 8. Teman-teman TIN angkatan 41, 42 dan 43 yang lain sebagai keluarga penulis selama masa perkuliahan. 9. Segenap Karyawan Departemen TIN dan FATETA, Pak Mul, Bu Teti, Pak Anwar, Bu Sri, Bu Ega, Pak Gun, Bu Ratna, Bu Nina, Bu Yuli atas bantuan selama penulis menjadi mahasiswa.
i
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak berkaitan dengan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2010
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR.................................................................................
i
DAFTAR ISI................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
viii
PENDAHULUAN................................................................................
1
A. Latar Belakang................................................................................
1
B. Tujuan.............................................................................................
5
C. Hipotesis.........................................................................................
5
D. Ruang Lingkup Penelitian..............................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................
6
A. Lateks.............................................................................................
6
B. Karet Alam.....................................................................................
7
C. Lateks Pekat...................................................................................
9
D. Depolimerisasi...............................................................................
10
E. Hidroksilamin Netral Sulfat...........................................................
12
F. Surfaktan........................................................................................
13
1. Surfaktan Anionik....................................................................
14
2. Surfaktan Kationik...................................................................
15
3. Surfaktan Nonionik..................................................................
15
G. Toluena...........................................................................................
16
H. Hidrogen Peroksida........................................................................
17
I. Natrium Hipoklorit........................................................................
18
J. Aspal Berkaret...............................................................................
19
III. BAHAN DAN METODE....................................................................
24
A. Bahan dan Alat...............................................................................
24
1. Bahan........................................................................................
24
2. Alat...........................................................................................
24
I.
II.
iii
B. Metodologi Penelitian....................................................................
25
1. Persiapan Bahan Baku.............................................................
25
2. Penelitian Utama......................................................................
26
C. Rancangan Percobaan....................................................................
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................
31
A. Persiapan dan Karakteristik Bahan Baku........................................
31
1. Lateks Pekat..............................................................................
31
2. Lateks Depolimerisasi...............................................................
33
B. Homogenitas Campuran Lateks dengan Aspal Secara Visual........
38
C. Pengaruh Lateks Terhadap Kekerasan (Penetrasi) Aspal...............
41
D. Pengaruh Lateks Terhadap Titik Lembek Aspal............................
48
PENUTUP............................................................................................
56
A. Kesimpulan....................................................................................
56
B. Saran..............................................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
58
LAMPIRAN.................................................................................................
62
V.
iv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi Kimia Lateks……….....................................................
6
Tabel 2. Empat Fraksi Lateks Segar.............................................................
7
Tabel 3. Komposisi Partikel Karet Alam......................................................
8
Tabel 4. Kecepatan dan Faktor Pengali pada Viskositas Brookfield...........
66
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Struktur Ruang Poliisoprena.................................................
8
Gambar 2. Mekanisme Pemutusan Molekul Karet oleh Hidrogen Peroksida......................................................................................
12
Gambar 3. Struktur Hidroksilamin................................................................
12
Gambar 4. Mekanisme Pengikatan Gugus Aldehida oleh Senyawa Hidroksilamin...............................................................................
13
Gambar 5. Struktur Surfaktan.......................................................................
14
Gambar 6. Struktur Toluen...........................................................................
16
Gambar 7. Reaksi Penguraian Hidrogen Peroksida Secara Spontan...........
17
Gambar 8. Struktur Hidrogen Peroksida.......................................................
17
Gambar 9. Reaksi antara Natrium Hipoklorit dengan Hidrogen Peroksida....................................................................................
18
Gambar 10. Tahapan Reaksi Pembentukan Radikal Bebas..........................
18
Gambar 11. Struktur Molekul Natrium Hipoklorit.......................................
19
Gambar 12. Diagram Alir Proses Depolimerisasi Lateks Pekat..........................................................................................
29
Gambar 13. Diagram Alir Proses Pencampuran Lateks ke dalam Aspal.....
30
Gambar 14. Pengujian Homogenitas Aspal Modifikasi Secara Visual.........
39
Gambar 15. Histogram Nilai Penetrasi Sampel pada Tiap Konsentrasi.......
42
Gambar 16. Histogram Signifikansi Penetrasi Berdasarkan ANOVA pada Faktor Konsentrasi Karet...........................................................
43
Gambar 17. Histogram Signifikansi Penetrasi Berdasarkan ANOVA pada Faktor Jenis Lateks....................................................................
44
Gambar 18. Histogram Signifikansi Penetrasi pada Faktor Interaksi..........
46
Gambar 19. Histogram Nilai Titik Lembek Sampel pada Tiap Konsentrasi................................................................................
49
Gambar 20. Histogram Signifikansi Titik Lembek Berdasarkan ANOVA pada Faktor Konsentrasi............................................................
50
vi
Gambar 21. Histogram Signifikansi Titik Lembek Berdasarkan ANOVA pada Faktor Jenis Lateks............................................................
51
Gambar 22. Histogram Signifikansi Titik Lembek pada Faktor Interaksi....
53
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisis........................................................................
62
Lampiran 2. Data Hasil Pengujian Nilai Penetrasi..........................................
69
Lampiran 3. Data Hasil Pengujian Nilai Titik Lembek................................... 71 Lampiran 4. Analisis Ragam Penetrasi...........................................................
73
Lampiran 5. Analisis Ragam Titik Lembek....................................................
74
Lampiran 6. Analisis Ragam Interaksi Penetrasi............................................
75
Lampiran 7. Analisis Ragam Interaksi Titik Lembek.....................................
76
Lampiran 8. Standar Mutu Aspal Polimer......................................................
77
Lampiran 9. Standar Mutu Aspal Multigrade.................................................
78
Lampiran 10. Karakteristik Lateks..................................................................
79
Lampiran 11. Syarat Mutu Lateks Pekat.........................................................
80
viii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan produsen karet alam nomor dua di dunia setelah Thailand. Produksi karet alam Indonesia tahun 2007 mencapai 2,55 juta ton dengan luas lahan perkebunan sebesar 3,3 juta hektar sedangkan produksi karet alam Thailand mencapai 2,97 juta ton (Anonim, 2008a). Terdapat tiga jenis perkebunan karet di Indonesia, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Akan tetapi, dengan luas lahan yang lebih besar, Indonesia belum bisa menjadi produsen karet alam nomor satu, karena produktivitas perkebunan karet di Indonesia yang rendah, yaitu sebesar 1 ton/ha dibandingkan dengan Thailand sebesar 1,7 ton/ha (Anonim, 2008b). Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 membuat sektor industri dan perdagangan dunia terpuruk. Salah satu sektor industri yang terkena dampak krisis global adalah industri otomotif. Industri otomotif di Amerika maupun di Eropa terpuruk, sehingga memaksa industri otomotif untuk mengurangi produksi bahkan sampai menghentikan produksi dan menutup pabrik. Menurunnya produksi otomotif dunia juga berdampak langsung terhadap industri ban mengingat industri ban merupakan industri penunjang bagi industri-industri otomotif. Industri otomotif dan industri ban merupakan konsumen karet alam terbesar di dunia dan juga di Indonesia khususnya. Karet alam banyak digunakan sebagai bahan dasar komponen-komponen pada kendaraan bermotor. Komponen yang paling banyak menggunakan karet alam sebagai bahan dasarnya adalah ban. Dengan menurunnya jumlah produksi industri otomotif dan industri ban dunia, maka secara otomatis jumlah permintaan terhadap karet alam menjadi menurun juga. Akibat dari menurunnya konsumsi karet alam, baik di dunia maupun dalam negeri, maka terjadi excess supply karet alam yang juga berdampak pada menurunnya harga karet alam dunia. Harga jual karet alam yang rendah menyebabkan banyak petani karet enggan untuk menyadap karet sehingga produksi karet alam menurun. Hal ini
1
membawa dampak yang kurang baik terhadap negara yang mengandalkan ekspor komoditas pertanian sebagai tumpuan perekonomian seperti Indonesia. Permintaan dunia terhadap karet alam yang sekarang mulai melemah diperkirakan akan tetap melemah dalam dua sampai tiga tahun ke depan mengingat penurunan ekonomi global yang terjadi akan berdampak kepada melemahnya kemampuan konsumsi dunia. Untuk jangka panjang permintaan akan karet diperkirakan akan kembali meningkat seiring dengan semakin membaiknya perekonomian global. Namun untuk mengatasi krisis yang sedang terjadi serta untuk peningkatan pemanfaatan atau konsumsi karet alam, perlu
dilakukan
diversifikasi
produk
karet
alam
serta
memperluas
pemanfaatan karet alam di dalam negeri. Usaha ini juga diharapkan akan menghidupkan kembali perkebunan dan gairah para petani karet di Indonesia khususnya. Ditinjau dari sisi demografi, pertambahan penduduk di Indonesia secara otomatis diikuti oleh meningkatnya perkembangan ekonomi, yang salah satunya berdampak pada peningkatan lalu lintas, baik jumlah, beban dan kecepatannya. Di sisi lain peningkatan tersebut memerlukan kualitas perkerasan jalan yang lebih baik, yang lebih dapat menahan beban kendaraan, sehingga perkerasan lebih tahan terhadap terjadinya deformasi antara lain alur, gelombang dan lainnya. Aspal merupakan salah satu bahan ikat (binder) yang biasa digunakan dalam perkerasan jalan. Perkerasan jalan adalah campuran agregat (batu kali dan batu belah) dan bahan ikat (aspal, semen dan tanah liat) yang digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Selain sebagai bahan ikat, penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan bersifat kedap air dan memberikan bantuan tegangan tarik yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban lalu lintas. Banyak faktor penyebab kerusakan jalan, antara lain beban lalu lintas yang melebihi ukuran yang seharusnya, drainase atau saluran pembuangan dan penyerapan air yang kurang baik. Khusus untuk Indonesia yang beriklim tropis, dimana temperatur udara dan curah hujan yang umumnya tinggi, diperlukan jenis mutu aspal yang tahan terhadap kenaikan suhu jalan (titik
2
lunaknya lebih tinggi). Aspal dengan mutu lebih baik tersebut dapat diperoleh dengan memodifikasi aspal. Bahan yang biasanya digunakan untuk memodifikasi aspal adalah polimer; umumnya berupa polimer sintetis. Polimer yang digunakan bisa polimer sintetis atau polimer alam. Polimer sintetis yang banyak digunakan sebagai bahan pemodifikasi aspal adalah SBS (Styrene Butadiene Styrene), namun masalah biaya dan ketersediaan bahan tersebut menjadi faktor untuk mencari alternatif bahan lain yang lebih baik. Karet alam yang termasuk polimer alam juga berpotensi digunakan sebagai pemodifikasi aspal. Penggunaan karet alam sebagai aditif atau pemodifikasi diprediksi lebih baik, karena memiliki sifat kelengketan dan plastisitas yang lebih baik dari polimer sintetis. Karet alam juga memiliki elastisitas yang baik, memiliki daya regang yang tinggi, dan resilien atau daya kenyal yang baik. Menurut Ramadhan et al. (2005), karet alam memiliki beberapa kelemahan, yaitu memiliki ikatan rangkap yang banyak dalam struktur molekul karet alam, sehingga karet alam tidak tahan terhadap reaksi oksidasi, ozon, dan minyak. Selain kelemahan, karet alam juga memiliki beberapa kelebihan, yaitu memiliki daya pantul dan elastisitas yang baik, serta sifatsifat fisik seperti elastisitas, kuat tarik, dan kepegasan yang tinggi pula (Alfa et al., 2003). Terdapat
dua macam
produk karet alam yang dapat digunakan
sebagai pemodifikasi aspal, yaitu karet padat dan lateks. Lateks memiliki kelebihan lebih mudah untuk bercampur dengan aspal panas bila dibandingkan dengan karet padat. Selain itu, lateks dipilih sebagai aditif dalam pencampuran dengan aspal karena campuran aspal dengan lateks karet alam menghasilkan produk yang lebih efisien bila dibandingkan dengan bentuk dan jenis karet lain dalam jumlah yang sama (Smith, 1960). Pada penelitian ini, karet tersebut digunakan untuk melihat peningkatan mutu aspal dan mutu campuran beraspalnya. Aspal yang dimodifikasi dengan karet merupakan sistem dua campuran yang mengandung karet dan aspal yang digunakan untuk meningkatkan
3
kinerja
aspal
antara
lain
mengurangi
deformasi
pada
perkerasan,
meningkatkan ketahanan terhadap retak, dan meningkatkan kelekatan aspal terhadap agregat. Aplikasi pencampuran lateks karet alam dengan aspal dalam pekerjaan jalan raya merupakan bentuk alternatif yang dapat membantu meningkatkan konsumsi karet alam khususnya di dalam negeri. Selain itu, penerapan ini dapat meningkatkan kualitas lapisan jalan raya, meningkatkan umur pakai jalan raya, dan mengurangi biaya pemeliharaan jalan raya. Lateks karet alam yang digunakan dalam penelitian ini berupa lateks pekat, yaitu lateks yang telah dipekatkan sehingga memiliki kadar karet keringnya lebih besar daripada lateks kebun. Selain itu, lateks pekat lebih tahan lama disimpan bila dibandingkan dengan lateks kebun. Selanjutnya, penggunaan lateks pekat menghasilkan lebih sedikit buih pada proses pencampuran dengan aspal bila dibandingkan dengan lateks kebun. Hal tersebut disebabkan kadar air pada lateks pekat lebih rendah dari lateks kebun. Oleh karena itu, penggunaan lateks pekat dapat membantu kemudahan dan keamanan proses pencampuran aspal dengan lateks (Tuntiworawit et al., 2005). Lateks karet alam dapat digunakan sebagai perekat, karena partikel karetnya memiliki daya lengket. Namun, daya rekat partikel karet alam kurang baik sehingga hanya digunakan untuk merekatkan bahan-bahan ringan yang tidak memerlukan daya rekat baik. Jika rantai molekulnya lebih pendek, diharapkan kemampuan partikel karet alam tersebut melekat pada permukaan media akan lebih baik, sehingga meningkatkan daya rekatnya (Alfa dan Syamsu, 2004). Dalam penelitian ini modifikasi struktur karet alam yang akan dilakukan adalah depolimerisasi. Penelitian ini menggunakan metode depolimerisasi secara kimia dengan reaksi reduksi-oksidasi (redoks) dengan hidrogen peroksida (H2O2) sebagai oksidator dan natrium hipoklorit (NaClO) sebagai reduktor. Metode ini dipilih karena dilakukan tanpa pengaliran gas oksigen selama proses depolimerisasi (oksigen berasal dari reaksi hidrogen peroksida dan natrium hipoklorit) sehingga proses secara teknis lebih mudah.
4
Selain itu, dengan digunakannya hidrogen peroksida dan natrium hipoklorit akan menurunkan biaya produksi dibandingkan menggunakan fenilhidrasin.
B. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh jenis lateks dan jenis bahan tambahannya serta dosis penambahan lateks dalam aspal terhadap nilai penetrasi dan titik lembek yang mempengaruhi mutu perkerasan aspal dan mendapatkan campuran beraspal yang terbaik untuk memperbaiki mutu perkerasan jalan aspal.
C. Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah dengan penambahan atau pencampuran lateks ke dalam aspal, maka akan dapat menurunkan penetrasi aspal yang berarti meningkatkan kekerasan aspal. Selain itu, penambahan lateks ke dalam aspal juga akan dapat meningkatkan titik lembek aspal.
D. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penentuan beberapa jenis lateks dan kombinasi bahan tambahan yang digunakan untuk meningkatkan mutu aspal dan campuran beraspalnya. 2. Penentuan dosis lateks yang ditambahkan ke dalam aspal sehingga diperoleh hasil yang terbaik. 3. Pengujian terhadap karakteristik lateks dan pengujian titik lembek serta pengujian nilai penetrasi campuran aspal berkaret.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Lateks Lateks merupakan cairan yang berwarna putih atau putih kekuningkuningan, yang terdiri atas partikel karet dan bukan karet yang terdispersi di dalam air (Triwijoso dan Siswantoro,1989). Menurut Goutara, et al. (1985), lateks merupakan sistem koloid, karena partikel karet yang dilapisi oleh protein dan fosfolipid terdispersi didalam air. Protein di lapisan luar memberikan muatan negatif pada partikel. Lateks merupakan suatu dispersi butir-butir karet dalam air, dimana di dalam dispersi tersebut juga larut beberapa garam dan zat organik, seperti zat gula, dan zat protein (Lie, 1964). Menurut Suparto (2002), lateks Hevea terdiri dan karet, resin, protein, abu, gula, dan air dengan komposisi seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Lateks Jenis Komponen Komposisi (%) Karet 30-35 Resin 0,5-1,5 Protein 1,5-2,0 Abu 0,3-0,7 Gula 0,3-0,5 Air 55-60 Sumber: Suparto (2002) Secara fisiologi lateks merupakan sitoplasma dan sel-sel pembuluh lateks yang mengandung partikel karet, lutoid, nukleous, mitokondria, partikel Frey-Wyssling, dan ribosom. Selain partikel karet, di dalam lateks terdapat bahan-bahan bukan karet yang berperan penting mengendalikan sifat lateks dan karetnya meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Lateks segar yang dipusingkan (disentrifus) dengan alat pemusing ultra dengan kecepatan 18.000 rpm akan menyebabkan lateks terpisah menjadi empat fraksi dengan urutan dari atas ke bawah dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 2. Empat Fraksi Lateks Segar
Fraksi Karet (35 %)
Karet Protein Lipid Ion Logam
Fraksi Frey Wyssling (5%)
Karotenoida Lipid
Serum (50%)
Air Karbohidrat dan inositot Protein dan turunarmya Senyawa nitrogen Asam nukleat dan nukleosida Ion anorganik Ion logam
Fraksi Dasar (10 %)
Lutoid (vakuolisosom)
Sumber: Suparto (2002)
B. Karet Alam Menurut Triwijoso dan Siswantoro (1989), karet adalah suatu polimer dari isoprena (C5H8) sehingga sering disebut Cis 1,4-poliisoprena dengan rumus umum (C5H8), dimana n adalah bilangan yang menunjukkan jumlah monomer didalam rantai polimer. Semakin besar harga n maka molekul karet semakin panjang, semakin besar bobot molekul dan semakin kental (viscous). Nilai n dapat berkisar antara 3000-15000. Struktur ruang poliisoprena dapat dilihat pada Gambar 1.
H3C
H
H3 C
C=C H2 C
H
H3 C
C=C CH2
CH2
CH2
H
H3C
C=C CH2
H C=C
CH2 CH2
CH2
n
(a)
7
(b)
(c) O P
O
O
O
n = 1000 - 5000 O-
2
O Protein
NH
⎛ ⎜⎜ ⎝
⎞ ⎟⎟ ⎠m
CH3
O
CH2 ⎛ ⎜⎜ ⎝
⎞ ⎟⎟ ⎠m
O
(d)
Gambar 1. Struktur Ruang: (a) 1,4 Cis Poliisoprena (Honggokusumo, 1978); (b) Struktur Ruang Poliisoprena-Graft-Asam Maleat Monometil Ester (Anonim, 2009a); (c) Partikel Karet Alam; (d) Molekul Karet Alam (Situmorang, 2009) Menurut Eng (1997), bobot molekul karet alam berkisar antara 1 sampai 2 juta. Partikel karet alam mengandung hidrokarbon karet dan sejumlah kecil bahan bukan karet, seperti lemak, glikolipida, fosfolipida, protein, karbohidrat, bahan anorganik, dan lain-lain dengan komposisi seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Partikel Karet Alam Jenis Komponen Hidrokarbon karet
Komposisi (%) 93,7
Lemak
2,4
Glikolipida, fosfolipida
1,0
Protein
2,2
Karbohidrat
0,4
Bahan Anorganik Lain-lain Sumber: Tanaka (1998)
0,2 0,1
8
C. Lateks Pekat Lateks pekat diperoleh dengan memekatkan lateks kebun. Pembuatan lateks pekat bertujuan meningkatkan KKK. Lateks kebun pekat dengan KKK 60 % akan lebih seragam mutunya dan lebih sesuai untuk pengolahan barang jadi karet. Pembuatan lateks pekat dapat dilakukan dengan empat metode, yaitu sentrifuse (pemusingan), pendadihan, penguapan, dan elektrodekantasi. Metode yang paling sering digunakan adalah metode sentrifuse (pemusingan), karena menghasilkan kapasitas produksi yang besar, viskositas lateks lebih rendah (tidak kental), dan hasil lateks lebih murni (tidak tercampur endapan dan kotoran) (Solichin, 1991). Pada umumnya, pengolahan lateks pekat di Indonesia menggunakan cara pemusingan, karena kapasitas produksinya lebih tinggi s e r t a pemeliharaannya lebih mudah. Lateks kebun dengan KKK 2835% dipusingkan pada kecepatan 5000-7000 rpm, sehingga pada bagian atas alat akan diperoleh lateks pekat dengan KKK 60% dan berat jenis 0,94, sedangkan di bagian bawah akan dihasilkan skim yang masih mengandung 4-8% karet dengan berat jenis 1,02 (Goutara et al., 1985). Menurut Triwijoso et al. (1989), kadar karet kering lateks pekat hasil sentrifugasi adalah 60 ± 2%. Kadar karet kering lateks pekat lebih tinggi daripada lateks kebun, karena pada saat proses sentrifugasi, bahan-bahan bukan karet terpisah dari lateks bersamaan dengan serum. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu lateks pekat pusingan adalah pengawetan lateks kebun, KKK lateks kebun, pengendapan lateks kebun, penambahan sabun ammonium laurat sebelum ataupun sesudah pemusingan, alat dan cara pemusingan, penyimpanan, pengangkutan, dan cara pengambilan sampel lateks pekat. Lateks pekat bermutu tinggi diperoleh dengan melakukan pengontrolan dan perlakuan yang baik sejak dari lateks kebun sampai pada pengambilan sampel lateks pekat (Solichin, 1991).
9
D. Depolimerisasi Menurut Ramadhan et al. (2005), depolimerisasi adalah proses pemutusan atau pendegradasian polimer dengan cara menghilangkan kesatuan monomer secara bertahap dalam reaksi. Depolimerisasi molekul karet dilakukan untuk memperoleh karet dengan bobot molekul rendah yang ditandai dengan rendahnya viskositas Mooney (Surdia, 2000). Depolimerisasi polimer dapat terjadi secara mekanik, termal, kimia, fotokimia, dan biodegradasi (Surdia, 2000). Menurut Cowd (1991), depolimerisasi polimer disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu energi panas, energi mekanik, penyinaran (ultra violet), dan bahan kimia (oksidasi H2O2). Depolimerisasi polimer secara kimia dapat berlangsung dengan dua cara, yaitu reaksi tahap tunggal dan reaksi rantai. Reaksi tunggal terjadi akibat reaksi fotokimia, misalnya degradasi polimer secara enzimatik, sedangkan reaksi rantai merupakan reaksi degradasi polimer dengan bantuan senyawa radikal bebas karena adanya suatu peroksida. Menurut Alfa dan Syamsu (2004), penambahan senyawa pemutus rantai molekul sistem redoks, campuran hidrogen peroksida dengan natrium hipoklorit, dikombinasikan dengan ammonium hidroksil sulfat akan menghasilkan lateks dengan viskositas Mooney karet mentah rendah dan memiliki daya rekat baik. Kemungkinan reaksi pemutusan rantai polimer akibat pengaruh dan terbentuknya radikal bebas pada tahap inisiasi. Hal ini menyebabkan terjadinya
reaksi
polimer
dengan
oksigen
secara
berurutan
yang
menghasilkan pemutusan rantai polimer pada rantai utama, pemutusan rantai samping dan eliminasi (Surdia, 2000). Menurut Gunanti (2004), depolimerisasi molekul karet terjadi karena adanya radikal OH hasil penguraian hidrogen peroksida (H2O2). Radikal OH yang terbentuk bersifat sangat reaktif dan dapat bereaksi secara tidak terkontrol dengan molekul polimer karet alam (poliisoprena). Radikal OH yang terbentuk menarik salah satu atom H+ yang terdapat pada polimer karet terutama menyerang ikatan karbon rangkap dan gugus karbon ekor, sehingga dihasilkan radikal bebas yang aktif.
10
Radikal R bebas pada mollekul isoprenna tersebut mudah berreaksi dan berikat an dengan oksigen yanng ada dalaam lateks daan membentuuk molekul yang tiidak stabil hingga meengalami reaksi autookksidasi samp pai terjadi pemutussan ikatan. Pada P akhir reaksi r pemuttusan, terbeentuk guguss karbonil. Gugus karbon akttif yang diihasilkan laangsung beereaksi denggan gugus aktif daan reduktor yang dihassilkan guguus karbonil yang tidak bermuatan. b Gugus karbon yanng dihasilkaan memiliki gugus ujuung berupa keton dan aldehid.. Mekanism me depolimeerisasi moleekul tersebuut dapat diiilustrasikan pada Gaambar 2. Proses Inisiasi I : HO OOH → 2 HO O+
CH
CH2
11
Gambar 2. Mekanism me Pemutusaan Molekul Karet oleh H Hidrogen Perroksida (Priistiyanti, 200 06)
E Hidrok E. ksilamin Nettral Sulfat (HNS) Menurut M Soolichin et al. (1995), bahan b kimiaa yang palin ng banyak digunakkan secara komersial k uuntuk mempproduksi karet viskosittas mantap adalah hidroksilam min dalam bentuk garam Hidroksilamin Nettral Sulfat (NH2OH H)2H2SO4. Gambar G strukktur hidrokssilamin dapaat dilihat pad da Gambar 3.
F.
(b)
Gam mbar 3. Struk ktur Hidroksiilamin: a. Sttruktur Hidrooksilamin (A Anonim, 2009c); b. Struktur H Hidroksilam min Sulfat (Hoyle, 2007) Menurut M Solichin et al. (1995), HN NS dapat memantapkan n viskositas Mooneyy karet alam m karena H HNS dapat mengikat ggugus aldeh hida yang menjadii penyebab crosslinkingg yang dapaat menyebabbkan terbentuknya gel karena gugus aldeehida pada rantai poliiisoprena teerlebih dahhulu diikat m gugus aldehida tersebbut melakuk kan reaksi selanjutnya. Dasar dari sebelum penceg ahan ikatann silang inii adalah meenghilangkaan kereakti fan gugus da pada ranttai poliisopprena dan mereaksikan m nnya dengann senyawa aldehid amina monofungs m ional yaitu hidroksilam min atau gaaramnya. Mekanisme M
12
reaksi pengikatan n gugus alddehida oleh h senyawa hidroksilam min dapat dilihat pada Gambbar 4.
Gugus Aldehida
Hidroksill amin
Aldoksin
Air
mbar 4. Mekkanisme Penngikatan Guugus Aldehhida oleh Seenyawa Gam Hidroksilaamin (Pristiiyanti, 20066)
F Surfakttan F. Surfaktan S (ssurface acttive agent) adalah suaatu bahan yang y dapat mengubbah atau meemodifikasi tegangan permukaan dan d antar muka m antara fluida yang tidakk saling laarut (Anoniim, 2005), atau moleekul yang mengaddsorbsi moleekul lain padda antar muk ka dua zat (A Anonim, 20005). Dalam satu moolekulnya, surfaktan meemiliki dua gugus yangg berbeda polaritasnya yaitu guugus polar dan d non polaar. Gugus poolar memperrlihatkan afin nitas (daya ikat) yaang kuat den ngan pelarut polar (contoohnya air), ssehingga seriing disebut gugus hidrofilik. h Guugus non polar biasa dissebut hidrofoobik atau lipofilik yang berasal dari bahasa Yunani phobbos (takut) dan d lipos (lippid) (Salagerr, 2002). Menurut M
R Reiger
(19885),
sifat-ssifat
surfakktan
adalahh
mampu
menurunnkan tegan ngan permukkaan, teganngan antar muka, men ningkatkan kestabillan partikel yang y terdispersi dan men ngontrol sisttem emulsi. Disamping itu, surffaktan akan terserap kee dalam perrmukaan parrtikel minyaak atau air sebagai penghalang g yang akan mengurangii atau mengghambat pennggabungan p yang terdispersii. Struktur surfaktan s seccara umum (coalesccence) dari partikel dapat diilihat pada Gambar G 5.
13
(a)
(b)
Gambar 5. Struktur surfaktan: a. Struktur molekul surfaktan dalam suatu system emulsi; b. Unimer Surfaktan (Ramli, 2009) Penambahan kaustik soda dan surfaktan dimaksudkan untuk menstabilkan lateks. Surfaktan merupakan bahan yang biasa ditambahkan dalam jumlah kecil ke dalam cairan untuk memodifikasi sifat permukaan cairan tersebut. Surfaktan yang ditambahkan akan melapisi partikel-partikel polimer yang terdispersi di dalam air. Surfaktan akan menjaga kestabilan lateks terutama terhadap gerakan mekanis yang timbul karena guncangan atau pengadukan (Stevens, 2001). Menurut Blackley (1966), surfaktan dibedakan
menjadi dua
kelompok, yaitu berdasarkan fungsinya dalam cairan dan berdasarkan sifat kimianya. Berdasarkan fungsinya ada beberapa jenis surfaktan, antara lain pembasah (wetting agent), pendispersi (dispersing agent), penstabil dispersi (dispersing stabilizer), pengemulsi (emulsifer), pembusa (foaming agent), dan penstabil busa (foaming stabilizer). Surfaktan dibagi menjadi tiga berdasarkan sifat kimianya, yaitu: 1.
Surfaktan Anionik Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofiliknya atau aktif permukaannya (surface-active). Sifat hidrofiliknya disebabkan karena keberadaan gugus sulfat atau sulfonat. Salah satu contoh surfaktan anionik adalah emal (sodium lauril sulfat) yang memiliki rumus molekul (C12H25SO4Na) (Anonim, 2009f). Emal mempunyai kestabilan yang tinggi pada emulsi polimerisasi, tidak
14
berwarna, larut dalam air panas, stabil dalam larutan asam, alkali, dan air sadah (Roger, 1994). Gugus fungsi utama yang terdapat dalam emal adalah (CH3(CH2)nOSO3)Na. Emal yang dilarutkan akan mengion membentuk turunan anionnya, yakni ion alkil sulfat (CH3(CH2)nOSO3). 2. Surfaktan Kationik Surfaktan kation yang dilarutkan akan mengion membentuk turunan kationnya. Kation yang berhubungan dengan lateks adalah ion ammonium yang satu atom hidrogennya telah digantikan oleh senyawa organik (halida atau asetat). Contoh surfaktan kationik adalah Lissolamine A, Vantoc A, Fixano C, dan Aerosol M. 3. Surfaktan Nonionik Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak mengandung gugus fungsional bermuatan, baik positif maupun negatif dan tidak mengalami ionisasi di dalam larutan. Menurut Salager (2002) surfaktan nonionik mempunyai kelebihan dibandingkan surfaktan anionik dan kationik yaitu tidak dipengaruhi oleh kesadahan dan perubahan pH. Surfaktan nonionik dianggap memiliki karakteristik tingkat pembusaan yang rendah pada medium. Keunikan surfaktan nonionik adalah tidak mengalami disosiasi menjadi ion-ion ketika dilarukan dalam pelarut, sehingga sangat kompatibel bila dikombinasikan dengan tipe surfaktan lainnya. Surfaktan nonionik mampu memasuki struktur molekul yang kompleks. Karakter lain dari surfaktan nonionik adalah tidak sensitif terhadap cairan elektrolit, pH, surfaktan ionik, dan dapat digunakan pada salinitas tinggi dan air sadah (Salager, 2002). Surfaktan nonionik tidak membawa muatan, sehingga sangat kompatibel dengan bahan kimia yang digunakan dalam berbagai operasi produksi. Prinsip kerja dari surfaktan nonionik dalam mempertahankan kestabilan larutan adalah dengan menurunkan gaya Van der Walls (Allen, 1993).
15
nionik adalaah emulgen. Nama lain Salah satu jenis suurfaktan non emuulgen adallah Polietillena lauril eter denggan rumuss molekul C122H 25 (OCH 2 CH C 2 )46 OH. Emulgen b erbentuk paadatan lilinn berwarna puttih (white waxy w solid). Sifat emulggen adalah llarut dalam air, etanol, toluuena, dapat dicampur d deengan bahan n panas, minyyak alami daan sintetik, lem mak alkohol dan lemak, tetapi tidak larut dengaan minyak mineral m dan minnyak sayur (Anonim, ( 20009d). Dari penelitian tterdahulu yaang pernah dilaakukan oleh Pristiyanti (2006), untuuk membuatt lateks depolimerisasi dibuutuhkan surffaktan jenis sodium laurril sulfat dan polietilen laauril eter.
G Toluenaa G. Toluena T mempunyai rum mus molekuul C7H8 dann dikenal den ngan nama metil beenzena atau fenil metanna. Toluena merupakan cairan berbaasis waterinsolublle dengan bau b pengenccer cat yanng khas. Tooluena bereaaksi secara normal sebagai hidrrokarbon aroomatik. Guguus metil dalaam toluena bereaksi b 25 kali lebiih reaktif darripada benzeena. Dengan D bahan pereaksi lain gugus metil m dalam m toluena akaan bereaksi dan meengalami okksidasi. Mennurut Alfa dan Sailahh (2005), peenambahan toluena sebesar 10% % sebagai pengembang g molekul kkaret berpenngaruh baik pada effektifitas deegradasi parrtikel karet. Gambar sttruktur tolueenae dapat dilihat pada p Gambar 6.
bar 6. Strukttur Toluena (Helmenstin ( ne, 2009) Gamb
16
H. Hidrogen Peroksid da Hidrogen H peeroksida adaalah cairan bening, b lebihh kental dib bandingkan air, berssifat sebagaii oksidator kkuat, dan bah hkan sebagaai bahan pem mucat yang kuat. Hiidrogen pero oksida digunnakan pada desinfektan, d dan sebagaii oksidator. Hidrogeen peroksidaa terurai secara spontann menjadi aair dan oksigen dapat dilihat pada p Gambar 7.
2 H2O2 → 2 H2O + O2 + Eneergi Gaambar 7. Reeaksi Pengurraian Hidrog gen Peroksidda Secara Spoontan (P Pristiyanti, 2006) 2 Menurut M Alfa et al. (20003), hidrog gen peroksidda (H2O2) sudah s lama dikenal sebagai okksidator yanng dapat meendegradasi rantai moleekul karet. Pada suuhu ruang pengaruh perroksida ini terhadap t deggradasi rantai molekul berlangssung lambatt, tetapi berllangsung ceppat dengan adanya bahaan peptiser (pemutuus
rantai) yang berffungsi sebagai
peminndah
radikkal
bebas.
Pencam mpuran redukktor pada peroksida akkan memperccepat reaksii degradasi pada su uhu rendah, sehingga leebih praktiss dan ekonoomis. Gambbar struktur molekull hidrogen peroksida dappat dilihat paada Gambar 8.
Gambar 8. Struktur Hiddrogen Perokksida (Helm menstine, 200 09) Menurut M Ram madhan et al., a (2005), bahan b pendeggradasi H2O2 berfungsi sebagai oksidator kuat yangg dapat meenginisiasi rantai poliimer karet memben ntuk radikal bebas yanng aktif paada rantai m molekul karret. Proses degradaasi diperceppat oleh N NaClO yang g dapat beereaksi den ngan H2O2 menghaasilkan O2 yang y selanjuutnya melakuukan prosess autooksidaasi berantai hingga terjadi t pemu utusan ikatann-ikatan pada rantai utam ma karet. Reeaksi antara Natrium m Hipoklorit dengan Hiddrogen Perok ksida dapat dilihat d pada Gambar G 9.
17
NaOCl + H2O2 → O2 + NaCl + H2O Gambar 9. Reaksi antara Natrium Hipoklorit dengan Hidrogen Peroksida (Pristiyanti, 2006) Reaksi rantai radikal bebas terjadi berdasarkan tiga tahapan, yaitu insiasi, propagasi, dan terminasi. Pada tahapan inisiasi dan propagasi, radikal bebas (R*) akan bereaksi dengan oksigen (O2), yang terbentuk dari rekasi disproporsionasi hidrogen peroksida, membentuk senyawa RO2* (radikal). Pada rantai polimer karet, atom hidrogen yang berikatan dengan atom karbon (C) pada posisi alilik diserang oleh RO2* (radikal) yang selanjutnya melakukan reaksi berantai radikal bebas. Pada proses ini, rantai poliisopren akan diserang oleh oksigen, atau terjadi proses autooksidasi berantai yang menyebabkan pemutusan ikatan-ikatan pada rantai polimer karet. Tahapan pembentukan radikal bebas dapat dilihat pada Gambar 10. Inisiasi
Produksi RO2*
Propagasi
R* + O2
→ RO2*
RO2* + RH
→ ROOH + R*
R* + R*
→
R* + RO*
→
Terminasi
Produk non-radikal
RO2* + RO2* → Gambar 10. Tahapan Reaksi Pembentukan Radikal Bebas (Roberts, 1988)
I.
Natrium Hipoklorit Natrium hipoklorit adalah garam dan asam hipoklorit. Natrium hipoklorit tidak berwarna dan merupakan cairan transparan. Dalam air akan terurai menjadi kation natrium (Na+) dan anion asam hipoklorit (HClO-). Menurut Alfa et al. (2003), natrium hipoklorit merupakan reduktor yang digunakan sebagai bahan peptiser yang dapat mempercepat reaksi degradasi molekul oleh peroksida pada suhu rendah. Selain itu, natrium hipoklorit berfungsi untuk menyediakan oksigen yang akan digunakan oleh hidrogen peroksida dalam proses oksidasi. Struktur molekul natrium
18
hipoklorrit dapat diliihat pada Gaambar 11.
m Hipoklorit (Anonim, 2009e) Gaambar 11. Sttruktur Moleekul Natrium
J J.
Aspal dan d Aspal Berkaret B A Aspal adalahh bahan yanng semi paddat terdiri dari d hidrogeen, karbon, yang tersusun menjaadi fraksi hidrokarbon. Fraksi F tersebbut dibedakaan menjadi dua benttuk, yaitu fraksi padat ddan fraksi caair. Fraksi paadat larut daalam fraksi cair mem mbentuk bah han semi paadat. Fraksi padat p disebuut asphalten dan fraksi cair disebut maltenn. Malten dibedakan menjadi em mpat kelomp pok, yaitu Nitrogen n base, Acidaafit I, Acidaafit II, dan Paarafin. Perbaandingan anttara jumlah Nitrogen n base dan Acidafit A I dengan jumlaah Acidafit II dan Paraafin disebut parameteer komposisi malten yyang menen ntukan ketaahanan aspaal terhadap abrasi (S Suroso, 20055). A Aspal adalaah bahan vvisko elastikk yang sifa fatnya berub bah akibat perubahaan temperaatur. Pada temperatur rendah beerbentuk seemi padat sedangkaan pada teemperatur ttinggi berbeentuk cair. Hal ini disebabkan d perubahaan jarak parrtikel aspal.. Pada tempperatur tingggi jarak anttar partikel mejadi renggang sehingga asppal berubahh menjadi ccair, pada temperatur m dekaat sehinggaa aspal mennjadi padat rendah, jarak antarr partikel menjadi (Suroso, 2005). M Menurut Suuroso (2005), kadar asphalten dalam asp pal sangat menentu ukan sifat rh heologi asppal. Kenaikaan kadar assphalten meenyebabkan aspal meenjadi keras.. Dengan katta lain penettrasi aspalnyya rendah daan memiliki titik leleeh tinggi. Kadar asphhalten dalam m aspal unntuk perkerrasan jalan sebaikny ya antara 5-25%. Kekenntalan aspal akan naik seeiring dengaan kenaikan kadar aspphalten dalaam malten. A Asphalten daapat berinterraksi dengan n fraksi cair (pelunakk), sehingga asphalten ddiyakini mem mpunyai siffat lengket, tergantung
19
dari strukturnya. Ikatan asphalten merupakan kesatuan yang kontinyu, dengan kata lain kekentalannya akan menurun sebanding dengan kenaikan temperatur. Aspal telah digunakan sebagai bahan konstruksi dasar selama bertahuntahun karena sifat alaminya, yakni memiliki daya ikat dan tahan air. Diatas suhu 100oC, aspal berbenuk cairan yang viskos. Aspal mulai mengeras pada suhu yang rendah. Semakin rendah (hingga dibawah nol derajat) suhunya, maka aspal semakin keras dan rapuh (Robinson, 2004). Pada penerapan untuk jalan bebas hambatan, aspal memegang peran yang baik dalam pembangunan jalan raya yang sibuk. Situasi tersebut membuat penggunaan polimer untuk pemodifikasi aspal lebih disukai. Penggunaan polimer tersebut dapat meningkatkan ketahanan terhadap deformasi permanen dengan memperbaiki temperatur kerja, memperbaiki daktilitas (ketahanan terhadap tarikan atau regangan tanpa mengalami kerusakan) aspal untuk mengurangi resiko retak atau pecah pada suhu rendah, memperbaiki daya ikat dengan agregat untuk mengurangi resiko agregat terlepas dari permukaan aspal (Robinson, 2004). Aspal merupakan produk turunan dari minyak mentah atau minyak bumi yang didapatkan dengan proses destilasi atau penyulingan dengan cara memisahkan fraksi-fraksi yang lebih tinggi, sehingga menyisakan aspal sebagai residu yang lebih berat dari fraksi-fraksi lain. Aspal merupakan bahan yang viskoelastis dan sensitif terhadap perubahan temperatur. Aspal juga cenderung mudah mengalami deformasi permanen dalam aplikasinya untuk menahan beban atau muatan. Laju deformasi aspal tergandung dari kualitas aspal, komposisi aspal, temperatur udara ambien, tingkat tekanan dan volume beban (Robinson, 2004). Sumber dan jenis minyak bumi berpengaruh terhadap komposisi kimia aspal yang berpengaruh juga terhadap ciri fisiknya. Aspal terdiri dari kompleks hidrokarbon yang mengandung kalsium, besi, mangan, nitrogen, oksigen, sulfur dan vanadium. Struktur aspal sangat bervariasi pada tiap-tiap sumbernya dan tidak mungkin dapat dipetakan secara akurat. Kimia aspal ditentukan dengan pendekatan analisis saturates-aromatics-resins-asphaltenes (SARA) untuk membandingkan komposisi dengan reologi (Robinson, 2004).
20
Menurut Robinson (2004), aspal dapat teroksidasi karena adanya udara. Oksidasi menyebabkan pengerasan aspal dan penggetasan. Hal ini menyebabkan kegagalan pelekatan aspal terhadap agregat dan keretakan. Pengerasan aspal pada permukaan atau lapisan dasar membantu meningkatkan kekakuan aspal yang berkontribusi untuk memperbaiki daya guna aspal. Laju pengerasan aspal tergantung dari beberapa faktor, antara lain komposisi campuran aspal, ketebalan lapisan pengikat, rongga udara yang terkandung dalam aspal, dan komposisi aspal. Rongga udara sangat penting karena jika udara tidak bisa menembus campuran aspal yang tebal secara mudah, maka laju oksidasi akan lebih lambat bila dibandingkan bahan yang lebih berpori (Robinson, 2004). Menurut Robinson (2004), aspal memberikan respon yang beragam pada aplikasinya, respon tersebut tergantung dari temperatur dan waktu muatan. Terdapat berbagai macam uji empiris yang dapat dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari aspal yang dikendalikan oleh badan standarisasi yang berbeda dengan versi yang berbeda pula. Akan tetapi, kelas atau kualitas aspal yang digunakan untuk perkerasan jalan biasanya diklasifikasikan berdasarkan nilai penetrasi (pen) yang diukur pada 25oC dan dinyatakan dalam dmm (0,1 mm) serta titik lunak atau titik lembek dalam oC. Nilai tersebut yang digunakan untuk merancang atau menentukan kelas atau kualitas dari aspal. Sebenarnya, masih banyak terdapat uji spesifikasi empiris untuk aspal yang bisa digunakan, namun kedua uji empiris tersebut merupakan pendekatan utama yang digunakan untuk menentukan ketahanan aspal terhadap deformasi permanen (Robinson, 2004). Menurut Robinson (2004), terdapat juga uji yang digunakan untuk mengukur viskositas dinamis aspal pada selang temperatur 100-190oC. Pengujian atau pengukuran tersebut penting juga untuk mengetahui kemampuan aspal untuk dipompa dan melapisi agregat. Pengujian ini menggunakan pemanasan aspal dalam ruang sampel dalam kondisi yang terkendali serta pengukuran daya tahan putaran menggunakan spindel berputar dengan nilai yang terbaca sebagai nilai viskositas, biasanya dinyatakan dalam centipoise (cP).
21
Polimer secara umum digunakan untuk memodifikasi aspal, sehingga dapat meningkatkan daya guna aspal. Polimer juga dapat digunakan untuk mengurangi laju kerusakan aspal. Polimer juga dapat memperbaiki kelekatan atau daya ikat aspal dengan agregat yang sering terlepas karena adanya kikisan dari air sehingga dapat memelihara kekakuan atau kekuatan struktur aspal tersebut. Perbaikan dalam sifat mekanik atau struktur dari aspal menggunakan pemodifikasi berupa polimer terkadang sulit untuk diukur dan dikendalikan. Misalnya, polimer jenis elastomer biasanya menghasilkan penurunan kekakuan aspal, akan tetapi ketahanan deformasi dan kerekatan meningkat. Selain itu, polimer biasanya digunakan untuk mengurangi deformasi permanen, meningkatkan kerekatan aspal, dan mengurangi resiko keretakan aspal akibat temperatur rendah. Aspal minyak merupakan residu pengilangan minyak bumi. Oleh karena itu, mutunya sangat tergantung pada lokasi dan kondisi geologi dimana minyak bumi diproses. Saat ini, aspal yang dihasilkan banyak yang kurang sesuai dengan kebutuhan, yaitu aspal dengan titik lembek tinggi agar menghasilkan stiffness (kekakuan) yang tinggi, sehingga tahan terhadap terjadinya deformasi. Selain aspal harus mempunyai stiffness yang tinggi diperlukan aspal yang mempunyai ketahanan terhadap retak, ketahanan terhadap oksidasi sehingga perkerasan dapat tahan lama. Indonesia terletak di negara tropis serta pada ruas jalan tertentu lalu lintas cukup tinggi dan bebannya pun melebihi kapasitas jalan sehingga faktor cuaca, temperatur, kerusakan dini berupa terjadinya alur, gelombang, deformasi menjadi alasan mengapa aspal perlu dimodifikasi agar dapat mengurangi faktor-faktor tersebut di atas. Banyak faktor yang menentukan keawetan konstruksi jalan salah satunya adalah aspal sebagai bahan pengikat, dan pengisi. Sebagai bahan pengikat, sifat adhesinya harus baik, sedangkan sebagai bahan pengisi maka jumlah (kadar aspal dalam campuran beraspal) harus cukup serta mutunya harus baik agar diperoleh umur pelayanan yang maksimal.
22
Pencampuran karet dengan aspal selama 45 – 60 menit, menghasilkan suatu material baru. Material ini memiliki karakteristik teknis yang menguntungkan pada kedua komposisi yang disebut aspal karet (Huffman, 1980). Aspal tersebut diabsorbsi oleh partikel karet yang bertambah besar pada temperatur tinggi, sehingga meningkatkan konsentrasi aspal cair dalam campuran beraspal. Polimer umumnya digunakan untuk memodifikasi sifat-sifat yang dimiliki aspal untuk meningkatkan daya guna aspal. Peningkatan dalam sifat mekanik maupun struktur aspal menggunakan polimer sebagai bahan pengikat kadang sulit untuk diukur. Sebagai contoh, polimer jenis elastomer bisa menghasilkan penurunan kekakuan, walaupun ketahanan terhadap deformasi dan kekuatan ikatan didapatkan (Robinson, 2004). Polimer yang umum digunakan sebagai bahan pengikat untuk memodifikasi aspal adalah polimer jenis elastomer termoplastik dan plastomer termoplastik. Elastomer adalah polimer yang paling banyak digunakan sebagai bahan pengikat atau pemodifikasi. Jenis elastomer yang sering digunakan meliputi polimer termoplastik karet sintetis. Dalam praktek, polimer styrene butadiene styrene (SBS) adalah polimer yang memberikan kombinasi yang paling optimum dari daya guna, ketahanan, kemudahan penggunaan dan ekonomis bila dibandingkan dengan elastomer sintetis lainnya (Robinson, 2004). Lateks karet alam telah digunakan dalam campuran aspal selama lebih dari 30 tahun dan lateks dapat meningkatkan daya guna aspal walaupun dispersi polimer dalam campuran aspal biasanya kurang homogen. Secara keseluruhan, lateks (dispersi cair polimer) yang ditambahkan secara langsung ke dalam pencampur aspal tidak memodifikasi sifat-sifat aspal pada derajat yang sama dengan plastomer dan elastomer yang membutuhkan perlakuan pra-pencampuran dengan aspal panas. Lateks karet alam mudah digunakan karena dapat langsung ditambahkan ke dalam pencampur aspal tanpa membutuhkan tangki penyimpanan khusus. Lateks merupakan polimer alami dan menunjukkan reaksi yang mirip dengan bentuk polimer termoplastik sintetis (Robinson, 2004).
23
III. BAHAN DAN METODE
A. Bahan Dan Alat 1. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat perdagangan KKK 60%. Bahan-bahan lain yang berfungsi sebagai bahan pembantu dalam penelitian ini adalah bahan pemantap, surfaktan Emal (sodium lauril sulfat), Natrium Hipoklorit (NaClO) teknis, Toluena teknis, Hidrogen Peroksida (H2O2) teknis, Hidroksilamin Netral Sulfat (HNS), dan aspal. 2. Alat a.
Bekker glass Bekker glass merupakan gelas kaca yang mempunyai skala ukur (1000, 500, 250, dan 100 ml) yang fungsinya sebagai tempat pencampuran bahan-bahan.
b.
Gelas Ukur Gelas ukur berfungsi untuk mengukur banyaknya cairan yang digunakan. Ukuran gelas ukur yang digunakan adalah 100, 25, dan 5 ml masing-masing sebanyak 1 buah.
c.
Termometer Termometer
berfungsi
campuran aspal berkaret.
untuk
mengukur
Termometer
suhu
yang
aspal dan digunakan
mempunyai kemampuan membaca sampai 200oC. d.
Pengaduk bermotor Pengaduk bermotor berfungsi membantu pengadukan yang bisa disesuaikan kecepatan pengadukannya.
e.
Statip dan Klem Statip dan klem berfungsi untuk penempatan pengaduk bermotor pada penyangga agar memudahkan dalam proses pengadukan.
24
f.
Penangas Penangas digunakan untuk memanaskan a s p a l d a n campuran (aspal+lateks).
g.
Stopwatch Stopwatch digunakan untuk pengukuran waktu pada proses pembuatan lateks depolimerisasi dan pencampuran aspal dengan lateks.
h.
Neraca mekanik Neraca mekanik digunakan untuk menimbang bahan-bahan sebelum direaksikan.
B. Metodologi Penelitian 1. Persiapan Bahan Baku Persiapan bahan baku dilakukan untuk meneliti sifat dan karakteristik bahan baku lateks serta depolimerisasi lateks. a.
Penentuan sifat dan karakteristik lateks Karakteristik yang dilakukan adalah uji KKK, kadar jumlah padatan (KJP), kadar asam lemak bebas, uji viskositas, uji waktu kemantapan mekanis (WKM), penetapan total alkalinitas (kadar amonia), dan penetapan bilangan KOH. Prosedur analisis dan pengujian dapat dilihat pada Lampiran 1.
b.
Depolimerisasi lateks Lateks pekat yang telah diuji karakteristiknya diaduk dengan agitator kemudian ditambahkan bahan penstabil sebanyak 0,4% dan surfaktan sebanyak 1 bsk (bagian per seratus bagian karet). Dilakukan pengadukan selama kurang lebih 5 menit. Setelah itu ditambahkan toluene sebanyak 10% volume lateks sedikit demi sedikit. Lateks yang telah ditambahkan toluene diperam selama 24 jam. Setelah 24 jam lateks ditambahkan H2O2 50% 2 bsk sedikit demi sedikit kemudian ditambahkan NaClO 50% 7 bsk. Lateks
25
diaduk selama 15 menit kemudian lateks ditempatkan dalam beberapa Erlenmeyer lalu ditutup dengan plastik tahan panas. Erlenmeyer yang berisi lateks dimasukkan ke dalam oven bersuhu 70oC selama 16 jam. Setelah 16 jam Erlenmeyer diturunkan suhunya dengan cara dialiri air. Lateks ditempatkan kembali ke dalam satu wadah. Diambil sedikit lateks untuk diukur kadar karet keringnya.
Setelah
diketahui
kadar
karet
keringnya,
lateks
ditambahkan dengan surfaktan sebanyak 0,5 bsk dan HNS 20% 0,4 bsk. Diagram alir proses depolimerisasi latetks dapat dilihat pada Gambar 12. 2. Penelitian Utama a.
Pencampuran lateks dan aspal Aspal dipanaskan diatas penangas hingga suhu 170oC sambil diaduk dengan agitator pada kecepatan 250 rpm. Setelah aspal mencair sempurna lateks dimasukkan lateks sedikit demi sedikit sambil tetap diaduk. Aspal dan lateks diaduk selama 30 menit. Tiap 10 menit dilihat kehomogenannya. Homogenitas aspal modifikasi dilakukan secara visual dengan melihat gumpalan pada aliran jatuh aspal yang dicairkan. Diagram alir proses pencampuran lateks ke dalam aspal dapat dilihat pada Gambar 13.
b.
Pengujian Campuran aspal dan lateks diuji dengan metode pengujian penetrasi dan titik lembek. Pengujian penetrasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kekerasan campuran aspal dan lateks. Pengujian titik lembek dilakukan untuk mengetahui suhu dimana campuran aspal tersebut melunak. Penetrasi adalah masuknya jarum penetrasi ukuran tertentu, beban tertentu dan waktu tertentu ke dalam aspal pada suhu tertentu, sedangkan titik lembek adalah suhu pada saat bola baja dengan berat tertentu mendesak turun suatu lapisan aspal yang tertahan dalam
26
cincin berukuran tertentu, sehingga aspal tersebut menyentuh pelat dasar yang terletak di bawah cincin pada tinggi 24,4 mm, sebagai kecepatan akibat pemanasan tersebut. Prosedur pengujian penetrasi dan titik lembek dapat dilihat pada Lampiran 1.
C. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua kali ulangan untuk masingmasing perlakuan. Faktor-faktor yang dikaji pengaruhnya adalah sebagai berikut: 1.
Faktor A, yaitu: L1 : Lateks Pekat L2 : Lateks Pekat + Bahan pemvulkanisasi L3 : Lateks Pekat + Resin I L4 : Lateks Pekat + Resin II L5 : Lateks Depolimerisasi L6 : Lateks Depolimerisasi + Bahan pemvulkanisasi L7 : Lateks Depolimerisasi + Resin I L8 : Lateks Depolimerisasi + Resin II
2.
Faktor B, yaitu: K3 : Konsentrasi karet 3% terhadap aspal K5 : Konsentrasi karet 5% terhadap aspal K7 : Konsentrasi karet 7% terhadap aspal Model matematis Rancangan Percobaan yang digunakan adalah sebagai
berikut (Myers, 1995): Yijk= μ + Ai + Bj + AB(ij) + ε(ijk) Dengan: Yijk
= Variabel respon yang diukur
μ
= Nilai tengah populasi
Ai
= pengaruh faktor A pada taraf ke-i
27
= pengaruh faktor A pada taraf ke-j
Bj
AB(ij) = pengaruh interaksi dari faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j ε(ijk) = pengaruh galat dari unit percobaan ke-k dalam kombinasi perlakuan ij Lateks Pekat (KKK diketahui)
Bahan Pemantap Sebanyak 0,4%
Diaduk dengan Agitator (Kecepatan 200 rpm)
Surfaktan Sebanyak 1 bsk
Diaduk selama 5 menit
Toluena Sebanyak 10% Volume Lateks
Diperam selama 24 jam
H2SO4 50% sebanyak 2 bsk
Diaduk selama 15 menit
NaClO 50% sebanyak 7 bsk
Ditempatkan ke dalam beberapa erlenmeyer
Ditutup dengan plastik tahan panas
Dimasukkan Oven 70oC selama 16 jam
A
28
A
Diturunkan suhunya dengan dialiri air
Surfaktan Sebanyak 0,5 bsk
Ditempatkan dalam satu wadah
HNS 20%
Lateks Depolimerisasi
Gambar 12. Diagram Alir Proses Depolimerisasi Lateks Pekat (Dimodifikasi dari hasil penelitian Pristiyanti, 2006)
29
Aspal
Dipanaskan pada suhu 170oC
Aspal cair
Diaduk dengan Agitator pada kecepatan 250 rpm
Aspal mencair sempurna Lateks sesuai perlakuan Diaduk selama 30 menit
Aspal berkaret
Gambar 13. Diagram Alir Proses Pencampuran Lateks ke dalam Aspal
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan dan Karakteristik Bahan Baku 1.
Lateks Pekat Jenis lateks pekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks
pekat perdagangan yang telah ditambahkan amonia. Lateks pekat kemudian dianalisis karakteristiknya seperti kadar alkalinitas (amonia), KJP, KKK, bilangan KOH, Waktu Kemantapan Mekanik (WKM), viskositas Mooney, viskositas brookfield, bilangan volatile fatty acid (VFA), dan kadar nitrogen. Data hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 10. Penggunaan lateks pekat dalam penelitian ini bertujuan agar hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam industri yang umumnya menggunakan lateks pekat untuk menurunkan biaya pengangkutan, penyimpanan, dan pemrosesan. Amonia di dalam lateks akan menyebabkan permukaan partikel karet memiliki muatan negatif, sehingga menimbulkan gaya tolak menolak antar partikel karet selanjutnya sistem koloid menjadi mantap dan tidak terjadi penggumpalan. Penambahan amonia ke dalam lateks pekat juga berfungsi untuk mencegah atau menghambat penggumpalan lateks selama penyimpanan akibat asam hasil metabolisme mikroorganisme. Kadar amonia yang terukur adalah sebesar 0,835%. Lateks pekat ini tergolong ke dalam lateks pekat high ammonia (kandungan ammonia tinggi) karena mengandung ammonia lebih dari 0,6%. Lateks pekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat dengan KKK 58,4%, artinya terdapat 58,4 gram partikel karet dalam 100 mL lateks pekat. KKK merupakan parameter terukur yang menunjukkan presentase jumlah karet dalam lateks. Kadar jumlah padatan (KJP) lateks pekat yang digunakan adalah 59,19%, artinya terdapat 59,19 gram padatan total dalam 100 mL lateks pekat. Selisih antara nilai KJP dan KKK pada lateks pekat kurang dari 2%, yaitu 0,79%, hal tersebut menandakan bahwa lateks pekat mengandung padatan bukan karet dan pengotor dalam jumlah relatif rendah bila dibandingkan dengan angka penerimaan KJP, yaitu KKK + 2%.
31
Setelah analisis KKK dan KJP, selanjutnya dilakukan analisis kadar nitrogen. Hasil analisis kadar nitrogen adalah sebesar 0,24%. Dari analisis kadar nitrogen ini maka dapat diketahui jumlah protein yang terdapat dalam lateks pekat ini. Kadar protein dapat dihitung dengan kadar nitrogen dikalikan dengan faktor 6,25. Penambahan amonia yang tinggi dapat mendegradasi protein dalam lateks. sehingga akan mengurangi kadar protein dalam lateks tersebut. Lateks pekat juga dianalisis viskositas Mooney nya sebagai indikator atau pembanding yang menunjukkan kecenderungan perubahan bobot molekul karet alam. Dari hasil uji viskositas Mooney pada lateks pekat diketahui bahwa nilai viskositas Mooney nya sebesar 77,60 (ML (1’+4’) 100oC). Viskositas Mooney karet alam menunjukkan panjangnya rantai molekul karet atau berat molekul. Pada umumnya, semakin tinggi berat molekul (BM) karet, maka semakin panjang rantai molekulnya dan semakin tinggi sifat tahanan aliran bahannya atau dengan kata lain karetnya semakin viskos. Pengukuran viskositas Mooney dilakukan dengan Mooney Viscosimeter. Prinsip kerja alat tersebut berdasarkan pengukuran nilai torsi rotor yang dapat berputar. Nilai viskositas Mooney berlawanan dengan nilai plastisitas. Semakin plastis karet, maka semakin cepat rotor berputar yang berarti tenaga yang dibutuhkan untuk memutar rotor semakin kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa viskositas karet rendah. Sebaliknya, jika karet kurang plastis, maka tenaga yang dibutuhkan untuk memutar rotor semakin besar dan rotor akan berputar lambat sehingga nilai viskositasnya tinggi. Selain nilai viskositas Mooney, dianalisis juga nilai viskositas Brookfield lateks pekat. Nilai viskositas Brookfield lateks pekat sebesar 98 centipoise (cP). Viskositas Brookfield ini menunjukan kekentalan dari suatu lateks. Semakin tinggi nilai viskositas Brookfield, maka lateks semakin kental. Sebaliknya, semakin rendah nilai viskositas Brookfield, maka semakin cair lateks tersebut. Parameter karakteristik lateks pekat yang dianalisis berikutnya adalah waktu kemantapan mekanik (WKM). Analisis waktu kemantapan mekanik bertujuan untuk mengetahui ketahanan karet terhadap gaya sobek. Dari hasil
32
analisis lateks pekat didapatkan nilai WKM sebesar 767 detik. Hasil ini telah memenuhi standar SNI yaitu minimal 650 detik. Menurut Goutara et al. (1985), analisis bilangan VFA (volatile fatty acid) atau asam lemak eteris bertujuan untuk melihat jumlah asam lemak menguap yang dihasilkan dari kerusakan bahan bukan karet oleh mikroorganisme. Bilangan ini merupakan uji khusus yang menggambarkan tingkat pengawetan yang telah dilakukan pada lateks dan juga mengindikasikan umur dan mutu dari lateks pekat. Hasil analisis menunjukkan nilai VFA sebesar 0,02 gr KOH per 100 gr total padatan. Hasil ini sudah memenuhi standar SNI yaitu maksimal 0,2 gr KOH per 100 gr total padatan. Bilangan VFA ini dihasilkan dari keaktifan mikroorganisme terhadap bahan bukan karet. Mikroorganisme ini akan menguraikan senyawa karbohidrat atau protein dalam lateks menjadi asam lemak eteris seperti asam format, asam asetat, dan asam propionat. Asam-asam ini mengakibatkan penurunan
pH
sehingga
menganggu
kestabilan
lateks
dan
dapat
menggumpalkan lateks.
2.
Lateks Depolimerisasi Selain lateks pekat, lateks yang digunakan dalam penelitian ini adalah
lateks depolimerisasi. Lateks depolimerisasi adalah lateks yang mengalami proses pemutusan rantai polimer isoprena yang panjang menjadi rantai polimer yang pendek. Depolimerisasi merupakan salah satu cara mengubah struktur molekul karet menjadi lebih lunak dan mempunyai bobot molekul rendah. Tahapan lebih lanjut yang diharapkan adalah dapat diaplikasikan sebagai bahan baku produk yang membutuhkan sifat lekat yang baik. Jika rantai molekulnya lebih pendek, diharapkan kemampuan partikel karet alam tersebut melekat
pada permukaan media akan lebih baik, sehingga
meningkatkan daya rekatnya. Keberhasilan proses depolimerisasi sangat tergantung pada kestabilan atau kemantapan lateks selama proses depolimerisasi. Selama proses depolimerisasi berlangsung, aglomerasi (penggumpalan) partikel karet harus diusahakan dapat dicegah. Kemantapan atau kestabilan lateks selama proses
33
depolimerisasi dapat dijaga dengan menambahkan bahan penstabil lain, yakni surfaktan. Gugus hidrofilik pada surfaktan akan berinteraksi dengan air, sedangkan gugus hidrofobiknya akan berinteraksi dengan lapisan fosfolipid pada partikel karet. Dengan demikian, dispersi partikel karet di dalam air pada sistem lateks lebih stabil. Pada saat surfaktan dimasukkan ke dalam lateks, maka partikel-partikel karet yang semula diam akan bergerak untuk berikatan dengan surfaktan. Penambahan surfaktan harus sesuai dengan dosisnya. Jika surfaktan yang ditambahkan jumlahnya terlalu kecil, maka surfaktan tidak dapat melindungi seluruh partikel karet sehingga masih ada partikel karet yang bergerak dan memungkinkan terjadinya tumbukan antar partikel karet yang menyebabkan lateks menggumpal. Penambahan
surfaktan
sebagai
anti
koagulan
sebelum
proses
depolimerisasi perlu dilakukan. Surfaktan jenis sodium lauril sulfat termasuk jenis surfaktan anionik yang lebih dapat mempertahankan kestabilan lateks dibandingkan surfaktan polietilene lauril eter, karena surfaktan tersebut mempunyai muatan negatif, sehingga sesuai digunakan pada lateks yang mengandung partikel karet bermuatan negatif. Muatan negatif pada surfaktan sodium lauril sulfat dapat menurunkan tegangan antar muka antara partikel karet dan serumnya, sehingga dispersi partikel karet dalam lateks semakin stabil. Proses degradasi bisa menjadi lebih efektif dengan ditambahkannya toluen ke dalam lateks dengan KKK yang tinggi. Penambahan toluen ke dalam lateks berguna untuk mengembangkan molekul karet. Hal tersebut diduga disebabkan oleh semakin tinggi kadar karet dalam lateks, berarti jarak antar molekul karet dalam lateks semakin dekat dan jumlah air dalam lateks lebih sedikit, sehingga toluen dapat dengan mudah mengembangkan molekul karet. Oleh karena itu, bahan-bahan pedegradasi (H2O2 dan NaOCl) lebih mudah masuk ke dalam rantai hidrokarbon karet alam dan memutus rantai molekulnya menjadi lebih pendek. Di sisi lain, semakin rendah kadar karet dalam lateks, berarti semakin banyak jumlah air dalam lateks dan semakin jauh jarak antar molekul karet
34
dalam lateks. Jumlah air yang banyak dan jarak antar molekul karet yang semakin jauh dapat menghalangi pengembangan molekul karet oleh toluen, karena toluen bersifat hidrofobik (sulit larut dalam air yang menyelubungi molekul karet), sehingga toluen sulit mencapai partikel karet dalam lateks dan sulit mengembangkan molekul karet dan menyebabkan bahan pendegradasi sulit masuk ke dalam molekul karet untuk memutus rantai molekulnya atau rantai polimernya. Proses degradasi rantai polimer karet alam dapat terjadi secara kimia melalui suatu reaksi reduksi-oksidasi (redoks) dengan bantuan senyawasenyawa tertentu. Pada sistem reaksi redoks, senyawa yang umumnya berperan sebagai oksidator adalah hidrogen peroksida (H2O2), sedangkan senyawa reduktornya adalah klorit (OCl-). Penambahan hidrogen peroksida akan mendegradasi rantai molekul melalui pembentukan senyawa radikal bebas. Mekanisme reaksi pembentukan radikal bebas oleh H2O2 adalah sebagai berikut: ROOR → 2OR H2O2 → 2 OH* (radikal hidroksil) Selain membentuk radikal, sebagian senyawa hidrogen peroksida juga akan mengalami reaksi disproporsionasi, yaitu suatu jenis reaksi reduksi oksidasi yang terjadi apabila senyawa tunggal dioksidasi dan direduksi. Senyawa ini ditambahkan pertama kali ke dalam lateks, sehingga sebagian akan mengalami reaksi disproporsionasi membentuk air dan oksigen yang ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung gas pada sistem. Senyawa yang ditambahkan ke dalam lateks selanjutnya adalah natrium hipoklorit (NaOCl). Natrium hipoklorit merupakan reduktor yang digunakan sebagai bahan peptiser yang dapat mempercepat reaksi degradasi molekul oleh peroksida pada suhu rendah. Selain itu, natrium hipoklorit berfungsi untuk menyediakan oksigen yang akan digunakan oleh hidrogen peroksida dalam proses oksidasi. Lateks hasil depolimerisasi kemudian diuji juga karakteristiknya. Pengujian karakteristik lateks depolimerisasi sama seperti pengujian karakteristik yang dilakukan pada lateks pekat. Hasil analisis atau pengujian
35
karakteristik lateks depolimerisasi dapat dilihat pada Lampiran 10. Karakteristik lateks depolimerisasi yang pertama kali dianalisis adalah kadar alkalinitas atau kadar amonia lateks. Dari hasil analisis didapatkan bahwa kadar amonia pada lateks depolimerisasi adalah sebesar 0,14%. Kadar amonia pada lateks depolimerisasi lebih rendah daripada lateks pekat, karena pada amonia menguap selama proses depolimerisasi akibat pengadukan dan pemanasan. Sama halnya dengan lateks pekat, KKK lateks depolimerisasi juga dianalisis dan didapatkan hasil KKK lateks depolimerisasi sebesar 46,73%. KKK diukur berdasarkan persentase perbandingan antara bobot karet kering dengan bobot lateks. KKK lateks depolimerisasi lebih rendah daripada KKK lateks pekat karena pada saat proses depolimerisasi terjadi penambahan bahan-bahan lain yang menyebabkan volume dan bobot lateks bertambah, tetapi kadar karet dalam lateks tetap. Hal tersebut yang menyebabkan KKK lateks depolimerisasi lebih rendah daripada lateks pekat. Hasil analisis KJP menunjukkan bahwa KJP dari lateks depolimerisasi adalah sebesar 51,47%. Hasil tersebut lebih rendah dari KJP lateks pekat. Hal itu juga terjadi karena selama proses depolimerisasi, penambahan bahanbahan kimia yang bersifat cair hanya meningkatkan volume dan bobot lateks, akan tetapi, jumlah bahan-bahan padatan (karet dan non karet) dalam lateks tidak berubah, maka dari itu KJP lateks depolimerisasi lebih rendah daripada lateks pekat. Hampir sama dengan KKK, KJP diukur dari perbandingan bobot padatan setelah pemanasan dengan bobot lateks sebelum pemanasan. Waktu kemantapan mekanik lateks depolimerisasi yang didapatkan lebih rendah daripada waktu kemantapan mekanik lateks pekat, yaitu sebesar 109 detik. Waktu kemantapan mekanik yang lebih rendah ini disebabkan karena lateks
mengalami
penurunan
kemantapan
atau
ketahanan
terhadap
pengadukan selama proses depolimerisasi. Sebenarnya, lateks pekat mengalami kenaikan WKM selama penyimpanan dengan pengadukan perlahan hingga batas waktu tertentu, kemudian WKM lateks pekat akan menurun kembali. Kemungkinan proses depolimerisasi telah mempercepat siklus WKM lateks, sehingga WKM lateks depolimerisasi menjadi rendah.
36
Kadar VFA atau asam lemak eteris pada lateks depolimerisasi lebih tinggi dari kadar VFA dalam lateks pekat, yaitu sebesar 0,047 g KOH/100 g JP. Nilai VFA yang lebih tinggi ini disebabkan selama proses depolimerisasi dan penyimpanan, telah terjadi penguraian bahan-bahan non karet seperti karbohidrat atau protein oleh mikroorganisme dalam lateks menjadi asam lemak eteris seperti asam format, asam asetat, dan asam propionat. Kadar VFA yang terlalu tinggi dan melebihi SNI kurang dikehendaki karena asamasam yang dihasilkan akan mengganggu pH dan kemantapan lateks. Selain itu, kadar VFA yang tinggi akan mempengaruhi (menurunkan) mutu dari lateks tersebut. Kadar nitrogen adalah jumlah zat-zat yang mengandung nitrogen yang terdiri dari protein dan turunannya. Kadar nitrogen diuji untuk mengetahui jumlah protein yang ada dalam lateks. hal ini dilakukan karena protein merupakan salah satu pelindung molekul karet. Kadar nitrogen pada lateks depolimerisasi adalah sebesar 0,14%. Hal ini menunjukkan bahwa protein yang terkandung dalam karet berkurang. Penurunan kadar nitrogen disebabkan oleh beberapa hal, antara lain terbuangnya fase protein pada saat proses sentrifugasi (pemekatan) lateks, larutnya protein dalam aseton pasa saat lateks digumpalkan, dan HNS yang ditambahkan berhasil mengikat gugus amida. Penurnan kadar nitrogen juga dapat disebabkan selama depolimerisasi, hidrogen peroksida yang memiliki sifat asam mampu merusak protein. Selain itu, selama proses pemeraman lateks dengan toluen, ada sebagian protein yang larut dalam toluen. Viskositas Brookfield pada lateks depolimerisasi ternyata lebih rendah daripada viskositas Brookfield pada lateks pekat. Nilai viskositas Brookfield lateks depolimerisasi adalah sebesar 18,3 cP. Viskositas Brookfield lateks depolimerisasi lebih rendah juga disebabkan oleh proses depolimerisasi lateks. Pada awal proses depolimerisasi,
pemeraman lateks oleh toluena
dapat mengembangkan molekul karet, sehingga kekentalan lateks menurun. Setelah itu, pada akhir proses depolimerisasi, telah terjadi pemutusan rantai molekul poliisoprenayang panjang menjadi lebih pendek, sehingga bobot
37
molekul lateks depolimerisasi menjadi lebih rendah yang mengakibatkan viskositasnya menurun. Viskositas Mooney merupakan salah satu parameter penting dalam penelitian depolimerisasi, karena dapat memberikan gambaran kasar bobot molekul sampel. Proses depolimerisasi berhasil jika viskositas Mooney lateks depolimerisasi lebih rendah dari viskositas Mooney lateks pekat. Viskositas Mooney lateks depolimerisasi juga lebih rendah dari viskositas
Mooney
lateks pekat. Viskositas Mooney lateks depolimerisasi adalah sebesar 16,50 (ML (1+4) 100oC). Hal tersebut menunjukkan bahwa proses depolimerisasi telah berhasil memperpendek rantai molekul karet (menurunkan bobot molekul karet alam) yang terlihat dari nilai viskositas Mooney lateks depolimerisasi yang lebih kecil dari nilai viskositas Mooney lateks pekat.
B. Homogenitas Campuran Lateks dengan Aspal Secara Visual Pada penelitian ini, lateks karet alam dipilih untuk dicampurkan dengan aspal karena pencampuran lateks dengan aspal menghasilkan produk yang lebih efisien dibandingkan dengan bentuk lain dari karet dalam jumlah yang sama. Selain itu, harga lateks karet alam lebih rendah daripada harga produk karet lainnya, khususnya produk karet olahan dan juga penggunaan lateks mempermudah produksi atau pembuatan aspal berkaret. Penggunaan lateks pekat lebih disukai dalam pencampuran lateks dengan aspal, karena lateks pekat memiliki KKK lebih tinggi dari lateks kebun. Selain itu, lebih tahan lama untuk disimpan dan pada proses pencampuran dengan aspal, menghasilkan lebih sedikit buih karena kandungan air yang lebih sedikit dibandingkan dengan lateks kebun. Hal ini dapat membantu kemudahan dan keamanan pada saat proses pencampuran. Pencampuran lateks ke dalam aspal diawali dengan pemanasan aspal pada suhu 160-170oC. pada suhu tersebut aspal mencair sempurna. Aspal tersebut dipanaskan atau dicairkan pada wadah dengan volume aspal 2/3 volume wadah. Hal tersebut bertujuan agar memberikan ruang untuk campuran yang mengembang pada saat lateks dimasukkan ke dalam aspal panas. Pengembangan volume campuran tersebut disebabkan oleh penguapan
38
air dalam lateks. Memasukkan atau mencampurkan lateks ke dalam aspal harus secara perlahan-lahan, karena jika lateks dicampurkan sekaligus, maka akan terjadi pengembangan buih yang tidak terkontrol. Pencampuran lateks ke dalam aspal dalam jumlah yang cukup banyak harus dilakukan secara hatihati karena lateks mengandung sekitar 40% air dan temperatur pencampuran lebih tinggi daripada titik didih air. Pengadukan dilakukan selama 30 menit setelah lateks dimasukkan semua ke dalam aspal dan kestabilan temperatur harus tetap dijaga untuk menghasilkan homogenitas karet dalam aspal yang baik. Pencampuran lateks pekat dalam konsentrasi atau jumlah besar ke dalam aspal menyebabkan campuran aspal dan karet (aspal modifikasi) menjadi lebih viskos dan menjadi kurang homogen. Hal tersebut dapat dilihat dengan cara pengujian visual campuran aspal dan karet secara sederhana. Pengujian visual aspal modifikasi dapat dilakukan dengan cara penuangan aspal modifikasi cair ke permukaan wadah yang datar. Penuangan aspal modifikasi cair tersebut bertujuan untuk melihat keseragaman penyebaran karet dalam aspal. Cara pengujian homogenitas dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Pengujian Homogenitas Aspal Modifikasi Secara Visual Karet yang tidak homogen atau tidak menyebar secara merata dalam aspal akan terlihat gumpalan-gumpalan pada aliran aspal cair pada saat dijatuhkan dan pada saat jatuh di permukaan wadah yang datar, akan terjadi penumpukan aspal modifikasi pada satu pusat atau dengan kata lain aspal modifikasi tersebut tidak menyebar di atas wadah. Sebaliknya, pada aspal
39
modifikasi dengan homogenitas karet yang baik, pada saat aspal cair dialirkan atau dituang, tidak terlihat adanya gumpalan-gumpalan dan pada saat aspal cair jatuh di atas permukaan wadah datar, aspal tersebut langsung menyebar ke seluruh bagian permukaan wadah. Dari hasil pengujian secara visual dapat terlihat bahwa semakin banyak kosentrasi atau dosis karet dalam aspal, maka homogenitasnya semakin berkurang yang terlihat dari semakin banyaknya gumpalan-gumpalan pada aliran aspal cair. Dari hasil pengujian juga terlihat perbandingan homogenitas antara aspal yang dicampur dengan lateks pekat dengan aspal yang dicampur dengan lateks depolimerisasi. Aspal yang dicampur dengan lateks depolimerisai homogenitasnya lebih baik daripada aspal yang dicampur dengan lateks pekat. Aspal yang dicampur dengan lateks depolimerisasi hampir tidak terlihat adanya gumpalan pada aliran aspal cair dan pada saat aspal menyentuh permukaan wadah, aspal menyebar merata. Sebaliknya, aspal yang dicampur dengan lateks pekat terlihat gumpalan-gumpalan pada aliran aspal cair dan pada saat aspal menyentuh permukaan wadah, aspal menumpuk di satu pusat atau dengan kata lain tidak jatuh menyebar secara merata ke seluruh bagian permukaan wadah. Hasil pengukuran secara visual atau kualitatif memperlihatkan bahwa aspal yang dicampurkan dengan lateks jenis lateks pekat dan bahan tambahannya atau disimbolkan dengan kode L1, L2, L3 dan L4 pada konsentrasi 7% karet dalam aspal (K7), menghasilkan campuran yang tidak homogen, sedangkan pada konsentrasi 5% karet dalam aspal (K5), menghasilkan campuran yang kurang homogen dan pada konsentrasi 3% karet dalam aspal (K3), menghasilkan campuran yang agak homogen. Aspal yang dicampurkan dengan lateks jenis lateks depolimerisasi dan bahan tambahannya atau disimbolkan dengan kode L5, L6, L7 dan L8 pada konsentrasi 7% karet dalam aspal (K7), menghasilkan campuran yang agak homogen, sedangkan pada konsentrasi 5% karet dalam aspal (K5) dan pada konsentrasi 3% karet dalam aspal (K3), menghasilkan campuran yang homogen.
40
Perbedaan homogenitas antara aspal yang dicampur dengan lateks pekat (L1, L2, L3 dan L4 ) serta lateks depolimerisasi (L5, L6, L7 dan L8) disebabkan oleh perbedaan bobot molekul atau panjang rantai molekul polimer serta kemudahan polimer karet untuk berikatan dengan senyawa lain dan kemudahan untuk dimodifikasi. Lateks depolimerisasi memiliki rantai polimer yang lebih pendek daripada lateks pekat dan juga bobot molekul yang lebih kecil daripada lateks pekat yang ditandai dengan nilai viskositas Mooney lateks depolimerisasi yang lebih kecil daripada lateks pekat. Pendeknya rantai polimer atau bobot molekul yang kecil menyebabkan lateks depolimerisasi lebih mudah untuk bercampur dan berikatan dengan aspal, sehingga partikel karet dapat menyebar lebih merata dalam aspal.
C. Pengaruh Lateks Terhadap Kekerasan (Penetrasi) Aspal Penetrasi aspal atau tingkat kekerasan aspal merupakan parameter utama untuk mengklasifikasikan kelas dan kualitas aspal untuk perkerasan jalan. Uji empiris ini merupakan pendekatan utama yang digunakan untuk menentukan ketahanan aspal terhadap deformasi permanen. Proses modifikasi aspal oleh penambahan lateks karet alam dinyatakan berhasil, jika nilai penetrasi aspal modifikasi lebih rendah daripada nilai penetrasi kontrol (aspal pen 60). Nilai penetrasi sampel dapat dilihat pada histogram nilai penetrasi (Gambar 15). Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa penetrasi aspal modifikasi yang dihasilkan berkisar antara 49,33 sampai 61,25 dmm, sedangkan nilai penetrasi kontrol adalah 68,00 dmm. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan lateks dan campurannya telah berhasil membuat aspal menjadi lebih keras yang ditunjukkan dengan nilai penetrasi aspal modifikasi yang lebih rendah daripada kontrol. Berdasarkan nilai penetrasi pada histogram di atas, terlihat bahwa nilai penetrasi aspal modifikasi yang tertinggi adalah aspal modifikasi pada konsentrasi 3% (karet dalam aspal), yang nilainya berkisar antara 50,50 sampai 61,25 dmm, kemudian nilai penetrasi aspal modifikasi pada konsentrasi 5% berkisar antara 51,45 sampai 59,15 dmm, dan nilai penetrasi yang terendah adalah aspal modifikasi pada konsentrasi 7% dengan kisaran nilai 49,33 sampai 57,45 dmm. Hampir seluruh sampel aspal modifikasi
41
memenu uhi standar aspal a polimeer. Tetapi, teerdapat dua sampel yangg berada di luar staandar persyaaratan minim mum aspal polimer p sebeesar 50,00 dmm, d yaitu
( ) Penetrasi (dmm)
sampel dengan kodee L7K7 sebeesar 49,52 dm mm dan L1K K7 sebesar 49,33 4 dmm.
80 70 60 50 40 30 20 10 0 L6
L5
L3
L4
L8
L L2
L7
L1
Jenis Latek ks Kontrool
3% Karret dalam Aspaal
5% Kareet dalam Aspall
7% Karett dalam Aspal
L : Lateks Pekkat L1
L5 : Lateeks Depolimerrisasi
L : Lateks Pekkat + Bahan peemvulkanisasi L2
L6 : Lateeks Depolimerrisasi + Bahan pemvulkanisassi
L : Lateks Pekkat + Resin I L3
L7 : Lateeks Depolimerrisasi + Resin I
L : Lateks Pekkat + Resin II L4
L8 : Lateeks Depolimerrisasi + Resin II I
Gam mbar 15. Hisstogram Nilaai Penetrasi Sampel padaa Tiap Konsentrasi Berrdasarkan haasil analisis kkeragaman pada p tingkatt kepercayaaan 95% dan α = 0,0 05, menunjuukkan bahw wa perlakuann variasi koonsentrasi kaaret dalam aspal berpengaruh nyata terhaadap nilai penetrasi. p Haasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Gambar 16 Dari histog gram tersebuut, terlihat bahwa b nilai penetrassi aspal modifikasi koonsentrasi 3% 3 berbedaa nyata dengan nilai penetrassi aspal moodifikasi konnsentrasi 5% % dan 7%. Nilai peneetrasi aspal modifikkasi konsentrrasi 5% jugga berbeda nyata n dengann nilai peneetrasi aspal mdifikaasi konsentraasi 3% dan 7%. Begitu pula dengaan nilai peneetrasi aspal modifikkasi 7% beerbeda nyatta dengan nilai penetrrasi aspal modifikasi konsenttrasi 3% dan 5%.
42
Penetrasi (dmm)
58 56 54 52 50 Konseentrasi Karet dalam Aspal ((%) 3% Karet dalam d Aspal
5% Karet dallam Aspal
7 Karet dalam 7% m Aspal
Gambbar 16. Histoogram Signiffikansi Peneetrasi Berdasarkan ANOV VA pada Faktoor Konsentraasi Karet Sem makin tinggi kadar karret dalam aspal a maka semakin reendah nilai penetrassinya. Nilai penetrasi yyang rendah h menunjukkkan tingkat kekerasan aspal tiinggi, sedanngkan nilai penetrasi yang y tinggi menunjukkkan tingkat kekerasan aspal renndah. Hal teersebut diseb babkan semaakin tinggi kadar k karet a makaa semakin bbanyak partikel karet yaang memennuhi ruangdalam aspal, ruang anntar partikel aspal. Partikkel karet maasuk ke dalam m ruang-ruan ng tersebut pada saaat jarak antar partikel m menjadi rengggang atau dengan kataa lain pada saat asppal tersebut berwujud b caiir (dipanaskaan). Terrdapat dua bentuk fraksii pada aspal,, yaitu asphaalten (fraksi padat) dan malten (fraksi cair)). Kadar aspphalten dalaam aspal sanngat menenntukan sifat rheologi aspal. Ken naikan kadarr asphalten menyebabka m an aspal men njadi keras. Adanyaa karet dalam m aspal mem mbuat jumlahh fraksi padaat dalam asppal menjadi bertamb bah, peningk katan jumlahh fraksi padatt dalam aspaal mengakibaatkan aspal menjadii lebih kerass (penetrasi aspalnya meenjadi rendaah). Dengan masuknya karet kee dalam aspaal, maka akaan menambaah jumlah fraaksi padat daalam aspal. Oleh karena k itu, dengan ditaambahkanny ya lateks kee dalam asspal, maka membuaat aspal mennjadi semakinn keras. Berrdasarkan haasil analisis kkeragaman pada p tingkatt kepercayaaan 95% dan α = 0,005, menunju ukkan bahw wa perlakuan n variasi jennis lateks beerpengaruh nyata teerhadap nilaai penetrasi.. Hasil uji lanjut Dunccan dapat dilihat pada Gambarr 17. Dari histogram ttersebut, terlihat bahwaa nilai peneetrasi aspal 43
modifikkasi L6 berbeeda nyata deengan aspal modifikasi m L L5, L3, L4, L8, L L2, L7, dan L1. Nilai peneetrasi aspal modifikasi L5 berbedda nyata den ngan aspal modifikkasi L6, L3, L4, L8, L2, L7, dan L1 1. Nilai penetrasi aspal modifikasi L3 tidakk berbeda nyata n dengann aspal moddifikasi L4 dan d L8, tetaapi berbeda
Penetrasi (dmm)
nyata deengan aspal modifikasi L6, L L5, L2, L7, L dan L1. 60 58 56 54 52 50 48 46 44 L6
L5
L3
L4
L8
L L2
L7
L1
Jenis Lateeks L : Lateks Pekkat L1
L5 : Lateeks Depolimerrisasi
L : Lateks Pekkat + Bahan peemvulkanisasi L2
L6 : Lateeks Depolimerrisasi + Bahan pemvulkanisassi
L : Lateks Pekkat + Resin I L3
L7 : Lateeks Depolimerrisasi + Resin I
L : Lateks Pekkat + Resin II L4
L8 : Lateeks Depolimerrisasi + Resin II I
Gambbar 17. Histoogram Signiffikansi Peneetrasi Berdasarkan ANOV VA pada Faaktor Jenis Lateks L Nilaai penetrasi aspal modifikasi L4 tidak t berbedda nyata denngan aspal modifikkasi L3 dan L8, L tetapi beerbeda nyataa dengan asppal modifikaasi L6, L5, L2, L7,, dan L1. Nilai N penetraasi aspal modifikasi m L88 tidak berbbeda nyata dengan aspal moddifikasi L3 dan L4, tettapi berbedaa nyata denngan aspal modifikkasi L6, L5, L2, L7, ddan L1. Nillai penetrasii aspal moddifikasi L2 berbedaa nyata dengan aspal moodifikasi L6, L5, L3, L4,, L8, L7, dann L1. Nilai penetrassi aspal mod difikasi L7 bberbeda nyatta dengan asspal modifikasi L6, L5, L3, L4, L8, L2, daan L1. Nilai penetrasi aspal a modifikkasi L1 berb beda nyata dengan aspal modiffikasi L6, L55, L3, L4, L88, L2, dan L77. Berrdasarkan Gaambar 17, teerlihat bahw wa aspal yangg dicampurkkan dengan lateks pekat (L1) tan npa bahan taambahan meenghasilkan campuran dengan nilai ( modifikasi yang paling kerass), yaitu sebbesar 50,42 penetrassi terendah (aspal
44
dmm. Namun, nilai penetrasi campuran tersebut terlalu dekat dengan batas minimal nilai penetrasi sesuai dengan SNI (50 dmm). Campuran aspal dengan lateks pekat yang ditambahkan bahan pemvulkanisasi (L2) menghasilkan nilai penetrasi sebesar 52,60 dmm, yang lebih tinggi dari L1. Kegunaan bahan pemvulkanisasi adalah untuk membuat karet memiliki sifat elastis karena karet berikatan dengan belerang yang menyebabkan terjadinya proses vulkanisasi. Campuran aspal dengan lateks pekat yang ditambahkan Resin I (L3) menghasilkan nilai penetrasi sebesar 55,82 dmm, yang lebih tinggi dari L1. Resin I merupakan resin yang berasal dari getah pinus. Resin tersebut juga memiliki nama lain, yaitu gondorukem dan siongka. Campuran aspal dengan lateks pekat yang ditambahkan Resin II (L4) menghasilkan nilai penetrasi sebesar 55,60 dmm, yang lebih tinggi dari L1. Resin II adalah resiprene yang merupakan resin hasil siklikasi karet alam. Kegunaan dari meningkatkan
kedua resin tersebut dalam aspal adalah membantu kelengketan
aspal
sebagai
binder
serta
membantu
meningkatkan kekerasan aspal (menurunkan nilai penetrasi aspal). Namun, pada campuran L3 dan L4 resin tidak membantu menurunkan nilai penetrasi. Hal ini kemungkinan disebabkan resin tersebut tidak berikatan secara optimal dengan karet dalam lateks pekat yang kurang tercampur secara homogen dalam aspal. Aspal yang dicampurkan dengan lateks depolimerisasi (L5) tanpa bahan tambahan menghasilkan campuran dengan nilai penetrasi 57,25 dmm. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan bahan pemvulkanisasi (L6) menghasilkan nilai penetrasi sebesar 59,28 dmm, yang lebih tinggi dari L5. Berdasarkan hasil penelitian, bahan pemvulkanisasi yang ditambahkan, baik ke dalam lateks pekat maupun ke dalam lateks depolimerisasi, dapat meningkatkan nilai penetrasi aspal. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan Resin I (L7) menghasilkan nilai penetrasi sebesar 52,60 dmm, yang lebih rendah dari L5. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan Resin II (L8) menghasilkan nilai penetrasi sebesar 55,22 dmm, yang lebih rendah dari L5.
45
Pada caampuran L7 dan L8, reesin dalam campuran c daapat menuruunkan nilai penetrassi aspal. Hall ini kemunggkinan diseb babkan resin dapat berikaatan secara optimal dengan lateks depolim merisasi, sehhingga resin tersebut bisa tersebar secara merata m di dallam aspal. Berrdasarkan haasil analisis kkeragaman pada p tingkatt kepercayaaan 95% dan α = 0,05 5, menunjukkkan bahwa interaksi anttara variasi jjenis lateks dan variasi konsenttrasi karet dalam d aspal berpengaruuh nyata terrhadap nilaii penetrasi. Hasil uji u lanjut Duncan D dapaat dilihat paada Gambaar 18. Dari histogram tersebutt, terlihat bahwa nilai penetrasi aspal modifikasi kombinnasi L6K3 tidak beerbeda nyataa dengan koombinasi L3 3K3, tetapi berbeda nyaata dengan kombinasi lainnya.. Aspal kom mbinasi L3K3 tidak bberbeda nyaata dengan L dan L L5K3, tetapii berbeda nyyata dengan kombinasi kombinasi L6K3, L4K3, lainnya.. Aspal kom mbinasi L4K33 tidak berbeda nyata deengan aspal kombinasi L3K3, L5K3, dan L6K5, tettapi berbedaa nyata denngan aspal kombinasi
Penetrasi (dmm)
lainnya.. 80 70 60 50 40 30 20 10 0 L6K3 L3K3 L4K3 L5K3 L6K5 L6K7 L5K5 L L8K3 L7K3 L2K K3 L4K5 L8K5 L5K7 7 L3K5 L8K7 L2K5 L3K7 L2K7 L4K7 L7K5 L L1K5 L1K3 L7K K7 L1K7
Jenis Lateeks Minimal SNI
Maksimal M SNI
Gaambar 18. Histogram Siggnifikansi Peenetrasi padaa Faktor Inteeraksi Asp pal kombinaasi L5K3 tiidak berbedda nyata denngan aspal kombinasi L3K3, L4K3, dan L6K5, tettapi berbedaa nyata denngan aspal kombinasi mbinasi L6K55 tidak berbeda nyata deengan aspal kombinasi lainnya.. Aspal kom L4K3 dan d L5K3, teetapi berbedaa nyata deng gan aspal kom mbinasi lainnnya. Aspal kombinasi L6K7 tiddak berbedaa nyata denggan aspal koombinasi L5K5, L8K3, t berbed da nyata denngan aspal ko ombinasi lainnnya. Aspal kombinasi L7K3, tetapi L5K5 tiidak berbedaa nyata denggan aspal kom mbinasi L6K K7, L8K3, L77K3, tetapi 46
berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L8K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K5, L6K7, L7K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L7K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K5, L8K3, L6K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L2K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L4K5, L8K5, L5K7, dan L3K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L4K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L2K3, L8K5, L5K7, L3K5, dan L8K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L8K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L2K3, L4K5, L5K7, L3K5, dan L8K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L5K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L2K3, L4K5, L8K5, L3K5, L8K7, dan L2K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L2K3, L4K5, L8K5, L5K7, L8K7, dan L2K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L8K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L4K5, L8K5, L5K7, L3K5, dan L2K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L2K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K7, L3K5, dan L8K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L2K7, L4K7, L7K5, dan L1K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L2K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K7, L4K7, L7K5, dan L1K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L4K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K7, L2K7, L7K5, dan L1K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L7K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K7, L2K7, L4K7, L1K5, dan L1K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L1K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K7, L2K7, L4K7, L7K5, dan L1K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L1K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L7K5, L1K5, dan L7K7, tetapi berbeda nyata dengan
47
aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L7K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K3 dan L1K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L1K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L7K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Hampir seluruh jenis kombinasi variasi jenis lateks dan variasi konsentrasi karet dalam aspal memenuhi standar yang ada untuk aspal polimer jenis elastomer. Standar untuk aspal polimer menyebutkan bahwa nilai penetrasi minimal agar aspal modifikasi masuk memenuhi standar adalah 50,00, sedangkan nilai maksimal penetrasi agar aspal modifikasi memenuhi standar adalah 75,00. Namun, ada dua jenis kombinasi aspal yang berada di luar range standar, yaitu sampel dengan kombinasi L7K7 dengan nilai penetrasi 49,52 dan L1K7 dengan nilai penetrasi 49,33. Hal tersebut diakibatkan oleh banyaknya fraksi padat (asphalten dan karet) dalam aspal, sehingga aspal modifikasi yang dihasilkan memiliki nilai penetrasi yang rendah dan berarti bahwa aspal modifikasi tersebut terlalu keras untuk digunakan sebagai bahan perkerasan jalan.
D. Pengaruh Lateks Terhadap Titik Lembek Aspal Titik lembek aspal atau titik leleh aspal aspal merupakan parameter utama untuk mengklasifikasikan kelas dan kualitas aspal untuk perkerasan jalan. Uji empiris ini merupakan pendekatan utama selain penetrasi aspal yang digunakan untuk menentukan ketahanan aspal terhadap deformasi permanen. Proses modifikasi aspal oleh penambahan lateks karet alam dinyatakan berhasil jika nilai titik lembek aspal modifikasi lebih tinggi daripada nilai titik lembek kontrol (aspal pen 60). Nilai titik lembek sampel dapat dilihat pada histogram nilai penetrasi (Gambar 19). Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa titik lembek aspal modifikasi yang dihasilkan berkisar antara 56,11 sampai 65,27 (oC), sedangkan nilai titik lembek kontrol adalah 46,50 (dmm). Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan lateks dan campurannya telah berhasil meningkatkan titik lembek yang ditunjukkan dengan nilai titik lembek aspal modifikasi yang lebih tinggi daripada kontrol. Berdasarkan nilai titik lembek pada histogram
48
di atas, terlihat baahwa nilai ttitik lembekk aspal moddifikasi yang tertinggi adalah aspal modiifikasi pada konsentrassi 7% (kareet dalam asspal), yang mbek aspal nilainyaa berkisar anntara 58,62 saampai 65,277, kemudian nilai titik lem modifikkasi pada konnsentrasi 5% % berkisar anntara 57,94 sampai s 60,94 4, dan nilai titik lem mbek yang terendah addalah aspal modifikasi pada konseentrasi 3%
Titik Lembek (oC)
dengan kisaran nilaii 56,11 samppai 58,00.
70 60 50 40 30 20 10 0 L1
L L3
L7
L5
L4
L8
L6 L
L2
Jenis Lateks L Ko ontrol
3% Karet K dalam Asp pal
5% Karet dalam Aspal
7% Karet dalam Aspal
L1 : Lateks Pekat P
L5 : Laateks Depolimeerisasi
L2 : Lateks Pekat P + Bahan pemvulkanisas p si
L6 : Laateks Depolimeerisasi + Bahann pemvulkanisaasi
L3 : Lateks Pekat P + Resin I
L7 : Laateks Depolimeerisasi + Resinn I
L4 : Lateks Pekat P + Resin III
L8 : Laateks Depolimeerisasi + Resinn II
Gamb bar 19. Histo ogram Nilai T Titik Lembeek Sampel paada Tiap Konsentrasi Berrdasarkan haasil analisis kkeragaman pada p tingkatt kepercayaaan 95% dan α = 0,0 05, menunjuukkan bahw wa perlakuann variasi koonsentrasi kaaret dalam aspal beerpengaruh nyata n terhaddap nilai titikk lembek. H Hasil uji lanjjut Duncan dapat dilihat pada Gambar G 20. Dari histog gram tersebuut, terlihat bahwa b nilai mbek aspal modifikasi m koonsentrasi 3% berbeda nnyata dengann nilai titik titik lem lembek aspal modiifikasi konseentrasi 5% dan 7%. Niilai titik lem mbek aspal mbek aspal modifikkasi konsentrrasi 5% jugaa berbeda nyyata dengan nnilai titik lem mdifikaasi konsentraasi 3% dan 77%. Begitu pula p dengan nnilai titik lem mbek aspal modifikkasi 7% berrbeda nyata dengan nillai titik lem mbek aspal modifikasi konsenttrasi 3% dan 5%. 49
Titik Lembek (oC)
64 62 60 58 56 54 Konsentrrasi Karet dallam Aspal (%) 7% % Karet dalam Aspal
5% % Karet dalam Aspal
3% % Karet dalam Aspal A
Gambarr 20. Histogrram Signifikkansi Titik Lembek Berddasarkan AN NOVA pada Faaktor Konsen ntrasi Sem makin tinggii kadar kareet dalam asppal maka sem makin tinggi nilai titik lembekn nya. Hal terssebut disebaabkan semakkin tinggi kaadar karet daalam aspal, maka semakin s bannyak partikeel karet yaang memenuuhi ruang-ruuang antar partikel aspal. Aspaal memiliki titik lunak yang lebih rrendah darip pada karet, jadi asppal lebih muudah melunnak bila dibandingkan ddengan kareet. Apabila partikel karet terkaandung dalaam aspal, maka m usaha untuk mem mbuat aspal a biasa. modifikkasi menjadii lunak lebihh sulit bila dibandingkaan dengan aspal Ada suaatu hubungaan yang berbbanding terb balik antara nilai penetrrasi dengan nilai tittik lembek. Apabila nillai penetrasii aspal mennurun, makaa nilai titik lembek meningkat. Sebaliknya,, apabila nilaai penetrasi meningkat, maka nilai titik lem mbek menuru un. Berrdasarkan haasil analisis kkeragaman pada p tingkatt kepercayaaan 95% dan α = 0,005, menunju ukkan bahw wa perlakuan n variasi jennis lateks beerpengaruh nyata teerhadap nilai titik lembeek. Hasil ujii lanjut Dunncan dapat dilihat d pada Gambarr 21. Dari histogram h terrsebut, terlih hat bahwa nilai n titik lem mbek aspal modifikkasi L1 tidakk berbeda nyyata dengann L3 dan L77, tetapi berb beda nyata dengan aspal modiifikasi L5, L L4, L8, L6, dan L2. Nilai titik lem mbek aspal modifikkasi L3 tidakk berbeda nyyata dengann L1 dan L77, tetapi berb beda nyata dengan aspal modiifikasi L5, L L4, L8, L6, dan L2. Nilai titik lem mbek aspal L L5, L4, modifikkasi L7 tidakk berbeda nyyata dengann aspal modiifikasi L1, L3, dan L8, tetapi berbeeda nyata denngan aspal modifikasi m L L6 dan L2. 50
Titik Lembek (oC)
62 61 60 59 58 57 56 55 L1
L3
L7
L5
L4
L8
L6
L2
Jenis Lateeks L1 : Lateks Pekat
L5 : Lateks L Depolim merisasi
L2 : Lateks Pekat + Bahann pemvulkanisasi
L6 : Lateks L Depolim merisasi + Bah han pemvulkanisasi
L3 : Lateks Pekat + Resinn I
L7 : Lateks L Depolim merisasi + Resiin I
L4 : Lateks Pekat + Resinn II
L8 : Lateks L Depolim merisasi + Resiin II
Gambarr 21. Histogrram Signifikkansi Titik Lembek Berddasarkan AN NOVA pada Faaktor Jenis Lateks L Nilaai titik lembbek aspal moodifikasi L5 tidak berbeeda nyata deengan aspal modifikkasi L7, L4, dan L8, tetaapi berbeda nyata n dengaan aspal moddifikasi L1, L3, L6, dan L2. Niilai titik lem mbek aspal modifikasi m L L4 tidak berb beda nyata L dan L8, tetapi t berbeda nyata deengan aspal dengan aspal modiffikasi L7, L5, modifikkasi L1, L3, L6 dan L2.. Nilai titik lembek aspaal modifikassi L8 tidak berbedaa nyata deng gan L7, L5,, dan L4, teetapi berbedda nyata denngan aspal modifikkasi L1, L3, L6, dan L2. Nilai titik lembek aspal modifikassi L6 tidak berbedaa nyata denggan L2, tetappi berbeda nyata n dengann aspal moddifikasi L1, L3, L7, L5, L4, dann L8. Nilai ttitik lembek aspal modiffikasi L2 tidak berbeda nyata deengan L6, teetapi berbedda nyata denngan aspal modifikasi m L L3, L7, L1, L5, L4, dan L8. Berrdasarkan Gaambar 21, teerlihat bahw wa aspal yangg dicampurkkan dengan lateks pekat (L1) tan npa bahan taambahan meenghasilkan campuran dengan nilai titik lem mbek tertingggi, yaitu sebbesar 61,40 oC. Campuran aspal den ngan lateks pekat yaang ditambaahkan bahann pemvulkannisasi (L2) m menghasilkann nilai titik lembek sebesar 57 7,52
o
C. Campuran C a aspal dengaan lateks pekat p yang
ditambaahkan Resin I (L3) mengghasilkan niilai titik lem mbek sebesar 61, 34 oC.
51
Campuran aspal dengan lateks pekat yang ditambahkan Resin II (L4) menghasilkan nilai titik lembek sebesar 59,97 oC. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi tanpa bahantambahan (L5) menghasilkan nilai titik lembek sebesar 60,06 oC. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan bahan pemvulkanisasi (L6) menghasilkan nilai titik lembek sebesar 58,34 oC. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan Resin I (L7) menghasilkan nilai titik lembek sebesar 60,40 oC. Campuran aspal dengan lateks depolimerisasi yang ditambahkan Resin II (L8) menghasilkan nilai titik lembek sebesar 58,35 oC. Berdasarkan hasil penelitian, penambahan bahan pemvulkanisasi, baik pada lateks pekat maupun lateks depolimerisasi dapat menurunkan titik lembek aspal. Penambahan resin ke dalam campuran tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kenaikan titik lembek aspal, bahkan cenderung menurunkan nilai titik lembek aspal. Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, menunjukkan bahwa interaksi antara variasi jenis lateks dan variasi konsentrasi karet dalam aspal berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Gambar 22. Dari histogram tersebut terlihat bahwa nilai titik lembek aspal kombinasi L1K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L3K7 dan L3K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K7, L3K5, dan L4K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K7, L3K7, L4K7, L8K7, L7K7, dan L5K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya.
52
Titik Lembek (oC)
70 60 50 40 30 20 10 0 L1K7 L3K7 L3K5 L4K7 L8K7 L7K7 L5K7 L L1K5 L5K5 L4K K5 L7K5 L6K7 L8K5 5 L6K3 L2K7 L7K3 L1K3 L2K5 L5K3 L2 2K3 L4K3 L6K5 L8K K3 L3K3
Jenis Lateeks Minimal SN NI
Gam mbar 22. Histtogram Signiifikansi Titik k Lembek paada Faktor In nteraksi Asp pal kombinaasi L4K7 tiidak berbedda nyata denngan aspal kombinasi L3K5, L3K7, L L4K7 7, L8K7, L77K7, dan L5K7, tetapi berbeda nyata dengan aspal koombinasi lainnya. Aspall kombinasi L8K7 tidakk berbeda nyyata dengan aspal koombinasi L3K5, L4K7, L L7K7, dan L5K7, L tetapii berbeda ny yata dengan aspal koombinasi lainnya. Aspall kombinasi L7K7 tidakk berbeda nyyata dengan aspal koombinasi L3 3K5, L4K7, L8K7, L5K K7, dan L1K55, tetapi berrbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnyaa. Aspal kom mbinasi L5K K7 tidak berrbeda nyata K7, L8K7, L7K7, L L1K5,, L5K5, dann L4K5, tetaapi berbeda dengan L3K5, L4K nyata deengan aspal kombinasi laainnya. Asp pal kombinaasi L1K5 tidaak berbeda nyata n dengann L7K7, L5K7, L5K5, L4K5, L7K5, L L6K77, dan L8K55, tetapi berb beda nyata dengan aspal kombinasi lainnya.. Aspal km mombinasi L5K5 tidaak berbeda nyata den ngan aspal kombinasi L5K7, L1K5, L L4K5,, L7K5, L6K K7, L8K5, L L6K3, dan L22K7, tetapi berbedaa nyata denggan aspal kom mbinasi lain nnya. Aspal kombinasi L4K5 L tidak berbedaa nyata denggan aspal koombinasi L5 5K7, L1K5,, L5K5, L7K K5, L6K7, L8K5, L6K3, dan L2K7, tettapi berbedaa nyata denngan aspal kombinasi lainnya.. Asp pal kombinaasi L7K5 tiidak berbedda nyata denngan aspal kombinasi L1K5, L4K5, L L5K55, L6K7, L88K5, L6K3, L2K7, dann L7K3, tetaapi berbeda nyata deengan aspal kombinasi llainnya. Asp pal kombinaasi L6K7 tidak berbeda nyata dengan d aspal kombinasii L1K5, L4 4K5, L5K5, L7K5, L8K K5, L6K3, L2K7, dan d L7K3, teetapi berbedaa nyata denggan aspal kom mbinasi lainnnya. Aspal 53
kombinasi L8K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K5, L4K5, L5K5, L6K7, L7K5, L6K7, L6K3, L2K7, dan L7K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L6K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K5, L4K5, L6K7, L7K5, L6K7, L6K3, L8K5, L2K7, L7K3, L1K3, L2K5, dan L5K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L2K7 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K5, L4K5, L6K7, L7K5, L6K7, L6K3, L8K5, L7K3, L1K3, L2K5, dan L5K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L7K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L7K5, L6K7, L6K3, L8K5, L2K7, L1K3, L2K5, dan L5K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L1K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L6K3, L2K7, L7K3, L2K5, L5K3, L2K3, L4K3, dan L6K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L2K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L6K3, L2K7, L7K3, L1K3, L5K3, L2K3, L4K3, dan L6K5, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L5K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L6K3, L2K7, L7K3, L1K3, L2K5, L2K3, L4K3, L6K5, L8K3, dan L3K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L2K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K3, L2K5, L5K3, L4K3, L6K5, L8K3, dan L3K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L4K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K3, L2K5, L5K3, L2K3, L6K5, L8K3, dan L3K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L6K5 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L1K3, L2K5, L5K3, L2K3, L4K3, L8K3, dan L3K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L8K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K3, L2K3, L4K3, L6K5, dan L3K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya. Aspal kombinasi L3K3 tidak berbeda nyata dengan aspal kombinasi L5K3, L2K3, L4K3, L6K5, dan L8K3, tetapi berbeda nyata dengan aspal kombinasi lainnya.
54
Seluruh jenis kombinasi variasi jenis lateks dan variasi konsentrasi karet dalam aspal memenuhi standar yang ada untuk aspal polimer jenis elastomer. Standar untuk aspal polimer menyebutkan bahwa nilai titik lembek minimal agar aspal modifikasi masuk memenuhi standar adalah 54,00. Jadi, aspal yang dimodifikasi dengan variasi jenis lateks dan konsentrasi karet dalam aspal bisa dikatakan telah memenuhi standar. Penetrasi dan titik lembek merupakan parameter yang paling penting dalam menentukan mutu suatu aspal. Kedua parameter tersebut merupakan dasar untuk menentukan kelayakan suatu aspal untuk digunakan sebagai bahan perkerasan jalan. Aspal yang tidak memenuhi persyaratan kedua parameter tersebut berarti tidak layak untuk dijadikan bahan perkerasan jalan. Oleh karena itu, kedua parameter tersebut cukup mewakili untuk menentukan kelayakan dan mutu aspal. Perlakuan yang terbaik pada penelitian ini adalah perlakuan L5K5 (Lateks Depolimerisasi, Konsentrasi 5%), aspal modifikasi dari perlakuan tersebut memiliki penetrasi sebesar 57,40 dmm dan titik lembek sebesar 60,65 oC. Penentuan sampel yang terbaik didasarkan pada tiga kriteria, yaitu niali penetrasi, nilai titik lembek dan homogenitas campuran aspal dengan lateks. Sampel L5K5 tersebut memiliki nilai penetrasi yang berada di antara batas minimal dan batas maksimal nilai penetrasi aspal berdasarkan SNI. Sampel L5K5 memiliki titik lembek di atas batas maksimal nilai titik lembek berdasarkan SNI. Selain itu, parameter yang juga menentukan sampel L5K5 menjadi yang terbaik adalah homogenitas campurannya yang baik. Campuran tersebut homogen berdasarkan pengujian secara visual dan penampakannya mirip dengan aspal tanpa campuran.
55
V. PENUTUP
A. Kesimpulan Nilai penetrasi aspal modifikasi yang dihasilkan berkisar antara 49,33 sampai 61,25 (dmm), sedangkan nilai penetrasi kontrol adalah 68,00 (dmm). Nilai penetrasi aspal modifikasi yang tertinggi adalah aspal modifikasi L6K3 (Lateks Depolimerisasi+bahan pemvulkanisasi, Konsentrasi 3% karet dalam aspal) dengan nilai penetrasi 61,25 dmm, sedangkan nilai penetrasi yang terendah adalah aspal modifikasi L1K7 (Lateks Pekat, Konsentrasi 7% karet dalam aspal) dengan 49,33 dmm. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa penambahan lateks dan campurannya berhasil menurunkan nilai penetrasi yang ditunjukkan dengan nilai penetrasi aspal modifikasi yang lebih rendah daripada kontrol. Titik lembek aspal modifikasi yang dihasilkan berkisar antara 56,11 sampai 65,27 (oC), sedangkan nilai titik lembek kontrol adalah 46,50 (dmm). Nilai titik lembek aspal modifikasi yang tertinggi adalah aspal modifikasi L1K7 (Lateks Pekat, Konsentrasi 7% karet dalam aspal) dengan nilai titik lembek sebesar 65,27 oC, sedangkan nilai titik lembek yang terendah adalah aspal modifikasi L3K3 (Lateks Pekat + Resin I, Konsentrasi 3% karet dalam ) dengan nilai titik lembek 55,38 oC. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa penambahan lateks dan campurannya telah berhasil meningkatkan titik lembek yang lebih tinggi daripada kontrol yang ditunjukkan dengan nilai titik lembek aspal modifikasi yang lebih tinggi daripada kontrol. Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, menunjukkan bahwa perlakuan variasi jenis lateks dan konsentrasi karet dalam aspal berpengaruh nyata terhadap nilai penetrasi. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai penetrasi dan titik lembek aspal modifikasi berbeda nyata antara variasi konsentrasi yang satu dengan yang lainnya, serta berbeda nyata juga antara variasi jenis lateks yang satu dengan lainnya. Peningkatan kadar karet dalam aspal menyebabkan penurunan nilai penetrasi aspal (peningkatan tingkat kekerasan aspal).
56
Perlakuan yang terbaik pada penelitian ini adalah perlakuan L5K5 (Lateks Depolimerisasi, Konsentrasi 5%), aspal modifikasi dari perlakuan tersebut memiliki penetrasi sebesar 57,40 dmm dan titik lembek sebesar 60,65 oC. Selain itu, perlakuan tersebut menghasilkan aspal modifikasi dengan homogenitas yang baik, serta menghasilkan kelengketan antara aspal dengan aggregate yang cukup baik.
B. Saran Walaupun aspal modifikasi telah memenuhi standar untuk penetrasi, titik lembek dan homogenitas yang cukup baik, tetapi aspal modifikasi tersebut belum dapat diaplikasikan untuk perkerasan jalan, karena aspal modifikasi pada penelitian ini belum bisa digunakan pada peralatan yang digunakan untuk pembuatan jalan aspal yang berupa penyemprot (sprayer). Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar dihasilkan mutu aspal modifikasi yang lebih baik dan juga dapat diaplikasikan menggunakan peralatan untuk pembuatan jalan aspal.
57
DAFTAR PUSTAKA
Alfa, A.A, I. Sailah, dan Y. Syamsu. 2003. Pengaruh Perlakuan Lateks Alam dengan H2O2–NaOCl Terhadap Karakter Lateks dan Kelarutan Karet Siklo dari Lateks. Simposium Nasional Polimer IV, Jakarta 8 Juli 2003. Alfa, A.A, dan Y. Syamsu. 2004. Degraded and Stabilized Natural Rubber Latex – Prospect for Veneer Adhesive. Seminar Kimia Malaya. Alfa, A.A, dan I. Sailah. 2005. Pengaruh Penambahan Toluen Pada Degradasi Partikel Karet Dari Lateks DPNR Dengan Senyawa H2O2 – NaOCl. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor, Bogor. Allen, T. O. dan A. P. Roberts. 1993. Production Operation 2: Well Completions, Workover, and Stimulatio. Oil, and Gas Consultantas International (OGCL), Inc. Tulsa, Oklahoma, USA. Anonim. 2005. Surfactants. Univ of Florida. http://www.unmc.edu/ pharmacy/wwwcourse/p surfactants 00 files/p surfactan ts.ppt. Diakses pada: 29 Oktober 2009. Anonim. 2007. Hydroxylamine Sulfate Product Description. Diperoleh dari: http://www.chemicalbook.com/ChemicalProductProperty_EN_CB8205115 .htm. Diakses pada: 29 Oktober 2009. Anonim. 2008a. Industri Karet Mulai Resah Soal Bahan Baku. Artikel Tanggal 27 Agustus 2008. Diperoleh dari: http://ptpn13.com. Diakses pada: 15 Februari 2009. Anonim. 2008b. Mulai 2009 Pasar Karet Alam Diprediksi Turun. Artikel tanggal 13 Juni 2008. Diperoleh dari: http://kapanlagi.com. Diakses pada: 04 Juni 2009. Anonim. 2009a. Dienes. Artikel. Diperoleh dari: http://www.sigmaaldrich.com/ materials-science/material-science-products.html?TablePage=20202668. Diakses pada: 29 Oktober 2009. Anonim. 2009b. Fleksibel-Persyaratan Aspal. Artikel. Diperoleh dari: http://www.scribd.com/doc/10067826/FLEKSIBEL-Persyaratan-aspal. Diakses pada: 29 Oktober 2009. Anonim. 2009c. Hydroxylamine. Artikel. Diperoleh dari: http://en.wikipedia.org/ wiki/Hydroxylamine. Diakses pada: 30 Agustus 2009. Anonim. 2009d. Polyethylene Lauryl Ether. Artikel. Diperoleh http://mpfinechemicals.com/pages. Diakses pada: 20 Februari 2009.
dari:
58
Anonim. 2009e. Sodium Hypochlorite. Artikel. Diperoleh dari: Diakses http://www.bisonlabs.com/Portals/0/Sodium-hypochlorite.png. pada: 29 Oktober 2009. Anonim. 2009f. Sodium Lauryl Sulfate. Artikel. Diperoleh dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Sodium Lauryl Sulfate. Diakses pada: 20 Februari 2009. Blackley, D.C. 1966. High Polimer latices. Palmerton publishing Co.Inc,. New York. Cowd, M.A. 1991. Kimia Polimer. Terjemahan. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Eng, A.H. 1997. Distribution and Origin of Abnormal Groups in Natural Rubber, Journal Natural rubber. Res.I(3),. 154-166. Goutara, B.D., dan W. Tjiptadi.1985. Dasar Pengolahan Karet. Agroindustri. Press, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertania, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gunanti, S.D. 2004. Kajian Kemantapan Viskositas Mooney Karet Hasil Depolimerisasi Lateks Alam yang Diberi Perlakuan Hidroksilamin Netral Sulfat (FINS). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Helmenstine, A.M. 2009a. Hydrogen Peroxide. Diperoleh dari http://chemistry.about.com/od/factsstructures/ig/Chemical-Structures--H/Hydrogen-Peroxide.htm. Diakses pada: 29 Oktober 2009. Helmenstine, A.M. 2009b. Toluene. Diperoleh dari http://chemistry.about.com/ od/factsstructures/ig/Chemical-Structures---T/Toluene.htm. Diakses pada: 29 Oktober 2009. Honggokusumo, S. 1978. Pengetahuan Lateks. Kursus Pengolahan Barang Jadi Karet. Balai Penelitian Perkebunan Bogor, Bogor. Hoyle, J., Tran, S., Niven, R.M. 2007. The paper recycling industry, hydroxylamine and occupational asthma: two case reports. Diperoleh dari: http://www.occupationalasthma.com/occupational_asthma_pageview.aspx? id=67. Diakses pada: 29 Oktober 2009. Huffman, J.E. 1980. Sahuaro Concept of Asphalt-Rubber Binders. Presentation at the First Asphalt Rubber User Producer Workshop. Scottsdale, Arizona. Myers, J.L., A.D. Well. 1995. Research Design and Statistical Analysis. Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Hillsdale, NewJersey.
59
Pristiyanti, E.N.W. 2006. Pengaruh Pengembangan Partikel Karet Terhadap Depolimerisasi Lateks Dengan Reaksi Reduksi-Oksidasi. Skripsi. FATETA IPB, Bogor. Ramli,
E.Z. 2009. Surfaktan. Diperoleh dari: http://www.lib.itb.ac.id/ ~mahmudin/evi/evi/SURFAKTAN-EVI.doc. Diakses pada: 31 Desember 2009.
Ramadhan, A., H. Prastanto., dan A.A. Alfa. 2005. Pengaruh Waktu Reaksi depolimerisasi Terhadap Viskositas Mooney Karet Mentah Pada Proses Pembuatan Karet Alam Cair Sistem Redoks. Prosiding Aplikasi Kimia Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Yayasan Media Utama, Yogyakarta. Roberts, A. D. 1988. Natural Rubber Science And Technology. Oxford University Press. Roger, M. R. 1994. Handbook of Surfactant. Blackie Academic and Professional, London. Reiger , M.M. 1985. Surfactant in Cosmetics. Surfactant Science Series, hal. 488. John Wiley & Sons, Inc, New York. Robinson, H. L. 2004. Polymer in Asphalt. Rapra Review Reports Volume 15, Number 11, 2004. Tarmac Ltd, UK. Salager, J.L. 2002. Surfactants Types and Uses. Version 2. FRIP Booklet # E300-A: Teaching Aid in Surfactant Science & Engineering in English. Universidad De Los Andes, Merida-Venezuela. Diperoleh dari: http://www.fhp.ula.ve/cuadernos/E300A.pdf . Diakses pada: 29 Agustus 2006. Situmorang, J.R. 2009. Pengaruh Penambahan Senyawa Merkaptan Pada Karet Alam (Hevea Brasiliensis) Dalam Fasa Padat. Skripsi. FATETA IPB, Bogor. Smith, L.M. 1960. Some Viscous and Elastic Properties of Rubberised Bitumens. Journal of Apply Chemistry, Vol.10, 296-305. Solichin, M.H. dan B. Kartika. 1991. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Viskositas Mooney dalam Pengolahan SIR 3 CV. Dalam. Jurnal Lateks vol 6 nomor 2 Oktober 1991. Pusat penelitian Perkebunan Sembawa, Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia. Stevens, M.P. 2001. Kimia Polimer. Diterjemahkan oleh lis Sofyan. Pradnya Paramitra. Jakarta.
60
Suparto, D. 2002. Pengetahuan Tentang Lateks Hevea. Kursus Teknologi barang Jadi Lateks. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor. Bogor. Surdia, N. M. 2000. Degradasi Polimer. Indonesian Polymer Journal. Vol. 3. no. 1. Bandung. Tanaka, Y. 1998. A New Approach to Produce Highly Deproteinized Natural Rubber. Kuliah Tamu Mengenai Karet Alam, BPTK Bogor, Bogor. Triwijoso, S.U. dan O. Siswantoro. 1989. Pedoman Teknis Pengawetan dan Pemekatan Lateks Hevea. Balai Penelitian Perkebunan, Bogor. Tuntiworawit, N., D. Lavansiri dan C. Phromsorn. 2005. The Modification of Asphalt With Natural Rubber Latex. Proceeding of Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol. 5. Pp. 679-694, 2005. Bangkok, Thailand.
61
LAMPIRAN
81
Lampiran 1. Prosedur Analisis a.
Penetapan Total Alkalinitas (ASTM D-1076-97) Masukkan kira-kira sejumlah 5 g lateks dalam botol timbang 10 cm3. Timbang botol timbang yang telah berisi lateks dengan ketelitian 1 mg. Tuang lateks ke dalam gelas piala yang telah berisi 300 cm3 air suling. Botol timbang ditimbang kembali, perbedaan bobot botol timbang adalah bobot contoh (W). Siapkan contoh uji seperti pada persiapan contoh. Tambahkan 6 tetes indikator Merah Methyl 0,1 % ke dalam alkohol. Titrasi dengan HCl 0,1 N sedikit demi sedikit sambil diaduk (digoyang) sampai tercapai titik ekuivalen, yaitu apabila larutan berubah dari kuning menjadi merah jambu (pink). Catat penggunaan HCl 0,1 N (V) Alkalinitas dihitung sebagai gram per NH3 per 100 gram lateks sebagai berikut : Total alkalinitas, dihitung sebagai % NH3 dalam fasa lateks = (1,7 x V x N) / W Total alkalinitas, dihitung sebgai % NH3 dalam fasa air = (1,7 x V x N) / W(1-TS/100) Keterangan :
b.
N
= Normalitas larutan HCl
V
= Volume HCl 0,1 N yang dibutuhkan
W
= Bobot contoh, g
TS
= Kadar jumlah padatan
Penetapan Kadar Karet Kering (ASTM D-1076-97) Timbang botol timbang yang telah berisi contoh lateks (W1). Tuang 10 g contoh lateks pekat dengan ketelitian 1 mg ke dalam cawan porselein. Botol timbang ditimbang kembali (W2), perbedaan bobot antara kedua penimbang adalah bobot contoh (W). Tambahkan air suling hingga KJP menjadi ± 25% dan aduk agar homogen. Tambahkan asam asetat 2% sambil diaduk hingga terbentuk gumpalan sempurna, ditandai dengan terbentuknya serum yang jernih. Untuk mempercepat penggumpalan, cawan berisi lateks tersebut
62
dipanaskan pada penangas air selama 15 – 30 menit. Jika serum masih keruh, tambahkan kembali asam sampai didapat serum yang jernih, jika masih keruh, ulangi pengerjaan dari awal. Gumpalan digiling 5 kali hingga terbentuk krep, penggilingan dilanjutkan untuk mengatur agar tebal krep maksimum 2 mm. Keringkan krep di dalam lemari pengering pada suhu 70 ± 2 °C. Jika terjadi oksidasi, penetapan diulangi dengan pengeringan pada suhu 55 ± 2 °C. krep yang telah didinginkan di dalam deskator kemudian ditimbang. Ulangi pengeringan dan penimbangan sampai bobot tetap (WK) dengan perbedaan berat tidak lebih dari 1 mg. penetapan ini dikerjakan 2 kali (duplo) dengan perbedaan hasil tidak lebih dari 0,2%. Hasil dari KKK adalah rata-rata dari 2 kali pengerjaan. Kadar karet kering, % =
WK W
x 100
Keterangan : WK = Bobot karet / koagulum kering, g W c.
= Bobot contoh, g
Penetapan Kadar Jumlah Padatan (ASTM D-1076-97) Masukkan sejumlah lateks ke dalam botol timbang kemudian timbang dengan ketelitian 1 mg (W1). Tuangkan 2,5 ± 0,5 g lateks dari botol timbang ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobotnya (W2), kemudian diratakan dengan goyangan. Timbang kembali botol timbang berisi sisa lateks (W3). Perbedaan bobot kedua penimbangan tersebut adalah bobot contoh. Tambahkan 1 cm3 air suling. Biarkan pinggan berisi contoh lateks pada penangas air hingga terbentuk film. Masukkan cawan berisi film ke dalam lemari pengering bersuhu 100 ± 2 °C, biarkan selama 2 jam. Dinginkan ke dalam desikator pada temperatur kamar. Timbang cawan berisi film kering hingga bobot tetap dengan perbedaan berat tidak lebih dari 1 mg (W4). Penetapan ini dikerjakan 2 kali (duplo) dengan perbedaan hasil tidak lebih dari 0,15%. Kadar jumlah padatan adalah rata-rata 2 kali pengerjaan. Kadar jumlah padatan, %
W
W
W
W
x 100
63
2), 0,6% (untuk lateks tipe 3). Panaskan lateks pada penangas air hingga suhu 36-37°C. Saring lateks tersebut dengan penyaring 80 mesh ke dalam container hingga didapat 80 g saringan. Tempatkan wadah berisi lateks bersuhu 35°C pada alat Klaxon. Aduk lateks pada kecepatan 14000 ± 200 rpm (Stopwatch dihidupkan). Sambil tetap diaduk, tiap 15 detik sampel diambil dengan cara menyentuhkan ujung kaca pengaduk pada lateks dan teteskan lateks yang menempel di ujung pengaduk ke dalam cawan petri yang telah berisi air, amati keadaan lateks di dalam air tersebut. Pengamatan diakhiri jika flokulat telah terbentuk, berupa bintik-bintik putih yang tidak pecah oleh goyangan. Penetapan ini dikerjakan 2 kali (duplo) dengan perbedaan hasil tidak lebih dari 5%. Hasil WKM adalah rata-rata dari 2 kali pengulangan. Volume larutan amonia yang harus ditambahkan (V) V
KJP
100
WKM = Sesuai dengan waktu yang ditunjukkan stopwatch pada saat akhir pengamatan, dinyatakan dalam detik f.
Pengujian Viskositas Brookfield (ASTM D-1084-63) Pengukuran viskositas Brookfield dilakukan dengan viskosimeter Brookfield dengan satuan cP (centipoise). Spindel dan kecepatan yang digunakan dalam pengukuran ditentukan oleh kekentalan bahan. Bila spindel dan kecepatan yang digunakan untuk pengukuran tidak sesuai, maka nilai viskositas tidak terbaca. Besarnya kecepatan dan faktor pengali tiap spindel pada pengukuran viskositas dapat dilihat pada Tabel 4. Pengujian dilakukan dengan cara memasukkan spindel ke dalam contoh sampel (lateks). Langkah selanjutnya adalah menghidupkan viskosimeter Brookfield.
65
Keterangan :
d.
W4 – W3
= Bobot padatan kering, g
W3 – W2
= Bobot contoh, g
Penetapan Volatil Fatty Acid (ASTM D-1076-97) Timbang 50 ± 0,2 g lateks dalam gelas piala 250 cm3. Tambahkan 50 cm3 larutan amonium sulfat, kemudian diaduk. Panaskan pada penangas air 70°C, 3-5 menit hingga gumpalan sempurna. Saring serum ke dalam erlenmeyer 50 cm3. Pipet 25 cm3 saringan ke dalam erlenmeyer 50 cm3 yang telah berisi 5 cm3 asam sulfat (2+5), lalu diaduk. Pipet 10 ml campuran serum asam sulfat ke dalam tabung Markham. Tambahkan 1 tetes silikon anti busa. Tutup penyuling Markham kemudian alirkan uap air 100°C. Sulingan ditampung di dalam erlenmeyer berskala (kecepatan aliran sulingan diatur 3 6 cm3/menit). Penyulingan dihentikan setelah didapatkan 100 cm3 sulingan. Ke dalam sulingan dialirkan udara bebas CO2 selama 3 menit. Tambahkan 1 tetes BTB dan titar dengan larutan Ba(OH)2 hingga warna berubah menjadi biru muda dan tidak berubah selama 10-20 detik (V). Kerjakan blanko dengan subtitusi 20 cm3 air suling ke dalam semua pereaksi yang digunakan . Volatile Fatty Acid W S
V N KJP W
S KKK ,
Keterangan : N
= Normalitas larutan Ba(OH)2
V
= Volume Ba(OH)2
KJP = Kadar jumlah padatan KKK = Kadar Karet Kering e.
Penetapan Waktu Kemantapan Mekanik (ASTM D-1076-97) Lakukan penentuan kadar jumlah padatan. Timbang 100 g lateks yang telah dihomogenkan ke dalam erlenmeyer 250 cm3. Turunkan KJP menjadi 55 ± 0,2% dengan penambahan larutan amonia 1,6% (untuk lateks tipe 1 dan
64
Tabel 4. Kecepatan dan Faktor Pengali pada Viskositas Brookfield Kecepatan 0,3 0,6 1,5 3 6 12 30 60 g.
1 200 100 40 20 10 5 2 1
Faktor Finder 2 3 1M 4M 500 2M 200 800 100 400 50 200 25 100 10 40 5 20
4 20 M 10 M 4M 2M 1M 500 200 100
Penetapan Kadar Nitrogen (SNI-06-1993-1990) Contoh ditimbang sebanyak 0,1 gram (A) kemudian dimasukkan ke dalam labu mikro kjedahl, setelah itu ditambah ± 0,65 gram katalis selenium dan 2,5 mL H2SO4 pekat. Contoh di destruksi sekitar dua jam atau sampai timbul warna hijau, setelah itu didinginkan dan diencerkan dengan 100 mL aquades. Larutan dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas dua atau tiga kali dengan 3 mL air suling. Setelah itu ditambahkan 5 mL NaOH 76%. Air dialirkan melewati alat destilasi dan destilat yang dihasilkan ditampung ke dalam erlenmeyer berisi 10 mL asam borat 2% dan 2 tetes indikator nitrogen. Destilat dititrasi dengan larutan H2SO4 0,01 N. Titik akhir ditandai dengan perubahan warna dari hijau menjadi ungu muda (Va). Hal serupa dilakukan pula pada blanko (Vb). Kadar nitrogen dihitung dengan rumus sebagai berikut. Kadar Nitrogen %
Vb
Va x N x 14 x 100 % A
Keterangan: Va = Volume H2SO4 pada titrasi larutan sampel (mL) Vb = Volume H2SO4 pada titrasi larutan blanko (mL) N = Normalitas H2SO4 (N) A = Bobot sampel (mg)
66
h.
Penetapan Viskositas Mooney (ASTM D-1076-97) Contoh sebanyak ± 25 gram diletakkan di atas rotor dan di bawah rotor, kemudian ditutup. Sebelumnya alat dipanaskan hingga suhu 100°C, setelah dipanaskan selama 1 menit, rotor dijalankan. Tenaga untuk memutar rotor dibaca pada skala setelah 4 menit, sehingga persamaannya menjadi sebagai berikut. M = (1’ + 4’)L 100°C Keterangan: M = Angka viskositas Mooney karet L = Ukuran rotor (cm) 1 = Waktu pemanasan pendahuluan yang dinyatakan dalam menit (1’) 4 = Waktu pemanasan pengujian yang dinyatakan dalam menit (4’)
i.
Pengujian Penetrasi Bahan-Bahan Bitumen (SNI 06-2456-1991) Letakkan benda uji dalam tempat air dalam tempat air dan masukkan tempat air tersebut ke dalam bak perendam bersuhu 25°C. Pasang jarum pada pemegang jarum dan letakkan pemberat 50 gram di atas jarum untuk memperoleh beban sebesar (100 ± 0,1) gram. Turunkan jarum perlahan-lahan sehingga jarum menyentuh permukaan benda uji. Lepaskan pemegang jarum dan serentak jalankan stopwatch selama (5 ± 0,1) detik. Penetrasi adalah masuknya jarum penetrasi ukuran tertentu, beban tertentu dan waktu tertentu ke dalam aspal pada suhu tertentu.
j.
Pengujian Titik Lembek Aspal dan TER (SNI 06-2434-1991) Pasang dan aturlah kedua benda uji diatas dudukannya dan letakkan pengarah bola diatasnya. Isi bejana dengan air suling baru, dengan suhu (5 ± 1) °C sehingga tinggi permukaan air berkisar antara 101,6 mm sampai 108 mm. Letakkan termometer diantara kedua benda uji (± 12,7 mm dari tiap cincin) periksa dan atur jarak antara permukaan plat dasar dengan benda uji sehingga menjadi 25,4 mm dan letakkan bola-bola baja ditengah masingmasing benda uji yang bersuhu 5°C dengan menggunakan penjepit. Panaskan bejana sehingga kenaikan suhu menjadi 5°C per menit.
67
Titik lembek adalah suhu pada saat bola baja dengan berat tertentu mendesak turun suatu lapisan aspal yang tertahan dalam cincin berukuran tertentu, sehingga aspal tersebut menyentuh pelat dasar yang terletak di bawah cincin pada tinggi 24,4 mm, sebagai kecepatan akibat pemanasan tersebut.
68
Lampiran 2. Data Hasil Pengujian Nilai Penetrasi Kode
Jenis Lateks
Ulangan Ulangan I
II
Rataan
Homogenitas
L1K3
LP, 3% Karet
50,5
50,5
50,5
Agak Homogen
L1K5
LP, 5% Karet
51,2
51,7
51,45
Kurang Homogen
L1K7
LP, 7% Karet
49,37
49,28
49,325
Tidak Homogen
L2K3
LP - Pemvulkanisasi, 3% Karet
54,5
56,2
55,35
Agak Homogen
L2K5
LP - Pemvulkanisasi, 5% Karet
53,8
53,8
53,8
Kurang Homogen
L2K7
LP - Pemvulkanisasi, 7% Karet
52,15
52,3
52,225
Tidak Homogen
L3K3
LP + RI, 3% Karet
60,6
60,6
60,6
Agak Homogen
L3K5
LP + RI, 5% Karet
54,9
54,4
54,65
Kurang Homogen
L3K7
LP + RI, 7% Karet
52,35
52,1
52,225
Tidak Homogen
L4K3
LP + RII, 3% Karet
59,79
59,6
59,695
Agak Homogen
L4K5
LP + RII, 5 % Karet
55,27
54,9
55,085
Kurang Homogen
L4K7
LP + RII, 7% Karet
52,48
51,4
51,94
Tidak Homogen
L5K3
L - Depolimerisasi, 3% Karet
59,6
59,6
59,6
Homogen
L5K5
L - Depolimerisasi, 5% Karet
58,8
56
57,4
Homogen
L5K7
L - Depolimerisasi, 7% Karet
55,21
54,3
54,755
Agak Homogen
61,5
61
61,25
Homogen
59,1
59,2
59,15
Homogen
57,49
57,4
57,445
Agak Homogen
56,78
56,6
56,69
Homogen
51,6
51,6
51,6
Homogen
49,56
49,48
49,52
Agak Homogen
L6K3 L6K5 L6K7
L7K3 L7K5 L7K7
L - Depolimerisasi Pemvulkanisasi, 3% Karet L - Depolimerisasi Pemvulkanisasi, 5% Karet L - Depolimerisasi Pemvulkanisasi, 7% Karet L - Depolimerisasi + RI, 3% Karet L - Depolimerisasi + RI, 5% Karet L - Depolimerisasi + RI, 7% Karet
69
L8K3 L8K5 L8K7
L - Depolimerisasi + RII, 3% Karet L - Depolimerisasi + RII, 5% Karet L - Depolimerisasi + RII, 7% Karet
56,7
56,7
56,7
Homogen
54,96
55,1
55,03
Homogen
54,12
53,74
53,93
Agak Homogen
70
Lampiran 3. Data Hasil Pengujian Nilai Titik Lembek Kode
Jenis Lateks
Ulangan Ulangan I
II
Rataan
Homogenitas
L1K3
LP, 3% Karet
58
58
58
Agak Homogen
L1K5
LP, 5% Karet
58
63,87
60,935
Kurang Homogen
L1K7
LP, 7% Karet
64,83
65,7
65,265
Tidak Homogen
L2K3
LP - Pemvulkanisasi, 3% Karet
56,1
56,12
56,11
Agak Homogen
L2K5
LP - Pemvulkanisasi, 5% Karet
57,8
57,87
57,835
Kurang Homogen
L2K7
LP - Pemvulkanisasi, 7% Karet
58,84
58,4
58,62
Tidak Homogen
L3K3
LP + RI, 3% Karet
55,4
55,35
55,375
Agak Homogen
L3K5
LP + RI, 5% Karet
63,5
63,45
63,475
Kurang Homogen
L3K7
LP + RI, 7% Karet
64,97
65,38
65,175
Tidak Homogen
L4K3
LP + RII, 3% Karet
55,86
56,25
56,055
Agak Homogen
L4K5
LP + RII, 5 % Karet
60,6
60,62
60,61
Kurang Homogen
L4K7
LP + RII, 7% Karet
63,17
63,37
63,27
Tidak Homogen
L5K3
L - Depolimerisasi, 3% Karet
57,1
57,12
57,11
Homogen
L5K5
L - Depolimerisasi, 5% Karet
61
60,3
60,65
Homogen
L5K7
L - Depolimerisasi, 7% Karet
62,76
62,1
62,43
Agak Homogen
58,8
58,82
58,81
Homogen
56
56,1
56,05
Homogen
60,2
60,17
60,185
Agak Homogen
58,2
58,25
58,225
Homogen
60,2
60,2
60,2
Homogen
63,15
62,43
62,79
Agak Homogen
L6K3 L6K5 L6K7
L7K3 L7K5 L7K7
L - Depolimerisasi Pemvulkanisasi, 3% Karet L - Depolimerisasi Pemvulkanisasi, 5% Karet L - Depolimerisasi Pemvulkanisasi, 7% Karet L - Depolimerisasi + RI, 3% Karet L - Depolimerisasi + RI, 5% Karet L - Depolimerisasi + RI, 7% Karet
71
L8K3 L8K5 L8K7
L - Depolimerisasi + RII, 3% Karet L - Depolimerisasi + RII, 5% Karet L - Depolimerisasi + RII, 7% Karet
55,46
55,55
55,505
Homogen
59,89
60,22
60,055
Homogen
62,76
63,12
62,94
Agak Homogen
72
Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Penetrasi Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
F Tabel
Lateks
7
315,79
45,11
155,50*
2,42
Konsentrasi
2
192,51
96,26
331,79*
3,40
Lateks*Konsentrasi
14
58,78
4,19
14,47*
2,13
Galat
24
6,96
0,29
Total 47 574,05 Keterangan: * = Berpengaruh nyata
Pengelompokan Duncan L6 59,28 A L5 57,25 B L3 55,82 C L4 55,60 C L8 55,22 C L2 53,79 D L7 52,60 E L1 50,42 F Keterangan: Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata Lateks
Rataan
Pengelompokan Duncan K3 57,56 A K5 54,77 B K7 52,67 C Keterangan: Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata Lateks
Rataan
73
Lampiran 5. Analisis Ragam Titik Lembek Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
F Tabel
Lateks
7
76,73
10,96
14,04*
2,42
Konsentrasi
2
259,19
129,59
165,96*
3,40
Lateks*Konsentrasi
14
88,01
6,28
8,05*
2,13
Galat 24 18,74 Total 47 442,69 Keterangan: * = Berpengaruh nyata
0,78
Lateks
Rataan
L1 L3 L7 L5 L4 L8 L6 L2
61,40 61,34 60,40 60,06 59,97 58,35 58,34 57,52
Pengelompokan Duncan A A AB B B B B C
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
Pengelompokan Lateks Rataan Duncan K7 62,58 A K5 59,97 B K3 56,89 C Keterangan: Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
74
Lampiran 6. Analisis Ragam Interaksi Penetrasi Sumber Derajat Jumlah Keragaman Bebas Kuadrat Interaksi 23 567,09 Galat 24 6,96 Total 47 574,05 Keterangan: * = Berpengaruh nyata
Kuadrat Tengah 24,65 0,29
F Hitung
F Tabel
84,99*
2,01
Interaksi
Rataan
L6*K3 L3*K3 L4*K3 L5*K3 L6*K5 L6*K7 L5*K5 L8*K3 L7*K3 L2*K3 L4*K5 L8*K5 L5*K7 L3*K5 L8*K7 L2*K2 L3*K7 L2*K7 L4*K7 L7*K5 L1*K5 L1*K3 L7*K7 L1*K7
61,25 60,00 59,79 59,60 59,15 57,44 57,40 56,70 56,69 55,36 55,08 55,03 54,75 54,65 53,93 53,80 52,22 52,22 51,94 51,60 51,45 50,50 49,52 49,32
Pengelompokan Duncan A AB BC BC C D D D D E E E EFG EFG FG G H H H HI HI IJ JK K
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
75
Lampiran 7. Analisis Ragam Interaksi Titik Lembek Sumber Derajat Jumlah Keragaman Bebas Kuadrat Model 23 423,94 Galat 24 18,74 Total 47 442,69 Keterangan: * = Berpengaruh nyata
Kuadrat Tengah 18,43 0,78
F Hitung
F Tabel
23,60*
2,01
Pengelompokan Duncan L1*K7 62,26 A L3*K7 65,17 AB L3*K5 63,47 ABC L4*K7 63,27 BC L8*K7 62,94 C L7*K7 62,79 CD L5*K7 62,43 CDE L1*K5 60,93 DEF L5*K5 60,65 EFG L4*K5 60,61 EFG L7*K5 60,20 FGH L6*K7 60,18 FGH L8*K5 60,05 FGH L6*K3 58,81 GHI L2*K7 58,62 GHI L7*K3 58,22 HI L1*K3 58,00 HI L2*K5 57,83 IJ L5*K3 57,11 IJK L2*K3 56,11 JK L4*K3 56,05 JK L6*K5 56,05 JK L8*K3 55,50 K L3*K3 55,37 K Keterangan: Huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata Interaksi
Rataan
76
Lampiran 8. Standar Mutu Aspal Polimer
SNI 06-2456-91 SNI 06-2434-91 SNI 06-2433-91 SNI 06-2441-91 SNI 06-6721-02
Persyaratan Plastomer 50-70 min.56 min.232 min.1,0 150-1500
Persyaratan Elastomer 50-75 min.54 min.232
SNI 06-2434-91
homogen
max.2
RSNI M-04-04 SNI 06-2440-91
min.99 max.1,0 max.10
min.99 max.1,0 max.10
max.40
max.40
max.6,5
max.6,5
max.2
max.2
No
Jenis Pengujian
Metode Pengujian
1 2 3 4 5
Pen pada 25°C, 100 g 5 dtk (dmm) Titik lembek, (°C) Titik nyala (°C) Berat jenis Kekentalan pada 135°C, cst Stabilitas penyimpanan pada 163°C 48 jam, perbedaan titik lembek Kelarutan dalam TCE, (%) Penurunan berat/TFOT, (%) Perbedaan penetrasi setelah RTFOT: % asli Kenaikan TL Penurunan TL Perbedaan titik lembek setelah RTFOT: % asli kenaikan TL Kenaikan TL Penurunan TL Elastic recovery residu RTFOT, % Sumber: Anonim (2009b)
6 7 8 9
10 11
SNI 06-2456-91
AASHTO T301-95
max.2000
min.45
77
Lampiran 9. Standar Mutu Aspal Multigrade No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Pengujian
Pen pd 25°C, 100 g 5 dtk (dmm) Titik lembek, (°C) Daktilitas, 25°C 5 cm/mnt, (cm) Kelarutan dalam TCE, (%) Titik nyala (°C) Berat jenis Penurunan berat/TFOT, (%) Pen stlh TFOT (% thd pen awal) Daktilitas, 25°C 5 cm/mnt, (%) Sumber: Anonim (2009b)
Metode Pengujian SNI 06-2456-91 SNI 06-2434-91 SNI 06-2432-91 SNI 06-2438-91 SNI 06-2433-91 SNI 06-2441-91 SNI 06-2440-91 SNI 06-2456-91 SNI 06-2432-91
Persyaratan Min Maks 50 70 55 100 99 225 1 0,8 60 50 -
78
Lampiran 10. Karakteristik Lateks A. Lateks Pekat Analisis Alkalinitas, % NH3 KKK, % KJP, % WKM, detik VFA, g KOH/100 g JP Kadar Nitrogen, % Viskositas Lateks, cP Viskositas Mooney, (ML (1+4) 100oC)
Hasil 1 0,82 58,4 61,46 780 0,018 0,21 97
2 0,85 59,98 60,51 754 0,022 0,26 99
77,60
77,60
Rataan 0,835 59,19 60,985 767 0,02 0,24 98 77,60
B. Lateks Depolimerisasi Analisis Alkalinitas, % NH3 KKK, % KJP, % WKM, detik VFA, g KOH/100 g JP Kadar Nitrogen, % Viskositas Lateks, cP Viskositas Mooney, (ML (1+4) 100oC)
Hasil 1 0,11 47,2 51,25 105 0,046 0,12 18,4
2 0,17 46,26 51,68 113 0,048 0,15 18,2
16,50
16,50
Rataan 0,14 46,73 51,465 109 0,047 0,14 18,3 16,50
79
Lampiran 11. Syarat mutu lateks pekat No
Jenis Uji
Metode Sentrifugasi Amonia Tinggi
Metode Sentrifugasi Amonia Rendah
1.
Kadar jumlah padatan min, %
61,5
61,5
2.
Kadar karet kering min, %
60,0
60,0
3.
Selisih kadar jumlah padatan dengan kadar karet kering maks, %
2,0
2,0
Min 0,60
Max 0,29
0,80
0,80
650
650
4. 5.
Total alkalinitas dihitung sebagai amonia (NH3) sebagai % lateks Bilangan KOH, maks
6.
Waktu Kematapan Mekanik min, detik
7.
Bilangan asam lemak, maks
8.
Warna secara inspeksi visual
Warna setelah dinetralisasi dengan asam borat Sumber: SNI 06-3139-1992 9.
0,2 gr KOH/100 0,2 gr KOH/100 gr gr TS TS Tidak berwarna biru atau abu-abu Tidak berbau busuk
80